Kata Arab kbusyu' berasal dan kata khasya'a yang artinya takut'. Misalnya, disebutkan dalam Alquran, "Wa-jah-wajah pada hari itu ketakutan (khasyi'ah)" (Q.S. al-Ghasyiyah (88: 2). Kata khasyi'ah berarti hati yang di-penuhi rasa takut; takut kepada Allah Swt. dan takut bila masa hidupnya tak kan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir nanti.
Khusyuk tidak sama dengan konsentrasi, karena konsentrasi lebih pada pikiran. Khusyuk juga bermakna rendah, merunduk, atau tunduk. Orang yang khusyuk dalam shalatnya berari orang yang menyadari sepenuhnya hakikat dan tujuan salatnya. Dan Alquran menyebutkan kata khusyuk tidak hanya berkaitan dengan shalat, tapi juga dengan berbagai aktifitas kehidupan di dunia, misalnya Allah berfirman “Suara-suara itu khusyu dihadapan yang Maha Rahman (Q.S: Thaha [20]: 128). Disini, Tuhan menyatakan bahwa suara-suara itu tunduk dan diam.
Diayat lain Allah berfirman “Seandainya kami turunkan Al Quran diatas gunung, maka engkau akan dapati gunung itu khusyuk .. (Al Hasyr [59]:21). Disini makna khusyuk tidak secara spiritual tapi khusyuk secara lahiriah, yakni gunung itu menjadi diam, tunduk dan runduk dihadapan Tuhan.
Dua Jenis Hati: 'Isyqi dan Khawfi
Khusyuk berkaitan erat dengan hati. Menurut para sufi, untuk meraih hati yang khusyuk, pertama-tama harus melewati ilmu. Dalam konteks ini, kita harus benar-benar memahami fiingsi hati ketika akan menghadap Allah. Kaitannya dengan khusyuk, ada dua jenis kualitas hati: qalb 'isyqi (hati yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi(hati yang takut kepada Allah). Sebagian orang memperoleh kualitas kedua-duanya, sebagian lagi hanya isyqi atau khawft saja, dan sebagian besar tidak memiliki kedua-duanya. Hati yang rindu kepada Allah {isyqi) dan hati yang takut kepada-Nya (khawft) ini sebenarnya mengejar salah satu sifat jamaliah dan jalaliah Allah Swt. Kalau jamaliah itu sisi keindahan dan kasih sayang Allah, maka jalaliah adalah keperkasaan dan keagungan Allah.
Hati yang penuh kerinduan (qalb 'isyqi) mengejar keindahan Allah (Jamaliah). la merindukan untuk melakukan kebaikan, karena Allah Mahabaik. Rindu tidak akan diperoleh tanpa ada cinta. Maka dalam tasawuf ada yang dikenal dengan mazhab cinta. Mereka beribadah dengan cinta, menghampiri Allah melalaui pintu kasih-Nya. Bagaimana mengembangkan rasa rindu kepada Allah? Belajar mencintai Allah dan mencintai segala sesuatu yang ber-hubungan dengan-Nya!
Cinta kepada Allah memiliki beberapa tingkatan. Menurut Ibn 'Arabi, cinta ada tiga macam: cinta natural, cinta supranatural, dan cinta ilahi. Cinta natural tidak hanya dimiliki manusia. Hewan pun memilikinya. Cinta ini seperti cinta kita terhadap orang yang berbuat baik kepada kita. Cirinya bersifat sangat subjektif, karena kita mementing diri kita sendiri. Kita pun mencintai Allah karena Dia limpahkan rezekinya kepada kita. Bukankah seekor anjing mencintai tuannya lantaran setiap hari si tuan memberi makan dan merawatnya?
Cinta spiritual tidak dimiliki hewan tapi hanya oleh manusia. Orang yang mencintai dengan cinta ini tidak memikirkan kepentingan dirinya, tetapi kepentingan yang dicintainya. Ini seprti seorang ibu terhadap anaknya yang tanpa pamrih ia tidak pernah mengharap balasan, bahkan rela menderita asal anaknya bahagia. Kita harus mengembangkan cinta seperti ini kepada Allah, harus lebih dari hanya cinta natural. Misalnya Allah menyuruh kita untuk menginfakkan harta kita maka kita melakukannya, bukan untuk mengharap pahala melainkan mendambakan ridha-Nya. Cinta ini tumbuh bersamaan dengan kesadaran betapa banyaknya anugerah Allah yang telah kita terima. Apa pun yang kita lakukan tidak akan sebanding dengan apa yang kita peroleh.
Cinta ilahi lebih dalam lagi. Dengan cinta ini, orang bukan hanya mendahulukan kepentingan objek yang dicintai, tapi tidak lagi melihat dirinya sebagai sesuatu yang ia miliki. Semua dilihat sebagai milik Allah. Karenanya, tidak ada suatu aktivitas pun kecuali yang diinginkan Allah. Menurut Ibn 'Arabi, jenis cinta ketiga ini tidak bisa dibayangkan. Itulah cinta Nabi Muhammad saw. kepada Allah Swt. dan para kekasih-Nya.
Untuk memperoleh kekhusyukan, kita mesti mengembangkan kualitas hati yang penuh kerinduan kepada Allah. Sholat tidak lagi dipandang sebagai sebuah kewajiban, melainkan sarana penjumpaan dengan Allah. Sehingga, waktu shalat adalah saat-saat yang kita rindukan. Rasulullah bahkan menyebut sholat sebagai lahan nyawanya. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “Cahaya mataku adalah sholat (Qurratu ‘aini al sholah)
Diantara ciri-ciri rindu adalah suka “menyendiri” dengan kekasih. Sekali-kali menyediakan waktu untuk berkhalwat-menjaga jarak dari anak dan istri, duduk bertafakur dan berdzikir kepada Allah. Waktu yang paling pas adalah di sepertiga malam terakhir. Maka itu sholat tahajud dianggap sebagai salah satu media yang paling efektif mengangkat manusia menuju Allah. Sebab saat itu dia sendirian (khalwat), hanya berduaan bersama Allah. Imam 'Ali k.w. bermunajat, "Ya Allah, di tengah malam ini, ketika semua orang mencari kekasihnya, ketika istri mencari suaminya, anak-anak bersama ibunya, aku bangun mencari kekasihku yang paling kasih, Engkau Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim."
Kalau seseorang dapat mengembangkan kualitas hati demikian, ia akan meraih kedamaian. Dalam tasawuf di-kenal dengan uns, intimasi (keakraban). Dia akan merasa akrab dengan Allah. Dia akan merasa bahagia yang tak terkira ketika bersama Allah. Tidak hanya itu. Orang yang mencapai maqam ini, doanya dikabulkan oleh Allah. Bahkan dalam hadis qudsi, Allah menyatakan, "... bila ia melihat, Aku menjadi penglihatannya; bila ia mendengar, Aku menjadi pendengarannya; bila ia melangkah, Aku menjadi kakinya. Bila dia menghampiri-Ku sejengkal, Aku me-dekatinya sehasta; bila ia menuju Aku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari."
Intinya, kualitas hati yang 'isyqi tidak hanya meng-antarkan kepada salat yang khusyuk, tetapi juga pada kehidupan yang damai dan merindukan perjumpaan dengan Allah Swt. Allah berfirman, "Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh salat itu berat sekali kecuali bagi mereka yang khusyuk. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan berjumpa dengan Tuhan mereka dan kepada-Nya mereka kembali (Q.S. al-Baqarah [2]: 45).
Hati yang takut kepada Allah (qalb khawfi) mengejar keperkasaan dan keagungan Allah (Jalaliah). Sebagaimana cinta, takut juga ada tingkatannya. Pertama, takut yang paling rendah adalah takut kepada ancaman Allah, seperti pembantu takut pada ancaman tuannya. Dalam tingkat ini, salat dilakukan karena takut diazab Allah di alam kubur atau takut tidak memperoleh rezeki di dunia. Kalau kita beribadah karena takut akan ancaman siksa Allah, itu termasuk khauf yang positif. Mesinya kita mempunyai takut seperti itu, tetapi itu tingkatan takwa terendah.
Kedua, takut dalam pengertian hormat dan takzim terhadap orang yang kita agungkan. Misalnya takut kepada kedua orang tua. Kita takut bukan karena ancaman melainkan kita menghormati dan mentakzimkan mereka. Demikian juga takut kepada kepada Allah, setidaknya takut karena memang Allah Maha adil, Maha agung, dan sungguh jasanya tak terkira-kira. Itulah takutnya orang-orang saleh. Dalam sejarah diceritakan bahwa ketika Nabi mau salat, kadang-kadang tubuhnya bergetar, mukanya pucat pasi dan sebagainya. Bukan karena beliau takut diazab oleh Allah, tapi beliau memang melihat bahwa yang layak disembah demikian hanyalah Allah Swt.
Ketiga, takut dalam arti kesadaran penuh bahwa Allah adalah segala-galanya dalam dirinya. Oleh karena itu, ada sebuah doa yang sering dibaca oleh Nabi:
Ya Allah perlakukanlah kami dengan rahmat-Mu, jangan perlakukan kami dengan keadilan-Mu.
Makna doa ini sangat dalam. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita dengan rahmatNya, dengan anugerah-Nya, bukan keadilan Nya, sebab kalau Allah memperlakukan kita dengan adil , kita tidak akan bisa masuk surga. Bayangkan, bagaimana mungkin kita bisa menghitung secara adil limpahan rezeki dari Allah, sedangkan yang kita berikan sangatlah sedikit.
