Monday, April 22, 2013

Madrasah Hadhramaut: Taubat

Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kembalikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf kepada mereka untuk dirinya jika Allah melihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat.

Pelajaran ini akan membahas langkah pertama yang harus dijalani seorang hamba dalam perjalanan­nya menuju Allah SWT setelah muncul­nya al-baits dan kerinduan yang kuat di dalam hati untuk datang kepada-Nya. Langkah pertama untuk menuju Allah adalah tash-hih at-taubah, memperbaiki taubat dan sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah SWT.

Taubat sebagai kata diambil dari kata ar-ruju‘ dan al-awbah, yang berarti “kem­bali”. Taubat sendiri pada hakikatnya meliputi tiga makna, yang, apabila ke­tiganya terpenuhi dan tercakup, terwu­judlah taubat yang sesungguhnya. Tiga hal tersebut adalah ‘ilm, hal, fi‘l.

‘Ilm

‘Ilm, atau ilmu, yang dimaksud di sini adalah ilmu yang mengetahui bahwa dirinya adalah seorang hamba, yang ke­lak akan berdiri di hadapan Allah SWT pada hari Kiamat, yang hidupnya hanya sementara untuk kemudian menemui ke­matian, dan akan dimintai pertanggung­jawaban atas segala perbuatan yang te­lah dilakukannya dalam hidupnya yang teramat singkat itu.

Sang hamba mengetahui bahwa hi­dup yang teramat singkat ini akan ber­ujung pada satu masa ketika ia akan ber­diri seorang diri di hadapan Raja dari se­gala raja, Yang akan menanyainya se­orang diri dengan tanpa ada seorang pem­bela pun dan tidak pula seorang pe­rantara yang dapat membantunya untuk menjawab segala pertanyaan yang di­ajukan. Maharaja itu akan berkata ke­pa­danya, “Wahai hamba-Ku, ingatkah eng­kau di hari ini, di waktu ini... engkau me­nutup rapat semua pintu agar tidak terlihat oleh pandangan seorang pun dari makh­luk-Ku karena engkau malu bila mereka melihat perbuatanmu kala itu... sedang­kan engkau terang-terangan mem­per­tunjukkan kepada-Ku satu per­buatan yang tidak Aku ridhai. Di mana­kah eng­kau taruh pandangan-Ku saat itu? Ham­ba-Ku, mengapa engkau jadi­kan Aku pemandang yang paling remeh dalam penilaianmu? Hambaku, engkau malu terhadap hamba-hamba-Ku, tetapi sama sekali tidak merasa malu kepada-Ku?”

Di saat berada di hadapan-Nya, Dia akan berkata, “Wahai hamba-Ku, Aku telah menciptakanmu dari ketiadaan, Aku limpahi engkau dengan berbagai karunia, Aku muliakan engkau dengan ‘La ilaha illallah.’ Engkau tumbuh dengan karunia-karunia yang Aku berikan, ibu­mu menyusui dan mengasuhmu dengan karunia itu, pengetahuanmu pun ber­kembang dengan karunia itu, lalu eng­kau tumbuh besar dan menjadi perkasa dengan segala karunia yang telah Aku berikan dari berbagai kebaikan, namun kemudian engkau pergunakan untuk mendurhakai-Ku? Bagaimana engkau pergunakan nikmat-Ku? Apakah engkau menggunakannya untuk hal-hal yang Aku ridhai? Apakah engkau mencari kedekatan dengan-Ku selama hari-hari yang telah Aku berikan kepadamu?”

Saat-saat kelak kita dimintai pertang­gungjawaban itu tidak seorang mukmin pun kecuali ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa pasti akan dilaluinya.

Seorang hamba pun mengetahui bah­wa tidaklah setiap kata yang terucap dari lidahnya kecuali akan dicatat, tidak­lah setiap tatapan di saat memandang sesuatu kecuali akan dituliskan, dan ti­dak pula setiap diam, gerak, dan lengah kita kecuali akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.

Di saat memperhatikan semua pen­jelasan itu, mungkin sebagian orang akan merasa sempit dadanya untuk da­pat memahami makna-makna mulaha­qah (pencarian jati diri), mutaba‘ah (me­neladani), hisab (penghitungan amal), ataupun kitab ‘alaih (pencatatan amal perbuatan).

Maka, coba kita perhatikan dari segi yang lain, yakni memahami makna dari makna-makna kemurahan yang Allah SWT karuniakan kepada kita, kemuliaan yang diberikan-Nya kepada kita, dan penghormatan yang diberikan Allah kepada kita.

Coba perhatikan seseorang yang memiliki kedudukan atau popularitas yang tinggi di tengah-tengah masyara­kat. Orang-orang berkumpul di sekitar­nya. Wartawan yang satu menulis setiap kata yang diucapkannya, sedang yang lainnya mengambil gambar dari setiap gerak-geriknya. Namun, puncak dari se­mua perhatian yang diberikan itu tidaklah lebih dari satu atau dua jam saja, setelah itu mereka kembali ke rumahnya ma­sing-masing.

Ketahuilah, seorang hamba memiliki kedudukan yang penting di sisi Allah. Karena penting dan tingginya keduduk­an seorang hamba di sisi Allah, Dia, bah­kan, mewakilkan dua malaikat mulia, yang tercipta dari cahaya yang tidak per­nah durhaka kepada-Nya, sebagai pen­dampingnya setiap saat.

Dua malaikat yang Allah wakilkan ini mencatat setiap ucapan sang hamba dari semenjak ia baligh hingga akhir ha­yatnya. Dalam gurau, sungguh-sungguh, marah, ridha, sedih, atau gembira, “Tiada suatu ucapan pun yang diucap­kannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Raqib dan ‘Atid (yang selalu hadir meng­awasi).” — QS Qaf (50): 18.

Seorang hamba adalah pemilik ke­dudukan di sisi Allah. Seseorang yang telah mengetahui bahwa semua per­buat­annya akan dicatat, dihitung, ke­mudian akan dilaporkan dan dibuka di hadapan Allah SWT. Setelah itu ditentu­kan tempat kembalinya, apakah menuju negeri keridhaan atau negeri kemurka­an, menuju surga atau dijerumuskan ke jurang neraka.

Waktunya di dunia akan berakhir di saat ruh sampai di ujung kerongkongan. Tidak ada jaminan tentang kapan sam­painya ruh ke ujung kerongkongan. Ti­dak dapat direncanakan dan tidak pula dapat disiasati agar ia datang pada wak­tu yang tepat, dan tidak diketahui kapan malaikat maut datang menjemput. Se­mua­nya datang dengan tiba-tiba dan se­kejap mata. Tidak dibedakan antara anak muda ataupun orang tua, dan tidak pula dibedakan atara yang sakit ataupun yang sehat. Jika malaikat maut datang menjemput, pada saat itulah diberitahu­kan bahwa waktunya telah berakhir untuk selamanya.

Seseorang yang mengetahui semua kemestian itu, akankah di hatinya tidak ada sesuatu yang terlahir dan muncul dari pengetahuannya itu? Yakni keada­an menyesal, merasa malu, hina, dan rendah di hadapan Allah SWT. “Kemarin aku mendurhakai Allah padahal Allah melihatku. Aku akan berdiri di hadapan-Nya dan Allah akan menanyaiku semua itu.”

Salah seorang shalihin dari negeri Habasyah datang kepada seorang waliyullah dari kalangan salaf. Orang itu bertanya, “Wahai Syaikh, apakah Allah akan mengampuniku atas dosa yang telah aku perbuat?”

“Benar, Allah akan mengampunimu bila engkau bertaubat dengan sungguh-sungguh,” jawab sang waliyullah.

Orang itu pun bersyukur dan memuji Allah, dan tampak dari raut wajahnya kegembiraan yang luar biasa. Namun, setelah beberapa langkah meninggalkan sang waliyullah, orang itu kembali lagi de­ngan raut muka yang tidak lagi me­nunjukkan kegembiraan.

Wali tadi bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?”

Orang itu menjawab, “Apakah Allah melihatku di saat aku mendurhakai-Nya?”

Maka dijawab, “Ya, Allah melihatmu.”

Tiba-tiba orang itu berteriak histeris dan langsung tersungkur ke tanah dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Tahukah apa yang terjadi dengan orang ini?

Awal mula, pikirannya sibuk dengan urusan, “Apakah aku akan masuk ke da­lam surga atau neraka?” Setelah kekha­watirannya terhadap urusan surga dan neraka hilang dengan jawaban sang wali tadi bahwa Allah akan mengampuninya atas segala dosanya, muncullah di da­lam hatinya makna yang lebih dalam, lebih tinggi, lebih besar, dan lebih halus lagi dari apa yang menyibukkan pikir­an­nya selama itu tentang surga dan ne­raka. Yakni makna hubungan seorang ham­ba dengan Allah, makna bahwa Allah melihat dirinya melakukan kedur­hakaan ini dan itu, makna bahwa Allah me­nutupi semua keburukannya dari pan­dangan makhluk-Nya, padahal Allah Mahakuasa untuk mempertunjukkan se­mua keburukan itu kepada mereka, makna bahwa Allah tak pernah berhenti memberikan berbagai karunia, nikmat, dan limpahan rizqi padahal ia tak henti pula mendurhakai-Nya.

Semua perasaan itu melahirkan pe­nye­salan terhadap semua keteledoran, ke­durhakaan, dan keberanian yang se­lama ini ia lakukan terhadap Allah SWT. Perasaan semacam ini yang hadir di dalam hati seorang hamba disebut pe­nyesalan, salah satu unsur yang sangat penting dalam taubat.

Hal

Hal dalam konteks ini adalah penye­salan atas segala perbuatan buruk yang telah lalu. Terkadang sebagian salaf me­megang jenggotnya sambil berkata, “Alangkah buruknya perbuatanku meski­pun seandainya akan dimaafkan!”

Penyesalan semacam ini akan me­nimbulkan keteguhan yang kuat dalam diri seseorang untuk berkata dalam hati­nya, “Aku akan berhenti dari berbuat dosa... aku tidak akan pernah melaku­kannya lagi untuk selama-lamanya... aku tidak akan pernah lagi mendurhakai Allah....”

Fi‘l

Fi’il, atau perbuatan, dalam konteks ini adalah melepaskan diri dari maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Bila telah lahir penyesalan semacam ini, yang dilandasi dengan ilmu, penye­salan dan ilmu itu akan membuahkan ke­teguhan dalam hati untuk meninggalkan maksiat, dan tidak mengulanginya lagi, sehingga darinya terwujudlah hakikat sesuatu yang disebut taubat.

Adapun apabila kesalahan atau mak­siat itu berkaitan dengan hak-hak ma­nusia, misalnya mengambil harta si Fulan atau menghina dan mencacinya, ada per­kara keempat yang harus dilaku­kan, yak­ni mengembalikan hak-hak itu kepada pe­miliknya. Jika seseorang telah memakan harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada pe­milik­nya.

Namun bukan hanya itu, karena apa yang telah dikembalikan itu belum ter­hitung sebagai taubat sebelum ia pun meminta maaf kepada mereka.

Lalu bagaimana seandainya mereka tidak memaafkannya?

Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kem­balikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf ke­pada mereka untuk dirinya jika Allah me­lihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat. Dengan demi­kian berarti ia telah menunaikan kewajib­annya dalam taubat. Allah akan memu­lia­kannya dengan memberinya anu­ge­rah berupa kerelaan dari orang-orang yang didzalimi haknya. Dan bila ia tidak kuasa untuk mengembalikan hak itu ke­pada mereka, Allah akan memuliakan­nya dengan memberinya sesuatu yang setimpal dengan kerelaan orang-orang yang terzhalimi itu. Karena hak-hak orang lain atas dirinya tetap tidak gugur sebagai tanggunggannya.

