Tuesday, January 31, 2012

Niat


Berikut penjelasan dari kitab "Idharu Asrari Ulumil Muqarrabin" (Habib Muhammad bin Abdullah Al Aidarus)

Ucapan tersusun berdasarkan niat. Ketahuilah, salah satu asas yang dapat menyampaikan seseorang kepada Allah adalah usaha untuk melandasi amal
dengan niat yang sempurna dan hati yang ikhlas, serta melaksanakan ketaatan tanpa melibatkan hal-hal yang dapat merusak amal. Sumber ucapan ini adalah sabda Nabi saw, “Amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya untuk setiap orang (akan dibalas) sesuai niatnya.”

Amalan hati adalah niat. Amalan hati ini kemudian melahirkan amalan lahiriah. Amal-amal hati merupakan pokok (ushûl) sedangkan amal-amal lahiriah merupakan cabangnya (furû’). Jika pokoknya sempurna maka cabangnya pun akan kokoh, dan jika niat yang berfungsi sebagai landasan amal diabaikan, maka amal-amal lahiriah (sebagai cabang) akan goyah. Kaidah ini berlaku umum untuk semua amal ukhrawi maupun duniawi. Jika ingin selamat dan lurus urusanmu – remeh maupun penting – maka sempurnakanlah semua tujuanmu (maksudnya). Caranya, pertama-tama pikirkanlah tujuan itu,
kemudian berilah semangat (himmah) sebanding dengan tujuan tersebut.

Setelah itu pasrahkanlah urusanmu kepada Allah SWT. Mohonlah agar Dia berkenan menyempurnakan dan mengaruniakan kesuksesan. Dengan cara demikan amal menjadi suci dan tujuan menjadi benar.

Wahai pembaca, pembahasan ini sangat pelik, karena itu pahamilah dengan baik. Aku harus menjelaskannya kepada saudara-saudara kita para sâlik agar mereka memperoleh petunjuk. Namun, hanya Allah yang dapat memberikan taufik dan pertolongan.

Ketahuilah, niat mempunyai dampak yang sangat menakjubkan terhadap amal. Jika niatnya baik, hasilnya pun baik. Tetapi jika niatnya buruk, akan buruk pula hasilnya. Niat yang baik adalah sumber seluruh kebajikan. Sebab semangat (himmah) yang dicurahkan pada suatu kegiatan, dengan kekuasaan Allah akan menghasilkan pengaruh yang luas. Dan tercapai tidaknya suatu tujuan tergantung pada kuat lemahnya azm (tekad). Oleh karena itu, manusia hendaknya mengerjakan semua kegiatannya dengan semangat tinggi dan penuh perhatian, bukan karena kebiasaan semata. Hendaknya ia mencurahkan pikirannya, memperkuat semangatnya dan bersungguh-sungguh dalam setiap urusannya.

Ada sebuah kalimat hikmah kuno yang cukup indah mengatakan bahwa “Hazm (ketetapan hati/tekad) adalah bersegera dalam memanfaatkan kesempatan yang ada, bersegera dalam melaksanakan niat, dan tidak berlambat-lambat dalam mengejar sesuatu yang dikhawatirkan dapat terlewatkan. Merenungkan sesuatu yang belum tentu terjadi, merupakan sumber kelemahan dan penyebab kekalahan.” Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut, “Hai Yahya, ambillah kitab (taurat) itu dengan kekuatan.
(QS Maryam, 19:12) yakni dengan kekuatan tekad.

Rasulullah saw bersabda, “Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya.” Sebab amal hati tidak terbatas. Seseorang seringkali merasa berat hati ketika meniatkan suatu kebajikan. Namun, jika berniat melakukan kejahatan, ia dengan mudah dapat mewujudkan niatnya. Salah satu keajaiban rahasia niat adalah keberkahannya yang dapat mempengaruhi berbagai hal yang tidak pernah terlintas dalam pikiran kita. Diriwayatkan bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz ra menjabat sebagai kholifah para penggembala domba berkata, “Siapakah hamba yang saleh yang berkuasa saat ini?”

“Bagaimana kalian tahu bahwa penguasa kita adalah seorang yang saleh?” tanya seseorang.

“Jika seorang kholifah yang adil berkuasa, serigala tidak akan memangsa domba.”

Lihatlah, betapa niat yang penuh berkah ini berpengaruh terhadap hewan buas. Demikian pula niat buruk. Niat buruk dapat memberikan pengaruh yang
lebih parah. Jika seseorang menyimpan niat jahat, maka niat itu akan menggerakkannya untuk melakukan kejahatan yang kadang kala akibatnya lebih buruk dari yang diniatkannya.

Berbagai perkara yang pelik ini harus diperhatikan dan dipikirkan, karena tujuan penulisan bab ini adalah agar seseorang dapat mencegah hatinya dari kejahatan. Jangan sampai ia melakukan ketaatan dengan hati lalai: baik dalam bersalat, bertasbih, membaca Quran, bersedekah, menengok orang sakit, melayat jenazah, maupun ibadah lainnya. Seorang bijak rhm berkata, “Barang siapa berdzikir kepada Allah dengan hati yang lalai, Allah akan berpaling darinya.” Ucapan ini berlaku umum.

Kaum khowwâsh selalu menetapkan niat baik dalam semua hal, sampai pada perkara-perkara yang mubah. Sebab, niat baik dapat merubah perbuatan mubah menjadi amalan yang berpahala. Misalnya ketika berpakaian, jika niatnya untuk mematuhi perintah Allah dalam firman-Nya: Pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (QS Al-A’rof, 7:31) Dan mengamalkan sabda Rasulullah saw berikut, “Sesungguhnya Allah itu Maha Cantik, Ia menyukai kecantikan.” Serta untuk mensyukuri dan memuji Allah atas rezeki yang Ia anugerahkan. Maka perbuatan mubah itu menjadi ibadah.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Monday, January 30, 2012

Kitab-kitab Mawlid Nabi SAW Sepanjang Zaman

sawanih.blogspot.com
Oleh: Mohd. Khafidz Soroni

Meneliti kembali sejarah, ditemukan banyak ulama yang membahas topik mawlid Nabi SAW. Topik mawlid sebenarnya adalah sebagian daripada ilmu sirah Nabi SAW. Namun, lama-kelamaan ia menjadi satu disiplin penulisan yang mempunyai konsep yang sedikit berbeda dengan kitab-kitab sirah. Di mana kebanyakan kitab-kitab mawlid ini ditulis dengan gubahan gaya bahasa yang tinggi, puitis dan berima.

Mawlid Nabi SAW merupakan suatu topik yang dapat dianggap evergreen di sepanjang zaman. Ini karena ia datang pada setiap tahun yaitu pada bulan Rabiul Awwal. Soal setuju atau tidak setuju menyambutnya menjadi isu yang masyhur di kalangan ahli ilmu. Bagaimanapun, mawlid menceritakan keindahan peribadi dan riwayat hidup Nabi SAW bagi orang yang cinta tidak akan mendatangkan rasa jemu dan bosan. Apatah lagi seseorang itu akan bersama dengan orang yang dikasihi dan dicintai di akhirat kelak.

Berdasarkan kajian, didapati amat banyak kitab-kitab yang telah dikarang oleh para alim ulama berkaitan mawlid Nabi SAW. Berikut adalah sebahagian di antara kitab-kitab berkenaan yang disusun menurut kronologi:

Abad Ketiga Hijrah

Menurut al-‘Allamah Sayyid Ahmad al-Ghumari di dalam kitabnya Ju’nah al-‘Attar (hlm. 12-13):

1- “Orang pertama yang aku tahu telah menyusun mengenai mawlid ialah Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi, pengarang kitab al-Maghazi dan kitab al-Futuh, meninggal dunia tahun 206 H, dan ada yang menyebut tahun 209 H. Beliau mempunyai dua buah kitab tentangnya, iaitu kitab al-Mawlid al-Nabawi dan kitab Intiqal al-Nur al-Nabawi, sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Suhaili di dalam al-Rawdh sebahagian daripadanya.

2- Demikian juga telah menyusun mengenai mawlid dari kalangan ulama terdahulu; al-Hafiz Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘A’id, pengarang al-Sirah yang masyhur, meninggal dunia tahun 233 H.

3- Dan al-Hafiz Abu Bakr ibn Abi ‘Asim, pengarang banyak kitab, meninggal dunia tahun 287 H” – tamat nukilan.

Kitab al-Hafiz Abu Bakr ibn Abi ‘Asim ini pernah diriwayatkan oleh Imam al-Ghazali. Kata muridnya al-Hafiz ‘Abd al-Ghafir al-Farisi (w. 529H) mengenai gurunya itu: “Beliau telah mendengar berbagai-bagai hadis secara formal bersama-sama para fuqaha’. Antara yang saya temukan bukti sama‘nya ialah apa yang beliau dengar daripada kitab Mawlid al-Nabi SAW karangan Abu Bakr Ahmad bin ‘Amr ibn Abi ‘Asim al-Syaybani, riwayat al-Imam Syeikh Abu Bakr Muhammad bin al-Harith al-Asbahani, dari Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad bin Ja‘far ibn Hayyan, dari pengarangnya. Imam al-Ghazali telah mendengarnya dari Syeikh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Khawari - Khawar Tabaran - rahimahullah, bersama-sama dua orang anaknya, Syeikh ‘Abd al-Jabbar dan Syeikh ‘Abd al-Hamid serta sekumpulan para fuqaha’… Kitab tersebut di dalam dua juzuk yang didengar oleh beliau”. (Tabaqat al-Syafi‘iyyah al-Kubra, 6/212-214)

Abad Keempat dan Kelima Hijrah

Karya-karya mawlid di dalam abad keempat dan abad kelima setakat ini belum ditemukan oleh al-faqir penulis. Jika ada, mohon diberitahu. Namun, penulisan mengenai mawlid ini terus dilakukan di kalangan ramai ulama pada abad-abad kemudiannya.

Abad Keenam Hijrah

4- al-Durr al-Munazzam fi Mawlid al-Nabi al-A‘zam oleh al-‘Allamah Abu al-‘Abbas Ahmad bin Mu‘id bin ‘Isa al-Uqlisyi al-Andalusi (w. 550H).

5- al-‘Arus oleh al-Hafiz Abu al-Faraj ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali al-Hanbali, yang terkenal dengan panggilan Ibnu al-Jawzi (w. 597H). Kitab ini telah disyarah oleh Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Jawi (w. 1315H) dengan judul: (بغية العوام في شرح مولد سيد الأنام عليه الصلاة والسلام المنسوبة لابن الجوزي) atau (البلوغ الفوزي لبيان ألفاظ مولد ابن الجوزي).

Abad Ketujuh Hijrah

6- al-Tanwir min Mawlid al-Siraj al-Munir oleh al-Hafiz Abu al-Khattab ibn Dihyah al-Kalbi (w. 633 H). Beliau telah menghadiahkan kitab ini kepada al-Malik al-Muzaffar, raja Arbil yang selalu menyambut malam mawlid Nabi SAW dan siangnya dengan sambutan meriah yang tidak pernah didengar seumpamanya. Baginda telah membalas beliau dengan ganjaran hadiah yang banyak.

7- (المولد النبوي) oleh al-Syeikh al-Akbar Muhyi al-Din Muhammad bin ‘Ali ibn al-‘Arabi al-Hatimi (w. 638H).

8- ‘Urfu al-Ta‘rif bi al-Mawlid al-Syarif oleh Imam al-Hafiz Abu al-Khair Syams al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah al-Jazari al-Syafi‘i (w. 660H).

9- (الدر النظيم في مولد النبي الكريم) oleh Syeikh Abu Ja‘far ‘Umar bin Ayyub bin ‘Umar ibn Arsalan al-Turkamani al-Dimasyqi al-Hanafi, yang dikenali dengan nama Ibn Taghru Bik (w. 670H).

10- (ظل الغمامة في مولد سيد تهامة) oleh Syeikh Ahmad bin ‘Ali bin Sa‘id al-Gharnati al-Maliki (w. 673H).

11- (الدر المنظم في مولد النبي المعظم) oleh al-‘Allamah Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Husain al-‘Azfi. Ia disempurnakan oleh anaknya, Abu al-Qasim Muhammad (w. 677H).

Abad Kelapan Hijrah

12- (المورد العذب المعين/ الورد العذب المبين في مولد سيد الخلق أجمعين) oleh Syeikh Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-‘Attar al-Jaza’iri (w. 707H).

13- (المنتقى في مولد المصطفى) oleh Syeikh Sa‘d al-Din Muhammad bin Mas‘ud al-Kazaruni (w. 758H). Ia di dalam bahasa Parsi, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh anaknya, Syeikh ‘Afif al-Din.

14- (الدرة السنية في مولد خير البرية) oleh al-Hafiz Salah al-Din Khalil ibn Kaykaldi al-‘Ala’i al-Dimasyqi (w. 761H).

15- Mawlid al-Nabi SAW oleh Imam al-Hafiz ‘Imad al-Din Isma‘il bin ‘Umar ibn Kathir (w. 774H). Ia telah ditahqiq oleh Dr. Solah al-Din al-Munjid. Ia juga telah disyarahkan oleh al-Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafiz, mufti Tarim, dan diberi komentar oleh al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, yang telah diterbitkan di Syria tahun 1387 H.

16- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Sulayman bin ‘Awadh Basya al-Barusawi al-Hanafi (w. sekitar 780H), imam dalam wilayah Sultan Bayazid al-‘Uthmani.

17- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Muhammad ibn ‘Abbad al-Randi al-Maliki (w. 792H), pengarang Syarah al-Hikam.

Abad Kesembilan Hijrah

18- al-Mawrid al-Hani fi al-Mawlid al-Sani oleh al-Hafiz ‘Abd al-Rahim bin Husain bin ‘Abd al-Rahman, yang terkenal dengan nama al-Hafiz al-Iraqi (w. 808 H).

19- (النفحة العنبرية في مولد خير البرية صلى الله عليه وسلم) oleh al-‘Allamah Majd al-Din Muhammad bin Ya‘qub al-Fairuz abadi (w. 817H).

20- (جامع الآثار في مولد المختار) oleh al-Hafiz Muhammad ibn Nasir al-Din al-Dimasyqi (w. 842H). Ia di dalam 3 juzuk. Beliau juga telah menulis dua buah kitab mawlid lain, iaitu: (المورد الصادي في مولد الهادي) dan (اللفظ الرائق في مولد خير الخلائق).

21- (تحفة الأخبار في مولد المختار) oleh al-Hafiz Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852H), dicetak di Dimasyq tahun 1283H.

22- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh ‘Afif al-Din Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd Allah al-Husayni al-Tibrizi (w. 855H).

23- (الدر المنظم في مولد النبي المعظم) oleh Syeikh Syams al-Din Muhammad bin ‘Uthman bin Ayyub al-Lu’lu’i al-Dimasyqi al-Hanbali (w. 867H). Ia di dalam 2 jilid, dan kemudian telah diringkaskan dengan judul (اللفظ الجميل بمولد النبي الجليل).

24- (درج الدرر في ميلاد سيد البشر) oleh Syeikh Asil al-Din ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Latif al-Husayni al-Syirazi (w. 884H).

25- (المنهل العذب القرير في مولد الهادي البشير النذير صلى الله عليه وسلم) oleh al-‘Allamah Abu al-Hasan ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardawi al-Maqdisi (w. 885H), syeikh Hanabilah di Dimasyq.

26- Mawlid al-Nabi SAW oleh al-Sayyid ‘Umar bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad Ba‘alawi al-Hadhrami (w. 889H).

Abad Kesepuluh Hijrah

27- al-Fakhr al-‘Alawi fi al-Mawlid al-Nabawi oleh al-Hafiz Syams al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman yang terkenal dengan nama al-Hafiz al-Sakhawi (w. 902H).

28- (درر البحار في مولد المختار) oleh Syeikh Syihab al-Din Ahmad bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Karim al-Nabulusi, yang masyhur dengan nama Ibn Makkiyyah (w. 907H).

29- Al-Mawarid al-Haniyyah fi Mawlid Khair al-Bariyyah oleh al-‘Allamah al-Sayyid ‘Ali Zain al-‘Abidin al-Samhudi al-Hasani (w. 911H).

30- (المرود الأهنى في المولد الأسنى) oleh Syeikhah ‘A’isyah bint Yusuf al-Ba‘uniyyah (w. 922H). Barangkali ini satu-satunya kitab mawlid karya seorang syeikhah!

31- (الكواكب الدرية في مولد خير البرية) oleh Syeikh Taqiy al-Din Abu Bakr bin Muhammad bin Abi Bakr al-Hubaisyi al-Halabi al-Syafi`i (w. 930H).

32- Mawlid al-Nabi SAW oleh Mulla ‘Arab al-Wa‘iz (w. 938H).