Sejauh mana kita mensyukurinya? Apa yang kita berikan di jalan Allah sangat kecil dibandingkan dengan yang Allah berikan kepada kita. Karena itu, yang ditakuti oleh Nabi bukanlah ancaman Allah, melainkan keadilan-Nya.
Jadi, untuk memperoleh khusyuk, kembangkan kualitas hati yang khawfi, dengan menyadari sifat-sifat jalaliah Allah: Yang Maha Perkasa, Mahaadil, Mahabesar, Maha-agung, dan sebagainya.
Dalam tasawuf disebutkan: Sesungguhnya di dalam jamaliah Allah ada jalaliah'-Nya, dan di dalam jalaliah Allah ada jamaliah-Nya (inna ft kulli jalalin jamalun wa fi kulli jamalin jalalun). Artinya, di dalam sifat Mahaindah-Nya ada keperkasaan-Nya, dan di dalam sifat Mahaperkasa-Nya ada keindahan-Nya. Keduanya bukanlah sifat yang kontradiktif, tetapi saling melengkapi. Mana yang lebih dominan, tergantung kualitas hati. Rasulullah saw. memiliki qalb 'isyqi (hati yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi (hati yang takut kepada Allah) sekaligus. Kita juga mesti menyeimbangkan antara keduanya. Dengan demikian, kekhusyukan akan menjadi kenyataan.
Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Showing posts with label Spiritualitas Sufi. Show all posts
Showing posts with label Spiritualitas Sufi. Show all posts
Saturday, May 19, 2012
Saturday, May 12, 2012
Wajah-Wajah Yang Bercahaya
Bagaimanakah ciri-ciri orang yang bakal masuk Surga atau masuk Neraka? Salah satunya digambarkan Allah lewat idiom cahaya. Orang-orang yang beriman dan banyak amal salehnya, kata Allah, akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sebaliknya, orang-orang yang kafir dan banyak dosanya akan 'memancarkan' kegelapan. Hal itu dikemukakan olehNya di ayat-ayat berikut ini
QS Al Hadiid (57) : 12 "Pada hari dimana kalian melihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya."
QS. Yunus (10) : 27 “… seakan-akan wajah mereka ditutupi oleh kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, mereka itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Kenapakah orang-orang yang beriman dan banyak pahalanya memancarkan cahaya, sedangkan yang banyak dosa 'memancarkan' kegelapan alias kehilangan cahaya?
Ini memang rahasia yang sangat menarik. Allah sangat sering menggunakan istilah cahaya di dalam Al Qur’an. Dia mengatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan Bumi (QS. 24:35). Firman firmanNya juga berupa cahaya (Qur’an QS. 4:174; Taurat QS. 5:44; Injil QS. 5:46). Malaikat sebagai hamba-hamba utusanNya juga terbuat dari badan cahaya. Dan pahala adalah juga cahaya (QS. 57:19). Karena itu orang-orang yang banyak pahalanya memancarkan cahaya di wajahnya (QS. 57:12).
Kunci pemahamannya adalah di Al Qur’an Surat An Nuur: 35. Di ayat itu Allah membuat perumpamaan bahwa DzaNya bagaikan sebuah pelita besar yang menerangi alam semesta. Pelita itu berada di dalam sebuah lubang yang tidak tembus. Tetap di salah satu bagian yang terbuka, ditutupi oleh tabir kaca
Dari tabir kaca itulah memancar cahaya ke seluruh penjuru dunia, bagaikan sebuah mutiara. Pelita itu dinyalakan dengan menggunakan minyak Zaitun yang banyak berkahnya, yang sinarnya memancar dengan sendirinya tanpa disentuh api. Cahaya yang dipancarkan pelita itu berlapis-lapis, mulai dari yang paling rendah frekuensinya sampai yang tertinggi menuju cahaya Allah. Ayat tersebut memberikan perumpamaan yang sangat misterius tetapi sangat menarik. Dia mengatakan bahwa hubungan antara Allah dengan makhlukNya adalah seperti hubungan antara Pelita (sumber cahaya) dengan cahayanya. Artinya makhluk Allah ini sebenarnya semu saja. Yang sesungguhnya ADA adalah DIA. Kita hanya 'pancaran atau pantulan' saja dari eksistensiNya.
Nah, cahaya yang dipancarkan oleh Allah itu berlapis-lapis mulai dari yang paling jelek (Kegelapan) sampai yang paling baik (Cahaya Putih Terang). Allah telah menetapkan dalam seluruh ciptaanNya itu bahwa Kegelapan mewakili Kejahatan dan Keburukan. Sedangkan Cahaya Terang mewakili Kebaikan. Maka, kalau kita ingin memperoleh kebaikan dan keberuntungan, kita harus memperoleh cahaya terang. Dan sebaliknya kalau kita mempoleh kegelapan berarti kita masuk ke dalam lingkaran kejahatan dan kerugian.
Yang menarik, ternyata 'cahaya' dan 'kegelapan' itu digunakan oleh Allah di dalam firmannya sebagai ungkapan yang sesungguhnya. Misalnya ayat-ayat yang saya kutipkan di atas. Bahwa orang-orang yang beriman, kelak di hari kiamat, benar-benar akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sedangkan orang-orang kafir, justru kehilangan cahaya alias wajahnya gelap gulita. Dari manakah cahaya di wajah orang beriman itu muncul? Ternyata berasal dari berbagai ibadah yang dilakukan selama ia hidup di dunia. Setiap ibadah yang diajarkan rasulullah kepada kita selalu mengandung dua unsur, yaitu ingat kepada Allah (dzikrullah) dan membaca firmanNya yang berasal dari KitabNya. Baik ketika kita membaca syahadat, melakukan shalat, mengadakan puasa, berzakat, maupun melaksanakan ibadah haji.
Nah, dari kedua kedua unsur itulah cahaya Allah muncul. Bagaimanakah mekanismenya? Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa Allah adalah sumber cahaya langit dan Bumi. Maka ketika kita berdzikir kepada Allah, kita sama saja dengan memproduksi getaran getaran cahaya. Asalkan berdzikirnya khusyuk dan menggetarkan hati. Kuncinya adalah pada 'hati yang bergetar.’ Hati adalah tempat terjadinya getaran yang bersumber dari kehendak jiwa. Ketika seseorang marah, maka hatinya akan berdegup keras. Semakin marah ia, semakin kencang juga getarannya. Demikian pula ketika seseorang sedang sedih, gembira, berduka, tertawa, dan lain sebagainya.
Getaran yang kasar akan dihasilkan jika kita sedang dalam keadaan emosional. Sebaliknya getaran yang lembut akan muncul ketika kita sedang sabar, tenteram dan damai. Ketika sedang berdzikir, hati kita akan bergetar lembut. Hal ini dikemukan oleh Allah, bahwa orang yang berdzikir hatinya akan tenang dan tenteram.
QS. Ar Ra’d (13) : 28 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.”
Ketika seseorang dalam keadaan tenteram, getaran hatinya demikian lembut. Amplitudonya kecil, tetapi frekuensinya sangat tinggi. Semakin tenteram dan damai hati seseorang maka semakin tinggi pula frekuensinya. Dan pada, suatu ketika, pada frekuensi 10 pangkat 13 sampai pangkat 15, akan menghasilkan frekuensi cahaya.
Jadi, ketika kita berdzikir menyebut nama Allah itu, tiba-tiba hati kita bisa bercahaya. Cahaya itu muncul disebabkan terkena resonansi kalimat dzikir yang kita baca. lbaratnya, hati kita adalah sebuah batang besi biasa, ketika kita gesek dengan besi magnet maka ia akan berubah menjadi besi magnetik juga. Semakin sering besi itu kita gesek maka semakin kuat kemagnetan yang muncul daripadanya.
Demikianlah dengan hati kita. Dzikrullah itu menghasilkan getaran-getaran gelombag elektromagnetik dengan frekuensi cahaya yang terus menerus menggesek hati kita. Maka, hati kita pun akan memancarkan cahaya. Kuncinya, sekali lagi, hati harus khusyuk dan tergetar oleh bacaan itu. Bahkan, kalau sampai meneteskan air mata. Unsur yang kedua adalah ayat-ayat Qur’an. Dengan sangat gamblang Allah mengatakan bahwa Al Qur'an ada cahaya. Bahkan, bukan hanya Al Qur’an, melainkan seluruh kitab-kitab yang pernah diturunkan kepada para rasul itu mengandung cahaya.
QS. An Nisaa' (4) : 174 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).”
QS. Al Maa’idah (5 ) : 44 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya …”
QS Al Maa’idah (5 ) : 46 "Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya . . . "
Artinya, ketika kita membaca kalimat-kalimat Allah itu kita juga sedang mengucapkan getaran-getaran cahaya yang meresonansi hati kita. Asalkan kita membacanya dengan pengertian dan pemahaman. Kuncinya, hati sampai bergetar. Jika tidak mengetarkan hati, maka proses dzikir atau baca Al Qur’an itu tidak memberikan efek apa-apa kepada jiwa kita. Yang demikian itu tidak akan menghasilkan cahaya di hati kita.
Apakah perlunya menghasilkan cahaya di hati kita lewat kegiatan dzikir, shalat dan ibadah-ibadah lainnya itu? Supaya, pancaran cahaya di hati kita mengimbas ke seluruh bio elektron di tubuh kita. Ketika cahaya tersebut mengimbas ke miliaran bio elektron di tubuh kita, maka tiba-tiba badan kita akan memancarkan cahaya tipis yang disebut 'Aura'. Termasuk akan terpancar di wajah kita.
