Showing posts with label Kisah Sufi. Show all posts
Showing posts with label Kisah Sufi. Show all posts

Thursday, November 19, 2015

Kisah Syeikh Abu Bakar Bin Salim

Suatu hari seorang wanita mendatangi rumah Al Imam Fakhrul Wujud Syeikh Abi Bakar bin Salim ra. Maksud kedatangan wanita itu adalah untuk memberikan semangkuk bubur gandum kepada Al Imam Fakhril Wujud. Wanita itu telah membuat bubur tersebut semalam suntuk, khusus untuk diberikan kepada Al Imam Fakhril Wujud. Ketika wanita itu sampai di depan pintu rumah Al Imam Fakhril Wujud, maka penjaga pintu berkata, “Ibu mau kemana?”, Wanita itu berkata, “Aku ingin menghadiahkan semangkuk bubur ini untuk Al Imam Syeikh Abi Bakar bin Salim.” Maka penjaga itu berkata, “Wahai ibu, lebih baik makanan ini anda sedekahkan saja kepada para fuqara, karena setiap hari di dapur Al Imam selalu dipenuhi dengan sembelihan kambing dan berbagai macam makanan yang dimasak setiap harinya.” Wanita itu pun merasa kecewa, namun menyadari apa yang telah dikatakan oleh penjaga itu, karena pastilah semangkuk bubur itu tidaklah ada artinya bagi Al Imam Fakhrul Wujud.
Ia pun kemudian pergi, meninggalkan rumah Al Imam Fakhril Wujud. Al Imam Fakhrul Wujud adalah seorang yang memiliki firasat yang sangat tajam. Saat itu Al Imam Fakhrul Wujud sedang duduk bersama para tamunya. Tiba-tiba saja beliau keluar dan berlari untuk mengejar wanita yang tadi mendatangi rumahnya, seraya memanggil, “Wahai ibu! Apa yang engkau bawa?” Penjaga pintu itu kaget dan terheran, karena baru pertama kali ini ia melihat Al Imam Fakhril Wujud berlari. Maka ibu itu berkata, “Wahai Imam, aku membawa semangkuk bubur ini, yang kubuat semalaman hanya untuk kuberikan kepadamu, namun penjagamu mengatakan bahwa semangkuk bubur ini, tidaklah berarti untukmu, karena di dapur rumahmu telah dipenuhi banyak sekali makanan yang lebih baik. Maka sebaiknya bubur ini kusedekahkan saja kepada fakir miskin.” Beliau berkata: “Wahai Ibu, maafkanlah penjaga pintu itu, karena ia tidak tau kesukaanku. Ketahuilah! Tidak ada hadiah yang lebih membuatku gembira, selain hadiah bubur darimu ini, semoga Allah membalas kebaikanmu.” Al Imam Syeikh Abi Bakar bin Salim pun menerima makanan itu dengan gembira lalu Beliau memberikan kepada wanita itu 1000 dinar. Wanita itupun berbunga-bunga hatinya, bukan karena uang 1000 dinar yang ia terima, tetapi karena Al Imam mau menerima hadiah darinya yang tidak seberapa tersebut. Al Imam Fakhril Wujud Syeikh Abi Bakar bin Salim kembali kepada penjaganya dan berkata: “Tahukah Engkau bahwa ibu itu telah bersusah payah membuatkan makanan ini untukku, walaupun hanya sedikit. Maka seperti itulah keadaanku di hadapan Allahu shubhânahu wa ta‘âlâ, yang mana aku telah beribadah semampuku namun tidak ada artinya di hadapan Allah, dan jika engkau mengusir ibu itu, bagaimana jika nantinya jika aku terusir dari rahmat Allah?”
MasyaAllah Tabarakallah, betapa banyak hikmah yang dapat kita petik. Usaha dan kesusah-payahan kita dalam beribadah dan ta’at kepada Allah SWT, tidak akan pernah sia-sia. Meskipun Allah SWT tidak butuh sama sekali dengan ibadah kita, namun ingatlah bahwa kita adalah hamba yang sangat butuh kepada Allah SWT dan Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Bersyukur, Allah SWT adalah Dzat Yang Tidak Suka Menyianyiakan amal ibadah hamba-Nya. Allahumma Sholli wa Sallim ‘ala Muhammad! ALLAHU AKBAR!!!
Sumber: Al Habib Muhsin Basyaiban On FB

Thursday, July 26, 2012

Imam As Syafi’i dan Para Sufi

Di beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.

Imam As Syafi’i juga menyatakan,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena prilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207) Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini,”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmah dan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka.” (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalanagn sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Dengan demikian, pernyataan yang menyebutkan bahwa Imam As Syafi’i membenci total para sufi tidak sesuai dengan data sejarah, juga tidak sesaui dengan pemahaman para ulama mu’tabar dalam memahami perkataan Imam As Syafi’i. Wallahu’alam…

Rujukan:
1. Manaqib Al Imam As Syafi’i, karya Al Baihaqi, t. As Sayyid Ahmad Shaqr, cet.Dar At Turats Kairo, th.1390 H.
2. Madarij As Salikin, karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cet. Al Mathba’ah As Sunnah Al Muhamadiyah, th. 1375 H.
3. Adab As Syafi’I wa Manaqibuhu, karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, th. 1424 H.

Sumber: almanar.wordpress.com

Wednesday, July 25, 2012

Dialog Sufi: Kisah Abu Bakar Digigit Ular

www.nu.or.id

Moh Yasir Alimi, PhD, mantan pengurus PCI NU Cabang Istimewa Australia dan New Zealand (2005-2009) berdialog tentang jalan kesufian dengan Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani. Sang syekh adalah khadim atau pelayan thariqat Naqsabandi Haqqani di Indonesia.

Syaikh Mustafa lahir di Jombang, 25 Januari 1947. Ia adalah ulama sufi Ahlusunnah Wal Jamaa’ah yang menempuh pendidikan di pesantren Darul ’Ulum Jombang, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Setelah itu, Mustafa, yang kini membimbing 90 zawiyyah thariqat Naqsabandiah Haqqani di Indonesia, melanjutkan studinya ke School of Oriental African Studies (SOAS) University of London, dan Studies Johann Wolfgang Goethe Universitat, Frankfurt Am Mainz, Jerman.

Sebelum mengabdikan 100 persen waktunya untuk dakwah, ia pernah menjadi peneliti di LP3ES,dosen STAN Jakarta, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia. Pernah juga ia bekerja di Kementerian Belia dan Sukan dan Kuala Lumpur HRDC Trainer Malaysia.

Tahun 1997, ia ditunjuk oleh Maulana Syaikh Nadzim Al Haqqani Ciprus dan Maulana Syaikh Hisyam Kabbani Ar Robbani USA sebagai The Representatif of The Naqsybandi Sufi Order Indonesia.

Sejak saat itu, Syaikh Mustafa melepaskan profesinya dan mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk dakwah berkeliling ke seluruh penjuru Indonesia membimbing umat agar mencintai Rasulullah.

Di bawah perintah dan bimbingan Maulana Syaikh Nadzim, metoda dakwah Syaikh Mustafa mengedepankan semangat mencintai Rasulullah SAW, perdamaian, toleransi, cinta, kasing sayang dan persaudaraan. Dialog Yasir dan sang Syaikh, ada yang ketemu langsung, adapula melalui sms, maka gaya bahasa bisa bermacam-macam, dari bahasa sms, percakapan dan bahasa gaul. Berikut ini bagian pertama dialo kesufia.

Syaikh, terangkan kepadaku apa hakekat thariqat?


Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk melebur ego, ke dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan arti fana missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja. Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya, sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang iklim saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah kesalehan; tentang pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur, tentang getar dalam hati kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain mutiara-mutiara Islam yang makin terasa hilang; maka temukanlah kembalimutiara itu melalui thariqat.

Bisa dijelaskan lagi Syaikh, tentang rasa cinta dan getar di dada itu?


Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang lalu, ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping dalam perjalanan menuju ke Madinah.

Sayidinia Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan "Penuh Adab yang Bersungguh", di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh), criticizing, bertanya pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa lewatTenggara?

Itu cermin apa, Syaihk?


Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam kehidupan kita sekarang yangmenjadi ruh dari reformasi, segala hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang.

Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan “percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al Amin,tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes dicintai.Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire', suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangatpenting untuk dijelaskan.




Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi.

Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur."

Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya. Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem.

Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar?


Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk. Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3. Barangkali sudah kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau tidak mau Rasulullah digigit ular.

Akhirnya kakinya dicatel (digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah.

Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh?


"Nangis Sampean?” tanya Rasulullah.

"Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular."

There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular.

" Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?"

Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau.

"Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan ‘Barang siapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga,” kata ular.

“Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu fi ainal mahabbah,” lanjut ular.

