Thursday, June 27, 2013

Ziarah Kubro Palembang 28-30 Juni 2013

Assalamualaikum,
Sy ikut mengabarkan acara Ziarah Kubro di Palembang pada tanggal 28 dan 30 Juni 2013 di undangan idbawah. Semoga yang hadir bisa mendapatkan keberkahan. Amin

UNDANGAN HAUL DAN ZIARAH KUBRA
‘ULAMA & AULIYA’ PALEMBANG DARUSSALAM 1434 H – 2013 M
===========================================================
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bersama ini, dengan kerendahan hati kami mengundang para pencinta Sunnah Rasulullah s.a.w, para pencinta Waliyullah untuk dapat menghadiri acara HAUL DAN ZIARAH KUBRA ‘ULAMA & AULIYA’ PALEMBANG DARUSSALAM, yang insya Allah tahun ini akan dilaksanakan pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu tanggal 28 – 30 Juni 2013 M ( 19 -21 Sya’ban 1434H)
Perlu diketahui bahwa Haul dan Ziarah Kubra ‘Ulama dan Auliya’ Palembang Darussalam :
Kegiatan ini sudah dilaksanakan bertahun-tahun oleh salaf Baalawi di Kota Palembang menjelang masuknya bulan Ramadhan. Sejak Tahun 2004 kegiatan ini lebih semarak dan menjadi sebuah event akbar karena telah banyak dihadiri habaib dan tamu dari berbagai daerah di Indonesia, terutama dari Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan, dan juga dari luar negeri seperti dari Malaysia, Singapura, Thailand, Yaman, Arab Saudi dan negara-negara lainnya.
< Merupakan tradisi yang kaya ilmu dari salafunassholeh yang unik dan patut untuk disebarluaskan keberadaannya demi menambah khazanah pengetahuan dan Kebudayaan Islam di Nusantara dan di Dunia
Demikian undangan ini kami sampaikan kepada segenap pencinta Rasulullah s.a.w., segenap pencinta Waliyullah . Peta Lokasi Acara, Pamflet Undangan, dan Buku Panduan Acara kami ada dalam Lampiran Undangan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

PANITIA HAUL DAN ZIARAH KUBRA
‘ULAMA & AULIYA’ PALEMBANG DARUSSALAM 1434 H – 2013 M

http://ziarahkubrapalembang.files.wordpress.com

Monday, June 24, 2013

Rumi: Rasa Sakit: Menyiapkan Hati

Ketika rasa-sakit memasuki hati,
dan menyergap rasa senangmu,
ketahuilah, ia sedang menyiapkan
jalan bagi datangnya kebahagiaan.

Cepat sekali rasa sakit menyapu bersih
semua rasa lainnya,
mengusir mereka keluar dari ruang hati;
hingga tiba saat bahagia mendatangimu
dari Sumber Kebaikan.

Ia merontokkan semua daun layu
dari cabang-ranting hati,
agar daun segar dapat tumbuh.

Ia mencabut akar tua kesenangan,
sehingga keriangan yang baru
dapat berkunjung dari ke-Tiada-an.

Rasa sakit di hati membongkar
akar kesenangan yang lapuk dan busuk,
sehingga tiada kepalsuan tersembunyi.

Rasa sakit mencuci bersih hatimu,
agar hal yang lebih baik dapat hadir
menggantikannya.

Sumber:
Rumi: Matsnavi V 3678 - 3683.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick
Dalam The Sufi Path of Love - The Spiritual Teachings of Rumi, SUNY, Albany, 1983.
http://ngrumi.blogspot.com

Sunday, June 23, 2013

Buku-Buku Ahlussunnah Wal Jamaah

Assalamualaikum,
Mengingat banyaknya pemahaman wahabi dan salafi yang meluas di masyarakat, dan tidak banyaknya masyarakat yang mendapatkanpemahaman yang benar akan semua ibadah-ibadah sunah yang dilakukan, maka saya merekomendasikan untuk kita membaca buku-buku terkait ibadah-ibadah sunah yang menjadi perdebatan dimasyarakat. Buku-buku ini sangat penting dimiliki untuk lebih meyakinkan kita dan keluarga dalam menjalan kan ibadah, serta sebagai wawasan dalam menjawab pertanyaan dari orang-orang wahabi yang sering muncul dilingkungan keluarga, kantor dan masyarakat. Berikut adalah buku-buku yang dimaksud:


Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena tentang Mazhab Wahabi, berawal dari dakwah tauhid yang diajarkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi yang lahir pada tahun 1111 H da wafat tahun 1206 H. Banyak ulama yang mengecam doktrin Wahabi karena melakukan pemusyrikan dan pengkafiran terhadap seama Muslim yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah Syeikh Muhammad Hasan Shadiq Khan (seorang Salafy) yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Ahli HAdis telah berlepasdiri dari Wahabiyah karena bersikap keras dan gegabah dalam mencucurkan darah suci kaum Muslim. Tentu saja, Mazhab Wahabi mempunyai alasan dan dalil untuk melakukan itu semua. Lalu, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi itu semua? Apakah Mazhab Wahabi dapat dibenarkan? Bagaimana hukumnya jika kita mengikuti ajaran Wahabi? Dalam buku ini, penulis menguraikan dengan gamblang fenomena tentang Mazhab Wahabi secara obyektif. Semuanya dikemukakan dalam buku ini tanpa ada yang ditutup-tutupi. Detail dan akurat. Dengan penjelasan dan analisis Abu Salafy yang tajam disertai dengan data-data lengkap, kita bisa mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai keduduan Mazhab Wahabi di dalam Islam. “Kaum musyrik zaman kita (maksudnya adalah kaum Muslim dari keompok lain yang berbeda dengannya) itu lebih kafir dari kaum kafir Quraisy…” Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi, pendiri Mazhab Wahabi



Buku kecil ini adalah kumpulan artikel (tentunya dengan sedikit penyempurnaan) yang kami tulis dalam blog kami dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Ini adalah buku kedua AbuSalafy dan insya Allah akan disusul oleh buku-buku lanjutan. . Jika buku pertama lebih menyoroti klaim monopoli kebenaran Salafi Wahabi dan doktrin kekerasan dan ekstrimisme, maka buku kedua ini akan membongkar berbagai sisi kepalsuan klaim Salafi Wahabi bahwa mereka adalah PEWARIS mazhab Salaf Shaleh.




Bagi para pencari kebenaran, buku ini hadir sebagai penghapus dahaga mereka. Di dalamnya telah terhimpun berbagai dalil yang mendasari berbagai amalan salaf yang sering dipertanyakan oleh sebagian kecil umat Islam yang terlalu fanatik pada ajarannya. Karenanya buku ini sangat cocok bagi semua orang yang mencintai amalan salaf, amalan para wali dan bagi mereka yang mencari kebenaran sejati. Buku ini selain memberikan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits, juga banyak memberikan informasi, pandangan serta penjelasan ulama-ulama besar dan terkemuka seputar permasalahan bid’ah dan amalan para wali. Setiap paragraf berisi informasi ilmiah dari berbagai sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Anda bahkan akan menemukan begitu banyak contoh-contoh bid’ah hasanah yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Rasulullah saw maupun sepeninggal beliau saw. Buku ini menjadi sangat menarik karena seakan ia membawa kita ke zaman Rasulullah saw dan para sahabat beliau saw. Buku ini disusun oleh seorang ustad, da’i plus penulis muda yang sangat produktif. Yaitu Al Ustad Al Habib Noval bin Muhammad Alaydrus.