Cahaya itulah yang terlihat di wajah orang-orang beriman pada hari kiamat nanti. Aura yang muncul akibat praktek peribadatan yang panjang selama hidupnya, dalam kekhusyukan yang sangat intens. Maka Allah menyejajarkan atau bahkan menyamakan antara pahala dan cahaya, sebagaimana firman berikut ini.
QS. Al Hadiid (57) : 19 “... bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”
Dan ternyata cahaya itu dibutuhkan agar kita tidak tersesat di Akhirat nanti. Orang-orang yang memililki cahaya tersebut dapat berjalan dengan mudah, serta memperoleh petunjuk dan ampunan Allah. Akan tetapi orang-orang yang tidak memiliki cahaya, kebingungan dan berusaha mendapatkan cahaya untuk menerangi jalannya. QS. Al Hadiid (57) : 28 “…dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu.”
QS. Al Hadiid (57) 13 "Pada hati ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman : "Tunggulah kami, supaya kami bisa mengambil cahayamu."
Dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang, dan carilah sendiri cahaya (untukmu). "Lalu diadakanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa."
QS. Ali lmraan (3) : 106 - 107 "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri dan ada Pula yang menjadi hitam muram. 'Ada pun orang-orang yang hitam muram mukanya, (dikatakan kepada mereka) : kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.
"Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya.”
Jadi, selain wajah yang memancarkan cahaya, Allah juga memberikan informasi tentang orang-orang kafir yang berwajah hitam muram. Bahkan di QS. 10 : 27 dikatakan Allah, wajah mereka gelap gulita seperti tertutup oleh potongan¬-potongan malam.
Dalam konteks ini memang bisa dimengerti bahwa orang -orang kafir yang tidak pernah beribadah kepada Allah itu wajahnya tidak memancarkan aura. Sebab hatinya memang tidak pernah bergetar lembut. Yang ada ialah getaran-getaran kasar.
Semakin kasar getaran hati seseorang, maka semakin rendah pula frekuensi yang dihasilkan. Dan semakin rendah frekuensi itu, maka ia tidak bisa menghasilkan cahaya.
Bahkan kata Allah, di dalam berbagai firmanNya, hati yang semakin jelek adalah hati yang semakin keras, tidak bisa bergetar. Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, tingkatan hati yang jelek itu ada 5, yaitu : 1. Hati yang berpenyakit (suka bohong, menipu, marah, dendam, iri, dengki disb), 2. Hati yang mengeras. 3. hati yang membatu. 4. Hati yang tertutup. dan 5. Hati yang dikunci mati oleh Allah. Maka, semakin kafir seseorang, ia akan semakin keras hatinya. Dan akhirnya tidak bisa bergetar lagi, dikunci mati oleh Allah. Naudzu billahi min dzalik. Hati yang:seperti itulah yang tidak bisa memancarkan aura. Wajah mereka gelap dan muram. QS. Az Zumaar (39) : 60 "Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah, mukanya menjadi hitam."
QS. Al An’aam (6) : 39 “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita…”
Seperti yang telah saya kemukakan di depan, bahwa ternyata kegelapan itu ada kaitannya dengan kemampuan indera seseorang ketika dibangkitkan. Di sini kelihatan bahwa orang-orang kafir itu dibangkitkan dala keaaan tuli, bisu, buta, dan sekaligus berada di dalam kegelapan. Sehingga mereka kebingungan. Dan kalau kita simpulkan semua itu disebabkan oleh hati mereka yang tertutup dari petunjuk-petunjuk Allah swt.
QS. Al Hajj (22) : 8 "Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang bercahaya."
QS. Al Maa’idah (5 ) : 16 “…dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya.”
QS. Al A’raaf (7) : 157 “…dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
QS. An Nuur (24) : 40 “…dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah ia memiliki cahaya sedikit pun.”
QS. At Tahriim (66) : 8 "Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah, dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan para nabi dan orang-orang beriman yang bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan : Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Labels:
Spiritualitas Sufi
Wednesday, September 28, 2011
Sufi Road : Tasawuf diantara Pemuji dan Pengelak

Pertanyaan:
Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apa
pula keistimewaanya?
Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimana
dalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
Jawab:
Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk diulang kembali, sebab masalah ini amat penting untuk menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara orang-orang yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara
menyeluruh.
Dengan penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat membuka tabir yang menyelimuti bagian yang cerah ini, sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu, misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula. Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya
bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula
orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari
kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
"Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut
pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan
kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah
dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat
dengan-Nya."
Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
"Semua orang yang menyembah Allah karena takut
akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku
tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku
cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya."
Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham
bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata, "Saya adalah Tuhan."
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli
(kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya,
menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha,dan lain-lainnya.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagaiberikut:
"Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang
mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan,
dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah
Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai
sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi
hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana
sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda',
Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya."
Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri darigodaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:
"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat
besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).
"... Allah mencintai mereka dan mereka punnmencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54).
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).
Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi. Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit
jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu oleh
hati dari Tuhanku (Allah)."
Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai kepada Rasulullah saw.
2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:
"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..."(Q.s. Al-Qashash: 77).
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti
benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya.
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh sufi, "Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H.), berkata, 'Semua jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"
Al-Junaid pun berkata:
"Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan
menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh
dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita
(tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan
As-Sunnah."
Abu Khafs berkata:
"Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala
sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah,
serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan
wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk
golongan kaum tasawuf."
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
"Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan
kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang
harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan
seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, "Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?"
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
"Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua,
yaitu:
Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam
mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah
dan di luar Sunnah Nabi saw.
Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam
memberikan pujian dan menganggap mereka paling
baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi
saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah
bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan
pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha
orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam
kondisi yang prima di antara mereka, ada yang
cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang
ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang
terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya;
ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang
saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min
ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara
kedua sikap tadi)."
Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
Masih banyak lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
Wallaahu A'lam.
---------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Labels:
Spiritualitas Sufi
Saturday, August 6, 2011
Mencari Obat Hati dan Agama Kepada Para Waliyullaah dan Orang-orang Sholih

من تقدم كانوا يطوفون الشرق و الغرب فى طلب الأولياء و الصالحين الذذين هم أطباء القلوب و الدين فاذا حصل لهم واحد منهم طلبوا منه دواء لأديانهم, و أنتم اليوم أبغض اليكم الفقهاء و العلماء و الأولياء الذين هم المؤدبون و المعلمون فلا جرم لا يقع بأيديكم الدواء , أيش ينفع علمي و طبي معك فكل يوم أبني لك أساسا و أنت تنقضه , أصف لك دواء و لا تستعمله , أقول لك لا تأكل هذه اللقمة فيها سم كل هذه ففيها دواء فتخالفني و تأكل التي فيها السم , عن قريب يظهر ذلك فى بنية دينك و ايمانك , انى أنصحك و لا أفزع من سيفك و لا اريد ذهبك , من يكون مع الله عز و جل لا يفزع من أحد فى الجملة لا من جن و لا من انس و لا من حشرات الأرض و سباعها و هوامها و لا من شيئ من المخلوقات بأسرها , لا تجدروا بالشيوخ العمال بالعلم أنتم جهال بالله عز و جل و رسله و الصالحين من عباده ال الواقفين معه الراضين بأفعاله , كل السلامة فى الرضا بالقضاء و قصى الأمل و الزهد فى الدنيا فاذا رأيتم فى أنفسكم ضعفا فدونكم بذكر الموت و قصر الأمل , قال صلى الله عليه و لم حكاية عن الله عز و جل :
ما تقرب المتقربون الي بأفضل من أداءما افترضت عليهم , و لا يزال عبدي يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاذا أحببته كنت له سمعا و بصرا و يدا و مؤيدا , فبي يسمع و بي ينصر و بي يبطش
Artinya:
“Orang-orang pada zaman dahulu menjelajahi bumi bagian Timur dan Barat untuk mencari para waliyullah dan orang-orang shaleh, di mana mereka adalah para dokter hati dan agama. Ketika mereka menemukan salah satu wali Allah atau orang shaleh, mereka akan meminta obat bagi agama mereka. Sedangkan kalian, saat ini orang yang paling kalian benci adalah para fuqaha (para ahli fiqih), ulama, dan para wali Allah, yang statusnya sebagai para pendidik dan pengajar. Maka, tidak heran jika kamu tidak mendapatkan obat bagi agamamu.
Ilmu dan obat apapun yang aku berikan, itu akan memberi manfa’at kepadamu. Setiap hari aku membangun pondasi bagimu, tapi malah kamu merusaknya. Aku sudah menjelaskan obatnya kepadamu, “Jangan makan makanan itu, karena di dalamnya mengandung racun, makan ini saja karena di dalamnya obat.” Namun, kamu tidak mau menuruti perkataanku dengan memakan makanan yang mengandung racun. Sebentar lagi dampak makanan tersebut akan kelihatan pada bangunan agama dan imanmu. Aku hanya menasehatimu. Aku tidak takut pada pedangmu dan tidak menginginkan emasmu. Barangsiapa yang senantiasa bersama Allah Subhanahu wa ta’aala, maka tidak akan takut pada siapa pun, baik pada jin, manusia, serangga tanah, binatang buas, maupun jenis makhluk lainnya.
