Tuesday, April 14, 2009

Humor Ala Sufi


Judul: Renung dan Canda Pelawak Bersorban

Penulis: Nugroho Suksmanto

Penerbit: Koekoesan, Depok

Cetakan: Pertama, Februari 2008

Tebal: x+126 halaman

”Makna lebih penting daripada fakta. Hakikat lebih bermakna dari syariat...Tuhan yang lahir dalam kenyataan, orang menyebutnya medium (perantara) dan kalau dikeramatkan menjadi berhala.” (Suksmanto, 2008: 9)

Nugroho Suksmanto, menyuguhkan canda sufi yang renyah dibaca. Orang dibuat asyik mendalami 105 perigi yang dibagi menjadi 10 bagian bab itu. Kumpulan canda yang menyimpan mata air kebestarian. Lebih mengena lagi, karena amsal yang diambil tidak jauh-jauh amat dari ruang lingkup kehidupan kita, orang Indonesia. Benar-benar menyajikan hidangan sehari-hari yang biasa dan mungkin ada yang menganggapnya remeh temeh. Tabu juga dilanggar, dalam arti membiarkan sesuatu yang selama ini terkurung diumbar seenaknya. Kenapa lalu mengandung makna yang menyentuh? Nilai atau ukuran yang dicap sebagai norma ideal yang mengawang, atau bahkan jarang teraba, terasa akrab karena terlempar secara membumi dan membuat geli diri kita. Penyederhanaan plus pemerkayaan humor; cara jitu untuk berkomunikasi. Kalau memang diartikan sebagai ”dakwah” tidak mengapa. Ya, dakwah yang merakyat, yang juga tidak sok tahu.

Tasawuf sebagai jalan kehidupan bukan pilihan hidup untuk mengasingkan diri. Bahwasanya benar, dunia tasawuf amat dekat dengan keseharian. Gus Mus, kiai dan sastrawan sufistik, bilang bahwa dunia tasawuf bukanlah dunia yang kering dari kelakar. Tradisi tasawuf sangat kaya dengan permainan kelakar yang sarat dengan makna. Kelakar berlebihan yang dipandang agama bisa mengeraskan hati dan menjauhkan ketuhanan, tidak berlaku bagi sang sufi. Sufi dalah jenius spiritual yang mampu menggunakan sesuatu sebagai sarana. Teorinya, cinta adalah agama para sufi. Para sufi tidak pernah membenci sesuatu yang bahkan dianggap hina atau nista, tetapi ia dekati hal itu secara halus. Segala sesuatu yang dilihat dari perspektif tasawuf adalah makrifat, bahwa Tuhan ada di sana-sini. Ia Mahahadir juga Mahamampu. Omnipresent dan Omnipotent.

Canda atau lawakan bukan barang haram dalam berdakwah. Para sufi memahaminya sebagai kreativitas. Pendekatan ini bisa dimaklumi karena sufi mengejawantahkan sifat Tuhan ke dalam dirinya, sebagaimana akhlak Nabi menyerupai sifat-sifat Tuhan. Sangat wajar bila sufi sangat cerdas dan kreatif, karena Tuhan Mahakreatif (Al-Khaliq).

Sufi menyiratkan pesan untuk tidak puritan dalam beragama. Hitam dan putih bukan dunia sufi. Begitupun, cara pemaksaan dan kekerasan. Dunia sufi jauh dari violente, sebaliknya ia mampu menjadi penawar kehidupan melalui jalan damai, pacifique. Mengapa Wali Songo mengajarkan wayang ketimbang kasidah? Suksmanto menulis, ”Kalau aku mengajarkan kasidah, pengetahuanku tidak bertambah dan nanti aku dikira menyebarkan budaya Arab, bukan menyebarkan agama Islam. Yang terjadi malah mereka sibuk dengan urusan klenik dan puji-pujian berirama gurun pasir” (halaman 40).

