Sunday, February 21, 2010

TRAILER PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW 1431H MAJELIS RASULULLAH

PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW 1431H
1 JUTA MUSLIMIN MUSLIMAT
LAPANGAN MONUMEN NASIONAL (MONAS)
JUMAT 26 FEBRUARI 2010, JAM 07:00-9:30

Jadwal Mawlid Akbar 1431 H /2010 M di Jakarta

Marhaban ya habibi.. Selamat datang bulan mulia.
Berikut adalah jadwa mawlid akbar yang akan dilaksanakan di kota Jakarta dan sekitarnya. mudah2an kita semua bisa mendapatkan berkah dalam menunbuhkan kecintaan kita pada Rasulullah dengan perayaan mawlid ini.. amin
7 Rabiul Awal 1431/21 Februari 2010
1820 WIB Masjid At Takwa, Komplek Pomad Kalibata

11 Rabiul Awal 1431/25 Februari 2010
20.00 WIB Majlis Taklim Nurul Musthofa Jl. Taman Makam Pahlawan, Kalibata – Pancoran. Jakarta Selatan
21.30 WIB Masjid dan Maqam Habib Husin Alaydrus Luar Batang



12 Rabiul Awal 1431/26 Februari 2010
07.30 WIB Majelis Rasulullah, Halaman Monas Jl. Medan Merdeka Jakarta Pusat
09.00 WIB Masjid Assa'adah, Poltangan Jakarta selatan
19.30 WIB Majlis Anwaril Hidayah [Habib Muhsin bin Zed Alatas] Jl. MT Haryono Samping gedung BNN

13 Rabiul Awal 1431/27 Februari 2010
08.00 – 13.00 WIB Hb. Abdurrahman bin Syech Alatas, Jl. Asem Baris Raya No. 3 RT. 006/012 (PT. Barfo Mahdi) Kebon Baru, Jakarta Selatan (Haul tahun ke-5 Habib Hasan bin Abdullah bin Umar Asyathiri)

21 Rabiul Awal 1431/7 Maret 2010
16.00 WIB Habib Ahmad bin Alwi Al Haddad (Habib Kuncung), Kalibata

22 Rabiul Awal 1431/8 Maret 2010
09.00 WIB Ponpes Al Khairat Habib Nagieb Bin Syeh Abubakar, Jl. Pengasinan Bekasi Timur
16.00 WIB Habib Husin bin Ali Alatas, Jl. Buluh – Condet [Ashar Berjamaah]

23 Rabiul Awal 1431/9 Maret 2010
09.00 WIB Haul Habib Ali bin Husin Alatas, Jl. Buluh – Condet
18.00 WIB Kramat Empang Bogor [Maghrib berjamaah]

24 Rabiul Awal 1431/10 Maret 2010
09.00 WIB Haul Habib Imam Abdullah bin Muhsin Alatas, Kramat Empang Bogor
18.00 WIB Ziarah Makam Habib Ali Al Habsyi Kwitang (Maghrib Berjamaah)

25 Rabiul Awal 1431/11 Maret 2010
09.00 WIB Ponpes Al Haromain, Hb. Hamid bin Abdullah Alkaf. Jl. Ganceng Pondok Rangon Cipayung Jakarta Timur
16.00 WIB Majlis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi Kwitang [Ashar berjamaah]



26 Rabiul Awal 1431/12 Maret 2010
04.30 WIB Majelis Taklim Al Affaf, Hb. Ali bin Abdurrahman Assegaf. Jl. Tebet Utara – Jakarta Selatan (subuh berjamaah]
08.30 WIB Daarul Aitam Tanah Abang

27 Rabiul Awal 1431/13 Maret 2010
09.00 WIB Masjid Al Hawi, Cililitan
12.00 WIB Majlis Taklim Assalafiyah Habib Hud bin Bagir Alatas, Kebon Nanas [Dzuhur berjamaah]

28 Rabiul Awal 1431/14 Maret 2010
10.00 WIB Masjid Luar Batang dan Ziarah makam Al Habib Husin bin Abubakar Alaydrus

29 Rabiul Awal 1431/15 Maret 2010
09.00 WIB Masjid Kramat Kampung Bandan, Jakarta Utara
16.00 WIB Maulid dan haul Habib Salim bin Jindan, Jl. Otista Raya [Ashar berjamaah]

30 Rabiul Awal 1431/16 Maret 2010
09.30 WIB Habib Alwi bin Abdullah Alatas, Masjid Futuhat At Thosiah – Bulak Kapal Bekasi Timur

2 Rabiul Akhir 1431/18 Maret 2010
09.00 WIB Majlis Taklim Habib Salim bin Toha Al Haddad, Jl. Damai Pasar Minggu

4 Rabiul Akhir 1431/20 Maret 2010
09.00 Majlis Taklim Annur, Habib Husin bin Abdullah bin Muhsin Alatas. Jl. Otista Tangerang Kota
16.00 WIB Majlis Dzikir Syamsi Syumus, Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 16 Jakarta Selatan [Ashar berjamaah]

10 Rabiul Akhir 1431/26 Maret 2010
18.00 WIB Majlis Burdah Habib Hasyim Bin Syeh Abubakar, Jl. Cikoko – Jakarta Timur [Maghrib berjamaah]


12 Rabiul Akhir 1431/28 Maret 2010
10.00 WIB Yayasan Al Fachriyah Alm. Habib Novel Salim Jindan, Larangan – Ciledug


Thursday, February 18, 2010

Keutamaan Dzikir "Allahu Akbar"

Ibnu Athaillah As Sakandary
Keutamaan Dzikir "Allahu akbar", yang di dalamnya ada lima perspektif :
Pertama: Dalam "Allahu Akbar" ada penyebutan Allah Ta'ala pada diriNya Sendiri, pentauhidan, pengagungan dan penghormatan ataskeagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar dibanding penyebutan makhlukNya yang lemah, sangat butuh, dan pentauhidan makhluk kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha Mencukupi dan Maha Terpuji.
Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih agung dibanding dzikir dengan Asma'-asma'Nya yang lain.

Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta'ala pada hambaNya di zaman Azali sebelum hambaNya ada, adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang menyebabkan dzikirnya hamba saat ini.

Dzikirnya Allah Ta'ala tersebut lebih dahulu, lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta'ala berfirman : "Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih besar."
Keempat: Sebenarnya mengingat Allah swt, di dalam sholat lebih utama dan lebih besar dibanding mengingatNya di luar sholat. Menyaksikan (musyahadah) pada Allah Ta'ala (Yang Diingat) di dalam sholat lebih agung dan lebih sempurna serta lebih besar ketimbang sholatnya.
Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta doronganNya kepadamu melalui ajakanNya kepadamu agar taat kepadaNya, adalah nikmat paling besar dibanding dzikir anda kepadaNya, dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena anda semua tidak akan pernah mampu mensyukuri nikmatNya.
Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda: "Aku tidak mampu memuji padaMu, Engkau, sebagaimana Engkau memujiMu atas DiriMu."
Artinya, "aku tidak mampu," padahal beliau adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan paling tinggi derajatnya dan paling utama. Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya, padahal beliau adalah paling tahu dan paling ma'rifat - semoga sholawat dan salam Allah melimpah padanya dan keluarganya -.

Setelah kita mentauhidkan Allah swt, yang dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga sholat menjadi rukun islam yang kedua. Dalam sabda Rasulullah saw:
"Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya menunggalkan Allah dan menegakkan sholat… dst". Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukanya, Allahu Akbar.
Allah tidak menjadikan salah satu Asma-asma'Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom, kecuali hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw, melarangnya , demikian juga untuk Lafadz Adzan, tetap menggunakan Takbir tersebut, begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat. Jadi Nama agung tersebut lebih utama dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi munajat-munajat, bukan hanya dalam sholat atau lainnya.
Dalam hadits disebutkan:
"Aku berada pada dugaan hambaKu apabila hamba berdzikir padaKu. Maka apabila ia berdzikir kepadaKu dalam jiwanya, Aku mengingatnya dalam JiwaKu. Dan jika ia berdzikir padaKu dengan kesendirianNya, maka Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu. Dan jika ia berdzikir di tengah padang (keramaian) maka Aku pun mengingatnya di keramaian lebih baik darinya."
Allah swt. Berfirman:"Dzikirlah kepadaKu maka Aku berdzikir kepadamu."

Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir dibanding sholat dari esensi ayat tersebut, yaitu firman Allah swt:
"Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan dan kemungkaran."
Yang walau demikian merupakan dzikir teragung, namun Dzikir "Allah" itu lebih besar daripada sholat dan dibanding setiap ibadah Abu Darda' meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
"Ingatlah, maukah aku beri kabar kalian tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang Rajamu, dan lebih baik bagimu ketimbang memberikan emas dan perak, dan lebih baik ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu bertempur di mana kalian memukul leher mereka dan mereka pun membalas memukul lehermu?" Mereka menjawab, "Ya, kami mau.." Rasulullah saw, bersabda, "Dzikrullah."

Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu'adz bin Jabal :
"Tak ada amal manusia mana pun yang lebih menyelamatkan baginya dari azdab Allah, disbanding dzikrullah."

Makna Dzikrullah bagi hambaNya adalah bahwa yang berdzikir kepadaNya itu disertai Tauhid, maka Allah mengingatnya dengan syurga dan pahala. Lalu Allah swt berfirman :
"Maka Allah memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya."

Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu "Allah", dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya, Allah swt berfirman :
"Dan apabila hambaKu bertanya kepadaKu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat…"
Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya, Allah memberikan tambahan ni'mat berlimpah :
"Bila kalian bersyukur maka Aku bakal menambah (ni'matKu) kepadamu…"
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir melainkan Allah mengingat mereka sebagai imbalan padanya. Bila sang hamba adalah seorang 'arif (orang yang ma'rifat) berdzikir dengan kema'rifatannya, maka Allah swt, mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk musyahadahnya sang 'arif.

Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan imannya, Allah swt, mengingatnya dengan rahmat dan ridloNya.

Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat dengan pertaubatannya, Allah swt, mengingatnya dengan penerimaan dan ampunanNya.
Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang mengakui kesalahannya, maka Allah swt, mengingatnya dengan tutup dan pengampunanNya.
Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka Allah swt mengingatnya dengan adzab dan laknatNya.

Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan kekufurannya, maka Allah swt, mengingatnya dengan azab dan siksaNya.
Siapa yang bertahlil padaNya, Allah swt, menyegerakan DiriNya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah swt, membagusinya
Siapa yang memujiNya Allah swt, mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah swt mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah swt, menerimanya.

Kondisi sang hamba itu berputar pada empat hal :
Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka Allah swt, mengingatkannya dengan menampakkan anugerah dalam taufiqNya di dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah swt mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga: Ketika dalam keadaan meraih nikmat, Allah swt mengingatkannya melalui syukur kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah mengingatkannya melalui sabar.

Karena itu dalam Dzikrullah ada lima anugerah :
1. Adanya Ridlo Allah swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga datri godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.

Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat mereka.

Tak ada kema'rifatan bagi kaum a'rifin, melainkan karena pengenalan Allah swt kepada mereka.
Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun (hamba yang manunggal) melainkan karena ilmunya Allah kepada mereka.
Tak seorang pun orang yang taat kepadaNya, kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
Tak ada rasa cinta sang pecinta kepadaNya, kecuali karena anugerah khusus CintaNya kepada mereka.
Tak seorang pun yang kontra kepada Allah swt, kecuali karena kehinaan yang ditimpakan Allah swt, kepada mereka.
Setiap nikmat dariNya adalah pemberian. Dan setiap cobaan dariNya adalah ketentuan. Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang mendahului, akan muncul secara nyata di kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid merupakan sesuatu antara penafiaan dan penetapan. Awalnya adalah "Laa Ilaaha", yang merupakan penafian, pembebasan, pengingkaran, penentangan, dan akhinya adalah "Illallah", sebagai kebangkitan, pengukuhan, iman, tahid, ma'rifat, Islam, syahadat dan cahaya-cahaya.

"Laa" adalah menafikan semua sifat Uluhiyah dari segala hal yang tak berhak menyandangnya dan tidak wajib padanya. Sedangkan "Illallah" merupakan pengukuhan Sifat Uluhiyah bagi yang berhak dan wajib secara hakikat.

Secara maknawi terpadu dalam firman Allah swt :
"Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka benar-bvenar telah memegang teguh tali yang kuat."

"Laa Ilaaha Illallah", untuk umum berarti demi penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk suatu penetapan atas Kemaha-Esaan, sekalgus menafikan dualitsme.
Sedangkan bagi kalangan khusus sebagai penguat agama mereka, menambah cahaya harapan melalui penetapan Dzat dan Sifat, menyucikan dari perubahan sifat-sifat baru dan membuang ancaman bahayanya.

Untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan mampu berdzikir, mampu memandang anugerah serta fadhal dan mampu berssyukur, atas upaya syukurnya.

Sumber : Sufinews

Si Gila Sa'dun

Abu `Athaa Sa'id yang terkenal dengan julukan Si Gila Sa'dun adalah termasuk salah seorang 'Uqalaa-ul Majaaniin, orang-orang gila yang berpikiran waras. Suatu hari Malik bin Dinar, seorang alim sufi, menjumpainya sedang duduk termenung di perkuburan Basrah. ''Apa kabar, Sa'dun?'' tegur Malik, ''bagaimana keadaanmu?''

''O, Malik,'' jawab Sa'dun, ''bagaimana pula keadaan orang yang sehari-hari, pagi dan petang, menanti keberangkatan untuk pergi jauh menuju Tuhannya yang Maha Adil tanpa persiapan dan bekal yang cukup?'' Dan Sa'dun pun menangis sejadi-jadinya. ''Sa'dun, apa yang membuatmu menangis begitu?'' tanya Malik.

''Aku bukan menangisi dunia,'' jawab Sa'dun, ''bukan pula karena takut mati. Tapi aku menangisi hari-hari umurku yang berlalu begitu saja tanpa kuisi amal-amal yang baik. Aku menangis mengingat jauh dan gawatnya perjalanan, sementara bekalku cuma sedikit sekali. Aku pun tak tahu akan kemanakah aku kemudian: ke sorgakah atau ke neraka?''

Orang-orang menganggap Sa'dun gila. Dan ini bisa dimengerti, karena gila memang mempunyai banyak pengertian. Gila bisa berarti 'sakit ingatan' (kurang beres ingatannya); tapi juga bisa berarti 'tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan' (tidak masuk akal). Tanpa perlu menanyakan kepada ahli jiwa apakah Sa'dun sakit ingatan, rupanya orang hanya melihat perilaku Sa'dun yang tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, dan suka berbuat yang bukan-bukan, maka mereka pun menganggapnya gila.

Apabila yang menjadi ukuran kegilaan adalah ketidakbiasaan, maka di dunia di mana masyarakatnya semua konyol, orang yang tidak konyol pun bisa disebut gila. Di dalam masyarakat di mana ketidakjujuran sudah menjadi biasa, maka orang jujur pun bisa dianggap gila. Di masyarakat di mana takut merupakan ciri umumnya, maka seorang yang berani pun terbilang gila. Demikian seterusnya.

Seperti juga kisah Sa'dun di atas membuktikan 'kegilaan'nya. Bagaimana tidak? Umumnya orang tidak memikirkan, atau tidak terlalu memikirkan -- apalagi sampai menangis -- 'masa depan' yang sesungguhnya, yang menentukan kebahagiaan atau kesengsaraan hakiki yang abadi: di akhirat. Kalaupun memikirkan, tidak sampai sejauh memikirkan 'masa depan' yang dekat: di dunia ini. Ini bisa dilihat dari persiapan mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari: perbandingan yang jomplang antara penyiapan bekal perjalanan dekat dan jauh mereka. Begitulah, ketika umumnya orang hanya mengartikan firman Allah ''Waltandhur nafsun maa qaddamat lighadd!'' sebagai pesan untuk memikirkan masa depan di dunia, Sa'dun justru menghayati firman itu sebagai pesan untuk memikirkan masa depan yang sebenarnya: kehidupan akhirat.

Apabila Sa'dun masih hidup sekarang ini, boleh jadi kita pun akan menyebutnya Si Gila atau malahan menganggapnya sudah keterlaluan gilanya. Wallahu A'lam


Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi

Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu dicermati. Pertama, ketika kita sudah mencapai maqam lebih tinggi, kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita sedang ditimpa musibah atau kekecewaan, keempat, ketika kita baru melakukan dosa besar, dan kelima, ketika kita sedang di dalam keadaan normal.

Apa dan bagaimana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika kita mengalami salah satu di antara kelima kondisi batin ini, akan diuraikan di dalam lima tulisan bersambung
Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi


• Tidak gampang mencapai maqam lebih tinggi dalam suluk, pencarian Tuhan. Kalaupun seseorang menggapai maqam lebih tinggi sering kali tidak permanen, kenapa?
• Bagaimana kiat mempertahankan maqam yang sudah dicapai dan senantiasa meningkat terus?
• Bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah?

Maqam adalah ibarat sebuah tangga yang mempunyai beberapa anak tangga yang harus dilalui para pencari Tuhan (salik). Dari anak tangga pertama sampai puncak anak tangga memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum maqam-maqam tersebut anatara lain: Taubat, shabr, qana’ah, wara’, syukr, tawakkal, ridha, ma’rifah, mahabbah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam puncak.

Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan bersungguh-sungguh. Seakar kata dengan kata Jihad berati berjuang secara fisik, ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berati berjuang dengan olah batin. Sedangkan riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti senang, rela. Seakar kata dengan kata ridhwan berarti kepuasan dan kesenangan. Mujahadah dan riyadhah adalah dua hal yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seorang sufi atau salik.

Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa penghindaran diri dari dosa-dosa kecil (muru’ah), melakukan amalia-amaliah rutin seperti puasa Senin-Kamis dan puasa-puasa sunnat lainnya, tidak meninggalkan shalat-shalat sunnat rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan shalat-shalat sunnat lainnya, mengamalkan zikir dan wirid secara rutin, dan memperbanyak amal-amal sosial dengan penuh keikhlasan, serta meninggalkan nafsu amarah dan cinta dunia berlebihan.

Ketika seseorang dengan konsisten menjalani mujahadah dan riyadhah maka secara otomatis orang itu menapaki anak-anak tangga lebih tinggi. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanyaoleh kuantitas tetapi juga kualitas mujahadah dan riyadhah itu. Ada orang yang berhasil mencapai maqam kedua atau ketiga tetapi sulit lagi untuk naik ke maqam berikutnya karena tingkat mujahadah dan riyadhah-nya pas-pasan. Ada juga terus melejit dan tidak terlalu lama berada di dalam anak-anak tangga bawah. Semuanya tergantung konsistensi (istiqamah) seseorang.

Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi semula lalu berupaya dengan melakukan mujahadah dan riyadhah maka yang bersangkutan akan melahirkan sejumlah perubahan mendasar di dalam dirinya, yang dilihat dan dirasakan oleh bukan hanya diri yang bersangkutan tetapi juga orang laing, terutama bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Biasanya orang yang sudah memasuki anak tangga salik maka nampaknya banyak yang ketagihan, bahkan semacam ketergantungan, seolah perjalanan hidupnya selama ini kosong tanpa makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya. Itulah sebabnya muncul fenomena keagamaan melakukan uzlah dan pengembaraan dari mesjid ke mesjid, dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan sahabat spiritual baru.

Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam pencariannya. Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya, sehingga mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih setback lagi ke belakang. Kedua kutub ”ekstrim” ini disebabkan oleh kurangnya pengenalan teoritis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung menjadi practicing tanpa pernah memperoleh introductions dari guru spiritual yang berpengalaman.

Fenomona kehidupan spiritual di masa depan cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus. Seolah-olah masa depan itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri. Akibatnya multiple shock sedang melanda umat kita. Bukan hanya cultural shock seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya monumentalnya, The Futur Shock.