33- Mawlid al-Nabi SAW atau Mawlid al-Daiba‘i oleh al-Muhaddith Syeikh ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali bin Muhammad bin 'Umar al-Daiba‘i al-Syafi`i (w. 944H), murid al-Hafiz al-Sakhawi. Mawlid al-Daiba‘i ini antara kitab mawlid yang banyak dibaca orang sehingga kini. Ia telah ditahqiq dan ditakhrij hadisnya oleh al-‘Allamah Dr. al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki.

34- Mawlid al-Nabi SAW nazam Turki oleh Syeikh ‘Abd al-Karim al-Adranahwi al-Khalwati (w. 965H).

35- Itmam al-Ni‘mah ‘ala al-‘Alam bi Mawlid Sayyid Walad Adam dan al-Ni‘mah al-Kubra ‘ala al-‘Alam fi Mawlid Sayyid Walad Adam oleh Imam al-‘Allamah Ahmad ibn Hajar al-Haytami al-Makki al-Syafi‘i (w. 974H). Ia telah disyarah oleh beberapa ulama, antaranya oleh:

- Syeikh Muhammad bin ‘Ubadah bin Barri al-‘Adawi al-Maliki (w. 1193H) (حاشية على مولد النبي لابن حجر).

- Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri al-Syafi‘i (w. 1277H), Syeikhul Azhar dengan kitabnya (تحفة البشر على مولد ابن حجر).

- Syeikh Hijjazi bin ‘Abd al-Muttalib al-‘Adawi al-Maliki (w. sesudah 1211H) (حاشية على مولد الهيثمي).

- Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Mansuri al-Syafi‘i al-Khayyat (اقتناص الشوارد من موارد الموارد في شرح مولد ابن حجر الهيتمي), selesai tahun 1166H.

Ibn Hajar al-Haytami juga telah mengarang kitab (تحرير الكلام في القيام عن ذكر مولد سيد الأنام) tentang masalah bangun berdiri ketika bermawlid.

36- Mawlid al-Nabi SAW oleh al-‘Allamah Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syirbini al-Syafi‘i (w. 977H).

37- Mawlid al-Nabi SAW oleh al-‘Allamah Syeikh Najm al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali al-Ghiti al-Syafi‘i (w. 981H). Ia telah disyarahkan oleh Syeikh ‘Ali bin ‘Abd al-Qadir al-Nabtini al-Hanafi (w. 1061H) (شرح على مولد النجم الغيطي).

Abad Kesebelas Hijrah

38- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin ‘Arif al-Siwasi al-Hanafi (w. 1006H).

39- al-Mawrid al-Rawi fi al-Mawlid al-Nabawi oleh al-‘Allamah Nur al-Din ‘Ali bin Sultan al-Qari al-Harawi al-Hanafi (w. 1014H). Kitab ini telah ditahqiq oleh al-‘Allamah Dr. al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki.

40- (المنتخب المصفي في أخبار مولد المصطفى) oleh al-‘Allamah al-Sayyid ‘Abd al-Qadir bin Syeikh bin ‘Abd Allah bin Syeikh al-‘Aidarusi (w. 1038H).

41- (مورد الصفا في مولد المصطفى صلى الله عليه وسلم) oleh al-‘Allamah Muhammad ‘Ali bin Muhammad Ibn ‘Allan al-Bakri al-Siddiqi al-Makki al-Syafi‘i (w. 1057H).

Abad Kedua Belas Hijrah

42- (الجمع الزاهر المنير في ذكر مولد البشير النذير) oleh Syeikh Muhammad bin Nasuh al-Askadari al-Khalwati, yang masyhur dengan nama Nasuhi al-Rumi (w. 1130H).

43- Mawlid al-Nabi SAW oleh al-‘Allamah Muhammad bin Ahmad bin Sa‘id, yang masyhur dengan nama Ibn ‘Aqilah al-Makki (w. 1150H).

44- Mawlid al-Nabi SAW nazam Turki oleh Syeikh Sulaiman bin ‘Abd al-Rahman bin Solih al-Rumi (w. 1151H).

45- (المورد الروي في المولد النبوي) oleh Syeikh Qutb al-Din Mustafa bin Kamal al-Din bin ‘Ali al-Siddiqi al-Bakri al-Dimasyqi al-Hanafi (w. 1162H). Beliau turut menyusun kitab (منح المبين القوي في ورد ليلة مولد النبوي).

46- (الكلام السني المصفى في مولد المصطفى) oleh Syeikh al-Qurra’ ‘Abdullah Hilmi bin Muhammad bin Yusuf al-Hanafi al-Muqri al-Rumi, yang masyhur dengan nama Yusuf Zadah (w. 1167H).

47- (رسالة في المولد النبوي) oleh Syeikh Hasan bin ‘Ali bin Ahmad al-Mudabighi al-Syafi‘i (w. 1170H). Kitab ini telah diberi hasyiah oleh:

- Syeikh ‘Umar bin Ramadhan bin Abi Bakr al-Thulathi (w. sesudah 1164H).

- Syeikh ‘Abd al-Rahman bin Muhammad al-Nahrawi al-Muqri (w. 1210H).

48- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Ahmad bin ‘Uthman al-Diyar bakri al-Amidi al-Hanafi (w. 1174H).

49- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh ‘Abdullah bin Muhammad Nida’i al-Kasyghari al-Naqsyabandi al-Zahidi (w. 1174H).

50- Mawlid al-Barzanji atau (عقد الجوهر في مولد النبي الأزهر) oleh al-Sayyid Ja‘far bin Hasan al-Barzanji (w. 1177H), mufti Syafi‘iyyah di Madinah. Kitab ini adalah antara kitab mawlid yang termasyhur. Saudara pengarangnya, al-Sayyid ‘Ali bin Hasan al-Barzanji (w. 11xxH) telah menggubahnya menjadi nazam. Ia juga telah diberi hasyiah oleh beberapa ulama, antaranya:

- Al-‘Allamah Syeikh Muhammad bin Ahmad ‘Illisy (atau ‘Ulaisy) al-Syazili al-Maliki (w. 1299H) dengan judul (القول المنجي حاشية على مولد البرزنجي).

- al-Sayyid Ja‘far bin Isma‘il al-Barzanji (w. 1317H), mufti Syafi‘iyyah di Madinah dengan judul (الكوكب الأنور على عقد الجوهر في مولد النبي الأزهر).

- Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Bantani al-Jawi (w. 1315H) dengan judul (مدارج الصعود إلى اكتساء البرود) atau (أساور العسجد على جوهر عقد للبرزنجى) dan juga (ترغيب المشتاقين لبيان منظومة السيد البرزنجي في مولد سيد الأولين والآخرين).

- Syeikh ‘Abd al-Hamid bin Muhammad ‘Ali Kudus yang diberi judul: Mawlid al-Nabi SAW ‘ala Nasij al-Barzanji.

- Syeikh Mustafa bin Muhammad al-‘Afifi al-Syafi‘i yang diberi judul (فتح اللطيف شرح نظم المولد الشريف), dicetak di Mesir tahun 1293H.

Kitab al-Barzanji ini juga telah diterjemahkan ke bahasa Melayu dan berbagai bahasa lain.

51- Mawlid al-Nabi SAW oleh al-Sayyid Muhammad bin Husain al-Jufri al-Madani al-‘Alawi al-Hanafi (w. 1186H).

52- (المولد الشريف) oleh Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Maghribi al-Tafilati al-Khalwati (w. 1191H), mufti Hanafiyyah di al-Quds.

53- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Mun‘im al-Khayyat (w. 1200H), mufti wilayah Sa‘id, Mesir.

54- (الدر الثمين في مولد سيد الاولين والآخرين) oleh Syeikh Muhammad bin Hasan bin Muhammad al-Samannudi al-Syafi‘i, yang masyhur dengan nama al-Munayyir (w. 1199H).

55- (الدر المنظم شرح الكنز المطلسم في مولد النبي المعظم) oleh Syeikh Abu Syakir ‘Abdullah Syalabi, selesai tahun 1177H.

Abad Ketiga Belas Hijrah

56- (المولد النبوي) oleh Imam Abu al-Barakat Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi al-Dardir al-Maliki (w. 1201H). Kitab beliau ini telah diberi hasyiah oleh:

- al-‘Allamah Muhammad al-Amir al-Saghir bin Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki (w. sesudah 1253H) (حاشية على مولد الدردير).

- al-‘Allamah Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri al-Syafi‘i (w. 1277H).

- Syeikh Yusuf bin ‘Abd al-Rahman al-Maghribi (w. 1279H), bapa Muhaddith al-Syam Syeikh Badr al-Din al-Hasani dengan judul (فتح القدير على ألفاظ مولد الشهاب الدردير).

57- (تذكرة أهل الخير في المولد النبوي) oleh al-Sayyid Muhammad Syakir bin ‘Ali al-‘Umari al-Fayyumi, yang masyhur dengan nama al-‘Aqqad al-Maliki (w. 1202H).

58- Mawlid al-Nabi SAW nazam Turki oleh Syeikh Najib al-Din ‘Abd al-Qadir bin ‘Izz al-Din Ahmad al-Qadiri al-Hanafi yang masyhur dengan nama Asyraf Zadah al-Barsawi (w. 1202H).

59- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh ‘Ali bin ‘Abd al-Barr al-Husaini al-Wana’i al-Syafi‘i (w. 1212H), murid al-Hafiz Murtadha al-Zabidi.

60- (منظومة في مولد النبي صلى الله عليه وسلم) oleh Syeikh Mustafa Salami bin Isma‘il Syarhi al-Azmiri (w. 1228H).

61- (الجواهر السنية في مولد خير البرية صلى الله عليه وسلم) oleh al-‘Allamah Syeikh Muhammad bin ‘Ali al-Syanawani al-Syafi‘i (w. 1233H).

62- (مطالع الأنوار في مولد النبي المختار صلى الله عليه وسلم) oleh Syeikh ‘Abdullah bin ‘Ali Suwaydan al-Damliji al-Syazili al-Syafi‘i (w. 1234H).

63- (تأنيس أرباب الصفا في مولد المصطفى) oleh al-Sayyid ‘Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Isma‘il al-Amir al-San‘ani al-Zaydi (w. sekitar 1236H).

64- (تنوير العقول في أحاديث مولد الرسول) oleh Syeikh Muhammad Ma‘ruf bin Mustafa bin Ahmad al-Husaini al-Barzanji al-Qadiri al-Syafi‘i (w. 1254H).

65- (مولد نبوي نظم) oleh Syeikh Muhammad Abu al-Wafa bin Muhammad bin ‘Umar al-Rifa‘i al-Halabi (w. 1264H).

66- (السر الرباني في مولد النبي) oleh Syeikh Muhammad ‘Uthman bin Muhammad al-Mirghani al-Makki al-Husaini al-Hanafi (w. 1268H).

67- (قصة المولد النبوي) oleh Syeikh Muhammad bin ‘Abd Allah Talu al-Dimasyqi al-Hanafi (w. 1282H).

68- Al-Mawrid al-Latif fi al-Mawlid al-Syarif oleh Syeikh ‘Abd al-Salam bin ‘Abd al-Rahman al-Syatti al-Hanbali (w. 1295H). Ia berbentuk gubahan qasidah ringkas.

69- (مطالع الجمال في مولد إنسان الكمال) oleh Syeikh Muhammad bin al-Mukhtar al-Syanqiti al-Tijani (w. 1299H).

70- (سمط جوهر في المولد النبوي) oleh Syeikh Ahmad ‘Ali Hamid al-Din al-Surati al-Hindi (w. 1300H). Beliau mengarang kitab ini dalam sekitar 100 muka surat tanpa menggunakan huruf alif!

71- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Ahmad bin Qasim al-Maliki al-Hariri. Kitab ini telah disyarah oleh:

- Syeikh Abu al-Fawz Ahmad bin Muhammad Ramadhan al-Marzuqi al-Husayni al-Maliki (masih hidup tahun 1281H) dengan judul: (بلوغ المرام لبيان ألفاظ مولد سيد الأنام), cetakan Mesir tahun 1286H.

- Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Bantani al-Jawi (w. 1315H) dengan judul: (فتح الصمد العالم على مولد الشيخ أحمد بن قاسم), cetakan Mesir tahun 1292H.

72- Mawlid Nabi SAW oleh al-‘Allamah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani (w. 1263 @ 1297H), diselesaikan pada tahun 1230H. Beliau turut menyusun sebuah lagi kitab mawlid yang hanya diberi tajuk al-Muswaddah, diselesaikan pada tahun 1234H. (Wawasan Pemikiran Islam 4 - Hj. Wan Mohd. Saghir, h. 132)

73- Kanz al-’Ula [fi Mawlid al-Mustafa?] oleh Syed Muhammad bin Syed Zainal Abidin al-‘Aidarus yang terkenal dengan nama Tokku Tuan Besar Terengganu (w. 1295H).

Abad Keempat Belas Hijrah

74- Mawlid al-Nabi SAW oleh al-‘Allamah al-Muhaddith al-Sufi Abu al-Mahasin Muhammad bin Khalil al-Qawuqji al-Tarabulusi (w. 1305H).

75- (سرور الأبرار في مولد النبي المختار صلى الله عليه وسلم) oleh Syeikh ‘Abd al-Fattah bin ‘Abd al-Qadir al-Khatib al-Dimasyqi al-Syafi‘i (w. 1305H).

76- (العلم الأحمدي في المولد المحمدي) oleh Syeikh Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad Isma‘il al-Hilwani al-Khaliji al-Syafi‘i (w. 1308H).

77- (منظومة في مولد النبي صلى الله عليه وسلم) oleh Syeikh Ibrahim bin ‘Ali al-Ahdab al-Tarabulusi al-Hanafi (w. 1308H).

78- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Muhammad Hibatullah bin ‘Abd al-Qadir al-Khatib al-Dimasyqi al-Syafi‘i (w. 1311H).

79- (الإبريز الداني في مولد سيدنا محمد السيد العدناني صلى الله عليه وسلم) oleh Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Bantani al-Jawi (w. 1315H). Beliau juga telah mengarang kitab:

- (بغية العوام في شرح مولد سيد الأنام عليه الصلاة والسلام المنسوبة لابن الجوزي),

- (مدارج الصعود إلى اكتساء البرود) atau (أساور العسجد على جوهر عقد للبرزنجى) dan juga

- (ترغيب المشتاقين لبيان منظومة السيد البرزنجي في مولد سيد الأولين والآخرين).

80- (تحفة العاشقين وهدية المعشوقين في شرح تحفة المؤمنين في مولد النبي الأمين - صلى الله عليه وسلم) oleh Syeikh Muhammad Rasim bin ‘Ali Ridha al-Mullatiyah-wi al-Hanafi al-Mawlawi (w. 1316H).

81- (قدسية الأخبار في مولد أحمد المختار) oleh Syeikh Muhammad Fawzi bin ‘Abd Allah al-Rumi (w. 1318H), mufti Adrana. Beliau turut menyusun (إثبات المحسنات في تلاوة مولد سيد السادات).

82- (حصول الفرج وحلول الفرح في مولد من أنزل عليه ألم نشرح) oleh Syeikh Mahmud bin ‘Abd al-Muhsin al-Husaini al-Qadiri al-Asy‘ari al-Syafi‘i al-Dimasyqi, yang masyhur dengan nama Ibn al-Mawqi‘ (w. 1321H).

83- Simt al-Durar fi Akhbar Mawlid Khair al-Basyar min Akhlaq wa Awsaf wa Siyar atau Maulid al-Habsyi oleh al-‘Allamah al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (w. 1333H).

84- (لسان الرتبة الأحدية) oleh Syeikh Mahmud bin Muhyi al-Din Abu al-Syamat al-Dimasyqi al-Hanafi (w. 1341H). Ia sebuah kitab mawlid menurut lisan ahli sufi.

85- al-Yumnu wa al-Is‘ad bi Mawlid Khair al-‘Ibad oleh al-‘Allamah al-Muhaddith Syeikh Muhammad bin Ja‘far bin Idris al-Kattani al-Hasani (w. 1345H), cetakan Maghribi tahun 1345H.

86- Jawahir al-Nazm al-Badi‘ fi Mawlid al-Syafi‘ oleh al-‘Allamah Syeikh Yusuf bin Isma‘il al-Nabhani (w. 1350H).

87- (المولد النبوي الشريف) oleh Syeikh Muhammad Sa‘id bin ‘Abd al-Rahman al-Bani al-Dimasyqi (w. 1351H).

88- (شفاء الأسقام بمولد خير الأنام صلى الله عليه وسلم) oleh al-‘Allamah Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Hajjuji al-Idrisi al-Hasani al-Tijani (w. 1370H). Ia diringkaskan dengan judul (بلوغ القصد والمرام في قراءة مولد الأنام). Beliau turut menyusun kitab (قصة المولد النبوي الشريف).

89- Mawlid al-Nabi SAW oleh Syeikh Muhammad al-‘Azb bin Muhammad al-Dimyati.

90- Mawlid Syaraf al-Anam – belum ditemukan pengarang asalnya.

91- (المولد النبوي الشريف) oleh Syeikh Muhammad Naja, mufti Beirut.