Lembaran-lembaran Dosa

Lembaran-lembaran dosa manusia dapat digolongkan menjadi tiga bagian.

Pertama, lembaran dosa yang pe­laku­nya dapat diampuni. Yakni semua kedurhakaan dan dosa yang ada antara sang hamba dan Tuhannya bila pada diri hamba terdapat penyesalan yang benar dan hakiki yang dihasilkan dari ilmu. Sehingga, penyesalan itu melahirkan keteguhan dan tekad yang kuat untuk meninggalkan dosa-dosa itu semua. Itulah taubat nasuha. Maka Allah pun akan mengampuninya atas dosa-dosa­nya seluruhnya.

Kedua, lembaran dosa yang pelaku­nya tidak akan diampuni. Yakni dosa syi­rik akbar, syirik besar. Syirik akbar ada­lah meyakini adanya Tuhan selain Allah SWT. Namun, dosa ini tidak terjadi pada umat Rasulullah SAW. Tidak akan ada syirik besar pada umat Nabi SAW, se­bagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesung­guhnya aku, demi Allah, tidaklah takut ka­lian akan berbuat syirik (akbar) sete­lahku, akan tetapi yang aku takutkan ada­lah akan dibukakannya dunia atas kalian.”

Ketiga, lembaran dosa yang tidak tergugurkan. Yakni dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak-hak manusia, hak-hak yang berkaitan dengan makhluk. Inilah yang semestinya membuat sese­orang yang sedang berjalan menuju Allah besungguh-sungguh dalam me­nunai­kan hak-hak itu.

Dosa Besar dan Kecil

Para ulama mengatakan, dosa besar itu ada empat macam. Sebagian saha­bat mengatakan, dosa besar ada tujuh macam, dan sebagian yang lain menga­ta­kan ada sebelas macam. Ibnu Abbas RA berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Umar, yang membagi dosa kepada tujuh macam, karena yang tujuh itu lebih dekat kepada tujuh puluh.”

Adapun yang disepakati oleh jumhur ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa semua perkara yang dikenai had (hukuman tertentu) termasuk dosa be­sar, semua yang dinashkan oleh Al-Qur’an atas keharamannya itu pun ter­masuk dosa besar, dan semua perbuat­an keji termasuk dosa besar.

Perhatikan juga terhadap makna lain, yaitu keadaan hati terhadap maksiat sesudah melakukan maksiat. Ulama berkata, “Terus-menerus dalam maksiat ter­golong dosa besar.” Dan meremeh­kan maksiat adalah termasuk dosa besar, meskipun maksiat itu kecil.

Itulah sebabnya, sebagian shalihin memohon ampun kepada Allah terhadap hal-hal mubah sekalipun. Mereka selalu memandang bahwa hal (interaksi)-nya dengan Allah adalah senantiasa menun­tut ketinggian dan kedekatan dengan-Nya dalam segala hal. Karenanya bila melakukan sesuatu yang mubah tidak berniat untuk mencari kedekatan dengan Allah, mereka pun memohon ampun ke­pada-Nya.

Bukan hanya itu, sebagian mereka pun bertaubat kepada Allah pada bebe­rapa perbuatan taat. Mereka bertaubat dari makna yang hadir di hati pada saat berbuat taat, yakni tidak merasa dan menyadari adanya kemurahan Allah pada saat berdiri mengerjakan suatu ketaatan.

Lebih tinggi lagi, Rabiatul Adawiyah pernah berkata, “Istighfar kita butuh kepada istighfar.” Mungkin kita memang sudah beristighfar, tapi istighfar kita belum sungguh-sungguh karena Allah.

Itulah taubat. Mulailah taubat sejak saat ini juga, dan tidak ada ujung dari taubat. Setiap kali seseorang meningkat derajat kede­katannya kepada Allah secara maknawi, dituntut taubat dari makna-makna se­belumnya.

Seorang shalihin berkata kepada Rabiatul Adawiyah, “Doakanlah aku su­paya aku bertaubat kepada Allah agar Allah memberiku taubat.”

Rabiah menjawab, “Melainkan aku akan mendoakanmu semoga Allah mem­berimu taubat agar engkau bertaubat.”

Shalatlah dua rakaat shalat sunnah Taubat dan jadikan sebagai wiridannya istighfar Astaghfirullaha wa atubu ilayh (100 kali) atau Rabbighfirli warhamni wa tub ‘alayya (100 kali). Apabila ini se­nantiasa dilakukan pada tiap-tiap malam, buahnya akan memperoleh satu tingkat­an yang dikatakan ulama sebagai ting­katan mahbubiyah (dicintai – oleh Allah). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat.” — QS Al-Baqarah (2): 222.

Sumber :www.majalah-alkisah.com

Tawasin (6): Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita Keabadian /Kekeliruan Pemahaman)

[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat berhubungan dengan wacana publiktentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...]

1. Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya, berkata: "Tidak ada misi yang tangguh kecuali yang diemban Iblis dan Muhammad,shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."

2. Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada Muhammad: "Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud, dan Muhammad pun tidakmenengok. Ia tidak berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan, tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)

3. Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke kemampuan awalnya.

4. Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali ke kemampuannya.

5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balikhati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji."

6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang seperti Iblis.

7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya.

8. Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia didakwa ketika menuntut kesendirian (Allah) mutlak

9. Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia menjawab: "Tidak,kepada yang selain Engkau." Dia berfirman lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?" Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"

10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan alasanku (ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku -- Iblis, hingga dibedakan dari-Mu!"

11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS.7: 12), sebab aku lebih lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau, ataupun tidakbersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."

12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru menjadi mitraku. Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini, yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"

13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku, aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."

14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak bergantung atasnya, bahkantidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya berubah."

15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa, pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia) dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku adalah ingatan-Nya.Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung,sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."

16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau menahanku,baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk- kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya)supaya Dia Sendiri saja. Dia mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku,sebab Dia membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'- ku atas-Nya dalam zikir. Dia menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku.Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."

17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titah-Nya,bukannya aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku. Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."

18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang khusyuk dalam 'cinta'!"

19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal)spiritualnya 'Azazyl () [sebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang amalan yang baik.Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang perbuatan yang jahat."

20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali) yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat ditenun dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya, malaikat mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala." Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya, niscaya tidakdapat mengenali kebaikan."

21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."

22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan pernyataanku,aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."

23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as) mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.

24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya, maka kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)! Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang Kebenaran!"

25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan tidakmencabut pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut pernyataannya ataupun mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa Allah pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?"

26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa aku mencabut pernyataan tegasku!

27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama pertamanya, 'Azazyl ().'Ain'-nya () menunjukkan keluasan ikhtiarnya,'zay'-nya () adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-Nya),'alif'-nya () sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,'zay'-nya () yang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya,'ya'-nya () langkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan 'lam'-nya () ketegarannya dalam kesakitannya.

28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi, bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat diakurkan. Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih sempurna."

29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah milik-Ku,bukannya milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik- Mu. Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika Engkau mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as), Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu. Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."

30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai Penguasaku,demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran prinsip,tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya) menjadi seorang Syahid!

31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia dibebastugaskan ('uzyla),dibebastugaskan dari kesucian purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia tidak keluar dari akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.

32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-dirinya. Ia mendapatkan dirinya antara api tempat peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.

33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api telah membakarnya.Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-annya adalah kesia- siaan -- itulah ia adanya!

34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan sempit di kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita serta penuh kegelisahan.

35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para 'arifin tidakmemiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis).Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.

36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Allah), sedangkan Iblis menolak (bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.

37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan pikirannya kesasar, sehingga ia berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir,tidak menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung kutukan di atas pundaknya hingga Akhir Ke-'baqa'-an Masanya-Masa Ke-'baqa'-an nanti.

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana

Tawasin (5): Thasin Al Nuqtah (Titik)

1. Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik „AzaliyAda yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik „Azaliy yang berupa Asal, dan yang (keberadaannya) tidak bertambah ataupun berkurang, tidak juga habis sirna dirinya.

2. Orang yang mengangkal keadaan (hal) batinku telah menyangkalnya, karena tidakmengetahui aku, malah menyebutku bid‟ah. Dituduhnya aku dengan sebutan Iblis, serta dianggapnya kekeramatanku sebagai praktik perdukunan, juga demikian terhadaplingkaran suci yang berada di luarnya-luar jangkauan, yang dicemoohkannya.

3. Orang yang menjangkau lingkaran kedua membayangkan aku menjadi sang Pemangku Ilham. 4. Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku berada di bawah pengaruh nafsu.

5. Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran melupakan aku, bahkan perhatiannya beralih dariku.

6. “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada hari itu hanya Tuhan penolongmu untuk kembali. Juga pada hari itu setiap manusia akan diberi tahu tentang perbuatan yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11 -13)

7. Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan semu, melarikan diri pada sang pelindung, mengkhawatiri pertanda-pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan akibatnya tersesat.

8. Aku terisap ke kedalaman samudera kelanggengan (baqa‟). Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran itu sibuk di pantai samudera pengetahuan dengan pengetahuannya sendiri, luput pandangan (bashirah) batinnya dariku.

9. Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang terbang dengan dua sayap Tashawuf. Ia menyangkal kekeramatanku, sebagaimana ia terus membumbung dalam penerbangannya.

10. Ia menanyai aku tentang kesucian-batin, dan aku menjawabnya: “Pangkaslah sayapmu dengan gunting penyirnaan-diri (fana‟). Kalau tidak, kau tidak dapat mengikuti aku.”

11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju Kekasihku.” Aku katakan kepadanya: “Hati -hati buat kau! Sebab, tidak ada yang menyerupai-Nya. Hanya Dia sang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia jatuh ke samudera kearifan dan hilang tenggelam.

12. Orang dapat menggambarkan samudera kearifan sebagai berikut:



Aku „melihat‟ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa: “Siapakah Engkau?” Dia menjawab: “Kau!” Namun, bagi-Mu, „di mana‟ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada „di mana‟ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun tidak punya bayangan tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu, yang memungkinkan akal mengetahui „di mana‟ adanya Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi setiap „di mana‟, mengatasi „titik‟ yang tak di mana-mana. Jadi, „di mana‟ Engkau adanya?

13. Sebuah titik-tunggal yang unik dari lingkaran (titik-titik), menandakan beragamnya anggapan tentang kearifan. Adalah sebuah titik-tunggal saja yang dirinya berupa Kebenaran, sedangkan sisanya merupakan kekeliruan.

14. Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi‟raj) – “ia tampak kembali” saat kemuncakannya (transenden). Karena pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak kembali.Ia menanggalkan hatinya „di sana‟, dan begitu dekat kepada -Nya. Ia sirna (fana‟) ketika „melihat‟ Allah, kendati demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana‟ ul- fana‟). Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir? Bagaimana mungkin pula ia tampak dan sekaligus tak-tampak?

15. Dari ketakjuban ia melintas ke pencerahan, dan dari pencerahan ke ketakjuban. Dengan kesaksian Allah, ia „menyaksikan‟ Allah. Ia sampai dan sekaligus pisah. Ia mencapai Pujaan-Nya, dan terputus dari hatinya. “Hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya.” (QS. 53: 11)

16. Allah menyembunyikannya ketika membuatnya begitu dekat. Dia mengangkatnya dan menyucikannya. Dia membuatnya dahaga dan menyegarkannya. Dia menyucikannya danmemilihnya. Dia menyerunya dan memerintahkannya. Dia menimpainya Cobaan dan menjenguknya untuk membantunya. Dia mempersenjatainya dan mendudukkannya di atas pelana.