Sebagian golongan dari umat Islam mengklaim dirinya yang paling benar dan paling murni dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka menuduh dan melontarkan kata syirik, bid’ah, sesat bahkan kafir kepada sebagian muslim yang lainnya. Namun, benarkan tuduhan mereka itu? Buku ini akan menjelaskan sekaligus menyanggah anggapan-anggapan yang salah tersebut. Dalam buku ini akan dikupas tuntas masalah: Bid’ah, ziarah kubur, talqin mayit, tawassul, tabarruk, taklid kepada ima m madzhab, amalan-amalan khusus pada bulan Rajab dan Sya’ban, peringatan keagamaan, berjabat tangan antara wanita dan laki-laki, wasiat nabi, dan masih banyak lagi lainnya. Buku ini juga mengungkap fakta dan kenyataan bahwa banyak riwayat-riwayat serta dalil yang jelas yang akan memberikan pencerahan kepada umat Islam

Bagi para pencari kebenaran, buku ini hadir sebagai penghapus dahaga mereka. Di dalamnya telah terhimpun berbagai dalil yang mendasari berbagai amalan salaf yang sering dipertanyakan oleh sebagian kecil umat Islam yang terlalu fanatik pada ajarannya. Karenanya buku ini sangat cocok bagi semua orang yang mencintai amalan salaf, amalan para wali dan bagi mereka yang mencari kebenaran sejati. Buku ini selain memberikan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits, juga banyak memberikan informasi, pandangan serta penjelasan ulama-ulama besar dan terkemuka seputar permasalahan bid’ah dan amalan para wali. Setiap paragraf berisi informasi ilmiah dari berbagai sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Anda bahkan akan menemukan begitu banyak contoh-contoh bid’ah hasanah yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Rasulullah saw maupun sepeninggal beliau saw. Buku ini menjadi sangat menarik karena seakan ia membawa kita ke zaman Rasulullah saw dan para sahabat beliau saw. Buku ini disusun oleh seorang ustad, da’i plus penulis muda yang sangat produktif. Yaitu Al Ustad Al Habib Noval bin Muhammad Alaydrus.

Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam seketika. Pilar-pilar kokoh istana Kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan banyak lagi, Walhasil, alam bergemuruh, menyambut kelahiran Nabi SAW sedemikian rupa. Puluhan tahun kemudian, ada sahabat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin. “Itulah hari kelahiranku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara beliau memperingati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bahkan di setiap pekan. Waktu berputar. Sumber-sumber sejarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H). Kala itu kisah hidup Nabi diperdengarkan, keluhuran akhlaq beliau disebut-sebut, shalawat bergema silih berganti, hadirin dijamu layaknya tamu yang mesti dihormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran Sang Rahmatan lil ‘alamin. Di hati pecinta, sungguh ini kenikmatan tiada tara. Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpulkan orang dalam sebuah majlis Maulid nyatanya disambut baik oleh ulama, para pewaris anbiya’, seperti halnya shalat tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khaththab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat. Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah menjelaskan pada umat hujjah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk memahami hadist-hadist shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan sekitar 500 karya berbobot lainnya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ‘Amal al-Maulid. Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tauhidnya dan benar mutlak pendapatnya menghukumi Maulid dengan tergesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amalan bid’ah, tradisi paham yang sesat, menyerupai kebiasaan orang kafir, dalil-dalilnya dipaksakan, jamuan yang dihidangkan haram, memuji-muji Nabi di dalamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku “bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, “Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Taimiyah, “Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu mengamalkannya.” Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umatnya, hingga menempatkan kaum muslimin sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadist Nabi SAW atau para pembangkang atas syariat yang beliau gariskan? Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan dalam mengikutinya. Amiin..

Dalam buku ini anda akan diajak untuk mengenali aliran-aliran yang ada di Indonesia serta aspek-aspek penyimpangannya. Pada bagian kedua dikupas masalah-masalah yang kerap diperdebatkan antara warga NU dengan aliran-aliran baru seperti Majlis Tafsir Al-Qur'an (MTA), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Salafi-Wahhabi dan yang satu varian dengan mereka. Di bagian akhir terdapat tanya jawab seputar tarekat sufi, sebagai penegas amaliah tarekat sufi tidak bertentangan dengan syariat. Buku ini diharapkan sanggup menjadi BENTENG AHLUSSUNAH WAL JAMAAH dari serangan aliran-aliran dan faham yang saat ini marak dan berbeda dengan mayoritas umat.

Buku ini ditulis sebagai keprihatinan atas maraknya aksi sekelompok kecil umat Islam yang gemar menuduh bidah amalan kelompok umat Islam mainstream dan sekaligus sebagai jawaban atas tuduhan tuduhan mereka itu. Amalan amalan yang mereka tuduhkan sesat itu ternyata banyak dilakukan oleh para ulama yang tergolong dalam kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pertanyaannya, apakah mereka para ulama yang shalih itu tidak mengetahui bahwa amalan amalan yang mereka lakukan itu bidah? Simak jawabannya dan apa saja alasan ulama ulama itu?

Sejak tahun 2008 tim LMB NU Jember Jawa Timur seringkali diminta mengisi pelatihan dan internalisasi aswaja di kalangan warga nasdliyin di berbagai level. Tidak jarang, dalam acara-acara tersebut dilakukan debat terbuka dengan mendatangkan tokoh-tokoh salafi. Dari sekian banyak perdebatan itu, akhirnya penulis tertarik untuk membukukannya dalam buku ini. Selain itu, buku ini juga memasukkan kisah-kisah perdebatan para ulama dulu dengan kaum Wahhabi, seperti dialok terbuka Sayid Alwi Al-Maliki vs Syaikh Ibn Sa’di di Masjidil Haram, dialog terbuka Syaikh al-Syanqithi dengan ulama Wahhabi tuna netra, dialog al-Hafidz Ahmad Al-Ghumari di Makkah al-Mukarramah, dialog Syaikh Salim Alwan vs Dimasyqiyat di Australia, serta kisah-kisah dialog teman-teman yang pernah terlibat langsung dalam sebuah dialog dengan kaum Wahhabi. Dengan harapan buku ini menjadi panduan dalam berdialog dengan aliran Wahhabi yang dewasa ini menamakan dirinya dengan aliran Salafi.

Majalah Qiblati edisi Rajab 1423 H/Juni 2011 M, memuat artikel bantahan Syaikh Mamduh terhadap Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi seputar kisah dialog as-Sayyid Alwiy al-Maliki dengan Syaikh Ibnu Sa'di, ulama terkemuka kaum Wahabi. Oleh karena itu, penulis berupaya meluangkan waktu seraya memohon pertolongan kepada Allah, untuk menulis jawaban ilmiah terhadap majalah Qiblati. Hal ini dilakukan agar tidak ada keraguan di kalangan kaum Muslimin bahwa ajaran Wahabi memang benar-benar ajaran batil dan harus diwaspadai. Tentu saja, dalam buku ini penulis hanya bermaksud menanggapi pernyataan Syaikh Mamduh yang memiliki bobot ilmiah agar tidak mengatakan syubhat ilmiah. Sedangkan pernyataan beliau yang jauh dari bobot ilmiah dan hanya bernilai retorika belaka, penulis memilih untuk tidak melayaninya... Sepertinya Syaikh Mamduh agak terpengaruh dengan kaum Syiah dalam upaya menepis riwayat kelompok yang menjadi lawan ideologinya. Bagi kami, Wahabi tidak ada bedanya dengan Syiah, dalam hal mengkafirkan kaum Muslimin di luar golongannya, karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran Islam yang murni dan diamalkan oleh generasi salaf.

Bagaimana sesungguhnya aliran Salafi Wahabi sehingga begitu kontroversial bagi kalangan kaum muslimin? Buku ini mengulas aliran Salafi Wahabi hingga ke akar akarnya, mulai dari sejarah kemunculan, pemikiran, metode penyebaran, hingga tokoh tokoh Salafi Wahabi yang berpengaruh di tingkat dunia, termasuk di Indonesia. Insya Allah buku ini akan menghilangkan rasa penasaran pembacanya tentang aliran ini. Dilengkapi data dan referensi yang lengkap buku ini secara obyektif menggambarkan aliran Salafi Wahabi tanpa bermaksud memprovokasi, apalagi memecah belah persatuan umat. Buku ini akan meluruskan segala kesalahpahaman tentang aliran Salafi Wahabi, baik untuk mereka yang membenci maupun yang cinta kepadanya. Diharapkan pembaca akan kembali kepada ajaran yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan dan As Sunnah.

udul buku ini, Inilah Sebaik Baik Bid’ah, diilhami dari perkataan Sayyidina Umar bin Khattab ketika beliau mengumpulkan umat Islam dalam pelaksanaan shalat tarawih berjamaah. Dari perkataan Sayyidina Umar ini kita bisa memahami bahwa bid’ah itu tidak selamanya sesat dan menyesatkan, tetapi ada juga bid’ah yang baik, Bid’ah Hasanah. Tetapi ada juga bid’ah yang sesat, pastilah Sayyidina Umar tidak akan mengeluarkan perkataan sebagaimana disebutkan. Jika Sayyidina Umar bin Khattab saja mengakui adanya bid’ah hasanah, lalu kenapa ada sebagian orang yang tetap ngotot mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat? Apa karena hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa “kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalah fin Nar?” Buku ini mengupas tuntas tentang hadits di atas, dan beberapa contoh bid’ah yang pernah terjadi, baik pada masa Nabi Muhammad Saw, sahabat, tabi’in, dan setelahnya.