92- (الجمع الزاهر المنير في ذكر مولد البشير النذير) oleh Syeikh Zain al-‘Abidin Muhammad al-‘Abbasi al-Khalifati.

93- (الأنوار ومفتاح السرور والأفكار في مولد النبي المختار) oleh Abu al-Hasan Ahmad bin ‘Abd Allah al-Bakri.

94- (عنوان إحراز المزية في مولد النبي خير البرية صلى الله عليه وسلم) oleh Abu Hasyim Muhammad Syarif al-Nuri.

95- (فتح الله في مولد خير خلق الله) oleh Syeikh Fathullah al-Bunani al-Syazili al-Maghribi.

96- (مولد المصطفى العدناني) oleh Syeikh ‘Atiyyah bin Ibrahim al-Syaybani, dicetak tahun 1311H.

97- (المولد النبوي) oleh Syeikh Hasyim al-Qadiri al-Hasani al-Fasi.

98- (خلاصة الكلام في مولد المصطفى عليه الصلاة والسلام) oleh Syeikh Ridhwan al-‘Adl Baybars, dicetak di Mesir tahun 1313H.

99- (المنظر البهي في مطلع مولد النبي) oleh Syeikh Muhammad al-Hajrisi.

100- (المولد الجليل حسن الشكل الجميل) oleh Syeikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Munawi al-Ahmadi al-Syazili, dicetak di Mesir tahun 1300H.

101- (المولد النبوي الشريف) oleh Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Himsi.

102- (الفيض الأحمدي في المولد المحمدي) oleh Syeikh Ibrahim Anyas (w. 1975).

103- (شفاء الآلام بمولد سيد الأنام) oleh al-‘Allamah Syeikh Idris al-‘Iraqi.

104- (شفاء السقيم بمولد النبي الكريم) oleh Syeikh al-Hasan bin ‘Umar Mazur.

105- (تنسم النفس الرحماني في مولد عين الكمال) oleh Syeikh Sa‘id bin ‘Abd al-Wahid Binnis al-Maghribi.

106- al-Sirr al-Rabbani fi Mawlid al-Nabiy al-‘Adnani oleh Syeikh Muhammad al-Bunani al-Tijani.

107- al-Nawafih al-‘Itriyyah fi Zikr Mawlid Khayr al-Bariyyah oleh Syeikh Salah al-Din Hasan Muhammad al-Tijani.

Abad Kelima Belas Hijrah

108- al-Rawa’ih al-Zakiyyah fi Mawlid Khayr al-Bariyyah oleh al-‘Allamah Syeikh ‘Abdullah al-Harari al-Habsyi (w. 1429H).

109- Mawlid al-Hadi SAW oleh Dr. Nuh ‘Ali Salman al-Qudhah, mufti Jordan.

110- al-Dhiya’ al-Lami‘ bi Zikr Mawlid al-Nabi al-Syafi‘ oleh al-‘Allamah al-Habib ‘Umar bin Hafiz al-Ba‘alawi. Ia antara kitab mawlid yang mula luas tersebar, serta pengarangnya masih hidup.


Imam Muhammad ‘Abd al-Hayy al-Kittani di dalam kitabnya al-Ta’alif al-Mawlidiyyah telah menyenaraikan hampir 130 buah kitab mawlid yang disusun menurut abjad. Manakala Dr. Salah al-Din al-Munjid telah menyenaraikan sekitar 181 buah kitab mawlid di dalam kitabnya (معجم ما أُلف عن النبي محمد صلى الله عليه وسلم). Namun, kedua-duanya belum dapat saya telaah ketika menulis entri ini. Dijangkakan masih ada banyak lagi kita mawlid yang tidak disenaraikan. Sepertimana yang dapat kita lihat, sebahagian besar alim ulama yang disebutkan adalah tokoh-tokoh ulama tersohor di zaman mereka. Tidak dinafikan juga bahawa ada setengah kitab mawlid tersebut yang dipertikaikan nisbahnya kepada pengarangnya. Sekurang-kurangnya jumlah karya-karya mawlid yang besar ini menunjukkan kepada kita bukti keharusan memperingati mawlid Nabi SAW di kalangan ramai para alim ulama.

Juga tidak dinafikan bahawa sesetengah kitab-kitab mawlid ini mengandungi perkara-perkara yang dianggap batil atau palsu oleh sebahagian ahli ilmu. Namun sangka baik kita kepada pengarang-pengarangnya, mereka tidak akan memuatkan di dalam kitab-kitab tersebut perkara-perkara yang mereka yakin akan kepalsuan dan kebatilannya. Maka, setidak-tidaknya mereka hanya mengandaikan perkara-perkara tersebut hanya daif sahaja yang harus diguna pakai dalam bab sirah dan hikayat, selain fadha’il, sepertimana yang masyhur di dalam ilmu mustalah al-hadith. Setengahnya pula adalah masalah yang menjadi khilaf di kalangan para ulama. Justeru, agak keterlaluan jika ada yang melabelkan kebanyakan kitab-kitab tersebut sebagai sesat, munkar dan bidaah secara keseluruhan dengan tujuan untuk menyesat dan membidaahkan para pengarangnya. Sedangkan kritikan tersebut dapat dibuat dengan cara yang lebih berhemah dan beradab. Semoga Allah SWT memberi kita petunjuk.

Penutup

Demikian secara ringkas, alim ulama yang mengarang kitab-kitab mawlid dari abad kedua hijrah hinggalah abad kelima belas hijrah, iaitu dalam tempoh sekitar 1,200 tahun. Ini tidak termasuk kitab-kitab mengenai isu dan hukum bermawlid, serta karya-karya madih nabawi seperti Burdah al-Busiri yang jumlahnya juga cukup banyak untuk dihitung. Penyusunan kitab-kitab mawlid mengandungi tujuan yang sewajarnya disematkan dalam hati-hati para pembacanya, iaitu mengiktiraf nikmat besar yang dibawa oleh Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, di samping menanamkan kecintaan yang tidak berbelah bahagi kepada baginda SAW. Hasil daripadanya ialah mengikut dan mengamalkan sunnah-sunnah baginda SAW serta berpegang teguh dengannya di dalam menjalani kehidupan duniawi.

Wallahu a‘lam.

اللهمَّ صلّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمّد وعلى آله


Sufi Road : Futuhal Ghaib (3)

Syeikh Abdul Qadir Jilani

"Apabila Allah memperkenankan permohonan dan doa seorang hamba, maka ini tidak berarti bahwa simpanan Allah itu akan berkurang, karena Allah itu Maha Kaya; dan juga tidak semestinya Allah merasa terpaksa menerima permohonan hamba itu, seakan-akan Dia takluk kepada permohonan hamba itu. Sebenarnya, permohonan atau doa hamba itusesuai dengan kehendak Allah dan juga sesuai dengan masanya. Sebenarnya, penerimaan doa itu telah tertulis dalam azalinya, dan hanya tinggal menunggu masa dikabulkan doa itu oleh Allah. Inilah apa yang dikatakan oleh orang-orang 'arif di dalam menerangkan kalam Allah, "Setiap saat Dia dalam keadaan baru".


Ini berarti bahwa Allah menerima permohonan hamba itu pada masa yang telah ditentukan-Nya. Allah telah menentukan masa dikabulkannya doa itu. Allah tidak akan memberi sesuatu kepada seseorang dalam dunia ini, kecuali dengan doa yang datang dari hamba itu sendiri. Begitu juga Allah tidak menolak sesuatu dari hamba itu, kecuali dengan doanya. Ada sabda Nabi yang menyatakan bahwa ketentuan takdir Ilahi itu tidak akan terelakkan, kecuali dengan doa yang ditakdirkan Allah dapat menolak ketentuan takdir itu. Begitu juga, tidak ada orang yang akan masuk kedalam surga hanya melalui perbuatan baiknya saja, melainkan dengan rahmat Allah juga. Walaupun demikian, hamba-hamba Allah itu akan diberi derajat di surga sesuai dengan amal perbuatannya.

Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Nabi, "Dapatkah seseorang itu memasuki surga hanya dengan melalui perbuatan baiknya saja?" Nabi menjawab, "Tidak, kecuali dengan rahmat Allah". Aisyah bertanya lagi, "Sekalipun engkau sendiri?" Beliau menjawab, "Ya, sekalipun aku kecuali jika Allah meliputi aku dengan rahmat-Nya". Setelah bersabda demikian, beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya.

Beliau berbuat demikian itu untuk menunjukkan bahwa tidak ada seseorangpun yang berhak untuk melanggar ketentuan takdir Ilahi, dan Allah itu tidak harus memperkenankan doa-doa hamba-hamba-Nya. Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia menghukum siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki kekuasaan yang mutlak. Segala ketentuan kembali kepada-Nya.
Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi hamba itulah yang ditanya. Allah memberikan karunia-Nya, kepada orang yang dikehendaki-Nya dan tidak memberikannya kepada orang yang tidak dikehendaki-Nya juga. Segala apa yang berada di langit dan di bumi serta di antara keduanya adalah kepunyaan Allah belaka dan berada dalam kontrol-Nya. Tidak ada tuan-tuan yang memiliki semua itu, melainkan Allah saja. Dan tidak ada pencipta, melainkan Dia juga.

Firman Allah: "Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah keapadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?". (QS, 35:3)

Firman-Nya lagi: "Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (QS, 19:65)

Selanjutnya Allah berfirman: "Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (QS, 25:26)

Mu'jizat Baginda Rasulullah SAW

Oleh : Sayyid Muhammad bin Alawi Bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani

Salah satu mukjizat Baginda Rasulullah SAW Adalah Al-Quran Al-Karim dan ini merupakan mukjizat terbesar. Mukjizat yang lain adalah: pembedahan dada beliau oleh malaikat, Isra’mi’raj, kabar beliau (kepada kaum Quraisy) tentang Bait Al-Muqaddas, bulan terbelah dua, peristiwa yang terjadi ketika beliau keluar rumah berangkat hijrah (ketika itu kaum Musyrik Quraisy bersepakat membunuh beliau. Pada saat itu beliau keluar dari rumah, mereka yang mengepung beliau semuanya mengantuk hingga beliau dengan laluasa dapat melewati mereka).

Dalam Perang Badr beliau mengambil segenggam pasir lalu dilemparkan kearah pasukan musuh, sehingga setiap musuh yang terkena butiran pasir jatuh terjungkal dan mati.
Demikian pula yang beliau lakukan pada Perang Hunain sehingga musuh berhasil dikalahkan. Ketika Suraqah bin Malik mengejar beliau dalam perjalan hijrah ke Madinah, kaki kuda yang ditungganginya terperosok ke tanah dan terjepit di dalamnya.
Kambing betina milik Ummu Ma’bad yang belum pernah kawin, ketika teteknya diusap-usap Baginda Rasulullah SAW, tiba-tiba dapat mengeluarkan susu demikian banyak untuk diminum rombongan beliau bersama Ummu Ma’bad, bahkan dapat mengisi penuh qirbah (wadah air terbuat dari kulit) untuk bekal melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Terkabulnya doa beliau ketika memohon kepada Allah SWT agar agama Islam diperkuat dengan masuknya ‘Umar bin Khaththab r.a. Terkabulnya doa beliau ketika memohon kepada Allah SWT agar ‘Ali bin Abi Thalib disembuhkan dari penyakit mata dan dikebalkan badannya dari gangguan udara panas dan dingin. Seketika itu juga doa beliau terkabul dan ‘Ali dapat memimpin pasukan bersenjata dalam Perang Khaibar melawan Yahudi.

Dalam suatu perperangan, mata Qatadah bin Nu’man terkena senjata musuh hingga biji matanya keluar. Dengan pertolongan Allah, Baginda Rasulullah SAW Berhasil mengembalikan biji mata Qatadah dan sembuh seketika itu juga. Terkabulnya doa beliau ketika mohon kepada Allah agar ‘Abdullah bin Abbas dikaruniai kecerdasan untuk menakwil dan mendalami ilmu-ilmu agama. Unta milik Jabir yang pada mulanya kalah berpacu, namun setelah Baginda Rasulullah SAW mendoakan, unta itu menang berpacu saat itu.
Terkabulnya doa beliau agar Anas dikaruniai umur panjang, mempunyai banyak harta dan anak keturunan. Pohon kurma milik Jabir yang mulanya berbuah sedikit, setelah didoakan Rasulullah SAW bisa berbuah banyak sehingga Jabir dapat melunasi utang-utangnya, bahkan buah kurmanya masih tersisa 13 takar (wusq).

Terkabulnya doa beliau ketika memohon agar Allah SWT menurunkan hujan. Seketika itu juga hujan turun selama satu minggu penuh. Setelah itu beliau memohon agar hujan berhenti, awan sirna dan cuaca berubah menjadi cerah. ‘Utaibah bin Abu Lahab, orang yang sangat memusuhi Allah dan Rasul-Nya,atas permohonan Baginda Rasulullah SAW dan doa beliau, ia mati diterkam singa di daerah az-Zarqa’ negeri Syam.

Pada malam bi’tsah Baginda Rasulullah SAW,batu dan pohon mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum, ya Rasulullah!” Mengenai hal itu beliau mengatakan, “Aku tahu bahwa ada batu di Makkah yang mengucapkan salam kepadaku beberapa saat sebelum aku diangkat menjadi Nabi dan Rasul.” Ada pula sebatang pohon yang bergerak mendekati beliau, dan batu yang digenggamnya bertasbih (mengagungkan kesucian AllahcSWT).
Ketika beliau hendak dibunuh dengan racun dalam makanan yang dihadiahkan seorang perempuanYahudi, tiba-tiba daging masakan di dalam hidangan itu memberi tahu beliau.
Seekor unta mengeluh kepada beliau karena diberi makan sedikit dan diperkerjakan terlalu berat Beliau memberitahu para sahabat bahwa kelak akan ada kelompok dari umatnya yang akan mengarungi samudera,termasuk di dalamnya seorang wanita bernama Ummu Haram binti Milhan dan ucapan beliau menjadi kenyataan.

Kepada Utsman bin Affan r.a. beliau memberitahu bahwa dia akan menghadapi malapetaka besar, Itu juga terbukti di kemudian hari Utsman r.a. mati terbunuh saat berkedudukan sebagai Khalifah.

Kepada kaum Anshar beliau mengatakan,”Sepeninggalku, kalian akan mengutamakan golongan sendiri.” Itu juga terbukti beberapa saat setelah beliau wafat.
Mengenai cucu beliau, Al-Hasan bin Ali r.a, beliau berkata, ”Anakku ini-yakni Hasan-seorang Sayyid (Pemimpin). Dengannya Allah akan mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin.” Itu terbukti dengan terwujudnya kesepakatan antara para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib dan para pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Beliau memberitahu para sahabat tentang terbunuhnya Al-Unsi Al-Kadzdzab dan orang yang membunuhnya. Padahal di malam terjadinya pembunuhan itu Al-‘Unsi berada di Shan’a(Yaman) dan beliau berada di Madinah.

Kepada Tsabit bin Qais beliau berkata,”Engkau akan hidup terpuji dan akan mati syahid.” Kemudian terbukti Tsabit gugur sebagai pahlawan dalam Perang di Yamamah.
Seorang lelaki meninggalkan agama Islam (murtad) dan kembali bergabung dengan kaum Musyrik, Ketika Rasulullah SAW mendengar kematiannya, beliau berkata,”Bumi tidak sudi menerimanya.” Itu terbukti ketika mayatnya dibuang ke laut.

Seorang lelaki diminta oleh Baginda Rasulullah SAW Supaya makan dengan tangan kanannya, tetapi ia menjawab,”Tidak bisa”, Beliau berkata, “Engkau tidak akan bisa.” Sejak itu orang tersebut tidak bisa sama sekali mengangkat tangan kanannya sampai ke mulut.
Pada hari jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslim, banyak berhala terpancang di sekitar Ka’bah. Baginda Raslulullah SAW dengan tongkat pendeknya menuding kearah berhala-berhala itu sambil berucap, “Kebenaran telah tiba dan kebatilan pasti lenyap.” Seketika itu juga berhala-berhala itu runtuh berjatuhan.

Dalam Perang Khandaq, Baginda Rasulullah SAW memberi makan pasukan Muslim dengan setakar gandum, semuanya makan hingga kenyang, bahkan sisanya masih banyak. Pada waktu makan berikutnya Baginda Rasulullah SAW hanya mempunyai sedikit kurma bagi pasukan Muslim, Beliau lalu menyuruh orang mengumpulkan sisa-sisa kurma yang tercecer di atas hamparan, lalu beliau berdoa memohon berkah, sisa-sisa kurma yang terkumpul itu kemudian menjadi banyak hingga cukup dibagikan kepada semua pasukan. Pada saat yang lain Abu Hurairah r.a. datang kepada Baginda Rasulullah SAW membawa sedikit kurma, ia minta agar beliau berdoa memohon berkah, permintaannya dikabulkan dan beliau berdoa. Abu Hurairah menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut,”Dari kurma itu saya keluarkan sekian takar untuk perjuangan di jalan Allah. Kami sendiri makan dari kurma itu dan baru habis pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan r.a.”