Tidak saja terjadi di dalam umat Islam, melainkan juga umat-umat agama lain. Seolah-olah beberapa institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di masayarakat dirasakan pemeluknya sudah termakan usia. Dengan demikian terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati dan jalan pikiran pemeluknya. Fenomena seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah kekecewaan. Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu dilampiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-olah akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di sekeliling kita boleh jadi bagian inheren dari kekecewaan massif tadi.

Clifford Geertz dalam bukunya Islam Obeserved pernah mengingatkan kita bahwa manakala pemeluk dan ajaran agama sudah mulai berjarak maka akan lahir situasi yang gamang. Fenomena ini, menurut Geertz, akan melahirkan polarisasi di dalam masyarakat yang cenderung berhadap-hadapan satu sama lain. Akan muncul suatu kelompok moderat bahkan liberal, yang akan mengakomodasi dan memberikan pembenaran keagamaan terhadap perkembangan dunia modern, dengan menciptakan metode-motode modern, di antaranya pendekatan kontekstual, atau metode hermeneutik. Ayat-ayat dan hadis direkayasa sedemikian rupa untuk menjastifikasi kehendak zaman.

Kelompok ini sepertinya sudah pasrah dengan kehendak zaman. Akhirnya seolah-olah Al-Qur’an dan hadis yang harus tunduk kepada zaman modern, buakan lagi Al-Qur’an dan hadis yang harus memandu perkembangan zaman.

Pada saat bersamaan akan muncul kelompok radikal yang seolah-olah ingin menolak kenyataan hidup yang terlalu asing bagi mereka. Mereka merindukan zaman lampau yang pernah menciptakan The Golden Age. Mereka merindukan situasi kenabian (prophetic system) untuk mewadahi kecenderungan emosi keagamaannya. Mereka serta merta menolak gagasan pembaharuan dengan memberinya berbagai macam label, seperti sekuler, liberal, pluralisme, jahiliyah modern, deislamisasi, gerakan zionis, kristenisasi, nasionalis sekuler, westernisasi, dan berbagai label lainnya yang bisa memicu proteksi dan emosi keagamaan umat. Belum lagi atribut-atribut biologis dan pakaian menyerupakan diri dengan kelompok masyarakat (Arab) yang diidealisirnya sebagai komunitas ideal. Padahal, tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi the best muslim. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia tetapi sambil meraih insan kamil, manusia paripurna.

Orang yang sudah mengenal maqam tertentu perlu mencermati kondisi batinnya. Ada dua kondisi yang seriang dialami orang, yaitu hal dan maqam. Hal ialah kondisi sesaat yang dialami orang yang sedang mengalami spiritual moddd, ketika seseorang sedang hanyut dengan suasana batin tertentu, yang biasanya karena dipicu kejadiankejadian tertentu pada dirinya, misalnya ia baru saja ditimpa musibah, sedang kecewa berat, sedang mempunyai hajat dan kebutuhan berat, atau baru saja mengikuti majlis zikir yang mempesonakan dirinya.

Suasana batin orang ini memang merasakan perasaan lapang dada, tawadlu’, syukur, tawakkal, ridha, mahabbah, bahkan merasa begitu dekatnya dengan Tuhan.

Tindakan-tindakan sosialnya juga tiba-tiba berubah dan seolah menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Namun orang ini masih fluktuatif, tergantung mood-nya.

Sedangkan maqam kondisi batin permanen dialami seseorang karena sudah melalui proses pencarian panjang serta riyadhah dan mujahadah yang konsisten. Suasasana batin yang dialaminya bukan karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa khusus melainkan sudah melalui spiritual training yang amat panjang.

Namun tidak mustahil hal bisa menjadi permanen manakala orang itu memahami kiat-kiat khusus. Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing spiritual memang diperlukan dalam hal meningkatkan hal menjadi maqam. Di sinilah tarekat berperan untuk mengorganisir jamaah untuk melakukan mujahadah dan riyadhah secara sistematis.

Sistem setiap tarekat bervariasi, tergantung sang pendiri tarekatnya. Syekh, mursyid, dan tarekat memang besar manfaatnya bagi orang yang akan dengan serius menekuni dunia suluk.

Salik modern tidak mesti harus melakukan perubahan drastis dari berbagai aspek kehidupan. Seorang salik tidak tepat mendramatisir diri sebagai orang yang sangat spesifik, apalagi mengklaim diri sebagai kelompok ”manusia suci”. Sufi atau salik yang sejati ialah mereka yang mampu menyembuyikan diri dan kondisi batin yang dialaminya di depan orang lain.
Jika ada salik yang suka memamerkan ke salik-anya maka sesungguhnya belumlah ia seorang salik sejati. Salik sejati memilih untuk tidak populer dibumi untuk populer di langit (majhul fil ardh ma’lum fis sama’).

Di atas langit masih banyak langit. Seorang salik tidak bisa angkuh dan menganggap orang lain rendah dan kotor, atau menganggap salik selainnya keliru.

Dalam Q.S. al-Kahfi, Tuhan menegur Nabi Musa, sang manusia populer, dan mengunggulkan Khidhir, sang manusia biasa-biasa aja. Oleh karena itu, kitapun harus hati- hati membaca orang, sebab Tuhan Maha Pintar menyembuyikan kekasih-Nya di dalam berbagai topeng penampilan. Hati-hati!

Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda masih harus belajar. Kalau sudah menyalahkan dirinya sendiri berarti sudah sedang belajar. Kalau sudah tidak lagi pernah menyalahkan orang lain berati sudah selesai belajar, karena sudah

Sumber: Republika Newsroom

Pangeran Charles, tamu kehormatan dalam acara sufi bersama Syeh Hisyam Kabbani

LONDON--Pangeran Charles Senin (8/2 2010), waktu setempat, hadir sebagai tamu kehormatan pada perayaan budaya Muslim Sufi di negeri itu.

Calon raja Inggris itu disambut oleh para seniman, para pemimpin agama dan musisi ketika ia tiba di Manchester United, sebelum masuk ke sebuah aula. Setelah berada di dalam aula Charles dihibur dengan whirlers dalam pakaian tradisional, dengan bacaan Alquran.

Syekh Mohammed Hisyam Kabbani, pemimpin spiritual sufi, mengatakan kepada Charles bagaimana ia dan ibunya, Ratu Elizabeth, ada dalam "hati" mereka.

Aksi Spiritual dilakukan dalam rangka meramaiakan perayaan "kontribusi budaya dan warisan sufi kehidupan modern Inggris, dan menekankan pentingnya kebebasan beragama dan berekspresi dalam kehidupan kaum muda."

Ini menunjukkan bagaimana tasawuf memiliki pengaruh positif pada masyarakat Inggris kontemporer melalui tradisi dan praktek-praktek budaya yang unik

Sumber : Republika newsroom

Islam di Aljazair gencar mempromosikan Sufisme

Pemerintah memberikan peran yang lebih luas kepada para penganut aliran sufi ini.

Pagi sebentar lagi tiba. Satu per satu warga mulai bersiap diri untuk memulai hari. Namun, kesibukan yang berlangsung tak lantas memecah konsentrasi sebagian orang yang sedang tekun berzikir di sebuah masjid di kawasan luar Kota Aljier, ibu kota Aljazair.

Ada sekitar 60 orang yang terlibat dalam kegiatan itu. Dengan duduk bersila sambil membentuk lingkaran, mereka khusyuk melantunkan tahmid, tahlil, dan tasbih, memuja Allah dan Rasul-Nya.

Mereka adalah anggota sebuah majelis zikir. Dan seperti halnya di Indonesia, jumlah majelis zikir di negara yang berada di Afrika Utara itu terus bertambah dari waktu ke waktu.

Satu hal penting, patut menjadi catatan, majelis zikir di Aljazair kebanyakan menganut aliran sufi. Perkembangan tersebut tak lepas dari peran pemerintah. Mereka ingin memacu aktivitas keagamaan ini sebagai program prioritas, khususnya guna menyebarluaskan ajaran sufi.

Pertanyaannya, apa urgensi dari kebijakan itu? Seperti diketahui, sudah sejak lama negara ini dilanda konflik yang melibatkan tentara pemerintah dengan kelompok Islam, dan telah menimbulkan kerugian besar baik jiwa maupun harta benda.

Setelah melalui pendekatan keamanan; penggerebekan, penahanan, bahkan kontak senjata, yang terbukti tidak membuahkan hasil, pemerintah Aljazair mencoba upaya baru untuk menghentikan konflik. Mendorong semangat beragama di kalangan masyarakat luas, kini menjadi 'senjata' andalan pemerintah.

Aliran sufisme pun gencar digemakan di seantero negeri. Sufisme dianggap sebagai solusi tepat untuk mengatasi gejolak sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian dan kebersamaan.

Berbagai langkah segera bergulir. Antara lain, adanya program di televisi dan radio guna menyebarluaskan sufisme. Sejumlah tokoh agama berpengaruh dilibatkan untuk mengenalkan dan memberikan pemahaman terkait sufisme ini. Kegiatan tersebut tentu saja berada dalam pengawasan pemerintah.

Pada dasarnya, aliran sufi bisa ditemukan di hampir semua negara mayoritas Islam di dunia. Pengikut aliran sufi akan menomorsatukan ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah, baik melalui pengajian, zikir, dan ibadah lainnya. Mereka pun biasanya memilih menjauhkan diri dari kehidupan politik.

Di lain pihak, aliran salafi banyak dianut oleh anggota kelompok perlawanan yang ingin mengubah kondisi negara sesuai nilai-nilai Islam. Salafi yang berkembang pertama kali di Arab Saudi adalah sebuah gerakan paham politik Islamisme yang mengambil pemahaman leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam sebagai paham dasar.

Atas pemikiran itu, ideologi salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam seperti yang dipraktikkan pada masa Rasulullah. Mereka tidak menghendaki inovasi yang telah dan akan ditambahkan dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam.

Meski demikian, di Aljazair, sufi belum dipraktikkan secara luas. Salah satu alasannya lantaran sebagian besar masjid dan mushala lebih condong mengikuti paham salafi tadi.

