Sunday, December 8, 2013

Kunjungan Syeikh Hisyam Kabbani Des-2013

Assalamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakatuh, Insya Allah Mawlana Syekh Hisyam Kabbani (q) akan kembali mengunjungi Indonesia pada tanggal 23 Desember 2013-1 Januari 2014.
Berikut ini adalah Jadwal Tentatif Kunjungan beliau.

SENIN, 23 DES 2013
Pkl. 16-21
Acara Penyambutan di Permata Hijau
Jl.Limo No.7 Rt.03/05, Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jaksel

SELASA, 24 DES 2013
Pkl.13-15
Radio Talk Show
di Radio Silaturahim AM 720 KHz,
Jl. Masjid Silaturahim No.36, Kalimanggis, Cibubur

Pkl.20-23
Dzikir dan Shuhba di Rumah Bapak Muchtony,
Jl. Puri Kencana No.39 Cipete Selatan

RABU, 25 DES 2013
Pkl.20-23 Mawlid an-Nabi (s) bersama Habib Alwi Ba-Alawy
di Masjid Raya Perumnas Teluk Jambe, desa Sukaluyu, Karawang

KAMIS, 26 DES 2013
Pkl. 20-23 Mawlid an-Nabi (s) bersama K.H. Amir Hamzah, para Kyai dan Ulama di Pesantren Daarul Ishlah,
Jl.Buncit Raya No. 5 RT.05/05, Kalibata Pulo, Jakarta Selatan

JUMAT, 27 DES 2013
(pagi) Berangkat ke Cirebon
Pkl. 14-15 Kunjungan ke Pesantren Kempek, Gempol, Cirebon

Pkl.21-23
Kunjungan ke Majelis Asaqofa, Plered, Cirebon

SABTU, 28 DES 2013
Pkl.11.-12.30: Kunjungan Pesantren As-Sidqu

Pkl.21-23
Tabligh Akbar dan Cirebon Berdzikir bersama Habib Syech, para Kyai dan Ulama di Alun-Alun Masjid Agung At-Taqwa

MINGGU, 29 DES 2013
Ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati, Kunjungan ke Pesantren Buntet dan kembali ke Jakarta

SENIN, 30 DES 2013
Pkl.20-23 Dzikir dan Shuhba
di Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia Jl.Budi Kemuliaan No.23, Jakarta Pusat

SELASA, 31 DES 2013
Pkl.21-24 Mawlid Nabi (s) bersama Habib Hasan bin Ja’far Assegaf dan Majelis Taklim Nurul Musthofa di Jl.Bangka Raya RABU, 1 JAN 2014
Berangkat ke Singapura

KETERANGAN
Informasi: Humas (0819-1000-0065)
Donasi: Melly (0816-115-3215), atau
Utje Mustari (0812-1043-096-57)
BCA No. 336 000 6335 atas nama Melza
Bank Mandiri No.126.000.405.3459 atas nama Yayasan Haqqani Indonesia http://naqsybandi.com/

Wednesday, October 30, 2013

Sholawat ash-Shighah at-Tajridiyyah

Assalamualaikum, 
Berikut sy tuliskan sholawat ash-Shighah at-Tajridiyyah yang didapat dari bahrushofa sebagai berikut:
Syaikhul Azhar, al-'Alim al-'Allaamah Dr.`Abdul Halim Mahmud rahimahullah dalam karya beliau yang berjudul "ar-Rasul shallaAllahu `alaihi wa sallam" pada halaman 175 menukilkan sebuah shighah sholawat yang beliau terima dari Syaikh `Abdul Fattah al-Qadhi asy-Syablanji asy-Syadzili rahimahullah.

Menurut beliau, Syaikh `Abdul Fattah al-Qadhi telah memperolehi shighah shalawat ini dalam satu mimpi yang berkah. Dr. `Abdul Halim Mahmud telah menamakan shighah shalawat ini sebagai "ash-Shighah at-Tajridiyyah" karana sholawat ini tidak dilafazkan melainkan semata-mata untuk beribadah dengan mengajukan permohonan agar Allah SWT melimpahkan sholawat, salam dan barakah ke atas hambaNya, Sayyidina wa Mawlana Muhammad SAW, sebanyak bilangan makhlukNya, sesuai dengan keridhaanNya, seberat `arasyNya dan kalimahNya.
Jumlah pada shighah ini merupakan kiasan yang bertepatan dengan tasbih yang diajarkan oleh Junjungan Nabi SAW, yaitu "SubhanAllahi wa bi hamdihi, `adada khalqihi, wa ridha-a nafsihi, wa zinata `arsyihi, wa midada kalimaatihi." Mudah-mudahan dengan mengamalkan sholawat ini, kita dapat meraih keredhaan Allah SWT dan syafaat Junjungan Nabi SAW.

Sumber: http://bahrusshofa.blogspot.com

Wednesday, October 2, 2013

Madrasah Hadhramaut : Penyakit Hasad

Segala puji bagi Allah SWT dengan pujian yang dengannya kami dapat mewujudkan ikhlas yang sesuangguhnya dalam penghambaan dan yang dengan­nya kami menjadi bagian dari orang-orang yang hatinya terpenuhi oleh ca­haya Allah SWT SWT, yang tidak ada lagi tersisa celah sedikit pun bagi syirik di saat-saat melakukan segala perbuatan.

Bila kami katakan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepandiran, sesungguhnya hasad adalah permusuhan (mu‘adah) terhadap Allah secara terang-terangan. Naudzu billah!!!

Segala puji milik Allah, Yang mensucikan hati orang-orang yang tulus dalam meraih kesucian, Yang menolong ham­ba-hamba-Nya di dalam mensucikan hati mereka di jalan ketulusan pencarian terhadap-Nya. Milik-Nya segala puji atas segala yang telah dikaruniakan-Nya, mi­lik-Nya segala puji atas segala yang te­ngah dikaruniakan-Nya, dan milik-Nya se­gala puji hingga Allah ridha, dan milik-Nya segala puji setelah ridha.

Ya Allah, limpahkanlah karunia dan ke­sejahteraan senantiasa atas penghulu kami, Nabi Muhammad, pemilik hati yang paling suci di antara makhluk, dan atas ahli baytnya, shabat-shahabarnya, para tabi‘in, tabi’ut tabi‘in, dan para pengikut mereka, hingga hari Kiamat.

Pada pelajaran yang lalu telah di­bahas ihwal menolehkan pandangan ke­pada hati dengan maksud untuk mensuci­kannya dari kotoran-kotoran, yang me­nempel padanya dari maksiat dan pe­nyakit-penyakit hati.

Telah lalu penjelasan tentang bagai­mana mengobati hati dari penyakit som­bong (al-kibr), yang menjadi tanda dari ke­bodohan pelakunya, demikian pula ten­tang bagaimana mengobati kegelapan pe­nyakit riya’, yang merupakan bentuk pe­remehan hati terhadap keagungan Allah SWT, dan penolehan hati, karena kebodohan, kepada cinta kedudukan di sisi manusia. Imam Al-Haddad berkata, “Riya’ adalah tanda kebodohan pelaku­nya. Mengapa?”

Beliau berkata, “Karena ia telah memalingkan ibadahnya kepada Allah kepada makhluk, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan madharat bagi dirinya.”

Selanjutnya kita akan membicarakan bagaimana melepaskan diri dari hasad, penyakit ketiga dari induk segala penyakit dan maksiat hati.

