Tuesday, June 8, 2010

Tarekat dan Kiayi Hamid

Untuk menjawab, tarekat apakah yang diikuti Kyai Hamid? Tentu bukanlah persoalan mudah untuk menjawab. Kesulitan ini muncul karena memang tidak ada data yang valid yang mengarah pada jawaban tersebut. Dalam berbagai riwayat yang didapat dari ahli keluarga, kerabat, para santri dan sumber-sumber yang lain pun hanya bersifat spekulasi karena banyaknya ikhtilaf pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Kyai tidak menjadi punya tarekat, alias tidak menjadi pengikut tarekat manapun. Kedua Kyai Hamid bertarekat Alawiyah. Dan ketiga, Kyai Hamid bertarekat Syadziliyah.
Syari’at, Tarekat dan Ma’rifat
Tarekat secara lughowi berasal dari Bahasa Arab Thoriqoh yang bearti jalan. Sebuah istilah dalam ilmu tasawuf sebagai salah satu tahapan dalam ajaran Islam yang harus dilalui seorang muslim setelah derajat syari’ah dan sebelum haqiqat. Ia merupakan salah satu jalan menuju Allah atau wushul (sampai) kepada Allah.

Syekh Abu Bakr bin Muhammad al-Makki mengatakan, tarekat adalah mengambil yang paling hati-hati bagi diri dalam setiap amal perbuatan, seperti wara’, optimis kepada Allah (‘azimah) dan olah rohani (riyadlah). Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili mengatakan bahwa thariqat ini adalah kekuatan kesabaran, ketakwaan, kewara’an, keyakinan dan hidayah. Tujuan utamanya adalah wushul (sampai) pada derajat haqiqah. Yaitu wushulnya seorang salik (orang yang melakukan pengembaraan rohani) pada tingkatan ma’rifat billah dan musyahadah nur tajalli (menyaksikan Allah SWT) dalam hati-Nya. Sehingga terbuka segala hijab (halangan) antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Dengan demikian tarekat sebenarnya merupakan amaliyah yang dilakukan oleh seorang salik melalui maqamat
(tingkatan-tingkatan) tarekat, seperti wara’, qona’ah, ikhlas, syukur, sabar, zuhud, muroqobah, shidq, khusyu’, tawadlu’, yakin, hingga pada maqamat tertinggi, yaitu ridlo. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran tarekat ini adalah melakukan ketaatan, membersihkan hati, mengamalkan akhlak hati dan memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Tarekat dan Mursyid
Pada mulanya tarekat merupakan amaliyah yang menekankan pentingnya ketaatan pd Allah, membersihkan hati, mengamalkan akhlak (hati) dan memperbanyak dzikir terhadap Allah. Namun dalam kenyataanya dalam tradisi tasawuf, peran seorang guru (syekh) mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual (maqamat) ketika seorang salik mengamalkan ajaran tarekat.

Kadang keberadaan dan urgensi seorang Mursyid dan wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf sebagai aktifitas individu dan personal. Mereka merasa mampu menembus jalan hati dan lautan rohani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara yang mereka yakini, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (Syari’at). Sehingga mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Namun, dalam kenyataannya pandangan seperti ini hanya bisa diterima secara teoritis belaka. Sebab dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan mereka hanya akan mendapat kegagalan. Bukti-bukti sejarah kegagalan spiritual tersebut telah dibuktikan oleh para salafuna sholih yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Sebut saja Ibnu Athaillah as-Sakandari, Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali yang pada pengembaraannya akhirnya mereka harus menyerah pada kehampaan spiritual. Hingga ending pengembaraan itu dapat mereka dapatkan ketika bertemu seorang guru Mursyid. Salafuna sholih tersebut akhirnya memberikan kesaksian, bahwa seseorang dengan kehebatan ilmu agamanya pun, tidak akan mampu menempuh jalan sufi (suluk), kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid.

Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu” yang hakikatnya lahir dari amaliah dan lahiriyah. Manakala hati dan pengembaraan rohani menuju ma’rifat billah merupakan lautan misteri yang penuh dengan rahasia dan bahkan tipudaya.