Berapa jumlah pengikut aliran sufi di Aljazair, tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut George Joffe, peneliti pada departemen riset Center of International Study, Universitas Cambridge, saat ini diperkirakan terdapat sekitar satu hingga 1,5 juta pengikut sufi dari total populasi 34 juta jiwa.

Para pejabat pemerintah berkeyakinan, sufisme bisa menciptakan perdamaian permanen di Aljazair. Mohamed Idir Mechnane, seorang pejabat teras di kementerian agama, mengatakan, pihaknya berupaya keras untuk memasyarakatkan ajaran Islam tradisional yang lebih mengedepankan toleransi, perdamaian, dan terbuka.

''Dan alhamdulillah, semakin banyak anggota masyarakat yang memahami dan bersedia mengikuti ajaran sufi ini,'' katanya, dikutip dari kantor berita reuters.

Demi menyukseskan program ini, pemerintah memberikan peran yang lebih luas di masyarakat kepada pengikut sufi. Misalnya, mengorganisasi acara pernikahan, membantu anak yatim, mengajarkan baca tulis Alquran, serta memberikan santunan bagi kaum dhuafa.

''Selama lebih dari 14 abad, Islam telah hadir di negara ini,'' ungkap Hadj Lakhdar Ghania, salah satu anggota majelis zikir, Tidjania Zaouia. ''Kami terbiasa hidup dalam harmoni dan damai.''

Akan tetapi, sambung dia, begitu para pengikut salafi mengatakan agar Aljazair mempraktikkan Islam seperti yang mereka praktikkan, maka mulai timbul perbedaan pendapat.

Cara menyebarluaskan ajaran sufi sebenarnya bukanlah ide baru. Sejak 2007, sebuah penelitian dari Rand Corporation menyebutkan bahwa sufisme terbukti sangat efektif untuk mempromosikan Islam moderat.

''Islam tradisionalis dan sufi merupakan bagian tak terpisahkan, mengingat banyak kesamaan di antara keduanya,'' papar studi itu.
Para pengikut salafi segera bereaksi. Mereka tidak bisa menerima beberapa praktik ritual sufi, semisal ziarah ke makam ulama.

Sebaliknya, mereka menilai ajaran salafilah yang seharusnya diterapkan.
''Salafi sangat penting untuk menangkal pemikiran dan ibadah yang menyimpang dari nilai-nilai Islam. Kami mendorong generasi muda untuk mengikuti ajaran Islam yang benar dan tidak terpengaruh gaya hidup Barat,'' ujar Sheikh Abdelfatah, salah seorang tokoh salafi terkemuka.

Tapi, mengapa kemudian salafi dikaitkan dengan kekerasan? Sheikh Abdelfatah membantahnya. Dia berpendapat, di negara manapun, ajaran salafi selalu dipraktikkan dengan damai.

Untuk membuktikan pernyataannya, Sheikh Abdelfatah meminta agar publik kembali ke tahun 2001. Saat itu, pascaperistiwa 11 September 2001, sejumlah ulama salafi segera mengutuk aksi kekerasan tersebut.

Demikian juga ulama salafi lainnya yang kini menetap di Arab Saudi, Abdelmalek Ramdani, menyerukan kepada pengikutnya untuk menjauhi kekerasan dan permusuhan.

Gagasan lain dikemukakan Mouloudi Mohamed, seorang cendekiawan Muslim setempat. Dia berpendapat, upaya terbaik untuk menghentikan kekerasan yakni dengan kembali ke praktik tradisional Islam yang telah berlangsung di negara itu sejak beradab-abad silam.

''Saya tidak yakin kita harus 'mengimpor' solusi dari luar negeri, tapi akan lebih baik jika kita mulai mempraktikkan Islam seperti yang pernah dilakukan ayah dan kakek kita dulu,'' tegas dia.

Awal dari Gejolak Itu

Konflik di Aljazair yang telah berlangsung sejak 1992, setidaknya terkait dengan tiga hal; ekonomi, sosial, dan politik. Pemerintah dinilai tidak mampu melakukan perbaikan secara menyeluruh hingga menimbulkan gelombang ketidakpuasan.

Islam sejatinya memiliki sejarah panjang di Aljazair. Agama ini telah berkembang sejak masa Khilafah Bani Umayyah (682 M). Dari Tunisia, tentara Islam melakukan dakwah dan jihad, sekaligus membebaskan rakyat Maroko, Aljazair, dan Libya dari kekuasaan Romawi.

Setelah itu, Islam tumbuh subur di kawasan Afrika Utara. Warga Muslim di kawasan itu akhirnya turut mendukung gerakan tentara Islam saat mengalahkan Spanyol.

Tapi, seiring memudarnya masa kegemilangan Islam, sebagian kawasan Islam berangsur dikuasai imperialis Barat. Aljazair sendiri akhirnya menjadi jajahan Prancis.

Perlawanan umat Muslim berkobar. Hingga pada 1962, negara ini meraih kemerdekaan, akan tetapi ketergantungan kepada Prancis nyatanya masih sangat besar.

Sistem republik diberlakukan dalam pemerintahan negara. Meski begitu, hanya ada satu partai, yakni FLN yang sekular, serta mendominasi aspek perpolitikan.

Dalam perkembangannya, pemerintah dianggap gagal menjalankan fungsinya terutama dalam bidang ekonomi. Data menyebutkan bahwa 50 persen penduduk Aljazair usia produktif adalah pengangguran.

Utang luar negeri menjadi andalan mengatasi krisis. Namun, langkah ini kurang berhasil, namun justru menguras pendapatan negara dari hasil penjualan minyak serta gas.

Akhir 1980-an, mengutip dari situs heritage.com, gejolak terjadi di mana-mana. Dalam situasi carut-marut, muncul keinginan dari sebagian kalangan untuk kembali menerapkan sistem Islam, yang lantas disambut secara luas.

Presiden Chadli Benjedid tidak menyangka reaksi dari masyarakat kian membesar. Dia pun berjanji melakukan reformasi, antara lain, menawarkan sistem multipartai, dan pemilu yang demokratis.

Kelompok gerakan Islam mengambil peluang ini dengan mendirikan sejumlah partai baru, salah satunya FIS (Front Islamique du Salut/Front Pembebasan Islam). Dan hasilnya sangat mengejutkan, FIS menang dalam pemilu multipartai pertama negara tersebut.

Umat Islam menyambut penuh sukacita. Sebaliknya, pemerintah dan kalangan Barat merasa khawatir kemenangan itu bisa meruntuhkan tatanan sistem sekuler dan demokrasi di Aljazair serta di kawasan.

Militer pun campur tangan untuk mencegah kemenangan FIS. Presiden Benjedid diturunkan, selanjutnya dibentuk Dewan Negara. Hasil pemilu dibatalkan, sehingga kembali memicu perlawanan

Sumber : Newsroom Republika

Tuesday, February 16, 2010

Peta MaQam Di Kaherah , Mesir

Mesir terkenal dengan jolokan "Bumi Anbiya" kerana mempunyai keistimewaannya yang tersendiri.Kesenian Islamnya yang hebat serta unik dan kesan-kesan peninggalan para Nabi AS dan Aulia Solihin.Antara maqam-maqamnya seperti berikut : -

MASJID DAN MAQAM WALI-WALI ALLAH DLL.

KAHERAH

SAIDINA HUSAIN

(01) MASJID AL AZHAR AS SYARIF
(02) MASJID DAN MAQAM SAIDINA HUSAIN BIN ALI
(03) SIDI AHMAD DARDIR
(04) SIDI BADARUDDIN AL AINA
(05) SIDI AHMAD MUHAMMAD AL QASTOLANI
(06) SIDI ABDULLAH ABIL MAJID
(07) SAIDAH FATIMAH AMUL QULAM
(08) SAIDAH FATIMAH BT HUSAIN
(09) SAIDAH FATIMAH NABAWIYAH DLL.


DIRASAH

(01) SIDI SOLEH JAAFARI
(02) SIDI ZAKI IBRAHIM DAN AHKI KELUARGA BELIAU
DI MASJID ASIRAH MUHAMMADIYAH
(03) SIDI MUHAMMAD AMIN AL KURDI
(04) SIDI SYUBRAWI ( PENGASAS TARIKAT SAZALIAH SYUBRAWIAH )
(05) MASJID DAN MAQAM SULTAN BARQUQ,ISTERI DAN ANAK BAGINDA
(06) MASJID DAN MAQAM SULTAN ASYRAF QITBAY (ADA KESAN TAPAK KAKI NABI)

BASATIN

(01) SAIDAH AISYAH BT SIDI JAAFAR AS SADIQ
(02) IMAM WAKI'
(03) IMAM MUHAMMAD B.IDRIS AS SYAFEI
(04) SIDI ABU YAHYA ZAKARIA AL ANSARI
(05) SIDI MUHAMMAD ABDULLAH AL HAKAM
(06) SIDI IMAM LAITH B. SAAD
(07) SIDI SYUIB B. LAITH
(08) SIDI UQBAH B. AMIR
(09) SIDI ZIN NUN AL MISRI
(10) SIDI ABU ZAR AL GHIFARI
(11) SIDI MUHAMMAD HANAFIAH
(12) SAIDAH RABIATUL ADAWIYAH
(13) SAIDAH FATIMAH AL AINA
(14) SIDI ABU ABBAS AD DANDARAWI DAN AHLI KELUARGA BELIAU
(15)SIDI IMAM ABDUL RAHMAN JALALUDDIN AS SAYUTI DLL.

JABAL MUQATAM / BUKIT MUQATAM

(01) SIDI ABDULLAH B.ABI JAMRAH
(02) SIDI ASRAF AL HUSAINI (WALI KECIL)
(03) SIDI IBNU ATO'ILLAH AS SAKANDARI
(04) SIDI KAMALUDDIN AL HUMMAM
(05) TEMPAT KHALWAT SAIDAH NAFISAH
(06) SIDI TAQIYUDDIN IBNU DAQIQ
(07) SIDI WAFA'I (ADA LEBIH DARI 17 BUAH MAQAM WALI DALAM MASJID BELIAU)
(08) SIDI ABU SAUD ABIL ASYA'IR
(09) SIDI UMAR AL FARIDI
(10) SIDI IMAM MUHAMMAD AS SYATIBI DLL.