Tradisi Islâm yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan yang Islâmî di negeri kita Indonesia khususnya di Pulau Jawa, agaknya mengalami kegoncangan. Hal ini disebabkan oleh ulah sekelompok aliran atau faham Islâm tertentu yang dengan sengaja memutarbalikkan fakta kebenaran al-Qur’ân dan al-Hadîts dengan melakukan distorsi (penyimpangan) makna ayat dan memanipulasi nushûsh. Buku ini memuat jawaban yang mengakomodir (memuat) berbagai pendapat ulama’ yang berusaha menguak fakta kebenaran yang hakiki di balik tudingan bidah, yaitu syirik, harâm, dan pelakunya masuk neraka. Tudingan tersebut ditujukan pada ‘amaliyah yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat Islâm yang sudah menjadi tradisi dan corak budaya Islâm khususnya di tanah Jawa. Hadirnya buku berjudul Katanya Bidah Ternyata Sunnah ini diharapkan mampu mengembalikan kecintaan umat Islâm terhadap agamanya, melalui budaya dan tradisi Islâm yang selama ini dihujat dan dicap kolot. Dengan kata lain, hadirnya buku ini menjadi titik terang dari sebuah kebenaran yang terlupakan, dilupakan, atau justru terabaikan. Buku ini dengan jelas dan gamblang menguraikan batasan-batasan mana yang boleh dan dilarang didukung dalîl-dalîl yang shahîh dan kuat dari al-Qur’ân dan al-Hadîts. Terlebih, kemasan bahasa yang sederhana — dengan beberapa istilah populer — agar mudah dibaca dan dipahami oleh semua kalangan. Penulis berharap, isi buku ini bisa dijadikan dasar, referensi dan pegangan bagi umat Islâm agar tidak ragu dalam menjalankan amaliyah apapun yang bersifat ibadah

Dalam Hal Tawassul, banyak masyarakat yang masih awam dan belum mengerti serta faham, lantas datanglah kelompok yang ekstrem dalam beragama yang menjenerilasasi masalah tawassul dengan pendapatnya; “pokoknya semua yang berbau tawassul adalah syirik!” Guru besar mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang fatwa fatwanya banyak diikuti oleh kaum Wahabi tidaklah berpendapat demikian. Mereka memperbolehkan bertawassul dengan sifat sifat Allah, nama nama Allah yang indah agung, amal shaleh dan orang yang masih hidup, selain tiga hal tersebut mereka mengatakan bid’ah, dan sebagaimana biasa, setiap bid’ah menurut mereka adalah tersesat dan setiap kesesatan pasti masuk neraka. Mereka menganggap orang yang bertawassul melalui media pangkat atau jah Nabi, Wali atau yang lainnya itu musyrik, bahkan kafir sebagaimana sering dituduhkan. Buku ini mencoba mengungkap masalah masalah yang berhubungan dan berkaitan dengan tawassul dengan dalil naqli ataupun aqly berdasarkan dan berlandaskan Al Quranul Karim dan Al Hadits Asy Syarif.

Ziarah kubur pada awal Islam, ketika pemeluk Islam masih lemah, masih berbaur dengan amalan jahiliyah yang dikhawatirkan dapat menyebabkan perbuatan syirik, Rasulullah saw melarang ziarah kubur, akan tetapi setelah Islam mereka menjadi kuat, dapat membedakan mana perbuatan yang mengarah kepada syirik dan mana yang mengarah kepada ibadah karena Allah, Rasulullah saw memerintahkan ziarah kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan pelakunya untuk selalu teringat mati dan akhirat Buku ini akan membahas secara lengkap pengertian ziarah kubur, hukum-hukum ziarah kubur, tujuan ziarah kubur, adab dan tata cara ziarah kubur, hal-hal yang dilarang ketika ziarah kubur, serta bagaimana pendapat ulama, termasuk pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hal-hal yang berkaitan dengan ziarah kubur. Disamping itu, akan dijelaskan juga bagaimana ziarah kubur Nabi Muhammad saw, ziarah kubur ulama Shalihin.

Mahrus Ali sempat membuat heboh negeri ini, bukunya yang berjudul “Mantan Kyai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” yang beredar luas beberapa tahun silam membuat resah umat dan para kyai, khususnya dari kalangan Nahdliyin. Buku sanggahannya pun muncul, ditulis oleh Lembaga Bahtsul Masail NU Jember. Kedua buku tersebut lalu menjadi perbincangan hangat dan polemik di masyarakat. Akhirnya pada tahun 2008, Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya menggelar debat ilmiah terbuka antar dua penulis buku tersebut. Namun Mahrus Ali tidak datang, dengan alasan keamanan dan hanya diwakilkan penulis kata pengantarnya, Ust. Muammal Hamidi. Tiga tahun berselang, Mahrus Ali yang tidak menghadiri debat tersebut, tiba-tiba muncul dengan dua buku barunya “Bongkar Kesesatan Debat Terbuka Kyai NU di Pasca Sarjana Sunan Ampel Surabaya” dan buku “Sesat Tanpa Sadar.” Buku ini hadir untuk menjawab atau membantah buku “Sesat Tanpa Sadar” karya Mahrus Ali, yang terbukti banyak melakukan pemelintiran data serta tidak jujur dalam mengutip teks-teks para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Bahkan yang lebih fatal, Mahrus Ali berani menyalahkan pendapat ulama rujukan utama sekte Wahabi seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan lain-lain.

Mana dalilnya, sebuah pertanyaan yang sering kali kita ajukan ketika mendengar, membaca atau melihat sebuah kegiatan keagamaan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Buku ini menyajikan kepada Anda sebuah jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam buku ini kita diajak untuk menyelami kedalaman makna Al-Qur'a, Hadis dan pemikiran para ulama untuk memperluas wawasan.berpikir Anda. Sehingga, dengan membaca buku Insya Allah, Anda tidak akan lagi terlibat dalam perdebatan yang menjemukan dan tidak bermanfaat.

Mana dalilnya, sebuah pertanyaan yang sering kali kita ajukan ketika mendengar, membaca atau melihat sebuah kegiatan keagamaan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Buku ini menyajikan kepada Anda sebuah jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam buku ini penulis mengajak pembaca untuk menyelami kedalam makna Al-Quran, Hadits dan pemikiran para ulama untuk memperluas wawasan berpikir Anda. Shingga, dengan membaca buku ini Insya Allah, Anda tidak akan lagi terlibat dalam perdebatan yang menjemukan dan tidak bermanfaat.