17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia kembali, ia pun mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia menjawabnya – merasa dilihat, ia rendahkan dirinya.Karena minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia dicekam keterpesonaan. Dan,karena keterpisahan dirinya dari Kota serta para pembantunya, ia pun terpisah dari bisikan nurani, dari pandangan, juga dari lamunan makhluk.

18. “Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau bertambah sedih. Matanya tidak goyah atau lelah oleh suatu „Saat‟ dari sejatinya masa.

19. “Sahabatmu tidak tersesat” dalam tafakurnya mengenai Kami. Ia tidak menyeberang dalam kunjungannya kepada Kami, tidak juga melanggar terhadap Risalah Kami. Ia tidak membandingkan Kami dengan yang lain kalau membicarakan Kami. Ia tidakmenyimpang di taman zikir dalam tafakurnya mengenai Kami, tidak juga tersesat dalam pengembaraan di alam fikir.

20. Cukuplah ia mengingat Allah (zikru‟llah) dalam tarikan nafasnya, dan kerdipan matanya. Bertawakkal kepada-Nya dalam kesusahan, dan bersyukur atas nikmat-Nya.

21. “Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53: 4) dari Cahaya ke „Cahaya‟.

22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan, angkatlah kakimu tinggi-tinggi dari manusia serta makhluk lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan selaras dan sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang melampaui gunung dan lembah, gunung kesadaran dan lembah perlindungan,agar „melihat‟ Dia yang kau puja-puja. Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah Suci (Ka‟bah).

23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Allah, seperti seorang ‟asyiq yang memasuki Ma‟syuq. Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan, dan dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat sebagai pencari, dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali sebagai „Abdi. Ia begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali dengan bai‟at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai seorang saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur

24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia membidik tanda „di mana‟ [„ayna] dengan panah „di antara‟ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.

25. Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul- „Addah) Al-Husain ibn Manshur Al- Hallaj, berkata:

26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk orang yang sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].

27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab ataupun Persia.

28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf „mim‟ ( ), yang merupakan huruf pertanda “apa yang ia pancarkan.”

29. „Mim‟ ( ) yang menandakan “Yang Terakhir”.

30. „Mim‟ ( ) yang juga merupakan untaian “Yang Terawal”. Rentangan busur pertamanya adalah „Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya adalah „Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya adalah untaian dua „Alam itu.Serta Zat-Nya yang Khusus Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang Mutlak, panahnya dua rentangan.

31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api Iluminasi (tajalliy).

32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah yang pengertiannya merupakan gambaran kedekatan. Adapun sang Firman dari pemaknaan ini adalah Kebenaran Allah,bukan metode ciptaan-Nya. Dan, kedekatan ini juga hanya berlaku dalam lingkaran ketepatan yang amat sangat tepat.

33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Allah) ini terdapat dalam halusnya perbedaan,lewat pengalaman sebelumnya, dengan memakai penangkal yang dibuat oleh sang pecinta,untuk membalas keterputusannya dengan segenap kecintaan (makhluk), di pelananya yang sampai secara berbarengan, karena bahaya terus mengancam, serta tajamnya perbedaan, yang diatasinya dengan ayat pembebasan. Inilah jalan (shufi) yang terpilih dalammemperhatikan Diri pribadi. Dan, kedekatannya terlihat sebagai areal luas, agar sang arif („irfan) yang taat mengikuti jalannya tradisi nubuwah ini dapat dipahami adanya.

34. Sang Junjungan Yatsrib (Muhammad), shalawat dan salam atasnya, memaklumkan keagungan yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak- tergugat, yang terawat dalam “Kitab Tersembunyi” (QS. 56: 78), sebagaimana Dia menyatakannya dalam Kitab (alam)Terbuka, dalam “Kitab Tertulis” yang menerangkan makna bahasa burung, ketika Dia mengangkatnya „ke sana‟.

35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).

36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah tanpa pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui sesuatu itu “miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa merasa adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun tanpa air di suatu “gurun tanpa air”, juga sebagaimana pertanda di suatu “pertanda”.

37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun mengalihartikan maksudnya,sedangkan maksudnya terlihat dari kejauhan. Jalannya sulit, namanya agung, tampilannya unik. Pengetahuannya adalah ketidaktahuan, ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal, keawamannya adalah sumber rahasianya. Namanya adalah Jalannya, karakter- lahirnya adalah kehangatannya, dan perlambang-batinnya adalah kegairahannya.

38. Hukum syari‟at [syar‟iy] adalah ciri-khasnya, kebenaran [haqa‟iq] adalah gelanggangnya dan keagungannya. Jiwanya adalah serambinya, Syaitan adalah pengajarnya, dan setiapmusafir yang ada dijadikannya sebagai kerabatnya. Keinsanan adalah nuraninya,kerendahhatian adalah kemuliaannya, kefanaan adalah subyek zikir-nya, istri adalah tamansarinya, dan fananya-fana adalah singgasananya.39. Pelindungnya adalah perlindunganku, prinsipnya adalah peringatanku, syafa‟atnya adalah permohonanku, karunianya adalah persinggahanku, dan duka-citanya adalah kesedihanku.

40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan bajunya bukan apa-apa kecuali sekadar pengelap debu-(ku). Ajarannya adalah dasar pijakan keadaan (hal) batinnya,sedangkan keadaan batinnya adalah kefanaan. Kendati demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat menjadi obyek kemurkaan Allah. Makanya cukuplah ini,semoga rahmat Allah besertamu.

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana

Saturday, April 20, 2013

Rumi : Pagelaran Hal-hal yang Berlawanan

Rumi: Matsnawi

Sudah menjadi Kehendak dan Keputusan Dia,
sang Maha Pengampun, untuk
memperkenalkan dan menyingkapkan Diri-Nya.

Tetapi takkan sesuatu dikenali
kecuali jika ada lawannya,
dan Raja tak-Tertandingi itu tak terbandingkan.

Maka diangkatnya seorang khalifah,
seorang insan pemilik qalb,
agar menjadi cermin yang menampikan kedaulatan-Nya.

Lalu dilimpahkan padanya kemurnian tak-terhingga,
dan dari kebalikannya ditampilkan lawannya,
yang berasal dari kegelapan.

Berkibar dua panji berlawanan, putih dan hitam:
Yang pertama Adam;
dan lainya Syaithan, sang penghalang jalan
menuju kepada-Nya. [1]

Diantara ke dua kubu ini,
berlangsung pertentangan dan perang;
dan melalui hal-hal itu terjadilah
apa-apa yang harus terjadi.

Demikianlah, pada generasi berikutnya
tampil lah Habil, sedangkan saudaranya Khabil
menentang cahaya murninya. [2]

Lalu , pertentangan ke dua panji itu:
keadilan melawan ke-tidak-murni-an,
memasuki masa kekuasaan Namrud.

Dia menentang dan memusuhi Ibrahim,
dan tentara ke duanya berperang
dan bertempur satu sama lain.

Sampai akhirnya,
Dia berkehendak mengakhiri sengketa itu,
api-Nya menjadi alat penentu diantara mereka.

Lalu dia mengangkat hamba-Nya, sang Api,
menjadi pemutus perkara ini: sehingga persoalan
diantara mereka dapat ditentukan. [3]

Generasi demi generasi berlalu,
sampai pertentangan ke dua kubu itu
memasuki masa Fir'aun dan Musa yang bertakwa.

Pertentangan diantara ke duanya
berlangsung bertahun-tahun.
Terjadi bermacam pelanggaran berat
yang melampaui batas,
dan menyebabkan banyak penderitaan.

Saat itu, Dia menjadikan Air sebagai utusan-Nya,
Laut lah yang menentukan siapa yang benar
diantara mereka yang bersengketa. [4]

Pada masa ketika Mushtafa hadir bertugas,
dia berhadapan dengan Abu Jahl,
pemimpin ke-tidak-adilan.

Di masa kaum Tsamud,
Dia mengutus Suara sebagai abdi-Nya,
gelegar Suara dahsyat mematikan mereka. [5]

Di dalam penghancuran kaum 'Ad,
hamba-Nya yang bertugas adalah Angin, [6]
yang bergemuruh, bergerak naik, dengan cepat.

Ketika Dia mengutus hamba-Nya yang teliti, Bumi,
sebagai utusan kepada Qarun:
dihias-Nya sifat lembut bumi dengan permusuhan.

Saat itu, kelembutan Bumi berubah
menjadi kemurkaan, sehingga
ditelannya Qarun beserta harta-bendanya. [7]

Perhatikanlah fungsi makanan bagi tegaknya tubuhmu,
roti itu ibarat baju zirah yang menahan tombak lapar.

Tapi ketika Dia menaruh kemurkaan dalam rotimu,
roti akan melekat pada kerongkonganmu,
dan membuatmu tersedak sampai terasa tercekik.

Atau ketika pakaianmu
--yang seharusnya melindungimu dari hawa dingin-- dibuat-Nya dingin, setajam es.

Maka segera kau tanggalkan baju-bulu hangat,
dan beralih berlindung kepada hawa dingin.

Pengetahuanmu belum memadai;
ibarat air, jumlah dan kemurniannya
masih tak mencukupi untuk bersuci:
kau lupakan azab yang menimpa
pada hari ketika awan menaungi. [8]

Di kota dan desa,
kepada setiap rumah dan dinding,
turunlah perintah -Nya: "Jangan beri naungan,

Jangan tepis hujan maupun cahaya matahari;"
sehingga kaum itu semua bergegas
menemui Syu'aib, Sang Utusan,

Sambil menjerit, Kasihanilah kami,
wahai Pangeran! Kami seperti telah mati.
Baca lah kisah selanjutnya dalam Al Qur'an.

Kenanglah bagaimana Dia yang Maha Terampil
mengubah tongkat Musa menjadi seekor ular-naga,
itu saja cukup sebagai contoh bagimu,
seandainya kau cukup cerdas. [9]

Kau miliki perangkat akal,
tapi tak cukup dalam kau merenung:
bagai musim dingin membeku,
tak kunjung mengalir ke musim semi.

Karenanya, sang Maha Perancang,
yang membentuk pikiran berkata,
Wahai hambaku, renungkan lah dalam-dalam.

Dia tak berkata, tempa lah besi yang dingin, [10]
tapi maksudnya, wahai engkau yang sekeras besi,
dedikasikanlah dirimu bagi Dawud. [11]

Jika tubuhmu seperti mati,
cari lah pertolongan Israfil; [12]
jika hatimu membeku,
cari lah kehangatan Ruh al-Quds.

Jika berlama-lama kau kungkung dirimu
dalam selimut pakaian khayalan,
segera kau dapati pikiranmu berubah jahat.

Sehingga Akal Sejati tanggal:
tak didapati persepsi yang sejati
tak pula diperoleh pengalaman kesejatian.

Disini aku harus menahan lisanku,
jika kukatakan yang sebenarnya,
akan banyak penyingkapan yang mempermalukan.

Apakah sebenarnya arti iman?
Maknanya: yang menyebabkan mata-air-sumber mengalir.
Ketika janin keluar dari rahim,
ia disebut rawan. [13]

Filsuf yang sejati itu
orang yang jiwanya telah dimerdekakan
dari kungkungan penjara tubuh,
lalu berkelana (rawan) di taman Kesejatian.