Abu Hurairah r.a. menuturkan, pada suatu hari dia meminta Baginda Rasulullah SAW berdoa agar tsarid (semacam bubur kental terbuat dari terigu dan susu ) yang berada di dalam qush’ah (piring besar ) cukup untuk dimakan bersama oleh beberapa orang sahabat, setelah berdoa beliau mengambil sejumput tsarid yang berlepotan di pinggir qush’ah dengan jari-jari tangannya, kemudian berkata,”Makanlah, Bismillah!” Abu Hurairah mengakhiri penuturannya dengan berucap, “Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, baru saja makan sedikit,aku sudah kenyang.”
Pernah terjadi air memancar dari sela-sela jari Baginda Rasulullah SAW hingga semua rombongan beliau dapat minum sepuas-puasnya dan dapat berwudhu, padahal jumlah mereka tidak sedikit,yaitu sekitar 1400 orang.

Pada suatu musim kering, ditengah perjalanan disertai rombongan, beliau menyuruh orang mencari air semangkuk, kemudian Baginda Rasulullah SAW memasukkan jari-jarinya ke dalam air itu seraya berkata, “Marilah semua ke sini!” semuanya datang mendekati beliau lalu berwudhu, air didalam mangkuk itu tak kunjung habis, padahal jumlah mereka antara 70 sampai 80 orang.

Dalam Perang Tabuk hampir tak seorang pun dari pasukan Muslim yang menemukan air untuk diminum, karena nyaris tak sanggup menahan dahaga, mereka melapor kepada Baginda Rasulullah SAW, Beliau lalu mengambil anak panah dari Kinanah lalu beliau tancapkan di tanah, air memancar sangat deras sehingga semua pasukan yang berjumlah 30.000 orang dapat minum sepuas-puasnya.

Di suatu tempat yang disinggahi Baginda Rasulullah SAW, penduduknya mengeluh karena semua air di sana bercampur kotoran dan tidak dapat diminum, bersama beberapa orang sahabat, beliau mendatangi sebuah sumur lalu meludahinya, tiba-tiba sumur itu menggelegak penuh dangan air sejuk dan bersih, hingga semua penduduk dapat tertolong.
Pada suatu hari seorang wanita datang menghadap Baginda Rasulullah SAW membawa anak kecil berkepala botak karena penyakit. Baginda Rasulullah SAW lalu mengusapkan tangannya pada kepala anak itu dan seketika itu juga rambutnya tumbuh meratai kepala dan sembuh pula penyakit yang dideritanya, ketika penduduk Yamamah mendengar kejadian itu ada seorang wanita mencoba datang kepada Musailamah (tokoh setempat yang mengaku dirinya “Nabi”) membawa juga anak kecil tidak berambut, Masailamah mengusap kepalanya berulang-ulang, tetapi kepala anak itu tetap botak.
Dalam perang Badr, pedang Ukasyah patah, Baginda Rasulullah SAW memberinya sebatang kayu sebagai pengganti, di tangan Ukasyah kayu itu berubah menjadi pedang, usai perang kayu itu masih tetap dia pegang.

Dalam Perang Khandaq (Perang Ahzab) pasukan Muslim menghadapi kesulitan memecahkan sebuah batu besar dan keras pada saat mereka sedang menggali parit-parit pertahanan, batu yang tak dapat dipecahkan dengan palu besar itu pada akhirnya dipukul oleh Baginda Rasulullah SAW dengan tangan hingga hancur berkeping-keping.
Seorang yang menderita patah kaki datang kepada Baginda Rasulullah SAW mohon pertolongan, Baginda RasulullahSAW lalu mengusapkan kaki yang patah itu dan sembuhlah seketika, hingga orang itu seolah-olah tidak pernah sakit sebelumnya.
Bentuk-bentuk mukjizat Baginda Rasulullah SAW banyak sekali, nyaris tak dapat dihitung dan dicatat seluruhnya.

Wallahu A`lam..

Sumber : Buku Ringkasan Sejarah Nabi Muhammad SAW ( Alhawaadits wa al ahwaal an Nabawiyyah) [Karya : Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Bin ‘Abbas Al-Maliki Al-Hasani Penerbit : Darul Hidayah Hal 61-67]
http://ahlulkisa.com

Makna Mendahulukan Makan Sebelum Shalat

www.majelisrasulullah.org

قال رسول اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ

(صحيح البخار


“Sabda Rasulullah SAW: “Jika sudah dihidangkan makan malam, lalu Iqamat shalat, maka mulailah dengan makan malam dahulu ” (Shahih Bukhari)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha membuka gerbang rahmatNya sepanjang waktu dan zaman, seluruh pintu rahmat itu terbuka bagi jiwa yang ingin memasukinya, bagi mereka yang mendambakannya, bagi mereka yang ingin tinggal di dalam istana rahmat Ilahi dalam kehidupannya, yang mana alam sanubarinya senantiasa berada dalam rahmat Allah subhanahu wata’ala, hingga kelak mereka akan tinggal di dalam istana yang abadi di surga, yang hal itu juga merupakan salah satu bentuk rahmat Allah subhanahu wata’ala.

Mutiara-mutiara kebahagiaan yang tiada pernah berhenti berlimpah, sejak kebangkitan sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hingga saat ini, yaitu Al qur’anul Karim yang menuntun kita kepada keluhuran, dimana setiap huruf dari ayat-ayat tersebut adalah firman-firman Allah dan merupakan kewibawaan Ilahi, setiap hurufnya adalah kasih sayang Ilahi yang menuntun kita kepada cintaNya, meskipun dalam ayat-ayat tersebut terdapat ayat kemurkaan Allah yang diantaranya menjelaskan tentang neraka dan lainnya, namun semua itu bahkan akan menuntun kita untuk menuju cintaNya, dan itulah rahmat dan kemuliaan Allah yang ditunjukkan dalam Al qur’anul Karim, yang kesemua itu hakikatnya adalah surat cinta Allah untuk hamba-hambaNya. Tiada akan pernah ditemui seseorang yang akan menulis surat cinta sebanyak lebih dari 6000 ayat, namun Allah subhanahu wata’ala menulisnya untuk kita, karena kita terpilih sebagai ummat sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana Al qur’an tidak diturunkan untuk pepohonan, matahari, bulan dan yang lainnya, akan tetapi diturunkan untuk manusia. Maka setelah datang lebih dari 6000 kalimat cinta dari Allah subhanahau wata’ala yang menuntun kita dan melamar kita untuk menerima cinta Allah subhanahu wata’ala, dan jika kita menolaknya maka sepantasnya apabila kita mendapatkan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala, wal’iyadzubillah.

Hadirin hadirat yang dimulikan Allah
Allah subhanahu wata’ala tidak akan mempersulit hamba-hambaNya, dimana Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan hal-hal yang wajib maka kita kerjakan semampu kita, dan jika kita terjebak ke dalam perbuatan hina atau dosa maka segeralah memohon pengampunan kepada Allah, karena secepat apa kita memohon pengampunan kepada Allah, maka pengampunan Allah subhanahu wata’ala secepat itu pula datang kepada kita bahkan lebih. Pengampunan Allah subhanahu wata’ala sangat cepat datangnya terlebih lagi kepada hamba yang bersegera memohon pengampunan Allah. Begitu juga semakin seseorang memperlambat permohonan ampunannya kepada Allah, maka semakin lambat pula Allah menurunkan pengampunan untuknya, meskipun Allah subhanahu wata’ala senantiasa menanti permohonan maaf atau tobat hamba-hambaNya, namun janganlah menunggu hingga datangnya utusan pencerai ruh dengan jasad.

Hadirin hadirat yang dimulikan Allah
Dalam hadits yang telah kita baca, dimana sekilas hadits ini terlihat sangat ringkas namun maknanya sangat luas, dimana ketika makan malam telah dihidangkan dan ketika itu juga akan dilaksanakan shalat isya’, maka dahulukanlah makan daripada shalat, mengapa demikian, padahal dalam hadits yang lain disebutkan bahwa diantara sebaik-baik perbuatan adalah melakukan shalat pada waktunya. Namun dalam hadits tadi kita diperintahkan untuk mendahulukan makan, maka dalam hal ini kita ingin memberi pemahaman kepada sebagian saudara-saudara kita yang mengatakan bahwa jika telah dikumandangkan iqamah untuk melakukan shalat maka diharamkan melakukan sesuatu yang lain selain shalat, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk makan terlebih dahulu jika makanan telah siap dihidangkan, mengapa demikian? karena jika melakukan shalat terlebih dahulu maka syaithan akan lebih mudah membisiki untuk segera mempercepat shalat karena makanan telah siap. Adapun orang-orang yang shalih, mereka akan makan secukupnya saja, karena mereka mengetahui bahwa jika mereka makan yang banyak maka mereka akan menghadapi shalat isya’ dalam keadaan yang berat dan payah, demikian indahnya didikan sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam .

Dan diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang akan masih terhitung berada dalam shalat (pahala) selama ia menunggu waktu shalat berikutnya, karena menunggu suatu kebaikan adalah suatu kebaikan pula, oleh karena itu ketika makanan telah dihidangkan dan ketika itu akan dilaksanakan shalat, dan ketika makanan didahulukan maka termasuk dalam keadaan menunggu shalat, sehingga selama waktu makan pun hal itu terhitung dalam pahala melakukan shalat, karena menunggu sesuatu yang baik mendapatkan pahala kebaikan, sebagai contoh jika telah masuk waktu shalat namun belum juga dikumandangkan iqamah, maka waktu ketika menunggu iqamah untuk melakukan shalat hal itu terhitung dalam pahala shalat, jika seseorang menunggu dalam waktu 30 menit hingga shalat dilakukan maka dalam waktu itu pula terhitung mendapatkan pahala melakukan shalat, demikian indahnya sunnah-sunnah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Kita berusaha untuk selalu menguatkan iman kita semampunya, sebagaimana kita ketahui para nabi dan ummat terdahulu mereka mendapatkan cobaan yang sangat berat, seperti halnya nabi Musa As yang begitu berat mendapatkan cobaan dari Allah subhnahu wata’ala, dimana beliau dibesarkan dalam istana Fir’aun dan justru beliaulah yang akan menjadi penakluk kerjaan Fir’aun. Dijelaskan dalam surat Al A’raf, secara ringkasnya dimana ketika nabi Musa As melarikan diri dari Fir’aun karena memukul salah seorang yang berkelahi hingga meninggal, padahal nabi Musa memukulnya bukan dengan niat untuk membunuh namun orang tersebut meninggal, sehingga tersebar kabar bahwa Fir’aun dan prajuritnya sedang mencarinya dan ingin membunuhnya, maka nabi Musa pun pergi dan menjauh dari tempat itu, yang kemudian Allah subhanahu wata’ala berfirman kepada nabi Musa AS :

اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآَيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي ، اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ، فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ، قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى ، قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى ، فَأْتِيَاهُ فَقُولَا إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآَيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى

( طه : 42-47 )

“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku; Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas, maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut". Berkatalah mereka berdua: "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas, Allah berfirman: "Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dan katakanlah: "Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabbmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan Kami) dari Rabbmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk”. (QS.Thaha : 42-47)

Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah memerintah nabi Musa dan nabi Harun untuk berucap lemah lembut terhadap Fir’aun dan pengikutnya akan bertaubat, meskipun Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui bahwa Fir’aun tidak akan bertaubat, namun Allah ingin menunjukkan akan cara berdakwah dengan lemah lembut. Dan kisah ini Allah sebutkan dalam Al qur’an agar kita memahami cara yang benar dalam berdakwah, yang itu adalah tuntunan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian nabi Musa As datang kepada Fir’aun dan menyampaikan kepadanya bahwa ia membawa risalah dari Tuhannya, maka Fir’aun berkata siapa tuhannya, lantas nabi Musa berkata bahwa tuhannya adalah Yang menghidupkan dan mematikan manusia, maka Fir’aun berkata bahwa dia mampu menghidupkan dan mematikan, dimana dia bisa memerintah seseorang untuk membunuh atau tidak membunuh, kemudian nabi Musa As berkata bahwa Tuhannya mampu menerbitkan matahari dari timur, lantas beliau meminta Fir’aun untuk menerbitkan matahari dari barat, mendengar hal itu Fir’aun pun terdiam. Kemudian nabi Musa As menunjukkan mu’jizatnya, dimana tongkat nabi Musa berubah menjadi ular, maka Fir’aun mengumpulkan semua tukang sihir untuk melawan nabi Musa, yang mereka anggap bahwa hal yang dilakukan nabi Musa As adalah sihir seperti yang mereka perbuat. Maka semua penyihir mengelilingi nabi Musa, dimana perbuatan mereka hanyalah sihir yang hanya menipu mata dan pandangan orang, maka ketika itu mereka melemparkan tali-tali yang kemudian terlihat seperti ular, akan tetapi tongkat nabi Musa berubah menjadi ular yang sangat besar sehingga semua tali yang mereka lemparkan ditelan oleh tongkat nabi Musa As yang menjadi ular, melihat hal tersebut maka para penyihir itu tersungkur sujud dan beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آَمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى

(طه : 70 )

“Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Rabb Harun dan Musa". (QS. Thaha: 70 )

Setelah para penyihir itu beriman kepada Allah, maka Fir’aun berkata kepada mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

قَالَ آَمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آَذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَابًا وَأَبْقَى

(طه : 71 )

“ Berkata Fir'aun: "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku beri izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik , dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya". (QS. Thaha : 71 )

Kemudian para penyihir itu menjawab ucapan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

قَالُوا لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، إِنَّا آَمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَغْفِرَ لَنَا خَطَايَانَا وَمَا أَكْرَهْتَنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِ وَاللَّهُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

(طه : 72-73 )

“Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mu'jizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Rabb yang menciptakan Kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Rabb kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya)". (QS. Thaha: 72-73)

Padahal mereka adalah orang-orang yang baru beriman, namun keimanan mereka sangat kuat sehingga ancaman atau bahaya apapun yang akan menimpa mereka tidak mereka pedulikan, dan mereka akan tetap beriman dengan apa yang disampaikan oleh nabi Musa As.

Saturday, January 28, 2012

Maqam Orang Menangis

ww.sufinews.com
Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

Rosullullah SAW bersabda: “Siapa pun anak yang dilahirkan, kemudian diberi nama Muhammad dalam rangka mendapatkan berkah darinya, maka ia dan anaknya berada di syurga.

Hadits mulia ini mengandung rahasia cinta kepada Rasulullah Saw, yang bisa difahami oleh kalangan khusus yang dekat dengan Allah Swt. Mereka senantiasa menyebut namanya yang penuh berkah, yang kemudian memberikan hasrat untuk berakhlaq dengan akhlaq beliau yang suci, dalam rangka bersiteguh dengan jejak langkahnya. Sehingga anda tidak melihat mereka berhenti dalam stasiun dunia, ketika mereka menempuh jalan napak tilas Rasul Saw. Bahkan mereka senantiasa sadar dan [penuh] khusyu’, senantiasa takut kepada Allah Swt, mengikuti jejak Nabi mereka, mengamalkan sunnah Nabinya, dan merekalah yang disebut para ‘arifun.

Anak-anak sekalian. Ketahuilah kaum arifin senantiasa menangis, ketika kaum yang alpa sedang tertawa. Dan mereka sedang susah ketika kaum yang terpedaya dunia sedang gembira. Allah Swt, berfirman:

“Wajah-wajah mereka hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya terus memandang.”
“Wajah-wajah mereka berseri, riang penuh gembira.”

Ragam orang menangis:

Sesungguhnya Allah Swt, telah menyebutkan bukti-bukti menuju ma’rifat. Dan diantara tanda kaum arifin senantiasa lebih banyak menangis dan mengalir air matanya karena Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “Dan mereka sujud gelisah dengan menangis.”

Allah Swt mencerca kaum alpa, karena mereka lebih banyak bersendagurau dan tidak pernah menangis.
“Apakah dari kisah ini mereka heran dan mereka tertawa-tawa dan tidak menangis?”

Menangis itu ada kalanya:

Menangis mata
Menangis hati
Menangis rahasia batin.

Menangis mata adalah tangisan kaum ma’rifat yang kembali hatinya kepada Allah Swt.
Menangis hati adalah tangisan kaum ma’rifat yang sedang menempuh jalan menuju Allah Swt.
Menangis rahasia batin, adalah kaum ma’rifat yang menangis karena mereka menjadi pecinta Allah Swt.

Perlu diketahui, bahwa kalangan ahli ma’rifat mempunyai kesusahan yang tersembunyi di bawah rahasia batin mereka, tertutupi oleh pemikiran mereka, maka, ketika rahasia batinnya memuncah, berhembuslah angina rasa takut penuh cinta karena Kharisma Ilahi. Sedangkan hatinya begolak jilatan api kegelisahan, yang membakar seluruh remuk redamnya kealpaan dan kelupaan kepada Tuhannya Azza wa-Jalla.

