Showing posts with label Habaib. Show all posts
Showing posts with label Habaib. Show all posts

Wednesday, November 18, 2015

Habib Umar bin Hafidz berkata: "Pondasi agar seseorang mendapatkan kenikmatan dalam beribadah adalah menyatukan tujuannya hanya kepada Tuhan, lalu memaksa hati kita agar selalu menghadirkan Allah SWT, dan bergaul bersama orang-orang yang saleh dan membaca biografi mereka. Melalui semua itu seseorang akan mendapatkan kenikmatan dalam beribadah. Seorang arif ditanya:"Aapakah mereka yang bermaksiat kepada Allah akan mendapatkan kenikmatan dalam beribadah?" ia menajwab, "Tidak akan, bahkan mereka yang memiliki rencana bermaksiat tidak akan mendapatkannya".
semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan ini amin..
(Sumber:Tanjih al Nabih li Mardhah Barih-Al Habib Umar Bin Hafidz menjawab)

Monday, October 22, 2012

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Tausiyyah  al-Habib Umar bin Hafidz

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, iaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan. Sinarnya bergemerlapan. Demi Allah …. memisahkan diri dari mereka merupakan suatu kerugian yang sangat besar.

Tidakkah kalain fikir, kerugian tersebut disebutkan oleh pemimpin dari segala pemimpin, iaitu Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah bersabda (maksudnya): Celakalah bagi orang yang tidak melihatku pada hari qiamat.

Sesungguhnya orang yang tidak melihat kaum sholihin tidak akan bisa melihat Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Orang yang tidak memandang mereka, tidak akan bisa memandang Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Dan orang yang tidak menjalin hubungan dengan mereka tidak akan bisa berhubungan dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.

Ketahuilah, bahwa kaum sholihin adalah bahagian dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pewaris Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah khalifah Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr setelah kewafatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.

Mereka adalah pewaris rahasia an-Nabawiyyah sepeninggalan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah semulia-mulia perwaris Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Di antara mereka adalah al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه yang telah disifatkan oleh al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه dalam bait qashidah beliau: “Kerananya (Imam al-Haddad) sejuklah hati Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Bagi Baginda صلى الله عليه وآله وسلمia adalah sebaik-baik keturunannya. Panutan bagi pengikut. Ka’abah (qiblat) bagi orang yang meniti jalan kebenaran dan merupakan kebanggaan bagi penduduk negerinya. Nasihat-nasihatnya menebarkan ilmu pengetahuan. Kasih-sayangnya meliputi semua umat. Darinya, mereka mengambil manfa’at dengan sebaik-baik manfa’at.”

Dalam kesempatan lain, al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه menyifatkan al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه dalam untaian syairnya yang begitu indah. Al-Habib ‘Ali mengatakan: “Dialah cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang bersambung nasabnya dengan orang-orang mulia yang kemuliaan mereka dikenal oleh para pejuangan dan pemberani. Dialah penyalur asrar dan ilmu kepada keluarga, keturunan, penduduk negerinya, bahkan kepada umat generasi sesudahnya. Maka semua yang bersuluk dengannya akan bersinar dengan cahaya bilau yang terang benderang.”

Cahaya ini tak akan padam dan tak akan sirna. Mengapa? Sebab, Allah Ta’ala lah yang menyalakannya! Itulah sebabnya cahayanya terus bersinar dan kian memancar. Siapakah yang mampu memadam cahaya yang telah dinyalakan oleh Allah Ta’ala? Demi Allah! Cahaya itu tidak akan padam dan takkan pernah sirna selamamana Allah Ta’ala yang menjaganya.

Namun sungguh menyedihkan, di antara kita (yakni para ‘Alawiyyin dan keturunan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم) terdapat orang-orang yang terhalang dari cahaya itu. Mereka adalah orang-orang yang enggan masuk ke dalam golongan itu. Bahkan sangat disayangkan, justru mereka masuk ke dalam kelompok lain. al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه berkata: “Siapa tidak menempuh jalan leluhurnya pasti akan bingung dan tersesat. Wahai anak-cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tempuhilah jalan mereka, setapak demi setapak dan jauhi segala bid’ah.”

Siapakah yang lebih mengenal Allah Ta’ala dibandingkan para kaum ‘arifin? Siapakah yang lebih mengetahui hakikat Rabbul ‘Alamin dibandingkan dengan imam-imam kita? Siapakah yang lebih mengenal Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dibanding mereka? Selain mereka, kepada siapa kita akan bercermin? Kepada siapa kita akan berteladan?

Wahai hamba-hamba Allah, pelajarilah riwayat hidup kaum sholihin. Jalinlah persaudaraan dan kasih-sayang dia antara kalain. Jangan kalian bercerai berai. Bersiap-siaplah menolong jalan mereka. Demi Allah! Jalan mereka tersebar, bendera mereka berkibar. Bukan di negara kalian sahaja, namun diseluruh penjuru dunia. Di belahan dunia, timur mahupun barat. Bagi masyarakat ‘Arab mahupun ‘Ajam (non-‘Arab). Baik di Jaziarah ‘Arab, Amerika, Eropah, Rusia, Asia, China ataupun Indonesia ini.

Di sana bendera kelaurga al-Imam al-Habib ‘Alwi bin ‘Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir رضي الله عنه telah berkibar. Di segala penjuru, bendera keluarga al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawi رضي الله عنه telah berkibar. Di setiap wilayah, kita pasti akan melihat bendera ahli thariqah ini (yakni thariqah ‘Alawiyyah). Mereka memiliki para tentera dan penolong yang berkedudukan tinggi disisiNya. Namun saat ini, di antara para tentera dan penolong itu ada yang tidur, bahkan mereka nyenyak dalam tidurnya. Ada di antara mereka yang hanya duduk berpangku tangan (berpeluk tubuh) dan terus duduk sahaja. Cukuplah wahai saudaraku! Sudah banyak kita melihat orang-orang yang terlambat dan tertinggal. Bangkitlah wahai saudataku! Sampai kapan kalian akan tidur? Sampai kapan kalian akan terus berpeluk tubuh? Amatilah! Apakah perjalanan hidup mereka telah diterapkan dirumah-rumah kalian? Apakah mereka sudah menjadi teladan dalam keluarga kalian? Apakah mereka telah menjadi panutan bagi anak dan isteri kalian? Bagaimana kalian ini? Kalian mengaku cinta dan memiliki ikatan dengan mereka, namun di rumah kalian setiap harinya yang terdengar hanyalah berita mengenai orang-orang kafir. Hanya menyimak khabar dari orang-orang fasiq dan gossip para bintang filem?????!!!! Setahun penuh tidak pernah ada berita mengenai salaf!!! Apakah ini yang disebut cinta????? Apakah ini yang dikatakan memiliki ikatan kekeluargaan????

Jubah Sayyidatuna Fathimah az-Zahra عليها السلام

Sungguh ironis sekali!!!! Saat ini sinetron, orang-orang fasiq dan orang-orang kafir lah yang mendidik anak-anak kita. Pemandangan itu yang menjadi hiasan dalam keluarga kita. Betapa banyak anak perempuan kita yang meniru wanita-wanita fasiq di TV, baik dari cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya. Sehingga mereka itdak mengenal lagi siapa Fathimah az-Zahra عليها السلام. Siapakh beliau? Bagaimana biografi beliau? Seperti apa pakaian beliau? Bagaimana kezuhudannya? Bagaimana ibadahnya? Saat ini mereka tidak lagi mengenal puteri-puteri Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak tahu siapa itu Zainab, Ummu Kultsum, Ruqayyah. Mereka juga tidak tahu isteri-isteri Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak lagi mengenal siapa itu Khadijah binti Khuwailid عليها السلام, ‘Aisyah ash-Shiddiqah عليها السلام dan lain-lain. Bagaimana ini boleh terjadi? Wahai para kepala keluarga! Bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian? Dengan figur siapa kalian memberikan contoh kepada puteri-puterimu?

Apakah kalian berniat menggantikan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dengan mereka? Teladan apakah yang telah kalian berikan kepada keluarga dan anak-anak kalian? Kalian meniru orang-orang durhaka, padahal kalian adalah mu’min. sesungguhnya kalian telah memiliki kebesaran, kebanggan dan kemuliaan. Namun mengapa kebesaran, kebanggaan serta kemuliaan itu kalian tukar dengan orang-orang yang jauh dari Allah dan RasulNya

Sungguh, kalian telah menggantikan teladan yang telah diredhai Allah Ta’ala dan RasulNya untuk kalian. Apakah kalian lupa akan firman Allah Ta’ala di dalam al-Quran: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ Ertinya: Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik (Surah al-Ahzab: 21)

Wahai saudaraku, tanamlah dalam hatimu untuk berubah dari semua ini. Kembalilah pada jalan yang telah diteladankan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Dalam buku catatan ‘amal kita tertulis kata-kata yang tidak patut, pandangan yang tidak layak, dan niat yang tidak pantas (selayaknya). Jikalau demikian, maka siapakah yang akan menghapuskannya? Bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, kerana Dialah yang menerima segala taubat dari hamba-hambaNya dan Dialah yang memaafkan segala kesalahan-kesalahan para hambaNya. Wallahu a’lam.

Sekian dari, al-Fagir ilaLlah abu zahrah al-qedahiy http://pondokhabib.wordpress.com

Tuesday, July 31, 2012

Tausiyah Habib Ali Al Jufri di monas

Majelis Rasulullah SAW ~ Tausiyah Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri (16 Juni 2012)
 

Habib Ali Al Jufri: Kelahiran Manusia Utama SAW

Assalamualaikum
Berikut adalah video dengan teks melayu dari ceramah Habib Ali Al Jufri tentang mawlidul rasul, peristiwa kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. semoga kita bisa mendapat tambahan ilmu dan meningkatkan kecintaan kita kepada Rasulullah Amin.
wassalam.