Janganlah kamu melecehkan para guru yang beramal dengan ilmunya, sedang kamu adalah orang yang tidak mengenal Allah Subhanahu wa ta’aala, para Rasul-Nya, orang-orang shaleh dari hamba-Nya yang senantiasa bersama-Nya dan ridha pasa segala perbuatan-Nya. Seluruh keselamatan hanya dapat diperoleh dengan keridhaan pada qadha-Nya, memperoleh harapan, dan menjauhi dunia. Jika kamu melihat kelemahan dalam dirimu, segeralah kamu mengingat mati dan memperpendek harapan. Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, hikayat dari Allah ‘azza wa jalla, “Para mutaqarrib (orang-orang yang mendekatkan diri pada Allah) tidak mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Aku wajibkan kepada mereka dan hambu-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya. Dengan diri-Ku ia mendengar, dengan diri-Ku ia melihat, dan dengan diri-Ku ia menyerang dengan penuh kekuatan.”
Wallaahu a’lam.
Catatan dari KH. Thobary Syadzili.
jundumuhammad.wordpress.com
Labels:
Spiritualitas Sufi
Tuesday, July 5, 2011
Sufi Road : Orang Yang Memilih Sama' Bait-Bait Syair

Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata:
Adapun tingkatan mereka yang memilih sama’ (mendengar) bait- bait syair, maka argumentasi mereka secara lahiriah adalah sabda Rasulullah Saw, “Sungguh di antara bait-bait syair terdapat hikmah.”(H.r. Bukhari-Muslim), dan sabda Nabi pula, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang.”
Kelompok ini mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah, sedangkan Kalam-Nya adalah juga Sifat-Nya. Sehingga hal itu adalah al-Haq, ketika Ia tampak maka manusia tidak mampu menguasai-Nya, karena Ia bukan makhluk yang bisa dijangkau oleh sifat-sifat makhluk. Dengan demikian, tidak dimungkinkan bagian yang satu bisa lebih baik daripada yang lain, dan tidak bisa diperindah dengan senandung atau lagu-lagu ciptaan makhluk, tapi justru sebaliknya, al-Qur’anlah yang memperindah segala sesuatu dan Ia adalah sesuatu yang terbaik serta dengan keindahannya, segala keindahan bisa dianggap baik. Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan a!-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.s. al-Qamar: 22).
Dan juga firman-Nya, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Qur’an ini kepada gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perurnpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (Q.s. al-Hasyr: 21).
Maka demikian pula jika Allah menurunkannya ke dalam hati disertai dengan hakikat-hakikatnya, lalu hati tersebut disingkapkan bagian paling kecil dan keagungan dan rasa takut karena hormat ketika ia sedang membacanya, tentu hati akan gemetar dan tersungkur.
Ketika mereka memperhatikan hal-hal yang biasa berlaku di kalangan umat manusia, bahwa ada seorang yang mengkhatamkan al-Qur’an berkali-kali tapi ketika membacanya juga tidak menemukan kelembutan dalam hatinya, maka ketika membacanya disertai dengan suara yang merdu atau dengan lagu yang indah tentu akan mendapatkan kelembutan di hati dan merasakan nikmat ketika mendengarnya. Kemudian jika suara yang merdu dan lagu yang indah itu diterapkan pada selain al-Qur’an, mereka juga akan memperoleh kelembutan, kenikmatan dan ketenangan, maka mereka tahu, bahwa kelembutan, ketenangan, kenikmatan dan perasaaan cinta yang mendalam itu bermuara dari al-Qur’an. Sehingga orang-orang yang selalu membacanya akan senantiasa mendapatkan hal-hal yang demikian.
Sementara itu lagu-lagu yang indah akan sesuai dengan tabiat manusia, dan sinkronisasinya adalah pada kesenangan, bukan sinkronisasi pada kebenaran. Sedangkan al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt. yang sinkronisasinya pada kebenaran, dan bukan pada kesenangan. Sementara bait-bait syair dari kasidah-kasidah sinkronisasinya juga pada kesenangan, bukan pada kebenaran (al-haq). Sedangkan ritual sama’ ini, sekalipun para pelakunya berbeda-beda dalam tingkat dan kekhususan masing-masing, tapi di dalamnya terdapat kecocokan terhadap watak manusia, kesenangan bagi jiwa dan kenikmatan bagi ruh, karena memiliki format dan kemasan yang sesuai dengan kelembutan yang terdapat dalam suara yang merdu dan lagu-lagu yang indah. Demikian pula bait- bait syair, di dalamnya juga tersimpan makna yang sangat tinggi, kelembutan, kefasihan dan isyarat-isyarat. Dan apabila suara-suara yang merdu dan lagu-lagu yang indah diterapkan dalam bait-bait syair, maka bagian yang satu akan membentuk keserasian dengan yang lain, dan menjadikannya lebih dekat pada kesenangan, lebih meringankan beban hati serta mengurangi bahaya yang diakibatkan persamaan antara makhluk yang satu dengan yang lain.
Maka orang yang lebih memilih mendengarkan (sama’) kasidah-kasidah daripada al-Qur’an adalah karena ia menghormati kesucian al-Qur’an dan keagungan derajatnya, sebab al-Qur’an adalah kebenaran (haq). Sementara jiwa akan bersembunyi ketika mendengar suara yang merdu dan gerakannya akan mati, bahkan akan fana dari kesenangan dan kenikmatannya ketika diawasi oleh Cahaya-cahaya kebenaran dan menampakkan makna-maknanya.
Lebih lanjut mereka memberikan alasan dengan mengatakan, “Selama sifat-sifat manusiawi masih tetap ada, sementara kita dalam menikmati keindahan lagu-lagu yang mendayu dan suara-suara yang indah itu tetap dengan sifat-sifat manusiawi, kesenangan dan ruh kita, maka kebahagiaan kita dengan tetap menyaksikan kesenangan-kesenangan yang tertuju pada kasidah-kasidah tersebut lebih baik daripada kebahagiaan kita terhadap Kalam Allah Azza wajalla dengan cara yang sama. Sementara itu Kalam Allah adalah juga Sifat-Nya, dimana Kalam itu bersumber dari-Nya dan juga kembali kepada-Nya.”
Sementara itu ada kelompok ulama yang tidak suka membaca al-Qur’an dengan bersenandung. Sehingga mereka melarang untuk melagukan bacaan-bacaan al-Qur’an. Allah Swt. berfirman, “Dan bacalah al-Qur ‘an itu dengan perlahan-lahan (tartil).” (Q.s. al-Muzzammil: 4).
Sesungguhnya hal itu dilakukan oleh orang, sebab watak manusia tidak suka membaca dan mendengar bacaan al-Qur’an, sebab al-Qur’an adalah kebenaran (haq). Kemudian mereka menghiasi bacaan al-Qur’an dengan suara-suara indah yang sengaja diciptakan supaya dapat menarik watak manusia secara umum untuk mendengar bacaan al-Qur’an. Kalau sekiranya mereka memiliki hati yang khusyu’, waktu yang selalu dipenuhi dengan ibadah, hati yang suci, jiwa yang terdidik dan tabiat kemanusiaan yang tersembunyi, maka mereka tidak lagi membutuhkan pembaca al-Qur’an dengan bersenandung.
Labels:
Spiritualitas Sufi
Tuesday, June 14, 2011
Sufi Road : Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS Al-Hijr: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS Ar-Ra'd: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi—akal perolehan (akal mustafad)—ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani—hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.
Sumber: Jalaludin Rahmat
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah-Pustaka Media
Newsroom republika
Labels:
Spiritualitas Sufi
Friday, April 29, 2011
Sufi Road : Sifat Sufi Syaidina Abu Bakr R.a
Bismillahir Rahmanir Rahiim
Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa beliau pernah bersabda. “Umatku yang paling belas-kasih kepada sesama umat adalah Abu Bakr r.a., yang paling kokoh dan kuat memegang agama Allah adalah Umar r.a., yang paling pemalu adalah Utsman r.a., yang paling tahu tentang ilmu faraidh (hukum waris) adalah Zaid bin Tsabit r.a., yang paling faham tentang hukum halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal r.a., yang paling adil dalam memberikan keputusan hukum adalahAli r.a., Sedangkan sahabatku Abu Dzar r.a. adalah orang yang dialek bicaranya memiliki ketajaman dan kebenaran.” (H.r. Ahmad, Tirmidzi dari Anas, ath-Thabrani dari Jabir, dari Ibnu adi dari Ibnu Umar).
Adapun yang menyangkut masalah batin, maka kami akan memulainya dengan apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
Ikutilah dua orang setelahku yaitu: Abu Bakr dan Umar r.a.” (H.r. Tirmidzi dari Hudzaifah, Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Abd dari Anas)
Sementara kami memulainya dengan Abu Bakr r.a lebih dahulu kemudian baru Umar r.a.
Sebagaimana berita yang saya terima dari Abu Utbah al-Halwa-ni—-rahimahullah—yang pernah berkata, “Bolehkah aku memberitahu kalian tentang kondisi spiritual para sahabat Rasulullah? Pertama, bertemu dengan Allah lebih mereka senangi daripada hidup di dunia. Kedua, mereka tidak pernah takut musuh, baik mereka dalam jumlah sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak pernah takut miskin dan selalu yakin, bahwa Allah selalu memberinya rezeki. Keempat, jika dilanda wabah penyakit, mereka tidak pernah lari dari tempat tinggal sampai Allah memutuskan nasibnya. Mereka sangat khawatir dengan kematian dalam makna yang sebenarnya.”Dikisahkan dari Muhammad bin Ali al-Kattani -rahimahullah- yang berkata, “Orang-orang dalam kurun waktu pertama Islam selalu bermuamalah denga agama sehingga agama itu menipis. Kemudian pada kurun kedua mereka bermuamalah dengan wafa’ (kesetian dan tepat janji), sehingga kesetiaan itu pun sirna. Kemudian pada kurun ketiga mereka bermuamalah dengan muru’ah (kesatria) sehingga kesatria itu pun lenyap. Pada kurun keempat bermuamalah dengan rasa malu, sampai akhirnya rasa malu itu pun hilang. Pada akhirnya manusia bermuamalah dengan landasan rasa suka dankekhawatiran.”