Apa kata Allah?


"Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah.

“Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu Engkau, Wahai Muhammad. "

Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh?


Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart.

Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.

Lihatlah kehidupan sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah". Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad.

Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang?

Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya yang enteng, kemudian dalam praktek bias jadi perilaku atau suasana hati yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu?

Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas, istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui thariqat. Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah, syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri.

Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bidah, perlu rumusan paradigm yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min kulli ma yukholiful azimah.

Jadi saat ini pun, kita semestinya senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar mendapatkan rahmat Allah.

Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadis Qudsi.

Hadits pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”.

Hadis Qudsi kedua. Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau:

“Siapa kamu?”
“Aku Iblis” tukas orang asing itu.
“Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah.
“Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”.
“Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi.
“Kamu,” jawab iblis tegas.
“Kenapa,” tanya Rasulullah.
“Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis.

Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh?

Yang mati kita, bukan Rasulullah.[]

Sumber: www.nu.or.id

Monday, February 20, 2012

Alam Semesta Adalah Guru Yang Bijak

Sebuah cerita penuh hikmah dari seorang sufi bernama Hasan. Tidak diketahui lebih jelas siapa Hasan yang dimaksud, tetapi semoga cerita ini bisa memberikan kita pemahaman untuk lebih memahami dan bertafakur akan lingkungan dan alam kita.

Tatkala seorang guru sufi besar Hasan, mendekati akhir masa hidupnya, seseorang bertanya kepadanya, “Hasan, siapakah gurumu?”

Dia menjawab, “Aku memiliki ribuan guru. Menyebut nama mereka satu-persatu akan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun dan sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Tetapi ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.

Pertama adalah seorang pencuri. Suatu saat aku tersesat di gurun pasir, dan ketika aku tiba di suatu desa, karena larut malam maka semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang melubangi dinding pada sebuah rumah. Aku bertanya kepadanya dimana aku bisa menginap dan dia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”

Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan! Dan setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.” Ketika dia telah kembali aku bertanya “apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.

Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan di akhir waktu tidak terjadi apapun, begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini. Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”

Guruku yang kedua adalah seekor anjing. Tatkala aku pergi ke sungai karena haus, seekor anjing mendekatiku dan ia juga kehausan. Pada saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada ajing lainnya disana “bayangannya sendiri”, dan ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh. Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi. Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.

Guruku yang ketiga adalah seorang anak kecil. Tatkala aku memasuki sebuah kota dan aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang liling yang menyala. Dia sedang menuju mesjid untuk meletakkan lilinnya disana.

“Sekedar bercanda”, kataku kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang menyalakan lilinnya?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana lilinnya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana lilinnya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada lilinnya?

Anak kecil itu tertawa, lalu menghembuskan lilinnya, dan berkata, “Sekarang tuan telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”

Egoku remuk, seluruh pengetahuanku remuk. Pada saat itu aku menyadari kebodohanku sendiri. Sejak saat itu aku letakkan seluruh ilmu pengetahuanku.

Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon. Seperti itulah aku belajar dari kehidupan. Aku tidak memiliki seorang guru karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber. Menjadi seorang murid adalah sebuah keharusan di jalan sufi. Apa maksud dari menjadi seorang murid? Maksud dari menjadi seorang murid adalah untuk belajar. Bersedia belajar atas apa yang diajarkan oleh kehidupan. Melalui seorang guru engkau akan memulai pembelajaranmu.

Sang guru adalah sebuah kolam dimana engkau bisa belajar bagaimana untuk berenang. Dan tatkala engkau telah mahir berenang, seluruh Samudera adalah milikmu.

Saturday, February 18, 2012

SARI AS-SAQATHI

Orang-orang mengatakan bahwa Sari As-Saqathi yang nama lengkapnya adalah Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathi adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M dalam usia 98 tahun.

KEHIDUPAN SARI AS-SAQATHI

Sarri as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan ”peleburan”(fana) sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Iraq adalah murid-murid Sari as-Saqathi.
la adalah paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Karkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i. Pada mulanya Sari tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari dan berkata:
“Syeikh dari gunung Lukam mengirim salam kepadamu”.
Sari menyahut; “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusyukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaat pun”.

Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari membeli buah-buahan badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari.
“Buah-buah badam ini hendak kujuaI”, Sari berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?”, tanya si perantara.
“Enam puluh enam dinar”.
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar”, si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen”, jawab Sari,
“Dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri”.
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar”,
sahut di pedangang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari.

ooo

Pada mulanya Sari menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!”, orang-orang bertariak. Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari: “Bebaslah aku sudah!”
Setelah api reda ternyata toko Sari tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian.

ooo

“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini”, seseorang bertanya kepada Sari. Sari menjawab: “Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. ’Semoga Allah memberkahi engkau`, Habib ar-Ra`i mendoakan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi”.
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim.
’Berikanlah pakaian untuk anak ini’, pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian.
Kemudian Ma’ruf berkata; ’Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini’. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaanku di dunia ini”.

SARI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat intim khalifah, Ahmad Yazid si jurutulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya.
“Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi”. Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari.
Sari berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya.
Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa!”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikkan Sari ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari.
“Guru”, ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlahkepadaku jalan yang ditempuh para khalifah”.
“Jalan manakah yang engkau inginkan”, tanya Sari. “Jalan para sufi atau jalan hukum?
Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku”, Yazid meminta kepada Sari.

Maka berkatalah Sari: “Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat – jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperesok ke dalam perangkap-perangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut”.
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari dan berkata:
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa han ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia, Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku”,
Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya”.
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari. Sari memerintahkan kepada pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya”. Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman”, Ahmad berkata kepada Sari, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat”.
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isteri Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari sendiri pun tidak dapat menahan air matanya.
Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapa pun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai Imam kaum MusIimin”, Ahmad berseru kepada Sari, “mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku”.
Sari menjawab: “Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang”.
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim, Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu”.
“Baiklah”, jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu:
“Sekarang, pergilah engkau seorang diri”
Melihat hal ini si isteri menjerit: “Aku tidak sampai hati membiarkannya”, dan anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu”, kata Ahmad kepada isterinya, ’Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian”.
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sari di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari:
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan: ’Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku”.
Sari pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja”.
Sari mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya, Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang syeikh, dan berkatalah ia:
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi”.
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan- urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?”, jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit:
’Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!’ “.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut ini.
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya,”Apakah yang telah terjadi?”
Sari menjawab: “Aku telah berminat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan.
Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia menjawab:
’Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi’. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.

ooo

Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan. “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah sangat menakutkan. Aku menjadi gentar.
Orang itu menegurku:
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?”
“Ya”, jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia”.
“Siapakah engkau?”, aku bertanya. “Iblis”,jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau”, aku berkata kepadanya.
“Begitu engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari, engkau lupa kepada Allah.
Apakah maumu untuk bertemu dengan aku?” tanya si Iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang faqir?”
“Tidak”, jawab si Iblis.
“Mengapakah demikian?”
Si Iblis menjawab: “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat.
Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi”.
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?”
“Ya, aku melihat mereka”, jawab si Iblis, “Dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase/fana, dapatlah kulihat sumber keluh-kesah mereka itu”.
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana kudapati Sari yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya. “Dia telah berdusta, seteru Allah itu”, Sari berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis”.

ooo

Sari mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
“Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu”, Sari berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia memasuki kamar Sari dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu”.
Sari menjawab: “Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur, Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku”.[]

Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.
http://biografiparasufi.wordpress.com

Buku Cinta Bagai Anggur : Pendidikan Hati

suluk.blogsome.com
Dikutip dari sebagian isi Bab III buku “Cinta Bagai Anggur”, dengan seijin penerbit.
Judul: “Cinta Bagai Anggur: Tuangan Hikmah Dari Seorang Guru Sufi di Amerika.”
Karya: Syaikh Muzaffer Ozak, dikompilasikan oleh Syaikh Ragip Frager
Alih bahasa: Nadia Dwi Insani, Herry Mardian, Herman Soetomo
Penerbit: Pustaka Prabajati


Tetapi apakah sebenarnya “diuji” itu? Seorang guru menguji para siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan mereka, mengetahui tingkat pemahaman mereka. Si guru tidak tahu sedalam apa para siswanya telah belajar. Tapi bukankah Allah mengetahui?

SETIAP nabi mempunyai tugas spesifik. Peran Nabi Isa a.s. adalah untuk menampilkan tiadanya kepemilikan dan kepedulian akan keduniawian.