Ke dua hal pokok di atas itu didapat melalui anugerah,
maka perhatikan lah dengan cermat;
Semoga engkau terberkati.

Catatan:
[1] "... Dan syaithan jadikan mereka memandang baik perbuatan mereka, dan menghalangi mereka dari jalan (Allah) ..." QS [Al 'Ankabuut [29]: 38)
[2] Ketika ke dua putera Adam a.s, Qabil dan Habil diperintahkan berkurban, maka kurban Qabil ditolak. Adiknya, Habil, berkata, "... Sesungguhnya Allah hanya mengabulkan dari (orang-orang) al-Mutaqiin." (QS Al Maa-idah [5]: 27)
[3] "Kami berfirman, 'Wahai api, menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.'" (QS Al Anbiyaa [21]: 69)
[4] "... maka Kami tenggelamkan dia serta mereka yang bersamanya, seluruhnya." (QS Al Israa [17]: 103)
[5] Kaum Tsamud yang tinggal di daerah Hijr akhirnya "... dibinasakan oleh suara yang menggelegar di waktu subuh." (QS Al Hijr [15]: 83)
[6] "Adapun kaum 'Aad, mereka telah dibinasakan oleh angin yang sangat dingin lagi kencang." (QS Al Haaqqah [69]: 6)
[7] "Maka Kami benamkan ia beserta rumahnya kedalam bumi. Maka tiada baginya suatu golonganpun yang menolong dari adzab Allah, dan tiada pula ia yang dapat membela diri." (QS Al Qashash [28]: 81)
[8] "Kemudian mereka mendustakannya (Syu'aib), lalu mereka ditimpa 'adzab, pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya 'adzab itu hari yang agung ('adziim)." (QS Asy Syu'araa [26]: 189)
[9] "Kemudian Musa melemparkan tongkatnya, maka tongkat itu menelan apa yang mereka ada-adakan" (QS [Asy Syu'ara [26]: 45)
[10] Maksudnya, menghabiskan daya dan waktu dalam pemikiran spekulatif. [11] Nabi Dawud a.s, Insan Kamil yang bertugas ketika Bani Israil diboikot habis sehingga tak memiliki kekuatan apa pun; "Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud, membuat baju besi untukmu, guna melindungimu dalam peperanganmu. Maka hendaklah kau bersyukur." (QS Al Anbiyaa [21]: 80) Maksudnya, agar orang-orang kuat, cerdik-cendekia atau berkuasa, tidak sekedar tenggelam asyik dalam pagelaran kecerdasan atau kekuasaan mereka tapi mendaya-gunakannya untuk mencari amal-shaleh dalam bimbingan insan kamil, yang yang dihadirkan hidup pada zaman mereka.
[12] Sang malaikat Pemegang Sangsakala Hari Kiamat.
[13] Yang bergerak, mengalir
.

Sumber: Rumi: Matsnavi VI:2151 - 2189. Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson. Ngrumi.blogspot.com

Kumpulan Hizib Syazili (5) Hizib Al Hujb

Berikut sy lampirkan Hizib Al Hujb dah Syeikh abu Hasan As Syazili. silahkan mencari ijazah untuk mengamalkan hizib ini. Semoga Allah memberikan kita keberkahan atas kemulian hizib ini

Why Sufis are not Jihadists- Habib Ali al Jifri

Wednesday, April 17, 2013

Habib Zein : Pahala Bacaan untuk Orang Mati

Bolehkah menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran dan dzikir kepada orang yang telah mati?

Ya, itu dibolehkan. Madzhab yang benar dan terpilih menyatakan sampai­nya pahala bacaan dan amal-amal jas­mani lainnya kepada mereka, dan bah­wasanya karena itu pula mereka bisa men­dapatkan pengampunan atas dosa atau peningkatan derajat, cahaya, ke­gembiraan, dan pahala lainnya lantaran karunia Allah SWT.

Apa dalilnya?

Dalilnya, Nabi SAW bersabda, “Ba­calah surah Yasin kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Hadits ini di­sampaikan oleh Abu Daud (3121), Ibnu Majah (1448), dan lainnya, dari hadits Ma’qil bin Yasar RA.

Rasulullah SAW juga bersabda, “Ya-Sin adalah jantung Al-Quran. Tidaklah seseorang membacanya dengan niat kepada Allah SWT dan menghendaki ne­geri akhirat melainkan Allah mengam­puninya. Dan bacakanlah ia kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Disampaikan oleh Ahmad (5: 26), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (10914), dan lainnya.

Ulama ahli tahqiq menyatakan, ha­dits ini bersifat umum, mencakup bacaan kepada orang sekarat yang akan mati dan bacaan kepada orang yang sudah mati. Inilah pengertian yang jelas dari hadits di atas.

Hadits ini menjadi dalil bahwa baca­an tersebut sampai kepada orang-orang yang sudah mati dan adanya manfaat padanya sebagaimana yang disepakati para ulama. Perbedaan pendapat hanya berkaitan jika pembaca tidak berdoa setelahnya dengan doa semacam ini, misalnya, “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan kami kepada Fulan.”

Jika seesorang membaca doa ini se­bagaimana yang diamalkan kaum mus­limin, yang memberikan pahala bacaan mereka kepada orang-orang mati di an­tara mereka, tidak ada perbedaan pen­da­pat di antara ulama terkait sampai­nya bacaan itu, karena ia dikategorikan seba­gai doa yang disepakati tersampai­nya.

Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka ber­doa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami’.” – QS Al-Hasyr (59): 10.

Jika dia tidak berdoa demikian de­ngan bacaannya itu, menurut pendapat yang termasyhur dalam Madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai. Namun ulama Madzhab Syafi’i generasi akhir menyata­kan, pahala bacaan dan dzikir sampai kepada mayit, seperti mazhab tiga imam yang lain, dan inilah yang diamalkan umat pada umumnya. “Apa yang menu­rut kaum muslimin baik, itu baik di sisi Allah.” Ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud RA.

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, semoga Allah melimpahkan manfaat kepada kita lantarannya, mengatakan, “Di antara yang paling besar keberkah­annya dan paling banyak manfaatnya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran dan meng­hadiahkan pahalanya kepada mereka. Kaum muslimin pun telah mengamalkan ini di berbagai negeri dan masa. Mayo­ritas ulama dan orang-orang shalih, salaf maupun khalaf, pun berpendapat demi­kian.” Silakan simak perkataan Al-Haddad RA selengkapnya dalam Sabil al-Iddikar.

Dari Ibnu Umar RA, ia mengatakan, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahannya. Segera­kanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya di­bacakan permulaan Al-Baqarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kaki­nya dengan penutup Al-Baqarah.” – Disampaikan secara marfu’ (perkataan sahabat yang dinisbahkan sebagai per­kataan Nabi SAW) oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (12: 444) dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7: 16) dari hadits Ibnu Umar RA. Al-Baihaqi mengatakan, yang benar adalah bahwasanya itu adalah perkataan Ibnu Umar RA.

Dalam kitabnya, Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengungkapkan adanya penyampaian pelajaran di atas kubur. Ia berhujjah, se­jumlah ulama salah berwasiat agar di­adakan bacaan pada kubur mereka, di antaranya adalah Ibnu Umar, yang ber­wasiat agar dibacakan surah Al-Baqarah pada kuburnya, dan bahwasanya kaum Anshar mengamalkan jika ada orang yang mati, maka mereka silih berganti ke kuburnya untuk membaca Al-Quran padanya (Ar-Ruh hlm. 10).

Ulama menyatakan, seseorang di­bolehkan menghadiahkan pahala amal­nya kepada orang lain, baik itu berupa bacaan maupun yang lainnya. Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, Nabi SAW, yang bersabda, “Dibolehkan bagi salah seorang di antara kalian, jika hendak bersedekah dengan sukarela, memberikannya kepada kedua orang­tuanya. Dengan demikian, kedua orang­tuanya mendapatkan pahala sedekah­nya dan ia pun mendapatkan seperti pa­hala kedua orangtuanya tanpa mengu­rangi pahala kedua orangtuanya sedikit pun.” – Disampaikan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (7: 92) dan Abu Syaikh Ibnu Hayyan dalam Thabaqat Al-Muhad­ditsin bi Ashbahan (3: 610).

Di antara hadits-hadits yang diriwa­yat­kan terkait hal ini, meskipun dhaif, telah ditetapkan di antara ulama hadits bahwasanya hadits dhaif dapat diamal­kan terkait fadhail al-a’mal, keutamaan-keutamaan amal.

Apa hukum bacaan Al-Quran kepada mayit dan di atas kubur?


Imam Syafi’i R.H.M. menyatakan, dianjurkan membaca ayat apa pun dari Al-Quran di dekat kubur. Jika mereka mengkhatamkan Al-Quran seluruhnya, itu baik. Ini disebutkan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin dan dalam Al-Adzkar.

Apa dalil yang membolehkannya?


Dalilnya, sebagaimana yang baru saja disampaikan di atas, perkataan Ibnu Umar R.A., “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahan­nya. Segerakanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya dibacakan permulaan Al-Ba­qarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kakinya dengan penutup Al-Baqarah.”

Hadits marfu’ juga telah disampaikan sebelum ini, “Bacalah Ya-Sin kepada orang-orang yang mati di antara kalian.” Sebagian ulama hadits menafsirkannya pada makna sebenarnya, sebagaimana ini cukup jelas dari lafal hadits. Semen­tara sebagian yang lain menafsirkannya pada makna kiasan. Maksudnya, orang yang sudah mendekati kematiannya. Namun masing-masing makna dimung­kinkan. Dan seandainya kedua makna ini sama-sama diamalkan, itu lebih baik.

Al-Khallal meriwayatkan dari Sya’bi, ia mengatakan: Jika di antara kaum Anshar ada orang yang mati, mereka silih berganti ke kuburnya untuk mem­baca Al-Quran. Demikian. Kaum muslim­in pun masih tetap membaca Al-Quran kepada orang-orang mati sejak masa kaum Anshar.

Dari semua penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya bacaan Al-Quran di atas kubur merupakan anjuran syari’at. Allah lebih mengetahui.

Apa makna firman Allah SWT “Dan tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” – QS An-Najm (53): 39, dan sabda Nabi SAW “Jika manusia mati, terputuslah amalnya”?

Dalam kitab Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengatakan, Al-Quran tidak menafikan seseorang mendapatkan manfaat dari usaha orang lain, tetapi Al-Quran hanya memberitahukan bahwasanya ia tidak memiliki kecuali usahanya. Adapun usaha orang lain, itu adalah milik orang yang melakukannya. Orang lain itu dapat menghendaki memberikannya kepada orang lain atau menghendaki menahan­nya untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, Allah SWT tidak menyatakan “Sesung­guhnya dia tidak boleh menerima man­faat kecuali lantaran apa yang diusaha­kannya sendiri.”

Sabda Nabi SAW, “Terputuslah amal­nya.” Beliau tidak menyatakan “Peman­faatannya”, tetapi beliau hanya memberi­tahukan ihwal keterputusan amalnya. Ada­pun amal orang lain, itu menjadi hak orang yang melakukannya. Jika ia mem­berikannya kepadanya, pahala amal orang yang melakukannya sampai ke­padanya, bukan pahala amalnya sendiri. Dengan demikian, yang terputus adalah satu hal, dan yang sampai adalah hal lainnya. Demikian yang disampaikannya secara ringkas (Ar-Ruh hlm. 129).