Saturday, May 12, 2012

4 Cara Bermimpi Rasulullah Habib Ali Al Jufri


Assalamualaikum..
Berikut adalah 4 cara bermimpi rasulullah yang diajarkan oleh Habib Ali Al Jufri sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru2nya..
1. Memperbanyak Sholawat kepada RAsulullah. Imam As Sakhawi menganjurkan minimal 1 hari kita membaca 300 sholawat.
2. Mengagungkan Sunah Baginda Rasulullah
3. Mahabbah kepada Rasulullah
4. Berkhidmat kepada Rasulullah

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari pelajaran habib ali ini..
salam

Thursday, April 12, 2012

Video Haul Habib Abdul Qadir Bilfaqih

Bismillahirrohmanirrohiim
Berikut adalah salah satu video langka Haul Habib Abdul Qodir Bil Faqih di Malang
Haul ini dihadiri anak beliau yang Mulia Habib Abdullah Bil Faqih.
Semoga kita bisa mendapat hikmah dengan melihat wajah-wajah mulia didalam video ini.
Amien


Saturday, February 4, 2012

Hakekat Shalat Yang Sebenarnya

Nasehat Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf

Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf adalah salah satu ulama dengan kapasitas ilmu pengetahuan dhohir dan bathin yang diakui oleh ulama-ulama sezamanya. Al Arif Billah Habib Abdullah bin Idrus Al Aydrus menyebut beliau sebagai kholifah di masanya.

Pada satu kesempatan di masjid Thoha, Hadramaut, pada tanggal 20 Syawal 1353 Hijriyah, beliau memberikan ceramah ilmiah bertemakan shalat. Beliau berkata, shalat merupakan sarana paling utama bagi manusia untuk dapat selalu berinteraksi dengan Penciptanya. Dahulu Nabi Zakariya a.s. menjadikan shalat sebagai fasilitas ketika beliau meminta kepada Allah untuk diberikan keturunan.
Doa beliau dikabulkan dan mendapatkan seorang putra yaitu Nabi Yahya yang merupakan anugerah terbesar dalam hidupnya. Rasul SAW bersabda, ‘Hal yang paling membuatku senang adalah shalat’. Dengan shalat beliau merasakan suatu kenikmatan yang tiada banding, berdialog dengan Allah SWT.

Dalam kitab Nashoih Dinniyah Habib Abdullah Alhaddad mengibaratkan shalat sebagaimana kepala pada manusia. Manusia mustahil dapat hidup tanpa kepala. Demikian halnya semua perbuatan baik manusia akan sia-sia jika tanpa disertai shalat. Shalat merupakan parameter diterima atau tidaknya amal perbuatan manusia. Rasul SAW bersabda, ‘Pertama yang diperhitungkan pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya diterima, maka seluruh amal sholehnya diterima, namun jika shalatnya ditolak, maka seluruh amal solehnya ditolak pula.’

Habib Ahmad kemudian bercerita, “Al-walid Sayid Alwi bin Abdurrahman Assegaf berkata, ‘Sesungguhnya pamanku Abdurrahman bin Ali berkata, jika kamu mempunyai hajat baik urusan dunia ataupun akhirat, maka memintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat. Bacalah akhir surat Thoha seusai shalat, Insya Allah dengan segala kebesaran-Nya akan dikabulkan hajat dan keinginanmu.’

Namun shalat kita pada masa sekarang ini tidaklah seperti shalat para salaf terdahulu yang penuh khusyu’ dan khidmat. Shalat kita merupakan shalat yang selalu dipenuhi kelalaian dan kealpaan, sehingga sangatlah kecil prosentase diterimanya. Orang-orang sufi terdahulu yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmu pengetahuannya, menambahkan tiga rukun pada rukun-rukun shalat yang dikemukakan para ulama fiqih yaitu, khusuk atau tadabbur (hadirnya hati), khudu’(merendahkan diri kepada Allah) dan ikhlas. Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”

Penafsiran mereka dalam ayat ini adalah, ‘Janganlah kalian mendekati (mengerjakan) shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk oleh kesenangan dunia hingga pikiran kalian kosong dari dari segala urusan dunia.’

Sekarang kita saksikan orang-orang melaksanakan shalat namun hati mereka masih selalu tertuju pada urusan dunia, baik urusan jual beli maupun pekerjaan mereka. Akibatnya mereka lupa berapa rokaat yang telah mereka kerjakan, tidak mengetahui surat apa yang telah dibacakan imam. Mereka sama sekali tidak menghayati bacaan Alfatihah dan ayat-ayat yang lain dalam shalat, mereka tidak menyadari bahwa mereka berdiri di depan Maha Penguasa dan sedang berdialog dengan Maha Pencipta. Urusan-urusan duniawi benar-benar telah menguasai hati manusia.

Orang yang memikirkan urusan dunia dalam shalat sama halnya dengan orang yang melumuri Al-Qur’an yang suci dengan khomer. Shalat yang seharusnya menjadi wadah yang suci telah mereka penuhi dengan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Tanpa ada niat ikhlas yang merupakan ruh dari shalat, orang yang demikian diibaratkan oleh Imam Ghozali seperti seseorang yang menghadiahkan seonggok bangkai dengan kemasan rapi kepada seorang raja. Tentunya perbuatan tersebut bukannya menyenangkan hati raja melainkan membuat dia marah dan murka karena dianggap telah melecehkan kehormatan dan kebesarannya.

Para salaf terdahulu memandang shalat sebagai hal yang sangat sakral dan agung. Mereka selalu berusaha melaksanakan dengan sesempurna mungkin. Hingga diantara mereka acapkali dihinggapi burung saat shalat karena sangat khusyuk dan tenangnya. Ada pula yang sampai tidak merasakan dahsyatnya gempa bumi yang meluluh lantakkan bangunan-bangunan di sekitarnya. Bahkan Imam Ali bin Husein sama sekali tak merasakan panasnya kobaran api yang membumi hanguskan rumah beliau saat beliau tenggelam dalam shalatnya. Saat ditanya beliau hanya berujar, ‘Panasnya api yang lain (api neraka) telah membuatku tak merasakan panasnya api dunia.’

Habib Ahmad kemudian memberikan tausiyah, ‘Rasul SAW bersabda, ‘Ada seorang lelaki di antara kamu, rambut di kedua pipinya telah memutih namun tidak diterima satu pun shalatnya.’ Ini menunjukkan bahwa tak ada satu shalat pun yang dia kerjakan dengan khusyuk. Padahal, mulai usia 15 tahun hingga enam puluh tahun sudah berapa kali dia mengerjakan shalat. Jika tidak ada satu shalat pun yang dia kerjakan dengan khusyuk, itu berarti hatinya benar-benar dikuasai urusan keduniaan.

Ini adalah masalah kompleks di tengah masyarakat Islam yang harus disikapi dengan serius, terutama bagi para ulama dan penuntut ilmu. Adapun orang awam pada zaman sekarang sudah merasa cukup dengan shalat serba praktis seperti yang biasa mereka kerjakan. Bahkan di antara mereka ada yang mengeluh jika mendapati seorang imam shalat terlalu lama. Mereka lebih memilih imam yang lebih cepat dan ringkas sembari mengesampingkan unsur kekhusyukan yang sebenarnya esensial dalam shalat. Bagaimana dengan shalat kita?

http://www.forsansalaf.com

Friday, January 20, 2012

Cinta Itu Satu Perkenalan

Kalam Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri

Assalamu`alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat salam semoga selalu terlimpahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga dan Shahabatnya.
Ibnu Abbas RA menjelaskan tentang firman Allah SWT:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menjadikan Jin dan Manusia melainkan untuk menyembah-Ku”.(Q.S. Adh Dhariyat: 56) Yaitu mengenali Alah SWT.

Ibrahim bin Adham RA telah berkata: “Kasih sayang itu merupakan hasil dari sebuah perkenalan, barang siapa yang mengenal Allah SWT maka dia akan mencintai-Nya dan barang siapa mencintai Allah SWT maka dia akan mencintai Baginda Rasulullah SAW, barang siapa yang kenal Baginda Rasulullah SAW, pasti dia akan mencintainya”.
Kita pernah mendengar sebuah ungkapan menarik yang mengatakan bahwa; Tidak wajar hubungan kita dengan Baginda Rasulullah SAW jika hanya sekedar melakukan suatu amalan dan hanya cukup seperti itu, sepatutnya hubungan tersebut akan membuahkan cinta kepada Habibana Muhammad SAW dan cinta itu terus hidup mekar didalam hati kita dan beliau SAW pasti akan hidup didalam hati kita.

Baginda Rasulullah SAW adalah seorang Nabi yang datang kepada kita sebagai seorang manusia, namun Nabi SAW bukanlah seperti insan biasa. Baginda Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memandang kepada sebuah kehidupan dengan pandangan yang mempunyai makna, bukan pandangan yang sebaliknya. Perbedaan diantara kedua pandangan yang tidak mempunyai makna ialah, seseorang yang melihat dirinya dan semata-mata tertumpu untuk memenuhi kepuasan nafsu dirinya. Pandangan yang mempunyai makna ialah, melihat kepada kehidupan mengikuti pandangan yang telah dibawa Baginda Rasulullah SAW, dimana ia bertujuan untuk mengembalikan kekhalifahan diatas muka bumi ini kepada manusia yang termaktub didalam Al Quran: “sesungguhnya Aku telah jadikan diatas muka bumi ini khalifah”. Pandangan tersebut itu merangkumi kepada hewan, benda-benda tidak bernyawa dan tumbuh-tumbuhan, karena pandangan itu bukan hanya melibatkan pandangan kepada manusia saja tetapi merangkumi semua.
Baginda Rasulullah SAW memandang kepada gunung yang terdiri dari batu dan tanah, dengan suatu pandangan yang membangkitkan perasaan cinta. Sabda beliau SAW: “Uhud adalah bukit yang mencintai kita dan kita juga mencintainya”.