Ucapan maupun perbuatan para nabi dan para kekasih Allah tidak berasal dari diri mereka sendiri. Mereka sudah tidak lagi memiliki kehendak diri. Mereka hanya mengekspresikan kehendak Allah. Bahkan para wali, yang lebih rendah dari para Nabi pun, juga mencapai jenjang tersebut. Mereka melihat dengan mata-Nya, mendengar dengan telinga-Nya, dan berkata-kata dengan lisan-Nya. Mereka melangkah dengan kaki-Nya dan menggenggam dengan tangan-Nya.

Seperti itu pula, Nabi Isa pun tidak memiliki kehendak diri. Beliau adalah ekspresi dari kehendak Tuhan atas suatu fungsi maupun tujuan yang spesifik. Ini pun berlaku bahkan bagi orang biasa—yah, mungkin orang biasa yang “biasa-biasa”-nya tidak keterlaluan—yaitu orang-orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah.

Pada diri Nabi Sulaiman a.s., kehendak Tuhan termanifestasikan dalam bentuk kekayaan dan kekuasaan. Nabi Isa a.s. adalah sultan bagi qalb dan jiwa, sementara Nabi Sulaiman a.s. mengombinasikan penguasaan atas keduniawian dan keruhanian.

Kalau di dunia ini engkau adalah seorang sultan, manusia tidak akan puas atau sepakat dengan kepemimpinanmu. Ini sangat sulit. Nabi Musa a.s pada suatu ketika pernah mengeluh kepada Allah, “Aku berusaha melaksanakan kehendak-Mu, tetapi semua orang kini justru sedang menentang aku.” Allah pun berfirman, “Hai Musa, engkau hanyalah darah dan daging. Padahal Aku, Akulah pencipta mereka. Aku yang memenuhi setiap kebutuhan mereka. Jangankan kepada engkau, bahkan terhadap Aku pun mereka selalu menentang!”

Itulah mengapa Allah tetap tersembunyi, setidaknya dari sebagian besar kita (beberapa dari kita manusia, bahkan hingga hari ini, bisa “melihat” Dia!). Bisakah engkau bayangkan jika Allah bisa dilihat begitu saja, seperti para nabi? Kita akan berlari menangis kepada-Nya, “Tolonglah perhatikan, aku belum punya anak satu pun. Aku tidak punya uang cukup. Aku kehilangan pekerjaan.” Yang lainnya lagi berkata, “Aku tidak puas dengan keadilan-Mu!” Itulah mengapa Allah tersembunyi, demi ketenangan dan kedamaian. Paling tidak, Allah tersembunyi dari mereka yang suka mengeluhkan “pelayanan”-Nya.

Nah, kembali pada kisah kita sebelumnya, perhatikanlah: kehendak manusia sangatlah lemah. Jangan membohongi dirimu sendiri dengan mengatakan bahwa engkau yang mencari dan engkau yang akan menemukan. Ibrahim bin Adham dipanggil oleh Al-Haqq. Namun dia harus terlebih dulu diajari oleh orang yang membajak lahan di atap istananya, dan oleh seekor burung gagak yang menyuapi lelaki yang terikat. Tapi jangan lupa, kau harus memerhatikan tanda-tanda. Melihat saja tidak cukup, engkau harus memerhatikan. Mendengar saja tidak cukup, engkau harus memahami.

Akhirnya, suatu hari Ibrahim bin Adham pergi meninggalkan istananya dan menuju ke padang penggembalaan. Ia bertemu dengan seorang gembala berpakaian kumal yang bertambalan di sana-sini. Walaupun di luar ia compang-camping, namun gembala itu telah menemukan Tuhan dalam kesendiriannya di padang rumput. Di dalamnya, ia telah menjadi seorang yang sangat kaya dan tampan. Sedangkan Sultan Ibrahim bin Adham, walaupun ia mengenakan busana sutra, di dalamnya compang-camping karena ia belum menemukan Al-Haqq. Ibrahim bin Adham kemudian meminta si gembala untuk saling bertukar pakaian, yang lalu menerima tawarannya.

Sang Sultan pun akhirnya berbalik dari penghadapannya kepada keduniawian. Kerajaannya, harta dan kekuasaannya, pakaian-pakaian dan kedudukannya adalah hijab-hijab penghalang antara dia dan Tuhannya. Ia robek semua itu dan mencampakkannya. Tapi tentu saja, ia harus memiliki semua hal itu dulu sebelum bisa mencampakkannya.

Lalu melangkahlah ia ke arah mana pun yang dikatakan kepadanya.

Ibrahim bin Adham dituntun kepada seorang Sultan Kebenaran, seorang guru: seorang syaikh. Di bawah perintah gurunya, Ibrahim bin Adham memulai jihad terbesarnya—yaitu perang melawan syahwat dan hawa nafsunya sendiri.

Dalam pembimbingannya sebagai seorang pejalan, guru Ibrahim bin Adham memberinya tugas untuk berkelana di dunia, supaya ia bisa mengerti dari mana ia berasal.

Dalam latihan semacam ini, engkau seperti membaca sebuah buku untuk pertama kalinya lalu mengerti beberapa hal. Lalu engkau membacanya lagi, dan mengerti beberapa hal lainnya. Kemudian, engkau membacanya untuk ketiga kalinya, dan masih juga engkau temukan beberapa hal yang lain lagi. Sang Syaikh menyuruh Ibrahim bin Adham pergi untuk membaca buku tentang kehidupan lampaunya sendiri, sehingga dia dapat memahaminya pada tingkat yang lebih tinggi.

Buku teragung adalah dunia ini, kehidupan ini. Baca, baca, dan bacalah lagi. Bagian terbanyak dari isi buku itu adalah masa lampaumu. Sejalan dengan pembacaan ulangmu yang terus-menerus, kau akan menemukan ia berubah, dan kau akan menemukan dirimu sendiri. Ia adalah buku yang sangat besar, menjangkau dari bumi ini hingga ke pojok-pojok terjauh dari seluruh langit.

Ibrahim bin Adham telah kembali ke kota Balkh pada suatu malam yang dingin di musim salju. Dia lalui malam itu dengan melaksanakan shalat Isya di Masjid Agung yang didirikannya semasa ia masih menjadi sultan.

Malam merupakan saat yang sangat penting bagi para pencari. Waktu untuk shalat Isya di masjid dimulai kira-kira satu jam setelah terbenamnya matahari, dan biasanya berlanjut sampai dua setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan ibadah mereka pada Allah, sebagian orang langsung pulang ke rumah untuk bersama-sama dengan orang-orang yang mereka cintai. Mereka menatap mata dan menciumi wangi rambut orang-orang terkasih mereka. Itu pun sebuah ibadah—mencintai istri dan anak-anak. Di malam hari pula, para wali besar serta para nabi biasanya mencurahkan diri mereka sepenuhnya untuk shalat dan beribadah kepada Allah.

Sedangkan Ibrahim bin Adham, setelah ia menyelesaikan shalat Isya-nya, sama sekali tidak memiliki satu tempat pun untuk dituju. Dia bergumam kepada dirinya sendiri, “Ini adalah rumah Allah, dan aku dulu membangunnya agar senantiasa terbuka kepada semua orang. Akan kucari sebuah sudut kecil untuk duduk, sekadar sebagai tempat tafakur dan beristirahat.”

Kemudian datanglah penjaga masjid. Kebetulan, belum lama berselang karpet masjid itu baru saja dicuri. Si penjaga menemukan sang “Bekas Sultan”, kini telah menjadi seorang darwis kumal, lalu berkata, “Ha! Ini dia si pencuri karpet, sekarang sembunyi di sini mau mengambil lagi!” Ia menyambar kaki Ibrahim bin Adham lalu menyeret kepalanya menuruni tangga masjid yang terdiri dari seratus anak tangga. Kepala Ibrahim bin Adham pun membentur anak tangga itu satu demi satu. Dan di sepanjang tangga menurun ke bawah, bersama setiap rasa sakit di kepalanya karena terbentur anak tangga, dia bersyukur pada Allah. Ketika telah sampai di anak tangga terbawah, dia katakan pada dirinya sendiri, “Wah, sayang sekali, seharusnya dulu kusuruh buat anak tangga lebih banyak lagi.”

Karena keberserahdiriannya pada Kehendak Ilahiah, bersama dengan setiap penderitaan yang dirasakannya, naik pulalah tingkat kesucian nafs -nya. Oleh karena Ibrahim bin Adham telah meninggalkan dunia, tertinggal pula derita-derita alam dunia. Demikianlah, engkau juga harus mengalami penderitaan-penderitaan dunia ini agar tingkat kesucian jiwamu meningkat.

Semua kitab suci mengatakan bahwa kita dihadirkan ke dunia ini untuk diuji. Engkau bisa menemukan pernyataan ini di dalam ajaran Musa a.s., ajaran Isa a.s., dan dalam ajaran Muhammad s.a.w.