Derajat Tangis

Tangisan itu terdiri enam arah:
Menangis karena malu, seperti tangisan Nabi Adam as.
Menangis karena kesalahan, seperti tangisan Nabi Dawud as.
Menangis karena takut, seperti tangisan Nabi Yahya bin Zakaria.
Menangis karena kehilangan, seperti tangisan Nabi Ya’qub as.

Menangis karena Kharisma Ilahi, seperti tangisan seluruh para Nabi as, yaitu dalam firmanNya: “Ketika dibacakan ayat-ayat Sang Rahman kepada mereka, maka mereka bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)

Menangis karena rindu dan cinta, seperti tangisan Nabi Syu’aib as, ketika beliau menangis sampai matanya buta, kemudian Allah Swt, mengembalikan menjadi sembuh, lalu beliau menangis lagi hingga buta kembali sampai tiga kali. Lalu Allah Swt, memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Syu’aib, bila tangisanmu karena engkau takut neraka, Aku sudah benar-benar mengamankan dirimu dari neraka. Dan jika tangismu karena syurga, Aku telah mewajibkan dirimu syurga.” Ayub menjawab, “Tidak Ya Tuhan, namun aku menangis karena rindu ingin memandangmu…”

Kemudian Allah Swt, menurunkan wahyu kepadanya, ”Sungguh wahai Syu’aib! Sangat benar orang yang menghendakiKu, menangis dari dalam rindu kepadaKu. Untuk penyakit ini tidak ada obatnya, kecuali bertemu denganKu.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, bersabda: “Bila seorang hamba menangis karena takut kepada Allah atas masalah ummat, sungguh Allah Swt memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba tadi.”

Rabi’ah ra, berkata, “Aku menangis selama sepuluh tahun karena merasa jauh dari Allah Swt, dan sepuluh tahun lagi menangis karena bersama Allah Swt, kemudian sepuluh tahun menangis karena menuju kepada Allah Swt. Menangis karena bersama Allah, disebabkan sangat berharap padaNya. Sedangkan menangis jauh dari Allah Swt, karena takut kepadaNya. Adapun menangis karena menuju Allah Swt, karena sangat rindu kepadaNya.”

Salah satu Sufi berkata, “Aku masuk ke rumah abi’ah al-Bashriyah, ketika itu ia sedang sujud. Lalu aku duduk di sisinya, hingga ia bangun mengangkat kepalanya. Kulihat ditempat sujudnya menggenang air matanya. Aku bersalam kepadanya, dan ia jawab salamku. Ia berkata, “Apa kebutuhanmu?” tanyanya.

“Aku ingin datang kepadamu..” kataku.

Lalu ia menangis, dan memalingkan wajahnya dariku. Ketika ia menangis, ia mengatakan, “Sejuknya matahatiku harus datang dariMu? Sungguh mengherankan orang yang mengenalMu, bagaimana ia bisa sibuk dengan selain DiriMu? Mengherankan sekali! Orang yang menghendakiMu, bagaimana ia menginginkan selain DiriMu?”

Atha’ as-Sulamy ra, ketika menagis banyak berungkap: “Oh Tuhan, kasihanilah diriku yang putus menujuMu, kasihanilah berpalingku dari selain DiriMu, kasihanilah keterasinganku di NegeriMu, kasihanilah rasa takutku pada hamba-hambaMu dan berhentinya diriku di hadapanMu.”

Al-Fudhail bin Iyadh menegaskan, “Ketika aku sedang thawaf, aku bertemu seseorang yang roman mukanya berubah dan tubuhnya kurus kering, ia menangis dengan menderu, lalu aku dekati ia. Tiba-tiba ia berkata, “Oh Tuhanku!betapa mesranya hati para pecinta,betapa ringannya hati para airfin, sungguh tak akan putus harapan perindumu.”
Tiba-tiba kudengar bisikan suara mengatakan, “Wahai Waliyullah, sungguh tujuh langit ikut menangis. Diam! Sekarang apa yang kamu pinta!.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Adam as, ketika diturunkan dari syurga, ia menangis sampai airmatanya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu Allah Swt, mewahyukan padanya, “Tangisan ini karena kehilangan syurga, lalu mana tangisan karena meninggalkan khidmah bakti padaKu?”

Lalu Nabi Adam as, terkejut, hingga sampai pada kalimat ikhlas. Lalu berucap”Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka…” (Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau!)
Allah Swt, berfirman, : “Maka Adam mendapatkan kalimat-kalimat dari Tuhannya, lalu ia taubat kepadaNya.”

Dzun Nuun al-Mishry –semoga Allah Swt, merahmatinya– mengatakan, “Aku melihat lelaki di Makkah sedang menangis dengan tangisan ahli ma’rifat, lalu aku mendekat,

“Apakah engkau punya kekasih?” tanyaku.
“Betul!” jawabnya.
“Jauh apa dekat kekasihmu itu?”
“Dekat,” katanya.
“Selaras denganmu apa tidak?”
“Sungguh selaras denganku.”
“Subhanallah! Lalu kenapa engkau menagis?”
“Ketahuilah, siksaan karena dekat dan serasi itu lebih pedih, ketimbang siksaan karena jauh dan kontra…!”

Dikisahkan bahwa Rabiah –Rahimahallahu Ta’ala– suatu hari sedang lewat di salah satu jalan di Bashrah. Tiba-tiba ada tetesan yang menetes dari kesdihan, lalu ia bertanya, “Tetesan apakah itu?” Lalu dijawab, “Itu dari tangisan Hasan.” Rabi’ah lalu berkata, “Katakanj semua ya pada Hasan, seandainya airmata bertambah terus hingga sampai ke Arasy sana, sebagai rasa cinta kepada Allah Swt, sungguh airmata itu sangat sedikit sekali.”

Abbad bin Syumaid bin Ujlan berkata:”Apakah orang munafiq itu menmangis?”
Lalu dijawab, “Menangis dari mata kepala, memang. Tapi tangisan dari hati, tidak!”

Fudhail ra, mengatakan, “Bila anda melihat seseorang menangis tapi hatinya alpa, maka itulah tangisan munafiq. Tangisan yang sesungguhnya adalah tangisan qalbu.”

Malik bin Dinar ra, ditanya, “Tidakkah engkau datang dengan seorang qari’ yang membaca di hadapanmu?”

“Kematian kekasih tidak butuh pada peratap tangisan.”

Ka’b al-Ahbar ra, menandaskan, “Suatu tangisanku setets karena takut kepada Allah Ta’ala, lebih kucintai disbanding sedekah segunung emas.”

Dalam tangisan Malik bin Dinar ra, seringkali munajat, “Duh diriku! Engkau ingin bersanding pasa Sang Maha Jabbar, dan menjadi orang yang terpilih, lalu mana engkau tinggalkan syahwat nafsumu? Sudah sejauh mana engkau mendekat kepada Allah? Wali mana yang engkau cintai karena Allah? Musuh mana yang engkau benci karena Allah? Menahan diri yang mana yang engkau lakukan karena Allah? Tidak! Jika semua itu tidak karena ampunan dan rahmat Allah!”. Tiba-tiba ia pingsan.

Diriwayatkan, bahwa Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as,: “Tak ada yang lebih dekat kepadaKu dibanding orang-orang yang menangis karena takut dan cinta kepadaKu.”

Tsabit an-Nasaj, ra berkata, “Nabi Dawud as, tidak pernah minum setegukpun setelah berbuat kesalahan, melainkan ia hanya menyerap airmatanya, hingga beliau menemui Allah Azza wa-Jalla (wafat).”
Ketika suatu hari melihat airmatanya banyak yang mengalir, ia berkata, “Ya Ilahi, apakah Engkau tidak kasihan atas tangisanku?”
Lalu ada suara dari langit, “Hai Dawud! Engkau masih ingat airmatamu, sedangkan engkau tidak mengingat dosa-dosamu?!”
Lantas Nabi Dawud as mengambil debu yang dipanaskan, lalu mengusap-usap kepalanya dengan debu pasir itu, sembari berkata, “Duh hilanglah air mukaku di hadapan Tuhanku.”

Di masa Hasan al-Bashry ra ada seorang lelaki yang punya anak perempuan sedang menangis, hingga matanya buta. Lelaki itu datang kepada Hasan agar didoakan dan dinasehatinya, siapa tahu ia menyadari dirinya. Lalu Hasan mendatangi gadis itu, dan berkata, “Kasihanilah dirimu!”
“Oh, guru! Mataku tidak lepas dari dua wajah, apakah layak untuk memandang Tuhanku atau tidak. Jika tidak layak maka sudah benar kalau mataku buta! Jika benar layak, maka ribuan seperti mataku ini pantas menjadi tebusan untuk memandangNya,” jawabnya.
“Aku datang untuk mengobati, malah aku yang diobati. Aku datang untuk jadi dokternya, malah aku menemukan dokterku.”

Salamah bin Khalid al-Makhzumy ra mengatakan, “Suatu hari perempuan dari Syam ada di Baitullah al-Haram, ia bisaa dipanggil Khazinah (Sang duka), karena selamanya menangis akibat rindunya kepada Allah Swt. Saat ia memandang pintu Ka’bah, selalu ia berucap, “Oh rumah Tuhanku, oh, rumah Tuhanku…”
Suatu saat pintu Ka’bah dibuka, lalu wanita itu melihat orang-orang sedang thawaf sembari menangis, dan berucap, “Diraja kami dan matahati kami…betapa panjang rindu kami kepadaMu…Kapan kami bertemu?” Wanita itu mendengarkan ucapan itu, lalu menjerit pingsan, hingga membuatnya mati.

Yahya bin Ashfar menandaskan, “Kami masuk bersama jamaah kami ke rumah Ufairah, perempuan ahli ibadah –semoga Allah Ta’ala merahmatinya-. Ia seorang yang buta karena banyaknya menangis, lalu salah satu dari kami mengatakan, “Betapa sedihnya kebutaan setelah sebelumnya bisa melihat!”.
Rupanya ia mendengar ucapan itu, dan berkata, “Hai hamba Allah! Butanya hati dari Allah Swt lebih pedih ketimbang butanya mata kepala! Aku sangat senang jika Allah memberikan kenyataan cintaNya kepadaku, dan sama sekali aku tidak ada kesedihan melainkan Allah Ta’ala mengambilnya dariku.”

Malam gelap gulita
Sedang pemaksiat lelap tidurnya.
Sang Arifun berdiri di hadap Tuhannya
Membacakan Ayat-ayat hidayah
Airmata mereka mengalir bercucuran
Tak sabar sedetik pun untuk tidak mengingatNya
Deru rindu bergelora
Sungguh pecinta tak pernah tidur.

Apa Itu Alam Jabarut?

Apa Itu Alam Jabarut?

Prof Dr Nasaruddin Umar

Alam Jabarut merupakan kelanjutan dari alam Malakut. Kedua alam ini sama-sama di dalam alam gaib mutlak. Namun, alam Jabarut berada di atas lagi. Tidak semua penghuni alam Malakut dapat mengakses alam tersebut. Hal ini membuktikan, sesama penghuni alam Malakut tidak memiliki kapasitas yang sama di mata Allah SWT.

Alam Malakut memiliki penghuni tetap, yaitu para malaikat utama, seperti Jibril, Mikail, Israfil, dan lain-lain. Alam ini lebih dekat dengan “Maqam Puncak”, yang biasa disebut Haramil Qudsiyyah.

Dalam suatu pengelompokan, lapisan-lapisan alam dan maqamnya dapat dibedakan pada beberapa tingkatan.

Dalam suatu pengelompokan, lapisan-lapisan alam dan maqamnya dapat dibedakan pada beberapa tingkatan.

Tingkatan itu adalah :

­= Maqam Ahdah yang mencakup alam Lahut dan Martabat Dzat;

­= Maqam Wahdah mencakup alam Jabarut dan Martabat Sifat;

­= Maqam Wahidiyah mencakup Alam Wahidiyah dan Martabat al-Asma’;

­= Maqam Roh yang mencakup alam Malakut dan Martabat Af’al;

­= Maqam Mitsal; dan

­= Maqam Insan dan alam syahadah.

Kalau alam Malakut merupakan tahap atau maqam ruhaniah dan taman jiwa yang hakiki serta senantiasa mempertahankan kesuciannya, alam Jabarut sudah masuk dalam wilayah Lahut atau berada dalam hamparan Ma’rifatullah, tempat seluruh elemen dan yang banyak menjadi satu.

Alam Jabarut sudah masuk di dalam dunia rahasia Ilahi, tetapi masih tetap wilayah alam dalam arti alam gaib mutlak. Alam Jabarut sebagai bagian dari alam gaib mutlak agak sulit dijelaskan secara skematis karena sudah masuk wilayah antara alam dan Maqam Qudsiyah.
Alam ini berada di antara wilayah aktual dan wilayah potensial yang lazim disebut dengan al-A’yan al-Tsabitah (akan dibahas dalam artikel mendatang).

Penghuni Jabarut adalah sesuatu yang bukan Tuhan dalam level Ahadiyyah, melainkan derivasinya dalam level Wahidiyat.

Dalam buku-buku tasawuf, di alam Jabarut ini berlangsung apa yang disebut sebagai Nafakh al-Ruh (peniupan roh suci Allah) yang kemudian mampu manghidupkan jasad. Itulah sebabnya alam Jabarut biasa juga disebut dengan alam roh. Di alam ini, kita juga mengenal adanya realitas kesamaran antara “sesuatu” dan “bukan sesuatu”. Juga kesamaran antara “alam” dan “bukan alam” serta antara “sifat” dan “asma”.

Di dalam alam Jabarut terjadi proses suatu keberadaan dari keberadaan potensial ke keberadaan aktual.

Alam Jabarut adalah suatu alam yang tidak umum dijangkau oleh alam-alam sebelumnya, termasuk alam Malakut.

Ini sebagai bukti, bukan hanya alam Syahadah yang mengalami tingkatan-tingkatan, tetapi alam gaib juga bertingkat-tingkat.

Sesama penghuni alam gaib tidak semuanya bisa mengakses alam Jabarut, berkenalan dengan para penghuninya, dan memahami seluk-beluk peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Bangsa jin tidak bisa mengenal seluruh perilaku malaikat, meskipun sama-sama sebagai penghuni Malakut. Sesama malaikat pun tidak saling memahami rahasia satu sama lain. Para malaikat adalah makhluk profesional yang mengerjakan tugasnya masing-masing dan tidak saling mengganggu serta mengintervensi sebagaimana diamanatkan Allah.

Di antara para malaikat, ada malaikat utama dan keutamaannya dilihat dari perspektif manusia yang memilah fungsi-fungsi para malaikat.

Sementara itu, alam Jabarut merupakan alam paling tinggi karena di atasnya sudah tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti ma siwa Allah.

Di atasnya, sudah bukan lagi alam, tetapi sudah masuk dalam wilayah Qudsiyyah. Sebagai alam paling tinggi, tentu menjadi objek cita-cita dan harapan manusia. Namun, perlu ditegaskan bahwa sebagai manusia kita tidak dituntut secara mutlak untuk memasuki alam-alam itu, namun juga tidak dilarang berupaya untuk itu.

Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan martabat-martabat kehidupan spiritual manusia dan menantang manusia untuk menaiki jenjang derajat yang lebih tinggi. Alquran mencela manusia yang cenderung set back ke jenjang derajat lebih rendah (asfala safilin).

Kalau manusia sudah berupaya menaikkan status ke alam yang lebih tinggi, namun tidak bisa menembus batas-batas alam tersebut, tidak perlu khawatir dan tak perlu dipermasalahkan. Tugas manusia hanya sebagai hamba dan khalifah. Bagaimana menjadi hamba yang lebih baik dan bagaimana menjadi khalifah lebih sukses di muka bumi ini.

Urusan menembus batas atau menyingkap tabir/hijab lalu memasuki alam dan maqam lebih tinggi itu adalah urusan dan hak prerogatif Allah. Apakah Allah mau memberi petunjuk dan siapa yang akan diberi petunjuk untuk itu, semuanya merupa kan rahasia Allah.

Upaya manusia meningkatkan martabat spiritual ke jenjang lebih tinggi ditempuh para sufi dan pengamal tarekat. Namun, substansi pendekatan mereka mempunyai benang merah yang sama, yaitu manusia selalu harus melakukan pembersihan diri (tadzkiyah al-nafs) melalui berbagai “exercise” (riyadhah) dan perjuangan batin (mujahadah).

Dalam Kitab Manhalus Shafi disebutkan langkah-langkah konkret yang dilakukan para salik untuk mencapai tujuan spiritualnya. Kitab ini memperkenalkan apa yang disebut dengan ilmu martabat tujuh atau ilmu tahqiq.

