Showing posts with label Habib Lutfi bin yahya. Show all posts
Showing posts with label Habib Lutfi bin yahya. Show all posts

Tuesday, April 2, 2013

Hb. Lutfi : Syarat Belajar Thoriqoh

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya seorang pemuda berumur 27 tahun, belum menikah, ingin belajar tarekat, tetapi tidak diperbolehkan oleh bapak saya. Katanya, saya baru boleh belajar tarekat setelah berumur 40 tahun. Benarkah hanya orang-orang yang sudah berumur 40 tahun atau lebih yang boleh mempelajari tarekat? Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Amiruddin

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jawaban saya untuk Sdr. Amiruddin, untuk sementara patuhilah nasihat orang tua. Karena umur Anda masih muda, lebih baik memperkaya ilmu, entah itu melalui jalur sekolah, madrasah, maupun pesantren. Kesempatan yang baik itu saya namakan peluang emas. Jangan disia-siakan. Adapun bahwa mengikuti tarekat harus setelah umur 40 tahun, perlu saya luruskan.

Tarekat itu untuk orang-orang yang sudah cukup ilmunya. Terutama sudah mengetahui yang sudah diwajibkan syariat Allah, seperti mengetahui mana yang wajib, mustahil, ja'iz (mungkin) bagi Allah. Maksudnya, dia telah mengerti 20 sifat Allah.

Kedua, dia telah mengetahui hukum-hukum ibadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, yang membatalkan wudhu, rukun shalat, yang membatalkan shalat, dan bisa membedakan mana yang halal dan haram. Bilamana itu sudah tercukupi, dipersilakan menambah amalan-amalan atau ibadah dalam tarekat, karena tarekat tidak mengatur yang zahir belaka. Tarekat juga mengatur hati supaya bersih dari sifat-sifat yang tidak dibenarkan oleh Allah dan RasulNya. Hal demikian itu, perlu kita rintis dari sedini mungkin. Ya, kita belajar untuk membersihkan lahiriah maupun hatiniah.

Tapi, nasihat ayah Anda bahwa mengikuti tarekat menunggu setelah umur 40 tahun, itu pun tidak salah. Karena dia mengambil kebijaksanaan seorang bapak yang sayang kepada anaknya, supaya anaknya mempersiapkan diri lebih matang. Tuntunan seseorang ayah kepada anaknya merupakan tanggung jawab, dengan harapan bahwa anaknya akan semakin dewasa. Karena, si anak akan menghadapi berbagai tantangan yang nanti hasilnya akan menjadi bekal hidupnya. Sebagai seorang ayah, ia berharap kepada anaknya untuk bisa mendapatkan pekerjaan, misalnya. Pertama-tama, untuk diri Anda sendiri. Yang kedua, tentu Anda harus bisa memperingankan beban kepada kedua orang tua Anda dalam menyongsong masa tua mereka.

Ketiga, tidak selamanya nanti Anda sendirian. Paling tidak, sebagaimana manusia yang normal, ingin mendapatkan pasangan untuk teman hidup di dunia sampai akhirat. Apakah Anda sudah mempersiapkan itu semua? Dari situlah orang tua yang bijak lebih jauh pandangannya dalam memberikan nasihat.

Sumber: Majalah Al Kisah

Saturday, December 15, 2012

Hb. Lutfi:Ahli Kubur Bisa Mendengar Doa

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pada tanggal 12 Juni 2005 saya diajak ke makam Syeikh Subakir di Gunung Tidar, Magelang, oleh guru saya, K.H. Syekh Abdul Jalail bin Thoyyib Assa'id (Gus Jalil), Kudus. Beliau membaca berbagai bacaan yang selalu diikuti jemaah. Antara lain, Salamullah ya sadah dan seterusnya, Al-Fatihah, Yasin, Al-Wáqi'ah, Asma al-Husna, tahlil, kemudian ditutup dengan bacaan Maulid, dengan Asyraqal kaunubtihajah dan seterusnya. Adakah dasar-dasarnya amalan tersebut? Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

K.A. Rifai


Jawaban:

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Doa para alim ulama dalam ziarah kubur pasti ada dasar-dasarnya. Ketakutan seorang ulama itu kepada Allah (Swt) sangat tinggi. Jadi mereka tidak mau berbuat sesuatu yang mengada-ada, yang tidak ada dasarnya, yang mengundang pertanggungjawaban di hari Kemudian.