Tetapi apakah sebenarnya “diuji” itu? Seorang guru menguji para siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan mereka, mengetahui tingkat pemahaman mereka. Si guru tidak tahu sedalam apa para siswanya telah belajar. Tapi bukankah Allah mengetahui? Allah mengetahui dengan sempurna kemampuan, pemahaman, dan tingkat kesadaran kita. Mengapa Allah menguji, adalah untuk membuat kita mengetahui. Ujian menunjukkan pada kita sendiri di mana kita berada, dan juga membuat yang lain tahu di mana kedudukan mereka, melalui ujian masing-masing.

Orang-orang yang menanggung ujian-ujian terberat adalah para kekasih Allah—para nabi, para wali, dan para guru-guru milik Allah. Mereka adalah simbol-simbol kasat mata bagi umat manusia, yang tugasnya adalah untuk menampilkan alasan kehadiran kita di dunia ini.

Akhirnya, Ibrahim bin Adham berhasil melewati hampir semua ujian yang diatur untuknya oleh syaikhnya, lalu pulanglah dia ke kota tempat tinggal syaikhnya tersebut. Sebelum kedatangannya, syaikhnya berbicara kepada murid-muridnya yang lain. Kau tahu, para syaikh mengetahui peristiwa-peristiwa yang datang dan pergi, dalam diri mereka maupun di luar diri mereka. Sang Syaikh menugaskan seluruh muridnya untuk pergi ke semua pintu gerbang kota. “Kalau kalian melihat Ibrahim bin Adham pulang, jangan biarkan dia masuk. Tinjulah dia, tendanglah. Ludahi, pukul, buat dia jatuh.” Ketika Ibrahim bin Adham sampai di salah satu gerbang kota, saudara-saudara seperguruannya melakukan berbagai hal yang kejam kepadanya. Dia pergi ke gerbang lain, tetapi perlakuan saudara-saudaranya di sana pun sama saja buruknya. Dia pergi ke gerbang yang ketiga dan disambut dengan cara yang sama. Ibrahim bin Adham menegaskan, “Dengar! Apa pun yang akan kalian lakukan terhadapku—walaupun kalian menumpahkan darahku atau mencoba membunuhku—tidak akan ada seorang pun yang bisa menghalangiku menjumpai Syaikh.”

Ketika akhirnya dia berhasil melewati gerbang kota, para saudaranya terus-menerus menendangi kedua tumitnya, meski dia telah mencapai rumah syaikhnya. Para pejalan tetap saja menendang, menendang, dan menendang. Ibrahim bin Adham tidak berkata sepatah pun. Dia terus saja berusaha untuk mencapai rumah syaikhnya. Ketika seorang darwis yang masih muda—yang agak terlalu bersemangat—menendang begitu keras sehingga kulit bagian belakang tumitnya terkelupas. Ibrahim bin Adham berbalik dan berkata dengan tenang, “Mengapa kalian lakukan semua ini kepadaku? Bukankah kalian tahu bahwa aku pun saudaramu? Aku juga seorang darwis. Apakah kalian masih saja menganggapku Sultan Balkh?”

Para darwis kemudian melaporkan hal ini kepada Syaikh, yang kemudian mengatakan, “Nah, lihatlah, dia belum berhasil mencapai maqam tertinggi. Dia masih belum melupakan siapa dirinya sebelumnya. Cita rasa kesultanan, nikmatnya kekuasaan seorang raja masih tertinggal di ingatan pangkal lidahnya dan dalam kenangannya.” []

Sunday, February 5, 2012

Kehidupan Sufistik Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq

"Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya salat dan banyaknya puasa, tapi karena sesuatu yang bersemayam di hatinya." (HR at-Tirmidzi di an-Nawâdir dan al-Ghazali di Ihyâ' Ulûmiddîn)

Setiap malam Jumat, usai salat Isyak, tubuh yang dibalut jubah kasar itu duduk berzikir. Kepalanya menunduk sangat rendah sampai menyentuh lutut. Begitu khusyuk dan khidmat, tak sedikit pun bergerak untuk mendongak. Menjelang fajar terbit, kepalanya baru diangkat, menghela nafas yang panjang dan tersendat-sendat. Kontan, aroma di ruangan itu berubah. Tercium bau hati yang terpanggang.

Itulah ibadah khusus Abu Bakar Radhiallâhu'anhu yang diceritakan oleh istri beliau setelah mendapat permintaan dari Umar bin al-Khatthab. Umar menitikkan air mata, terharu mendengar cerita dari istri pendahulunya itu. "Bagaimana mungkin putra al-Khatthab bisa memiliki hati yang terpanggang," desahnya. Hati yang terbakar oleh rasa takut melihat kebesaran Allah, terbakar oleh rasa cinta karena memandang keindahan Allah, juga terbakar oleh harapan yang memuncak akan belas kasih Allah.

Abu Bakar ash-Shiddiq dinobatkan sebagai orang terbaik dari kalangan umat Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah SAW juga menobatkannya khalîl atau kekasih terdekat bagi beliau. Faktor utamanya bukan karena banyaknya amal yang beliau lakukan, tapi karena totalitas hatinya. Hatinya serba total untuk Allah dan Rasul-Nya.

Pada saat Rasulullah SAW mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang melawan Romawi di Tabuk, Abu Bakar membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah SAW. "Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?" tanya Rasulullah kepada Abu Bakar.
"Allah dan Rasul-Nya?" jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikitpun.
Inilah totalitas hati Abu Bakar. "Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati tak menyisakan apapun melainkan apa yang ia cintai," demikian komentar Imam al-Ghazali tentang kisah beliau ini.

Totalitas hati itu membawa Abu Bakar SAW menjadi orang yang paling makrifat kepada Allah di antara umat Rasulullah SAW yang lain. Abu Bakar Radhiallâhu'anhu mengorbankan segalanya untuk Allah dan Rasulullah SAW

. Hingga, hidupnya begitu miskin setelah mengucapkan ikrar Islam di hadapan Rasulullah. Padahal, sebelumnya Abu Bakar adalah saudagar yang disegani di Quraisy.
Abdullah bin Umar bercerita: Suatu ketika Rasulullah SAW duduk. Di samping beliau ada Abu Bakar memakai jubah kasar, di bagian dadanya ditutupi dengan tambalan. Malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan salam Allah kepada Abu Bakar.
"Hai Rasulullah, kenapa aku lihat Abu Bakar memakai jubah kasar dengan tambalan penutup di bagian dadanya?" tanya Malaikat Jibril.

"Ia telah menginfakkan hartanya untukku sebelum Penaklukan Makkah." Sabda beliau
"Sampaikan kepadanya salam dari Allah dan sampaikan kepadanya: Tuhanmu bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?"
Rasulullah SAW menoleh kepada Abu Bakar. "Hai Abu Bakar, ini Jibril menyampaikan salam dari Allah kepadamu, dan Allah bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?"

Abu Bakar menangis: "Apakah aku akan murka kepada (takdir) Tuhanku!? (Tidak!) Aku rida dengan (takdir) Tuhanku, Aku rida akan (takdir) Tuhanku."
Semua miliknya habis untuk Allah dan Rasulullah SAW. Inilah totalitas cinta. Cinta yang mengorbankan segalanya untuk Sang Kekasih, tak menyisakan apa-apa lagi selain Dia di hatinya. "Orang yang merasakan kemurnian cinta kepada Allah, maka cinta itu akan membuatnya berpaling dari pencarian terhadap dunia dan membuatnya merasa tidak asyik bersama dengan segenap manusia." Demikian untaian kalimat tentang tasawuf cinta yang pernah terucap dari mulut mulia Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq.

Oleh karena itu, Sayidina Abu Bakar memilih zuhud sebagai jalan hidup utama beliau. Dunia bukanlah fasilitas yang hendak dinikmati, tapi godaan yang harus dihindari. Faktor utama yang menyebabkan manusia lupa kepada Allah adalah kesukaannya terhadap hal-hal duniawi.
Faktor utama yang menyebabkan manusia mendurhakai Allah juga kegilaan terhadap hal-hal duniawi. Kegilaan terhadap hal-hal duniawi merupakan sumber dan induk dari segala kesalahan yang dilakukan manusia.

Amir bin Abdullah At-Tamimi

Tawadhu'nya Sufi Sejati

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal"

Salah satu tabi'in yang dikenal zuhud adalah Amir bin Abdullah At-Tamimi. Nama At-Tamimi pada akhir namanya merupa­kan penunjuk bahwa ia berasal dari Bani Tamim, suku Arab asli di Hijaz.

Pada waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah yangmembuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.

Seorang penduduk Bashrah men­ceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah mengikuti perjalanan se­buah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin Abdullah at-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah pepo­honan besar dekat sumber air. Saat itu­lah Amirmembereskan perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada se­buah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rum­put yang dapat mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepo­honan dan menjauh dari kami.
Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi Allah, akan aku ikuti dan perhati­kan apa yang dia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.'