SAIDAH NAFISAH

(01) MASJID MAQAM SAIDAH NAFISAH DAN KHADAM BELIAU
(02) MASJID DAN MAQAM SAIDAH ROKAIYAH
(03) SAIDAH ATIQAH
(04) SAIDAH JAAFAR
(05) SIDI IBNU SIRIN
(06) SAIDAH SAKINAH DLL.

SAIDAH ZAINAB

(01) MASJID DAN MAQAM SAIDAH ZAINAB BT SAIDINA ALI
(02) SIDI ABDUL RAHMAN AL IDRUS
(03) SIDI MUHAMMAD ATRISH ABIL MAJID
(04) SIDI ALI ZAINAL ABIDIN
(05) MASJID SULTAN IBNU TOLUN DLL.

HAIYU HANAFI

(01) MASJID DAN MAQAM SIDI SULTAN SAMSUDIN AL HANAFI DAN MENANTU BELIAU
(02) SIDI MUHAMMAD AZAIMIYAH
(03) SIDI BUNYAMMIN DLL.

MEDAN IMAM REFAI'

(01) MASJID IMAM REFAI'DAN MAQAM ANAK IMAM REFAI'
(02) MASJID SULTAN HASAN DAN ANAK BAGINDA ( MASJID EMPAT MAZHAB )

MASJID AMRU AL AS

(01) MASJID SAIDINA AMRU AL ASS
(02) MAQAM SIDI ABDULLAH B. AMRU AL AS

AT TUNSI

(01) SIDI MUHAMMAD ABUL MAWAHIB AT TUNISI
(02) SIDI FAKRUL RAZI
(03) SIDI AHMAD B. ABDUL RAHMAN AL BANNA AS SA'ATI
(04) IMAM HASSAN AL BANNA

ATA'BAH / MEDAN GESYH

(01) SIDI IMAM AS SYA'RANI
(02) SIDI SYIHABUDDIN AL RAMLI (SYAFEI KECIL / SYAFEI SYOGIR )
(03) SIDI SYAMSUDDIN B. MUHAMMAD AL RAMLI DAN KHADAM BELIAU DLL.

MEDAN ABU ILLA'

(01)SIDI HUSAIN ABU ILAA"
(02) WALI DIAM DLL.

p/s : Peta berwarna hijau lebih sesuai bagi mereka yang ingin menjejakinya dengan berjalan kaki manakala peta berwarna hitam lebih sesuai bagi mereka yang berkenderaan pada pandangan saya.

Asas Tasawuf Dari al-Futuhat al-Ilahiyyah

Dicatat oleh al-'Abd al-Da'if (SAWANIH WA KHAWATIR )

Kitab al-Futuhat al-Ilahiyyah adalah susunan Syeikh Ahmad bin Muhammad bin 'Ajibah al-Hasani (m.1224H), seorang ulama tasawuf terkenal dari Maghribi. Kitab ini merupakan syarah kepada nazam al-Mabahith al-Asliyyah gubahan Syeikh Ibn al-Banna al-Sarqusti. Antara faedah yang saya kutipkan dari kitab tersebut ialah petikan-petikan berikut:
Halaman (56):

Terjemahan:

Fokus ilmu tasawuf: Zat yang Maha Tinggi, kerana ia membahaskan-Nya dari sudut mengenali-Nya, sama ada dari segi zat, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, dan juga sama ada berbentuk pergantungan, penerapan sifat serta pentahkikan terhadap zat-Nya.
Pengasasnya : Rasulullah SAW melalui wahyu dan juga ilham.
Objektifnya: Tawajjuh yang benar kepada Allah Taala ke arah yang diredhai-Nya dengan apa yang diredhai-Nya.
Sumber asalnya : al-Quran, al-Sunnah, ilham orang-orang soleh dan juga futuhat orang-orang arif.
Namanya : Tasawuf.
Hasilnya: Menyucikan batin melalui cara pengosongan dan juga penerapan, yang bersedia bagi menerima limpahan cahaya-cahaya Ilahiyyah dan futuhat Rabbaniyyah.


Halaman (350):

Terjemahan:

Usul tasawuf itu lima:

1.Taqwa kepada Allah dalam keadaan bersendiri dan juga bersama-sama orang lain.
2. Mengikut sunnah pada pertuturan dan juga perbuatan.
3. Berpaling daripada makhluk dalam keadaan dirai dan juga disisih.
4. Redha terhadap Allah pada yang sedikit dan juga pada yang banyak.
5. Kembali kepada Allah dalam keadaan senang dan juga susah

Bukan Foto Makam Nabi صلى الله عليه وسلم?

Dicatat oleh al-'Abd al-Da'if (SAWANIH WA KHAWATIR )

Foto berikut banyak tersebar di internet yang dianggap sebagai kubur Rasulullah SAW. Malah ditulis dibawahnya yang bermaksud: "Ini adalah apa yang tidak dapat disaksikan kecuali 0.1% dari kalangan orang Islam sekitar seluruh dunia. Ini adalah kubur semulia-mulia makhluk Muhammad SAW dari bahagian dalam".

Namun, benarkah demikian? Penyelia am laman forum al-Hiwar al-Islami menyatakan bahawa ia sebenarnya adalah kubur Syeikh Jalaluddin al-Rumi di Turki yang meninggal dunia pada tahun 672H (rujuk sini). Beliau adalah seorang ahli sufi yang masyhur dengan dewan besarnya al-Mathnawi yang terdiri daripada 25,649 bait syair. Foto-foto di bawah adalah sudut pandangan lain bagi kubur tersebut supaya dapat dijadikan perbandingan

Dikatakan, bentuk bangunan yang berada di sisi makam dalam foto di atas sekali memiliki tiang yang sama dengan tiang-tiang masjid yang lama, sedangkan semenjak abad ke-7 H lagi, iaitu pada masa Khalifah Walid bin 'Abdul Malik, Khalifah Bani Umayyah di sekitar kubur Nabi SAW telah disekat dengan dinding besi dan tidak ada jalan untuk menuju masuk ke dalam. Dalam foto di atas, tidak ada pagar besi tersebut. Juga dikatakan, kuburan Nabi SAW adalah rata dengan tanah, sementara binaan kubur yang terlihat di dalam gambar lebih tinggi dari lantai sekitarnya.

Jika benar kenyataan ini, maka tidak sewajarnya gambar kubur tersebut disebarkan lagi dengan dakwaan bahawa ianya sebagai makam Rasulullah SAW. Malah kenyataan tersebut ada benarnya kerana gambar berkenaan tersebar tanpa diketahui dari mana sumber asalnya. Siapakah yang mengambilnya? Bila ia diambil dan apakah cerita di sebaliknya? Siapakah yang mula-mula mendakwa demikian? Bagaimana ia tersebar? dan lain-lain persoalan. Justeru, persoalan-persoalan yang tidak terjawab ini menjadikan kenyataan di atas tadi ada logik dan signifikannya. Maka tidak harus lagi kita menyebarkannya sebagai makam Rasulullah SAW.








Festival of Sufi Culture - 17-24 April 2010

Once again, Faouzi Skali has pulled out all the stops to make this year's Festival of Sufi Culture a magnificent event, with interesting topics of discussion and concerts in sublime surroundings such as the Bouanania Medersa and the Batha Museum gardens.
The Festival runs from 17-24 April and has the theme Mystery and Poetry. It will feature presentations, discussions and round tables on subjects such as spirituality and social change, soul therapy, the poetry of Ibn Arabi and the ancient Sufi manuscripts held at the Qaraouiyine Library and in Timbuctu, Mali. Thursday 22 April is Earth Day, when ecology will be highlighted.


Here's the full programme:

Saturday 17 April

10h00-noon Introductory Address at the Qaraouiyine Library: What is Sufism? by Faouzi Skali


Address: The Kingdom of Saints by Zakia Zouanat, anthopologist, writer, Sufi specialist (Morocco)

Address: The Sufi manuscripts of the Qaraouiyine by Abdellah el Ouazzani, university lecturer, author and presenter of TV programme for 2M on Islamic news (Morocco)


16h00-18h00: Round table discussion at the Batha Museum: Poetry for Civilisation

Presentation: Bensalem Himmich, Minister of Culture (Morocco)

Edgar Morin, sociologist, philosopher, emeritus director of research at CNRS (France)

Bariza Khiari, socialist senator (France)

Nahal Tajddod, Iranian team member at CNRS and author of several history books (Iran/France)

Jean Claude Carrière, writer, scriptwriter (France)

Mohammed Barrada, former minister of finance and Moroccan ambassador to France, professor of economics (Morocco)


21h00 Concert at Batha Museum: Shaykh Habboush and Jalal Eddeine Weiss Ecstatic Song (Syria, France)





Sunday 18 April

10h00-12h00 Round table at the Batha Museum: Reconsidering development

Assia Bensalah Alaoui, itinerant ambassador for Morocco, professor of public law (Morocco)

Patrick Viveret, advisor in national accountability, philosopher, essayist (France)

Majid Rahnema, writer, lecturer at American University in Paris (France/Iran)

Katherine Marshall, professor at Georgetown University, advisor to the World Bank (US)

Alia Al Dalli, resident representative of the PNUD in Morocco (Iraq)

Mats Karlsson, director of the Maghreb, North African and Middle Eastern desk at the World Bank (Sweden)


16h00-18h00 at the Batha Museum

1st part: Nahal Tajddod and Jean Claude Carrière: La conférence des oiseaux by Farid Eddin Attar (France/Iran)

2nd part: Karima Skalli and Said Chraibi: Homage to Abu al Hassan Ash Shusturi


21h00 Concert at Batha Musseum: The Chishty Sufi Sama Ensemble Shahi Qawwals from Ajmer Dargah Sharif (India)