Ulama tafsir menyebutkan dari Ibnu Abbas RA, firman Allah SWT “Dan se­sungguhnya manusia tidak mendapat­kan kecuali apa yang diusahakannya” – QS An-Najm (53): 39, telah dihapus hu­kumnya dalam syari’at ini dengan firman Allah SWT “Dan orang-orang yang ber­iman, beserta anak-cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka.” – Ath-Thur (52): 21. Allah memasukkan anak-cucu ke dalam surga lantaran kebajikan leluhur mereka. Lihat Tafsîr Al-Qurthubi (17: 114).

Ikrimah mengatakan, itu terjadi pada kaum Musa AS. Adapun umat ini menda­patkan apa yang mereka usahakan dan mendapatkan pula apa yang diusahakan oleh yang lain. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa seorang wa­nita mengangkat bayinya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anak ini men­dapatkan pahala haji?”

Beliau menjawab, “Benar, dan bagi­mu pahala.” – Hadits ini disampaikan oleh Muslim (1336) dan lainnya, dari hadits Ibnu Abbas RA.

Yang lainnya bertanya kepada Nabi SAW, “Ibuku terluputkan dirinya (mati tanpa wasiat), apakah ia mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas nama dia?”

Beliau menjawab, “Benar.” – Hadits ini disampaikan oleh Al-Bukhari (1322) dan Muslim (1004) dari hadits Aisyah RA.

Perkataan penanya, “terluputkan”, kata ini diucapkan terkait orang yang mati secara tiba-tiba, dan diucapkan pula terkait orang yang tewas oleh jin dan gangguan. “Dirinya,” menurut Imam Na­wawi, “kami menulisnya dengan harakat fathah dan dhammah nafsaha dan naf­suha, dengan nashab dan rafa’. Bacaan rafa’ dengan maksud sebagai obyek yang tidak disebutkan subyeknya. Nashab dengan maksud sebagai obyek kedua.” – Syarh Muslim (7: 89-90).

Demikian, Allah lebih mengetahui.

Apa hukum bacaan Al-Fatihah dan bacaan kepada mayit serta tawasul dengannya untuk penerimaan doa?


Ketahuilah, di antara yang terbesar keberkahannya dan terbanyak manfaat­nya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran Al-Azhim dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Mayoritas ulama dan orang-orang shalih, baik salaf maupun khalaf, berpendapat demikian, dan kaum muslimin di berbagai masa dan negeri pun mengamalkannya. Dalam hadis marfu’ yang telah disampaikan terdahulu dinyatakan, “Jantung Al-Quran adalah Ya-Sin. Tidaklah seseorang membaca­nya dengan niat kepada Allah dan meng­hendaki negeri akhirat melainkan ia di­ampuni. Hendaknya kalian membaca­nya kepada orang-orang mati di antara kalian.”

Diriwayatkan dalam hadits dhaif, “Siapa yang masuk pemakaman dan mem­baca ‘Katakanlah: Dialah Allah Yang Esa’ sebelas kali, kemudian mem­berikan pahalanya kepada orang-orang mati, ia diberi pahala sesuai dengan jum­lah orang-orang yang mati.” Diriwayat­kan oleh Ar-Rafi’i dalam kitabnya At-Tarikh dan Ad-Daraquthni dalam kitab­nya As-Sunan.

Adapun tawasul dengan surah Al-Fatihah terkait penerimaan doa, ini se­baik-baik wasilah. Pada hakikatnya, itu hanyalah tawasul dengan Allah SWT. Dalam hadits qudsi dikatakan, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Disampaikan oleh Muslim dalam kitabnya Shahîh Muslim (598) dari hadits Abu Hurairah RA.

Sumber: Majalah-alkisah.com

Monday, April 15, 2013

Madrasah Hadhramaut : Jendela Bathin

majalah-alkisah

Ketahuilah, bila engkau relakan hatimu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lintasan-lintasan baik ataupun buruk dalam bentuk apa pun, engkau tidak akan pernah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lamanya.

Setelah engkau pelihara jendela-jendela lahir yang dapat mencemari hati, baik pada siang maupun malam hari, selanjutnya terdapat jendela-jendela lain yang perlu mendapat perhatian kita. Jendela-jendela yang sesungguhnya mem­pengaruhi mata dalam memandang, telinga dalam mendengar, dan lidah da­lam bertutur kata. Jendela-jendela itu ada­lah jendela bathin, sebagaimana telah disinggung pada penjelasan yang lalu.

Para ulama suluk menyebut jendela-jendela bathin ini dengan nama al-kha­wathir, yakni lintasan-lintasan yang muncul di dalam hati. Jendela jenis ini tidak dapat diindra, dan tidak pula berupa materi.

Setiap bentuk ketaatan yang disukai Allah SWT yang telah mewujud dalam ben­tuk perbuatan tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati. Ter­lintas ketaatan di dalam hatimu lalu eng­kau melakukannya. Demikian pula setiap maksiat yang dimurkai Allah yang telah mewujud dalam bentuk perbuatan, itu pun tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati.

Dosa-dosa besar, kefasikan, kedur­haka­an, aniaya, dan semua kezhaliman yang banyak dilakukan banyak manusia, dari manakah asalnya? Asal semua itu adalah lintasan-lintasan yang ada di da­lam hati lalu mereka memenuhi panggilan lintasan-lintasan itu. Lintasan-lintasan itu adalah jendela-jendela bathin hati yang datang kepada hati dari dalam dirinya sendiri. Dan jendela-jendela ini memiliki empat sumber:

Pertama, dari an-nafs (nafsu) yang disebut al-hawa (hasrat atau keinginan).

Lintasan yang bersumber dari nafsu disebut “hawa nafsu”. Di tengah kemarau yang terik, misalkan, engkau tengah ber­puasa fardhu. Di saat yang sama engkau melihat air yang sejuk dan dingin. Apa yang diinginkan oleh nafsumu? Tentu eng­kau ingin meneguk air itu. Dari mana da­tangnya lintasan itu? Lintasan itu da­tang dari nafsu, dari kebutuhan nafsu, dari keinginan nafsu.

Seseorang dengan serta merta me­ngejekmu dengan ejekan yang menyakit­kan, tentu engkau ingin segera menam­parnya. Datang lintasan kepadamu untuk menamparnya. Dari mana lintasan untuk me­nampar itu datang? Lintasan itu da­tang dari nafsu, dari keinginan nafsu, dari perbuatan nafsu.

Kedua, dari setan, sebagaimana da­lam hadits, “Setan itu memberikan bisikan kepada hati anak Adam. Bila ia berdzikir kepada Allah, setan akan menangguh­kan­nya. Namun bila ia lupa dari berdzikir ke­pada Allah, setan pun akan kembali membisikinya.”

Lintasan yang bersumber dari setan ini dinamakan al-waswas (bisikan), se­bagaimana dalam firman Allah SWT, “Dari kejahatan waswasil khannas (bisik­an setan yang biasa bersembunyi).” – QS An-Nas (114): 4.

Ketiga, dari malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang di­keluarkan oleh Imam As-Suyuthi dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sesung­guh­nya setan memiliki bisikan kepada anak adam, dan sesungguhnya malaikat pun memiliki bisikan pula. Adapun bisikan setan adalah mendatangkan keburukan dan pengingkaran terhadap kebenaran, se­dang bisikan malaikat adalah menda­tangkan kebaikan dan pengakuan terha­dap kebenaran. Oleh karena itu barang siapa mendapatkan bisikan semacam itu (kebaikan), ketahuilah, sesungguhnya itu datangnya dari Allah, maka pujilah Allah; dan barang siapa mendapatkan bisikan selain dari itu (keburukan), memohonlah perlindungan kepada Allah dari setan.”

Dari dasar ini, para ulama kemudian menamakan bisikan setan dengan nama waswasah dan bisikan malaikat dengan nama lummatul malak.

Keempat, dari al-khawathir (lintasan-lintasan) yang datang langsung dari sisi Allah SWT yang ditanamkan ke dalam hati.

Semua lintasan itu memang secara hakikat datang dari Allah SWT, baik se­bagai musibah maupun anugerah, baik sebagai ujian maupun karunia. Namun di luar sumber-sumber yang telah dise­butkan terdapat lintasan-lintasan yang Allah SWT tanamkan secara langsung ke dalam hati seorang hamba mukmin dari sisi kemahatinggian-Nya.

Lintasan semacam ini para ulama me­nyebutnya “ilham”, sebagaimana fir­man Allah SWT, “Dan demi jiwa serta pe­nyempurnaannya, Allah meng­il­ham­kan ke­pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ke­taqwaannya.” – QS Asy-Syams (91): 7-8.

Lintasan-lintasan yang ada dalam hati seorang salik sangatlah banyak, bahkan di hati setiap insan di atas muka bumi ini. Bila engkau mencoba untuk mengontrol satu lintasan yang datang di dalam hatimu dalam satu waktu, perhatikanlah, berapa lintasan yang akan datang pada saat itu juga di dalam hatimu?

Di saat engkau merasakan haus, da­tanglah lintasan di dalam hatimu, “Pergi­lah dan minumlah!” Lalu datang lagi lin­tasan yang lain, “Tetapi aku harus buru-buru, sudah janji Fulan akan datang, aku harus segera menyambutnya.” Datang lagi lintasan yang lain, “Wah, kok aku bisa lupa dengan acara anu… semua di tem­patku lagi?” Dan demikian seterusnya, da­tang silih-berganti berbagai macam rupa lintasan dalam hatimu, sampai-sam­pai seorang ahli pendidikan pernah me­ngatakan, dalam sehari semalam lebih dari 70.000 lintasan datang ke dalam hati seorang manusia.

Hal yang penting bagi seorang salik menuju Allah dalam memelihara hatinya adalah bagaimana ia mampu menda­tangkan lintasan-lintasan kebaikan, men­dengarkannya dengan seksama, dan ke­mudian memenuhinya, dan bagaimana agar ia mampu berpaling dari lintasan-lin­tasan keburukan dan menanggalkan­nya. Dengan melakukan hal tersebut, insya Allah engkau akan dapat mema­hami berbagai hakikat yang dapat me­nimbulkan dan mendatangkan dorongan-dorongan untuk semakin dekat kepada Allah SWT.

Lintasan-lintasan yang datangnya dari sumber kebaikan akan memperluas pe­mahaman dan pandangan hati terha­dap kebaikan dan selanjutnya ia pun menghendaki kebaikan. Lintasan-lintasan yang membawa bisikan keburukan, bila engkau tidak menghentikannya dari hati­mu, bila engkau tidak mengobatinya, bila engkau tidak bersungguh-sungguh dalam mengekangnya, dan bila engkau tidak men­jaga hatimu dari semua itu dan tidak pula membentenginya, akan terus-mene­rus melakukan serangan-serangan ter­hadap hati dan memperdayanya untuk berbuat keburukan.

Sebuah Renungan

Selanjutnya mari kita merenung ber­sama. Kita renungkan bagaiamana be­sarnya pengaruh lintasan-lintasan itu ter­hadap hati. Coba kita perhatikan keadaan kita pada hari ini.

Di zaman sekarang ini, sejak dini hari seseorang telah disibukkan dengan ber­bagai aktivitas. Sejak pagi, seseorang te­lah bergelut dengan berbagai kesibukan, dari kemacetan lalu lintas, tugas kantor, tu­gas seminar, tugas kuliah, urusan pri­badi, janji dengan relasi, berhadapan de­ngan klien, dan sebagainya. Datang wak­tu malam, ia pun telah lelah, karena se­harian bekerja dan beraktivitas. Tanpa di­sadari, kehidupannya terus berjalan be­gitu cepatnya. Hari berganti hari, bulan ber­ganti bulan, dan tahun pun telah ber­ganti tahun.