Bila kembali mengingat pelajaran yang lalu, kalian akan tahu bahwa som­bong akan melahirkan penolehan pan­dangan kepada manusia, karena pada kondisi ini seseorang membanding-ban­dingkan dirinya dengan orang lain. Ia me­mandang dirinya lebih mulia dan lebih uta­ma dari orang lain. Pandangan ini muncul dari sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain, yang selanjutnya berkembang menjadi riya’, ingin dipandang oleh orang lain. Ia mencari dan menuntut pandangan orang lain kepada dirinya, menuntut orang lain memuliakannya dan meng­agung­­kannya. Ia cinta terhadap keduduk­an di antara manusia.

Keadaan semacam ini, bila terus tum­buh berkembang di dalam diri pelakunya, se­lanjutnya akan berubah menjadi pe­nya­kit yang ketiga, yakni hasad.

Hasad, yang merupakan maksiat di an­tara maksiat-maksiat hati, adalah pe­rasaan berat dalam memandang nikmat atau karunia yang ada di sisi makhluk. Engkau merasa berat bila melihat orang lain memperoleh nikmat dari Allah SWT, baik nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi. Dari mana datangnya perasaan berat semacam ini? Perasaan itu datang ka­rena engkau sibuk untuk meraih dan men­dapatkan kedudukan di antara ma­nusia.

Apabila kedudukanmu di antara ma­nusia adalah karena ilmu yang engkau miliki, engkau akan merasa berat bila memandang orang lain yang lebih alim dan berilmu dari dirimu, karena engkau ta­kut orang-orang akan menolehkan pan­dangan mereka kepadanya, bukan ke­pada dirimu. Sehingga penyakit yang ada di dalam hatimu itu sampai kepada batas­an bahwa engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat yang Allah berikan kepada selain dirimu. Mengapa? Karena engkau tidak menginginkan orang-orang memandang kepada orang yang menda­pat karunia itu. Engkau hanya ingin agar orang-orang memandang kepadamu.

Atau, apabila kedudukan yang eng­kau harapkan di antara manusia adalah dengan sebab kekayaan yang engkau mi­liki, atau kemampuan untuk meng-goal-kan proyek-proyek yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan, engkau akan me­rasa berat bila di hadapanmu terdapat orang lain yang juga memiliki kemampu­an seperti itu, karena engkau takut hal itu akan membuat pandangan orang-orang tertuju kepadanya, bukan kepada dirimu.

Pada ilmu, kedudukan, pangkat, ja­batan, dan pada apa pun itu, penuhnya hati oleh kegelapan cinta terhadap kedu­dukan di sisi manusia akan melahirkan se­telahnya penyakit yang ketiga ini, yakni hasad, perasaan berat melihat nikmat yang ada di sisi makhluk.

Bila kami katakan bahwa kesombong­an (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepan­dir­an, sesungguhnya hasad adalah pe­rmusuhan (mu‘adah) terhadap Allah se­cara terang-terangan. Naudzu billah!!!

Apakah seseorang dapat menerima bahwa dirinya menjadi musuh bagi Tu­han, Yang Maha Pemilik segala kemulia­an? Hasad adalah permusuhan terhadap Allah SWT secara terang-terangan, ka­rena orang yang hasud seolah-olah ia menentang Allah SWT.

“Kenapa Engkau memberi si Fulan?”

Di saat engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat pada seseorang, seolah-olah engkau menentang terhadap Yang memberinya nikmat itu, Allah SWT. Inilah bahaya hasad. Engkau akan se­nantiasa hidup dengan kegelapan hati, yang hatimu merasa berat untuk melihat kebaikan di sisi manusia, dan menentang Allah SWT dalam memberikan karunia-Nya kepada sekalian makhluk-Nya.

Hasad memiliki beberapa macam. Pertama, hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy). Yakni berharap hilangnya nikmat dari orang lain meskipun nikmat itu tidak di­harapkan menjadi miliknya.

Seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain yang ada di hadapan­nya sekalipun nikmat itu tidak akan men­jadi miliknya. Misalkan, seseorang sukses dalam meng-goal-kan suatu transaksi bis­nis, engkau berharap agar orang itu men­dapat kerugian, sekalipun dirimu ti­dak dapat melakukan suatu transaksi pun.

“Atasku dan atas musuh-musuhku,” seperti yang dikatakan orang-orang.

Ini hasad Iblis. Dia merasa berat me­lihat kedudukan yang tinggi dari Allah SWT berada pada ayah kita, Nabi Adam AS. Hasad semacam ini kemudian mem­bawa Iblis kepada me­nen­­tang Tuhan, Yang Maha Pemilik se­gala ke­muliaan, dengan menolak untuk ber­sujud kepada Nabi Adam AS. Setelah itu, sebagai ganti dari semestinya ia kem­bali dan bertaubat kepada Allah SWT serta menyesali ke­salahannya, yang, bila saja dia bertaubat, niscaya Allah akan meng­hapuskan dosanya, karena sung­guh Allah mahaluas karunia-Nya, kepada Allah justru Iblis mengancam Adam AS dan anak-cucunya. Iblis berkata, “Dia (iblis) berkata, ‘Terang­kanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diri­ku? Sesung­guhnya jika Engkau mem­beri tangguh ke­padaku sampai hari Kia­mat, niscaya be­nar-benar akan aku se­­sat­kan keturunan­nya, kecuali se­bahagi­an kecil." (QS Al-Isra: 62).

Apakah perbuatan Iblis terhadap anak-cucu Adam akan mengembalikan kedudukannya? Apakah dengan itu Iblis akan mendapatkan kembali kedudukan yang telah hilang darinya? Tidak!! Sekali-kali tidak akan pernah kedudukannya itu kembali kepadanya. Disebabkan karena teramat gelap dan hitam pekatnya hasad yang ada di dalam hatinya, Iblis berpaling dari seharusnya memikirkan bagaimana mendapatkan ganti dari kerugian yang di­alaminya, dan bagaimana meraih kembali kedudukan yang telah hilang dari dirinya, kepada bagaimana mendatangkan ma­dharat terhadap orang lain yang menda­patkan karunia dan kedudukan dari Allah SWT dan bagaimana melenyapkan karu­nia yang diraih oleh selain dirinya.

Inilah yang terburuk dan paling hina dari macam-macam hasad.

Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena dia ber­hadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya.

Setelah menjelaskan hakikat hasad dan macam pertama dari macam-macam hasad, yakni hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy), pengasuh melanjutkan penjelas­annya tentang macam-macam hasad se­lanjutnya dan bahaya darinya.

Kedua, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Seseorang ber­harap hilangnya nikmat dari orang lain yang berada di hadapanya dan dia ber­harap agar nikmat itu beralih kepada diri­nya. Dia berharap, si Fulan merugi dalam usahanya, agar dirinyalah yang kemudian mendapat keuntungan yang besar. Dia berharap, si Fulan jatuh kedudukannya, agar dialah yang nantinya mendapatkan dan menggantikan kedudukannya.

Seseorang yang memiliki sifat hasad semacam ini berharap hilangnya nikmat dari orang lain agar dirinya yang menda­patkannya. Sifat semacam ini adalah sifat yang buruk dan sesuatu yang dapat me­ngotori hati — wal-‘iyadzu billah, semoga Allah menjauhkan kita dan kalian semua daripadanya. Akan tetapi sifat hasad yang kedua ini lebih rendah keburukannya dari yang sebelumnya.

Ketiga, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar dia mendapat­kannya, namun, jika tidak men­dapat­kan­nya, dia tetap rela bila nikmat itu dimiliki orang lain.

Seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain yang ada di hadap­annya dan mengharapkan untuk menda­patkan nikmat itu. Akan tetapi jika tidak ada jalan untuk menggapainya agar men­jadi miliknya, dia merelakan nikmat itu menjadi milik orang lain tersebut.

Jenis hasad semacam ini pun buruk, akan tetapi kadar keburukannya lebih ringan dari dua macam hasad sebelum­nya.

Keempat, ghibthah. Sesuatu yang tidak dinilai buruk, tapi merasakan berat terhadap nikmat yang ada pada orang lain.

“Mengapa Fulan mendapatkan ini dan itu? Akan tetapi aku tidak berharap agar si Fulan rugi. Aku hanya berharap agar aku pun mendapatkan seperti yang didapatkan oleh si Fulan.”

Inilah ghibthah. Hasad seorang muk­min adalah ghibthah. Seorang mukmin tidak hasad kepada sesamanya, tetapi ia ghibthah.

Apa makna ghibthah kepada orang lain? Maknanya, ia berharap agar men­dapatkan nikmat seperti yang didapatkan orang lain, tetapi tidak mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang lain.

Untuk macam yang keempat ini, ti­dak­lah mengapa dimiliki seorang muk­min. Engkau melihat seseorang memiliki suatu kebajikan, misalkan ia telah hafal Al-Qur’an. Engkau merasa berat karena engkau belum hafal, maka engkau pun ber­harap agar segera dapat hafal Al-Qur’an, tapi engkau tidak merasa berat terhadap saudaramu yang telah lebih dahulu hafal Al-Qur’an. Perasaan berat itu selanjutnya memotivasimu untuk menghafal Al-Qur’an sehingga engkau mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Engkau tidak berharap agar nikmat itu hilang dari saudaramu. Ini termasuk bab at-tanafus (saling berlomba). Allah SWT berfirman, "...dan untuk yang demi­kian itu, hendaknya orang berlomba-lom­ba." QS. Al-Muthaffifin: 26.

Ghibthah adalah sesuatu yang terpuji, karena ini kembali kepada sifat asal manusia, yakni harapan untuk menang, harapan untuk beridentitas, dan harapan untuk maju.

Bila datang ghibthah ke dalam hati­mu, tidaklah mengapa. Yang bermasalah adalah pada tiga macam yang pertama, yakni seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain.

Bahaya di Dunia

Adapun bahaya dan akibat yang di­timbulkan oleh sifat hasud sangatlah be­sar. Dan tidak hanya terbatas di dunia, te­tapi juga di akhirat.

Mengenai bahaya dan akibat sifat ha­sud di dunia, pertama, orang yang hasud akan senantiasa berada dalam duka dan kesedihan.

Orang yang hasud selalu berada da­lam duka selama hidupnya. Karena sese­orang yang di hatinya terpenuhi oleh ge­lapnya sifat hasad tidak pernah suka me­lihat orang lain mendapatkan nikmat dari Allah SWT. Dia tidak pernah suka bila se­seorang terlihat harmonis bersama ke­luarganya sehingga berusaha untuk me­nebarkan fitnah, tidak suka bila sese­orang mendapatkan nikmat dari kebaikan dunia, tidak suka bila seseorang menda­patkan nikmat berupa ilmu atau kebaikan apa pun.

Selamanya, ketika melihat orang lain mendapat kebaikan, dia akan merasa be­rat karenanya, sehingga ia pun berharap agar nikmat itu hilang. Orang semacam ini hidupnya miskin. Dia dalam kesedihan sepanjang hidupnya karena karunia Allah tidak pernah terputus selamanya kepada makhluk-Nya. Maka, sepanjang dia me­lihat karunia dan nikmat Allah di sisi makh­luk-Nya, sepanjang itu pula dia se­nantiasa berduka dan bersedih hati sam­pai akhir umurnya.

Bila saja tidak ada akibat buruk di­karenakan sifat hasad selain hal ini, nis­caya cukuplah sebagai bukti dari buruk­nya sifat hasad. Yang satu ini adalah bah­wa orang yang hasud selamanya berse­dih di dunia.

Kedua, orang yang hasud tidak me­miliki kawan. Karena hubungannya de­ngan manusia lainnya sebatas fatamor­gana. Orang yang hasud, sekalipun se­olah-olah mencurahkan cinta kepada se­sama, pasti akan datang saat-saat ketika tampak darinya sikap dan perilaku yang menunjukkan bahwa dia seorang yang hasud terhadap sesamanya sehingga orang-orang pun akan menjauh darinya. Orang yang hasud tidak memiliki kawan. Dia akan hidup terkucilkan sekalipun dia berusaha untuk menutupinya.

Ketiga, orang yang hasud terhalang dari nikmat ketulusan dan kelapangan hati. Ini berlaku di dunia sebelum akhirat. Orang yang hasud tidak akan merasakan makna ketulusan dalam hubungannya de­ngan makhluk lainnya. Setiap kali me­lihat seseorang mendapatkan sesuatu dari nikmat yang Allah berikan, hatinya merasa berat karenanya. Dia pun gundah dan susah karenanya, di saat orang yang menyambut gembira terhadap datangnya kebaikan pada orang lain merasakan mak­na ketulusan, karena hubungan yang dibangun bersama sesamanya adalah hubungan yang didasarkan atas cinta terhadap kebaikan bagi sesamanya. Keempat, seorang yang hasud tidak akan mungkin menjadi dai yang meng­ajak kepada jalan menuju Allah SWT. Orang yang hasud tidak akan mung­kin mengabdi kepada Islam. Meskipun ber­usaha untuk melakukan perbuatan yang menggambarkan khidmah terhadap Islam, dia tidak akan dapat menjadi sebab dalam menyampaikan kebajikan kepada se­genap makhluk. Karena dasar dalam ber­dakwah kepada Allah adalah bahwa engkau menyampaikan cahaya iman ke­pada orang lain. Apa maknanya? Maknanya, engkau me­nyampaikan kebaikan kepada me­reka. Apa makna menyampaikan kebaik­an kepada mereka? Maknanya, engkau men­jadi sebab bagi kebahagiaan me­reka. Dan jika di dalam hati terdapat ha­sad, niscaya akan terasa berat terhadap adanya kebaikan di sisi makhluk. Lalu bagaimana engkau dapat menjadi sebab dalam menyampaikan kebaikan kepada mereka? Syaikh Muhammad As-Sinqithi men­ceritakan satu kisah nyata yang lucu tapi juga ironis. Beliau menceritakan bahwa seorang nonmuslim nonpribumi tinggal di kota Damaskus. Bertahun-tahun lamanya ia berjualan minyak tanah. Setelah lebih dari dua puluh tahun berada di Damas­kus, ia merasa saatnya kembali ke ne­geri­nya. Lalu ia pun mendatangi sese­orang yang terlihat ahli ibadah. Ia datang kepada orang itu dan berkata, “Wahai Tuan, sekarang ini usiaku 60 tahun. Se­lama aku tinggal di negeri kalian, negeri Islam, aku telah tertarik kepada Islam. Apakah, jika aku masuk ke dalam Islam, Allah akan mengampuniku atas segala yang telah aku perbuat selama ini?”

Orang itu berkata kepadanya, “Enam puluh tahun engkau bergelimang dalam kemaksiatan, dosa, dan berbagai kenis­ta­an... lalu begitu saja ingin lepas dari se­mua itu dan engkau ingin masuk ke dalam surga? Sulit... hal itu tidak akan mungkin... tidak ada jalan keselamatan bagimu!”