Contoh, mengambil sepotong ayat, "Dan Tuhanmu berfirman,
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS Al-Mukmin: 60).

Lalu bab perintah ziarah kubur dalam Hadist, "Dahulu aku melarang kamu ziarah kubur, sekarang berziarahlah." Namun banyak orang yang memotong Hadist ini, dan tidak dilanjutkan, jadi bunyinya hanya, "Aku telah melarang kamu berziarah kubur." Kalau tidak dilanjutkan, akan mengundang pertanyaan. Karena, dalam uslub (tata bahasa) dalam kalimat yang didahului dengan kata kerja madhi' (past tense, kata kerja lampau), kalau kata kerja lampau itu diucapkan, selalu mengundang pertanyaan: Lalu sekarang bagaimana?

"Dulu aku melarang kamu berziarah kubur", mestinya orang bertanya, sekarang bagaimana. Di sini, Hadist itu dilanjutkan oleh Rasulullah, "sekarang berziarahlah."

Tujuan orang berziarah, pertama, mengingatkan kembali kepada kita bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah. Kedua, mengingatkan kita, apa yang harus kita bawa (bekal) ketika keluar dari dunia yang fana ini. Ketiga, dzikr al-maut bertujuan untuk membangkitkan amal saleh, bukan untuk memupuk rasa takut mati, tapi takut kalau mati dalam keadaan yang buruk.

Berziarah kubur akan mendorong kita mengubah sikap serta amal yang tidak baik. Adapun doa-doa ziarah kubur, karena ada perintah dari Allah "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan", sangat luas. Kita bisa minta kepada Allah dengan perantaraan bacaan surah Al-Fatihah. Atau dengan lantaran bacaan Al-Qur'an yang lain. Dan pahala bacaan Al-Qur'an itu kita hadiahkan kepada para ulama yang kita cintai. Siapakah yang mengatakan doa seperti ini tidak sampai kepada Allah (Swt)? Kita tidak bisa mengklaim suatu doa itu sampai atau tidak kepada Allah, yang bisa mengetahui hanya Allah. Apalagi tentang mendoakan orang lain, shalat lima waktu kita saja kita tidak tahu, apakah diterima Allah atau tidak. Itu hak Allah. Jadi, perlu diingat, tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan para wali maupun ulama yang saleh akan menyimpang dari keteladan Nabi dan para sahabat.

Bacaan, "Salamullah ya sadah" merupakan bagian dari ajaran Rasulullah (saw). Rasulullah kalau berziarah kubur mengucapkan salam,"Assalamu'alaikum, ya ahlul kubur, wal mukminin wal mukminat." Ada lagi Hadist, "Ya daril kaumul mukminin". Artinya, kalau Rasulullah memberikan salam kepada ahli kubur, berarti ahli kubur itu mendengar apa yang diucapkan Rasulullah. Bahkan telapak sandalnya saja mereka mendengar. Para ahli kubur mendengar setiap telapak kaki yang masuk ke kuburan. Apalagi orang membaca doa. Apalagi orang membaca Al-Qur'an. Apalagi orang membaca tahlil. Dari situlah, ungkapan "Assalamu'alaikum, ya darul mukminin" di dalamnya diteruskan oleh para alim ulama, "Salamullah, ya sadah minar-rahman yaghsyakum, ibadallah ji'nakum, qashadnakum thalabnakum". Itulah di antaranya luasnya doa ziarah kubur yang artinya, Semoga Allah memberikan keselamatan, wahai orang yang mulia, (keselamatan) dari Yang Maha Pengasih. Itu semua merupakan doa, permintaan kepada Allah, untuk siapa yang diziarahi, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah. Seperti kita mengucapkan kalimat "Assalamu'alaika ayyuhannabiyyu warrahmatullahi wabaraktuh, assalamu'alaina wa'ala 'ibadillahish-salihin."