Pandangan yang ditunjukkan Baginda SAW kepada yang tidak bernyawa itu menyebabkan ia begerak dan cenderung kepada Baginda Rasulullah SAW. Dalam suatu peristiwa, bukit Uhud bergetar ketika Baginda Rasulullah SAW mendaki bukit tersebut, kemudian Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Tetaplah kamu wahai Uhud, sesungguhnya yang diatas kamu ini ialah seorang Nabi”. Maka bukit Uhudpun berhenti bergetar dan disaksikan oleh shahaabat Abu Bakar As Shidiq dan dua orang lainnya. Pandangan yang ditunjukkan Baginda Nabi Muhammad SAW kepada benda-benda yang tidak bernyawa itu, menyebabkan ia datang kepada Baginda Nabi SAW dan menerimanya.

Sepertu sebuah kisah pelepah kurma yang tidak bernyawa, dimana Baginda Nabi SAW sering memegang pelepah kurma tesebut ketika sedang khutbah Jumat di Masjidnya, hari demi hari bilangan manusia semakin bertambah maka Baginda Nabi SAW menggunakan Mimbar. Suatu ketika Baginda Nabi SAW pun datang ke Masjid untuk khutbah, ketika itu Baginda Nabi SAW telah melepasi pelepah kurma yang dibawanya tersebut, dimana jarak Baginda Nabi SAW dengan pelepah kurma tersebut kurang lebih sekitar 8 langkah. Baginda Nabi SAW melangkah menaiki mimbar dan memulai khutbahnya, semasa khutbah Baginda Nabi SAW, para shahabat mendengar suara tangisan yang teramat sedih dan menyayat hati. Semakin lama suara tangisan itu semakin nyaring terdengar, para shahabat mulai berpaling kekiri dan kekanan mencari-cari dari mana arah datang suara tangisan tersebut, akhirnya mereka dapati suara tangisan itu datang dari pelepah kurma. Apabila benda yang tidak bernyawa ini telah dapati Baginda Nabi SAW berkomunikasi dengannya dan mengandung makna kehidupan yang dibawa Baginda Nabi SAW, maka beliau SAW telah menggerakkan makna kehidupan pada pelepah kurma itu.

Oleh karena itu ia amat menyukai untuk menggambarkan rasa cintanya kepada Baginda Rasulullah SAW. (Hadits ini bertahap mutawatir mengikuti ke Shahihannya)
Para Shahabat berkata: Apabila pelepah kurma itu mulai merengek seperti kehilangan anak, ia menyebabkan kami hampir tidak bisa mendengar suara Baginda Nabi SAW. Kemudian Baginda Nabi SAW turun dari mimbar dan sekali lagi Baginda Nabi SAW telah mengajar kami suatu pengajaran bahwa; Baginda Nabi SAW datang dengan mempunyai pengetahuan tentang rahasia sebuah kehidupan untuk membujuk pelepah kurma itu, kemudian beliau SAW meletakkan tangannya diatas pelepah kurma itu lalu membujuknya seperti seorang ibu yang membujuk anaknya sedang menangis sehingga pelepah kurma itupun terus diam. Lalu Baginda Nabi SAW memberi pilihan kepadanya, kekal hidup sehingga hari kiamat dan kembali kepada Nabi SAW seperti sedia kala atau berada bersama Baginda Nabi SAW didalam Surga. Pelepah kurma itupun memilih untuk bersama Baginda Nabi SAW di Surga.

Baginda Nabi SAW apabila datang kepada hewan, telah mengajar kita bagaimana cara untuk bermuamalah dengan hewan dengan mempunyai nilai ubudiyah kepada Allah SWT. Ketika Baginda Nabi SAW berangkat kemedan jihad di Perang Badar, berulangkali Baginda Nabi SAW turun dari hewan tunggangannya tersebut supaya dapat beristirahat, demikianlah Baginda Nabi SAW terus menerus lakukan pada tunggangannya.

Baginda Nabi SAW telah mengajar kita cara bermuamalah kepada yang telah berkhidmat untuk kita walau ia hanya seekor hewan. Muamalah ini mestilah mempunyai nilai rasa menghargai, bahwa yang dihadapanku ini mempunyai hak sewajarnya untuk dipelihara.
Hasil dari sebuah kecintaan ini juga dapat dilihat, apabila seekor hewan berada dipuncak kemarahan sekalipun, ia mau merasai hubungan dengan orang yang dapat berkomunikasi dengannya dimana orang itu memahami rahasia sebuah kehidupan. Terdapat sebuah kisah tentang seekor unta dan orang Arab tahu apabila unta tersebut membahayakan bahkan bisa membunuh orang, mereka pasti akan mengikatnya. Baginda Nabi SAW melalui kawasan tersebut dan bertanya: “Apa yang berlaku kepada kamu?”, mereka menjawab; “Unta ini bahaya”, Baginda Nabi SAW bersabda; “Bukalah ikatan unta itu”, mereka menjawab, “kami takut ada hal-hal yang tidak baik menimpamu, disebabkan unta ini ya Rasulullah?”, Baginda Nabi SAW bersabda; “Bukakanlah ikatan itu”. Merekapun membuka ikatan tersebut.

Kemudian Baginda Nabi SAW mendekati unta itu, lantas iapun diam sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih, unta itu datang kepada Baginda Nabi SAW dalam keadaan tunduk. Seorang perawi telah meriwayatkan: “Unta itu mendekati kaki Baginda Nabi SAW dan menciuminya, kemudian ia mengangkat kepalanya, Nabi SAW mendekati dan berbicara dengannya. Lantas unta itu angkat kepalanya dan mendekati Nabi SAW sekali lagi, ia membisikkan sesuatu ketelinga Nabi SAW, seterusnya Baginda Nabi SAW kembali berkata-kata kepadanya dan ia pun melakukan perkara yang sama.

Setelah itu Baginda Nabi SAW memandang ke arah orang yang mempunyai Unta tersebut dan berkata; “Sesungguhnya unta ini telah mengad kepadaku bahwa ia telah diberikan kerja-kerja yang membebankannya dan kamu juga tidak memberi makan yang baik kepada unta itu”. Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, demi karenamu ia akan diberi sebaik-baik makanan untuk unta dan kami tidak akan membebankan selama-lamanya”.

Unta ini berbicara begitu karena Baginda Nabi SAW datang kepadanya dengan membawa makna kehidupan hewannya. “Tidak diutuskanmu melainkan membawa rahmat seluruh alam”. Begitulah akhlak Baginda Nabi SAW bersama unta dan benda-benda yang tidak bernyawa.
Maka bagaimana muamalah Baginda Nabi SAW dengan manusia? Dimana beliau SAW ditugaskan mengangkat martabat manusia serta mengembalikan sifat manusia kepada sifat kemanusiaannya. Pada hari ini kita dapat belajar satu pengajaran; kita hidup sebagai umat Baginda Rasulullah SAW mengetahui bahwa berbicara dengan alam yang mengelilingi kita, dengan konsep kenabian yang mulia akan menimbulkan keadaan yang lain pada alam ini serta menjadikan alam ini merasai rahasia sebuah kehidupan yang dianugerahkan Baginda Rasulullah SAW untuk memahaminya, ini merupakan penganugerahan cinta, diadakan untuk menggerakkan hati kita sebelum orang lain. Untuk menyadarkan kita sebagai kelompok muslim tentang wujudnya hubungan dengan Baginda Rasulullah SAW. Ia membuat kita berlomba-lomba dalam perlombaan, disana kita mampu untuk berbicara dengan alam ini dari mula bahwa Baginda Rasulullah SAW diutus untuk mengembalikan rasa hormat manusia kepada dirinya sendiri sebagai manusia dan hormat kepada alam disekelililngnya sehingga alam ini juga kembali hormat kepada manusia itu. Jika kita kembali pada konsep komunikasi dengan yang berada disekeliling kita dan sebaliknya dengan berpandukan ajaran Baginda Rasulullah SAW, banyak perkara akan berubah kepada suatu keadaan yang lebih baik karena kita adalah umat Baginda Rasulullah SAW.

Aku mohon kepada Allah SWT, agar hidupkan kita dengan makna ini, ya Allah..hidupkanlah makna hubungan dengan Baginda Rasulullah SAW didalam jiwa kami, gerakkanlah dalam diri kami dengan semangat ini, satukanlah kami dengan orang yang Engkau cintai dan ridha dengan rahmat-Mu wahai Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang dan segala puji bagi Allah SWT Tuhan sekalian alam.

Wallahu A`lam…
http://ahlulkisa.com

Tuesday, December 6, 2011

Sufi Road : Pangeran Syarif Ali, Palembang

Dibesarkan oleh Ilmu dan Alam
la arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi
sederhana, di tengah ancaman badai besar dan
gelombang laut yang kerap datang menghadang
.

Terlahir dari pasangan penuh berkah Habib Abubakar bin Shalih B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, sejak kecil ia dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik. Ayahnya, Habib Abubakar, yang lahir di kota 'Inat, adalah cucu se orang wali, Habib Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima Habib Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari generasi habaib sebelumnya, ia pegang teguh dan diteruskannya kepada para muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu-bakar, yang kemudian meneruskan run tarbiyah itu kepada putranya yang ber nama Ali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Syarif Ali.
Pangeran Syarif Ali, atau Habib Ali bin Abubakar bin Shalih bin Ali bin Ahmad Bin Syaikh Abubakar bin Salim As-Seggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin seorang sultan yang shalih, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.