Dia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat sese­orang shalat dengan sempurna dan khu­syu' seperti itu.

Karena kelelahan setelah menem­puh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk berat menyerangku,sehingga tertidur. Setelah sekian lama aku terlelap da­lam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."

Gentong Penuh Permata
Setiap kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyam­butnya. Dia mujahid yang banyak ber­peran saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, dia
menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk mendapatkan ghanimah
(rampasan perang).

Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, pang­lima Perang Qadisiyah, berhasil menun­dukkan persia, dia memerintahkan pe­tugas untuk mengumpulkan dan menghi­tung ghanimah. Banyak
sekali harta ke­kayaan, perhiasan, dan barang-barang berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya dibagi­kan kepada para mujahidin.

Saat para petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.

Dengan takjub mereka memperhati­kan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta ram­pasan perang yang sepadan dengan­nya. Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?"

"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.

"Apakah engkau mengambil bagi­an?" tanya mereka.

"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali.
Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat dan
aku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.

"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.

"Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar kalian
tidak memuji dan menyan­jungku. Aku hanya memuji dan menyan­jung Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu me­ninggalkan mereka.

Terdorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, mereka mengutus sese­orang untuk membuntuti dan mencari in­formasi tentang lekaki itu. Tanpa sepengetahuannya, lelaki itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut ke­pada mereka, mereka menjawab, `Tidak­kah engkau mengetahuinya? Dialah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdillah At-Tamimi."

Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal.Ketika sakitnya makin berat, para sa­habatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.
Mereka pun bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukan­kah engkau orang yang begini dan be­gitu (menyebutkan berbagai macam ke­baikan)."

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalan­an dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara
naik dan turun, ke sur­ga atau ke neraka, aku tak tahu ke mana aku akan kembali."

Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah de­ngan dzikrullah.

Amir bin Abdillah At-Tamimi mening­gal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la dimakamkan di Baitul Maqdis

Sumber: Majalah Alkisah

Friday, January 20, 2012

Aku Tidak Berharap Surga dan Neraka

Seorang lelaki bertanya kepada Imam Abu Hanifah, ”Bagaiman pendapatmu tentang seseorang yang berkata: ”Aku tidak berharap surga, tidak takut neraka, aku suka makan bangkai, aku bersaksi terhadap apa yang tidak aku lihat, aku tidak takut kepada Allah, aku shalat tanpa ruku dan sujud, aku tidak menyukai kebenaran dan aku menyukai fitnah.”

Jawab Imam Abu Hanifah kepada penanya yang ternyata penanya tersebut adalah orang yang sangat membenci Imam Abu Hanifah, ”Wahai fulan, engkau bertanya kepadaku tentang masalah ini, padahal engkau sendiri telah mengetahui jawabannya.”
awab lelaki itu, ”Aku tidak mengetahui, tapi aku tidak mendapati sesuatu yang lebih buruk daripada pertanyaan ini, karena itu aku bertanya kepadamu.”
Kata Imam Abu Hanifah kepada kawan-kawannya, ”Bagaimana pendapat kalian tentang lelaki ini?” Jawab mereka, ”lelaki ini adalah seburuk-buruk orang karena sifatnya sebagai orang kafir.” Mendengar jawaban mereka Imam Abu Hanifah tersenyum seraya berkata, ”Sungguh kalian telah menilainya sangat buruk, padahal ia seorang wali Allah.”
Kemudain Imam Abu Hanifah berkata kepada lelaki itu, ”Jika aku mengatakan kepadamu engkau termasuk wali Allah, apakah engkau tidak akan memusuhi aku lagi?” Jawab lelaki itu, Ya.”
Kata Imam Abu Hanifah, ”Adapun ucapan tidak berharap surga dan tidak takut kepada neraka, karena engkau hanya berharap kepada Tuhan Allah pemilik surga dan takut kepada Tuhan Allah pemilik neraka, adapun ucapanmu engkau tidak takut kepada Allah maksudnya, engkau tidak takut dizalimi oleh Allah, karena Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya, seperti yang diucapkan Allah bahwa Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-Nya sedikitpun, kemudian maksud ucapan mu suka makan bangkai adalah engkau suka makan ikan laut (ikan laut adalah bangkai), adapun maksud ucapanmu tidak pernah ruku dan sujud ketika shalat adalah ketika engkau memperbanyak bershalawat kepada Nabi SAW, ia selalu melazimi tempat-tempt orang mati untuk menshalati mereka, karena beliau SAW suka mengambil pelajaran dari orang mati sehingga tidak banyak angan-angan dan beliau SAW suka menshalati setiap muslim dan muslimat, suka mendoakan mereka yang masih hidup maupung yang sudah mati, kemudian maksud ucapanmu menyaksikan sesuatu yang tidak pernah engkau lihat adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, adapun maksudmu engkau membenci kebenaran adalah engkau membenci kematian, karena engkau masih ingin hidup lama agar selalu menaati Allah, adapun maksudmu membenci kebenaran mempunyai arti engkau membenci kematian, karena kematian adalah kebenaran, adapun maksud ucapanmu menyukai fitnah mempunyai arti bahwa setiap hati suka kepada harta dan anak, karena keduanya adalah ujian yang sangat besar bagi orang yang beriman, seperti yang disebutkan dalam firman Allah SWT, ”Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan.” (Q.S. Al-Anfaal: 28)
Maka lelaki itu tidak lagi membenci Imam Abu Hanifah r.a dan ia bertaubat kepada Allah SWT.

Wallahu A`lam..
http://ahlulkisa.com/

Saturday, December 24, 2011

As-Suhrawadi- Sufi Cahaya Allah yang dipancung

As-Suhrawadi
Ia salah sorang sufi besar yang suka mengembara untuk berburu ilmu dan kebenaran. Dialah pencetus faham Isyraq “Kerinduan kepada Allah”
Di jagat tasawuf, dikenal sebuah paham yang disebut isyraq. Paham ini meyakini, Allah adalah nurus samawati wal ard (cahaya langit dan bumi), sebagaimana disebut dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 35. Dari nur Allah itulah lahir cahaya-cahaya yang lain di alam semesta dan di jagat rohaniah. Paham ini juga dikenal sebagai paham iluminatif (pencerah), dan terpengaruh oleh paham-paham filsafat. Karena itu, pakar tasawuf Prof. Dr. Hamka menyebutnya sebagai filsafat isyraq.
Adalah As-Suhrawardi, filsuf besar yang pertama kali mencetuskan paham isyraq. Ada tiga sufi yang namanya mirip: As-Suhrawardi, Abu An-Najib As-Suhrawardi, dan Abu Hafs Syihabuddin As-Suhrawardi Al-Baghdadi. Yang terakhir ini adalah pengarang kitab Awarif al-Maarif.
As-Suhrawardi, yang nama aslinya Abul Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak, lahir di Suhrawand, Zanda, Persia Utara, pada 549 H/1129 M. Seperti halnya Al-Hallaj, ia juga dibunuh oleh penguasa. Itu sebabnya ia dijuluki Al-Maqtul (Yang Terbunuh).
Suhrawardi lahir di lingkungan keluarga yang taat beribadah. Seperti hainya sufi atau ulama besar lainnya, sejak kecil ia juga belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Al-Quran dan fikih. Juga, seperti sufi yang lain, catatan perjalanan hidupnya sangat sedikit diketahui orang. Menurut pengamat sufi, Mehdi Amin-razafi, Suhrawardi hidup di suatu zaman ketika muncul kebutuhan untuk menyatukan kembali ilmu pengetahuan Islam dengan memadukan berbagai mazhab. Di tengah perdebatan intelektual itulah muncul pemikiran Suhrawardi tentang isyraq, yang antara lain meyakini bahwa wacana fflosofis merupakan bagian dari perjalanan spiritual seseorang.

Dalam buku Tokoh-tokoh Sufi; Tauladan dan Kehidupan yang Saleh, Prof. Dr. H. Ahmadi Isa MA menulis, Suhrawardi terkenal sebagai pengembara yang gandrung menuntut ilmu, la berguru kepada sejumlah ulama dan pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan. Di Marga, Azerbaijan, Asia Tengah, ia belajar fikih dan filsafat kepada Syekh Majduddin Al-Jilli, seorang fukaha yang termasyhur kala itu. Di Isfahan, Iran, ia belajar mantik (logika) kepada Ibn Sahlan As-Sawi, pengarang kitab Al-Basair an-Nasiriyah. Selain itu ia juga tercatat belajar filsafat India, Persia, dan Yunani. Menurut seorang pengikutnya, pengetahuan Suhrawardi sangat daiam, dan sangat menguasai ilmu hikmah alias filsafat dan fikih. la juga sangat fasih dalam hal ungkapan.
As-Suhrawardi memulaiis perjalanan suflstis sejak bergabung dengan para sufi dalam kehidupan asketisnya. Beberapa tahun bergelut dengan ajaran-ajaran sufi, setelah itu ia mengembara, mengunjungi sejumlah ulama dan pakar di Aleppo, Damaskus, Anatholia, sampai ke Azerbaijan. Terakhir ia melakukan j perjalanan ke Halb, belajar tasawuf kepada sufi besar Asy-Syafir iftikharuddin.