Sampai di situ selesailah perma­sa­lahannya, dan orang itu pun memper­ca­yai­nya. Ia pun kembali ke rumahnya da­lam keadaan bersedih dan diliputi duka.

Namun, setelah enam bulan berlalu, hasrat dan keinginan yang kuat di dalam hatinya untuk menetapi jalan kebaikan membawanya untuk datang kepada Syaikh Muhammad As-Sinqithi, yang menceritakan kisah itu.

Nonmuslim itu berkata kepada Syaikh Sinqithi, “Apakah mungkin aku masuk Islam?”

“Baiklah, sekarang ucapkan dua kali­mah syahadat!”

“Apakah engkau yakin bahwa itu mung­kin untukku?”

“Engkau rela Islam sebagai agama­mu dan yakin terhadapnya?”

“Ya”

“Sekarang, ucapkanlah dua kalimah syahadat dan jangan ragu.”

Nonmuslim itu pun bersyahadat dan me­nangis setelahnya.

Syaikh Sinqithi pun bertanya kepada­nya, “Apa yang membuatmu menangis?”

“Aku pergi kepada seorang syaikh se­belum ini, atau seorang yang rupanya se­perti seorang syaikh, tapi ia berkata ke­padaku, ‘Tidak mungkin ada jalan se­lamat untukmu...’.” “Siapa dia?”

“Si Fulan di daerah anu...”

Syaikh Sinqithi pun mengunjungi orang yang ditunjukkan oleh nonmuslim tadi.

Setelah bertemu, ia bertanya kepada­nya, “Apakah benar beberapa bulan yang lalu ada seorang kelana yang datang ke­padamu dan menyatakan bahwa ia hen­dak masuk Islam lalu engkau katakan kepadanya, ‘Sudahlah, tak ada guna­nya... engkau sudah 60 tahun....’

Orang itu menjawab, “Benar.”

“Bagaimana mungkin engkau me­lakukan hal seperti itu?”

“Allah adalah Tempat meminta perto­longan. Orang ini sudah 60 tahun meng­habiskan umurnya dalam keharaman, ber­senang-senang dengan perempuan dan segala yang dia inginkan dari dunia, lalu nanti dia akan masuk surga bersama kita?! Ini musykil... Dia akan masuk surga bersama kita?!”

Hikmah dari kisah ini, di dalam kisah ini terdapat tiga masalah, akan tetapi se­muanya kembali kepada satu masalah, yakni hasad.

Masalah pertama, dia (“ahli ibadah” itu) tidak menginginkan adanya nikmat bagi orang lain.

Masalah kedua, dia meyakini bahwa dirinya masuk surga. Ini adalah musibah yang kedua. Ujub telah mewariskan ke­sombongan di dalam hatinya (...dia ma­suk surga bersama kita?!).

Apakah engkau dapat menjamin bah­wa engkau pasti masuk surga?

Masalah yang ketiga adalah sesuatu yang paling dalam. Sesungguhnya dia me­rasa dirinya rugi bahwa dirinya ter­halang dari maksiat. “Bagaimana mung­kin orang ini tenggelam dalam maksiat sedangkan aku tidak?” Karenanya dia ma­rah, mengapa orang lain melakukan mak­siat sedangkan dirinya tidak.

Mengapa hal ini dapat terjadi? Tidak lain sebabnya adalah hasad.

Kelima, orang yang hasud terhalang dari nikmat ketaatan kepada Allah SWT.

Bila seseorang terhalang dari ketulus­an dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan per­nah merasakan nikmatnya ketaatan se­lama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mung­kin orang yang hasud merasakan nik­matnya dekat dengan Allah, karena ia berhadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya. “Wahai Tu­hanku, kenapa Engkau memberi ini dan itu kepada Fulan dan Fulan?!”

Orang yang hasud menghadapi Allah dengan apa-apa yang tidak disukai-Nya ada di dalam hati hamba-hamba-Nya yang datang kepada-Nya. Ini semua ada­lah akibat dan bahayanya sifat hasud.

Di akhirat, hasad akan menghanguskan segala kebajikan. Hasad adalah sebab datangnya murka Allah SWT. Hasad adalah sebab tertolaknya seseorang dari rahmat Allah SWT. Tidakkah engkau ketahui bahwa hasad adalah sebab dari terusirnya Iblis?

Setelah pengasuh menjelaskan bahayanya penyakit hasad di dunia, selanjutnya pengasuh menjelaskan ba­ha­ya hasad kelak setelah pelakunya menjumpai Allah SWT di akhirat.

Di akhirat, hasad akan menghangus­kan segala kebajikan. Hasad adalah se­bab datangnya murka Allah SWT. Hasad adalah sebab tertolaknya seseorang dari rahmat Allah SWT. Tidakkah engkau ke­tahui bahwa hasad adalah sebab dari terusirnya Iblis? Itulah sebabnya, orang yang hasud akan terusir dari rahmat Allah SWT.

Hasad juga adalah sebab masuknya pelakunya ke dalam neraka. Hasad akan men­jadi permulaan hilangnya iman se­se­orang bila pelakunya tidak menyadari­nya – wal ‘iyadzu billah. Bagaimana hasad dapat menjadi se­bab tercerabutnya iman dari pelakunya? Karena orang yang hasud senantiasa me­­nentang dan menentang Allah SWT. “Ya Rabb, mengapa Engkau karuniakan ke­pada Fulan?!” “Mengapa Engkau mu­dah­kan fulan?!” “Mengapa?!” “Mengapa?!!!”

Terhadap Tuhannya, ia menyimpan rasa dalam benaknya, “Ya Rabb, sung­guh aku tidak rela dengan apa yang Eng­kau putuskan!” Kondisi ini bila berke­lan­jutan di dalam dirinya, lalu apakah yang tersisa dari imannya? Imannya akan hi­lang dan tercerabut dari asalnya.

Wahai murid, peniti jalan menuju Allah SWT, masuklah ke dalam hatimu dan periksalah. Terkadang hasad ter­sembunyi pada nafsu di dalam hati. Be­rapa kali engkau merasa bahwa dirimu marah terhadap seseorang melampaui batas dalam ucapan yang engkau lon­tarkan kepadanya hanya karena hal se­pele yang tidak perlu berkata keras dan tidak pula berteriak karenanya.

Periksalah, mungkin di dalam hatimu engkau merasakan sesuatu yang berat dari orang yang engkau marahi itu? Eng­kau hasad terhadapnya pada satu hal sehingga muncul masalah paling kecil na­mun membuatmu berdiri dan melontar­kan kata-kata yang tidak patut kepadanya.

Para ulama hati mengatakan, “Paling buruknya macam-macam hasad adalah ha­sadnya para ulama, para penuntut ilmu, para dai, dan para salikin, peniti ja­lan menuju Allah SWT. Mengapa demi­ki­an? Karena, semestinya merekalah yang mempergunakan bekal pensucian hati.”

Apabila seorang penuntut ilmu, misal­nya, hasad terhadap penuntut ilmu lain­nya, niscaya ia akan menanti-nanti kapan penuntut ilmu yang dihasadinya itu me­lakukan suatu kesalahan. Dan bila ia telah melakukan kesalahan, dia akan menye­rang­nya dengan serangan yang dahsyat ter­hadapnya. Karena serangan yang di­lakukan itu sesungguhnya bukanlah di­tujukan terhadap kesalahan yang ringan itu sendiri, melainkan untuk membinasa­kan semua yang datang dan berasal dari sisi penuntut ilmu, orang alim, dai, atau salik, yang dihasadinya itu.