"Assalamu'alaina" di sini memiliki arti yang luas. Sebab di sini lafalnya jamak. Namun secara terperinci sudah merangkum semuanya, dan diucapkan lagi oleh Baginda Nabi, karena cintanya Rasulullah kepada para salihin. Sedang di dalam kalimat tersebut, para salihin sudah termasuk di dalamnya. Seperti ketika shalat, kita senantiasa mengucapkan "Ihdinash-shirathal mustaqim, atau "tunjukkanlah kami jalan yang lurus." Di sini lafal tersebut menggunakan kata "kami", bukan "saya", untuk menunjukkan bahwa subjeknya umat Islam secara umum.

Sumber: Majalah Al Kisah

Monday, October 22, 2012

Hb. Lutfi: Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi.

Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk.

Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Saleh

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?

Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt).

Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja.

Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).

Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.

Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.

Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.

Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram.

Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib. Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.

Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.

Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.

Sunday, July 29, 2012

Hb. Lutfi : Kunci Dalam Berdoa

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Saya berbahagia bisa berkonsultasi masalah spiritual, agama, dan lain sebagainya. Untuk itu saya memberanikan diri untuk coba menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan spiritual itu.
Selama ini saya selalu berdoa namun mengapa belum juga dikabulkan. Saya tidak berburuk sangka kepada Tuhan, na’udzubillah. Sebab, Allah Maha Tahu terhadap apa yang tepat bagi saya. Namun, sebagai manusia, saya memiliki keinginan-keinginan, misalnya, ingin memiliki kendaraan, rumah, naik jabatan, dan lain sebagainya. Sebagai pegawai negeri memang mustahil bisa kaya raya. Permintaan saya, bagaimana saya sekeluarga bisa hidup layak, bisa menyekolahkan anak dan lain sebagainya. Apakah saya harus kontrak rumah dan naik bus umum terus menerus sementara saya sudah memiliki dua orang anak dan kesemuanya sudah menjelang masuk sekolah.
Pernah saya bertanya kepada seorang Kiai yang dijawabnya bahwa Allah tak menolak doa saya, tapi berproses. Kalau tiba-tiba saya menjadi kaya, orang akan curiga. Tapi, Allah (Swt) akan menentukan jalan rejeki saya. Jawaban kiai itu masuk akal. Apalagi, katanya, menjadi kaya itu juga butuh mental yang siap. Kalau tidak, bisa gila, sombong, dan kemudian durhaka kepada Allah yang memberinya.
Kini, saya pasrah dengan apa yang diberikan Allah. Saya hanya bekerja keras dengan mencari uang halal. Saya juga coba merangkap mengajar. Saya menghindari betul yang namanya korupsi dan sogokan. Kalau ada orang memberi uang saya, saya tanya untuk apa uang itu? Jika terkait dengan pekerjaan, saya menolaknya.
Yang ingin saya tanyakan, adakah kunci doa agar dikabulkan Allah. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi. wabarakatuh.
Muhammad Faisal Mukim

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas perhatian Anda. Islam itu memang agama doa. Hampir semua aktifitas kaum muslimin selalu diawali dan diakhiri dengan doa. Mengapa demikian? Karena kaum muslimin menganggap hidup ini adalah dalam rangka menjalankan perintah Allah yang di dalamnya penuh dengan ibadah. Berdoa juga ibadah. Nabi pernah bersabda bahwa orang yang tidak pernah berdoa adalah orang yang sombong. Nabi bersabda: "Doa itu adalah pedang (senjata) orang beriman." Sebab, dengan berdoa, kita masih mempercayai Dzat Maha Tinggi yang Maha Kuasa atas segala makhlukNya. Allah berfirman:"Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan."

Lantas, bagaimanakah cara berdoa yang disukai Allah sehingga peluang terkabulkannya menjadi lebih dekat? Dalam beberapa kitab yang membahas tentang doa seperti yang dikutip oleh Mundzir Nadzir dalam Afdhaliyyah Al-Wasa’il disebutkan bahwa ada empat belas kunci agar Allah cepat mengabulkan permohonan. Pertama, bacalah basmalah dan hamdalah (alhamdulillah) atau pujian kepada Allah serta shalawat kepada Rasulullah, keluarga serta sahabatnya untuk mengawali permohonan. Kedua, mohonlah ampunan atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuat dengan mengucapkan istighfar.