Kerabat Kesultanan
Gelar Pangeran yang disandangnya adalah karena kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembanga Darussalam, baik secara nasab, pertalian pemikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. dijuiuki Pangeran karena kedekatannya, baik secara nasab, pertalian perkawinan, maupun kedudukan di dalam keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam. Neneknya, dari sebelah ibu, adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya, adalah putri Sultan Husin Ohiauddin.
Ibundanya, yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita shaiihah putri seorang 'allamah dan ahli tasawwuf terkenal pada saat itu, Habib Ibrahim bin Zein Bin Yahya. la mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para pamannya, seperti Habib Abdullah bin Ibrahim dan Habib Syekh bin Ibrahim, serta dari banyak ulama lainnya pada masa itu.

Diriwayatkan, ia memiliki koleksi hingga sekitar seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu-nya yang mendalam.

Masa kecilnya, sebagaimana putra-putri keluarga Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil kecerdasannya terlihat menonjol dan ia memiilki banyak teman sepergaulan yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif Ali sering mengunjungi kesultanan, hingga ia pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.
Menginjak remaja, Pangeran Syarif Ali giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. la arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.


Pilihan Dilematis
Suatu saat, Sultan Husin Dhiauddin memintanya menyelesaikan sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil menyelesaikan misi tersebut itulah ia, yang masih dalam usia relatif muda, dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan salah satu putri-nya, Raden Ayu Maliya.
Dari pernikahannya dengan putri sultan ini, ia mendapat putra bemama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayahnya, berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif Ali dengan kapal ayah-nya berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.
Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud, 1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan oleh Sayyid Hasan bin Syaikh Abubakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada hubungannya dengan putra Pangeran Syarif Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif All, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun ia nadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.

Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.
Pangeran Syarif Ali merasakan hal ini sebagai sebuah dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila ia menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia dapat. Bila diterima, ia hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat memerlukannya.

Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk m-nerima jabatan tersebut, dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor residen. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, ia pun ingin dibantu oleh putranya, Abubakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif Ali, yang selalu mengenakan pakaian keulamaannya, Residen Belanda saat itu memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh putranya selama hampir setengah abad. Seballknya, Pangeran Syarif Ali sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak satu sen pun ia ambil.

Pangeran Syarif Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazahnya di-makamkan di kompleks pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 llir Palembang.
Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putranya, Habib Muhammad Mahimud. Sedangkan dalam hal aktivitasnya di kesultanan, digantikan oleh putranya, Habib Abubakar, atau di-kenal dengan Pangeran Bakri.
Untuk lebih mengetahui asal-usul keluarga Pangeran Syarif Ali, berikut sekilas perjalanan leluhumya dari negeri Hadhramaut ke Palembang, sebuah kota yang dulunya sempat dikenal sebagai "Hadhra-maut Tsani", atau Hadhramaut Kedua.



Panji-panji Keluarga
Setiap kabilah keluarga di Hadhramaut biasanya memiliki seseorang yang dituakan untuk memimpin. Istilahnya munshib. Dalam keluarga, fungsi seorang munshib adalah sebagai imam dalam hal keagamaan, panglima di medan pepe-rangan, serta menjadi hakim kaia mengadili perkara keluarganya.

Datuk nya Pangeran Syarif Ali, yang juga bernama sama dengannya, yaitu Habib Ali (bin Ahmad), semasa hidupnya menjabat munshib bagi keluarga Syaikh Abubakar bin Salim. Sebagai seorang munshib, ia memang dikenal akan keluasan ilmu agamanya, tegas dalam mengambil keputusan, serta berani menghadapi orang yang memusuhi komunitasnya.
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah salah seorang guru Habib Ali bin Ahmad. Selain mengarungi samudera, ilmu sang guru yang melimpah ruah, dari gurunya ini ia juga banyak mendapatkan ijazah awrad atau amalan wirid-wirid.
Habib Ali wafat di kota 'Inat pada 1730 M. Dari hasif pemikahannya dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi bin Idrus Bin Yahya, ia mendapat sejumlah putra dan putri: Shalih, Ahmad, Salim, Abdullah, Thalhah, Alwiyah, dan Muznah.

Setelah Habib Ali wafat, salah seorang putranya yang bernama Shalih di-percaya keluarganya untuk menerima panji-panji Bairaq, bendera lambang keluarga besar Bin Syaikh Abubakar. Artinya penyerahan kepemimpinan dirinya sebagai seorang munshib.
Hingga suatu saat, jabatan munshib tersebut ia limpahkan kepada saudara-nya, Ahmad, karena ia bermaksud meng-antarkan sang putra, Abubakar, yang kala itu masih berusia belia, untuk hijrah ke negeri nan jauh di seberang lautan, Palembang.

Masa itu nama Palembang memang sudah dikenal di Hadhramaut sebagai negeri yang makmur dan rakyatnya bersahabat. Sultannya menghargai kalangan aiim ulama serta memerlukan orang yang dapat membantunya dalam perdagangan biji timah dan lada di Bangka, serta hasil hutan dan kayu dari kawasan Sumatera Selatan lainnya. Karenanya, pada saat itu, sudah banyak orang dari Hadhramaut yang pergi ke Palembang dan saat kembali ke Hadhramaut mereka menceritakan perihal kemakmuran negeri Palembang kala itu.
Palembang adalah negeri yang kaya dengan hasil bumi biji timah dan lada yang melimpah, yang dihasilkan di Pulau Bangka. Hasil bumi ini telah membangkitkan hasrat kuat bagi pihak Belanda dan Inggris untuk menguasai Pulau Bangka. Sejak zaman VOC (1602-1799), para sul¬tan Palembang selalu mendapatkan tekanan dari Belanda. Karena itu, mereka meminta bantuan saudagar-saudagar

Arab untuk mencari meriam sebanyak-banyaknya untuk pertahanan benteng kesuftanan yang sedang dibangun. Meriam-meriam itu diperoleh di bekas benteng-benteng Portugis di India dan Oman, atau dari kapal-kapai perang yang telah di-tinggalkan di Teluk Persi untuk kemudian dibawa ke Palembang dan mendapatkan imbalan besar dari Sultan. Berbagai ukuran meriam pun didapat dengan beragam tulisan yang tergores padanya, hingga benteng sultan Palembang berhasil mendapatkan 242 pucuk meriam, sementara di Pulau Kembara dan di Plaju diletakkan 141 pucuk meriam.
|
Bersama putranya, Habib Shalih pergi berlayar dari Pelabuhan Hudaidah. Dengan kapal layar dan peralatan navigasi yang masih sederhana, ia arungi samudera luas. Hudaidah yang dimaksud kemungkinan merupakan salah satu kota peabuhan di Pantai Selatan Jazirah Arab di sekitar Mukalla atau Syihr, bukan yang terdapat di Pantai Laut Merah Yaman Utara. Ini didasarkan pada banyaknya kota di antara antara Aden dan Muscat yang tercantum pada peta yang dibuat Hugo Allardt tahun 1650 M, sekitar 25 kota. Dari kota-kota itu pelayaran ke Timur (India dan Indonesia) dan ke Selatan (Afrika Timur) lebih dekat bagi orang-orang Yaman Selatan. Kota-kota itu antara lain Bokum, Al-Gail Bawazir, Al-Hami, Addis, As-Syirma, Al-Qusyair.
Biasanya, pelayaran dari Hadhramaut ke Palembang memakan waktu sekitar delapan bulan sampai satu tahun, tergantung pada musim angin dan lamanya perbaikan kapal di selatan India atau Sri Lanka Di-perkirakan, kedatangannya ke Palembang pada tahun 1755, yaitu di akhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Waktu itu, di sana sudah ada beberapa keluarga Alawiyyin yang sudah menetap, di antaranya keluarga Alaydrus, Assegaf, Al-Kaf, Bin Syihabud-din, Bin Yahya, Anggawi, Khaneman, dan sebagainya. Saat itu, Habib Shalih menjadi tamu Habib Ibrahim bin Zen bin Alwi Bin Yahya, seorang ulama ahli sufi yang menjadi menantu sultan Palembang pada saat itu.
Karena sama-sama ulama sufi, kedekatan di antara keduanya segera ter-bangun akrab. Selain itu, ibunda Habib Shalih juga dari keluarga Bin Yahya. Keduanya pun segera saja bersepakat untuk menjodohkan Syarifah Nur, putri Habib Ibrahim Bin Yahya dengan Abu-bakar, putra Habib Shalih.
Setelah beberapa saat tinggal di Palembang, Habib Shalih pun berkemas untuk pergi kembali'ke negeri asalnya. Se-belum berangkat, ia meninggalkan nasihat-nasihat keagamaan, mehyerahkan sebuah bairaq keluarga sebagai ikatan keluarga Syaikh Abubakar bin Salim, dan memberlkan sebilah pedang wasiat untuk membela diri. Bairaq tersebut sampai sekarang maslh tersimpan dan beberapa duplikatnyatelah dlbuat. Habib Shalih wafat di Inat dan dimakamkan di kompleks pemakaman Habib Ahmad bin Salim bin Husen bin Syaikh Abubakar, tak jauh dari makam Syaikh Abubakar bin Salim.
Habib Abubakar bin Shalih kemudian tinggal di rumah mertuanya, yaitu di 5 llir Kampung Karang Manggis, di sebuah rumah panggung berkonstruksi atap bentuk limas, lengkap dengan kijing-kijing di ruang muka, kemudian bagian yang ter-tinggi dari kijing-kijing itu terletak di ruang dalam yang terdapat kamar tidur.
Di bagian belakang terdapat garang, yaitu ruangan tak beratap untuk tempat mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan sebagainya. Selanjutnya, masih di bagian belakang rumah, terdapat ruang dapur dan kamar tidur. Di pekarangan, dibuat kambang atau kolam tempat penam-pungan air. Di depan rumah ditempatkan jambangan air untuk air tadah hujan.
Sekitartahun 1930-1935, rumah tersebut dijual, kemudian dipindahkan kese-belah barat Benteng Kuto Besak dan di-jadikan museum. Ukurannya sedikit di-rombak, menjadi lebih kecil dan lebih rendah dari ukuran aslinya, dan kini ditempatkan di halaman belakang Museum Bala Putra Dewa, Palembang. Perabot rumah yang masih tertinggal adalah se¬buah tempat tidur yang masih tersimpan di museum tersebut.