Suhrawardi juga termasuk sufi besar yang produktif membukukan pikiran-pikirannya. Karya-karyanya yang dianggap monumental, antara lain, Hikmah ai-lsyraq, Al-Muqawamat, dan Al-Mutaribal Salah satu kitab yang banyak diperbincangkan ialah Hikmah ai-lsyraq, memuat berbagai pandangannya perihal filsafat isyraq atau iluminatif. Karya-karyanya yang lain, rata-rata dalam sebuah kitab yang tipis, Hayakil an-Nur, Alwah wa Imadiyyah, Partaw Nama, Fit I'tikad al-Hukama, Ah Lahamat, Bustan al-Qulub - sebagian besarj dituiis dalam bahasa Arab, sementara karya-karyanya dalam bahasa Persia banyak dipuji sebagai karya sastra yang indah. Karya-karyanya yang lain, di antaranya, Aqli Surkh, Awazi ParJabrail, Al-Qissah al-Ghurbah ah Gharbiyyah, Lugati Muran, Risalah fil Hallah all'Tufuliyyah, Ruzi ba Jamaah Sufiyan, Safir



Kenikmatan Duniawi

Ada pula karya Suhrawadi, risalah yang bersifat filosofis berupa terjemahan karya ibnu sina berjudul risalah Tayr, dan komentar dan komentar mengenai karya Ibnu Sina daiam bahasa Persia, Isyarat wa Tanbihat. Juga ada sebuah risalah berjudul Risalah fi Haqiqah al-'lsyq, didasarkan pada karya Ibnu Sina berjudul Risalah fil 'Isyq. Ada juga karyanya yang memuat doa, zikir, wirid, berjudul Al-Waridat wa Taqdisat, Banyak pandangan Suhrawardi diikuti para sufi, misalnya ucapannya yang terkenal, "Semua yang menyenangkan Anda, seperti hak milik, perabotan, kenikmatan duniawi, dan hal-hal yang serupa itu, lemparkanlah. Jika resep ini Anda ikuti, penglihatan Anda akan tercerahkan." Pandangan lain yang juga terkenal, "Ketika mata batin terbuka, mata zahir harus ditutup. Bibir harus dikunci, dan indra-indra lahir harus dibungkam. Indra batin hendaknya mulai berfungsi, sehingga jika ia toencapai sesuatu, melakukannya dengan jasad batin. Jika mendengar, dia mendengar dengan telinga batin." Salah satu peritiwa yang tidak bias dipisahkan dari kehidupan Suhrawardi ialah saat kematiannya. la meninggal di tiang gantungan, dalam sebuah upacara pengadillan yang digelar Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, dan Dinasti Bani Saljuk -gara-gara ajarannya dianggap sesat. Di tengah kemasyhurannya sebagai salah seorang ulama tasawuf dan cendekiawan, pendapat-pendapatnya memang sering memancing kontroversi. Seperti pandangan-pandangan Al-Halla] mau-un Junaid Al-Bagdadi, pendapat-pendapat Suhrawardi sering dianggap menyimpang sehingga memicu polemik berkepanjangan.
Sebelum diadili, ia dipanggil oleh Pangeran Zahir bin Salahuddin Al-Ayyubi untuk mempertanggungjawabkan ajarannya dalam forum debat terbuka yang dihadiri para teolog dan fukaha. Dalam debat itu, Suhrawardi berhasil mempertahankan argumentasinya, sehingga Pangeran Zahir pun memaafkannya, bahkan belakangan bersahabat dengannya. Tapi, akibatnya, hat itu memancing dengki dan iri.

Maka berseliweranlah fitnah dan hasutan ke alamat Suhrawardi. Bahkan ada yang sempat mengirim surat kepada Sultan Shalahuddin, yang memperingatkan perihal "kesesatan" ajaran Suhrawardi. Celakanya, sang Sultan malah memerintahkan Pangeran Zahir, putranya, agar menghukum Suhra¬wardi. Zahir segera menggelar sidang, membicarakan hukuman bagi sang sufi. Keputusan pun jatuh: Suhrawardi dijatuhi hukum pancung. Itu terjadi pada 587 H/1167 M, ketika Suhrawardi berusia 38 tahun. Mungkin karena ia korban persekongkolan politik, makamnya pun tak diketahui.
Tapi, justru karena hukuman itu nama Suhrawardi melejit. Masyarakat menggelari-nya dengan sebutan al-Maqtul, (tokoh) "yang terbunuh". Suhrawardi memang telah di-bunuh. Jasadnya telah dibuang. Tapi pikiran-pikirannya yang cemerlang tetap hidup hingga kini, bahkan sepanjang zaman.

Sumber: Al-Kisah

Saturday, December 3, 2011

Sufi Road : Ibnu Hajar Al-Asqalani


Mutiara Berserak di Pintu Allah

la bukan hanya dikenal sebagai salah seorang sufi dan ahli fikih yang masyhur. Tapi juga penyair dengan puisi Ketuhanan yang indah

Sampai saat ini, para santri di Indosesia sangat akrab dengan sebuah kitab fikih yang masyhur, Bulughl Maram. Pengarang kitab ini ialah seorang uiama dan sufi yang terkenal, Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tapi, sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai ahli fikih ketimbang sufi atau ahli tasawuf. Sampai kini, pendapat-pendapatnya dalam ilmu fikih masih menjadi bahan telaah dan referensi para ulama, terutama ketika mereka menetapkan sebuah fatwa.
Meski kurang dikenal sebagai sufi, pandangan-pandangan sufistiknya terungkap dalam kumpulan puisinya, Al-Munabihat 'ala al Isti'dadli Yaum al-Ma'ad.


la lahir di Kairo pada 12 Syakban 773 M atau 8 Februari 137 M. Nama lengkapnya Syihabuddin Abu Fadl Ahmad bin Nuruddin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-As qalani. Tak jelas bagaimana asal-usul keluarganya. Adapun julukan Al-Asqalani merupakan bagian dari tradisi muslim saat itu. Ayahnya, Nuruddin Ali (wafat 777 Hijriah/1375 Masehi), dikenal sebagai ulama termasyhur yang menjabat mufti di Mesir. Adapun ibunya, Tujjar, berasal dari keluarga pedagang kaya.
Namun, masa kecil Ibnu Hajar penuh dengan pengalaman sedih. Semenjak berusia empa ttahun, ibunya meningal dunia. Maka ia pun diasuh Zakiuddin Abu Bakar Al-Karrubi, seorang saudagar kaya. Di bawah bimbingan Zakiuddin, Ibnu Hajar mendapat pelajaran agama dan bimbingan spiritual, sehingga pada umur sembilan tahun ia sudah hafal Al-Quran. Belakangan, ia berguru kepada beberapa ulama masyhur, seperti Syekh Jalaluddin al-Buqini (ilmu nahu); Syekh Ibnu al-Muan al-Fairuzabadi dan Syekh Muhibuddin bin Hisyam (Ilmu saraf) At-Takhuni (qiraah); Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Qattam (sejarah).

Ibnu Hajar memang murid yang rajin dan cerdas. Dengan tekun, ia mencatai secara terperinci pelajaran sejarah, nama para gurunya, dan kitab-kitab yang dibacanya. Kitab-kitab yang dibacanya, antara lain, Al-Mu'jam al-Mufahras, Al-Maqasid al Aliyat fi Fihris al-Marwiyat (indeks hadis), Al-Majma al-Mua'sas (pelengkap katalog ayat Al-Quran).

Merasa belum cukup dengan itu, ia kemudian mengembara untuk menim-ba ilmu. la antara lain berkunjung ke pusat-pusat ilmu seperti Hejaz dan Yaman, lalu Suriah dan Palestina. Dalam perjalanan ini, ia berjumpa dengan guru utamanya dalam ilmu hadis, Syekh Zainuddin al-lraqi. la juga mengaji kepada ulama ilmu hadis dan fikih, Syekh Izzuddin bin Jama'ah. Dari kedua gurunya yang masyhur itu, ia memperoleh ijazah untuk mengeluarkan fatwa.
Setelah puas berguru kepada sejumlah ulama besar, ia pun mengamalkan ilmunya sebagai pendidik. la pernah menjadi guru madrasah, dosen, hakim, mufti, khatib dan pustakawan. la mengajar ilmu hadis, tafsir, tikin. Kuhah-kuliahnya di Madrasah Syai-khumyah dan Mankutimuriyah, Kairo, seialu mendapat sambutan hangat dari para mahasiswa.