Ketiga, sampaikan permohonan itu dalam kedaan suci, memiliki wudhu, bahkan apabila perlu lakukanlah mandi taubat. Keempat, sampaikanlah permohonan dengan hati yang khusuk dan tertuju sepenuhnya kepada Allah. Kelima, berdoa dengan hati ikhlas, tanpa paksaan, penuhi kecintaan serta kepatuhan kepada Allah. Keenam, menghadap kiblat, karena hal itu sangat disukai oleh Allah. Ketujuh, membersihkan perut dari makanan yang haram. Jika pernah makan atau minum sesuatu yang dilarang, kosongkanlah dulu pengaruhnya seraya bertobat. Jika pernah makan makanan hasil korupsi atau hasil curian, misalnya, segeralah bertobat dan tak mengulanginya lagi.

Kedelapan, ucapkanlah permohonan dengan suara lirih bukan lantang. Kesembilan, gunakanlah wasilah (perantara) melalui para Nabi dan orang-orang suci lainnya. Kesepuluh, saat berdoa tidak memandang ke atas. Kesebelas, utarakan permohonan secara berulang-ulang dengan bahasa yang dimengerti, dan tidak meminta hal-hal yang berbau maksiat, contohnya memohon agar menang lotere dan lain sebagainya. Kedua belas, merentangkan kedua tangan hingga sejajar dengan pundak selayaknya orang berdoa. Ketiga belas, jika memang benar-benar ingin memohon kepada Allah, usahakan diawali dengan shalat sunnah hajat. Sebab, dalam, beberapa Hadist disebutkan, jika kita menginginkan pertolongan Allah, maka dirikanlah shalat dua rekaat lalu mintalah kepada Allah. Menurut sabda Nabi, permintaan itu akan dikabulkan. Keempat belas, harus yakin bahwa Allah mengabulkan doanya. Sabda Rasulullah, "Berdoalah kepada Allah dan kalian yakin Allah mengabulkannya."

Kalangan sufi pernah berkata, "Dosa yang paling besar umat manusia adalah menganggap Allah tidak mengabulkan doanya." Karena doa juga merupakan ibadah, maka berdoa juga berpahala. Karena itu, senantiasalah berdoa. Seandainya, Allah belum juga mengabulkannya, maka kita sudah mendapatkan pahala berdoa.

Perlu Anda ingat juga, jika manusia bosan dengan permintaan orang lain berulang kali, maka Allah justru sebaliknya. Dia (Swt) sangat menyukai seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya.

Sumber: Majalah Al Kisah

Sunday, June 24, 2012

Habib Lutfi: Amalan Bertemu Nabi Khidir

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya senang dapat berkonsultasi. Saya mohon penjelasan tentang beberapa hal.
Pertama, benarkah ada wirid dan amalan agar dapat bertemu dengan Nabi Khidhir dan Wali Sanga? Jika benar, apa wirid dan amalan tersebut? Kedua, ada beberapa orang yang katanya dapat bertemu dengan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Benarkah yang mereka temui untuk berkonsultasi itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga?
Ketiga, bolehkah penganut tarekat belajar menjadi paranormal? Samakah paranormal dengan Kahin yang disebutkan dalam Hadist Rasulullah (saw)?
Keempat, bolehkah seseorang berbaiat kepada dua orang mursyid sekaligus, misalkan Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah dan Sadziliyah? Demikian pertanyaan kami. Atas penjelasannya, kami haturkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Taufiq S.

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Amalan atau wirid yang bisa mengantar atau membantu kita agar bertemu Nabi Khidhir dan Nabi Muhammad itu memang betul ada. Tapi masalah bertemu dengan para Wali Sembilan atau bertemu dengan para wali lainnya itu adalah bagian dari nilai tambah membaca amalan itu. Beberapa wirid yang insya Allah bisa membantu maksud dan tujuan Anda, antara lain dengan membaca al-Ismu al-A'zham yang tertera dalam kitab Sa'adatu Ad-Darrayn. Shalawat tersebut adalah milik Syekh Muhammad Taqiyyudin al-Hambali. Bunyi shalawat itu cukup panjang dan dimulai dengan kata-kata "Allahumma Inni as'aluka bismika al-a'zham" yang artinya, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan berkat nama-Mu Yang Maha Agung." Atau bacaan lain berupa kalimat shalawat. Beberapa wirid itu dapat membantu mempermudah untuk bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad (saw) atau Nabi Khidir (as).