Mengapa demikian? Karena perma­salahan yang sesungguhnya adalah per­masalahan hasad, bukan permasalahan kritik terhadap kesalahan. Demikian pula halnya dalam perda­gangan, jual-beli, dan perniagaan. “Tidak, tidak, tidakk!!.... Aku tidak mungkin per­caya kepada si Fulan selama-lamanya!” Mengapa? Pada hari ketika engkau menurunkan barang dagangan ke pasar, orang-orang tidak menemukan masalah apa pun dari si Fulan dalam perniaga­an­nya? Apakah ada kemunngkinan tidak sa­darnya mereka terhadap masalah si Fulan itu karena lupa? Sesungguhnya yang menyebabkan datangnya kemung­kinan, mengapa engkau langsung meng­anggapnya tidak amanah atau keji dalam perniagaannya, adalah karena engkau dan si Fulan berada pada satu profesi sebagai pedagang. Bila persaingan telah berlangsung, hasad pun muncul dan datang.

Bila ada seorang petani dan ada pe­tani lain selain dalam satu usaha agro­bisnis, misalnya, lalu petani yang kedua melakukan kesalahan dalam salah satu prosedur bercocok tanam yang semesti­nya hingga memberi pengaruh terhadap panen yang dihasilkan, petani yang per­tama akan berkata, “Tidak, jangan kalian percaya kepada si Fulan untuk melaku­kan tugas-tugas ini dan itu, dia telah melakukan ini dan itu....”

Siapa yang melakukan kecaman dan serangan terhadap petani itu? Yang me­lakukannya tidak lain adalah petani se­pertinya, pada profesi yang sama. Me­ngapa? Karena petani tersebut merasa berat untuk melihat petani lainnya lebih unggul dan lebih sukses darinya.

Bagaimana mengobati hasad?

Pertama, benci terhadap sifat hasad itu sendiri. Engkau benci sifat ini berada pada dirimu. Akui bahwa sifat hasad ada da­lam dirimu dan engkau membenci ke­beradaanya di dalam dirimu. Biarkan Allah melihat hatimu dan mendapati ke­bencianmu terhadap hasad di dalamnya. Kebencianmu untuk hasad terhadap orang lain.

Kedua, mendoakan orang yang eng­kau merasa berat melihat adanya karunia padanya.

Engkau melihat seseorang yang Allah berikan karunia kepadanya berupa nik­mat lahir atau bathin lalu hatimu merasa berat melihat nikmat itu ada padanya, maka ucapkanlah, “Ya Allah, tambahkan­lah nikmat-Mu baginya dan berikan ke­ber­kahan untuknya di dalamnya.... Ya, Allah, berikan taufiq untuknya agar dapat mempergunakan karunia-Mu dengan se­baik-baiknya.... Ya Allah, bahagiakanlah dia dengan karunia-Mu di dunia dan akhi­rat.... Ya Allah, muliakanlah dia dan mulia­kan dzuriyahnya dengan tambahan karu­nia dari sisi-Mu....”

Sebagian ulama berkata, “Ya Rabbi, Eng­kau perintahkan aku untuk mendoa­kan sedangkan hatiku tiada rela. Mungkin lidahku dapat berkata-kata, tapi hatiku se­sungguhnya tak menghendakinya. Aku tertawa dan mengkhianati Tuhanku. Aku tiada mampu melakukannya. Aku berkata ‘Ya Rabbi, tambahkan karuniamu kepada­nya’ sedang hatiku berkata ‘Jangan per­nah Engkau tambahkan baginya’.”

Meskipun hal seperti ini terjadi pada­mu, tetap lakukanlah. Jika engkau ucap­kan ‘Ya Rabb, tambahkanlah karunia-Mu untuknya’ dan hatimu berkata ‘Jangan, ya Rabb. Jangan pernah Engkau tam­bah­kan karunia-Mu untuknya’, ucapkanlah, ‘Ya Rabb, aku berlepas diri dari apa yang ada di hati ini kepada-Mu. Dan yang lidah­ku mampu untuk mengucapkannya, to­long­lah aku atas apa yang aku tiada kua­sa terhadapnya (untuk menggerakkan hatiku sebagaimana aku mampu meng­gerakkan lisanku untuk mendoakan ke­baikan). Aku ber-tawajjuh (menghadap­kan diri dan jiwa) kepada-Mu pada apa-apa yang membuat-Mu ridha dengan apa-apa yang aku mampu melakukannya, maka tolonglah aku pada apa-apa yang aku tiada mampu memperbuatnya.’ Semoga Allah memuliakanmu.

Ini adalah termasuk obat yang muja­rab untuk mengobati hasad yang ada di dalam hati. Engkau mendoakan orang yang engkau merasa berat melihat nik­mat berada di sisinya, dan memohonkan untuknya agar Allah SWT menambahkan karunia yang sudah diberikan dengan karunia yang lebih besar lagi.

Bila justru engkau kukuhkan kedudukannya itu di sisi manusia, sesungguhnya engkau telah menghinakan nafsumu dengan segala apa yang dapat menghinakannya. Dengan demikian, engkau telah membunuh permasalahan yang sesungguhnya dari dalam dirimu dan engkau membasminya sampai ke akar-akarnya. Beberapa waktu yang lalu, pengasuh menjelaskan bahayanya penyakit hasad di akhirat dan sebagian pen­jelasan tentang bagaimana mengo­bati penyakit hasad. Selanjutnya penga­suh melanjutkan ihwal bagaimana meng­obati hati dari penyakit hasad, sebagai pelajaran terakhir dari pelajaran kese­belas, tentang penyakit hasad.

Cara yang ketiga untuk mengobati penyakit hasad adalah menceritakan orang yang engkau hasadi di saat ke­ti­dakhadirannya dengan pujian.

Engkau ceritakan orang yang eng­kau merasa berat melihat karunia Allah ber­ada di sisinya dengan pujian. Cerita­kan orang yang engkau hasadi di saat ke­tidak­hadirannya dengan pujian terha­dap ke­baikan-kebaikan yang dimilikinya ke­pada orang-orang lain. Adapun jika di ha­dapannya engkau puji sedangkan di bela­kangnya engkau cela, yang demiki­an itu adalah kemunafikan dan mencari muka.

Pujilah di saat ketidakhadirannya ke­pada orang-orang dengan pujian yang baik dan kukuhkan buah dari kebaikan-kebaikannya itu di hati manusia.

Tahukah engkau, di mana wujud pengobatan terhadap hasad dari per­buatan ini?

Ini adalah paling idealnya pengobat­an langsung terhadap masalah hasad pada nafsu. Mengapa engkau hasad? Eng­kau ingin bersenang-senang? Eng­kau menginginkan kedudukan di sisi ma­nusia? Engkau ingin bersenang-senang dengan kedudukan? Bila engkau memuji ke­mampuan dan keahlian orang yang ber­­saing denganmu dalam ilmu, perda­gang­an, industri, teknik, atau bidang apa pun itu, di saat ketiadakhadirannya dan men­ceritakannya kepada orang-orang lain, apa yang sesungguhnya engkau laku­­kan di sini? Engkau tengah menguat­kan dan meneguhkan kedudukan yang akan men­jadi milik orang yang engkau ha­sadi itu di hati manusia dengan sebab karunia yang telah Allah berikan kepadanya.