Rumah kayu tersebut masih ada dan dilestarikan sampai sekarang. Gambar rumah itu bahkan kemudian menjadi sim-bol rumah budaya daerah Palembang yang sketsa gambarnya tercetak pada cetakan uang pecahah sepuluh ribu ru-piah saat ini.
Di rumah inilah semua putra-putri Habib Abubakar dibesarkan, termasuk di antaranya adalah Pangeran Syarif All.

Sumber: Al Kisah

Saturday, October 15, 2011

Habib Idrus bin Salim Al Jufri - Palu

Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat, yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas. Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan Timur Nusantara.

Nasab Beliau adalah :
Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.

Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.

Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau.

Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan. Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat) bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang.

Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar. Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.

Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.
Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.

Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.

Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat.

Sumber: Ahlulkisa




Saturday, October 8, 2011

Sufi Road : Syair Habib Ali Al Habsy

Ke arah jalan terpuji kutuntun putra-putriku
Dan siapapun di daerah ini
yang (bersedia) menerima petunjukku

Aku bimbing mereka dengan bimbingan
yang membangkitkan kemauan
Dan cukuplah bagi mereka aku
selalu menjadi pengajak kebaikan
Kejalan kebenaran aku ajak mereka dengan harapan
Agarperkataan, pelajaran, nasihat dan
petunjukku diterima dan diamalkan
Nasihat dan seseorang yang kepada mereka
sangat kasih dan sayang
Nasihat yang menuntun mereka
kejalan kebenaran dan bagi kita
Allah-lah penunjuk jalan kebenaran
Maka terimalah, sambutlah dan dengarkan Kandungan nasihat yang menyedihkan hati

lawan Bertakwalah kepada Allah dan jadikanlah sebagai bekal Karena takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal

Dalam menuntut ilmu yang mulia
curahkanlah perhatianmu
Dengan giat, penuh kesungguhan
dan dengan meninggalkan kebiasaan (buruk)-mu

Di dalam ilmu tersimpan cahaya
dan keindahan yang menghias hati
Dan menuntut ilmu adalah sebaik-baik perbuatan abdi
Dengan ilmu manusia mengetahui hak-hak Tuhannya
Dengannya yang sesat mendapat petunjuk
dan yang (haus) ilmu dipuaskan dahaganya


Jika hendak menghafal apa yang telah kalian pelajari Maka takukanlah dengan rutin dan berulang kali
Janganlah bersahabat dengan mereka yang bertentanganfaham Aku telah saksikan hancurnya seseorang akibat bergaul dengan yang berbeda faham

Persahabatan dengan orang yang jahat
serba diliputi dengan keburukan
menimbulkan akibat yang membahayakan,
kezaliman dan kerusakan

Persahabatan dengan orang baik serba menguntungkan
Keberhasilan dan kejayaan yang didapat tak terhitungkan

Maka kejarlah semua itu, tuntutlah dan raihlah
Karena di dalamnya tersimpan sebaik-baik pilihan
bagi yang mengharap hidayah
Mereka adalah ulama yang arif
Majelis mereka membuat orang sangat bahagia

Dan yang paling menggembirakan hati tetapnya kalian (berpijak pada) Thariqah para leluhurku, keluargaku, dan kakek-kakekku.
Mereka adalah para pendahulu kita
yang telah memusatkan segala usahanya
menuju kepada Allah; mengikuti petunjuk nabi pilihan-Nya
Amal (mereka) bersih dari berbagai penyakit
Dihiasi dengan ilmu, akhlak dan sejumlah besar wirid

Mereka bergegas beramal dengan mencurahkan perhatian
Merekalah para pengabdi Allah dengan ilmu dan kezuhudan

Mereka kaum manusia yang dimuliakan Allah kedudukannya Mereka golongan para qutub dan autad yang mulia.

Diwaktu lampau, masih dizamanku, terdapatpara imam Aku tempuhjalan kebenaran berdasar sanad mereka Sanad yang sambung menyambung secara terinci Sampaipada makhluk yang terpuji dan sebaik-baik pemuji

Jalan petunjuk ke arah kebenaran di dalamnya berisi Rahasia penting yang didapat oleh para pewaris nabi Ayah menerima dari ayahnya dan demikian seterusnya Alangkah mulia mereka, para ayah serta putra-putrinya

Dari ayahku, Muhammad, mufti Hijaz
Kudapat petunjuk untuk menuntut ilmu dan menyampaikannya
Beliau imam yang agung, semoga Allah mensucikan simya
Dakwahnya agung berintikan nasihat dan petunjuknya.
Lewat beliau, Allah memberi hidayah sekelompok manusia
Yang karena kebodohannya,
Menjadi jauh dari Allah dan melanggar perintah-Nya

Dengan lemah lembut beliau berdakwah, mereka pun sungguh-sungguh menerima nasihatnya sehingga tersebarlah dakwah keseluruh penduduk kota dan desa.
Beliau melindungiku dan dengan kasih sayang mendidikku Kuberharap perlindungan tetap diberikan kepada para putra dan cucuku
Dari guruku Al-Quthb
yang kokoh kedudukannya lagi dermawan
telah kuterima petunjuk, penyingkapan rahasia
dan berbagai pemberian
Abii Bakar Al-'Athas pemimpin para wali
Berkat beliau kuraih cita-citaku dan kutaklukkan pendengki

(Ajaran) mereka berdua menjadi landasan tujuan thariqahku Dan siapa pun yang ingin menempuhnya ikutilah cara pendekatanku
Singsingkan lengan bajumu danjangan malas
karena kemalasan dapat menyebabkan tertinggal rombongan
dan tak dapat mendengar ajakan kebaikan

Tidak akan sekali-kali mencapai kemuliaan
Kecuali mereka yang memusatkan
segenap kemauan untuk mendaki puncak pertemuan
Di situ tempat berhenti orang-orang yangpergi menuju Allah
Puncak cita-cita para qutub yang mulia dan wall Allah

Sumber :
Biografi Habib Ali Al Habsy

Friday, May 20, 2011

Sufi Road : Kunjungan Habib Alwi Solo Kepada Habib Abubakar Gresik

Kunjungan Habib Alwi Solo Kepada Habib Abubakar Gresik
(Catatan Habib Abdulkadir bin Husein Assegaf)

Pengantar Amma ba’du.

Pada hari Sabtu, tanggal 18 Dzulqoidah 1371 H, jam 08.00 pagi, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1952, Sayyidiy yang diberkahi Alwi bin Habib Al-Quthb Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kholifah ayahnya, Quthbul ‘Ârifîn wa Aslâfihil ‘Alawiyyîn, pewaris asrôr mereka, seorang dermawan yang bertakwa, berniat untuk mengunjungi Habib Al-Quthb Al-‘Ârifbillâh wad Dâ’i ilaih Abubakar bin Muhammad Assegaf yang tinggal di kota Gresik. Semoga Allah SWT memanjangkan umur beliau dan memberi kita manfaat dengan berkat beliau. Amin…

Habib Abubakar telah berulang kali menulis surat kepada Sayyidiy Alwi mengabarkan keinginannya untuk menyampaikan sesuatu yang dititipkan kepadanya. Sayyidiy Alwi sendiri telah mendapatkan petunjuk yang jelas dari perkataan Habib Ali dalam diwan[1] beliau:

Wahai kekasihku,
Pergilah dengan nama Allah
kemana pun kau suka
Niscaya kau selamat dari segala kejahatan
Inayah Allah Al-Muhaimin
selalu menjagamu dalam perjalanan

Anak-anak dan kerabat beliau banyak yang hadir saat itu. Sebelum Sayyidiy Alwi meninggalkan kediaman beliau yang penuh berkah di Gurawan Solo, beliau membaca Fatihah dan memanjatkan doa-doa mulia. Membaca Fatihah ketika hendak bepergian merupakan kebiasaan ayah beliau, sebagaimana disebutkan dalam kalam Habib Ali. Kemudian dengan jarinya, Sayyidiy Alwi menulis ayat berikut pada dinding rumahnya:

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Quran, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.”
(QS Al-Qashash, 28:85)

Kami dan Sayyidiy Alwi beranjak keluar. Di depan rumah kendaraan telah menunggu. Sayyidiy Alwi berpamitan kepada mereka yang mengantarkan dan mereka memohon doa dari beliau. Beliau lalu masuk ke dalam mobil milik Sayid Abdullah bin Muhammad Alaydrus. Mobil mewah, masih baru, produksi tahun 1952, merek Desoto Custom.

(Kami berangkat menjemput Sayid Muhammad bin Abdullah Alaydrus) Di depan rumahnya telah berkumpul beberapa orang dari golongan sâdah dan lainnya untuk mengantarkan kepergian Sayyidiy Alwi dan memohon doa dari beliau. Di antara mereka adalah Sayid Salim bin Basri. Sayid Muhammad Alaydrus yang telah siap di rumahnya segera bergegas keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Jadi, dalam perjalanan ini Sayyidiy Alwi ditemani oleh Sayid Muhammad bin Abdullah Alaydrus, Abdulkadir bin Umar Maulakhela, Syeikh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin ‘Abud Deqil dan aku sendiri (Abdulkadir bin Husein bin Segaf Assegaf).