Masalah bertemu dengan para wali Allah, seperti pertanyaan Anda yang kedua, bisa dikatakan mudah. Para wali Allah yang sudah sempurna kedudukan dan kewaliannya adalah bagian dari para pewaris Nabi. Sedangkan setan tidak bisa menyerupai Nabi. Makanya para wali Allah yang benar-benar mencapai derajat yang tinggi adalah bagian dari pewaris Nabi, yang tidak mampu diserupai oleh setan.

Masalahnya, orang yang bertemu itu sendiri harus bisa memahami, ilmu tauhidnya harus benar, bisa membedakan mana Sunan Bonang yang sebenarnya dan mana yang mengaku sebagai Sunan Bonang (bukan menyerupai). Mengaku berbeda dengan menyerupai. Kalau menyerupai, setan dijamin tidak bisa menyerupai para wali Allah. Kebenarannya, semua berpulang kepada apa yang diberikan oleh beliau, melanggar syariah atau tidak.

Perlu dicatat, pertama, yang membedakan antara zat yang sekadar mengaku dan yang sebenarnya, terletak pada apa yang diperintahkan. Kedua, bila sudah bertemu, bagaimanakah orang tersebut, apakah ia semakin kuat dalam agamanya atau tidak. Kalau semakin tekun terhadap agamanya, itulah yang disebut khaddam. Tapi, kalau maksiatnya semakin menjadi-jadi, berarti yang datang itu sekadar mengaku. Belajar untuk memenuhi kewajiban dalam menuntut ilmu, termasuk belajar menjadi paranormal, itu tidak ada persoalan. Yang jadi masalah kalau seorang ahli tarekat yang sudah benar mau belajar menjadi paranormal. Alasannya pertama karena, pembukaan hijab (tirai) paranormal itu sudah ada dalam tarekat. Kalau paranormal hanya enam buah hijab, sedangkan tarekat itu ada sebelas buah. Makanya, sesungguhnya malah tidak masuk akal dan tidak akan terurai sebenarnya, di mana seorang ahli tarekat belajar menjadi paranormal (yang derajatnya lebih rendah).

Mengapa para ahli tarekat enggan mempelajari ilmu paranormal. Karena ada batasan atau koridor bahwa ahli tarekat itu tidak mau mendahului kehendak Allah. Ada paranormal yang bisa dikatakan sebagai seorang Kahin, dan ada yang tidak. Perbedaannya adalah bagaimana memulainya. Kalau pemahaman agamanya kuat, maka ia merupakan seorang yang beretika, beradab, dan hanya tunduk kepada-Nya. Dengan keahlian batinnya, justru akan menambah keimanan, karena ia tahu berbagai rahasia yang diberikan kepada hamba-Nya.

Tidak ada masalah kalau berbaiat terhadap dua orang mursyid, asalkan memahami benar koridor yang harus diperhatikan. harus diperhatikan bahwa baiat yang pertama itu sifatnya mutlak. Persoalannya, setelah menjalani baiat yang kedua, apakah dia menanggalkan baiat yang pertama atau tidak. Kalau sampai meninggalkan, itu berbahaya, karena bisa terkena dosa.

Selanjutnya, kenapa banyak mursyid yang tidak memperkenankan dua kali baiat, karena ada asrar (rahasia) yang berbeda dari kedua tarekat yang diikutinya. Ini bisa sangat berbahaya bagi orang yang dibaiat, apalagi kalau dia belum mengetahuinya. Satu orang mengikuti dua tarekat sekaligus bisa diumpamakan satu rumah dengan dua mesin listrik yang berasal dari mesin diesel dan listrik PLN. Diesel digunakan untuk menggantikan listrik sewaktu padam. Tapi bagaimana bisa dibayangkan kalau diesel dan listrik itu dinyalakan secara bersama-sama. Demikian, semoga Anda puas.