Peringatan dan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw adalah sebuah hal yang selalu dijadikan perdebatan panjang dikalangan Umat Islam yang seolah tidak pernah ada titik temunya. Padahal kegiatan ini telah menjadi kebutuhan bagi umat Islam Ahlussnnah Wal Jamaah di dunia, terutama di negara kita Indonesia. Namun dalam perjalanannya selalu ada kerikil-kerikil tajam yang selalu mengusik kegiatan serta peringatan ini dan hal ini telah menimbulkan sakit hati dikalangan umat Islam mayoritas. Bukan hanya cap bid’ah yang selalu disematkan kepada para pecinta Maulid Nabi Muhammad saw ini, bahkan stempel syirik, sesat dan kafir tak luput dari gelar yang diberikan para pembenci maulid ini. Padahal agenda terbesar umat Islam adalah ukhuwah Islamiyyah, namun gara-gara perbedaan ini, akhirnya misi terbesar Rasulullah terabaikan, bahkan dilupakan begitu saja. Oleh karena masalah ini perlu diberikan penjelasan yang memadai dan akurat, sehingga masalah ini tidak menjadi sebuah perseteruan yang akan merugikan Umat Islam. Dalam buku ini al-Allamah Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani mengupas secara tuntas dan gamblang tentang kedudukan Seputar Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw yang disertai dalil-dalil dari Al-Qur’an Al-Hadits, serta pendapat para ulama yang memiliki kridibilitas dalam keilmuan

araknya gerakan Islam di Indonesia akhir akhir ini, dari “pemain lama” seperti NU dan Muhammadiyah hingga para “pemain baru” seperti Hizbut Tahrir, PKS, Gerakan Salafi atau Wahabi, sampai gerakan segelintir anak negeri yang cukup liberal [JIL]. Semestinya sebagai umat Islam kita bangga dengan semangat keislaman yang diusung mereka. Namun fakta berbicara lain, kemapanan pola keberagaman masyarakat yang telah diperjuangkan para “pemain lama” ternyata malah diusik oleh para “pemain baru” yang entah punya motif apa. Terbukti terdapat banyak sekali upaya upaya untuk menjauhkan masyarakat dari para ulamanya, membuat mereka ragu, bahkan sedikit demi sedikit meninggalkan kegiatan keagamaannya dan beralih kepada “dakwah baru” yang dikoarkan. Bukan hanya itu saja, bahkan kecenderungan untuk berani mencerca dan melukai hati para Sesepuh pun semakin mengemuka dan menjadi hal lumrah. Aksi penyesatan, pembid’ahan dan pengkafiran sesama muslim pun seolah menjadi hobi baru yang semakin mencandu. Oleh sebab itu, pemahaman kembali pada budaya yang sebenarnya merupakan hasil ijtihad dakwah para ulama terdahulu menjadi suatu keniscayaan. Selain itu, upaya meretas rumusan rumusan baru atas berbagai budaya masyarakat yang tidak akan pernah lepas dari jalur jalur syariat juga harus dilakukan, sehingga budaya apapun yang sedang dan akan kita temui bisa disikapi secara bijak tanpa terburu buru memvonis sesat, bid’ah, dan kafir pada sesama muslim. Maka atas petunjuk dan anugerah Allah swt, khususnya bimbingan para ulama, Terbitlah buku ini dengan judul “Kajian Pesantren, Tradisi & Adat Masyarakat, Menjawab Vonis Bid’ah.”

nilah risalah kami [penulis] yang berjudul "an-Nuqul al-Wa-dhihah al-Jaliyyah fi 'Irdh Inkar al-Albani fi al-Aqidah ala Ibn Taymiyyah". Di dalamnya, saya ketengahkan beberapa masalah ideologis (aqa'idiyyah) dalam tauhid yang saya ketahui, yang diperselisihkan di antara Ibn Taymiyyah dan al-Albani, pada khususnya, dan sejawat-sejawat mereka yang lain, pada umumnya. Selain itu, di situ saya ketengahkan beberapa masalah furu' yang diperselisihkan di antara orang-orang yang telah kami sebutkan tadi. Latar belakang ditulisnya buku ini adalah, saya bertemu dengan seorang pemuda penganut Al-Albani. Ia bertanya kepada saya, "Mengapa Anda bersilang pendapat dengan Imam Ibn Taymiyyah dalam beberapa masalah akidah, dan Anda mencelanya?" Saya jawab, "Pertanyaan ini mestinya ditujukan kepada gurumu, al-Albani, sebelum ditujukan kepada-ku, karena dia juga termasuk orang-orang yang mencela dan menolak beberapa keyakinan Ibn Taymiyyah dalam banyak masalah. Barangkali, kalau seseorang mengumpulkannya, niscaya terkumpul lebih dari 200 masalah." Orang itu berkata, "Apakah masuk akal? Bisakah saya mengetahuinya?" Saya katakan kepadanya, "Saya akan menulis sebuah risalah untukmu tentang sebagiannya. Lalu saya akan mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu, atas izin Allah SWT, untuk mengumpulkan seluruhnya dan menuliskannya dalam sebuah buku besar. Dalam buku itu, saya akan mengetengahkan masalah-maalah akidah yang diperselisihkan di antara orang-orang seperti Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim, asy-Syaukani dan orang-orang yang bertaklid kepada mereka atau yang cenderung kepada mereka seperti al-Albani dan beberapa orang yang mengaku salaf. Semoga Allah SWT memberi mereka petunjuk kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Maka, saya memulai risalah yang ringkas ini. Semoga Allah SWT memberikan taufik-Nya.

Orang-orang Wahabi melancarkan serangan yang bertubi-tubi terhadap kaum sufi. Namun rata-rata kritik mereka itu berangkat dari rasa fanatik yang tergesa-gesa, tanpa pertimbangan dalil yang matang. Baru-baru ini mereka menulis buku khusus untuk menghujat pandangan sufistik Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki serta Habib Umar bin Hafid, ulama dan tokoh sufi masyhur dari Makkah dan Hadramaut yang memiliki banyak pengikut dan murid yang tersebar di berbagai penjuru nusantara. Oleh karena reputasi keduanya sangat harum dan pengaruhnya cukup besar di Indonesia, kaum Wahabi berusaha merusak citra keduanya dengan menyebarkan buku yang isinya menghujat pribadi keduanya secara ideologis bahwa beliau terjerumus dalam lumpur bid’ah dan kesyirikan. Namun sebagaimana umumnya kritik mereka terhadap alamiyah falsafawiyah tassawuf hal itu dapat dimentahkan dengan lumayan mudah. Buku ini kiranya cukup sebagai jawaban atas tuduhan mereka itu.

Friday, June 21, 2013

Malam Nisfu Sya'ban

Assalamualaikum..

Malam nisfu Sya'ban adalah salah satu malam yang sangat berkah dalam kehidupan umat muslim.Imam Syafii rahimahullah berkata : "Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya'ban" (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).
Banyak kelompok yang mempertanyakan keabsahan ibadah di malam Nisfu Sya'ban ini. untuk itu sy tuliskan beberapa dalil tentang keutamaan malam nisfu sya'ban sebagai berikut:

Sabda Rasulullah saw : "Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya'ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin" (Shahih Ibn Hibban hadits no.5755)

Dalam Riwayat lain berkata Aisyah ra : disuatu malam aku kehilangan Rasul saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi', beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda : "Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya'ban dan mengampuni dosa dosa hamba Nya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing dan domba" (Musnad Imam Ahmad hadits no.24825)

Diriwayatkan dari Siti A’isyah ra berkata, :”“Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi) .

Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah pada malam nishfu Sya’ban mengawasi seluruh mahluk-Nya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan.” (HR Ibnu Majah)

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib KW bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika malam nishfu Sya’ban tiba, maka salatlah di malam hari, dan berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya pada malam itu, setelah matahari terbenam, Allah turun ke langit dunia dan berkata, Adakah yang beristighfar kepada Ku, lalu Aku mengampuninya, Adakah yang memohon rezeki, lalu Aku memberinya rezeki , adakah yang tertimpa bala’, lalu Aku menyelamatkannya, demikian seterusnya hingga terbitnya fajar.” (HR Ibnu Majah).

Demikian beberapa hadits diatas,Kita memahami banyak pendapat yang bertentangan dalam memahami malam nisfu sya'ban ini, namun demikian kita harus terus menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan cara memperbanyak ibadah, shalat sunnah, zikir, shalawat, membaca al-Qur’an, dan ibadah sunah lainnya.