Pada sisi lain dalam alam metafisika sufi, seorang salik yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, maka dia tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan jin. Sehingga jalan ma’rifat itu tidak bisa ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional (Syari’ah) saja, kecuali yang akan dia raih hanyalah Ilmul Yaqin belaka, bukan Haqqul Yaqin. Oleh sebab dapat dimengerti apabila kaum sufi mengatakan: “Barangsiapa (menempuh jalan Allah) tanpa mempunyai seorang guru (syekh), maka gurunya adalah syetan”.

Dengan urgensi seorang mursyid dalam tarekat ini maka tarekat bukan lagi menjadi satu tingkatan amaliyah dalam ajaran Islam yang harus dilalui seseorang, tetapi telah berkembang menjadi institusi yang menjadi pengikat antara seorang syekh mursyid dengan murid-muridnya dan dengan berbagai amalan, awrad dan dzikirnya. Amalan, awrad dan dzikir inilah yang membedakan antara tarekat satu dengan lainnya. Sebab inti dari tarekat adalah satu, yaitu wushul pada Allah atau sampai pada derajat haqiqat dan ma’rifat billah.

Waliyullah, Mursyid dan Tarekat

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang wali yang dapat memberi petunjuk kepadanya”.
(Q.S. al-Kahfi; )

Wushul merupakan tujuan utama dalam maqamat, dan merupakan tingkatan tertinggi dalam tarekat. Berdasarkan ayat di atas, ia tidak akan dapat diperoleh tanpa kehadiran seorang waliyan mursyidan, yaitu syekh yang mempunyai kemampuan kamil dalam membimbing para muridnya.

Para wali sendiri memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil yang mampu membimbing para salikin menjadi seorang hamba yang paripurna dengan kekuatan ma’rifat billah secara utuh.

Siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dalam dan tajam mata hatinya, dan luas lautan rohaninya serta tidak berkubang dalam kemaksiatan. Suatu tingkatan paripurna yang hanya Allah saja yang berhak menentukan. Firman Allah:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Waliyullah adalah seseorang yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah tingkat excellent. Ia hanya bisa dicapai apabila seseorang mampu menembus berbagai hijab hati yang menghalanginya untuk musyahadah kepada Tuhannya dan sampai pada nur tajalli. Karena itulah, kehadiran seorang mursyid kamil mukammil, seorang waliyan mursyidan dan tarekat pegangan adalah mutlak bagi kelahiran seorang waliyullah, apapun hirarki yang dimilikinya.

Seorang mursyid yang memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas, mempunyai pengetahuan yang benar, himmah yang luhur, perilaku ruhani yang diridhai serta mata hati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Tak lain dalam hal ini Kyai Hamid yang menurut Gus Mus, bukanlah wali tiban. “Wali Tiban” kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kyai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara ‘muttafaq ‘alaih’.

Tarekat dan Kyai Hamid

Untuk menjawab, tarekat apakah yang diikuti Kyai Hamid? Tentu bukanlah persoalan mudah untuk menjawab. Kesulitan ini muncul karena memang tidak ada data yang valid yang mengarah pada jawaban tersebut. Dalam berbagai riwayat yang didapat dari ahli keluarga, kerabat, para santri dan sumber-sumber yang lain pun hanya bersifat spekulasi karena banyaknya ikhtilaf pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Kyai tidak menjadi punya tarekat, alias tidak menjadi pengikut tarekat manapun. Data ini di dapat dari ahli keluarga dan kerabat beliau yang tidak pernah mendengar Kyai Hamid pernah “dawuh” atau mengakui tentang tarekat yang beliau anut.

Namun asumsi ini tentu sulit diterima melihat maqam wilayah dan ketinggian karamah yang beliau punyai semasa hidupnya. Begitu pula dengan tingginya kualitas maqamat tarekat yang beliau jalani. Suatu tingkatan yang hanya dapat diperoleh apabila seseorang mampu melalui lautan hati dan hamparan sara’ir dengan amaliyah tarekat yang amat mumpuni sehingga beliau sampai pada derajat ma’rifat billah. Hingga, adalah mustahil apabila beliau mendapatkan semua itu tanpa kehadiran seorang guru mursyid tarekat, atau bahkan seorang waliyan mursyidan.