Tasawuf adalah sebuah perspektif lain dalam beragama. Melalui buku ini, Suksmanto menawarkan cara pandang lain dengan kecerdasan melawak yang asyik. Pesan canda tidak saja baik untuk melemaskan kekakuan dalam melihat sesuatu, tetapi ada sisi ”renung” yang bermakna penundaan. Setelah ketawa, kita dibuat hanyut merenung untuk tidak menghakimi secara mutlak. Karena itu, Suksmanto berhasil menyajikan renungan tema-tema yang sedang hangat dan kontorversial, seperti poligami, pornografi dan pornoaksi, kekafiran dan keimanan, prostitusi, salat dengan bahasa daerah, korupsi, demokrasi, dan seterusnya. Tidak ada yang tabu dalam tasawuf. Dan, cara humor ini persis seperti misalnya dipraktekkan sastrawan Arab klasik Abu Nawas yang dekat dengan khamr, kekafiran, dan remeh-temeh lainnya. Metode yang dipakai Abu Nawas adalah junun atau ketidakwarasan hidup. Ketidakwarasan yang urutannya bermuara ke ”jalan Tuhan”.

Humor ala sufi juga sebuah filsafat keseharian. Suksmanto menghidangkan toleransi dan titik temu antariman yang berbeda: hak beragama, kebebasan, dan berbagi keselamatan. Memang, pandangan sufistik sangat melekat dengan pluralisme. Filsafat sufi adalah membuyarkan keajekan, membiaskan titik fokus, dan memendarkan warna cahaya. Sufi tidak sedang membangun nirwana untuk dirinya sendiri. Ia sedang berbagi kepada orang lain, tanpa pandang bulu. Tanpa melihat secara petak-petak kebenaran. Jadi, jangan lihat warna sufi hanya sebening cahaya putih saja, karena sesungguhnya ia sedang mengurai berbagai warna yang berbeda secara sama, baik sebagai manusia lebih-lebih sebagai makhluk Tuhan. Tuhan tidak sedang bermain dadu, kata Einstein. Tapi, para sufi sering bermain dadu, untuk melihat Tuhan dari berbagai sisinya: yang tidak sama dan tidak beragam. Karenanya, kita mendapat sebuah pelajaran: jalan kebenaran itu ternyata banyak bercabang.

Sufisme adalah sebuah kritik sosial. Membalikkan yang positif melalui cara negatif, yang sebetulnya tidak biasa. Nalar yang dibalik justru untuk dipikirkan. Ini membuat kita memandang sesuatu secara tidak hitam putih. Ada suatu makna yang bisa tak terhingga dijangkau pengindera manusia. Dalam dunia tasawuf, antara laku dan kata para sufi berada dalam derajat khawariqul adat, melampaui atau menyalahi kebiasaan, nonkonvensional, untuk memperoleh hikmah kearifan. Secara kasatmata kelihatan negatif, tapi banyak orang yang tidak menyadari hati positifnya. Itulah yang kerap disebut ”teologi negatif”. Model pemahaman seperti ini ampuh untuk melumpuhkan ketergesaan dan ketertutupan dalam beriman. Sufi bahkan tidak takut salah dalam menjalani kehidupan, karena di matanya selalu memandang ”Tuhan”. Kematian pun bukan sebuah kekalahan (lihat misalnya halaman 25), melainkan dunia baru menuju kemenangan. Para sufi membangun sendiri metode penjemputan menuju kematian dengan tidak menghiraukan surga dan neraka. Spiritualitas adalah kekayaannya, dan Tuhan merupakan khazanah yang tersembunyi untuk disingkap. Hidupnya sumringah penuh anekdot dan ketawa.

Karena itu, sufi sebetulnya amat peduli dan dekat dengan keseharian kita, keberadaannya tidak sejauh apa yang banyak dianggap selama ini. Bahwa ia santo yang berperan sebagai Semar. Keganjilannya dalam kekocakan menyuruk waskita, nubuat, untuk kita renungkan. Kadang, ia rela menjadi lilin yang sedia meleleh untuk menerangi kita. Hanya, kita lupa untuk secuil terima kasih.
Sumber : Newsroom Suara Merdeka

Tuesday, April 7, 2009

Anekdot Seputar Emas

Anekdot emas 1
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah seorang Sufi agung sekaligus ahli ilmu kimia. Suatu hari beliau memohon kepada Allah swt, agar diberi petunjuk bagaimana besi bisa jadi emas.
Aklhirnya mendapatkan Ilham dari Allah, agar membakar besi itu, dan setelah itu dikencingi.

Benar, apa yang terjadi, akhirnya besi itu berubah jadi emas. Tidak jelas, kenapa harus dikencingi dan apa kandungan kencing. Apa hubungan air kecing dengan benda-benda besi dan emas?