Semoba Allah terus meridhoi semua amal kita.. Amin

Saturday, June 15, 2013

Barokah Bisa Dirasa Tidak Bisa Diraba

www.habiblutfiyahya.net

Barokah berasal dari bahasa Arab baaroka بارك يبارك مباركا ومباركتا, yang secara bahasa (etimologi) berarti semakin bertambahnya kebaikan atau manfa’at (ziyadatu al-khoiri awi al-naf’i). menurut kamus al-Muhith, barokah berawal dari arti kata bergerak, tumbuh;berkembang; dan bahagia. Dari sini, para ulama kemudian mendefinisikan barokah sebagai “bertambahnya manfa’at dan kebaikan dalam setiap hal yang kita lakukan waktu demi waktu”. Ada juga yang mengartikan barokah sebagai kebaikan belimpah yang diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Barokah juga dapat diartikan sebagai kepeka’an untuk selalu bersikap baik dan benar.

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, barokah adalah semakin dekatnya kita kepada Allah. Pengertian ini amat dipegang teguh oleh ulama terutama di Indonesia. Jika ada seseorang berkata “Semoga Allah memberkatimu” maka yang dimaksud adalah semoga Allah selalu mendatangkan kebaikan dan manfa’at bagianda sehingga anda semakin dekat kepadaNya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), barokah atau berkah diartikan sebaagai : “Karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia, atau doa restu dan pengaruh baik yang mendatangkan selamat serta bahagia dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat), seperti berbakti kepada guru, orang tua, atau pemuka agama”.

Sedangkan dalam kitab Riyadlus Shalihin dijelaskan, bahwa barokah adalah : “Sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama, ziyadat al-khair ‘ala al-ghair.” Pengertian ini sangat umum dan fleksibel, tergantung penafsiran kita dan konteks yang dihadapi. Bila dikaitkan dengan ilmu dan guru, maka yang dimaksud adalah bertambahnya ilmu disertai doa restu guru dan pengaruh baik serta kebahagia’an yang datang setelah kita belajar. Jika dikaitkan dengan harta, maka yang dimaksud ialah harta yang menyebabakan seseorang yang mempergunakanya memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa, sehingga mampu mendorong berbuat kebaikan kepada sesama.

Sedangkan menurut Prof. Shobah Ali Al-Bayati seorang cendekiawan Muslim Irak, mengartikan barokah sebagai “energi positif” yang luar biasa dahsyatnya, yang terpancar ketika seseorang berhubungan dengan sesuatu, tentunya atas izin Allah SWT. Wujud dari Barokah

Habib Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya memiliki tamsil yang cukup menarik tentang barokah. Menurut beliau, barokah itu seperti garam. Garam adalah bumbu masakyang pengguna’anya hanya sedikit diantara bumbu-bumbu yang lain. Meski sedikit, bumbu tersebut sangat bermanfa’at dan sangat dibutuhkan. Sebab, masakan tanpa garam rasanya pasti hambar. Begitupun hidup kita, akan terasa hambar tanpa unsur-unsur barokah. Artinya, sesuatu yang barokah ialah segala hal yang membuahkan kebaikan dan manfa’at bagi diri kita, agama kita, dan seterusnya. Semakin bertambahnya kebaikan dan manfa’at bias berbentuk ibadah yang semakin rajin, bergunanya ilmu yang dimiliki, datangnya rizki yang halal, bertambahnya kesabaran, semakin baiknya perilaku dan ucapan, semakin kuatnya iman dan Islam, dan segala bentuk kebaikan dan manfa’at yang tak terhitunh jumlahnya. Mnafa’at dari barokah memang tidak bisa dirasakan seketika dan secara kasat mata. Ia bisa dirasa tapi tidak bisa diraba.

Ketenangan, kedamaian, ketentraman, ketabahan, ketegaran, dan keberhasilan hidup adalh sesuatu yang selalu menyertai hidup yang berbarokah. Tapi perlu dicatat, kehidupan yang disetai barokah bukan berarti tanpa masakah. Problematika hidup pasti selalu ada menyertai kehidupan manusia. Banyaknya masalah bukan berarti hidup tak barokah. Coba liat bagaimana kehidupan Rasulullah dan para sahabat. Masalah-masalah yang mereka hadapi tidaklah kalah banyak, atau bahkan jauh labuh banyak dan jauh lebuh berat, dari pada yang kita hadapi sekarang. Namun mereka bias menghadapinya secara dewasa, tegar, sabar, tenang, dan tawakkal. Semua ujian dan coba’an dijadikan sarana pembelajarasn mental agar tumbuh lebih matangdan lebih dewasa. Buktinya, setelah ujian itu berlalu, Nabi dan para sahabat bias hidup sukses dunia akhirat, sehingga manfa’at perjuangan mereka dapat kita rasakan hingga sa’at ini. Itulah hidup yang berbarokah.

Kepercaya’an akan adanya unsur barokah alam setiap hal, akan mendorong seseorang untuk selalu berbuat dan berperilaku baik, meskipun tampaknya tidak menguntungkan secara materiil. Keyakinan itu juga akan menjadikanya menghindar dari perbuatan jahat, meskipun perbuatan itu secara lahir menguntungkan. Sikap inilah yang dipraktehhan Rasulullah, para sahabat, dan para tabi’in di masa awal Islam. Jadi, barokah berfungsi memberi “ruh” atau esensi pada semua perbuatan manusia. Karna itu, ada dan tidaknya barokah sangat tergantug pada benar dan tidaknya perilaku kita.Semakin baik perilaku kita, berarti semakin banyak barokah didalamnya. Begitu juga sebaliknya. Intinya, barokah menentukan keberhasilan yang hakiki dari sebuah pekerja’an, bauk terjadi seketika atau dalam waktu yang lama. Inilah kadang yang sering disalah mengerti oleh kalangan rasionalis, yang selalu mengukur segala sesuatu dengan materi atau hal-hal yang bersifat fisik saja. Padahal dalam kehidupan ini, banyak hal yang bersidat non fisik yang sebenarnya menjadi esensi dari segala sesuatu. Itulkah yang disebut nilai. Nilai, arti, manfa’at, atau makna, adalah sesuatu yang bersiafat abstrak.

Nilai-nilai yang abstrak itulah yang disebut barokah. Kebaikan, kejujuran, kemnfa’atan, keta’atan bahkan pahala, adalah buah dari barokah. Semakin barokah kehidupan seseorang semakin baik pula perilkunya, semkain jujur ucapanya, semakin bermanfa’at perbuatanya, semakin ta’at kehidupan sepiritualitasnya, semakin besar pahala yang diperolehnya, sehiongga semakin mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Inilah fungsi utama barokah, sebagamana dimaksudkan oluh Ibnu Qayim al-Jauziyah. Kesimpulan Barokah meliputi semua spektrum kehidupan manusia. Ia adlah karunia yang abstrak, dapat dirasa tapi tidak dapat diraba. Ia adalah pertumbuhan dan peningkatan kualitratif yang tidak bias dikalkulasi dengan hitungan matematis, apalgi diukur dengan materi (uang, kekaya’an, jabatan, dll.). Barokah juga dapat diperoleh kapn dan dimana saja. Segala sesuatu dilangit dan di bumi yang mengandung hikmah dan kebaikan pasti berbarokah. Seluruh jagat raya adalah ayat-ayat Allah yang penuh dengan berkah. Tergantung manusia bagaimana memanfa’atkanya.WaAllahu a’alam bi al-Showab….! M.Z. 2103

Saturday, June 8, 2013

Madrasah Hadhramaut : Fase-fase Takabbur

majalah-alkisah

Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi....”

Hati tidaklah diciptakan untuk bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Benar, makanan dan minuman dapat dinikmati oleh mulut, pe­mandangan yang indah dapat pula di­nikmati oleh matamu, demikian pula se­gala sesuatu yang dibolehkan untuk di­nikmati oleh nafsumu dan semua anggota tubuh yang berkaitan dengannya ber­da­sarkan bentuk-bentuk kenikmatannya ma­sing-masing. Akan tetapi, tidaklah pa­tut bagi hati untuk memiliki ketergantung­an terhadap kesenangan-kesenangan dunia itu. Sesungguhnya cinta terhadap dunia adalah pangkal setiap kesalahan.

Karenanya, tampillah terhadap hati­mu untuk mengobati masalah ini, yakni hubbud dunya (cinta dunia). Dan untuk mengobati masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah melepaskan diri dari masalah ini. Yakni bagaimana kita memahami maksiat-maksiat hati dan ba­gaimana membersihkannya dari segala bentuk maksiat. Fondasinya, kubahnya, ataupun juga atapnya.