Ketujuh martabat itu ialah :

­- Hadratul Qudsi (puncak dari tempat penyucian diri) dan Unsi (tempat untuk bermesraan dengan Tuhan),

­- Mufatahah (tempat untuk membuka rahasia Ilahi),

­- Muwajahah (tempat untuk membuka hijab zulmani lalu menggunakan energi nuraniyah),

­- Mujalasah (sarana untuk memisahkan dan membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan),

­- Muhadasah (tempat untuk menyingkap rahasia melalui Dirinya),

­- Musyahadah (menyaksikan “wajah” Tuhan melalui seluruh alam ciptaan-Nya), dan Muthala’ah (menghayati keberadaan Tuhan melalui hidayah-Nya).
Bagi para salik yang akan menyingkap hijab dan seterusnya melaju ke alam lebih tinggi, menurut buku ini, sangat dimungkinkan. Jika seseorang mampu melewati maqam-maqam tersebut dengan baik, dipersepsikan manusia bisa mengakses alam manapun yang ia kehendaki.

Tentu saja tidak gampang mengakses maqam demi maqam yang berlapis-lapis itu. Peningkatan dari satu maqam ke maqam berikutnya terkadang ditempuh bertahun-tahun. Namun, tidak perlu berkecil hati karena jika Allah menghendaki, tentu tidak ada rintangan berarti bagi yang bersangkut an.

Memang dalam hadis tasawuf sering diungkap bahwa ada sekitar 70 ribu hijab yang menghijab manusia sehingga sulit mencapai mukasyafah (penyingkapan). Namun, tidak perlu takut dan berkecil hati, karena 100 ribu hijab pun dapat ditembus jika Allah menghendaki.

Seorang sufi mempunyai keuletan karena mempunyai tujuan bukan untuk menembus hijab itu tersingkap, tetapi bagaimana mendekatkan diri kepada Allah, tanpa target lain.

Jika ada kalangan sufi memiliki tujuan membuka hijab atau memperoleh karamah dalam pencahariannya, boleh jadi dua-duanya tidak diperoleh. Tuhannya tidak didapat dan karamahnya pun hilang.

Para sufi dan salik tidak jarang terkecoh karena terdekonsentrasi oleh hal-hal yang tidak substansi. Mereka terkecoh oleh sesuatu yang bersifat sekunder lalu meninggalkan urusan primer. Yang primer itu adalah Tuhan yang sekunder itu adalah kelezatan dalam beribadah, kepemilikan karamah di depan jamaah, dan semacamnya.

(* Banyak yang terkecoh oeh rekayasa setan. Mereka menyangka sudah bertemu dengan “Tuhan”, padahal ia adalah setan yg menyaru dan mengaku “Tuhan”. Ciri-ciri pengecohan setan itu antara lain, sifat sombong, meremehkan pelaksanaan syareat, mengabaikan Nabi Muhammad SAW sebagai penunjuk jalan yang lurus
dan lain-lain).

Mari kita mencari yang substansi dan yang primer tanpa harus terkecoh dengan yang nonsubstansi dan yang bersifat sekunder, agar mikraj kita berhasil.

Sumber: Republika

Tafsir Surah Al Fatihah

Tafsir Surah Al Fatihah (Pembukaan)
Surat Makiyyah

Pendahuluan
Disebut Al Fatihah artinya pembukaan kitab secara tertulis. Dan dengan Al Fatihah itu dibuka bacaan dalam shalat. Anas Bin Malik meriwayatkan: Al Fatihah itu disebut juga Ummul Kitab menurut jumhur ulama. Dalah hadist Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abu Hurairah : ia menuturkan, Rasulullah sholallhu ‘alaihi wasallam bersabda : {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} adalah Ummul Qur’an, Umml Kitab, As Sab’ul matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) dan Al Qur’anul ‘Adzhim.
Surat ini disebut juga dengan sebutan Al hamdu dan ash Salah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, dari Rabb-nya :”Aku membagi shalat antara diriku dengan hambaku dua bagian, jika seseorang mengucapkan {Alhamdulillahir rabbil ‘Alamin} maka Allah berfirman: ‘Aku telah dipuji hambaku.’
Al Fatihah disebut ash shalah, karena alafatihah itu sebagai syarat sahnya shalat. Selain itu Al fatihah disebut juga asy syifa. Berdasarkan hadist riwayat Ad Darimi dari Abu sa’id, sebagai hadist marfu’ : fatihatul Kitab itu merupakan As Syifa (penyembuh) dari setiap racun.’

Juga disebut ar ruqyah berdasarkan hadist Abu Sa’id yaitu ketika menjampi (ruqyah) seseorang yang terkena sengatan (binatang), maka Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Darimana engkau tahu bahwa Al fatihah itu adalah ruqyah.”
Sural Al Fatihah diturunkan di Mekah. Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Qatadah dan Abu al ‘Aliyah. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa surat ini turun di madinah. Ini pendapat abu Hurairah, Mujahid, Atha bin Yasar, dan Az Zuhri. Ada yang berpendapat Surat Al Fatihah turun dua kali, sekali turun di Makkah dan yang sekalai lagi di Madinah.

Pendap pertama lebih sesuai dengan Firman Allah “Sesungguhnya Kami telah berikan kepdamu sab’an minal matsani (tujuh ayat yang berulan-ulang).” (QS Al Hijr: 87) Wallahu ‘alam.

Dan surat ini, secara sepakat terdiri dari tujuh ayat. Hanya saja terdapat perbedaan dalam masalah basmalah, apakah sebagai ayat yang berdiri sendiri pada awal surah Al Fatihah, sebagaimana kebanyakan para qurra’ Kuffah, dan pendapat segolongan sahabat dan Tabi’in. Atau bukan sebagai ayat pertama dari surat tersebut, sebagaimana yang dikatakan para qurra’ dan ahli fiqih madinah. Dan mengenai hal ini terdapat tiga pendapat, yang isnyaAllah akan di bahas pada pembahasa berikutnya.

Mereka mengatakan “Surat Al fatihah terdiri dari 25 kata dan 113 huruf.” Al Bukhari mengatakan bahwa dalam awal kitab Tafsir, disebutkan Ummul Kitab, karena Al fatihah ditulis pada permulaan Al Qur’an dan dibaca pada permulaan shalat. Ada juga yang berpendapat, disebut demikian karena seluruh makna Al Qur’an kembali kepada apa yang di kandungnya.

Ibnu jarir mengatakan : orang arab menyebut “Umm” untuk semua yang mencakup atau mendahului sesuatu jika mempunyai hal-hal lain yang mengikutinya dan ia sebagai pembuka yang meliputinya. Seperti Umm Al ra’a, sebutan untuk kulit yang meliputi otak. Mereka menyebut bendera dan panji tempata berkumpulnya pasukan dengan ‘umm’.

Keutamaan Surah Al Fatihah

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id bin al Muhalla, ia berkata “Aku pernah mengerjakan shalat, lalu Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam memanggilku, tetapi aku tidak menjawabnya, hingga aku menyelesaikan shalat. Setelah itu aku mendatangi beliau, maka beliaupun bertanya: ‘Apa yang menghalangi kamu datang kepadaku? Maka akau menjawab :Ya Rasululla, sesungguhnya aku tadi sedang mengerjakan shalat, lalu beliau bersabda: ‘Bukankah Allah ta’ala telah berfirman : ‘Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyerumu kepada yang memberikan kehidupan kepadamu. (QS Al Anfal:24). Dan sesdah itu beliau bersabda: Akan aku ajarkan kepadamu suatu surat yang paling agung didalam Al Qur’an sebelum engkau keluar dari Masjid ini. Mak beliaupun penggandeng tanganku. Dan ketika belaiu hendak keluar Masjid, aku katakana : ya Rasulullah engkau tadi telah berkata akan mengjarkan kepadaku surat yang paling agung di dalam Al Qur’an. Kemudian beliau menjawab : Benar, { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ia adalah as Sab’ul matsani dan Al Qur’an al ‘Adzhim yang teah diturunkan kepadaku. Demikian juga yang diriwayatkan oleh Bukhori, Abu Dawud, An Nasai dan Ibnu Majah melalui beberapa jalur dari Syu’bah.
Sedangkan segolongan lainnya berpendapat bahwasannya tidak ada keutamaan suatu ayat atau surat atas yang lainnya, karena semuanya merupakan Firman Allah. Supaya hal itu tidak menimbulkan dugaan adanya kekurangan pada ayat lainnya, meski semuanya itu memiliki keutamaan. Pendapat ini dinukil oleh Al Qurthubi dari Al Asy’ari, Abu Bakar al baqilani, Abu Hatim, Ibnu Hibban Al Busti, Abu hayyan, Yahya bin Yahya, dan sebuah riwayat dari Imam Malik.

Ada hadist yang diriwayatkan olehh Bukhari daam kitab Fadhailu Qur’an, dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata: Kami pernah beada dalam suatu perjalanan, lalu kami singgah, tiba-tiba seorang budak wanita datang seraya berkata: Sesungguhnya kepala suku kami tersengat, dan orang-orang kami sedang tidak berada ditempat, apakah diantara kalian ada yang bisa menjampi (ruqyah)? Lalu ada seorang laki-laki yang bersamanya berdiri, yang kami tidak pernah menyangka bisa meruqyah.

Kemudian orang itu membacakan ruqyah, maka kepala sukunya pun sembuh. Lali ia (kepala suku) menyuruhnya memberi tigapuluh ekor kambing sedang kami diberi minum susu. Setelah ia kembali, kami bertanya kepadanya: Apakah memang engkau pandai dan bisa meruqyah? Ia menjawab : Aku tidak meruqyah kecuali dengan Ummul Kitab. (Al Fatihah). Jangan berbuat apapun hingga kita datang dan bertanya kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Ketika sampai di Madinah kami menceritakan hal itu kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda: Darimana dia tahu kalau surat Al Fatihah itu sebagai ruqyah?, bagi-bagikanlah kambing-kambing itu dan berikan satu bagian kepadaku.” Demikian juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud.

Hadist lainnya, riwayat Muslim dalam Kitab Shahih an Nasai dalam kitab Sunan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ketika Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam sedang bersama Malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar suara dari atas. Maka Jibril mengarahkan pandangannya kelangit seraya berkata : Itu adalah dibukannya sebuah pintu di langit yang belum pernah terbuka sebelumnya.” Ibnu Abbas meneruskan, “dari pintu turun Malaikat dan kemudian menemui Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata : “Samapaikanlah kabar gembira kepad aumatmu mengenai dua cahaya. Kedua cahaya itu telah diberikan kepadamu, dan belum pernah sama sekali diberikan kepada seorang nabipun sebelum kamu, yaitu Fatihatul Kitab dan beberapa ayat terakhir surat Al Baqarah. Tidakkah engkau membaca satu huruf saja darinya melainkan akan diberi pahala kepadamu.”

Apakah selain al Fatihah ada surat tertentu yang harus dibaca, atau cukup Al Fatihah saja?

Bacaan dalam surah Al Fatihah menurut kesepakat ulama merupakan sesuatu yang wajib, namun demikian mereka berbeda pendapat menegani apakah selain alfatihah ada surat tertentu yang harus dibaca, atau cukup Al fatihah saja.
Mengenai hal ini ada dua pendapat.

Pertama : Menurut Abu hanifah, pada pengikutnya dan juga yang lainnya, bacaan Al qur’an itu tidak ditentukan. Surat atau ayata anapun yang dibaca akan memperoleh pahala. Merek berhujjah dengan keumuman firman Allah : “Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an” (QS: Al Muzzamil:20)
Dan sebuah hadist yang terdapat dalam Sahih Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah mengenai kisah seseorang yang kurang baik dalam mengerjakan shalatnya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “ Jika engkau mengerjakan shalat, maka bertakbirlah, lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari al Qur’an.”
Menururt mereka Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk membaca yang mudah dari Al Qur’an dan beliau menentukan bacaan Al faatihah atas surat lainnya. Ini adalah pendapat yang kami pilih.

Kedua: Diharuskan membaca al Fatihah dalam shalat. Jika sesorang tidak membaca al Fatihah maka shalatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Asy Syafi’I , Imam Ahmad bin Hanbal, para sahabat mereka serta Jumhur ‘ulama.
Pendapat mereka ini disandarkan pada hadist sebagai berikut. ‘Barangsiapa mengerjakan shalat, lalu tidak membaca Ummul Kitab didalamnya, maka shalatnya tidak sempurna.” (HR Muslim, at Tirmidzi, An Nasai dan Abu Dawud dari Abu Hurairah dari Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam)

Selain itu mereka juga berdalil dengan sebuah hadist yang terdapat dalam Sahih Bukhori dan Muslim, dari Az Zuhri, dari mahmud bin az Rabi’, dari Ubadah bin ash Shamit, ia berkata Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”
Dan juga diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah dan Sahih Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak sah shlat yang di dalamnya tidak dibacakan Ummul Qur’an.”

Hadist-hadist mengenai sangat banyak dan terlalu panjang jika kami kemukakan di sini tentang perdebatan mereka. Dan kami telah kemukakan pendapat mereka masing-masing.
Apakah bacaan Al Fatihah wajib dilakukan pada setiap raka’at dalam shalat?
Hal inipun ada perbedaan pendapat, Imam asy syafi’I dan sekelompok ulama berpendapat bahwa bacaan al Fatihah wajib dilakukan pada setiap rakaat dalam raka’at. Sedangkan ulama lainnya mengatakan, bacaaan al Fatihah itu hanya pada sebagian besar ra’kaat.
Hasan al Bashri dan mayoritas ulama Basrah mengatakan, bacaan al Fatihah itu hanya wajib dalam satu rakaat saja pada seluruh shalat, berdasarkan kemutlakan hadist Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, diaman dia bersabda “ Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”

Sedangkan Abu Hanifah dan para sahabatnya, at Tsauri serta al Aizai berpendapat, bacaan al Fayihah itu buka suatu hal yang ditentukan (diwajibkan), bahkan jika sesorang membaca selain al Fatihah, maka ia tetap mendapatkan pahala. Hal itu didasarkan pada firman Allah “Maka bacalah olehmu aoa yang mudah bagimu dari al Qur’an. (QS al Muzzammil:20)

Apakah makmum berkewajiban membaca Al Fatihah?

Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat dikalangan para ulama;
Pertama: Setiap makmum tetap wajib membaca al Fatihah sebagaimana imam, hal itu didasarkan kepada keumuman hadist.

Kedua: Tidak ada kewah=jiban membaca al fatihah atau surat lainnya bagi makmum sama sekali, baik dalam shalat jahr maupun shalat sirr (perlahan bacanya). Hal itu didasarkan kepada hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal, dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa shalat bersama seorang imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan unutk makmum juga.”
Namun hadist ini memiliki kelemahan dalam sanadnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Malik dari Wahab bin Kaisan, dari Jabir, juga diriwayatkan dari beberapa jalan namun tidak satupun yang berasal dari Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu’alam.

Ketiga: Al Fatihah wajib dibaca oleh makmum dalam shalat sir (tidak dikeraskan), dan tidak wajib baginya membaca dalam shalat jahr (bacaan dikeraskan). Hal ini berdasarkan hadist dari Abu Musa Al Asy’ari dalam Sahih Muslim, ia berkata Easulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Sesungguhnya imam itu dijadikan ikutan, jika ia bertakbir maka hendaklah kalian bertakbir, dan jika ia membaca (Al Fatihah.Surat Al Qur’an) maka dengarkanlah.”
Hadist tersebut diats diriwayatkan juga oleh para penyusun kitab Sunnan, yaitu Abu Dawud, an Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Abu Hurairah bahwa Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”jika imam membaca (al fatihah atau Qur’an) maka dengarkanlah.” Hadist ini dinyatakan shahih oleh Muslim bin Hajjaj. Kedua hadist diatas menunjukan kesahihahn pendapat ini yang merupakan qoulun qadim Imam asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Dan maksud dari pengangkatan masalah-masalah tersebut diatas adalah unutk menjelaskan hokum-hukum yang khusus berkenaan dengan Surat al-Fatihah dan tidak berkenaan dengan surat-surat lainnya.

Tafsir isti’adzah dan Hukum-hukumnya
Allah Ta’ala berfirman :

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ , إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ , وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ

Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya setan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS an-Nahl : 98-100)

Yang masyuhur dikalangan jumhur ulama bahwa isti’azdah dilakukan sebelum membaca al-Aqur’an unutk mengusir gangguan syaitan. Menurut mereka ayat yang berbunyi “Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk” artinya jika kamu hendak membaca. Sebagaiman firman Allah

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
Artinya : “apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu” . (QS al-Maidah : 6), artinya jika kalian bermaksud mendirikan shalat.
Penafsiran seperti itu berdasarkan beberapa hadist dari Rasulullah saw, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu sa’id al Khudri, ia berkata jika Rasulullah saw hendak mendirikan shalat malam, maka beliau membuka shalatnya dan bertakbir seraya mengucapkan :

سبحانك اللهم وبحمدك، وتبارك اسمك، وتعالى جدك، ولا إله غيرك " . ويقول: " لا إله إلا الله " ثلاثًا، ثم يقول: " أعوذ بالله السميع العليم، من الشيطان الرجيم، من هَمْزه ونَفْخِه ونَفْثه "

Subhaanakallahumma wabihamdika, watabaarakas muka wata’ala jadduka, walaa ilaaha ghoiruk. Dan membaca { لا إله إلا الله} tiga kali, kemudian membaca A’udzubillahis sami’il ‘aliim minasy syaithoonir rajiim, min Hamzihi, wa nafkhiHi, wa nafsiHi.”