Keistemewaan Abu Bakr As-Shiddiq RA
Diriwayatkan dari Mutharraf bin Abdullah asy-Syukhair -rahimahullah- yang berkata: Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. berkata “Andaikan ada seseorang memanggil dari langit bahwa tidak ada yang masuk surga kecuali satu orang, maka aku berharap satu orang itu adalah aku. Dan andaikan ada seseorang memanggil dari langit bahwa tidak ada yang masuk neraka kecuali satu orang, maka aku sangat takut orang tersebut adalah aku.”
Mutharraf -rahimahullah- berkata, “Demi Allah ini adalah ungkapan rasa takut yang sangat besar dan harapan yang sangat tinggi.”
Diriwayatkan dari Abu al-Abbas bin Atha’ -rahimahullah- bahwa, ia pernah pernah ditanya tentang firman Allah:
“Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu mempelajarinya.” (Q.s. Ali Imran: 79)
Maka ia menjawab, “Artinya, jadilah kalian seperti Abu Bakr ash-Shiddiq. Karena saat Rasulullah wafat hati kaum muslimin goncang akibat wafatnya Rasul. Namun kepergian Rasulullah sama sekali tidak mempengaruhi lubuk hati Abu Bakr. Ia keluar dan berkata kepada umat Islam. ‘Wahai umat manusia, barang siapa menyembah Muhammad maka sesunggunhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah adalah Dzat yang senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati. Orang yang memiliki sifat rabbani ini, kejadian apapun sama sekali tidak mempengaruhi lubuk hatinya, meskipun orang-orang takut tergoncang.”
Abu Bakr al-Wasithi -rahimahullah- berkata, “Lisan (bahasa) kaum sufi yang pertama kali muncul dikalangan umat memalui lisan Abu Bakr adalah bahasa isyarat, yang kemudian oleh orang-orang yang memilikik kemampua pemahaman yang tajam diambil makna-makna lembut yang sering kali orang-orang yang berakal terkecoh dalam memahaminya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Apa yang dikatakan oleh al-Wasithi, bahwa lisan kaum sufi yang muncul pertama kali melalui lisan Abu Bakr ialah saat ia mengeluarkan seluruh harta miliknya yang diinfakkan demi agama Allah. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakr menjawab, “Allah dan Rasul-Nya”. (H.r. Tirmidzi dari Umar). Ia menjawab pertama kali dengan Allah, kemudia Rasul-Nya. Hal ini merupakan suatu isyarat yang sangat agung bagi para ahli tauhid dalam hakikat-hakikat panauhidan kepada Allah. Namun bukan berarti ini saja isyarat yang keluar dari lisan Abu Bakr. Masih sangat banyak isyarat-isyarat lain yang darinya bisa diambil kesimpulan-kesimpulan yang sangat lembut.
Isyarat-isyarat tersebut dapat diketahui dan dipahami oleh para ahli hakikat untuk mereka jadikan referensi dan cermin dalam berakhlak. Di antaranya ialah pidato Abu Bakr ketika ia naik diatas mimbar setelah rasulullah wafat, dimana hati para sahabat saat itu goncang dan khawatir kalau Islam akan hilang karena wafat dan hilangnya Rasulullah dari lingkungan mereka. Kemudian Abu Bakr berkata, “Barangsiapa menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah swt. Maka sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha hidup dan tidak akan pernah mati.” (H.r Ahmad, Abdurrazzaq dari Aisyah dan Ibanu Abbas, dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar).
Makna yang sangat halus dalam ungkapan tersebut ialah keteguhan dalam bertauhid dan berusaha memperkokoh hati para sahabat dalam bertauhid.
Diantara ungkapan yang lain ialah saat Perang Badar, ketika Rasulullah berdo’a:
“Ya Allah, jika sekelompok manusia (dari umat Islam) ini Engkau hancurkan, maka setelah itu Engakau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.”
Kemudian Abu Bakr berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah tinggalkanlah permohonanmu kepada Tuhan, sebab -demi Allah- Dia pasti mengabulkan apa yang dijanjikan kepada-Mu.”(H.r. Muslim dan Tarmidzi dari Ibnu Abbas dan Umar).
Dimana janji itu adalah firman Allah swt., “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyuka kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman’. Kelak akan Aku jadikan rasa ketakutan kedalam hati orang-orang kafir.” (Q.s. al-Anfal: 12)
Di sini tampak satu keistimewaan Abu Bakr, dimana ia telah memiliki hakikat tashdiq ( pembenaran ) terhadap kemenangan yang dijanjikan Allah kepada umat Islam . Dimana hati para sahabat yang lain goncang . Ini menunjukkan hakikat keimanan dan keistimewaan Abu Bakr.
Jika ada orang yang bertanya “ Apa makna perubahan Rasulullah dan keteguhan hati Abu Bakr , sementara Rasulullah jauh lebih sempurna daripada Abu Bakr dalam segala kondisi spiritual?”
Maka jawabannya adalah karena Rasulullah lebih tahu tentang Allah daripada Abu Bakr . Sementara itu, Abu Bakr lebih kuat imannya daripada para sahabat Rasulullah yang lain . Keteguhan Abu Bakr mencerminkan hakikat keimanannya terhadap kebenaran janji Allah . Sedangkan perubahan pada diri Nabi adalah karena beliau lebih tahu tentang Allah. Sehingga beliau tahu dari Allah apa yang tidak diketahui Abu Bakr dan juga sahabat yang lain. Apakah Anda tidak tahu , bahwa ketika angin bertiup kencang maka warna kulit beliau berubah, sementara tidak seorang pun dari sahabatnya yang warna kulitnya berubah ?
Rasulullah juga bersabda ,” Andaikan kalian tahu apa yang aku ketahui tentu kalian kurang bisa tertawa, banyak menangis, keluar menuju ke berbagai jalan { untuk mencari perlindungan kepada Allah }, dan tidak akan tenang di atas tempat tidur .” ( H.r. Bukhari, al-Hakim dan ath-Thabrani, lihat kembali hlm. 247).
Abu Bakr juga memiliki kekhususan di antara para sahabat dalam hal firasat dan ilham . Itu bisa diketahui dalam tiga kasus :
Pertama, ketika pendapat para sahabat Rasulullah telah mencapai titik sepakat untuk tidak memerangi orang-orang murtad yang tidak mau membayar zakat setelah wafat Rasulullah saw. Namun Abu Bakr tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk memerangi mereka . Kemudian ia berkata,”Demi allah , andaikan mereka tidak mau membayarku zakat unta dan kambing yang pernah mereka bayarkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka dengan pedang.” Sementara pendapat Abu Bakr inilah yang benar. Kemudian para sahabat berkata.” Sesungguhnya yang benar adalah pendapatnya sekalipun ia berbeda pendapat dengan sahabat-sahabat yang lain tentang apa yang mereka kemukakan.” Akhirnya sahabat-sahabat yang lain merujuk kepada pendapat Abu Bakr, dimana mereka melihat bahwa pendapat dialah yang benar.
Kedua, Saat ia berbeda pendapat dengan sebagaian besar sahabat mengenai penarikan mundur pasukan Usamah. Dan ia berkata,” Demi Allah, saya tidak akan mengingkari janji yang pernah disepakati oleh Rasullah.”
Ketiga, ialah ucapan Abu Bakr kepada Aisyah. “Sesungguhnya aku akan memberimu dua saudara laki-laki dn dua perempuan.” Aisyah saat itu hanya tahu bahwa ia hanya memiliki dua saudara laki-laki dan seorang perempuan.
Pada saat itu Abu Bakr memiliki seorang budak perempuan yang sedang hamil. Maka ia berkata,” Hati nuraniku mengatakan bahwa janin yang ada dalam rahimnya adalah perempuan.”
Ini menunjukkan firasat dan ilham yang sangat tajam dan sempurna.
Nabi saw bersabda:
“ Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin karena ia melihat dengan Nur Allah.” (H.r. ath-Thabrani dari Abu Umamah, Tirmidzi dari Abi Said, Abu Nu’aim dan al-Bazzar dari Anas).
Sementara itu pada diri Abu Bakr masih terdapat makna-makna lain yang banyak dijadikan referensi para ahli hakikat dan mereka yang mampu mengendalikan hati nurani. Dan jika disebutkan semua maka kitab ini akan menjadi sangat tebal.
Di ceritakan dari Bakr bin Abdullah al-Muzani yang mengatakan,”Abu Bakr tidak melibihi semua sahabat Rasul yang lain dalam hal banyak berpuasa dan shalat, namun ia memiliki kelebihan yang ada di dalam hatinya.”
Sebagian kaum sufi mengatakan, bahwa apa yang terjadi didalam hati Abu Bakr adalah cintanya kepada Allah Azza wa Jalla dan nasihat karena-Nya.
Disebutkan, Tatkala tiba waku shalat, Abu Bakr berkata, “Wahai anak Adam bangunlah ke neraka yang kalian nyalakan, kemudian padamkanlah.”