Setiap bentuk kemaksiatan hati me­miliki kaitan erat dengan hubbud dunya, cinta kepada dunia. Dan cinta kepada du­nia memiliki beberapa unsur. Di antara un­sur-unsur cinta dunia itu adalah takab­bur, hasud, dan riya’. Itulah sebabnya, eng­kau membutuhkan cara untuk menyi­kapi semua unsur tersebut agar dapat melepaskan hatimu dari semua unsur itu sehingga hatimu dapat selamat dari cinta kepada dunia.

Selain itu, tampillah terhadap hatimu untuk membersihkannya dengan meng­hindarkan hatimu dari berburuk sangka ke­pada manusia, merendahkan mereka, atau merasa lebih mulia dari mereka.

Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, se­bagai wujud kasih sayang terhadap me­reka. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Maha­suci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”

Para ulama menyebut hadits ini al-musalsal bil awwaliyah. Apa yang dimak­sud dengan musalsal bil awwaliyah?

Musalsal bil awwaliyah maknanya adalah setiap hadits yang diterima dari gurunya dengan mengucapkan, “Guruku, Fulan, mengatakan kepadaku dan per­tama kali yang aku dengar darinya adalah hadits ini....”

Mengapa pertama kali yang disam­paikan dan diperdengarkan adalah sabda Nabi SAW, “Orang-orang yang penuh cin­ta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”?

Para ulama mengatakan, karena awal mula seorang penuntut ilmu mende­ngarkan ilmu dalam hadits Nabi SAW berupa hadits rahmat merupakan per­mulaan yang memberikan kesiapan awal yang benar bagi mereka di dalam mema­hami makna-makna bagaimana bersikap dengan ilmu. Kesiapan itu akan menjadi­kan para penuntut ilmu semakin bertam­bah sifat rahmatnya terhadap makhluk setiap kali bertambah ilmunya, sehingga bertambah pula kedekatannya kepada Allah SWT.

Jika kita datangi satu per satu pe­nyakit-penyakit hati, kita akan mendapati bahwa yang paling berbahaya, paling da­lam, paling sulit dikenali, paling berat, dan yang paling sulit untuk dihadapi dari pe­nyakit-penyakit hati, adalah tiga penyakit itu. Yakni takabbur, hasud, dan riya’. Ke­tiga penyakit ini adalah penyakit hati dan tempatnya pun di dalam hati, yang selan­jutnya diterjemahkan dalam berbagai ben­tuk tindakan, baik berupa perbuatan maupun ucapan. Maksiat pertama dari maksiat-mak­siat hati adalah takabbur, sombong. Pe­nyakit ini asal mulanya adalah penyakit yang sangat halus bernama ujub.

Apa itu ujub? Ujub adalah pengakuan dan penisbahan atas kelebihan yang dimiliki kepada diri sendiri bukan kepada taufiq Allah SWT.

Engkau sukses dalam satu pekerja­an, misalnya, lalu engkau katakan, “Ini karena kebrilianan dan strategi yang aku terapkan. Ini hasil jerih payahku.”

Wahai saudaraku, banyak orang yang juga memiliki strategi dan kemampuan yang lebih hebat dari apa yang engkau lakukan. Akan tetapi mereka tidak sukses seperti dirimu. Apakah yang membeda­kan antara mereka dan dirimu?

Ia berkata, “Bisa saja situasi dan kon­disinya.”

Lalu siapakah yang mengatur segala kondisi dan keadaan? Bukankah semua­nya di bawah pengaturan Allah SWT?

Bila seseorang melihat dirinya memi­liki kemampuan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, mi­salnya, dari manakah kemampuan itu ber­asal?

Ia berkata, “Aku berusaha dan bersu­sah payah serta dengan jerih payahku men­datangi guru-guru.”

Benar. Akan tetapi siapa yang mem­berimu taufiq untuk dapat melakukan se­mua itu? Allah SWT!

Bila engkau mampu untuk meng­him­pun satu kadar tertentu dari harta, yang di­pan­dang bernilai dalam pandangan manusia, dan engkau infakkan di jalan kebaikan, memang benar engkaulah yang mengeluarkan semua itu. Akan te­tapi siapa yang memberimu ilham untuk melakukan hal itu? Tidak lain adalah Allah SWT!

Menisbahkan kelebihan dan keuta­maan yang dimiliki kepada diri sendiri, itu­lah yang disebut ujub. Yakni kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Dan ujub itulah asal mula penyakit takabbur yang berada dalam diri manusia.

Bila dalam diri seseorang terdapat ujub, akan muncullah takabbur. Pohon ta­kabbur itu pun akan tumbuh subur di da­lam hatinya.

Ketahuilah, sesungguhnya takabbur memiliki dua sisi. Sisi bathin dan sisi lahir. Dan sisi bathin takabbur adalah pengaku­an terhadap kelebihan diri sendiri atas orang lain.

Apa maknanya?

Maknanya, “Aku melihat diriku lebih mulia dari orang lain. Aku lebih utama dari orang lain. Aku lebih baik dari orang lain.” Inilah yang dikatakan oleh Iblis. Ia ber­kata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Aku lebih baik darinya. Eng­kau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” — QS Al-A`raf (7): 12.

Apakah sesuatu yang telah membuat Iblis menjadi hina. Sesuatu itu adalah ucapan “Aku lebih baik darinya.” Yakni Iblis memandang dirinya lebih mulia dan lebih utama dari makhluk Allah lainnya.

Apa yang kemudian dilahirkan dari pengakuan terhadap keutamaan diri sendiri terhadap orang lain? Pengakuan itu akan melahirkan perasaan merasa lebih tinggi dan lebih mulia dari orang lain.

Mahkota para Malaikat...

Takabbur pada awalnya yang muncul hanyalah sebatas perasaan yang ada di dalam hati. Namun selanjutnya perasaan itu akan berubah menjadi sikap dan tin­dakan. Inilah fase-fase takabbur. Dan berikut adalah penjelasan tentang fase-fase tersebut:

Pertama, dalam hati. Takabbur ber­mula dalam diri seseorang dengan me­rasa kagum terhadap dirinya. Ia menis­bah­kan kelebihan dan keistimewaan yang dimilikinya kepada dirinya sendiri, tidak kepada Allah SWT. Selanjutnya ia mem­banding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan melihat dirinya lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan selain­nya.

Keadaan hati semacam itu akan terus berada dalam kekacauan, karena ia tidak menisbahkannya kepada karunia Allah SWT.

Ia akan terus membanding-banding­kan. “Aku adalah ini... aku adalah anu.... Dia hanya.... Mereka pun hanya... mereka lebih rendah dariku!”

Ia melihat dirinya lebih utama dari orang lain. Namun semua itu masih ber­ada dalam batasan hati. Masih berupa lintasan-lintasan yang berada dalam hati. Apa yang kemudian ditimbulkan dari kon­disi semacam itu?

Kedua, tindakan. Misalnya, berjalan di hadapan orang lain tapi tidak menyapa atau memberi salam kepada mereka. Ia menunggu sampai mereka yang terlebih dahulu menyapanya atau mengucapkan salam kepadanya.

Kondisi hati itu telah berubah menjadi tin­dakan dalam tingkah laku. Ia meman­dang orang lain dengan pandangan hina dan merendahkan, bergaul dengan orang lain dengan pergaulan yang kering tanpa kehangatan, dan menolak untuk mene­rima kebenaran dari orang lain bila me­reka menasihatinya.

Apa yang selanjutnya dilahirkan dari tindakan-tindakan ini?

Iblis pada awalnya adalah ahli ibadah. Ia termasuk hamba Allah yang sungguh-sungguh menjalankan berbagai bentuk ibadah, sampai-sampai dikatakan bahwa tidaklah terdapat satu jengkal tanah pun di muka bumi ini kecuali ditemukan bekas sujud Iblis, sujudnya kepada Allah SWT.

Hanya saja perbuatan itu baru berupa amal­an lahir, yang tidak disertai dengan penyucian hati. Sehingga, setiap kali su­jud, setiap kali itu pula ia merasakan per­buatannya sebagai jerih payah dirinya semata.