Akhirnya Syeikh Abul Hasan bermohon kepada Allah. “Ya Allah kenapa proses ini harus melalui najis?”

Lalu dijawab oleh Allah, swt, “Sesuatu yang kotor, prosesnya lewat jalan yang kotor pula…”.

Akhirnya emas itu dikencingi lagi, dan berubah jadi besi sebagaimana semua.

Emas adalah lambang kemewahan dan harta dunia. Dan dunia itu kotor, maka dilambangkan puila dengan proses najis secara kimiawi.
Anekdot emas 2
Ada seorang ahli khalwat di daerah Madura yang luar bisaa. Konon hanya 35 hari sekali keluar. Orang aneh ini, menurut penduduk di sana, pusarnya banyak sekali mengelilingi perutnya.

Yang menjadi masalah, banyak orang menunggu kapan orang tersebut keluar dari tempat khalwatnya. Bukannya orang-orang itu mohon didoakan, tetapi menunggu kapan sosok aneh ini membuang air besar.

Kadang penduduk sekitar sana, melihat kadang-kadang tidak melihat. Kadang sosok aneh ini buang air besar kadang tidak.

Ketika buang air besar mereka berebut mengambil tinjanya. Lho?
Sebab setiap yang keluar dari perutnya itu, bukan berupa tinja kuning seperti layaknya kebanyakan orang. Tetapi yang keluar adalah warna kuning emas, dan kenyataannya adalah emas.

Rupanya orang aneh ini pandai dan arif mendidik masyarakat sekitarnya melalui tinja. Bahwa sehebat-hebat harta dunia yang dilambangkan dengan emas, ternyata nilainya tak lebih dari tinja manusia. Wuiih!

Anekdot emas 3
Seorang ustadz di pesanren sedang menjelaskan tentang pandangan beberapa mazhab fiqih mengenai perhiasan emas yang dipakai oleh lelaki muslim.

“Menurut Imam Syafi’i seorang laki-laki muslim haram hukumnya memakai perhiasan emas. Namun boleh menurut Imam Maliki….”

Diskusi jadi panjang, ketika muncul pertanyaan bagaimana menurut mazhab syafi’i, lelaki yang menggunakan batu permata seperti berlian yang harganya lebih mahal dari emas, atau menggunakan batu zamrud yang nilainya ratusan juta? Apakah halal atau haram?

Sang Ustadz memberi argumen ngalor ngidul, yang dinilai cukup masuk akal.

Tiba-tiba, seorang gadis dalam arena itu penasaran bertanya?
“Kenapa sih Pak Ustadz, laki-laki tidak boleh menggunakan perhiasan emas, sedangkan kami boleh? Apakah Allah membuat perbedaan gender dalam kasus ini?”
“Ya, memang.…Tapi karena kaum lelaki sudah dipanggil Mas…Mas…Maaaaasss…untuk apa pakai emas segala?”

He he he…Nggak lucu ah!


Anekdot emas 4
Seorang Kyai Fadlun, dari Jawa Timur, seringkali diomelin oleh isterinya (Ibu Nyai), karena begitu banyak menolong ummat melalaui nasehat dan doa. Dan mereka yang ditolong oleh Kyai itu sukses. Biasanya ketika sukses sudah tidak kembali lagi.

“Pak Yai, kenapa orang-orang yang ditolong pada sukses, tapi kehidupan kita cuma begini-begini saja. Apa tidak punya doa atau apalah yang bisa membuat kita jadi sukses lebih hebat lagi, lebih kaya lagi.
Kenapa mesti orang lain teruuus?” protes Ibu Nyai pada sang Kyai.

Rupanya sang Kyai hanya tersenyum belaka.
“Coba kamu ambil gentheng di rumah kita yang ada dekat wuwungan pojok...” kata Kyai itu.

“ Sebelll akh… Masak minta fasilitas lebih malah disuruh naik gentheng. Nanti apa kata tetangga. Ibu Nyai kok naik-naik wuwungan, lagi nyari apaan tuh.…Nggak lucu akh…”
“Sudahlah..Ikuti saja. Katanya kamu mau minta harta emas berlian.”

Ibu Nyai akhirnya nekad naik gentheng. Dengan bersungut-sungut agar tidak dilihat tetangga, nekad juga akhirnya. Begitu ia dapatkan gentheng itu, ia bolak balik, sembari membatin, apa sih istemewanya gentheng tanah ini?