Diriwayatkan, bahwa suatu saat ia pernah makan makanan yang ada syubhatnya. Ketika ia tahu bahwa itu ada syubhatnya, maka ia muntahkan sembari berkata, “Demi Allah andaikan makanan itu tidak bisa keluar kecuali dengan mengorbankan jiwa (ruh)ku maka akan aku keluarkan juga, Sebab aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tubuh yang diberi makan dari barang haram maka neraka lebih pantas untuknya.” (H.r. Tirmidzi danIbnu Hibban dari Ka’ab bin ‘Ajarah).
Abu Bakr pernah berkata, “Aku ingin menjadi tumbuhan hijau yang dimakan oleh binatang, dan tidak pernah diciptakan, karena aku takut siksa Allah dan ketakutan di hari Kiamat.”
Diriwayatkan dari Abu Bakr ash-Shiddiq yang mengatakan: Ada tiga ayat dalam kitab Allah yang menyibukkanku dari yang lain:
Pertama:
“Jika Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghalanginya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan untukmu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.” (Q.s. Yunus: 107)
Maka aku tahu bahwa, apabila Allah menghendaki kebaikan untukku, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghilangkannya dariku selain Dia sendiri. Dan jika Dia menghendaki kejelekan untukku, maka tidak ada seorang pun yang mampu menghindarkannya selain Dia sendiri.
Kedua:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (Q.s. al-Baqarah: 152)
Maka demi Allah, sejak aku membaca ayat ini tidak lagi pernah memikirkan masalah rezekiku.”
Disebutkan pula, bahwa bait syair berikut adalah dari Abu Bakr ash-Shiddiq:
Wahai orang yang membanggakan dunia dan perhiasannya
Bukankah kebanggaan itu mengangkat tanah denga tanah
Jika Anda ingin melihat manusia yang paling mulia
Maka lihatlah seorang raja yang mengenakan pakaian orang miskin
Itulah yang besar kasih sayangnya dimata manusia
Itulah yang berguna bagi dunia dan agama.
Dikisahkan dari al-Junaid yang mengatakan, “Kalimat tentang tauhid yang paling mulia adalah apa yang dikatakan Abu Bakr, ‘Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya’
http://tarekatqodiriyah.wordpress.com
Labels:
Spiritualitas Sufi
Sunday, April 10, 2011
Sufi Road : Karomah Bukan Derajat Luhur

Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya.
Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…”
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.
Sumber : Sufinews
Labels:
Karomah,
Spiritualitas Sufi
Friday, April 8, 2011
Sufi Road : Karomah Habib Soleh bin Muhsin Al Hamid
Membicarakan karamah Habib Sholeh tidak bisa lepas dari peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Nabi Khidir AS. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.
Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya memang dekat dengan rumahnya. Tiba-tiba datang seorang pengemis meminta uang. Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki. Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang. Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik, adalah cirri fisik nabi Khidir. Tangannyapun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemispun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu.Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang yang berpakaian serba hitam dan meminta Yik Sholeh untuk menunjukkan rumah habib Sholeh. Karena di sekitar sana tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada, tuan, nama Habib Sholeh, yang ada Sholeh, saya sendiri, “Kalau begitu andalah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang.
Sejak itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi oraang, mujlai sekedar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Mantan wakil Presiden Adam malik adalah satu dari sekian pejabat yang sering sowan kerumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau, jika Habib Sholeh ke Jakarta, menjemputnya bejibun, melebihi penjemputan Presiden,” ujar KH. Abdillah yang mengenal dengan baik Habib, menggambarkan.
KH.Ahmad Qusyairi bin Shiddiq adalah sahabat karib habib. Dulunya Habib Sholeh sering mengikuti pengajian KH. Ahmad Qusyairi di Tanggul, tetapi setelah tanda-tanda kewalian Habib mulai menampak, ganti KH. Qusyairi yang mengaji kepada Habib.
Menjelang wafat, KH. Qusyairi sowan kepada Habib. Tidak seperti biasa, kala itu sambutan Habib begitu hangat, sampai dipeluk erat-erat. Habib pun mnyembelih seekor kambing khusus menjamu sang teman karib. Disela-sela bercengkrama, Habib mengatakan bahwa itu terakhir kali yang ia lakukan. Ternyata beberapa hari kemudian KH. Qusyairi wafat di kediamannya di Pasuruan.
Tersebutlah seorang jenderal yang konon pernah mendapat hadiah pulpen dari Presiden AS D. Esenhower. Suatu ketika pulpen itu raib saat dibawa ajudannya kepasar (kecopetan). Karuan saja sang ajudan kalang kabut, sehingga disarankan oleh seorang kenalannya agar minta tolong ke Habib Sholeh.
Sampai di sana, Habib menyuruh mencari di Pasar Tanggul. Sekalipun aneh, dituruti saja, dan ternyata pulpen itu tidak ditemukan. Habib menyuruh lagi, lagi-lagi tidak ditemukan. Karena memaksa, Habib masuk kedalam kamarnya, dan tak lama kemudian keluar dengan menjulurkan sebuah Pulpen. “Apa seperti ini pulpen itu? Sang ajudan tertegun, karena ternyata itulah pulpen sang jenderal yang sudah pindah ke genggaman pencopet.
Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menuturkan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara Kaffah. Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa Istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah.
Tengok saja komitmen Habib terhadap nilai-nilai keislaman, termasuk keperduliannya terhadap fakir miskin, janda dan anak yatim, menjadi juru damai ketika ada perselisihan. Beliau dikenal karena akhlak mulianya, tidak pernah menyakiti hati orang lain, bahkan berusaha menyenangkan hati mereka, sampai-sampai dikenal tidak pernah permintaan orang. Siapapun yang bertamu akan dijamu sebaik mungkin. Habib Sholeh sering menimba sendiri air sumur untuk mandi dan wudu para tamunya.
Maka buah yang didapat, seperti ketika Habib Ahmad Al-Hamid pernah berkata kepada baliau, kenapa Allah selalu mengabulkan doanya. Habib Sholeh menjawab, “Bagaimana tidak? Sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat-Nya Murka.”
Sumber : Pustaka Muhibbin
Labels:
Habaib,
Karomah,
Spiritualitas Sufi
Wednesday, January 5, 2011
Sufi Road : Istiqomah

Pengertian Istiqomah
Istiqomah adalah berpegang teguh dengan agama dan kokoh (tegar dan tidak goyah) di atasnya.
Ibnu Rajab al-Hanbali di dalam bukunya “Jami’ul Ulum wal Hikam” mengatakan:”Istiqomah adalah penempuhan jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa adanya pembengkokan ke kanan maupun ke kiri. Dan hal itu mencakup ketaatan secara keseluruhan, baik lahir maupun bathin, serta meninggalkan segala bentuk larangan.
Hukum Istiqomah
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi-Nya (Muhammad) shallallahu 'alaihi wasallam dan para pengikut beliau untuk beristiqomah baik dalam aqidah, syari’at, pedoman hidup, maupun dalam manhaj. Dan supaya mereka menjauhi sikap berlebih-lebihan dan supaya mereka menghindari hawa nafsu para wali-wali syaitan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
{ فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ } [ سورة هود :112] .
”Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud:112)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk kokoh dan senantiasa istiqomah, dan itu termasuk cara terbesar untuk mendapatkan kemenangan atas musuh-musuh mereka dan untuk menyelisihi lawan-lawan mereka. Dan Dia melarang mereka dari perbuatan ghuluw yaitu perbuatan melampui batas, karena sesungguhnya hal itu (ghuluw) adalah kematian/musibah sekalipun (perbuatan ghuluw) itu terhadap orang musyrik.Dan Dia Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa Dia Maha Melihat amalan hamba-hamba-Nya, Dia tidak lalai dari sesuatu sekecil apapun dan tidak ada yang tersembunyi dari-Nya hal sekecil apapun.”
Buah Istiqomah
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَدَّعُونَ {31} نُزُلاً مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ {32}
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:"Rabb kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):"Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu" Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat: 30-32)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لأَسْقَيْنَاهُم مَّآءً غَدَقًا {16}
”Dan bahwasannya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak)”. (QS. Al-Jin:16)
Dari ayat-ayat yang mulia di atas kita bisa mengambil beberapa faidah/buah dari Istiqomah diantaranya:
Pertama, Malaikat turun kepada mereka
Kedua, mendapatkan thuma’ninah (kedamaian) dan ketenangan
Ketiga, baginya kabar gembira dengan Surga.
Keempat, diberikan keluasan rizki dan kehidupan yang lapang.
Kelima, diampuni dosa-dosanya
Jalan menempuh Istiqomah
1. Melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bersungguh-sungguh di dalamnya dan memaksa hawa nafsu untuk taat kepada-Nya.
2. Ilmu, karena bagaimana kita bisa istiqomah kalau tidak dilandasi dengan ilmua.
3. Ikhlash
4. Mengikuti/mencontoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
5. Seimbang dan pertengahan, tidak ghuluw dan tidak meremehkan.
6. Doa
7. Bergaul dan bersahabat dengan ortang-orang shalih.
8. Selalu ada ikatan dengan al-Qur’an, baik dengan membaca, menghafal, mentadabburi dan mengamalkannya.
Dampak Istiqomah dalam kehidupan seorang muslim
1. Memperoleh tauhid yang murni.
2. Mendorong untuk berdakwah kepada jalan Allah.
3. Memiliki kesungguhan dan semangat/cita-cita yang tinggi.
4. Kokoh dan teguh di atas kebenaran.
5. Merasa kurang dalam beribadah (tidak pernah merasa telah beribadah dengan sempurna)
Penghalang-penghalang Istiqomah
1. Menganggap enteng perbuatan maksiat.
2. Menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan akhirat.
3. Berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan)
4. Sifat tengah-tengah (pertengahan) yang buruk.
Cerminan para Salaf dalam Istiqomah mereka
Istiqomah dalam ucapan. Imam al-Bukhari rahimahullah berkata:”Aku berharap berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla dan Dia tidak menghisabku (menghitungku) telah menggunjing (ghibah) satu orangpun.”