Kenyataan yang dilakukannya seba­gai rutinitas tanpa disadari telah mengam­bil bagian demi bagian dari dirinya. Ia bangun di waktu pagi dan kembali ke pem­baringan di malam hari tanpa menge­tahui bagaimana semestinya memelihara dirinya. Tidak siang dan tidak pula malam.

Kita lihat sebagian pemuda. Mereka tengah asyik tertidur, tidak tahu ke mana me­reka akan pergi. Di jalanan, asyik-masyuk mendengarkan musik kegemar­annya, dari satu lagu kepada lagu beri­kutnya. Mereka sibuk, lalu kapan mereka ber­pikir? Kapan duduk untuk merenungi masa yang akan datang dari kehidup­annya?

Dalam pembahasan ini, kita tidak se­dang berbicara tentang haramnya men­de­ngarkan lagu-lagu tertentu. Yang men­jadi pembicaraan kita adalah bagaima seseorang telah menceburkan dirinya ke dalam putaran roda kehidupan dengan cara semacam itu pada sepanjang waktu­nya, dari satu aktivitas kepada aktivitas lainnya, dari satu kesibukan kepada ke­sibukan berikutnya. Inilah permasalahan sesungguhnya. Sebab, mungkin saja se­seorang mendengarkan satu lagu yang indah dengan syair-syair yang meng­gu­gah hati untuk semakin mendekatkan diri­nya kepada Allah, atau paling tidak mem­bantunya dalam menjalani rutinitasnya. Ini bukanlah masalah.

Namun bila hidup seseorang telah ter­patri pada situasi dan kenyataan sema­cam itu, meskipun dengan berbagai rupa aktivitasnya, bahkan lebih dari itu, andai­kan yang didengarkannya bukanlah lagu-lagu yang haram dan tidak pula diperse­lisihkan hukumnya sekalipun, dan bahkan misalkan seseorang menghabiskan se­mua waktunya untuk berbagai macam ke­sibukan hingga tidak menemukan waktu untuk memikirkan lintasan-lintasan yang datang dalam hatinya, inilah masalahnya.

Lalu apa yang dituntut? Yang dituntut adalah bagaimana seseorang dapat pin­dah dari kehidupan yang telah dijalaninya semacam itu, yakni bagaimana kenyata­an yang selama ini telah melingkupi diri­nya dapat mengingatkan kepada kehi­dupan yang lain, yakni kehidupan akhirat.

Coba tengoklah sedikit ke belakang dan lihatlah kenyataan yang sekarang kita jalani. Yang penting bagi kita, selama kita berjalan menuju Allah, katakanlah, “Aku tidak rela bila harus terbawa arus ke­hidupan. Aku akan melaksanakan ke­wajibanku dengan sebaik mungkin. Bila aku seorang siswa, aku akan menjadi sis­wa yang berprestasi tinggi, namun bukan karena apa-apa, melainkan karena aku memiliki tujuan dari prestasi yang tinggi itu, yakni taqarub kepada Allah. Bila aku seorang pedagang, aku harus menjadi pe­dagang yang terbaik, karena aku me­miliki tujuan, dan tujuanku adalah taqarub kepada Allah. Bila aku seorang arsitek, se­orang pegawai, dan lain-lain, akan hi­dup bersama di tengah-tengah masyara­kat, tetapi hatiku bersama Allah.”

Makna “hatiku bersama Allah” yakni menghilangkan segala lintasan keburuk­an yang datang kepada hati.

Untuk itulah kita butuh suatu keingin­an setelah memahami pelajaran ini. Kata­kan, “Tidak akan pernah kubiarkan da­tang, pada siang ataupun malam hari, lintasan ke dalam hatiku seperti itu selain aku mempunyai tujuan.”

Ketahuilah, bila engkau relakan hati­mu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lin­tasan-lintasan baik ataupun buruk dalam ben­tuk apa pun, engkau tidak akan per­nah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lama­nya. Seseorang pernah mengadu, ia ber­kata, “Aku telah hadir ke berbagai majelis semacam ini, mataku pun terkadang me­nangis dan hatiku luluh karena rindu un­tuk datang kepada Allah SWT, dan aku ber­tekad untuk istiqamah setelah itu. Na­mun setelah dua-tiga hari, semua itu hi­lang dari diriku. Mengapa?”

Jawabnya, karena sesuatu yang men­jadikanmu kehilangan semua itu, itu juga yang telah membuatmu kembali ke­pada apa yang engkau telah bertaubat darinya (maksiat), membawamu kembali kepada kelalaian, dan yang juga melupa­kanmu kepada makna taraqqi (mengga­pai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT). Sesuatu itu adalah bahwa hatimu menjadi halaman yang terbuka untuk da­tang dan perginya berbagai rupa lintasan kebaikan dan keburukan. Engkau tidak me­miliki penyaring yang dapat membiar­kan masuknya lintasan yang baik dan men­cegah datangnya lintasan-lintasan yang buruk.

Setelah memahami pelajaran ini, yang harus kita lakukan adalah bersung­guh-sungguh dalam mengontrol lintasan-lintasan di dalam hati kita dengan jalan menerima lintasan kebaikan dan menolak atau berpaling dari lintasan keburukan.

Perpindahan yang Berbeda

Apa yang akan engkau lakukan bila lintasan itu telah berlalu, berubah menjadi pemahaman, dan kemudian menjadi per­buatan? Engkau telah melakukan suatu per­buatan yang engkau sendiri tidak ingin untuk melakukannya?

Bila itu terjadi, duduklah dan renung­kanlah bagaiamana engkau sampai ke­pada hal itu.

“Aku bersalah kepada si Fulan dalam ucapan karena aku merelakan diriku ikut ber­­­samanya dalam satu perbincangan yang semestinya aku tidak ikut di da­lamnya.”

Mengapa? “Karena aku menerima lin­tasan yang ada dalam hatiku. Lintasan itu berkata, ‘Aku harus meluruskannya, aku lebih hebat dalam pemahaman, dan aku lebih hebat dalam berdebat’.”

Bila engkau sudah mulai membingkai dirimu dengan rangkaian perenungan se­macam ini di dalam mengontrol lintasan-lintasan hati, yakni engkau meyakinkan ke­pada dirimu bahwa engkau memiliki ba­nyak lintasan hati yang perlu untuk di­kontrol, setelah itu engkau akan dapat me­nerima untuk memahami berbagai tim­­bangan untuk mengukur lintasan-lin­tasan tersebut sebagai wujud dari mu­jahadatun nafs (pergulatan hati), yang diba­rengi dengan penyandaran diri ke­pada Allah SWT serta berserah diri ke­pada-Nya. Sehingga, niscaya engkau akan melihat dirimu akan berpindah-pin­dah dalam kehidupanmu dengan per­pindah­an yang berbeda dari sebelumnya. Eng­kau akan berpindah dari keadaaan se­orang manusia yang berjalan dengan lintasan-lintasan yang mengarahkannya ke mana pun, dan bagaimana pun ben­tuknya, kepada keadaan seorang muk­min yang mampu mengendalikan dan mengarahkan lintasan-lintasan hatinya bagaimana seharusnya berjalan.

Semoga Allah mengaruniai kita se­mua sebaik-baik langkah dalam mengha­dapi lintasan-lintasan yang datang ke dalm hati.

Sumber :www.majalah-alkisah.com

Friday, April 5, 2013

Hadits Arba'in (18)

Hadits Ke Delapan Belas Belas

Terjemah hadits:
Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, dan Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik .“ (Riwayat Turmuzi, dia berkata, "haditsnya hasan, pada sebagian cetakan dikatakan hasan shahih).

Kandungan Hadist:
1. Takwa kepada Allah merupakan kewajiban setiap muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shaleh.

2. Bersegera melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan menghapus keburukan.

3. Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia.

4. Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.

5. Makna takwalloh (takwa kepada Alloh) adalah membuat perisai antara dirinya dengan azab dan murka Alloh, baik di dunia ataupun di akhirat. Dan perisai yang paling asasi adalah menegakkan tauhidulloh. Perintah untuk bertakwa ditujukan kepada 3 sasaran, yaitu:
Ditujukan kepada seluruh manusia, maka takwa di sini maknanya adalah menunaikan tauhid dan membersihkan dari syirik.
Ditujukan kepada kaum mukminin, maka takwa di sini maknanya adalah melaksanakan ketaatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh dan meninggalkan kemaksiatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh.
Ditujukan kepada seseorang yang sudah bertakwa, maka perintah takwa di sini maknanya adalah perintah untuk melestarikan ketakwaannya.
Ruang lingkup Takwalloh meliputi seluruh tempat dan waktu, artinya di manapun dan kapan pun berada serta dalam kondisi apapun terkena kewajiban takwalloh. Dengan demikian, sifat takwalloh berbeda-beda sesuai dengan tempat, waktu dan keadaannya.

6. Kebajikan adalah sesuatu yang mendatangkan pahala, dan keburukan adalah sesuatu yang mendatangkan dosa atau siksa. Kebajikan yang dapat menghapus keburukan ada 2 tingkatan, yaitu:
Melakukan kebajikan dengan niat untuk menghapus keburukan. Jika melakukan kebajikan dengan niat menghapus keburukan maka sudah terkandung di dalamnya penyesalan dan taubat atas kejelekannya.
Melakukan kebajikan tanpa adanya niat menghapus keburukan. Kebajikan seperti ini secara umum akan menghapuskan kejelekannya sesuai dengan kadarnya masing-masing. Derajat yang ke-2 ini lebih rendah dibanding derajat yang pertama.

7. Husnul Khuluq adalah banyak berderma, tidak menyakiti dan berwajah ceria. Inilah tafsir Husnul Khuluq kepada sesama manusia. Seseorang mendapatkan Husnul Khuluq secara thobi’í atau hasil usaha. Seseorang yang melakukan Husnul Khuluq sebagai hasil dari jerih payahnya lebih besar pahalanya dibanding dengan yang melakukan karena sudah tabiatnya. Karena kaidah menyatakan, “Jika sesuatu diwajibkan oleh syariat maka yang lebih mendapatkan kesulitan dalam pelaksanaannya lebih besar pahalanya. Berbeda dengan apabila sesuatu itu disunahkan, maka tidak secara otomatis yang lebih mendapatkan kesulitan lebih besar pahalanya.”

Sholawat Miftahu Babil Arzaq

Sholawat Miftahu Babil Arzaq (Pembuka Pintu-Pintu Rezeki)
As Syaikh Al Qutb Muhammad Al -Budairi Ad-Dimyathi Qoddasa Allahu Sirrohu Wa Rodhianhu



Artinya: Ya Allah, Limpahkanlah SholawatMu atas pimpinan kami Muhammad, hamba Mu dan Rasul Mu, Nabi yang dibangkitkan sebagai rahmat, juga keatas keluarga dan sahabat beliau, dengan disertai salam, sebanyak bilangan yang engkau ketahui dan dijalani qalam Mu dan berjalanya hukum Mu. Ya Allah, wahai siapa yang mengatakan kepada sesuatu "Jadilah maka dia terjadi". Aku meminta kepada Mu agar engkau melimpahkan sholawatmu keatas Muhammad dan menyelamatkan aku dari lilitan hutang, serta memperkaya diriku dari kefakiran dan berilah aku rezeki yang halal dan luas penuh keberkahan dan limpahan ya Allah. Sholawat Mu atas muhammad dan keluarganya, beriringan dengan sallam.