“Aku telah mengeluarkan ini untuk-Mu, wahai Tuhan! Aku sudah sujud ke­pada-Mu, wahai Rabb! Aku melakukan ini! Aku... aku... dan aku...!”

Permasalahan sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Permasalahan itu kembali kepada dirinya sendiri. Setelah itu me­ngarah kepada memandang yang lain lebih hina dan lebih rendah dari dirinya.

“Wahai Tuhanku, aku telah sujud ke­pada-Mu dan aku sudah berbuat ini dan itu untuk-Mu....”

Muncul sesuatu di dalam hatinya.

Karena ibadahnya, Iblis semakin ting­gi derajatnya dan masuk ke dalam go­longan para malaikat muqarrabin.

Setelah mendapatkan kedudukan itu, ia pun mulai membanding-bandingkan ke­adaan dirinya dengan keadaan para muqarrabin lainnya. “Aku beribadah lebih banyak diban­ding­kan mereka....”

Iblis semakin berusaha keras mencari ketinggian derajat dalam ibadahnya ke­pada Allah, terus... terus, dan terus... hing­ga sampai kepada derajat menjadi peng­hulu para muqarrabin. Ia dijuluki Thawus al-Malaikah (Mahkota para Malaikat).

Mahasuci Allah, sampai batasan ini muncul masalah di dalam hatinya. Ia me­nisbahkan ibadahnya kepada dirinya sen­diri dan tidak kepada Allah SWT. Ia ter­ja­tuh ke dalam ujub dan mulai memban­ding-bandingkan keadaan dirinya dengan yang lain.

“Aku penghulu sekalian muqarrabin... aku mahkota para malaikat.”

Bahaya Takabur

Seseorang yang menempatkan dirinya di atas kesombongan dan berdiam diri serta menganggap perkara ini sesuatu yang sepele, sesungguhnya bahaya yang pertama baginya adalah bahwa ia telah mempertunjukkan dirinya untuk melakukan perang terhadap Allah SWT.

Imam As-Suyuthi mengeluarkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih, Allah SWT berfirman, “Kesombongan adalah pakaian kebesaran-Ku. Barang siapa mengambil pakaian kebesaran itu dari-Ku, niscaya Aku binasakan.”

Apakah engkau melihat ada satu bahaya yang lebih besar dari ini?

Seseorang yang menempatkan diri­nya di atas kesombongan dan berdiam diri serta menganggap perkara ini se­suatu yang sepele, sesungguhnya ba­haya yang pertama baginya adalah bah­wa ia telah mempertunjukkan dirinya un­tuk melakukan perang terhadap Allah SWT. Apa sebab ia dikatakan telah me­nabuh genderang peperangan terhadap Allah SWT? Karena perbuatan tersebut merupakan puncak dari permusuhan yang sesungguhnya.

Mengapa dikatakan permusuhan? Karena engkau menyatakan sesuatu yang bukan milikmu. Engkau merebut hak Allah SWT di dalam sifat-sifat-Nya, karena hanya milik-Nya-lah segala ben­tuk kesombongan dan kebesaran.

Kata al-kibriya’ diambil dari kata akbar, sesuatu yang paling besar. Dia-lah Yang Mahabesar. Ini berarti engkau menantang Yang Mahabesar SWT. Di dalam shalat engkau ucapkan, “Allah Maha­besar.” Lalu bagaimana mungkin eng­kau merasa besar dan menyom­bong­kan diri? Sungguh ini sesuatu yang sangat berbahaya.

Para ulama mengatakan, sesung­guhnya Allah SWT memiliki sifat Jala­liyah (Keagungan), Kamaliyah (Kesem­purnaan), dan sifat Jamaliyah (Keindah­an). Dan ibadah kita kepada Allah SWT adalah bahwa di hadapan sifat keagung­an-Nya kita harus berbuat dengan apa-apa yang menjadi lawanannya.

Allah memiliki sifat kesombongan, apa yang semestinya kita miliki? Yang mesti kita miliki adalah kerendahan hati (at-tawadhu‘).

Allah memiliki sifat ketinggian dan ke­muliaan, apa yang seharusnya kita mi­liki? Kita semestinya memiliki sifat me­rendahkan diri dan merasa hina.

Allah memiliki sifat Mahakaya, kita semestinya memiliki sifat faqir dan ter­amat bergantung. Bagi Allah kemaha­kuasaan, bagi kita adalah kelemahan.

Bila Allah SWT memadang kepada­mu sedangkan engkau berakhlaq de­ngan akhlaq yang patut dan semestinya untukmu, yakni berakhlaq dengan akh­laq yang menjadi kebalikan dari sifat-sifat keagungan dan akhlaq-akhlaq ketuhan­an, niscaya Allah pun akan ridha ke­pada­mu.

Adapun sifat-sifat kemahaindahan ketuhanan Allah SWT, kita mengikutinya dan berakhlaq dengan sifat-sifat ke­maha­indahan-Nya tersebut. Allah bersi­fat Maha Pengasih, jadilah engkau se­orang pengasih. Allah Maha Dermawan, jadilah engkau seorang dermawan. Allah Mahabijaksana, jadilah engkau seorang yang bijaksana. Sifat-sifat ini keseluruh­annya adalah sifat-sifat yang disukai Allah untuk ditiru dan diikuti.

Di sana terdapat sifat-sifat kesem­pur­naan Allah SWT. Apabila engkau te­lah dapat mewujudkan kebalikan dari si­fat-sifat keagungan-Nya, kesombongan dengan kerendahan hati, kebesaran dan ke­muliaan dengan kerendahan diri, ke­mahakayaan dengan kefaqiran dan ter­amat butuh terhadap Allah SWT, dan engkau pun telah pula mewujudkan sifat-sifat keindahan Allah SWT dalam dirimu, Allah bersifat Maha Pengasih, engkau menjadi seorang pengasih, Allah Maha Dermawan, engkau menjadi seorang der­mawan, Allah Mahabijaksana, eng­kau menjadi seorang yang bijak... Allah SWT akan bertajalli terhadap dirimu dengan sifat-sifat kemahasempurnaan-Nya.

Engkau lemah, Allah akan memberi­kan kekuatan kepada-Mu dari kekuatan-Nya, Allah akan memberikan ketegaran dari kekuatan-Nya. Engkau bodoh, Allah akan memberikan pengetahuan dan hik­mah dari ilmu dan hikmah-Nya. “Dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” — QS Al-Kahfi (18): 65. Allah SWT memberikan ilmu kepadamu, ka­rena engkau telah melakukan muama­lah yang baik dengan asma-asma Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.

Hamba yang sombong adalah sebab dari kerusakan yang terjadi di atas muka bumi ini. Bagaimana mungkin engkau berjalan menuju Allah SWT sedangkan engkau berbuat kerusakan di atas muka bumi, yang Allah amanahkan kepadamu agar engkau menjadi khalifah Allah di atasnya?

“Sesungguhnya Aku hendak men­jadi­kan khalifah di muka bumi.” — QS Al-Baqarah (2): 30.

Peliharalah bumi ini, dan jangan me­rusaknya.

Apa maknanya?

Sesungguhnya sebagian besar dari segala kesulitan yang ada di muka bumi ini sumbernya adalah dari kesombongan (al-kibr). Segala apa yang engkau lihat dan saksikan dari berbagai pertumpahan darah, perampasan hak orang lain, dan tindakan anarkis, penipuan, suap-me­nyuap, pencurian, pemutusan silatu­ra­him, kebencian dan tidak saling menya­pa, dan sebagainya, awalnya tidak lain adalah tunduknya jiwa terhadap kesom­bongan.

Dalam hal ini berarti kita sedang ber­bicara tentang sesuatu yang berkaitan de­ngan bagaimana menyelesaikan ber­bagai masalah yang melingkupi kita di dunia ini.

Akan tetapi dari manakah dimulainya jalan keluar dari berbagai masalah yang ada di dunia ini?