Salah satu karirnya yang penting ialah ketika ia menjabat kepala bidang pendidikan dan administrasi selama 35 tahun di Perguruan Barnaysiyyah, Kairo dari tahun 141 sampai 1445 M. Selanjutnya ia pindah mengajar di Darul Hadits Al Kamaliah, masih di kota kairo.
Pada 1423 M ia menjabat wakil Agung sementara rekanya syekh Jalaluddin Al Baqilani sebagai Hakim Agung, akan tetapi beberapa bulan kemudian, ia dilengserkan gara-gara kebijakannya yang dinilai bersebrangan dengan politik pemerintahan Mesir sebagai mufti, dan jabatan ini dapat ia pertahankan selama 20 tahun.

Sebagai ulama, ibnu hajar termasuk produktif menulis kitab, terutama dalam ilmu hadits. Kitabnya yang termasyur berjudul Fat Al Bahri bi Syarkh al Bukhari (1429M), telaahd an komentar mengenai kitab shahih al Bukhari. Kitab itu tidak hanya beredar di mesir, tapi juga di parsi dan asia tengah. Kitab kitab karangn lainya yaitu Al Isabah fi Tamyiz al Sahabah, Tanzib at Tahzib, Lisan al Mizan, Anba al Gumr dan Bulughur Mahram in Adilat al Ahkam. Dalam kitab kitab tersebut ia menggunakan gagasannya tentang ilmu fikih, hadits dan lainnya.
Selain itu semua, Ibnu Hajar ternyata adalah juga seorang penyair. Puisinya terkumpul dalam kitab Al Munabihat ‘ala al Isti’dad li Yaum al-Ma'ad. Banyak mutiara hadis dan uangkapan para ulama terkenal yang ia sunting dalam sejumlah puisi.
Berikut, sebait puisi sebagai kata pengantar kumpulan puisinya, Menuju Pintu Allah, Mutiara Berserak.
Bismillahirrahmanirrahim
Selaksa puji bagi Allah Sang Esa
di setiap waktu dan masa
Kesejahteraan abad bagi Rasul-Nya
Muhammad, Sang Mustafa
Dari kisi-kisi hati
ingin kusampaikan lewat karya ini
Bekal kewaspadaan
untuk meniti perjalanan panjang
lewat untaian mutiara
yang terajut dua-dua
tiga-tiga, empat-empat
dan seterusnya
hingga untaian sepuluh mutiara kata
Semoga berguna

Sumber: Al Kisah

Monday, November 7, 2011

LATHAIFAL - MANNAN Dedikasi Bagi Para Wali

Kitab Nashih Nasrullah
Memainkan peranan penting dalam mengubah dan mentrasformasi pengetahuan islam

"Saya termasuk penentang dan lawannya," begitulah pernyataan tegas dan sikap yang pertama kali ditunjukkan oleh seorang sufi terkemuka di abad ketujuh Hijriah, Ibnu Athaillah as-Sakandari (709 H), terhadap figur sufi tersohor di masanya, yaitu Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi. Awalnya, tokoh sufi kelahiran Alexandria, Mesir, 648 H ini tidak menyangka jika orang yang dibencinya itu kelak justru menjadi guru paling agung dan ia elu-elukan. Kisah terjalinnya hubungan guru dan murid itu berawal tatkala perdebatan sengit berlangsung antara Ibnu Athaillah dan berapa teman al-Mursi. Ibnu Athaillah pun terdorong untuk mengetahui dan berkenalan langsung dengan tokoh tersebut. Ia berkeyakinan jika orang-orang yang dekat dengan kebenaran bisa ditangkap oleh indra dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Ketika ia bertandang ke tempat Al-Mursi, ia mendapatinya sedang menjelaskan kepada para muridnya tentang derajat para salik yang secara umum terbagi atas tiga bagian, yaitu islam (berserah diri), iman (percaya), dan ihsan (berbuat baik). Singkat kata, uraian Al-Mursi membuat decak kagum Ibnu Athaillah. Ia pun memutuskan bersilaturahim dan bertatap muka. Tak disangka, Al-Mursi menyambutnya dengan penuh kehangatan, sikap yang kontan meluluhlantakkan prasangka dan sikapnya selama ini. Sejak itulah ia memutuskan berguru dan mengabdi kepada sang maestro. Dedikasinya itu tergambar jelas dalam sebuah kitab yang ia tulis dan bertajuk Lathaif al-Mannan.Penulis kitab Al-Hikam itu mengisahkan latar belakang dan tujuan penulisan Lathaif. Kitab yang itu tulis itu secara khusus untuk mengungkapkan asal usul, keistimewaan, kedudukannya di kalangan para sufi, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sang guru, yang menjadi rujukan kalangan ahli makrifat dan mursyid para salik, yaitu Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi. Kupasannya mencakup pendapat-pendapat tasawuf, ungkapan-ungkapan hikmah, dan berbagai hal penting yang berkenaan dengan aktivitas dan kesimpulan Al-Mursi terhadap tasawuf.

Menurut Ibnu Athaillah, upayanya tersebut ditempuh untuk mendokumentasikan pandangan-pandangan Al-Mursi di bidang tasawuf. Pasalnya, selama ini sang guru belum pernah mengabadikan karyanya tersebut di sebuah buku. Beberapa peninggalannya ditulis oleh para muridnya. Ibnu Athaillah mengatakan jika keputusan gurunya tidak menuliskan karyanya didasari fakta bahwa ilmu tasawuf berkaitan dengan olahrasa yang sulit diungkapkan dan dicerna oleh kebanyakan khalayak. Pendokumentasiannya dikhawatirkan akan menimbulkan pemahaman salah.

Selain magnum opusnya yang monumental, Al-Hikam, murid tokoh sufi kenamaan Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi itu mengarang sederet kitab, antara lain, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, Taj al-Arus, Miftah al-Falah, dan Al-Qaul al-Mujarrad fi Ism al-Mufrad. Mencermati gaya penulisan dan kualitas hasil karya Ibnu Atha termasuk kitab Lathaif maka akan didapati sebuah kesimpulan bahwa cara penyajian, bahasa yang digunakan, dan kecermatan penulis menyampaikan materi laik mendapat apresiasi.

Karya-karya Ibnu Atha mendapat tempat di hati para pegiat tasawuf dan cendekiawan Muslim. Sebut saja, pendiri tarekat sufi As-Syadziliyah, Abu al-Hasan as-Syadzili. Ia mangatakan apabila kitab Ihya Ulumuddin yang ditulis memberikan faedah dari sisi ilmu, kitab Quttu al-Qulub karangan Abu Thalib al-Makki mencurahkan cahaya, maka kitab-kitab Ibnu Athaillah juga demikian. Selain menyuguhkan ilmu, karangan-karangannya berbagi pula pencerahan. Bahkan, Muhammad Abduh pernah menyebut magnum opus Al-Hikam-nya itu nyaris menyerupai Alquran.

Dalam uraiannya di kitab Lathaifini, Ibnu Athaillah tidak secara langsung memasuki tujuan dan maksudnya tersebut, akan tetapi yang ia lakukan terlebih dahulu dalam mukadimah kitabnya ialah memaparkan tentang konsep kewalian berikut legalitasnya dalam Islam. Poin yang ia tekankan pertama kali ialah kenyataan bahwasanya Rasulullah Muhammad adalah manusia terbaik. Penekanan ini merupakan sebuah isyarat sederhana yang hendak ditampilkan oleh Ibnu Athaillah bahwa konsepsi wali tak lain ialah estafet dari misi penyebaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah.

Pada pembahasan selanjutnya, ia menjelaskan tentang hal ihwal mengenai konsep kewalian al-wilayatdalam Islam. Di bagian berikutnya, secara khusus ia memaparkan tujuan penulisannya itu, yaitu dokumentasi tentang Al-Mursi, yang meliputi biografi singkat, karomah yang dimiliki, serta pengakuan-pengakuan tokoh yang hidup di masa Al-Mursi. Hal paling utama ialah mendokementasikan pemikiran-pemikirannya di bidang tasawuf.

Konsepsi wali dan kewalian
Menurut Ibnu Athaillah, kedudukan wali di sisi Allah jika dibandingkan dengan kalangan awam sangatlah tinggi. Posisi itu telah dipertegas oleh berbagai teks, baik yang termaktub dalam Aquran maupun hadis. Salah satu hadis yang menguatkan tempat mulia wali di hadapan Allah ialah riwayat yang dinukil oleh Abu Hurairah. Disebutkan di hadis itu bahwa barang siapa yang memusuhi wali Allah, ia telah menyulut perang.