Artinya: Mahasuci Engkau, Ya Allah dan segal puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi Kemulia-anMu. Tidak ada Tuhan/ilah yang haq melainkan Engkau. Dan membaca { لا إله إلا الله} tiga kali, kemudian membaca Aku berlindung kepada Allah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui dari Syaithan yang terkutuk, dari godaanya, iupannya, dan hembusannya.
Hadist ini diriwayatkan juga oleh empat penyusun Kitab as Sunan dari ja’far bin Sulaiman, dari “ali bin ‘Ali ar Rifa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadist ini adalah hadist yang paling masyhur dalam masalah ini. Dan kata { هَمْز/ Hamz}, {نَفْخِه} nafkh ditafsirkan sebagai kesombongan serta {نَفْثه} Nafst ditafsirkan sebagai sya’ir.
Bukhori meriwayatkan dari sualaiman bin Shurad, ia berkata : Ada dua orang yang saling mencela di hadapan rasulullah saw, sedang kami duduk dihadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela lainnya dalam keadaan marah dengan wajah yang memerah, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalaimat yang jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Jika ia mengucapkan {أعوذ بالله من الشيطان الرجيم } , kemudian para sahabat berkata kepada orang itu: Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw ? Orang itu menjawab: Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tidak waras.
Hadist diatas juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai, melalui beberap jalur sanad dari al-A’masy.

Pengertian Isti’adzah

Isti’adzah berarti permohonan perlindungan kepada Allah dari setiap kejahatan. Jadi {أعوذ بالله من الشيطان الرجيم } berarti aku memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk agar tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang telah Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaaan syaitan itu kecuali Allah.

Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia agar menarik dan menbujuk hati syaithan jenis manusia dengan cara memberikan sesuatu yang baik kepadanya hingga dapat berubah tabiat dari kebiasaaanya yang mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan jenis jin, karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi oleh kebaikan. Tabiat mereka jahat dan tidak dapat yang mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakan.
Inilah makna yang terkandung dalam tida ayat al Qur’an, yaitu

{خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ }, artinya : Jadilah engaku pemaaf dan suruhlah orang menegrjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang bodoh. (QS: al-A’raaf: 199). Makna ayat ini berkenaan dengan muamalah terhadap musuh dari kalangan manusia.
Kemudian Allah berfirman

{وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} artinya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS: al-A’raaf: 200)
Sedangkan dalam suraat Al Mu’minun, Allah berfirman:

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ, وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ, وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ

Artinya: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS al Mu’minun: 96-98)

Dalam bahasa arab, kata syaithan berasal dari kata Syathon, yang berarti jauh. Jadi tabiat syaithan itu sangat jauh dari tabi’at manusia, dank arena kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.
Ada juga yang mengtakan bahwa syaitan itu berasal dari kata “Syatha” artinya terbakar, karena ia diciptakan dari apai. Dan ada juga yang mengtakan bahwa kedua makna tersebut adalah benar, tetapi makna pertama lebih benar.

Menurut Sibawaih, bangsa Arab biasa mengatakan “Tasyaithona Fulan”, jika sifulan berbuat seperti perbuatan syaitan. Jika kata syaithan itu berasal dari kata “Syatha” tentu mereka mengatakan “tasyaitha”. Jadi menurut pendapat yang benar kata syaithan itu berasal dari kata “Syathana” yang berarti jauh. Oleh karena itu mereka menyebut syaithan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan.
Berkenaan dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Artinya: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS al An’am: 112)
Dalam Musnad Ahmad, disebutkan hadist dari Abu Dzarr, Rasulullah saw bersabda :”Wahai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaithan-syaithan jenis manusia dan jin.” Lalu aku bertanya, Apakah ada syaithan dari jenis manusia? Rasulullah menjawab “ya”.

Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Dzarr, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “yang dapat membatalkan shalat adalah wanita, keledai dan anjing hitam.” Kemudian kutanyakan: “Ya, Rasulullah, mengapa anjing hitam dan buka anjing kemerahan atau kekuningan? Beliau menjawab: “Anjing hitam itu adalah syaithan”.
Kata “ar-rajiim” berwazan fa’il (subjek), tapi bermakna maf’ul (objek) berarti bahwa syathan itu terkutuk dan terusir dari semua kebaikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: {وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ}artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan. (QS al-Mulk: 5)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1)


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

افتتح بها الصحابةُ كتاب الله، واتّفق العلماء على أنها بعض آية من سورَة النمل، ثمّ اختلفوا: هل هي آية مستقلة في أوّل كل سورة، أو من أول كل سورة كتبت في أوّلها، أو أنها بعض آية من أوّل كل سورة، أو أنها كذلك في الفاتحة دون غيرها، أو أنها [إنما] كتبت للفصل، لا أنها آية؟ على أقوال للعلماء سلفًا وخلفًا، وذلك مبسوط في غير هذا الموضع.

Para sahabat membuka Kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama bersepakat bahwa ia (bismillah) merupakan salah satu ayat dari surah an-Naml. Kemudian mereka berselisih pendapat apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat, atau merupakan bagian awal dari masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah juga merupakan salah satu ayat dari setiap surat atau bagian dari surat al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis dimasing-masing surat itu hsnys untuk pemisah antara surat saja, dan merupakan ayat. Ada beberapa pendapat dikalangan ulama baik salaf maun khalaf, dan bukan disini tempat unuk menjelaskan itu semua.

وفي سنن أبي داود بإسناد صحيح، عن ابن عباس، رضي الله عنهما، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان لا يعرف فصل السورة حتى ينـزل عليه ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) وأخرجه الحاكم أبو عبد الله النيسابوري في مستدركه أيضًا

Dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad Shahih, dari Ibnu Abbas radhiAllahu’anhuma, bahwasannya Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat al-Qur’an sehingga turun kepadanya { بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}, dan dikeluarkan juga oleh Imam Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dalam Kitab Mustadraknya.
Diantara ulam yang mengtakan bahwa basmalah adalah ayat dari setipa surat kecuali at-Taubah, yaitu Ibnu Abbas, ‘Umar, Ibnu az Zubair, Abu Hurairah, ‘Ali. Dan kalangan tabi’in ‘Atha, Thawus, Sa’id bin Jubair, Makhul dan az Zuhri.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak, Imam asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Rahawaih, Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah beserta para pengikutnya berpendapat bawa basmalah itu bukan merupakan ayat dari surah al-Fatihah, tidak juga surat-surat lainnya. Nmaun menurut Dawud, basmalah terletak pada awal setiap surat dan bukan bagian darinya. Demikian pula menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dikeraskan bacaannya) termasuk bagian dari perbedaan pendapat diatas. Mereka berpendapat bahwa basmalah itu bukan ayat dari surah al-Fatihah, maka ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengtakan bahwa basmalah adalah suatu ayat yang ditulis pada awal setiap surat.
Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian dari setiap surat, masih berbeda pedapat. Imam Asy Syafi’i, berpendapat bahwa basmallah itu dibaca secara jahr bersama al-Fatihah dan juga surat al-Qur’an lainnya. Inilah madzhab beberapa sahabat dan tabi’in serta para imam, baik salaf maupun khalaf.

وفي صحيح البخاري، عن أنس بن مالك أنه سئل عن قراءة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: كانت قراءته مدا، ثم قرأ ( بسم الله الرحمن الرحيم ) يمد بسم الله، ويمد الرحمن، ويمد الرحيم

Dalam kitab sahih Bukhori, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan dari Nabi saw, maka ia menjawab: bahwasannya bacaan beliau itu sesuai dengan panjang dan pendeknya, kemudian Anas membaca “bismillahirrahmanirrahim” dengan memanjangkan bismillah, kemudian “ar-rahmaan dan ar-rahiim.
Dalam Musnad Ahamd, Sunan Abu dawud, Shahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Imam Hakim, yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata Rasulullah saw memutus-mutus bacaannya, bismillahirrahmanirrahii, alhamdulillahir rabbil ‘alamin , ar-rahmanir rahiim, maliki yaumiddin. Dan Imam ad-Daruqutni berkata : “sanad hadist ini shahih.”
Dan ulama lainnya berpendapat bahwa basmallah tidak dibaca secara jahr didalam shalat. Inilah riwayat yang benar dari empat Khulafaur Rasyidiin, Abudullah bin Mughaffal, beberapa golongan ulama salaf maupun khalaf. Hal ini juga menjadi pendapat Abu Hanifah, atz-Tsauri, dan Ahmad Bin Hanbal.
Dan menurut Imam Malik basmalah tidak dibaca sama sekali, baik secara jahr maupun sir. Mereka mendasarkan pada hadist yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, dari ‘Aisyah berkata: Rasulullah saw membuka shalat dengan takbir dan bacaan al-hambulillahir rabbil’alamin.”
Juga hadist dari kitab Bukhori dan Muslim dari Ans bin Malik, ia menceritakan :”Aku pernah shalat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Ustman, mereka semua membuka shalat dengan bacaan al-hambulillahi Rabbil ‘alamiin.
Dan juga dalam riwayat Mulism :”Mereka tidak menyebutkan Bismillahirrahmanirrahiim pada awal bacaan dan tidak juga pada akhirnya. Hal ini juga terdapat pada kitab sunnan, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal.
Demikianlah dasar-dasar pengabilan pendapat para imam mengenai masalah ini dan tidak menjadi perbedaan pendpaat, karena mereka telah sepakat bahwa shalat bagi orang yang men-jahr-kan atau yang men-sir-kan basmallah adalah sah. Al-hamdulillahirobbil ‘alamiin.

Keutamaan Basmalah

Membaca basmalah disunnahkan pada saat mengawali setiapa pekerjaan. Disunnahkah juga padasaat hendaka masuk ke kamar kecil. Hal itu sebagaimana disebutkan dalah hadist. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudhu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits marfu; dalam kitab Musnad Ahmad dan kitab-kitab sunnan, dari Abu Hurairah, Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak sempurna wudhu bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya.” (Hadist in hasan)

في صحيح مسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لربيبه عمر بن أبي سلمة: "قل: باسم الله، وكل بيمينك، وكل مما يليك"

Dalam shahih Muslim disebutkan : Bahwasannya Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar bin Abi Salamah: “Bacalah, bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu.”
Meski demikian diantara ulama ada yang mewajibkannya. Disunnahkan pula membacanya ketika hendak berjima’ (berhubungna intim) berdasarkan hadist dalam kitab sahih Bukhori dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:
"لو أن أحدكم إذا أتى أهله قال: باسم الله، اللهم جنبنا الشيطان، وجنب الشيطان ما رزقتنا، فإنه إن يقدر بينهما ولد لم يضره الشيطان أبدًا"


Seandainya sesorang diantara kalaian hendak mencampuri dengan istrinya, hendakla membaca “Bismillah, Allahumma jannibnasy syaithaana, wajannibisy syaithaana maa razaqtanaa, (dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engaku anugerahkan kepada kami), maka jika Allah menakdirkan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu syaitan selamanya.”
Lafazh (Allah) merupakan nama untuk Rabb. Dikatakan bahwa Allah adalah al-ismul a’zham (nama yang paling Agung), karena nama itu menyandang segala macam sifat, sebagaimana firmna Allah :

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS Al Hasyr: 22)
Dengan demikian semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab sahih Bukhori dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"إن لله تسعة وتسعين اسما، مائة إلا واحدًا من أحصاها دخل الجنة"

Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menghafalnya maka ia akan masuk surga.”
Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapapun kecuali diri-Nya, yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Oleh karena itu dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka diantara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (Allah) adalah ismun kamid, yaitu nama yang tidak memiliki kata dasar. Al-Qurtubi mengutif hal itu dari sejumlah ulama diantaranya asy-syafi’I, al-Khatthabi, Imamul Haramain, al Ghazali, dan lain-lain.
Dari al-khalil dan Sibawaih diriwayatkan bahwa “Alif” dan “lam” dalam kata “Allah” merupakan suatu yang lazim (tak terpisahkan). Al Khatthabi mengatakan: “Tidakkah anda menyadari bahwa anda dapat meyerukan “ Ya Allah dan tidak dapat menyerukan “Ya Arrahmaan”. Jika kata “Allah” bukan kata yang masih asli, maka tidak boleh memasukan huruf nida (seruan) terhadap “alif” dan “lam”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata “Allah” itu merupakan kata dasar.

{الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} merupakan dua nama dalam bentuk mubalagah yang berasal dari satu kata ar-rahmah. Namun kata ar-rahman lebih menunjukan makna lebih daripada kata ar-Rahiim.

وقال القرطبي: والدليل على أنه مشتق ما خرجه الترمذي وصححه عن عبد الرحمن بن عوف، أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "قال الله تعالى: أنا الرحمن خلقت الرحم وشققت لها اسمًا من اسمي، فمن وصلها وصلته ومن قطعها قطعته"


Berkata al-Qurthubi : Dan ini merupakan dalil yang menunjukan bahwa nama ini (ar-Rahman) adalah musytaq , sebagaimana diriwayatkan oleh at Tirmidzi dan sahih dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiAllahu ‘anhu bahwa ia pernah mendengar Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim. Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barangsiapa yang menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Akupun akan memutuskannya.”
Ini merupakan nash bahwa nama tersebut adalah musytaq, karena itu tidak diterima pendapat yang menyalahi dan menentangnya.
قال أبو علي الفارسي: الرحمن: اسم عام في جميع أنواع الرحمة يختص به الله تعالى، والرحيم إنما هو من جهة المؤمنين، قال الله تعالى: وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا


Artinya: Berkata Abu ‘Ali al Farisi: “ar-Rahman merupakan nama yang bersifat umum meliputi segala bentuk rahmat, nama ini dikhusukan bagi Allah semata. Sedangkan ar Rahim, memberikan kasih saying hanya kepada orang-orang beriman. Allah Ta’ala berfirman :”Dan Dia-lah yang Maha Penyayang kepada orang-orang berimana” (al Ahzab : 43)
وقال ابن المبارك: الرحمن إذا سئل أعطى، والرحيم إذا لم يسأل يغضب، وهذا كما جاء في الحديث الذي رواه الترمذي وابن ماجه من حديث أبي صالح الفارسي الخوزي عن أبي هريرة، رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من لم يسأل الله يغضب عليه"

Dan berkata Ibnu Mubarak : ar Rahman yaitu jika dimintai, maka Dia akan memberi, sedangkan ar Rahim, jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya maka Dia akna murka. Sebagaimana hadist dalam riwayat at Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadist Ibnu Sholih al Farisi al Khuzi dari Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah maka Dia akan murka kepadanya”.
Nama { الرَّحْمَنِ} hanya dikhusukan unutk Allah saja, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى


Artinya: Katakanlah : Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai al-Asmaul Husna. (QS al-Israa : 110)
Oleh karena ini ketika dengan sombongnya, Musailamah al Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan Rahman al Yamamah, maka Allahpun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab.
Sedangkan mengenai { الرَّحِيمِ}Allah Ta’ala pernah meyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya. Dalam firman-Nya Allah menyebutkan:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangan menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Aman belas kasihan lagi penyanyang terhadap orang-orang mu’min. (QS at Taubah : 128)
Dapat disimpulkan bahwa diantara nama-nama Allah itu ada yang disebutkan untuk selain diri-Nya, tetapi ada juga yang tidak disebutkan unutk selain diri-Nya, misalnya nama Allah, ar Rahman, al Kholiq, ar Razaq dan lain-lainnya. Oleh karena itu Dia memulai dengan nama Allah dan meyifati-Nya dengan ar Rahman, karena ar Rahman itu lebih khusu daripada ar Rahiim.