Jalan keluar dari semua masalah itu sesungguhnya tidaklah dapat dimulai dengan seseorang di antara kita mem­bu­sungkan dadanya, menghentakkan na­pasnya, dan memandang bahwa hanya dirinyalah orang shalih yang akan membenahi bumi ini dari kerusakan, se­kalipun itu dengan nama Islam. Melain­kan hal itu dimulai dengan kembalinya setiap manusia kepada hatinya untuk membersihkannya dari segala penyakit yang ada di dalamnya.

Mengobati Penyakit Takabur

Ada dua cara mengobati penyakit takabur, yaitu ilmu dan amal. Pertama, ilmu. Yakni hendaklah eng­kau mengetahui siapa dirimu? Coba ingat­lah, renungkanlah, baca, pelajari, dan cari tahu siapa dirimu sesungguh­nya? Awalmu adalah setetes air mani dan akhirmu adalah bangkai yang kotor dan di antara keduanya itu engkau mem­bawa kotoran.

Apa sesungguhnya dirimu? Dari apa engkau diciptakan? Dan apa kelak akhir dari dirimu? Engkau adalah si lemah yang teramat rapuh hanya oleh lapar dan letih yang menderamu!

Imam Ali bin Abi Thalib RA pernah ber­kata, “Sungguh aku heran terhadap orang yang berlaku sombong padahal ia hanyalah si lemah yang bau tak sedap karena keringatnya, dapat terbunuh bila mencuri, dan tak dapat tidur hanya ka­rena kuman kecil yang menggerogoti tu­buhnya.”

Hakikatnya memang engkau adalah makhluk yang lemah, yang tiada ber­daya. Akan tetapi kekuatan akan datang kepadamu dengan penyandaranmu ke­pada Allah SWT.

Bila engkau telah memahami per­kara ini dan kemudian ilmu ini telah ber­ubah menjadi sesuatu yang mengkristal di dalam dirimu, ia membutuhkan se­suatu yang lain di sampingnya, yakni obat yang kedua bagi takabur, yaitu amal perbuatan.

Maka, cara mengobati penyakit ta­kabur yang kedua adalah amal perbuat­an. Dalam hal ini ada dua perkara yang hendaknya dilakukan.

Pertama, hauslah akan perbuatan-perbuatan yang dapat menumbuhkan sifat tawadhu‘, sifat rendah hati. Untuk berbuat lebih dulu dalam perbuatan-per­buatan itu. Setiap kali engkau berjumpa dengan siapa pun, lakukanlah lebih da­hulu untuk menyapa mereka. Ucapkan­lah salam kepadanya, dan jabatlah ta­ngannya, siapa pun orangnya, kecil atau­pun besar, teman, atau bahkan musuh.

Engkau yang harus terlebih dahulu memulainya. Jangan biarkan bisikan-bisikan nafsumu mendiktemu.

Wahai murid pencari ridha Allah, hati-hatilah! Jangan sampai nafsumu me­nertawakanmu dan berkata kepada­mu, “Lakukanlah sesuatu dari sifat ke­sombongan, karena kesombongan ada­lah keutamaan!” Tinggalkan bisikan itu. Mulailah terlebih dahulu untuk meng­ucapkan salam dan berjabat tangan kepada siapa pun yang engkau jumpai.

Kedua, bersegeralah untuk melaku­kan perbuatan-perbuatan yang memiliki keutamaan dan dapat mengalahkan nafsu.

Engkau masuk ke dalam masjid, mi­salnya, dan engkau dapati ada sesuatu yang kotor di dalamnya, ambil dan ber­sihkanlah. Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‘rawi adalah salah seorang pem­besar ulama ahli hati. Di waktu-wak­tu tertentu beliau tidak terlihat di kediam­annya. Murid-murid beliau pun mencari­nya ke sana-kemari dan tidak menemu­kannya. Ternyata beliau sedang berada di dalam WC masjid. Beliau menutup pintu WC dan membersihkan kotoran-kotorang yang ada di kloset dan sekitar­nya.

Ketika orang-orang dekatnya berta­nya kepada beliau tentang hal itu, beliau menjawab, “Aku takut terhadap takabur atas diriku... aku takut kalau-kalau aku merasa ujub atas diriku... di saat orang-orang memanggilku, ‘Syaikh Sya`rawi... Syaikh Sya`rawi... ’, insan televisi, men­teri, para pembantu, sanak keluargaku, dan semua kepercayaan orang terha­dapku. Aku takut semua itu menjadi ru­sak. Karenanya aku bermaksud meng­ingatkan diriku dengan sesuatu dari pe­kerjaanku ini.”

Itulah sebabnya, engkau akan men­da­pati bahwa, bagi orang yang hatinya telah takluk oleh sifat takabur, sulit bagi­nya untuk menerima hal semacam ini. Jika engkau katakan kepadanya “Bang­kitlah dan bersihkan kotoran itu”, ia akan berkata, “Apa urusanku dengan kotoran ini? Engkau ingin aku membersihkan­nya?”

Mari kita mengingat riwayat tentang Uwis Al-Qarni – semoga Allah merah­matinya. Suatu hari ia mengumpulkan sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah, mengaisnya dan member­sih­kannya. Setelah itu makanan-makanan itu ia bagi-bagikan kepada para faqir miskin yang sangat membutuhkan, yang tidak menemukan makanan di hari itu. Dan dalam munajatnya, ia selalu ber­kata, “Ya Allah, janganlah Engkau adzab diriku karena orang-orang yang tidur da­lam keadaan lapar dari umat Nabi Muhammad.”

Dengarlah, wahai saudara-saudara­ku pengusaha, yang dikaruniai harta yang berlimpah. Beliau yang tiada ber­harta dan tidak pula memiliki makanan ini telah mengais sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah, membersih­kan­nya, dan membagi-bagikannya kepada orang-orang faqir yang membutuhkan dan berkata dalam munajatnya, “Ya Allah, janganlah Engkau adzab diriku karena orang-orang yang tidur dalam ke­adaan lapar dari umat Nabi Muham­mad.”

Suatu hari seekor anjing yang tengah lapar mendekati Uwis Al-Qarni yang tengah mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah dan menggonggong di hadapannya karena merasa terganggu terhadap kehadiran Uwis di tempat itu. Uwis pun berkata kepada anjing itu, “Wahai anjing, janganlah engkau me­nya­kitiku, karena aku pun tidak akan me­nyakitimu. Aku hanya mengambil yang layak untukku dan engkau pun meng­ambil yang layak untukmu. Jika kelak aku dapat melewati shirath dan masuk ke dalam surga, sungguh keadaanku le­bih baik darimu. Namun jika aku terge­lincir dari shirath dan jatuh ke dalam ne­raka, sungguh engkau lebih baik dariku.”

Benar, di hari Kiamat nanti anjing akan kembali menjadi debu. Dan sese­orang dari kita – nauzhu billahi min dzalik – bila masuk ke dalam neraka, apa yang dapat berguna baginya? Maka sungguh anjing lebih baik baginya.

Kisah ini tidaklah dimaksudkan agar engkau memberi makan orang-orang faqir dari tempat sampah. Sama sekali tidak! Melainkan yang kami inginkan adalah agar sifat takabur yang ada di dalam hati kita keluar dan pergi. Kita hendak mengobati penyakit-penyakit yang ada di dalam hati kita.

Hendaklah kita haus untuk melaku­kan perbuatan-perbuatan itu. Dan di an­tara perbuatan-perbuatan tersebut ada­lah berkhidmah kepada para faqir mis­kin. Carilah anak yatim piatu, orang-orang faqir, atau mereka yang telah jom­po. Bantulah untuk mencucikan pakaian mereka atau membantu menuntun me­reka masuk ke kamar mandi untuk mem­bantu mereka mandi, karena dalam se­tiap pekerjaan ini terdapat makna meng­alahkan sifat takabur dalam jiwa. Berat memang terasa bagi nafsu, akan tetapi padanya terdapat pengekangan bagi nafsu dan pendidikan terhadapnya.

Bila kedua langkah ini, ilmu dan amal, sudah dilakukan, mengobatinya haruslah disertai dengan kesungguhan doa kepada Allah SWT.

Sumber :www.majalah-alkisah.com