Sumber : Majalah Al Kisah

Saturday, May 12, 2012

Hb. Lutfi: Benarkah tarekat itu bid'ah

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pernah membaca buku yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid'ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid'ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu Hayyan

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur'an. Orang yang mempelajari Al-Qur'an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur'an.
Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman tabi'in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.

Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur'an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur'an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur'an yang cukup.

Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?

Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, "Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku." Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?

Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang bid'ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai bid'ah. Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri yang mengerti bid'ah?

Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal dan haram.

Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.

Sunday, April 15, 2012

Hb. Lutfi : Muslim Bertarekat dan tidak Bertarekat

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya yang terhormat. Saya ingin mengajukan pertanyaan penting yang berhubungan dengan masalah kemurniaan dan kesempurnaan iman.
Pertama, apakah, di dalam mendalami masalah keimanan, setiap muslim lebih baik menjadi jamaah tarekat? Kedua, apakah dengan cara menjadi anggota jamaah tarekat di bawah bimbingan mursyidnya, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamalkan tuntunan agama Islam, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muham¬mad (saw) melalui bimbingan mursyid tersebut? Bagaimana dengan para ulama atau ustad yang mengajarkan Islam tanpa menjadi anggota jamaah tarekat? Demikian pertanyaan dari saya, semoga menjadi manfaat. Amin ya Robbal Alamin.
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
.

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Tentang keimanan seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
"Katakanlah, jika kamu mencintai Allah..." (Ali Imran: 31).

Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), "Matta akunu mu'mman shadiqan?" atau "Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?" Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), "Idza ahbabtallah" atau "Apabila engkau mencintai Allah"
Seianjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasulullah (saw),"Orang itu mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya"
Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi
"Wayatawaffatuna fil- Imani qadrl tawannutihim fi mahabati,"
atau "Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah." Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw).

Hadit itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah. bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat,
«Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihl dan mengampunlmu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
(All Imran: 31).

Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabanya; di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bias dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna.

Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita,tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Diantaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagirnereka.

Setelah kita mengenal Allah dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji baga y ng mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu', dan lainnya. Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang kedua tempat tersebut dengan disertai pembimbing ataumursyid.
Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyid
akan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantarke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulai tawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya itulah perbedaannya.

Saturday, March 24, 2012

Hb. Lutfi : Pengertian Berzikir Sampai Gila

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Seorang guru tarekat memberi keterangan bahwa membaca zlkir La ilaha illallah dalam sehari semalam tidak boleh lebih dari 12.000 kali. Kalau melebihi, bisa berakibat gila. Benarkah hal itu? Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan Hadist,wPerbanyaklah zikir sampai kamu gila?" Demikian pertanyaan inl, atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Bambang, ada bacaan tertentu yang harus Anda perhatikan. Misalnya, bacaan kalimat La Ilaha illallah, bacaan Allah, Allah, kalimat yang mengandung Asma al-Husna, atau wirid yang mengandung ayat Al-Qur'an. Semua itu harus diperhatikan, karena mengandung asrar atau rahasia karena di dalamnya mengandung magnet yang tinggi, tergantung besar-kecilnya, sesuai pemberian Allah (Swt).

Hal itu tidak diketahui oleh semua ulama. Yang mengerti hanya sebagalan besar kalangan para wall. Saya ambilkan contoh yang mudah dipahami, misalnya obat-obatan. Dari tablet sampal kapsul, yang mengerti dosis-dosisnya adalah dokter. Bila si peminum obat mengalami overdosis, pasti akibatnya kurang baik. Kekuatan zikir lebih dari itu. Bila tubuh dan batinnya kurang kuat menerima asrar-nya, maka akan timbul perbuatan ganjil atau tidak pada tempatnya. Terkadang yang mengamalkan tidak merasa. Untuk itu perlu batasan dalam dosisnya.