Kedekatan wali dengan Allah pun dipersonifikasikan dengan pengibaratan bahwa segala pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan wali bersumber dan selalu diawasi oleh Allah. Derajat yang diperoleh wali itu merupakan buah dari mujahadah yang mereka lakukan. Para wali mampu menaklukkan jiwa dan nafsu mereka semata-mata untuk Allah. Atas keberhasilan itu, Allah menjadi penolong dan penjaga bagi mereka.

Hal itu sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut: "Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya." (QS ath-Thalaq [65]: 3). Al-Mursi mengatakan, keterkaitan wali dengan Allah seperti anak singa dan induknya. Singa betina akan melindungi anaknya dari berbagai hal yang membahayakan seperti ancaman dari binatang buas lainnya. Tetapi, hukuman bagi mereka yang memusuhi para wali Allah tidak harus datang seketika itu juga. Bisa jadi sanksi tersebut muncul di kemudian hari tanpa ia sadari.

Ibnu Athaillah membagi konsep kewalian ke dalam dua kategori utama. Golongan wali yang pertama ialah mereka yang memberi pertolongan kepada Allah dan Rasul Nya, waliyyun yatawallah. Kategori ini merujuk pada ayat ke-56 dari surah al-Maidah. "Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orangorang yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." Menurut Abu al-Hasan as-Syadzili, anugerah Allah yang paling berharga bagi hamba Nya ialah rida terhadap ketentuan, sabar di saat cobaan mendera, tawakal kepada Allah kala kesulitan, dan bertobat kembali kepada-Nya. Bila keempat hal ini bisa terintegrasi di dalam diri seseorang melalui jalur mujahadah dengan tetap mengikuti sunah dan para imam, maka kewaliannya bisa dibenarkan.

Sedangkan, apabila jika anugerah itu muncul dari pemberian yang berasal dari kecintaan Allah terhadapnya, sempurnalah kewaliannya. Sebagaimana disebut dalam Alquran: ¡°Sesungguhnya pelindungku ialah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran), dan Dia melindungi orang-orang yang saleh." (QS al-A'raf [7]: 196). Kategori yang terakhir ini merupakan tingkatan kewalian yang kedua, waliyyun yatawallahullah. Menurut Ibnu Athaillah, kedua derajat kewalian itu tidak bisa disamakan. Konsepsi yang pertama lebih menekankan pada hasil mujahadah dan komitmen seseorang terhadap agama. Karenanya, kategori ini lebih tepat disebut dengan kewalian mikro, wilayat assughra. Sedangkan, konsep yang kedua menitikberatkan pada rasa cinta dan perhatian yang diberikan oleh Allah untuk hamba-Nya yang terpilih.

Kategori ini tidak dimiliki oleh sembarang orang. Karenanya, kerap diistilahkan dengan wilayat al-kubra. Menurutnya, klasifikasi ini cukup berdasar mengingat kata shalihin'yang dimaksud di ayat ke-196 surah al-A'raf bukan sekadar kesalehan yang dimiliki kebanyakan awam, akan tetapi makna yang dikehendaki lebih mendekati makna kefanaan dan kecintaan Allah dan hamba. Sebagaimana yang diteladankan oleh para rasul-Nya. Definisi ini sesuai dengan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Yusuf AS untuk dipertemukan dengan orang-orang saleh. Arti kata shaleh dalam doanya itu ialah para rasul-rasul-Nya.

ed: subroto
Republika

Sunday, October 9, 2011

Sufi Road : Ceramah Putra Syeikh Abdul qadir Al-Jailani

Syeikh 'Abdulqadir Al-Jailani bila berceramah menggunakan bahasa yang sangat sederhana. Anak beliau yang telah banyak menuntut ilmu dan gemar berceramah berkata dalam hati, "Jika aku diizinkan berceramah, tentu akan lebih banyak orang yang menangis."

Suatu hari Syeikh 'Abdulqadir Al-Jailani ingin mendidik anaknya. la berkata kepadanya, "Wahai anakku, berdiri dan berceramahlah." Si anak kemudian berceramah dengan sangat bagus. Namun, tidak ada seorang pun yang menangis dan merasa khusyu'. Mereka bahkan bosan mendengar ceramahnya.

Setelah anaknya selesai berceramah Syeikh 'Abdulqadir naik ke mimbar lalu berkata, "Para hadirin, tadi malam, isteriku, ummul fuqoro menghidangkan ayam pangang yang sangat lezat, tapi tiba-tiba seekor kucing datang dan memakannya." Mendengar ucapan ini, para hadirin menangis dan menjerit Si anak berkata, "Aneh..., aku bacakan kepada mereka ayat-ayat Quran, hadis-hadis Nabi, syair dan berbagai akhbar,tidak ada seorang pun yang menangis. Tapi, ketika ayahku menyampaikan ucapan yang tidak ada artinya, mereka justru menangis. Sungguh aneh, apa sebabnya?".

Habib 'Umar bin Hafidz berkata:
Inti ceramah bukan terletak pada susunan kalimat, tapi pada kesucian hati dan sifat shidq si pembicara. Sewaktu Sayidina Jailani berbicara, para hadirin menangis karena mengartikan kucing dalam cerita befiau sebagai setan yang mencuri amal anak cucu Adam dengan cara menimbulkan sikap riya, ujub dan sombong. Ada yang menangis karena mengibaratkan cerita itu dengan keadaan su-ul khotimah, yakni ia membayangkan seseorang yang memiliki amal sangat banyak, tapi usianya berakhir dengan su-ul khotimah. Mereka semua menangis dan merasa takut kepada Allah hanya karena ucapan biasa. Sesungguhnya ucapan itu telah membuat mereka berpikir, menerbitkan cahaya di hati mereka, berkat cahaya yang memancar dari hati Syeikh Abdulqadir Al-Jailani.

Kita juga mendengar bahwa kesan yang ditimbulkan oleh ucapan-ucapan Habib *Alwi bin Syihabuddin sangat kuat, padahal beliau bicara dengan bahasa yang sangat sederhana. Walau beliau hanya berbicara, "Lihatlah keadaan kita ini, bagaimana amal kita?" Namun, ucapan behau ini menghunjam ke dalam hati pendengarnya dan meninggalkan kesan sangat dalam. Sehingga mereka menangis, menjadi khusyu' dan bertobat kepada Allah. Semua ini karena sifat shidq dan keikhlasan beliau.

Jadi yang paling banyak memberikan manfaat adalah sikap shidq dan ikhlas. Kita boleh saja membiasakan diri untuk berceramah, memilih ucapan yang dapat dipahami, yang baik dan bagus, mempelajari berbagai buku dan menyimak ceramah para khotib dan ucapan (kalam) kaum arifin. Namun, kita harus bersandar kepada Allah Ta'ala, memohon kepada-Nya agar dapat bersikap shidq dan ikhlas.

Habib Muhammad bin 'Abdullah Al-'Aidarus berkata:
Ucapan akan muncul sesuai dengan keadaan batin pembicara: tenang ataupun gelisah. Sebab, keadaan batin mempunyai hubungan sangat erat dengan kata-kata yang dituturkan. Bukankah kamu pernah melihat seseorang berbicara kepada temannya dengan kalimat yang pada lahirnya kasar dan buruk, tapi karena muncul dari jiwa yang baik, maka ucapannya tadi tidak berpengaruh, atau tidak memberikan kesan buruk kepadanya. Ucapan semacam ini, jika keluar dari jiwa yang penuh gejolak dan hati yang buruk akan menggerakkan dan membangkitkan keburukan dari lawan bicaranya.

Oleh karena itu, pada saat berbicara hendaknya manusia memperhatikan keadaan jiwanya ataupun suasana hati orang lain agar tercapai kebaikan dan ketenangan. Betapa indah ucapan Sayidina 'Alti kwh ketika menjelaskan rahasia ucapan:


Wadah (lahan) ucapan adalah hati, gudangnya adalah
pikiran (fikr), penguatnya adalah akal, pengungkapnya
adalah lisan, jasadnya adalah huruf, ruhnya adalah
makna, hiasannya adalah i'rab dan aturannya adalah
kebenaran.

Pengaruh ucapan pada pendengar tergantung pada jiwa pembicara. Jika ucapan tersebut muncul dari jiwa yang kuat, maka akan memberikan kesan yang kuat. Dan jika muncul dari jiwa yang lemah, maka akan memberikan kesan yang lemah. Oleh karena itu, sebelum berbicara manusia harus memperhatikan keadaan jiwanya agar kalimat yang ia ucapkan muncul dari jiwa yang tenang (sakinah).

Sumber : Kisah Para Wali
Ustaz Nouvel bin Muhammad Al Idrus