Bila demikian halnya, apa yang se­dang engkau lakukan? Sesungguhnya engkau tengah membasmi penyakit yang ada dalam hatimu dari asalnya.

Mengapa engkau merasa berat me­lihat nikmat pada seseorang, mengapa engkau hasad terhadapnya? Karena engkau melihat bahwa nikmat itu akan menjadi sebab bertambahnya keduduk­an orang itu, yang akan menyaingi ke­du­dukanmu di sisi manusia. Dan bila justru engkau kukuhkan kedudukannya itu di sisi manusia, sesungguhnya eng­kau te­lah menghinakan nafsumu dengan se­gala apa yang dapat menghinakan­nya. Dengan demikian, engkau telah mem­bu­nuh permasalahan yang sesung­guhnya dari dalam dirimu dan engkau membas­mi­nya sampai ke akar-akarnya.

“Siapa yang dapat melakukan itu?! Ini teramat berat!!”

Apakah engkau ingin dekat dengan Allah? Apakah engkau ingin menjadi se­orang peniti jalan menuju Allah SWT? Ten­tu tidak akan pernah mudah untuk ber­diri dan berada di tempat orang-orang yang meniti jalan menuju Allah.

Untuk pertama kali, engkau akan ke­luar dari majelis ini dengan semangat yang berkobar-kobar setelah mende­ngar­kan penjelasan ini.

“Ya Allah, aku merasa berat terhadap nikmat-Mu yang ada di sisi Fulan. Ya Allah, tambahkanlah karunia-Mu untuk­nya dan berkahilah dia padanya....”

Esok hari, engkau duduk bersama ka­wan-kawanmu, katakanlah, “Masya Allah, Fulan luar biasa. Aku yakin, keahli­an yang luar biasa di bidang ini akan mem­berikan manfaat dan mendatang­kan kebaikan yang besar. Dan aku akan menyambut gembira atas keberhasilan­nya.”

Sampai batas ini, mungkin masih mu­dah bagi hati untuk menerimannya. Akan tetapi, setelah dua atau tiga hari, dan orang-orang mulai menceritakan dan me­muji-muji orang yang engkau puji dan ce­ri­takan itu di hadapan mereka, mulai naf­sumu menjadi terasa sempit mende­ngarnya. Mereka memujinya lagi, lagi, dan lagi, dan engkau katakan, “Benar, be­nar demikianlah dia adanya!” Na­mun, se­kali lagi, dengan marah eng­kau berkata, “Kami tahu bahwa dia istimewa!!”

Mengapa itu bisa terjadi? Karena de­ngan sebab semakin banyaknya orang-orang memuji dan menceritakan kebaik­an orang itu, urat lehermu terasa semakin sempit dan mencekik.

Makna dari penjelasan ini adalah bah­wa ini semua adalah proses yang pan­jang, karena di sini engkau tengah me­lawan nafsumu pada apa-apa yang di­sukainya. Engkau tengah membasmi pe­nyakit ini dari dalam hatimu dari dasar hati, yakni mengobati penyakit hasad.

Keempat, memikirkan bagaimana mem­bantu orang yang engkau hasad ter­hadapnya. Engkau merasa berat melihat nikmat yang telah Allah berikan kepada sesorang. Bila engkau dapat membantu orang itu pada nikmat yang ada padanya, ini pun akan dapat meng­obati penyakit ha­sad yang ada di dalam hatimu lebih dah­syat dan lebih hebat lagi. Bila ini dapat engkau lakukan, nis­caya Allah akan me­mandang hatimu. Ini­lah yang diharapkan dan buah darinya.

Apabila Allah memandang hatimu dan melihat bahwa engkau berinteraksi de­ngan-Nya dengan interaksi seperti demiki­an itu, niscaya Allah akan bertajalli atas di­ri­mu dengan nur-Nya. Dan bila Allah te­lah bertajalli atas dirimu dengan nur-Nya, Allah akan memberimu kesuci­an yang eng­kau tidak upayakan sebe­lumnya. De­ngan se­bab itu hatimu akan membuat ma­nusia men­jadi tenteram dan hatimu akan men­jadi sebab turun­nya ke­baikan bagi manu­sia dari sisi Allah SWT, selanjutnya engkau akan merasa rindu untuk melihat adanya nikmat dan ka­runia bagi manusia lainnya. Menga­pa? Karena engkau meli­hat tajalliyat (pancaran-pancaran kemaha­kuasaan yang berupa rahmat dan kasih sa­yang) Yang Maha Pemberi nikmat, Allah SWT....

Wahai murid, pahamilah makna ini dan sadarilah. Apabila engkau obati jiwamu dengan apa yang telah kami se­butkan dalam pelajaran ini dan dengan apa-apa yang telah diuraikan oleh para ulama tentang mengobati hati, engkau akan melihat adanya pancaran sinar di dalam hatimu. Apa pancaran sinar itu? Yakni nur dan cahaya kebahagiaan de­ngan melihat nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Pemberi karunia terhadap makhluk-Nya yang lain.

Makna dari ini adalah bahwa engkau menyaksikan tajalliyat Allah SWT. Eng­kau melihat seseorang yang dikaruniai nikmat oleh Allah SWT.

Apa yang engkau saksikan? Gam­baran yang engkau saksikan adalah se­orang manusia dan nikmat yang da­tang kepadanya, adapun hakikatnya sesung­guhnya engkau menyaksikan tajalli Allah SWT dengan asma-Nya Al-Mun‘im (Yang Maha Pemberi nikmat) atas hamba-Nya. Maka engkau telah berpindah dari ke­gelapan hasad kepada nur penyaksian terhadap tajalli Allah SWT dengan asma-Nya Al-Mun‘im. Kemudian tajalli Allah de­ngan asma-Nya Al-Mun‘im ini membuat hatimu terpenuhi dengan nur asma Allah Al-Mun‘im.

Bila hatimu telah terpenuhi dengan ta­jalli Allah dengan asma-Nya Al-Mun‘im, eng­kau pun akan bertajalli atas dirimu sen­­diri denga asma-Nya al-Mun‘im. Maka pada saat itu Allah bertajalli atasmu de­ngan nikmat wushul (sampai) kepada-Nya, yang untuk sampai kepada yang de­mikian itulah aku meniti jalan ini, mengu­raikan penjelasan ini, dan menghadiri ma­jelis ilmu untuk menyampaikan pelajaran ini.

Setelah kita membicarakan, pada tiga pelajaran yang lalu, perihal induk dari se­gala penyakit hati, apakah masih tersisa se­suatu dari al-kibr (kesom­bong­an) da­lam dirimu yang belum engkau benci. Be­nar, kita butuh waktu untuk melakukan mujahadah agar kita terlepas darinya dan memohon perlindungan Allah darinya. Dari riya’ (menolehkan padangan kepada kedudukan di sisi manusia), dan dari ha­sad (merasa berat melihat nikmat pada seseorang). Kita akan berupaya untuk melepaskan diri dari penyakit-penyakit itu.

Setelah pelajaran ini, tugas telah me­nunggu di hadapanmu yang harus eng­kau kerjakan. Yakni melepaskan diri dari penyakit al-kibr dengan merenung­kan ke­adaanmu dan segala kekurangan­mu. Kita melepaskan diri dari al-kibr de­ngan men­dahului orang lain untuk meng­ucap­kan salam kepadanya, bersih-ber­sih ru­mah, membersihkan kamar mandi mas­jid, dan lain-lain.