Monday 19 April

10h00 to noon: Conference at the Batha Museum: Portrait of a Living Saint: Sidi Hamza Al Qadiri Al Boutchichi by Mountasser Hamada, writer and journalist (Morocco) and Faouzi Skali


16h00-18h00 Round table at the Batha Museum: Spirituality and Social Change

Alain Chevillat, director and founder of the Université Terre du Ciel (France)

Yacine Demaison, speaker, educator (France)

Bernard Ginisty, philosopher, former director of Témoignage Chrétien, co-founder of ATTAC (France)

Aoua Ly-tall, sociologist, founding president of African Women's Network (Canada/West Africa)


21h00 Evening of Samaa at the Bouanania Medersa: Hassani songs by the Boutchichiyya Brotherhood of Laâyoune (Morocco)





Tuesday 20 April

10h00-noon Conference at the Batha Museum: Spiritual Chivalry (Futuwwa): A Path for our Times? by Jaafar Kansoussia, intellectual, Sufi specialist (Morocco)


16h00-18h00 Conference at the Batha Museum: The Mystery and Poetry of Ibn Arabi by A. Filali, university professor (Morocco), Cecilia Twinch, speaker in Ibn Arabi Society, Oxford (UK), Ahmed El Kheligh, TV journalist on 2M and Radio Médi 1, Sufi specialist (Morocco) and David Hornsby, member of Ibn Arabi Society, Oxford (UK)


21h00 Evening of Samaa at the Bouanania Medersa:

1st part: Charqawiyya Brotherhood (Morocco)

2nd part: Darqawiyya Brotherhood (Morocco)





Wednesday 21 April

10h00-noon Conference at the Batha Museum: Soul Therapy by Eric Geoffroy, writer on Islam, Sufi specialist (France)


16h00-18h00 Workshop at Batha Museum

1st part: Poetry in a Garden

2nd part: The Savoury Path: nourish the soul, nourish the body by Jeanne Bouguet, gastronome, dietician (France)


21h00 Evening of Samaa at the Bouanania Medersa:

1st part: Alawiyya Brotherhood (Morocco)

2nd part: Wazzania Brotherhood (Morocco)





Thursday 22 April

10h00-noon Conference at the Batha Museum: Earth Day

Ecology: material necessity or a way of living?

Kamal Oudghiri, communication engineer at NASA (Morocco/USA)

Pierre Rabhi, writer, founder of Terre et humanisme (France)

Caroline Chabot, journalist at Actes et Sens (France)

Nicholas Moller, president of the Global Institute for New Energy Technologies GIFNET (Denmark)

Fattouma Benabdenbi, sociologist and founder member of the Association Marocaine pour la Promotion de l'Entrprise Féminine ESPOD (Morocco)

Jean Marie Pelt, renowned ecologist and botanist, president of the European Institute of Ecology since 1972 (France)


16h00-18h00 Conference at the Batha Museum: The Timbuctu Manuscripts

Abdelkader Haïdara, scholar, collector and holder of a private library of manuscripts (Mali)

Abdul Laraw, collector and holder of a private library of manuscripts, specialist in manuscript conservation techniques (Mali)

Souada Maoulainine, speaker, Sufi specialist (Morocco)

Fatima Harrak, director of the Institut des Etudes Africaines (Morocco)

Marie-Odile Delacour, journalist and writer (France)

Jean-René Huleu, journalist (France)


21h00 Concert at the Batha Museum: Haj Mohammed Bennis: Al Munfarija, Samaa of Fez (Morocco)





Friday 23 April

10h00-noon Conference at the Batha Museum: Film and Spirituality: Cinema in the quest for meaning by Nabil Ayouche, film-maker (Morocco)


16h00-18h00: Cultural Café: Art and Spirituality with the participation of Amadou and Mariam (singers from Mali), Setsuko Klossowska de Rola (Japanese painter) and Salamatou Sow (University of Niger)


21h00 Concert at the Batha Museum: Hussain Al Aadhamy: Maqamat du désir divin (Iran/Jordan)





Saturday 24 April

10h00-noon Conference at the Batha Museum: The Quest of Ibn Battouta by Said Taghmaoui, Franco-American actor of Moroccan origin

Love is stronger than Death by Professor H. Joyeux, professor in the medical faculty at Montpellier, founder of the Health, Love and Sexuality conferences, writer (France)

and Fanny Abadi, psychotherapist, founder of the International Centre for Ethical Training and the Association for Humanitarian Ethical Action (France)


16h00-18h00 Round table at the Batha Museum: Islam and the West: traces of light

Mahmoud Hussein, the pseudonym for two authors: Baghgat Elnadi and Adel Rifaat (France/Egypt)

Fatema Mernissi, sociologist and writer (Morocco)

Hassan Abou Ayoub, former government minister, itinerant ambassador (Morocco)

Mustapha Chérif, philosopher, theologian, researcher in human and social sciences (Algeria)

Maati Kabbal, writer and journalist (Morocco)

Abdou Hafidi, politician, professor and presenter of Islam on France 2 (France)

Saad Khiari, writer, involved in many programmes on dialogue between faiths and cultures (France)


21h00 Concert at the Jnan Palace Hotel: Noubas Spirituelles: the great voices of Samaa in Morocco, with Mohammed Briouel


For more information, contact the Association du Festival de Fes de la Culture Soufie at www.festivalculturesoufie.com.

Accommodation in Fez at festival time will be at a premium. If you're planning to attend the festival, check Fez Riads. For homestays with Moroccan families in the medina, see Ziyarates Fes.

Sunday, February 14, 2010

Syair Sufi Burdah Al Bushiri (bag 6)

Kemulian Al-Qur'an dan pujian terhadapnya

Biarkan kusebut beberapa mukjizat yang muncul pada Nabi
Seperti nampaknya api jamuan, malam hari diatas gunung tinggi

Mutiara bertambah indah bila ia tersusun rapi
Jika tak tersusun nilainya tak berkurang sama sekali

Segala pujian itu puncaknya adalah memuji
Sifat dan pekerti mulia yang ada pada Nabi

Ayat ayat Al Qur'an yang diturunkan Allah adalah baharu
Tapi Allah adalah kekal tak kenal waktu

Ayat-ayat yang tak terikat waktu dan kabarkan kita
Tentang hari kiamat, kaum 'Aad dan negeri Irom

Ayat ayat yang selalu bersama kita dan mengungguli
Mukjizat para Nabi yang muncul tapi tak lestari

Penuh kepastian dan tak sisakan bagi para musuh segala keraguan.
Ayat yang tak sedikit pun menyimpang dari kebenaran

Tak satu ayat pun ditentang kecuali musuh terberatnya
Akan kembali kepadanya dengan salam dan beriman

Keindahan sastranya membuat takluk penentangnya
Bak pencemburu membela kehormatan dari tangan pendosa

Baginya makna-makna yang saling menunjang bak ombak lautan
Yang nilai keindahannya melebihi mutiara berkilauan

Keajaibannya banyak dan tak terhingga
Dan keajaiban itu tak satu pun membuat bosan kita

Teduhlah mata pembacanya, lalu kukatakan padanya
Beruntunglah engkau, berpeganglah selalu pada taliNya

Jika kau baca ia karena takut panas neraka Lazha
Padamlah panas neraka Lazha karena kesejukannya

Bagai telaga Kautsar wajah pendosa jadi putih karenanya
Padahal dengan wajah hitam arang mereka datangi ia

la lurus bagai shirath, adil bagai timbangan
Kitab kitab lain takkan selanggeng ia dalam keadilan

Jangan heran pada pendengkinya yang selalu ingkar
Pura-pura bodoh padahal ia cukup paham dan pintar

Bagai orang sakit mata yang pungkiri sinar mentari
Bagai orang sakit yang lezatnya air ia pungkiri
---(ooo)---


Syair Sufi Burdah Al Bushiri (bag 5)

Mukjizat Sang Nabi SAW

Pohon-pohon mendatangi seruannya dengan ketundukkan
Berjalan dengan batangnya dengan lurus dan sopan

Seakan batangnya torehkan sebuah tulisan
Tulisan yang indah di tengah-tengah jalan

Seperti juga awan gemawan yang mengikuti Nabi
Berjalan melindunginya dari sengatan panas siang hari

Aku bersumpah demi Allah pencipta rembulan
Sungguh hati Nabi bagai bulan dalam keterbelahan

Gua Tsur penuh kebaikan dan kemuliaan. Sebab Nabi
dan Abu Bakar di dalamnya, kaum kafir tak lihat mereka

Nabi dan Abu Bakar Shiddiq aman didalamnya tak cedera
Kaum kafir mengatakan tak seorang pun didalam gua

Mereka mengira merpati takkan berputar diatasnya
Dan laba laba takkan buat sarang jika Nabi didalamnya

Perlindungan Allah tak memerlukan berlapis baju besi
Juga tidak memerlukan benteng yang kokoh dan tinggi

Tiada satu pun menyakiti diriku, lalu kumohon bantuan Nabi
Niscaya kudapat pertolongannya tanpa sedikit pun disakiti

Tidaklah kucari kekayaan dunia akhirat dari kemurahannya
Melainkan kuperoleh sebaikbaik pemberiannya

Janganlah kau pungkiri wahyu yang diraihnya lewat mimpi
Karena hatinya tetap terjaga meski dua matanya tidur terlena

Demikian itu tatkala sampai masa kenabiannya
Karenanya tidaklah diingkari masa mengalami mimpinya

Maha suci Allah, wahyu tidaklah bisa dicari
Dan tidaklah seorang Nabi dalam berita gaibnya dicurigai

Kerap sentuhannya sembuhkan penyakit
Dan lepaskan orang yang berhajat dari temali kegilaan

Doanya menyuburkan tahun kekeringan dan kelaparan
Bagai titik putih di masa-masa hitam kelam

Dengan awan yang curahkan hujan berlimpah
Atau kau kira itu air yang mengalir dari laut atau lembah
---(ooo)---


"Beritahukan Kepadaku tentang Iman"

Penjelasan Imam Nawawi Tentang Hadis Jibril
Iman, secara etimologis, berarti kepastian atau keyakinan. Adapun secara istilah berarti suatu pernyataan atas kepastian tentang kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, Hari Akhir dan terhadap segala yang ditakdirkan baik kebaikan atau pun keburukan. Islam adalah suatu kata yang bermakna pelaksanaan atas kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Keduanya ini adalah tindakan lahir yang harus diusahakan sekuat tenaga untuk dilaksanakan oleh seseorang.