Terdapat catatan khusus dari sholawat ini yaitu "Barangsiapa mengucapkanya sepuluh kali maka ia akan dapat melunasi hutang-hutangnya dan diberi Allah keberkahan rezekinya. Semoga Allah terus memuliakan Rasulullah Sayyidina Muhammad Shollallahu 'alaihi wassalam dan memberikan keberkahan kita yang membaca sholawat ini. Amin

Shalawat tersebut kami dapatkan dari dalam kitab Saadatud Dara`in karya Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dengan terjemahan dari Syaikhina Habib Muhammad bin Ali bin Ahmad Syihab.

Syeikh Syazili: Dunia

Sufinews
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily


Awas! Waspadalah dengan kesibukan dunia manakala dunia mendekatimu.

Awas! Dengan penyesalannya manakala dunia pergi darimu. Orang yang cerdas sama sekali tidak tergantung pada sesuatu (dunia) yang apabila dunia datang ia sibuk dan apabila pergi ia menyesal. Lalu ada yang berkata padanya, “Mereka telah memburu dan mereka telah terampas.”

IKHLAS merupakan Siapapun yang meraih sedikit saja dari dunia secara halal dengan disertai etika (adab), hatinya telah selamat dari pengotoran dan dari neraka hijab. Etika (adab) di sini ada dua macam: Adab sunnah dan adab ma’rifat. Adab sunnah adalah berpijak pada ilmu pengetahuan melalui tujuan dan niat yang baik semata bagi Allah. Sedangkan adab ma’rifat disertai izin, perintah, ucapan dan isyarat yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Isyarat di sini, merupakan pemahaman dari Allah terhadap hamba-Nya melalui cahaya keindahan-Nya dan keagungan-Nya.

Ilahi, dunia ini hina, hinalah orang yang berkubang di dalamnya, kecuali dzikrullah. Sedangkan akhirat itu mulia, dan mulia pula orang yang ada di dalamnya. Sementara Engkau yang menghinakan kehinaan dan memuliakan kemuliaan. lalu mana bisa mulia orang yang memburu selain Diri-Mu? Tau bagaimana bisa zuhud orang yang memilih dunia bersama-Mu? Maka benarkanlah secara hakiki diriku dengan hakikat zuhud sehingga aku tidak membutuhkan lagi mencari selain Diri-Mu, dan kokohkan dengan hakikat ma’rifat sehingga aku tidak butuh mencari-Mu lagi.

Ilahi, bagaimana orang yang mencari-Mu bisa sampai kepada-Mu, atau bagaimana orang yang lari dari-Mu bisa kehilangan Diri-Mu? Maka carilah aku dengan kasih sayang-Mu, dan jangan engkau cari diriku dengan siksa-Mu wahai Yang Maha Pengasih, wahai Yang Maha Menyiksa.

“Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Tak ada masalah besar bagi kami, kecuali dua hal ini: cinta dunia secara berlebihan dan rela menduduki kebodohan. Sebab, cinta dunia itu tonggak dari segala dosa besar, sedang menempati kebodohan adalah tonggak segala kedurhakaan. Sungguh Allah memperkaya dirimu jauh dari dunia lebih baik dibanding Allah memperkaya dirimu dengan dunia. Maka demi Allah tak seorang pun bisa kaya dengan dunia, sebab bagaimana bisa kaya dengan dunia, sementara firman-Nya: “Katakanlah, sesungguhnya harta dunia itu amat sedikit.”

Ada seseorang datang kepadaku, ketika aku ada dalam gua di Marokko. Lalu ia berkata padaku, “Engkau punya keahlian di bidang ilmu kimia, ajarilah aku.” Kukatakan padanya, “Baik aku akan mengajarimu tentang kimia, namun aku tidak memperdayaimu dari ilmu kimia itu satu huruf pun, seandainya engkau menerima, dan aku lihat engkau tidak akan menerima...?” Orang itu menjawab, “Hai, demi Allah aku pasti menerima.” Lalu kukatakan, “Gugurkanlah makhluk dari hatimu, dan putuskanlah keinginan agar Tuhanmu memberikan sesuatu yang selain apa yang telah diberikan padamu dari Tuhanmu.” Orang itu menegaskan, “Sungguh, aku tidak mampu menjalankan ini!”. Lalu kukatakan padanya, “Bukankan sudah kukatakan padamu, kalau engkau tidak akan menerima. Kalau begitu pergilah.”

Ada empat perkara, jadilah dirimu bersamanya, dan masuklah kapan saja engkau mau. 1) Janganlah engkau mengangkat pemimpin yang kafir, 2) janganlah memandang orang mukmin sebagai musuh, 3) jauhkanlah hatimu dari dunia dan bersiaplah menyongsong kematian, dan 4) bersaksilah bagi Allah dengan Keesaan-Nya, dan bersaksilah bagi Rasul dengan risalahnya. Lalu amalkanlah. Ucapkan:

“Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, seluruh takdir-Nya, dan seluruh kalimat-kalimat yang bercabang-cabang dari Kalimat-Nya (Kami tidak membedakan antara seseorang dari para Rasul-Nya) dan kami katakan sebagaimana mereka katakan, (kami mendengar dan kami patuh, hanya ampunan-Mu wahai Tuhan kami, dan kepada-Mu lah tempat kembali).”

Siapa pun yang berpijak pada empat hal tersebut, Allah akan menjamin empat hal di dunia dan empat hal di akhirat. (Di dunia) benar dalam bicara; ikhlas dalam beramal; rizki seperti hujan dan terjaga dari keburukan. Sedangkan di akhirat mendapatkan: ampunan agung; kedekatan yang sangat (kepada Allah); masuk ke dalam syurga yang luhur dan mendapatkan derajat tinggi. Kamudian mendapatkan empat hal pula dalam agama: Masuk ke dalam Allah; bermajlis bersama-Nya; mendapat Salam dari Allah dan meraih keridhaan Allah yang besar.

Apabila engkau ingin benar dalam ucapan, maka resapkanlah dalam dirimu dengan membaca: “Sesunggunya Kami telah menurunkan Al-Qur’an di malam qadar (lailatul qadr)”.

Apabila engkau ingin ikhlas beramal, resapkan dalam dirimu dengan membaca: “Katakanlah: Allah itu Esa”

Apabila engkau ingin luas dalam riziki, resapkankan dalam dirimu dengan membaca: “Katakanlah: Aku berlindung pada Tuhannya manusia.”

Aku pernah melihat Rasulullah Saw. bersabda: “Ada empat perkara yang tak bisa dipahami sama sekali, sedikit ataupun banyak: Cinta dunia; alpa akhirat; takut miskin dan takut manusia.”

“Seburuk-buruk manusia adalah orang yang bakhil dengan dunianya terhadap orang yang berhak, maka bagaimana dengan orang yang bakhil dengan dunia terhadap yang memiliki dunia (Allah).”

Aku melihat seakan-akan diriku berada di tempat yang tinggi. Lalu aku bermunajat: Ilahi, manakah kondisi ruhani yang paling engkau cintai dan ucapan manakah yang paling benar menurut-Mu? Amal manakah yang paling bisa menunjukkan kecintaan pada-Mu? Tolonglah aku dan tunjukkanlah diriku. Maka dikatakan padaku: “Kondisi ruhani paling Kucintai adalah ridha disertai musyahadah; sedangkan ucapan paling benar menurut-Ku adalah ucapan, Laa ilaaha illaLlah secara jernih. Sementara amal yang paling bisa menunjukkan kecintaan-Ku adalah membenci dunia dan putus asa terhadap ahli dunia, disertai keselarasan dengan-Ku.”

Lepaskanlah dirimu dari berlebihan terhadap cinta dunia, tinggakanlah untuk terus menerus bermaksiat, langgengkanlah pada masalah rahmat laduniyah (dari sisi Allah), dan mohonlah pertolongan melalui rahmat itu pada segala tindakan, serta janganlah hatimu bergantung dengan sesuatu, maka engkau termasuk orang-orang yang sangat mendalam (dan benar) dalam ilmu, dimana rahasia batin dan ilmu tidak pernah hilang.

Apabila muncul gangguan hatimu berupa bisikan maksiat dan dunia, lemparkanlah bisikan itu di bawah dua telapak kakimu sebagai sesuatu yang hina, sekaligus sebagai refeksi zuhud, lalu penuhilah hatimu dengan ilmu dan petunjuk. Janganlah engkau menunda-nunda, yang bisa membuatmu tenggelam dalam kegelapannya dan anggota badanmu terlepas di sana, lalu engkau harus memeluknya, baik melalui hasrat, fikiran, kehendak dan gerakan. Kala itu, lubuk hati menjadi terombang-ambing, dan seorang hamba “bagaikan telah disesatkan oleh syetan di pesawangan yang menakutkan dalam keadaan bingung, dia mempunyai sahabat-sahabat yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): “Marilah ikuti kami,” katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk.” Sedangkan petunjuk itu tidak akan pernah ada kecuali pada orang yang bertaqwa; tiada orang yang bertaqwa kecuali orang itu kontra terhadap dunia. Tiada orang yang kontra terhadap dunia kecuali orang yang menghina dirinya. Tidak ada orang yang menghina dirinya kecuali orang yang tahu akan dirinya. Tidak pula tahu orang yang tahu akan dirinya kecuali orang yang tahu Allah. Tidak ada yang mengenal Allah kecuali orang yang mencintai-Nya, dan tidak ada orang yang mencintai-Nya kecuali orang yang telah dipilih dan dikasihi Allah, dan antara dirinya terhalang dari hawwa dan nafsunya. Ucapkanah: “Ya Allah, wahai Yang Maha Kuasa, wahai Yang Maha Menghendaki, wahai Yang maha Perkasa, wahai Yang Maha Bijaksana, wahai Yang Maha Terpuji, wahai Tuhan, wahai Sang Raja, wahai Yang Ada, wahai Yang Memberi Petunjuk wahai Yang Maha Memberi nikmat. Limpahkanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Memberi Anugerah, dan Engkau memberi nikmat pada hamba-Mu dengan nikmat agama dan nikmat hidayah, ”menuju jalan yang lurus, jalan Allah yang Dia pemilik apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah hanya kepada Allah lah segala urusan kembali,” melalui kemuliaan Nama Agung ini. Amin.”

Apabila engkau berhadapan dengan suatu yang menjadi bagian dari dunia maka bacalah: “Wahai Yang Maha Kuat, wahai Yang Maha Perkasa, wahai Yang Maha Mengetahui, wahai Yang Maha Kuasa, wahai Yang Maha Mendengar, wahai Yang Maha Melihat.”