Sikap diam beliau yang tidak pernah mengatakan siapa guru mursyid dan apa tarekat beliau memang cukup beralasan jika dikembalikan kepada otoritas beliau sebagai seorang waliyullah. Sebab, otoritas sebagai seorang wali adalah bagian dari ketentuan Allah yang ditentukan dengan batasan-batasan tugas tertentu. Sehingga, adalah sebuah pantangan apabila beliau melakukan pengakuan dan penyebaran tarekat, karena itu bukan menjadi otoritasnya. Hanya seorang mursyid tarekat saja yang berhak menyandang wewenang itu. Dari sini pula dapat kita mengerti, mengapa kita juga tidak pernah mendapat data valid, apa tarekat hadratus syekh Kyai Shiddiq, Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah, hingga Ra Kholil Bangkalan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa tarekat Kyai Hamid adalah tarekat Alawiyah. Indikasi ini diperoleh dari pengamatan para santri beliau yang menyandarkan praktik amaliyah tarekat dan zikir beliau yang banyak mengambil dari tarekat ini. Seperti diketahui, tarekat Alawiyah yang didirikan oleh Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M ini tidak menekankan segi-segi riyadlah atau olah rohani dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid.

Keunikan dari tarekat ini adalah tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah dari Syaikh mursyid jika ingin mengamalkan tarekat. Tarekat ini merupakan jalan tengah antara tarekat Syadziliyah yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati, dan tarekat Ghazaliyah yang menekankan riyadlah al-‘abdan bil a’mal atau olah fisik. Ada dua wirid utama yang diajarkan tarekat ini, yakni al-wird al-lathif dan ratib al-haddad. Dua wirid yang diajarkan oleh Kyai Hamid dan diwariskan hingga sekarang kepada para santri dan keluarganya.

Indikasi lain yang menguatkan adalah karena Kyai Hamid semenjak tinggal di Pasuruan sudah berguru kepada Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaf. Salah seorang ulama besar dan waliyullah di kota Pasuruan yang bertarekat Alawiyah. Sebab seperti diketahui, tarekat ini dinamakan alawy –selain disandarkan pada pendirinya, Imam Alawi al-Muhajir,- adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai sadat yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan adalah dari para Sayyid. Dan mereka jugalah yang banyak menyebarkan tarekat ini di Indonesia sebagaimana dilakukan oleh Habib Ja’far as-Seggaff.

Tidak diketahui pasti apakah Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaff adalah seorang ulama sekaligus guru (Syaikh) mursyid atau bukan. Tapi melihat karakter tarekat Alawiyah yang mudah dipraktikkan oleh siapapun dan awrad dan dzikirnya yang boleh dilakukan siapapun tanpa bimbingan seorang mursyid dan bai’at talqin, maka indikasi bahwa Kyai Hamid bertarekat Alawiyah dapat dibenarkan. Sebab selain Kyai Hamid berasal dari keluarga sadat, semenjak berguru kepada Habib Ja’far bin Syaikhon, Kyai Hamid mulai mengistiqamahkan diri dengan para santri serta keluarganya untuk mengamalkan al-wird al-lathif dan ratib al-haddad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa tarekat Kyai Hamid adalah Syadziliyah. Sebab menurut sebuah sumber, sebenarnya beliau ketika mondok ke Termas selain belajar ilmu-ilmu agama dibawah asuhan KH. Dimyathi beliau juga sudah mengikat bai’at kepada Syekh Abdurrozaq bin Abdullah at-Termasi. Seorang wali mursyid tarekat Syadziliyah terkemuka pada masa itu di Termas. Mengapa beliau tidak menetap di pondok Syekh Abdurrozaq? Tentu karena pondok tarekat bukanlah pondok berasrama seperti pondok yang mempelajari ilmu agama layaknya pondok Termas. Tapi pondok yang hanya untuk melayani para santri yang meminta bimbingan suluk dan tarekat dari sang Mursyid saja.