Allah Swt. membedakan iman (percaya) dengan islam (ketundukkan) dan hal ini pun disebutkan di dalam hadis ini. Ia berfirman, “Orang-orang Arab itu mengatakan, ‘Kami beriman.’ Katakanlah, ‘Kalian tidaklah beriman, tapi katakanlah, Kami tunduk’” (Q.S. al-Hujurât [49]: 14). Hal ini dikarenakan orang-orang munafik itu melaksanakan salat, puasa, zakat padahal mereka mengingkari semuanya itu di dalam hatinya. Tatkala mereka mengaku beriman, Allah menyatakan bahwa pengakuan mereka itu bohong belaka karena hati mereka yang mengingkarinya. Meskipun demikian Allah menguatkan pengakuan mereka akan ketundukkan mereka, karena mereka melaksanakan semua kewajiban yang dibebankan atas mereka.

Allah berfirman, “Apabila orang-orang munafik itu datang kepadamu dan mengatakan ‘Kami bersaksi bahwa engkau sesungguhnya utusan Allah,’ Allah lebih tahu daripada mereka bahwa engkau sesungguhnyalah utusan-Nya, dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu adalah pendusta” (Q.S. al-Munâfiqûn [63]: 1). Mereka adalah pendusta dalam pernyataannya bahwa mereka bersaksi atas risalah itu padahal hatinya mengingkarinya. Kata-kata yang keluar dari mulut-mulut mereka tidak selaras dengan isi hati mereka, padahal syarat dari bersaksi atas risalah itu adalah bahwa lidah menegaskan isi hati. Ketika mereka berbohong dalam pernyataannya, maka Allah mengungkapkan kebohongan mereka itu.

Karena percaya atau iman juga merupakan sebuah syarat atas ketundukkan atau islam, Allah Swt. membedakan antara orang yang tunduk (muslim) dengan orang yang percaya (mukmin) dengan firmannya, “Aku keluarkan orang-orang yang percaya (mu’minîn) yang tinggal di dalamnya dan tak ditemukan satu pun yang tertinggal di sana kecuali satu rumah tempat berdiamnya orang-orang yang tunduk” (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 35-36). Pembedaan ini menghubungkan iman dengan islam dalam keberadaannya sebagai syarat dan pemenuhannya.

Terakhir, Allah menamakan salat juga sebagai iman dalam firman-Nya, “Bukanlah maksud Allah hendak menjadikan imanmu itu sia-sia” (Q.S. al-Baqarah [2]: 143) dan “Kamu tidak mengetahui apakah Alkitab itu, juga apakah iman itu (Q.S. al-Syûra [42]: 52). Yang Allah maksudkan dengan iman dalam kedua ayat ini adalah salat.


Penyakit Hati- Kesejahteraan Hati, Hâkim al-Tirmidzi (w. 320H)

Tentang Kesejahteraan Hati dan Obatnya, dan Kerusakan Hati dan Penyakitnya

Kesejahteraan hati terletak dalam kesedihan dan kecamasan, dan obatnya adalah mengingat Allah Swt. (zikir) terus menerus. Rusaknya hati akibat dari kesenangan duniawi dan rasa puas terhadap keadaan (ahwâl) ego, dan sakitnya hati adalah jauh dari mengingat Allah dan berpaling pada apa yang mengganggu dari mengingat-Nya.

Kesenangan duniawi adalah untuk ego sebagaimana halnya air untuk ikan. Kehidupan ikan adalah di dalam air dan apabila ia tinggal di daratan ia tidak akan hidup. Demikian juga apabila ego dijauhkan dari kesenangan dunia, ia akan layu dan lemah, kekuatannya akan menurun, aktifitasnya akan hilang dan lenyap—karena kesedihan membunuh kehidupannya—sampai sang hati membersih diri dari apa saja yang bersarang di dalamnya dan noda-noda yang mengikutinya.

Apabila hati mencapai Allah Swt., Dia akan memberinya kehidupan. Apabila Dia memberi kehidupan pada hati, sang ego akan mengalami kehidupan hati dengan cahaya penerang dari Allah Yang Mahatinggi. Sebelumnya, hati dimatikan dengan kesenangan-kesenangan ego; tatkala pemiliknya menjinakkan ego dan mengharamkan segala kesenangan ini, Tuhan berterimakasih padanya, karena ia telah berperang demi Allah dengan segala kekuatannya, dan karena itulah Allah menunjukkan jalan untuknya seperti yang Dia janjikan dalam firman-Nya: “Mereka yang berjuang di jalan-Ku, Sungguh akan Aku tunjukkan kepada mereka jalan-jalan-Ku” (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69).

Apabila pintu telah dibukakan kepadanya ia melanjutkan dengan hatinya di jalan Allah Yang Mahakuasa. Maka datanglah balasan yang mengganti biaya perjalanannya sampai ia mencapai Allah, Yang menghidupkannya kembali dengan cahaya-Nya dalam kedekatan dengan-Nya, dan jadilah ia salah seorang dari Mereka Yang Didekatkan (muqarrabîn). Pada titik inilah ia mendapatkan kesenangan dalam Allah setelah pernah mengalami kesenangan di dalam dunia dan dalam ego dan keadaan-keadaannya yang berbeda-beda. Ia telah memperoleh kemuliaan di hadapan Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung.
Sedangkan bagi orang yang tidak meneruskan zikir (ingat) kepada Allah, hatinya akan mengeras, karena zikir merupakan rahmat dari Allah Swt., yang telah Dia janjikan kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya: “Ingatlah kepada-Ku dan Aku akan ingat kepadamu” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152). Apabila rahmat datang, hati menjadi lembut dan halus, dan panasnya ego akan lenyap dan ia menjadi tertarik dengan rahmat yang muncul di dalam hati. Hati kehilangan kekerasan dan kekasarannya.
Sekarang hati dan ego jadi kawan seiring di dalam tubuh. Kekuatan hati terletak di dalam pengetahuan batin (makrifat), akal, pengetahuan lahir (ilmu), pemahaman, intelek (dhihn), inteligensia (fitrah), ingatan (hafz), dan kehidupan dalam Allah. Kebahagiaan dalam semua hal ini memotivasi hati, menguatkannya dan memberinya kehidupan.
Kekuatan ego datang dari kesenangan dan kebahagiaan materi, daya tarik seksual, kehormatan dan kekuasaan dan pangkat yang tinggi, serta pemenuhan setiap keinginan yang terus bertambah. Kebahagiaan dalam hal-hal semacam ini memotivasi ego dan menguatkannya. Semuanya merupakan balatentara dari nafsu yang rendah, karena nafsu rendahlah yang mengatur egonya. Sedangkan yang mengatur hati adalah pengetahuan batin, sedangkan hal-hal lain yang telah kami sebutkan merupakan tentara-tentaranya.
Tatkala ego tumbuh subur dan kesenangannya hidup berkembang, ego akan menguasai hati. Pada saat demikian kehidupan hati menjadi padam bersama dengan padamnya hal-hal yang membuat hati menjadi hidup. Kebahagiaannya menjadi duniawi. Akan tetapi tatkala ego dijauhkan dari segala kesenangan-kesenangan ini dan kepuasan seksual, maka ia akan layu dan lemah cengkeramannya, iapun melemah dan berkurang hingga lenyap, sementara kecemasan dan kesedihan akan bertumpuk dan terpusat di dalamnya. Karena kecemasan yang disebabkan oleh penolakan dan penjauhan atas duniawi itu, ego akan kehilangan kekuatannya, dan hati mendapatkan kekuatan melalui hal-hal yang telah kami sebutkan.
Kebahagiaan hati di dalam Allah menjadi tampak, dan oleh karena itulah mengapa Allah berfirman: “Katakanlah: dengan karunia dan rahmat Allah—maka hendaklah mereka bergembira: Hal itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (Q.S. Yunus [10]: 58).
Diriwayatkan juga bahwa Nabi saw. bersabda:
Ego manusia itu adalah api yang berkobar bahkan di ujung leher yang sudah tua, kecuali untuk mereka yang hatinya telah diuji oleh Allah dengan ketakwaan, dan mereka itu sungguh sedikit.91

Diceriterakan dari Anas ibn Malik, semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi saw. bersabda:
Bahkan ketika manusia sudah menjadi tua dan beruban, dua hal yang tetap muda di dalam diri mereka: ketamakan pada uang dan nafsu pada kehidupan.

Nabi saw. oleh karena itu mendesak kita agar mengingat kematian, sebagaimana beliau bersabda: “Ingatlah pada penghancur kesenangan. Semakin sering diingat kekuatannya akan berkurang; semakin jarang diingat kekuatannya akan bertambah.

Diriwayatkan dengan sanad yang bersumber dari Abu Hurairah. Maknanya adalah bahwa apabila kamu mengingat kematian kamu akan sadar bahwa bagianmu adalah tidak memiliki apa pun, dan bahwa kamupun menghadapi kematian pada akhirnya. Apabila kamu ingat pada yang terakhir ini, kematian akan menjadi sesuatu yang mudah bagimu, dan apabila kamu ingat pada yang pertama, kamu akan sadar bahwa walau sedikit saja yang dimiliki oleh seseorang di dunia maka itupun terlalu banyak. Karena seseorang tidaklah tahu entah kapan, secara cepat, tiba-tiba maut datang menjemput. Karena itu, kematian adalah “penghancur kesenangan.” Dengan mengingat kehancurannya maka akan menyingkirkan kegembiraan palsu dan menggantinya dengan kemurungan dan kesedihan.
Kini menjadi jelaslah bahwa ada dua jenis kegembiraan: kegembiraan hati di dalam Allah, dalam kebaikan-Nya, dalam rahmat-Nya, dan kegembiraan ego dalam berbagai kesenangan. Siapapun yang sungguh-sungguh ingin mencapai Allah yang Mahatinggi mestilah hati-hati terhadap segala hal yang dinikmati oleh ego, baik dalam urusan keagamaan atau pun dalam urusan keduniaan. Kemudian ia harus mencegah egonya dari kegembiraan semacam itu, sehingga menjadi lemah dan mati karena duka cita.