Mobil kemudian membawa kami ke tempat penjualan bensin. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin, lalu dengan memohon pertolongan Allah SWT kami segera menuju Jombang. Dari Solo kami berangkat pukul 08:45 pagi.

Dalam perjalanan Sayyidiy Alwi mendiktekan khotbah catatan perjalanan ini, kemudian kami semua melagukan qoshidah berikut dengan suara nyaring :

Dengan kebesaran Pencipta langit,
Kami duduk bersimpuh
memohon perlindungan dari segala bencana,
Juga dengan Al-Hadi Muhammad dan Sab’ul
Matsâniy[2]

Setelah itu Sayyidiy Alwi menggubah dua bait syair:

Niat kami dalam ziarah ini sebagaimana niat
sang Habib
Kami mengharap karomah yang dapat mempertemukan
kami dengan para pecinta
Telah lama kami nanti kelalaian musuh yang selalu
mengawasi hingga datang izin
Sebab, orang yang memohon dengan benar
pasti ‘kan mendapat jawaban

Abdulkadir bin Umar Maulakhela melagukan syair itu. Sayyidiy Alwi kemudian meneruskan syair gubahannya:

Kami niat berziarah agar semua tujuan tercapai
Kami akan mengunjungi kekasih yang bersemayam
di hati
Husein bin Muhammad, pemuas dahaga mereka yang kehausan
Kami akan mengunjungi kekasih yang tinggal
di pusat kota Jombang

Katakan kepadanya, kami datang bersama rombongan
Bersedekahlah, berdermalah kepada orang
yang telah terlatih lapar
Hidangkan kepada mereka sajian yang pantas
untuk pesta atau untuk tamu
Kami ingin mengunjungi kekasih di pusat kota Jombang

Berilah ilmu orang-orang yang dagangannya telah hilang
agar hari-hari mereka menjadi indah
dan dagangan mereka kembali pulang
Hati menjadi gembira karena akan bertemu para kekasih
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di pusat kota Jombang.

Kami akan mengambil amanat, madad dan titipan
Dari qutbul wara wan nafaa’ah yang tinggal di Kota Gresik
Atas perintahnya dan mereka adalah kaum dermawan dan budiman
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di tengah kota Jombang.


Memasuki kota Sragen kami bertemu dengan rombongan pengantin. Keluar dari kota Sragen, kami bertemu lagi dengan rombongan pengantin. Sayyidiy Alwi berkata, “Ini adalah pertanda baik.” Sebelum berangkat dari Solo seorang yang bernama Faraj (kelapangan, kelonggaran) datang menemui beliau. Beliau senang dengan kejadian ini, sebab menurut beliau semua itu merupakan pertanda baik bagi kepergian beliau. Rasulullah saw juga sangat menyukai pertanda baik.

Setelah itu Abdulkadir Maulakhela melagukan syair Hababah Khodijah, putri Habib Ali Habsyi.[3]

Kami sampai di Madiun dalam waktu 1 ½ jam, lalu singgah di rumah Syeikh ‘Awudh Ba’abduh. Ia menyambut gembira kedatangan Sayyidiy Alwi dan rombongan. Kami istirahat di rumahnya kurang lebih
1 jam, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Mobil melaju dengan cepat, seakan bumi ini dilipat.Tak terasa kami telah sampai di Jombang. Kami segera menuju rumah Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Sewaktu mobil kami berhenti di halaman rumah beliau yang luas, beliau memanggil pembantunya, “Hai Aman! Lihatlah, siapa yang datang!” Sayyidiy Alwi berkata, ‘Ini pertanda baik lagi[4].”

Kami lalu memasuki rumah beliau yang luas, yang selalu dipenuhi tamu; pagi maupun sore. Mengetahui yang berkunjung Sayyidiy Alwi, Habib Husein segera berdiri menyambut beliau dengan gembira, “Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta.

Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan yang datang secara tiba-tiba.

Habib Husein tidak diberi kabar bahwa Sayyidiy Alwi akan datang berkunjung. Beliau lalu membacakan bait-bait syair Habib Abdullah bin Husein bin Thohir:

Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap

“Kedatangan kalian ini adalah karunia dari Allah. Alhamdulillâhi robbil ‘âlamîn.”

Habib Husein merasa sangat gembira dengan kedatangan Sayyidiy Alwi.

Setelah semuanya duduk dengan nyaman, Sayyidiy Alwi[5] memberitahu Habib Husein[6], “Kepergianku dari Solo adalah untuk mengunjungi Habib Abubakar bin Muhammad Asseggaf di Gresik. Sebab, beliau telah berulang kali mengirim utusan mengundangku. Aku datang kemari untuk meminta pendapat dan saran, karena aku dengar engkau tidak ingin aku datang kepadanya. Aku sengaja menunda kepergianku karena ucapanmu ini. Sekarang aku telah datang, jika kau perintahkan aku untuk melanjutkan perjalanan, aku akan melakukannya. Tetapi jika kau larang aku melanjutkan perjalanan,aku akan pulang.”

Habib Husein lalu menjelaskan, “Aku tidak pernah mengutus seseorang untuk melarangmu pergi. Hanya saja, ketika aku berada di rumah Habib Abubakar, beliau berkata kepadaku, ‘Aku mengemban amanat Habib Ali untuk Alwi. Aku ingin ia datang kemari agar amanat itu dapat kusampaikan.’ Aku lalu berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah rumah amanat, di tanganmu amanat itu pasti terjaga, dan Alwi masih hidup bersama kita.’ Sekarang kupikir Habib Abubakar ingin menyampaikannya kepadamu. Hanîan laka… Selamat untukmu. Berilah kami bagian.

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS An-Nisa, 4:8)

Habib Abubakar sekarang ini sedang menunggu kalian. Ia berdiri, duduk, berdiri, duduk… Seandainya kalian langsung berangkat ke sana tentu akan lebih baik.”

Sesungguhnya Sayyidiy Alwi berniat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya bersama Habib Husein. Akan tetapi Habib Husein berhalangan, kaki beliau sakit dan beliau memerintahkan Sayyidiy Alwi agar segera menemui Habib Abubakar yang sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Habib Husein rupanya meng-kasyf keadaan ini.

Sebenarnya keinginan untuk melakukan perjalanan ke Gresik ini muncul Jumat tengah hari. Namun Sayyidiy Alwi baru memberitahukan niatnya ini kepada istri dan anak-anaknya sore hari, dan Sabtu pagi beliau telah berangkat. Demikianlah para wali Allah melihat dengan cahaya Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.” (HR Turmudzi)

Semoga Allah meridhoi mereka semua dan memberi kita manfaat berkat mereka.

“Sejak Subuh aku merasa gelisah, tapi setelah kalian datang perasaan itu hilang berubah menjadi kegembiraan. Semua ini adalah karunia Allah,” kata Habib Husein.

Syeikh Hadi Makarim lalu bercerita, bahwa ia mimpi melihat Habib Ali Habsyi menggandeng tangan Habib Husein ke luar dari satu rumah masuk ke rumah lain. Kemudian datang seorang lelaki memberi Habib Ali tiga ridâ[7]: dua berwarna hijau dan satu coklat. Habib Ali memakai ridâ yang hijau, memberikan ridâ hijau yang lain kepada Habib Husein, dan memberikan yang coklat kepada Syeikh Hadi Makarim.

Cerita ini menggembirakan hati Habib Husein, beliau lalu pergi dan kembali membawa dua ridâ: yang berwarna hijau buatan Bali diberikan kepada Sayyidiy Alwi, yang putih buatan Solo diberikan kepada Syeikh Hadi Makarim sambil berkata, “Ini sebagai hadiah atas mimpimu yang menggembirakan itu.”

Habib Husein kemudian membacakan lagi syair Habib Abdullah bin Husein:

Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap

Habib Husein berkata, “Perhatikanlah bait syair ini: dan seluruh tindakan-Mu amat indah, ini adalah maqôm ridha.”

Habib Husein lalu bicara tentang mode pakaian. “Penghuni zaman ini telah merubah cara berpakaian mereka, juga cara berpakaian anak mereka, terlebih lagi putri-putri mereka. Mereka memberi anak-anak perempuan mereka pakaian yang pendek hingga di atas lutut. Ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Suatu hari aku datang ke rumah salah seorang pecintaku. Saat itu anak-anak putrinya berpakaian sebagaimana pakaian kebanyakan orang di zaman ini: pendek di atas lutut. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Kalau aku datang ke tempat asal kalian di Hadhramaut, kemudian dengan tongkat di tanganku ini kusingkapkan pakaian putrimu hingga ke atas lutut, bagaimana sikapmu?’ Ia menjawab, ‘Kita akan saling pukul.’ Aku lalu berkata, ‘Tapi kalian sendiri sekarang melakukan hal itu terhadap putri-putri kalian.’

Rupanya ucapanku itu membekas di hatinya. Ia kemudian segera mengganti pakaian putri-putrinya dengan pakaian yang panjang seperti dahulu. Aku pun merasa sangat bahagia. Adapun teman-teman lain, mereka mengakui bahwa mode pakaian macam itu tidak benar, tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Kelak di hari kiamat, anak-anak perempuan mereka akan bergantungan di leher mereka dan berkata, “Ayah kamilah yang mengajarkan semua ini kepada kami.”

Habib Husein membahas persoalan ini panjang lebar dan hanya inilah yang dapat kuhapal. Dan kupikir, ini pun sudah cukup.