Adapun terkait Hadist yang Anda tanyakan, yang dimaksud sampai gila adalah cinta yang luar biasa. Sebab, bila zikir dibaca dengan baik, ia mampu menumbuhkan cinta yang amat kuat kepada Allah, juga tumbuh rasa khawf (takut) bila imannya meluntur atau tipis, yang berakibat dirinya jauh dari Allah dan Rasul-Nya. Maka gandengan kalimat khawf adalah raja' (peng-harapan) yang penuh. Tiada yang bisa diharapkan terkecuali Allah, baik untuk bersandar, berteduh, berlindung maupun memohon. Yang ditakutkan adalah matl dalam keadaan su'ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek), dan yang diharapkan yaitu mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik). Selain dan khawf, raja', ada juga haya', yang artinya malu kepada Allah. Dia malu bila berbuat maksiat, malu bila akhlaknya dan budi pekertinya tidak terpuji kepada Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para wali, dan para ulama. Itulah yang terkandung dalam Hadist tersebut. Jadi bukan gila dalam pengertian penyakit dan bukan pula gila dalam pengertian meninggalkan syariat atau sunnah, akhlak dan adab Nabi (saw).

Orang yang gila (tergila-gila) atau gandrung kepada Allah jauh berbeda dibanding gila karena maksiat. Biasanya orang yang gandrung dengan pacarnya, akan berpakaian rapi, menggunakan parfum, berbuat apa saja untuk mendapat simpati dan cintanya. Padahal bila sudah tercapai, orang yang dicintai dan dinikaihnya itu, tidak bisa menjamin akan selamatdari api neraka, atau menjadi jaminan masuk surga-Tetapi, kalau kita gandrung dengan Yang Menciptakan surga, Pastilah kita akan didekatkan dengannya, masuk surga.

Sumber : Al Kisah

Tuesday, February 28, 2012

Hb. Lutfi: Syareat dan Tarekat itu Menyatu

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh puji syukur kepada Allah (Swt) atas nikmat, rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad (saw), keluarga dan sahabatnya, dan semoga rahmat serta inayah-Nya tercurah kepada Habib Luthfi bin Yahya dan keluarga. Amin. Saya sering mendengar kata syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat; tetapi saya belum begitu paham apa arti semua itu. Tolong Habib jelaskan satu per satu. Bagaimanakah caranya jika saya berbaiat langsung kepada Habib, olehkan melalui surat, atau datang sendiri? Bolehkah seorang santri memiliki dua atau tiga guru tarekat? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
M. Riyafiy, Pamiritan, BalapulangTegal, Jawa Tengah


Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Syariat, tarekat, dan hakikat itu tidak bisa dipisah-pisahkan. Bertarekat meninggalkan syariat, tidak benar. Karena, tarekat adalah buah syariat. Jadi, kalau bertarekat, tidak terlepas melalui pintunya dahulu, yaitu syariat. Syariatlah yang mengatur kehidupan kita, dengan menggunaka hukum, dart mulai akidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kltab Allah, Rasul, hari akhir, dan takdir baik dan buruk. Dan syariat pula mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Serta keutamaan shalat, juga hubungan antara manusia, seperti jual-bell, pernikahan, dan lainnya.

Setelah menjalankan syariat dengan balk, kita bertarekat, untuk menuju jalan kepada Allah dengan baik. Jadi, secara sederhana menuju jalan kepada Allah disebut tarekat Bertarekat perlu dlblmbing para mursyid, yang akan mengantar murid darl mengerti dan mengenal Allah sampai nanti "dikenal" Allah (swt), yakni dekat dan disayang oleh Dia (Swt). Amalan utama tarekat adalah berzikir.
Hanya, perlu dipahami, pengertlan tarekat tidak terbatas hal itu. Yang dltuntut oleh tarekat di jalan Allah adalah' perilaku para pengikut tarekat yang mulia. Terutama mem-bersihkan kotoran-kotoran yang ada dl dalam batin dan lahirnya, sehingga secara lahir dan batin kita bersih dalam menuju ke jalan Allah.