Karena ketika seseorang mencegah egonya dari menikmati kesenangan duniawi dan, pada sisi lain, memperturutkannya dengan kesenangan melalui agama, seperti dalam bentuk amal baik dan wirid-wirid, ego akan tetap senang, karena itu akan tetap hidup dan baik. Alasannya adalah, nafsu rendah orang tersebut masih terus merupakan bagian dari setiap perbuatan baiknya. Dengan semua usahanya ini, ia masih tetap sebagai orang yang bingung dan berdosa. Apabila ia menghentikan usahanya, kotoran-kotorannya pasti akan tetap ada bersamanya, dan ia tidak akan pernah mencapai Allah yang Mahatinggi melalui kesalahan dan nafsu rendah. Itulah sebabnya mengapa Allah berfirman: “Berjuanglah kamu di jalan Allah dengan sepenuh kekuatanmu” (Q.S. al-Hâjj [22]: 78). “Sepenuh kekuatan” seseorang bermakna memberantas segala kenikmatan ego apakah dalam urusan agama atau duniawi. Karena seseorang dapat menemukan kebahagiaan dalam setiap perbuatan baiknya, dan karena nafsu masih merupakan bagian dari setiap hal, maka jelaslah bahwa tindakan semacam itu tidak murni karena Allah. Karena itu menjadi wajib untuk beralih ke suatu tindakan lain yang akan menyingkirkan kesenangan sang ego.

Apabila seseorang melakukan hal tersebut sampai sepenuh kekuatan kemampuannya, Allah Swt. akan berterima kasih kepadanya di dunia ini, dan orang yang diterimakasihi oleh Allah akan dibukakan hatinya oleh Allah untuk mendapatkan cahayanya. Apabila cahaya tersebut masuk ke dalam hatinya, maka egopun akan menemukan dalam augerah semacam ini apa yang tidak didapatkan sebelumnya, ketika ia masih diganggu oleh kebahagiaan dan kesenangan duniawi.

Maka muncullah kebutuhan untuk menjaga ego agar tidak mulai lagi mengambil dari karunia ini kenikmatan yang akan memerangkap dan membunuh pemilik ego. Karena apabila ego menemukan kenikmatan dalam karunia dari Allah ini, ia akan menjadi makmur dan bersuka ria setelah ia melayu dan merana, dan di sanalah terletak bahayanya yang paling besar. Yaitu tatkala mayoritas dari penempuh jalan menuju Allah jatuh menjadi mangsa penghianatan ego. Bab ini mencakup jawaban-jawaban secara ringkas atas seribu pertanyaan yang merupakan akibat wajar dan sub bagian dari persoalan ini


Hasan al-Bashri

Perjalanan singkat seorang sufi
Hasan al-Bashri adalah salah seorang tokoh sufi awal baik dalam arti umum atau pun dalam arti harfiahnya, karena ia selalu mengenakan jubah dari bulu domba (shûf) sepanjang hidupnya. Sebagai putra dari perempuan yang dimerdekakan (dari Ummu Salamah, isteri Nabi saw.) dan laki-laki yang dimerdekakan (dari Zaid Ibn Tsabit, putra angkat Nabi saw.), Imam Besar dari Bashrah ini adalah seorang pemimpin para wali dan ulama pada masanya. Beliau sangat dikenal luas karena pengejawantahannya yang menyeluruh dan ketat terhadap sunah Nabi saw.. Beliau juga terkenal karena pengetahuannya yang luas, kesederhanaan dan kezuhudannya, protesnya yang berani terhadap penguasa, dan daya tariknya baik dalam perkataan atau penampilannya.

Ibnu al-Jauzi menulis sebuah buku setebal seratus halaman tentang kehidupan dan kebiasaannya dengan judul Adab al-Syaikh al-Hasan Ibn Abil-Hasan al-Bashri. Ia menyebutkan sebuah riwayat bahwa, tatkala wafat, al-Hasan meninggalkan sebuah jubah wol putih yang telah ia pakai sendiri selama dua puluh tahun, baik di musim dingin atau di musim panas. Jubah tersebut masih dalam keadaan bagus, bersih, rapi dan tak ada kotoran.1

Dalam sebuah buku yang khusus mencatat perbuatan-perbuatan kaum sufi, Ibn Qayyîm meriwayatkan:
Sekelompok perempuan keluar pada hari `id dan berusaha melihat orang-orang. Mereka ditanyai, “Siapakah orang paling elok yang kalian lihat pada hari ini?” Mereka menjawab, “Itu syekh yang mengenakan turban hitam.” Yang mereka maksudkan adalah Hasan al-Bashri.

Hafiz hadis Abu Nuaim al-Isfahani (w. 430H) menyebutkan bahwa murid al-Hasan, yaitu Abdul Wahid Ibn Zaid (w. 177H), adalah orang pertama yang membangun khâniqa sufi, atau rumah singgah sekaligus tempat belajar di Abadan di perbatasan Iran dan Iraq di masa sekarang.

Atas dasar kemasyhuran Hasan al-Bashri dan murid-muridnya sebagai sufi, Ibn Taimiyyah menyatakan, “Tempat asal mula tasawuf adalah Bashrah.”4 Pernyataan tersebut tidaklah tepat. Lebih tepatnya, Bashrah menonjol di antara kemasyhuran tempat-tempat perkembangan formal mazhab-mazhab penyucian diri yang kemudian dikenal sebagai tasawuf, dan yang prinsip-prinsipnya tidak lain bersumber dari Alquran dan Sunah, sebagaimana telah ditunjukkan secara panjang lebar sebelumnya.

Al-Ghazâlî meriwayatkan kata-kata dari al-Hasan tentang Jihâd al-nafs bahwa Hasan al-Bashri mengatakan:

Dua fikiran berkecamuk di dalam jiwa, satu dari Allah dan satu dari musuh. Allah menunjukkan rahmatnya kepada seorang hamba yang tetap dengan fikiran yang datang dari-Nya. Ia memelihara fikiran yang datang dari Allah, seraya berjuang melawan fikiran yang datang dari musuh. Untuk menggambarkan tarik-menarik antara dua kekuatan ini di dalam hati, Nabi saw. bersabda, “Hati seorang mukmin berada di antara dua jari Yang Maha Pengasih (al-Rahmân)”6 . . .
Kedua jari tangan tersebut membiarkan gejolak dan ketidakpastian di dalam hati . . .

Apabila seseorang mengikuti dorongan kemarahan dan kesenangan, dominasi setan muncul di dalam dirinya melalui nafsu rendahnya dan hatinya menjadi tempat bersarang dan bersemayamnya setan, yang terus menerus memasok tuntutan hawa nafsunya. Apabila ia berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak membiarkan mereka menguasai diri (nafs)-nya, maka berarti ia sedang meniru sifat-sifat malaikat. Pada saat ini, hatinya menjadi tempat yang menyenangkan bagi para malaikat dan mereka akan berhamburan datang ke sana.

Gambaran mengenai betapa tingginya ketakwaan dan kewarakkan Hasan al-Bashri disampaikan oleh pernyataannya berikut, yang juga dikutip oleh al-Ghazâlî:
Kelalaian dan harapan adalah dua berkah Allah yang diberikan kepada anak-cucu Adam; akan tetapi untuk keduanya kaum Muslim tidak akan berjalan di jalan raya.7

Thursday, February 11, 2010

Sunday, February 7, 2010

Rabu Wekasan (safar)

Seorang `ulama besar, Imam Abdul Hamiid Quds, mufti dan imam Masjidil Haram Makkah pada awal abad 20 dalam bukunya “Kanzun Najah was-Suraar fi Fadail al-Azmina wasy-Syuhaar” mengatakan, “Banyak Awliya Allah yang mempunyai Pengetahuan Spiritual telah menandai bahwa setiap tahun, 320 ribu penderitaan (Baliyyat) jatuh ke bumi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.” Hari ini dianggap sebagai hari yang sangat berat dibandingkan hari-hari lain sepanjang tahun. Beberapa ulama mengatakan bahwa ayat Alquran, “Yawma Nahsin Mustamir” yakni “Hari berlanjutnya pertanda buruk” merujuk pada hari ini.
Untuk melindungi dari kutukan yang jatuh ke bumi pada hari tersebut—Rabu terakhir di bulan Safar—dianjurkan untuk melakukan salat 4 rakaat (Nawafil, sunnah). Setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kawtsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali.
Setelah salat dianjurkan untuk memanjatkan doa memohon perlindungan dari segala kutukan dan bencana yang jatuh ke bumi pada hari tersebut. Doanya adalah sebagai berikut:

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim,
Allaahumma Ya Syadidal Quwa, Wa Ya Syadidal Mihal, Ya Aziiz, Ya Man Zallat li Izzatika Jamii'a Khaliqika, Ikfini min syarri Jamii'i Khaliqika, Ya Muhisinu, Ya Mujmilu, Ya Mutafadh-dhilu, Ya Mun'imu, Ya Mukrimu, Ya man La Ilaha Illa anta Arhamni bi Rahmatika ya Arhama Ar-Rahimiin,
Allahuma bi Sirril Hasani wa akhiihi, wa Jaddihi wa abiihi, wa Ummihi wa Baniihi, Ikfini syarra haazal yawmi wa ma yanzilu fiih,
Ya Kaafi al-muhimmaat, Ya Daafi al-baliyyat, fasa yakfiika humullaahu wa Huwa Samii'ul Aliim, wa Hasbuna Allah wa Ni'mal Wakiil wa la Hawla wala Quwwata illa billa hil Ali'yyil Azhiim.
Wa Shallallahu ala Sayyidina Muhammadin Wa ‘ala Aalihi Wa Shahbihi wa Sallam. Amiin.

Sumber : Muhibbun Naqsybandi