Kami kemudian melaksanakan sholat Zhuhur dan Ashar jamak taqdim. Setelah makan siang, Habib Husein menganjurkan agar kami segera berangkat ke Gresik. Kurang lebih pukul 13:30 kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah keluar dari kota Jombang, Abdulkadir Maulakhela melantunkan bait-bait syair humainiyah yang dikarang Sayyidiy Alwi di masa lalu.[8]

Kami berhenti sejenak di Mojokerto, kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai di Surabaya pukul 16:30. Di Surabaya kami singgah di rumah seorang sayid yang mulia, yang menempuh jalan leluhurnya, Abdulkadir bin Hadi Asseggaf. Sayyidiy Alwi ingin agar Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf menemani beliau ke Gresik. Sesampainya di depan kampung Al-’Am Abdulkadir bin Hadi, mobil berhenti dan aku diutus Sayyidiy Alwi untuk mengabarkan kedatangan beliau. Al-’Am Abdulkadir[9] segera keluar menemui Sayyidiy Alwi. Keduanya bersalaman dan berpelukan. Ia merasa sangat senang dengan kedatangan Sayyidiy Alwi. Sayyidiy Alwi memberitahu Al-’Am Abdulkadir bahwa beliau ingin segera ke Gresik untuk menemui Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dan meminta agar ia bersedia menemani beliau ke Gresik. Al-’Am Abdulkadir memenuhi permintaan Sayyidiy Alwi, padahal ia telah menyediakan sebuah rumah untuk Sayyidiy Alwi dan rombongannya.

Al-’Am Abdulkadir bin Hadi memiliki seorang adik yang tinggal di Solo. Ia bernama Sayid Ahmad bin Hadi. Ketika adiknya mendengar rencana perjalanan Sayyidiy Alwi, ia segera pergi ke Surabaya dengan kereta api pagi agar dapat memberitahu kakaknya rencana perjalanan Sayyidiy Alwi. Mendengar berita dari adiknya ini, Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf segera menyediakan sebuah rumah karena antara dia dan Sayyidiy Alwi terjalin ikatan mahabbah dan persaudaraan yang sangat kuat.

Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf meminta Sayyidiy Alwi untuk singgah sebentar di rumah itu. Letaknya tidak jauh dari tempat berhentinya mobil kami. Rumah itu sangat bagus, penuh dengan perabotan indah, dan lampu yang bersinar terang. Kami lalu mengelilingi rumah yang luas itu. Pemilik rumah itu adalah Syarifah Zahra binti Sayid Abdurrahman bin Hasan Assegaf, sepupu Al-’Am Abdulkadir bin Hadi Asseggaf. Rumah itu dijadikan sebagai rumah peristirahatan, sedang pemiliknya tinggal di rumah yang lain.

Setelah duduk sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Gersik bersama Al-’Am Abdulkadir. Pukul 17.15 kami telah sampai di depan rumah Habib Al-‘Ârifbillâh Abubakar bin Muhammad Assegaf. Di depan rumah tampak Sayid Hud bin Abdullah, putra Habib Abubakar dan sejumlah Muhib di antaranya Salmin Doman telah siap menyambut kedatangan kami.

Beberapa saat sebelumnya Salmin Doman masih
di Surabaya. Setelah mengetahui tujuan perjalanan Sayyidiy Alwi, ia segera menyusul ke Gresik untuk menyambut Sayyidiy Alwi dan ikut dalam majelis-majelis beliau.

Kami kemudian masuk ke dalam rumah Habib Abubakar yang penuh berkah. Tatkala menatap wajah beliau yang tampan dan bercahaya seperti bulan purnama,
air mata kami jatuh berderai.

Kebahagiaan menyelimutiku
begitu hebat hingga ‘ku tak kuasa
menahan tangisku

Sayyidiy Alwi menghampiri Habib Abubakar[10], mencium tangan beliau. Keduanya lalu saling berpelukan, menangis dan bersyukur kepada Allah Ta’âlâ atas pertemuan ini. Sepuluh tahun lamanya mereka tidak saling berjumpa. Kekhusyukan dan haibah pertemuan ini dirasakan oleh semua yang hadir. Mereka seakan terpukau dan suasana menjadi hening. Setiap pipi basah oleh air mata, setiap kepala tertunduk ke bawah. Mereka semua menyaksikan pertemuan agung ini setelah perpisahan yang begitu lama. Perpisahan yang dimaksud adalah perpisahan raga, adapun ruh mereka senantiasa hadir dan tak pernah berpisah.

Habib Abubakar, semoga Allah memanjangkan umurnya, menatap Sayyidiy Alwi dan berulang kali mengucapkan selamat datang dan penghormatan. Selang beberapa saat Habib Abubakar memeluk beliau. Ini dilakukannya tiga kali. Tanda-tanda kebahagiaan dan suka cita tampak jelas di wajah keduanya.

Habib Abubakar berkata:

“Yang telah memegang takkan melepaskan.”[11]

“Aku akan mentaatimu. Aku datang kemari dengan berbagai kebutuhan. Dan mengharapkan pemberian untukku, anak-anakku, dan keluargaku,” kata Sayyidiy Alwi. Beliau lalu membacakan salah satu ayat Quran.

“Hai pembesar, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf, 12:88)

“Tentu…, tentu…, aku akan memberimu kabar gembira,” kata beliau, “Sejak subuh hari ini aku merasa gelisah dan tak banyak berkata-kata. Aku tidak tahu apa sebabnya. Melihat engkau datang, hilanglah kegelisahanku, hatiku terasa lapang dan aku menjadi bersemangat.”

Catatan Kaki :

[1] Buku yang berisi kumpulan syair.
[2] Sab’ul Matsâniy: Surat Al-Fatihah
[3] Lihat lampiran ke-1
[4] Pertanda baik karena pembantu Habib Husein bernama Aman yang berarti keselamatan.
[5] Habib Alwi lahir tahun 1311 H, meninggal tahun 1373 H. Jadi beliau melakukan perjalanan ini pada usia 60 tahun.
[6] Habib Husein lahir di Qaidun tahun 1303 H, meninggal tahun 1376 H. Jadi pada pertemuan ini umur beliau 68 tahun. Beliau ke Jawa tahun 1329 H, ketika berumur 27 tahun.
[7] Ridâ adalah sejenis selendang.
[8] Keterangan ada pada lampiran ke-2 dalam buku.
[9] Habib Abdulkadir bin Hadi Assegaf meninggal di Surabaya bulan Dzul Hijjah tahun 1376 pada usia 68 tahun. Jadi waktu pertemuan ini beliau berusia 63 tahun.
[10] Habib Abubakar lahir di Besuki Jawa Timur tahun 1285 H, meninggal di Gresik, Jawa Timur pada malam Senin 17 Dzulhijah 1376 H pada usia 91 tahun. Jadi pada pertemuan ini usia beliau 86 tahun.
[11] Maksudnya, Habib Abubakar takkan membiarkan Sayyidiy Alwi pergi.


Sumber : www.zawiya.net- Majelis Majlas

Sufi Road : Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos

Beliau dilahirkan di Huraidhoh, Hadhramaut (Yaman) pada hari Selasa 19 Ramadhan 1257 H.

NASAB

Al-Habib Ahmad bin Hasan bin Abdulloh bin Ali bin Abdulloh bin Muhammad bin Muhsin bin Imam Husein bin al-Quthb al-Kabiir Umar bin Abdurrohman bin Aqil al-'Atthos bin Salim bin Abdulloh bin Abdurrohman bin Abdulloh bin al-Quthb Abdurrohman as-Segaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi bin al-Ustadz al-'Adhom al-Faqih al-Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi' Qosam bin Alwi bin Muhammad Shohib Shouma'ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Jakfar ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam as-Sibth al-Husein bin al-Imam Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib suami az-Zahro Fatimah al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

MASA KECIL

Ketika masih dalam umur penyusuan, ia terkena penyakit mata yang ganas hingga hilang penglihatannya. Ibu beliau merasa sedih lalu mendatangi al-Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos. Ia letakkan bayi mungil itu di depan Habib Sholeh, lalu menangis sekuat-kuatnya.

"Apa yang dapat kami perbuat dengan anak yang buta ini?" kata ibunya dengan suara sedih.

Habib Sholeh menggendong bayi itu, lalu memandangnya dengan tajam. "Ia akan memperoleh kedudukan yg tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya. Ia akan mencapai maqom kakeknya, Umar bin Abdurrohman al-'Atthos.", kata Habib Sholeh
Mendengar ini, ibu beliau pun merasa terhibur.

Sejak itu Habib Ahmad memperoleh perhatian khusus dari Habib Sholeh. Kadang bila melihat Habib Ahmad berjalan menghampirinya, Habib Sholeh berkata, "Selamat datang pewaris sir Umar bin Abdurrohman." Kemudian Habib Sholeh memboncengkan dia di tunggangannya.

Pada kesempatan lain Habib Sholeh berkata kepada beliau, "Kau mendapat madad khusus dari kakekmu Umar bin Abdurrohman."


PENGLIHATAN BATIN

Meski kehilangan kedua penglihatannya, Habib Ahmad bin Hasan tampak seperti orang yang dapat melihat dengan baik. Allah mengganti penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah. Hal ini terbukti dalam beberapa peristiwa, baik ketika beliau masih kecil maupun setelah mencapai usia lanjut. Seakan Alloh SWT ingin menunjukkan kepada orang-orang yang hidup sejamannya makna firman-Nya:

"Karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada."
(Q.S. al-Haj, 22:46)

Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yg telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya.

Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya.

Habib Umar bin Muhammad al-'Atthos bercerita,
"Ketika masih kecil, aku suka bermain-main dengan Akh Ahmad bin Hasan dan Akh Abdulloh bin Abubakar bin Abdulloh di jalanan kota.

Usia kami sebaya, aku sering mendengar masyarakat memperbincangkan kewalian dan kasyf-kasyf Akh Ahmad bin Hasan, namun aku belum pernah membuktikannya.