Kita melepaskan diri dari riya’ de­ngan me­rasakan keagungan Allah SWT sam­pai kita tidak mencari dan merindu­kan kedudukan di sisi makhluk, mem­ben­ci lin­tasan riya’ yang datang, dan memperba­nyak dzikir La ilaha illallah.

Dan kita melepaskan diri dari hasad de­­ngan membencinya dan mengakui ada­­nya hasad di dalam hati kita, men­doa­­kan orang yang mendapatkan nikmat di hadapan kita, mengakui adanya pera­saan berat di dalam hati kita di saat me­lihat orang lain mendapatkan nikmat, me­muji mereka di belakang mereka, dan de­ngan membantu orang itu pada nik­mat yang ada padanya agar semakin bertam­bah kebaikan padanya.

Dari tiga penyakit atau tiga maksiat ini bercabang darinya berbagai macam penyakit di dalam hati, karena penyakit-penyakit hati teramat banyak jenis dan bentuknya – wal ‘iyadzu billah. Akan tetapi barang siapa perhatiannya tercu­rah untuk mensucikan hatinya dari tiga penyakit ini, berarti ia mengobati hatinya dari penyakit-penyakit yang lainnya, yang bercabang dari ketiganya. Karena seolah ia mengo­bati sumber penyakit­nya.

Apabila engkau peduli dengan se­mua itu dan rela terhadap berlalunya hari demi hari, waktu demi waktu, kesung­guh­an, pi­kiran, segenap upaya, agar eng­kau terle­pas dari ketiga induk pe­nyakit itu, niscaya nur-nur kesucian akan memancar dan ber­kemilau di dalam hatimu.

Kita memohon kepada Allah SWT, se­­moga Dia mengaruniai kita kesempur­naan kesucian lahir dan bathin. Ya Bathin, ya Zhahir... sucikanlah lahir dan bathin kami, dan jadikanlah kami ke dalam go­longan orang-orang yang sha­lih. Ya Allah, selamatkanlah kami dari ke­gelapan ha­sad. Ya Allah, karuniakanlah di dalam hati kami cinta terhadap kebaik­an bagi ham­ba-hamba-Mu. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang paling berman­faat bagi makhluk-Mu yang lain dan pa­ling dekat kepada-Mu....

Sumber: http://www.majalah-alkisah.com

Rumi: Merdeka Ketika Berserah Diri

Semula ingin kuceritakan padamu
kisah hidupku,tetapi
gelombang kepedihan tenggelamkan suaraku.

Kucoba utarakan sesuatu,
tetapi pikiranku rawan dan remuk,
laksana kaca.

Bahkan kapal paling megah bisa karam
dalam gelombang-badai Laut Cinta
apalagi biduk rapuhku,
remuk berkeping-keping:
tinggalkan ku sendiri, hanyut,
hanya berpegangan ke sepotong papan.

Kecil dan tak berdaya
timbul tenggelam dalam terpaan ombak,
sampai tak kuketahui apakah aku ada atau tiada.

Ketika menurutku aku ada,
kudapati diriku tak berharga.

Saat ku tiada,
kudapati nilai-nilai sejati diriku.

Seturut pasang-surut akalku,
tiap hari mati aku, dan dihidupkan lagi;
karenanya tak kuragukan sedikit pun
adanya Hari Kebangkitan.

Ketika telah lelah,
ku berburu cinta di alam dunia ini,
akhirnya di Lembah Cinta ku berserah-diri:
dan aku merdeka.

Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1419.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin dan Maryam Mafi, dalam Rumi: Hidden Music, HarperCollins Publishers Ltd, 2001 http://ngrumi.blogspot.com/

Friday, September 20, 2013

Selamat Jalan Habib

Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Bunga itu mekar dan gugur. Bintang berpendar dan nantinya hancur. Bumi, mentari, bimasakti, bahkan semesta ini akan tiba hari kala mereka mati. Hidup seorang manusia jika dibandingkan pada itu semua, tak lebih dari satu kedipan mata (QS ar-Rahman, 55: 26).

Dalam serba fana ini, manusia lahir, tertawa, menitikkan air mata, berjuang, terluka, merasa bahagia, menyesak duka, membenci dan mencinta. Kesemuanya itu sungguh singkat.

Dan akhirnya, dia jatuh pada tidur panjang dan dalam yang disebut dengan kematian. Dan kematian bukanlah suatu kesimpulan. Ia hanya sebuah perpindahan. Pintu memasuki hidup di atas hidup.

Hidup yang sesaat namun teramat beresiko ini, pasti akan ada akhirnya. Dan kita nanti akan hidup selama-lamanya; tidak satu abad, tidak pula dua abad; akan tetapi berabad-abad lamanya dan tidak akan ada ujungnya. Kapan? Nanti saat kita semua memulainya melalui pintu kematian.

Kematian adalah akhir kehidupan dunia, namun awal bagi kehidupan akhirat. Bagaimana keadaan kita di akhirat, adalah bagaimana keadaan kita saat di dunia.

Jika sejarah dunia tertulis dengan tinta kebaikan, maka kebaikan itu akan terekam dalam lembar yang sangat indah. Namun jika lembaran dunia banyak memoles keburukan amal, maka akan sangat legam dan hitamlah kehidupan akhiratnya. Na’udzubiLlah.

Sahabatku tercinta, masih membekas duka mendalam di hati imaniyah kita; guru kita yang shaleh, ad-Da’i ila Allah wa Rasuulih, al-Mujahid fi sabilih, telah berpulang ke Haribaan-Nya; al-Habib Munzhir bin Fuad al-Musawa (40).

Peristiwa wafatnya beliau yang terlalu pagi ini dan tentu dengan semua hamba Allah yang mendiami planet bumi-Nya ini yang telah berpulang lebih awal, seharusnya menjadi nasehat berharga buat kita yang masih hidup. Rasul berpesan melalui Amar bin Yasir r.a, “Kafaa bil mauti maw’izhotan, cukuplah kematian menjadi nasehat dan peringatan.”

Jika hari ini kita mendoakan beliau yang telah wafat. Boleh jadi, besok giliran kita yang akan didoakan. Karena kita semua pasti akan seperti beliau.

Bukankah, semua makhluk yang bernyawa sudah divonis mati oleh Allah. Kullu nafsin dzaa iqatul maut, [QS. Ali Imran [3] ; 19] demikian Allah Azza wa Jalla tegaskan.

Berarti saat ini sebenarnya kita sedang menantikan vonis kematian. Kita sejatinya sedang mengantri menuju gerbang kematian.

Karena kita sudah divonis mati oleh Allah, menjadi tidak penting di mana kita mati dan kapan kita mati; tapi lebih dari segalanya, menjawab dan mempersiapkan diri dalam kondisi apa kita mati. Teramat besar harapan kita, kelak saat kita dipanggil untuk segera pulang ke hariabaan-Nya,

Wafatnya kita seperti beliau, wafat dalam keadaan terbaik; membawa iman, dalam keadaan sedang menikmati lezatnya taat di jalan Allah, berserah diri dalam Islam, bersih-suci lahir dan batin, dan dalam keadaan lisan kita berakhir dengan kalimat tauhid; Laa ilaaha illa Allah! Wafat dalam keadaan husnul khootimah.

“Ya Allah, perkenankan kepada kami bertaubat sebelum kami wafat, kami dapat rahmat-Mu di detik-detik kematian kami, dan kami pun dapat ampunan-Mu setelah kami wafat. Ringankan semua kami menghadapi goncangan sakaratul maut. Kelak jadikan kubur kami, terkhusus kubur dari guru kami al-Habib Munzhir bin Fuad al-Musawa, sebagai miniatur surga-Mu, catat nama beliau sebagai penghuni surga-Mu. Dan kelak Engkau pertemukan kami di taman indah surga-Mu. Aamiin!”