Tarekat Syadziliyah yang disandarkan kepada nama pendirinya, Syekh Abu al-Hasan as-Syadzili merupakan tarekat yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati pada setiap individu dengan melalui dzikir sirri (qalbi) dan beberapa awrad dan hizib yang digubah oleh al-Syadzili. Ajaran tarekatnya amat dipengaruhi oleh kitab Ihya’ Ulumiddin al-Ghozali yang menekankan amaliyah dalam bertasawuf dan Qut al-Qulub al-Makki yang menekankan kekuatan hati. Aturan, prinsip dan pokok cara menjalankan tarekat ini kemudian dikodifikasikan oleh Ibn ‘Atho’illah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam.

Ciri-ciri tarekat Syadziliyah yang menekankan dzikir sirri dan kekuatan riyadlah hati secara individu ini memperkuat dugaan Kyai Hamid memang menjadi pengikutnya. Sebab, dugaan itu diperkuat dengan data-data fakta bahwa semasa beliau mondok di Termas, Abdul Hamid (nama Kyai Hamid) sudah banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, ia pura-pura mantheg (mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa dia sedang berkhalwat. Amalan wirid juga sering beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang untuk mencari jangkrik, Kyai Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak melihatnya.

Lambat laun, aktifitas suluk Kyai Hamid dengan dzikir sirri (qalbi) dan membaca awrad semakin intens dilakukan di kamar Pondok. Bahkan diceritakan, semakin hari, Kyai Hamid semakin jarang keluar dari kamar untuk melakukan dzikir dan wirid tarekat tersebut. Sampai-sampai, kawan-kawannya menggodanya dengan mengunci pintu kamar dari luar.

Indikasi lain adalah dari ketertarikan Kyai Hamid semenjak muda untuk mempelajari kitab Ihya’ Ulumiddin. Bahkan kepada Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaff pun beliau mengaji Ihya’ sampai berkali-kali. Ucapkan-ucapan beliau kepada para santrinya yang menceritakan kekagumannya dan menekankan pentingnya mempelajari karya monumental tasawuf al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, juga merupakan bukti lain yang menguatkan dugaan tersebut.

Ibrah Kyai Hamid dan Tarekat

Namun terlepas dari paparan di atas, apakah Kyai Hamid bertarekat Alawiyah, Syadziliyah, atau bahkan mungkin tidak bertarekat sama sekali –seperti yang tersebut di atas- bukanlah masalah mendasar dalam hal ini. Sebab semua itu hanyalah sebuah asumsi yang didasarkan atas indikasi-indikasi yang relatif dan bahkan mungkin tidak valid.

Yang jelas, Kyai Hamid adalah realita nyata tentang munculnya seorang hamba Allah yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah yang mumpuni dan kekuatan musyahadah atas nur tajalli dengan maqam wilayah yang amat tinggi. Dan kekuatan tersebut tentu tidak mungkin beliau dapatkan dengan serta merta tanpa melalui tahapan-tahapan amaliyah dan maqamat tarekat yang beliau jalani dan beliau istiqamahkan. Setidaknya -dari sirah Kyai Hamid yang dapat kita baca-, kualitas amaliyah dan maqamat itulah yang selalu beliau pancarkan dalam setiap gerak langkah beliau.
Kewara’an, kezuhudan, ketawadlu’an, kesabaran, keistiqamahan, dan riyadlah.

Dan yang jelas, kekuatan ma’rifat dan wilayah tersebut hingga saat ini telah menjadi hamparan hikmah yang maha luas dan menebarkan harum pada sanubari tiap orang yang mengenalnya. Hingga siapapun tak akan pernah kehabisan untuk mengais suri tauladan atas keagungan akhlaknya dan menempa keberkahan yang telah beliau sebarkan dalam setiap relung hati dan palung hidup kita.

Wallahu A’lam bi al-Showab.

*Penulis adalah guru di Madrasah Salafiyah Pasuruan

Sumber : salafiyah pasuruan

1 comment:

Unknown said...

assalamualaikum
Trimah kash atas informasinya.
Benar2 bermanfaat amin2