Suatu hari aku berkata pada Akh Abdulloh bin Abubakar,
"Mari kita buktikan omongan masyarakat malam ini. Jika ia memang seorang wali, kita akan membenarkannya, tapi jika itu hanya kabar bohong, kita akan membuatnya menderita."

Kami menggali lubang di dekat tempat kami bermain lalu kami tutup dengan tikar. Setelah tiba saat bermain, aku berkata pada pada Akh Ahmad bin Hasan,
"Malam ini kita adakan lomba lari."

Kami tempatkan ia di tengah2, tepat ke arah lubang yang baru kami gali. Kami lalu berlari sambil berteriak,
"Ayo lari...lari...!"

Ketika sudah dekat dengan lubang itu, Akh Ahmad melompat seperti seekor kijang.

Mulanya kami kira kejadian ini hanya suatu kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba lagi. Tapi ketika sampai di depan lubang, ia melompat seperti sebelumnya. Saat itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa.

Pernah ada lelaki datang menemui beliau dengan membawa uang 1 dirham yang ia temukan di jalan. Di permukaan dirham itu tertulis sesuatu yang sulit dibaca karena dirham itu sudah terlalu tua.

Beliau meraba dirham tersebut, lalu berkata kepada murid beliau, Syeikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl,
"Coba perhatikan dengan teliti, apa yang tertulis di permukaan dirham ini."

Ia mencoba membacanya, tapi tidak berhasil. Beliau kemudian berkata,
"Mungkin ini adalah jenis dirham ash-Shomadiah yang dikeluarkan oleh Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi. Pada sisi yang satu tertulis surat al-Ikhlas dan pada sisi lain tertulis: Laa ilaaha 'illallaah wahdahu laa syariikalahu, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syay'in qodiir."

Syeikh Muhammad lalu mencoba melihat mata uang itu dengan lebih teliti, ternyata benar apa yang ducapkan Habib Ahmad bin Hasan. Nama raja Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi tertulis melingkari mata uang tersebut dengan tulisan kufi tanpat titik dan dengan aturan yang aneh.


MENUNTUT ILMU

Sejak kecil beliau Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos gemar menuntut ilmu. Ketika berusia 5 tahun, kakek beliau, Habib Abdulloh, mengajari beliau membaca Qur'an sebelum menyerahkan pendidikan beliau pada Faraj bin Umar bin Sabbah murid Habib Hadun bin Ali bin Hasan al-'Atthos.

Beliau juga belajar kepada Habib Sholeh bin Abdullah al-'Atthos. Beliau bercerita,
"Suatu hari, ketika usiaku 5 tahun, aku bermain-main & berguling-guling di tanah. Kebetulan Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos lewat di dekatku. Beliau berkata, 'Bangun, pakai pakaianmu lalu tunaikan Sholat Jum'at!'..."

"Tubuhku kotor!", jawabku.

"Tidak masalah, bangunlah, pakai pakaianmu dan kerjakanlah Sholat Jum'at!".
Beliau juga belajar kepada Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos. Beliau bercerita,
"Suatu hari, ketika usiaku 5 tahun, aku bermain-main & berguling-guling di tanah. Kebetulan Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos lewat di dekatku. Beliau berkata, 'Bangun, pakai pakaianmu lalu tunaikan Sholat Jum'at!'..."

"Tubuhku kotor!", jawabku.

"Tidak masalah, bangunlah, pakai pakaianmu dan kerjakanlah Sholat Jum'at!".

Habib Sholeh lalu membacakan firman Alloh Ta'ala:
"Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Alloh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati."
(Q.S. al-Haj, 22:32)

Inilah ayat pertama yang dihafalkan oleh Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos dari Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos.

Perlu diketahui bahwa Habib Ahmad memiliki daya hafal yang luar biasa, beliau mampu menghafal dengan sekali dengar.

Setiap kali ada ulama datang ke kotanya, Huraidhoh, beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka.

"Hatiku dipenuhi rasa pengagungan dan penghormatan pada salaf yang tiba di kotaku. Ketika Habib al-'Allamah Muhammad bin Ali Assegaf datang, aku seakan-akan melihat seorang nabi."


GURU-GURU BELIAU

Guru-guru beliau antara lain adalah Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos, Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos, Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdhor, Habib Ahmad bin Abdulloh bin Idrus al-Bar, Habib Abdurrohman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Ali bin Alwi bin Abdillah Assegaf & Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih.

Sedangkan guru-guru beliau di Haramain adalah Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assegaf, Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Shol Maula Dawileh, dan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan.

Adapun Syeikh fath Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos adalah Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos dan Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos.

Habib Sholeh men-tahkiim beliau sebagai seorang sufi dengan mencukur rambut kepala beliau dengan kedua tangannya yang mulia dan memerintahkannya untuk wudhu & mandi. Setelah itu Habib Sholeh mendudukkan beliau di hadapannya lalu men-talqiin kalimat: "Laa ilaa illallah Muhammadun Rasuulullaah" sebanyak 3 kali dan kemudian memberi beliau ijaazah dan ilbaas.

Buku-buku yang dibaca Habib Ahmad di hadapan Habib Sholeh antara lain adalah "Idhoohu Asroori Uluumil Muqorrobiin, Ar-Risaalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifaa' karya Qodhi 'Iyadh dan Mukhtashor al-Adzkaar karya al-Allamah Syeikh Muhammad bin Umar Bahroq.

Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota 'Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H.
Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota 'Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H.

Cinta beliau kepada Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos telah tampak sejak beliau masih kecil, sebagaimana diceritakan oleh Habib Alwi bin Thohir dalam Uquudul Almaas:
"Jika Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos berkunjung ke Huraidhoh, beliau (Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos) selalu menemainya. Suatu saat, Habib Sholeh pulang ke kotanya ('Amd) tanpa sepengetahuan beliau. Ketika mengetahui bahwa Habib Sholeh telah pulang, beliau segera menyusulnya seorang diri tanpa penuntun dan penunjuk jalan. Habib Sholeh merasakan kehadiran beliau, lalu bertanya pada orang-orang yang ikut dalam rombongannya, 'Apakah kalian melihat seseorang di belakang kita?'. Mereka melihat ke belakang lalu berkata, 'Kami tidak melihat apa-apa.'. Tak berapa lama, ia mengulang pertanyaannya dan dijawab, 'Ya, ada seorang anak kecil berusaha menyusul kita.'. Habib Sholeh berkata, 'Dia adalah Ahmad bin Hasan.' Ia menanti kedatangan Habib Ahmad bin Hasan, lalu memboncengkannya sampai di desa terdekat. Setelah itu ia memulangkannya."

Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos juga memberikan perhatian kepada beliau sejak kecil. Buku yang telah dibaca Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos di hadapan Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos antara lain adalah al-Jami' ash-Shoghir, Riyadhush Shibyan dan Hadiyatush Shiddiq.

Habib Ahmad selalu menemani Habib Abubakar, bahkan beliau pernah ikut sampai ke Hijaz. Ketika Habib Abubakar meninggal dunia pada malam Selasa 17 Dzulqoidah 1281 H, beliau sedang berada di Haramain.

Habib Ahmad berkata,
"Aku pernah bertanya pada Habib Abubakar tentang berbagai kasyf dan asror yang diperoleh seseorang padahal ia tidak memiliki amal yang memadai."

Habib Abubakar menjawab,
"Sebab ia dekat dgn shohibul waqt. Tempat yang dekat dengan pancuran akan terkena percikan air."

Keterangan Habib Ahmad ini menjelaskan keadaan dirinya.


BELAJAR DI MAKKAH

Tahun 1274 H, ketika usianya menginjak 17 tahun, beliau melakukan perjalanan haji ke Makkah al-mukarromah. Kedatangan beliau ini disambut dengan senang hati oleh al-'Allamah Mufti Haramain, Sayid Ahmad Zaini Dahlan.

Sayid Ahmad Zaini Dahlan mendorong beliau, Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos untuk menuntut ilmu di Makkah, lalu menyerahkannya di bawah pendidikan seorang guru baca Qur'an, Syeikh Ali bin Ibrohim as-Samanudi.

Sayid al-'Allamah Abubakar yang biasa dipanggil dengan Bakri bin Muhammad Syatho, pengarang buku I-'aanatuth Thoolibiin Syarh Fathul Mu'iin dalam bukunya Nafkhotur Rohmaan yang berisi manaqib guru beliau, Sayid Ahmad Zaini Dahlan, menulis:

"Dahulu Sayid Ahmad Zaini Dahlan hafal Qur'an dengan baik dan menguasai 7 cara baca Qur'an. Beliau juga hafal kitab asy-Syaathibiah dan al-Jazariah, 2 kitab yg sangat bermanfaat bagi para pelajar yang hendak mempelajari 7 bacaan Qur'an dengan cepat. Karena cinta dan perhatiannya pada Qur'an, ia memerintahkan sejumlah ahli baca Qur'an untuk mengajarkan ilmu ini. Ia khawatir ilmu itu akan hilang dari orang-orang yang cerdas dan memiliki pemahaman. Saat itu datang Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos dari Hadhromaut. Ia masih kecil dan buta kedua matanya.
Sayid Ahmad Dahlan sangat menyayanginya. Ia lalu memerintahkannya untuk menghafalkan Qur'an. Dalam waktu singkat Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos mampu menghafalnya. Kemudian tuanku Sayid Ahmad Dahlan meminta Syeikh Ali as-Samanudi yang terkenal menguasai 14 cara baca Qur'an untuk mengajar Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos. Syeikh Ali lalu mengajarkan asy-Syaathibiah dan cara baca Qur'an. Dalam waktu singkat Alloh memberi Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos fath."


Sumber :
"Sekilas tentang Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos: Riwayat hidup, Wasiat dan Nasihat, Kisah & Hikmah, Do'a dan Amalan."
Oleh: Sayyidy al-Habib Novel bin Muhammad al-'Aydrus.