Sumber : Republika.co.id

Monday, September 9, 2013

Abuya K.H. Saifuddin Amsir : Di Balik Senandung Maulid

Yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna.

Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid de­ngan suara-suara nan syahdu dan senan­dung yang acap menggetarkan hati.

Ada apa di balik senandung kitab-ki­tab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senan­dung Maulid tersebut?

Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang di­sampaikannya kepada para pembaca se­tia alKisah.

Makna sebagai Tujuan

Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensi­nya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak di­se­nandungkan? Jadi, yang jadi tujuan uta­manya tetap maknanya. Senandung ha­nyalah bagian sekunder yang menye­babkan bacaan itu jadi terasa lebih ber­makna, agar penyampaiannya diharap­kan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki se­macam dorongan yang lebih dari baca­an yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya ka­rena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.

Ini bukan cerita yang tidak pernah ter­jadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di ka­langan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehi­langan kesadaran, tenggelam dalam mak­na-makna kalimat yang tengah di­senandungkan.

Saya juga pernah melihat peman­dang­an serupa saat di Suriah, ketika da­lam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke te­ngah-tengah dan berputar. Apa yang di­lakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terka­dang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan sema­cam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ke­tidaksadaran orang tersebut. Jadi, me­reka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.

Disemarakkan oleh Muhadditsin

Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, be­rita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang di­anggap oleh sebagian ahli hadits lebih ba­nyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk da­lam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).

Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari se­kadar gambaran berita-berita itu sen­diri. Gambaran-gambaran itu pun belum ten­tu mustahil. Sebagian berita itu mung­kin diceritakan dengan sanad yang di­per­tanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.

Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa ter­hadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah kare­na merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Mu­hammad. Sayalah yang menjadi bi­dannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bin­tang yang datang mendekat.” Ini kan gam­baran yang sangat spektakuler hing­ga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.

Sekarang kita melihat, misalnya di Sun­da Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, ba­nyak yang seperti ini, yaitu ketika sese­orang pun tak kuasa menolak berita-be­rita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.

Tapi kemudian, memang harus di­seimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.

Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Ban­tani sampai memerlukan diri untuk me­nuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri nota­bene seorang muhaddits.

Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bah­kan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.

Tampak dalam karyanya itu ia se­orang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menun­jukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.

Tapi, tak urung, di dalam kitabnya ter­dapat hadits-hadits yang menjadi perta­nyaan dan terus disorot oleh sebagian pi­hak. Itu sebabnya tadi saya katakan, to­koh semacam Syaikh Ali Jabir, yang ka­rena lahir dan besar di Arab Saudi, se­bagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang me­nolak berita-berita yang dianggap berle­bihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasul­ullah SAW terlahir dalam keadaan ber­sujud.

Kasus Al-Albani

Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja semen­tara orang mengkritisinya, tapi selayak­nya hanya sampai pada batas melemah­kan. Kalau sampai pada batas meniada­kan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?

Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya ter­hadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu ter­sebut mereka sebutkan lemah periwa­yatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.

Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, ke­maju­an itu tidak mendudukkan arti ke­majuan itu pada posisinya yang benar. Orang se­lalu dituntut secara aqidah for­mal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diber­lakukan dalam konteks hukum atau aqi­dah, bukan pada riwayat sema­cam ini. Ka­rena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.

Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang se­seorang wajib mempercayainya, atau se­seorang yang tidak mempercayainya te­lah kufur. Tidak demikian ulama me­man­dangnya. Jadi memang tidak perlu di­tun­tut sejauh itu, misalnya tentang sa­nadnya, keshahihannya, dan sebagai­nya.

Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani me­ngo­reksi hadits Al-Bukhari sebagai se­suatu yang menurutnya boleh jadi me­nanggung ke­tidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan di­klaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab da­lam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagai­kan samudera yang tak bertepi.

Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini le­mah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sa­ngat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber dari­nya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ri­buan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkon­sistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk ber­debat secara terbuka dalam ilmu ha­dits, sesuatu yang semua orang tahu bah­wa Al-Albani tidak pernah mau melayani­nya.

Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah pro­fesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mung­kin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits ter­hadap sikap over Al-Albani saat mengkri­tisi hadits, dengan kesiapan perangkat ke­ilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.

Kekuasaan Allah Semata

Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar isti­lah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sen­diri sebenarnya baru pernah mende­ngar istilah itu. Kemudian orang-orang se­macam ini tampak lebih muncul di permu­kaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk men­dalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepe­mimpinan Bapak Saiful Hamid, saya me­lihat orang-orang yang rata-rata sebe­lumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan mem­baca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-mak­na yang tertulis dalam buku itu, mereka men­jadi kehilangan rasa untuk memper­soalkan ihwal haditsnya, karena hati me­reka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.

Kalau dikatakan Nabi lahir dalam ke­adaan bersujud, kenapa ini jadi perta­nya­an besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat ke­luarnya air seni), sekarang pun itu bu­kan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuk­tikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?

Ternyata, untuk dunia medis zaman se­karang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di da­lam ginjal hanya dengan cahaya sinar ter­tentu yang disorot dari luar tubuh sese­orang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak ter­tentu, yang semuanya itu diatur oleh ta­ngan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?

Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus di­per­hatikan bahwa ini tidak tepat untuk di­ang­gap sebagai tema-tema kebohongan da­lam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi ka­mu­flase atau pemalsuan yang berdam­pak bahwa suatu ketika Islam bisa men­jadi kehilangan identitasnya, karena me­minggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.

Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin ka­rena semakin banyak tekanan yang da­tang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang me­mandang dengan penuh ketidak­suka­an terhadap perhelatan-perhelatan Mau­lid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin me­nyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY

Sumber : Majalah Al Kisah

Saturday, July 13, 2013

Pandangan Ulama Seputar Hadits “Semua Bid'ah Adalah Sesat"

Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama 'Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).

Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)

'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:

"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)

Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:

Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:

Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".

 Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu 'anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush'. 'Am Makhshush' artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualiaan. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir 'Alaihissalam menjelaskan kepada Nabi Musa 'Alaihissalam alasan mengapa beliau merusak kapal. Allah Ta'ala mewahyukan:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)

Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.

Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)

"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:

"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:

Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.

Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(

Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus

Friday, July 12, 2013

Mengkritisi Mazhab Panggilan Hati: Dialog Al Bouti vs Al-Bani

Assalamualaikum..
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.

Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:

Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?

Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?

Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?

Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.

Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !  

Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?

Al-Bani: Ya benar !

Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.

Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.

(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)

Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?

Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.

Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?

Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !

Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?

Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.

Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?

Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .

Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?

Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.

(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .

Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !

Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !

Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !

Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?

Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa ! 

 Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !

Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.

Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)

Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.

Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !

Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).

Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.

Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?

Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,


(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).

Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).


Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah. 

Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.

Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.

Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?

Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.

(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).

Talak Tiga: Contoh Kasus 

Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?


Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.


Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).

Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.

Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?

Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?

Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.

Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.

Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?

Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?


Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.

Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?

Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.

Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?

Al-Bani: Ya, cukup.

Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?

Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?

Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?

(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.

Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.

Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).


Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?


Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?

Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.

(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).

Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.

Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.

Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum? 


Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.


Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.

Dokter don Brosur: Analog! Lainnya

Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?

Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan. (Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)

Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.


Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain. 


Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?

Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,

Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?

Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa. 

Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.

(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).

Sumber: Majalah Alkisah