Istiqomah dalam rasa khawatir atau gundah
Dalam biografi Sahabat mulia Jam’ah bin Abi Jam’ah ada riwayat bahwasanya dia bermalam di rumah salah seorang Tabi’in bernama Haram bin Hayyan al-‘Abdi, maka dia melihat Jam’ah menangis semalam suntuk, maka Haram berkata kepadanya:”Apa yang membuatmu menangis?” Dia berkata:”Aku teringat suatu malam yang mana pada pagi harinya dibangkitkan manusia dari kubur-kubur mereka.” Kemudian dia bermalam di rumahnya pada malam berikutnya, lalu diapun menangis, maka Haram pun bertanya kepadanya lalu diapun menjawab:”Aku teringat suatu malam yang pagi harinya bintang-bintang berjatuhan.”
Kokoh dan tegar dalam Istiqomah
Sikap Ka’ab bin Malik radhiyallahu 'anhu ketika dikucilkan oleh manusia (para Sahabat radhiyallahu'anhum) dan manusia yang paling dekat dengannya pun keras (dalam sikap) kepadanya. Dan ketika beliau menolak surat tawaran dari Raja Ghassan yang datang kepada beliau yang di dalamnya ada tawaran yang menggiurkan dan kemewahan, akan tetapi tungku api adalah jawaban yang paling tegas terhadap tawaran yang menggiurkan itu (maksudnya beliau tidak menghiraukan tawaran itu dan beliau lebih memilih membakar surat tawaran itu).
Sikap Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu terhadap orang-orang murtad dan yang tidak mau membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka nampak dengan jelas kejujuran tekad dan keteguhan beliau radhiyallahu 'anhu dalam membela agama Allah. Dan ketika itu jazirah Arab goncang dengan adanya kemurtadan dan kemunafikan, maka beliau tetap tegar seperti gunung yang kokoh, tidak mau mengalah (menggugurkan zakat) walaupun hanya seekor anak unta sekalipun, sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memenangkannya dan jadilah beliau tanda dan simbol bagi setiap orang yang menginginkan Istiqomah dan mencari teladan yang shalih.
Hadits-hadits seputar Istiqomah
Dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu berkata, aku berkata:”Wahai Rasulullah, katakana kepadaku suatu perkataan dalam Islam, aku tidak tanyakan tentang hal itu kepada seorang pun selain engkau –dalam sebuah riwayat yang lain: setelah engkau-“ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
( قل آمنت بالله ثم استقم ) .
”Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu Istiqomahlah.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
( لا يستقيم إيمان عبدٍ حتى يستقيم قلبه ولا يستقيم قلبه حتى يستقيم لسانه ) .
”Tidak Istiqomah (lurus) keimanan seorang hamba sebelum Istiqomah hatinya, dan tidak akan Istiqomah hatinya sebelum Istiqomah lisannya.” (HR. Imam Ahmad)
Dari Tsauban radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
( استقيموا ولن تُحصوا واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة ، ولا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن ) .
”Istiqomahlah kalian dan kalian tidak akan mampu beristiqomah secara sempurna, dan ketahuilah bahwa sesunguhnya sebaik-baik amalan kalian adalah sholat, dan tidak menjaga wudhu kecuali seorang mukmin.” (HR. at-Tirmidzi, Malik dll)
Makna ولن تُحصوا disebutkan di dalam kitab al-Muntaqo syarah (penjelasan) terhadap kitab al-Muwatho beberapa makna diantaranya: Kalian tidak akan sanggup untuk menjangkau semua perbuatan amal shalih, atau kalian tidak akan bisa menghitung pahala dari Istiqomah apabila engkau melakukannya. Sedangkan dalam kitab Murqotul Mashaabih syarah terhadap kitab Misykatul Mashaabih disebutkan bahwa maknanya adalah engkau tidak akan mampu beristiqomah secara sempurna.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu (secara mauquf maupun marfu’):
( إذا أصبح ابن آدم ؛ فإن الأعضاء كلها تُكفر اللسان ، فتقول : اتق الله فينا ؛ فإنما نحن بك ؛ فإن استقمت استقمنا وإن اعوججت اعوججنا ) .
” Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng” (HR Tirmidzi no 2407 )
Makna sabda Nabi فإن الأعضاء كلها تُكفر اللسان adalah bahwa semua anggota badan tunduk dan merendahkan diri di hadapan lisan seraya mengucapkan ucapan tersebut di atas, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi. Wallahu A’lam
Sumber : as-salafiyyah
Labels:
Spiritualitas Sufi
Monday, January 3, 2011
Sufi Road : Pengenalan Diri

Ketahuilah, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri dari sisi lahiriah, seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak akan mengantarmu untuk mengenal Tuhan. Sama halnya, pengetahuanmu mengenai karakter fisikal dirimu, seperti bahwa kalau lapar kau makan, kalau sedih kau menangis, dan kalau marah kau menyerang, bukanlah kunci menuju pengetahuan tentang Tuhan. Bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan ini jika kau mengandalkan insting hewani serupa itu ?
Sesungguhnya pengetahuan yang benar tentang diri meliputi beberapa hal berikut :
Siapa aku dan dari mana aku datang ? kemana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan dimanakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan ? ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu : hewan, setan dan malaikat. Harus kau temukan, mana di antara ketiganya yang aksidental dan mana yang esensial. Tanpa menyingkap rahasia itu , kau takkan temukan kebahagiaan sejati.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Karena itu, jika engkau hewan, sibukkanlah dirimu dalam aktivitas itu. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan tipu daya, dan dusta. Jika kau termasuk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara, malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani. Jika kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat asalimu agar kau dapat mengenali dan merenungi DIA Yang Maha Tinggi serta terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah. Berupayalah untuk mencari tahu mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini, syahwat dan amarah, sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakannya sebagai kuda tunggangan dan senjatamu.
Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut qalb atau ruh. Qalb yang saya maksudkan bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib; ia muncul di dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang dan kelak akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Tuhan.
Sebagian pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu, ia akan mengetahui ketakterbatasan sifat dirinya itu. Namun syariat melarang kita menelisik hakikat ruh sebagaimana ditegaskan Al Quran : “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan : ruh adalah urusan Tuhanku.”[QS 17 : 85]
Jadi, sedikit yang dapat diketahui hanyalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terbagi yang termasuk dalam dunia titah [amr], dan bahwa ia bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan ciptaan. Pengetahuan filosofis yang tepat mengenai ruh bukanlah awal yang niscaya untuk meniti jalan ruhani. Pengetahuan itu akan didapatkan melalui disiplin diri dan kesabaran menapaki jalan ruhani, sebagaimana dikatakan Al Quran : “Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami [yang lurus].” [QS 29 : 69]
Untuk memahami lebih jauh perjuangan batin untuk benar-benar mengenal diri dan Tuhan, kita dapat melihat jasad kita sebagai sebuah kerajaan; jiwa sebagai rajanya dan indra beserta fakultas lain sebagai tentaranya. Akal bisa disebut perdana menterinya, syahwat sebagai pemungut pajak, dan amarah sebagai polisi. Dengan alasan mengumpulkan pajak, syahwat selalu ingin merampas segala hal demi kepentingan sendiri, sementara amarah cenderung bersikap kasar dan keras. Pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tak mesti dibunuh atau ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus dipenuhinya. Namun jika syahwat dan amarah menguasai nalar, maka jiwa pasti runtuh. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah menguasai yang lebih tinggi, ibarat orang yang menyerahkan bidadari kepada seekor anjing, atau seorang musim kepada seorang raja kafir yang zalim.
Memelihara sifat-sifat setan, hewan, atau malaikat akan melahirkan watak yang bersesuaian dengannya di hari kiamat akan mewujud dalam rupa yang kasat mata, seperti syahwat menjadi babi, amarah menjadi anjing dan srigala, serta kesucian mewujud dalam rupa malaikat. Pendisiplinan moral bertujuan membersihkan kalbu dari karat syahwat dan amarah sehingga sebening cermin yang mampu memantulkan cahaya ilahi.
Mungkin ada orang yang berkeberatan dan menanyakan, “jika manusia diciptakan dengan sifat-sifat hewan, setan dan malaikat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat adalah esensi kita, sementara sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi ?.”
Jawabannya, esensi setiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya. Contohnya, kuda dan keledai adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul karena ia dipergunakan juga untuk perang. Jika tidak, kuda terpuruk hanya menjadi hewan pengangkut beban. Fakultas tertinggi dalam diri manusia adalah akal yang memampukannya merenung tentang Tuhan. Jika akal mendominasi, maka ketika mati ia terbebas dari kecenderungan syahwat dan amarah, sehingga dapat bergabung dengan para malaikat. Dibandingkan dengan beberapa jenis hewan, manusia jauh lebih lemah. Berkat akal, ia dapat mengungguli mereka sebagaimana dikatakan Al Quran : “Telah kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia.” [QS 45 : 13]
Sebaliknya, jika sifat hewani atau setan yang berkuasa, maka setelah mati ia akan selalu menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan duniawi.