Manakala tambahan bekal tiba, berupa bekal dunia maupun akhirat, maka bacalah: ”Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami dari karunia keutamaan-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah.”(Q.s. at-Taubah: 59)

Wahai orang yang berhasrat pada jalan selamat-Nya yang beruntung menuju hadirat Kehidupan-Nya, jauhilah memperbanyak diri atas apa yang diwenangkan Allah kepadamu. Tinggalkan apa yang tidak masuk dibawah ilmumu dari apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu. Bergegaslah menuju kewajiban-kewajibanmu, dan tinggalkan kesibukan manusia pada umumnya untuk menjaga batinmu. Maka dalam hal meninggalkan memperbanyak diri, merupakan zuhud, dan meninggalkan hal-hal yang tidak termasuk dalam ilmumu adalah wara’. Renungkan sabda Rasulullah Saw. ”Kebaikan adalah yang menentramkan jiwa dan menentramkan kalbu. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang merajut-rajut dalam jiwa dan membawa keraguan dalam dada, walaupun manusia lain telah menasehatimu dengan yang selain dosa itu.” Maka fahamilah.Sibuk menjaga rahasia batin berarti menghormati hakikat-hakikat keimanan. Jika engkau seorang pedagang yang jeli, maka tinggalkanlah kemauanmu untuk pasrah pada Kehendak-Nya, disertai ridha pada seluruh aturan-Nya. “Dan siapakah yang lebih baik daripada Allah sebagai hukum bagi orang-orang yang yakin?” Hadis ini cukup bagimu, ”Dunia itu haramnya adalah siksa, dan halalnya adalah hisab.” Dunia yang tak ada hisab kelak di akhirat dan tak ada hijab ketika di dunia, adalah dunia yang bagi pemiliknya tidak mengandung hasrat kehendak sebelum adanya dunia itu, dan tidak pula mengandung hasrat ketika dunia menyertainya, tidak pula kecewa ketika dunia hilang dari sisinya. Sedangkan kebebasan mulia hanya bagi orang yang meraih dunia secara berhadapan, tanpa sedikit pun pengaruh yang memperdayai hatinya (karena dunia itu).

Aku pernah bermimpi melihat Abu Bakr ash-Shiddiq, lalu beliau berkata padaku, “Tahukah engkau apa tanda keluarnya cinta duniawi dari dalam kalbu?” Aku bertanya, “Apa itu?” Beliau menjawab, “Meninggalkannya ketika ada, dan merasa ringan ketika dunia tak ada.”

Sumber: Sufinews.com

Memahami Agama, Kunci Dari Tarekat

Sufinews
Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

DARI sini kaum sufi mengatakan: “Pahamilah agama anda lebih dahulu baru anda kemari dan masuk ke dalam tarekat.” Ini dengan harapan tidak banyak memperhatikan lagi kepada selain tarekat. Barangkali ia baru mulai masuk dalam majelis dzikir misalnya, kemudian masih butuh menelaah pelajaran-pelajaran syariatnya, menghadiri diskusi bersama para pencari ilmu (mahasiswa) dan banyak berdebat. Ini akan menjauhkan dari makna yang dimaksud dalam tarekat untuk selalu muraqabah kepada Allah Swt. saja, dimana sebagian besar ilmu-ilmu yang rumit dan pelik akan ikut mempengaruhi bagian nafsu. Sementara seluruh landasan tarekat dibangun atas dasar melawan dan tidak menuruti kesenangan nafsu. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

Dan seyogianya seorang murid memiliki saksi yang bisa membuktikan pengakuannya dalam setiap kondisi dan tingkatan spiritual, apakah pengakuannya sekadar berpura-pura atau memang pengakuan yang sesungguhnya. Kalau ia mengaku cinta kepada Allah maka warna temperamennya akan lebih cenderung pucat, bila mengaku zuhud dalam masalah dunia maka ia akan menjauhi orang-orang yang jahat, dan bila mengaku dalam kondisi kelaparan maka tubuhnya kelihatan kurus.

Asy-Syarifal-Ahmadi bercerita: Kami pernah di majelis orang-orang fakir sufi yang ada di Bahasna untuk mengunjungi orang-orang saleh. Ternyata secara tiba-tiba ada seorang pemuda yang kelihatan kurus datang kepada kami. Warna kulitnya kelihatan pucat dan menunjukkan tanda-tanda orang baik. Ketika salah seorang dari kami yang bisa bersyair melihatnya maka ia melagukan bait syair:

Dan kerinduan menjadikannya kurus dan selalu mendapat bagian ketika terbenamnya bintang untuk selalu merintih

Kemudian pemuda itu menjerit dan dengan tangannya ia memukuli tiang, sampai pecah. Dan akhirnya kerinduan semua orang yang ada di tempat itu bergerak.

Maka bisa diketahui, bahwa setiap orang fakir sufi yang tidak pernah menderita kelaparan dan beratnya mujahadat ia akan terus diliputi kebekuan hati dan diliputi oleh hijab yang sangat tebal. Andaikan mendengar al-Qur’an ia hampir tidak bisa mendapatkan nasihat apa pun dan larangan-larangan-Nya karena sangat tebalnya hijab. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

MENGAMBIL ALTERNATIF YANG LEBIH BERHATI-HATI

DAN diantara perilaku murid, hendaknya ia mengambil cara yang lebih berhati-hati dalam masalah agama dan keluar dari perbedaan pendapat para ahli fikih menuju pada pendapat yang paling disepakati mereka semampu mungkin. Ini dimaksudkan agar ibadahnya bisa dianggap sah oleh semua madzhab, atau paling tidak sebagian besar madzhab fikih. Sebab kalau syariat memberikan keringanan (rukhshah) itu hanya diperuntukkan orang-orang lemah dan mereka yang dalam kondisi darurat atau memiliki kesibukan. Sedangkan kaum sufi tidak memiliki kesibukan apa pun kecuali selalu mengambil tindakan nafsunya untuk selalu melakukan ketentuan syariat yang bersifat hukum asal (azimah). Oleh karenanya kaum sufi mengatakan: “Apabila seorang fakir sufi telah turun dari tingkatan hakikat menuju pada keringanan-keringanan yang diberikan syariat, berarti ia telah merusak dan membatalkan perjanjiannya dengan Allah.”

Dan diantara perilaku yang harus dilakukan murid hendaknya menyembunyikan seluruh kondisi spiritualnya yang terjadi antara dia dengan Allah Swt. semampu mungkin, sampai tertanam kuat pada tingkatan menjaga dan memperhatikan al-Haq saja, tanpa memperhatikan siapa pun dan makhluk-Nya. Maka hampir tidak seorang pun yang mampu mengambil kedudukan spiritualnya dan tidak seorang pun yang tahu kondisi spiritualnya, karena sangat rapat dalam menjaga dan menyembunyikannya.

Ada salah seorang fakir sufi datang kepada Syekh Muhammad asy-Syarbini dan melantunkan bait syair di depannya:

Berapa banyak pemuda yang menyangka aku jauh
Sedangkan dia diam berada di bawah tenda

Maka Syekh asy-Syarbini berteriak dan bangkit kemudian memegang si pemuda yang melantunkan syair tersebut sembari bertanya, “Dari mana anda tahu akan hal itu?”

Para ahli tarekat telah sepakat bahwa, seorang murid apabila yang memberikan dorongan untuk beramal itu selain al-Haq, maka tidak akan ada sesuatu yang muncul darinya. Mereka juga sepakat bahwa, setiap murid yang suka pamer agar semua orang bisa melihat kesempurnaannya maka ia telah terputus. Apalagi kalau semua orang ingin mencari berkah darinya maka habislah sudah secara keseluruhan.

Seorang murid juga harus melatih dan memantapkan dirinya untuk selalu sanggup memikul beban penderitaan dalam menempuh tarekatnya, dan tidak segera berpaling dan tarekat untuk mencari alternatif lain bila ditimpa penyakit, kekurangan, dan bencana yang menyusulnya. Untuk selamanya ia juga tidak boleh mengambil keringanan bila sedang ditimpa kesulitan, kemiskinan dan kondisi yang membahayakan. Sering kali terjadi pada murid dijauhi oleh semua orang bila ia sudah masuk ke dalam tarekat kaum sufi. Mereka akan menguasai harga dirinya dengan mencemooh dan meremehkannya. Pada saat seperti itu setan akan datang menemuinya sembari mengatakan, ‘Anda tidak perlu untuk mencari tarekat kaum sufi seperti itu. Berapa tahun anda enak dan tidak ada masalah di tengah-tengah masyarakat? Semua orang mengatakan anda baik dan tidak pernah mengumpat karena kesalahan anda!” Akhirnya kalau menuruti omongan setan, si murid akan segera membatalkan perjanjiannya dan mengundurkan diri dari tarekat, akhirnya semakin bercerai-berai, yang tidak layak lagi masuk di tarekat dan juga yang lain. Maka hendaknya seorang murid berteguh pendirian untuk tetap berjalan di tarekat dan tidak guncang dengan membawa kebenaran hanya karena ujian yang ada di dalamnya, karena sesungguhnya hal itu dari setan. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

TIDAK PERNAH MENINGGALKAN SANG GURU

DIANTARA perilaku yang harus dilakukan murid, bila ia memiliki seorang guru maka ia harus tetap bersama sang guru dan tidak pernah meninggalkannya. Kalau ia sedang bermujahadat hendaknya berkhalwat dengan menghadap ke pintu rumah sang guru, agar penglihatan sang guru selalu menatap kepadanya ketika dia hendak keluar. Hal itu merupakan tanda keberhasilan dan kebahagiaan Si murid. Barangkali sekali tatapan mata sang guru mampu menjadikannya “emas” yang tampak di mata sehingga tidak butuh lagi bermujahadat, sebagaimana yang terjadi pada Tuan Guru Yusufal-’Ajami.

Suatu hari ia keluar dan khalwat, dan tidak menemukan seorang pun dari kaum fakir sufi yang bisa dilihatnya. Pertama kali yang ditatap oleh penglihatan matanya adalah seekor anjing. Akhirnya seluruh anjing yang ada di Mesir mengikutinya, dan berjalan di belakangnya ke mana pun ia berjalan, dan berhenti bersamanya di mana pun ia berhenti. Akhirnya semua orang mengkhawatirkan sapi dan binatang ternak yang lainnya akan seperti anjing-anjing tersebut. Maka Tuan Guru berjalan di belakang anjing-anjing tersebut sembari mengusirnya. Akhirnya anjing-anjing itu meninggalkannya. Tuan Guru berkata, “Andaikan tatapan pandangan mata yang pertama kali itu tertuju pada manusia, tentu ia akan menjadi seorang imam yang diikuti.”

Kaum sufi mengatakan: “Sepantasnya seorang murid tidak mengadakan perjalanan jauh atau bepergian sebelum diterima oleh tarekat. Sebab bepergian bagi seorang murid merupakan racun yang mematikan.”

Imam al-Qusyairi —rahimahullah— mengatakan: “Apabila Allah menghendaki seorang murid itu baik, maka Allah akan menetapkannya di tempat keinginannya dan melanggengkannya untuk selalu berada dijalan mujahadatnya. Akan tetapi bila Allah menghendakinya jelek, maka Allah akan mengembalikannya pada kondisi sebelum ia bertobat dan disibukkan dengan urusan dunia sehingga jauh dari-Nya.” Al-Qusyairi juga mengatakan: “Kebaikan dan segala kebaikan adalah selalu berhenti di depan pintu gerbang sang guru. Apabila Allah menghendaki seorang hamba itu jelek maka Dia akan mencerai-beraikannya ke tempat pengasingan sebelum ia kokoh dalam masalah-masalah Tuhannya.”

Sementara akhir dari masalah dalam pengembaraannya hanya akan menjadi hijab yang kosong dari adab yang diinginkan atau bertambahnya tempat-tempat baru yang ia kunjungi atau bertemu dengan guru-guru yang tidak harus mengikatkan diri dengan salah seorang dari mereka untuk mendidik. Orang seperti ini tidak terbebani untuk selalu berjalan pada jalur tarekat yang telah ditentukan. Sebab Allah tidak menghendakinya naik ke tingkatan para tokoh sufi. Andaikan Allah menghendaki untuk naik tentu Dia akan mengikatkannya dengan seorang guru yang bakal dia layani dan berjanji untuk selalu mendengar dan taat terhadap apa yang disuka dan dibenci. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu.

Sumber: Sufinews.com