Setelah tuerun membawa gentheng, ia serahkan benda itu ke suaminya, dengan muka masem.

Genteng itu dipegang oleh Pak Kyai, lalu dibungkus kain. Kemudian Kyai itu memberikan kembali ke isterinya, agar dibuka. Ternyata begitu terjeutnya sang Bu Nyai, gentheng tanah tadi berubah jadi emas semua.

Ibu Nyai kaget bukan main. Dengan muka pucat ia tak bias bicara.

“Kamu pilih mana, nikmat-nikmat Allah disegerakan di dunia, atau nanti di akhirat?”

Ibu Nyai menyadari kesalahannya, dan menangis memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Seketika genheng emas tadi berubah jadi gentheng tanah. Sejak saat itu, ia kapok protes pada suaminya.

Siapa yang Menggoda Syetan?
Syetan rupanya sangat bangga dengan tugasnya, menggoda manusia untuk berbuat jahat. Namun manusia yang satu ini rupanya juga penasaran. Kalau begitu, siapa yang menggoda syetan? katanya dalam hati.

Orang itu tak lain Mukidin, pertugas pentakmir masjid di dekat rumahnya. Dia sekarang makmur karena bisa korupsi di sana sini. Suatu ketika Mukidin bertanya pada seorang Kiai Sufi.
“Pak Kiai, syetan itu kan punya tugas menggoda manusia, lalau siapa yang menggoda syetan?” tanyanya agak sombong
“Ya kamu itu yang menggoda syetan!” kata Kiai seraya mengumbar tawa.

Mukidin pun ikut tertawa sampai-sampai perutnya yang buncit itu berguncang-guncang.
Suasana sejenak hening, dan Mukidin hanya tertunduk sambil merenungi dirinya. Benarkah dirinya bisa menggoda syetan, sedangkan syetan dari ujung rambut hingga kakinya pun belum ia kenal?
Setelah beberapa bulan ia menyadari akan tindakan buruknya selama ini, ia bertobat lalu mendatangi Kiai Sufi itu.
“Benar Pak Kiai, saya memang sering menggoda syetan,” katanya.
“Ya, kalau kamu tidak menggodanya, syetan tidak berani menggodamu,” kata Kiai itu yang disambut manggut-manggut Mukidin

Memanggil Iblis
Abu Sa’id al-Kharraz (w. 277 H/890 M) adalah Sufi terkenal dengan sejumlah karya monumentalnya. Ia berasal dari Baghdad dan berguru pada Dzun Nun al-Mishri dan an-Nabaji, juga berguru kepada Abu Ubaid al-Bishri dan Bishri Ibnu al-Harits.
Suatu hari, al-Kharraz bermimpi bertemu iblis. Iblis kelihatan menjauh darinya. Melihat iblis semakin menjauh lalu al-Kharraz pun memanggilnya.

“Hai Iblis! Kemarilah, apa sebenarnya maumu?,” katanya.
“Apa yang akan kulakukan padamu, sedangkan dirimu telah membuang dari dirimu sendiri, padahal yang kau buang itu bisa kugunakan untuk menipu manusia,” jawab sang Iblis.
“Apa itu?”
“Dunia!”
“Iblis kelihatan sangat segan dengan al-Kharraz, tapi pelan-pelan ia menoleh kepadanya.
“Tapi aku masih punya sesuatu berupa bisikan halus untukmu,” kata Iblis.
“Apa itu?”
“Bergaul dengan orang yang banyak bicaranya.” jawab Iblis.

---(ooo)---

Ana Al-Haqq, Al-Hallaj


Aku adalah Dia yang kucinta dan
Dia yang kucinta adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku

**********************************
Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya,
membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan baginya mahluk-Nya,
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.
**********************************
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur disatukan dengan air murni.
Jika sesuatu menyentuh Engkau,
ia meyentuhku pula,
dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.

Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku
Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.

**********************************
Sebelumnya tidak mendahului-Nya, setelah
tidak menyela-Nya, daripada tidak
bersaing dengan Dia dalam hal
keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia,
ketidak menyatu dengan dia, Dia tidak mendiami Dia,
kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia,
atas tidak membayangi Dia,dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia,
didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia,
dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia,
ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian
tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia
mendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas.

**********************************
Di dalam kemuliaan tiada aku,
atau Engkau atau kita,
Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.

---(ooo)---

Sumber : Sufinews