Betapa mengagumkan, jiwa rasional [akal] manusia berlimpah dengan pengetahuan dan kekuatan. Berkat keduanya ia dapat menguasai seni dan sains, mampu bolak-balik dari bumi ke angkasa secepat kilat, dapat memetakan langit dan mengukur jarak antarbintang. Berkat ilmu dan kekuatan ia juga dapat menangkap ikan dari lautan dan burung di udara, bahkan kuasa menundukkan binatang liar seperti gajah, unta dan kuda. Panca indranya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap dunia luar. Namun yang paling menakjubkan dari semua itu adalah kalbunya yang memiliki jendela terbuka ke dunia ruh yang gaib. Dalam keadaan tidur, ketika saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka menerima berbagai gambaran dari dunia gaib, yang kadang-kadang mengabarkan isyarat tentang masa depan. Kalbunya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh. Tetapi, bahkan di saat ia tidur, pikiran-pikiran yang bersifat duniawi akan memburamkan cermin tersebut sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Bagaimanapun, saat kematian datang, semua pikiran seperti itu akan sirna dan hakikat segala sesuatu tampak sejelas-jelasnya. Saat itulah yang dimaksud dalam ayat Al Quran : “kamu lalai dari [hal] ini. Kami singkapkan tutup matamu sehingga penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.” [QS 50 : 22]
Jendela dalam kalbu ini juga dapat terbuka dan mengarah ke dunia gaib di saat-saat yang menyerupai ilham kenabian, yakni ketika intuisi muncul dalam pikiran tanpa melalui perangkat indrawi. Makin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan pikiran kepada Tuhan, semakin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang yang tidak menyadari intuisi semacam itu tak berhak menyangkal keberadaannya.
Dan tidak hanya para nabi yang bisa menerima intuisi seperti itu. Layaknya sebatang besi yang terus dipoles akan berubah menjadi cermin, pikiran siapapun akan mampu menerima intuisi seperti itu jika dilatih dengan disiplin yang keras. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau bersabda : “setiap anak dilahirkan dengan fitrah [kecenderungan menjadi musli]; orang tuanya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Setiap manusia di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan, “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?,” dan menjawab, “ya” [referensi QS 7 : 172]. Tetapi kebanyakan kalbu manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan gambaran yang jernih. Berbeda dengan kalbu para nabi dan wali yang, meski mereka pun memiliki nafsu serupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan ilahiah.
Sebagaimana dikatakan di atas, jiwa rasional dilimpahi pengetahuan dan kekuatan. Jadi, intuisi seperti itu tidak hanya bisa diraih dengan pengetahuan, yang membuat manusia lebih unggul dari semua makhluk lainnya, tetapi juga dengan kekuatan. Sebagaimana malaikat menguasai pelbagai kekuatan alam, jiwa manusia pun berkuasa mengatur semua anggota badan. Jiwa yang telah mencapai tingkat kekuatan tertentu, tidak saja dapat mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika ia ingin agar seseorang yang sakit sembuh, si sakit akan sembuh, atau jika ingin seseorang yang sehat agar jatuh sakit, sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, orang itu akan dating dihadapannya. Baik atau buruk akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini bergantung pada sumber kekuatannya, sihir ataukah mukjizat.
Ada tiga hal yang membedakan jiwa yang sangat kuat ini dari jiwa orang kebanyakan.
Pertama, apa yang dilihat orang lain hanya dalam mimpi, mereka melihatnya di saat-saat jaga.
Kedua, sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka, jiwa ini, dengan kekuatan kehendakNya, bisa pula menggerakkan jasad orang lain.
Ketiga, jika orang lain mesti belajar keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia mendapatkannya melalui intuisi.
Tentu saja ada banyak hal lain yang membedakan jiwa mereka dari jiwa kebanyakan manusia. Namun, ketiga tanda itulah yang dapat diketahui umum. Sebagaimana tidak ada sesuatupun yang mengetahui hakikat sifat-sifat Tuhan kecuali Tuhan, sifat sejati seorang nabi pun hanya diketahui oleh nabi. Tak perlu merasa heran, karena dalam kehidupan sehari-haripun kita tak mungkin menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang tak peka terhadap rima dan irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seorang yang buta. Selain ketidakmampuan, ada perintang-perintang lain untuk mencapai kebenaran spiritual. Satu di antaranya adalah pengetahuan capaian lahiriah. Jelasnya, hati manusia bisa digambarkan sebagai sumur dan panca indra sebagai lima aliran yang terus mengaliri sumur itu. Untuk mengetahui kandungan hati yang sebenarnya, kita harus menghentikan aliran-aliran tersebut dan membersihkan sampah yang dibawanya. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni, kita mesti membuang pengetahuan yang telah dicapai melalui proses indrawi dan yang sering kali mengeras menjadi prasangka dogmatis.
Namun banyak juga orang yang salah kaprah menyikapi pengetahuan capaian lahiriah ini. Banyak orang yang dangkal ilmunya, seraya mengutip beberapa ungkapan yang mereka dengar dari guru-guru sufi, bercuap-cuap mencela dan menajiskan semua jenis pengetahuan. Ia tak ubahnya seseorang yang tak tahu kimia lalu berkoar : “kimia lebih baik daripada emas,” seraya menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tetapi alkemis sejati amatlah langka,begitupun sufi sejati.
Setiap orang yang mengkaji persoalan in akan melihat bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari makrifat, mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala sesuatu yang untuk itu dia diciptakan. Syahwat senang memenuhi hasrat nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan indah, dan telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalalm upaya tersebut. Bahkan dalam persoalan yang remeh sekalipun, seperti permainan catur, manusia merasakan kesenangan. Dan, semakin tinggi materi pengetahuan yang didapat, semakin besar rasa senangnya. Orang akan senang jika dipercaya menjadi perdana menteri, tetapi ia akan jauh senang jika semakin dekat kepada raja yang mungkin mengungkapkan berbagai rahasia kepadanya.
Seorang astronom yang dengan pengetahuannya bisa memetakan posisi bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, pasti merasa jauh lebih senang ketimbang pemain catur. Maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengetahui bahwa tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dari Allah. Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya subyek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan puncak kesenangan.
Orang yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membunuh semua organ tubuh yang bisa diperalat nafsu, semua dorongan dan hasrat badani musnah, tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya semakin bertambah.
Satu bagian penting dari pengetahuan tentang Tuhan timbul dari kajian dan perenungan atas jasad manusia yang menampilkan kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Penciptanya. Dengan kekuasaanNya, Dia membangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa ini hanya dari setetes air mani. Kerumitan jasad kita dan kemampuan setiap bagiannya untuk bekerja secara harmonis menunjukkan kebijakanNya. CintaNya Dia perlihatkan dengan memberi organ tubuh yang mutlak diperlukan manusia, seperti hati, jantung, dan otak, dan juga organ yang tidak mutlak dibutuhkan, seperti tangan, kaki, lidah dan mata. Lalu Dia menyempurnakan ciptaanNya itu dengan menambahkan rambut yang hitam, bibir yang memerah, dan bulu mata yang melengkung.
Karena itu sangat pantas jika manusia disebut alam al shaghir [mikrokosmos]. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang yang ingin menjadi dokter, melainkan juga oleh orang yang ingin mencapai pengetahuan lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan gaya bahasa pada sebuah puisi yang indah akan mengungkapkan lebih banyak kegeniusan penulisnya.
Namun dibandingkan pengetahuan tentang jasad beserta fungsi-fungsinya, pengetahuan tentang jiwa lebih banyak berperan mengantar manusia pada pengetahuan tentang Tuhan. Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengetahui jiwanya, sesuatu yang paling dekat kepadanya, maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa-apa. Ia tak ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Orang yang mengabaikan kebesaran jiwa manusia dan menodai kesuciannya dengan mengotori atau bahkan merusaknya, pasti akan kalah di dunia dan di akhirat. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk terus maju dan berkembang. Tanpa kemampuan itu ia akan menjadi makhluk lainnya, takluk oleh rasa lapar, haus, panas, dingin, dan musnah oleh penderitaan. Sering kali apa yang disukai seseorang justru sangat membahayakan dirinya. Dan segala hal yang memajukannya tidak bisa diperoleh kecuali dengan kesusahan dan kerja keras. Intelektualitas manusia sesungguhnya sangat rapuh. Sedikit saja kekacauan dalam otaknya sudah cukup untuk merusak atau membuatnya gila. Dan fisiknya pun lebih lemah dibanding dengan hewan; bahkan sengatan tawon saja sudah mampu mengusik ketenangan dan kesehatannya. Tabiatnya bahkan lebih lemah lagi. Satu rupiah hilang dari kantongnya ia kelabakan dan gelisah tak keruan. Kecantikannya pun, berkat kulitnya yang lembut, hanya sedikit lebih baik daripada makhluk lainnya. Jika tidak sering dicuci, manusia akan tampak sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnya manusia merupakan makhluk yang teramat lemah dan hina di dunia ini. Kebernilaian dan keutamaannya hanya akan mewujud di negeri akhirat. Melalui pendisiplinan diri ia akan naik dari tingkatan hewan ke tingkatan malaikat. Karena itu, disertai kesadaran sebagai makhluk terbaik dan paling unggul, ia harus berusaha mengetahui ketakberdayaannya, karena pengetahuan itu menjadi salah satu kunci untuk membuka pengetahuan tentang Allah.
Wallahualam bishhowab
Labels:
Spiritualitas Sufi
Subscribe to:
Posts (Atom)