IsyaAllah bersambung : Tafsir Surah al Fatihah ayat 2 الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam (QS. Al-Fatihah :2)

Al Qur’an as-sab’ah (tujuh ahli qiro’ah) membacanya dengan memberi harakat dhommah pada huruf dal padal kalimat alhamdulillah, yang merupakan mubtada (subjetk) dan khabar (predikat).
Abu Ja’far bin Jarir mengatakan : al-hamdulillah berarti syukur kepada Allah Subhana wata’ala dan bukan kepada sesembahan selanin-Nya, bukan juga kepada mahluk yang telah diciptakannya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak seorang pun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menta’ati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya. Selain itu, pemberian rizki kepada mereka di dunia serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji baik di awal maupun di akhir.
Ibu Jarir mengatakan “Alhamdulillan merupakan pujian yang disampaikan Allah untuk diri-Nya. Didalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamban-Nya agar mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan “Ucapkanlah, Alhamdulillah”.
Lebih lanjut Ibnu Jarir menyebutkan “Telah dikenal dikalangan para ulama muta-akhhirin, bahwa al-Hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenaan dengan dirinya maupun berkenaan dengan pihak lain. Adapun Asy Syakru tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan selainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, alhamdu atau asy-syukru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Alhamdu lebih umum dari pada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan juga pihak lain, misalnya anda katakana: “Aku memuji-Nya (Al-hamdu) karena sifatnya yang kestaria dan karena kedermawanannya. Tetapi juga lebih khusus, karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan, perbuatan dan juga niata. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterimakasih kepadanya atas sifatanya yang kesatria, namun bisa dikatakan aku berterimakasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.
Diriwayatkan dari al Aswad bin Sari’, beliau berkata: :Aku bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: Ya Rasulullah, maukah engkau aku bacakan puji-pujian yang dengannya aku memuji Rabb-ku, Allah Tabaarakta wa ta’ala, maka beliau bersabda: Tentu saja, sesungguhnya Rabb-mu menyukain pujian (al-hamdu).” (HR Imam Ahmad dan an-Nasai-i)
Diriwayatkan oleh Abu ‘Isa, at Tirmidzi, an Nasai dan Ibnu majah dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baiknya dzikir adalah kalimat “Laa ilaha illallaah, dan sebaik-baiknya do’a adalah Al Hamdulillah.”
Menurut at-Tirmidzi, hadist ini hasan gharib. Dan diriwayatkan oleh Ibnu majah dari Anas bin Malik r.a, Rasulullah shalallahi ‘alahi wasallam “Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan “Alhamdulillah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik dari pada yang diambil-Nya.”
“Alif” dan “Lam” pada kata “alhamdu” dimaksudkan unutk melengkapi bahwa segala macam jenis dan bentuk pujian itu hanya untuk Allah semata.
“Ar- Rabbi” adalah pemilik, penguasa dan pengendali. Menurut bahasa, kata Rabb ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan, semuanya itu benear bagi Allah Ta’ala. Kata ar-Rabb tidak digunakan untuk selain dari Allah kecuali jika disambung dengan kata lain setelahnya, misalnya “Rabbud Daari” (pemilik rumah). Sedangkan kata ar-Rabb secara mutlak hanya boleh digunakan untuk Allah Subhana wa Ta’ala.
Ada yang mengatakan bahwa ar-Rabb itu merupakan nama yang agung, sedangkan “Al ‘Alamiin” adalah bentuk jamak dari kata “’Alimuun” yang berarti segala sesuatu selain Allah. “ Lafazh “’Alamun” merupakan bentuk jamak yang tidak memiliki mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. Sedangkan misalnya “al-‘Awaalimu” berarti berbagai macam makhluk yang ada dilangit, bumi, daratan maupun laiutan.
Bisyr bin ‘Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari Adh Dhahak, dari Ibnu Abbas: “Alhamdulillahi robbail ‘alamiin” artinya segala puji bagi Allah pemilik seluruh yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.
Az-Zajjaj mengatakan : “al-‘aalamu” berarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia dan di akhirat. Sedangkan Al Qurtubi mengatakan: “Apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan Akhirat)
Menurut penulis (ibnu Katsir) “al-‘aalamu” berasal dari kata “al-alaa matu” karena alam merupakan bukti yang menunjukan adanya Pencipta serta ke-Esa-an-Nya. Sebagaimana Ibmu al Mu’taz pernah mengatakan :”Seungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bisa mendurhakai Rabb, atau mengingkari-Nya, padahal dalam setiap segala sesuatu terdapat untuk-Nya yang menunjukan bahwa Dia adalah Esa.”


الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Arrahmaanirr rahiim (QS 1: 3)

Artinya: Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

{ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }: mengenai pembahasannya telah dikemukakan dalam pembahasan basmalah, sehingga tidak perlu diulang lagi.

Al Qurtubhi mengatakan : “Allah menyifati diri-Nya dengan ar-Rahman ar-Rahim setelah Rabbul ‘alamin, untuk meyelingi anjuran (targhib) sesudah peringatan (tarhib), sebagaimana yang di Firmankan-Nya:

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الألِيمُ

Artinya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.” (QS. Al-Hijr : 49-50)

Juga Firman Allah lainnya :

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’aam : 165)

Selanjutnya Al Qurtubhi menjelaskan : ar-Rabb merupakan peringatan, sedangkan ar-Rahman ar-Rahim merupakan anjuran. Dalam Shahih Muslim, disebutkan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Sholallahu ‘alahi wasallam, bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " لو يعلم المؤمن ما عند الله من العقوبة ما طمع في جنته أحد ولو يعلم الكافر ما عند الله من الرحمة ما قنط من رحمته أحد "

Artinya: “Seandainya seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada pada sisi Allah, niscaya tidak seorangpun yang bersemangat untuk meraih surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk mendapatkan rahmat-Nya.


مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Yang Menguasi Hari Pembalasan (QS. 1:4)

Sebagian qurra’a membaca “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ” dengan meniadakan alif huruf mim. Sementara sebagian qurra’a lainnya membaca dengan menggunakan alif setelah mim menjadi “مَالِكِ”. Kedua bacaan itu benar dan mutawatir dalam qira’ah sab’ah.

“مَالِكِ ” berasala dari kata “al-mulku/kepemilikan”, sebagaimana firman-Nya

إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الأرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَا وَإِلَيْنَا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami lah mereka dikembalikan. {QS. Maryam : 40)

Sedangkan “Malikun” berasal dari kata “al-mulku” sebagaimana firman-Nya

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
"Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. [al- Mu’min : 16]

Pengkusan kerajaan pada hari pembalasan tersebut tidak menafikan kekuasaan Allah atas kerajaan yang lain. (kerajaan Dunia), karena telah disampaikan sebelumnya bahwa Dia Rabb semesta alam. Dan kekuasaan-Nya ini bersifat umum di dunia maupun di akhirat. Ditambahkan kata “yaumid din” (hari pembalasan), kaena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat mengaku-ngaku sesuatu dan tidak juga dapat berbicara kecuali dengan seidzin-Nya, sebagaimana firman Allah:

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لا يَتَكَلَّمُونَ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. [an-Naba: 38]

Hari pembalasan berarti hari perhitungan bagi semua makhluk, disebut juga hari kiamat. Mereka diberi balasan sesuai dengan amalnya. Jika amalnya baik maka balasannyapun baik, jika amalnya buruk, maka balasannyapun buruk kecuali bagi yang diampuni.
Pada hakikatnya “al-Malik” adalah nama Allah sebagaimana firman-Nya

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera. [al-Hasyr : 23]

Dalam Sahih Bukhori dan Sahih Muslim, diriwayatkan, hadist marfu’ dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Julukan yang paling hina disisi Allah adalah seorang yang menjuluki didrinya malikul Amlak (Raja-diraja), karena tidak ada Raja (Malik) yang sebenarnya kecuali Allah”

Dan dalam kitab yang sama juga dari Abu Hurairah, ra, rasulullah sholallahu ‘alahi wasalam, bersabda : “Allah [pada hari kiamat] akan menggemgam bumi dan melipat langit dengan tangan-Nya, lalu berfirman : “akulah Raya (yang sebenarnya), dimankah raja-raja bumi, dimanakan mereka yang merasa perkasa itu, dan dimana orang-orang yang sombong.

Sedangkan di dalam al Qur’an disebutkan
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

"Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. [al-Mu’min : 16]

Adapun penyebutan malik selain kepada-Nya di dunia hanyalah secara majaz (kiasan) saja, tidak pada hakikatnya sebagaiman Allah pernah mengemukakan

إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا

"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". [al-Baqarah: 247]

Kemudian kata “ad-diin” dalam lafazh “Maalikiyauminddin” berarti ari pembalasan atau perhitungan. Allah SWT berfirman:

يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ

Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, [an-Nur : 25], dan juga Allah berfirman :

أَئِنَّا لَمَدِينُونَ

apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?" [ash-Shaafaat: 53]

Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda : “ orang yang cerdik adalah yang mau mengoreksi dirinya dan berbuata untuk (kehidupan) setelah kematian.” (HR Tarmidzi dalam kitab al-Qiyamah, dan ia meng-hasankannya. Juga Ibnu majah dalam Kitab az-Zuhud dan Ahmad dalam Al Musnad)

Artinya : ia akan senantiasa menghitung-hitung dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا وَتَأَهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَر عَلَى مَنْ لَا تَخْفَى عَلَيْهِ أَعْمَالُكُمْ . " يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة "

“Hisablah diri kalian sebelum kalian di hisab, dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan bersiaplah menghadapi hari yang besar, yakni hari diperlihatkannya (amal seseorang), sementara semua amal kalian tidan tersembunyi dari-Nya. Allah berfirman : Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada rabb kalian), tiada sesatupun dari keadaaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya).” [QS. Al- Ahaqqa: 18)

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (QS. 1 : 5)

Para ahli qiraa’at sab’ah dan jumhurul ‘ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya’ pada kata “إِيَّاكَ”. Sedangkan kata “نَسْتَعِينُ” dibaca dengan memfathahkan huruf “nun” yang pertama. Menururt bahasa, kata ibadah berarti tunduk dan patuh. Sedangkan menurut syari’at, ibadah berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan dan ketakutan.
Didahulukan maf’ul (objek) yaitu kata “iyyaka”, dan setelah itu diulangi lagi, adalah merupakan tujuan mendapatkan perhartiam dan juga sebagai pembatasan. Artinya “ Kami tidak beribadah keculai kepada-Mu., dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu. Dan inilah puncak kesempurnaan keta’atan. Dan agama itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna diatas.
Yang demikian itu seperti kata sebagaian ‘ulama terdahulu, bahwa surat al-Fatihah adalah Rahasia Al Qur’an, dan rahasia al-Fatihah terletak pada ayat :
{ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} artinya “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Pengalan pertama, yakni “Hanya kepada-Mu kami beribdahah” merupakan pernyataan berlepas dari kemusrikan, sedangkan pada pengalan kedua, yaitu “Hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta meyerahkan urusannya hanya kepada Allah Subhana wata’ala saja.
Makana seperti ini tidak hanya terdapat dalam satu ayat al-Qur’an saja, seperti firman-Nya :
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Artinya: “maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (Qs. Hud 123)
Dalam ayat tersebut terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhatha (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf {كَ} padakata “iyyaka”. Yang demikian itu memang sejalan karena ketika seorang hamba memuji kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir dihadapannya. Oleh karena itu Allah berfirman

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (QS. 1 : 5)
Ini merupakan dalil yang menunjukan bahwa awal-awal surat al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagi sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.
Dalam Sahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَقُول اللَّه تَعَالَى قَسَمْت الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفهَا لِي وَنِصْفهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْد " الْحَمْد لِلَّهِ رَبّ الْعَالَمِينَ " قَالَ اللَّه حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ " الرَّحْمَن الرَّحِيم " قَالَ اللَّه أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ : " مَالِك يَوْم الدِّين" قَالَ اللَّه مَجَّدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ " إِيَّاكَ نَعْبُد وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين " قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ " اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْت عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ " قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Aku telah membagi shalat menjadi dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang di minta. Jika ia mengucapkan “segala puji bagi Allah, Rabb semesta Alam”, maka Allah berfirman “ Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Dan jika ia mengucapkan “maha Pemurah lagi Maha Penyanyang” maka Allah berfirman :”Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Jika ia mengucapkan “Yang menguasai Hari pembalasan” maka Allah berfirman “Hamba-ku telah memuliakan-Ku”. Jika ia mengucapkan “hanya kepada Engaku kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan” maka Allah berfirman “Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang dia minta. Dan jika Ia mengucapkan “Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesata, maka Allah berfirman “Ini unutk hamba-Ku dan bagi hamba-ku pula apa yang ia minta.”
{Iyyakana’budu}didahulukan dari {wa-iyyakanasta’in}, karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan hanya merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahulukan dari pada yang sekedar penting. Jika ditanyakan : Lalu apa makna huruf (nun - نَعْبُدُ-) pada firman Allah
{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Jika huruf (nun) itu dimaksudkan sebagai bentuk jamak, padahal orang yang mengucapkan itu hanya satu orang, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan kondisi?
Pertanyan diatas dapat dijawab : Bahwa yang dimaksudkan dengan nun (NA’budu/Kami beribadah) itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba dan orang yang shalat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara berjama’ah, atau imam dalam shalat, memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang berimana tentang “ibdah” yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1: 6)

قِرَاءَة الْجُمْهُور بِالصَّادِ وَقُرِئَ السِّرَاط وَقُرِئَ بِالزَّايِ قَالَ الْفَرَّاء وَهِيَ لُغَة بَنِي عُذْرَة وَبَنِي كَلْب

Jumhur Ulama membacanya dengan memakai huruf “shod” {ص}. Adapula yang membacanya dengan huruf “syin” {س}= ( السِّرَاط), serta ada juga membacanya dengan huruf “za” {ز}. Al-Farra’ mengatakan : Bacaaan ini merupakan bahasa Bani ‘udzrah dan Bani Kalb.
Setelah menyampaikan pujian kepada Allah Subhana wa Ta’ala dan hanya kepada-Nya permohonan ditjukan, maka layaklah jika hal itu diukitu dengan permintaan. Sebagaimana firman-nya :”Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya unutk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukaan permintaan. Pertama ia memuja rabb yang akan ia minta, kemudian memohonkan keperluanyya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang berimana, melalui ucapannya { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ} (Tunjukilah kami jalan yang lurus)
Karena yan demikian itu lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat dikanulkan. Untuk itu Allah Tabaraka wa Ta’ala membimbing kita agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu lebih sempurna.
Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut, sebagaimana yang diucapkan Musa ‘alaihi sallam

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". (al-Qashash : 24)

Permintaan itu bisa didahului dengan meyebut sifat-sifat siapa yang akan diminta, seperti ucapan Dzun dan Nun (nabi Yunus ‘alaihi sallam)

لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (al-Anbiyya : 87)
Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata hidayah (mya’addi/transitif) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai pelengkapnya), seperti pada firman Allah Subhaana wa Ta’ala { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}, dalam ayat ini terkandung makna berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, berikanlah rizki kepada kami atau berikanlah anugerah kepada kami.
Sebagaimana yang ada pada firman Allah
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS al-Balad : 10) artinya Kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu dapat juga menjadi muta’addi dengan memakai kata “’ila”, sebagaimana firman Allah

اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. “ (an-Nahl : 121)
Maka hidayah dalam ayat diatas ialah dengan pengertian bimbingan dan petunjuk. Demikian juga dengan firman-Nya
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu (Muhammad Shalalallahu ‘alahi wasallam) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura’: 52)
Terkadang kata hidayah menjadi mu’addi dengan memakai kata “li” sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga {الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا } “"Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini” (QS: al-A’raf: 43), yakni Allah memberikan taufik kepada kami unutk memperoleh surga ini dan Dia janjikan kami sebagai penghuninya.
Sedangkan mengenai firman Allah { الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ }, Imam Abu ja’far bin Jariri mengatakan bahwa ahli tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa “Shirathal mustaqim” adalah jalan yang terang dan lurus.
Kemudian terjadi perbedaaan penafsiran dikalangan mufaasir dari kalangan ulama salaf dan khalaf dalam menafsirkan kata shirath, meskipun pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yakni mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Jika ditanyakan : “Mengapa seorang mu’min memohon hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan shalat maupun diluar shalat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk memperoleh sesuatu yang sudah ada?
Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah tidak akan membimbing kearah itu, sebab seorang hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak kuasa memberikan manfaat atau mudharat kepada dirinya sendiri kcuali Allah menghendaki.
Oleh karena itu Allah selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhahn dan taufik

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (al-Baqarah : 7)

وَقَوْله تَعَالَى : " صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْت عَلَيْهِمْ " مُفَسِّر لِلصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيم وَهُوَ بَدَل مِنْهُ عِنْد النُّحَاة وَيَجُوز أَنْ يَكُون عَطْف بَيَان وَاَللَّه أَعْلَم

Firman Allah Ta’ala yaitu { صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ}adalah sebagai tafsir dari firman-Nya (Shiratal Mustaqim/jalan yang lurus), dan merupakan badal menurut para ahli nahwu dan boleh juga sebagai athaf bayan . Wallahu a’lam

Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surat an-Nissa, Allah berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69)ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (70)

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (an-Nissa : 69-70)

Firman Allah (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ) artinya bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (al-Baqarah : 7), jumhur ulama membaca “ghoiri” dengan memberikan kasrah pada huruf ra’ dan kedudukannya sebagai na’at (sifat).
Maka ayat ke-7 dari surat ini memiliki makna tunjukilah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engaku karunia nikmat kepadanya, yaitu mereka yang memperoleh hidayah, istiqomah, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya. Bukan jalan orang-orang ynag mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak sehingga meskipun mereka mengetahu kebenaran, namun menyimpang darinya. Bukan juga jalan 0rang0rang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran.
http://alhikmah.web.id