Sebagai contoh berwudu. Wudu adalah peraturan syariat, guna menjalankan shalat dan lain-lainnya. Biasanya kita hanya berwudu untuk mendapatkan keutamaan wudu, serta sebagai syarat untuk menjalankan shalat. Sedangkan tarekat menuntut buah wudu. Berapa kali kita membasuh muka ketika berwudu. Dan berapa kali kita membasuh tangan setiap hari untuk menjalankan ibadah. Coba kita aplikasikan dalam kehidupan kita, sosialisasikan untuk kehldupan kita masing-maslng. Kalau sudah sering membersihkan muka, kita harus leblh mengerti serta merendahkan hatl, malu kalau kita berlaku sombong.

Darl hasll wudu, kita cari buahnya yaitu lebih berakhlak, lebih rendah hati, lebih beradab, sehingga ada peningkatan dart hari ke hari. Itulah buahnya, sehingga kita semakin dekat kepada Allah. Sebab, justru di hadapan Allah, kita semakin menundukkan kepala. Karena semua itu adalah pemberian-Nya semata-mata. Kalau bukan karena pemberian-Nya (Swt), bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.
Begitu juga, kita pun diberi pemahaman oleh Allah terhadap junjungan kita Nabi Muhammad (saw) atas limpahan rahmat kepadanya, sehingga kita menjadi pengikutnya yang setia. Untuk itulah kita selalu memuji I Rasulullah (saw) dengan tujuan supaya kita lebih dekat | kepada Rasulullah. Dengan begitu, sosok Rasulullah akan menjadi idola bagi kita dalam menapaki kehidupan Wngga akhir hayat.

Bertarekat akan memupuk sikap rendah hati kita kepada para Wali, ulama, guru-guru kita yang telah memberikan pemahaman tentang kebenaran ajaran syareat dan tarekat. Itu baru dari segi membersihkan muka secara lahiriah dan bathiniah, hal itu akan mencegah tangan kita dari berbuat maksiat. Kita akan selalu diperingatkan untuk tidak mengambil yang bukan milik kita apalagi melakukan korupsi, misalnya yang sangat merugikan rakyat. Sebab tangan kita sudah disucikan setiap hari. Kalau kita bisa mempelajari banyak hal dari wudu saja, insyaAllah masalah korupsi itu bisa terberantas. Lalu telinga kita yang digunakan untuk mendengarkan suatu yang baik. Kita tidak akan menyampaikan yang kita dengar kalau informasi itu justru akan memancing masalah atau memanaskan situasi, apalagi menimbulkan pecah belah dan kekacauan. Tentu saja, hal itu berlaku pula bagi mata kita, kedua kaki kita, dan anggota badan lainnya. Itulah hasil karya, hasil didikan, yang mendapatkan bimbingan dari Allah.

Mengapa kita harus berwudu ketika akan mendirlkan shalat? Berwudu tidak hanya membersihkan kotoran lahiriah kita, tetapi pada hakikatnya jugamembersihkan kotoran batinlah. Al-Qur'an menyebutkan bahwa shalat mencegah dari kemungkaran dan kerusakan, karena kita sudah memahami makna wudu dan shalat itu secara tarekat.
Bagi para murid yang ingin belajar tarekat, saya anjurkan, mulailah dari seorang guru yang dipercaya. Tapi sebaliknya, bagi guru yang ingin ditaati muridnya, cobalah didik para murid itu seperti timba yang mendekati sumurnya, bukan sumuryang mendekati timbanya.

Maka akan terbentuklah kewibawaan guru terhadap muridnya. Bagi murid, saya anjurkan untuk belajar hanya pada satu guru. Sebagai contoh mudahnya, kalau air teh dicampur susu lalu dicampur lagi dengan kopi atau lainnya, meskipun halal, apa jadinya? Bagaimana rasanya? Jadi kalau ingin minum teh, minum saja teh tanpa dicampur dengan lainnya. Nikmati minum teh dengan gula, kemudian cari manfaatnya bagi tubuh. Begitu juga kalau ingin minum kopi, susu, atau lainnya. Itu hanya sebagai perumpamaan. Jadi, kalau ingin belajar tarekat, jangan sekadar melihat organisasi itu besar Meski organisasi tarekat itu kecil, kalau lebih berpengaruh terhadap jiwa kita, sehingga iebih mendekatkan diri kepada Allah, tidak perlu ragu lagl untuk mengikutinya.

Sumber: Al Kisah

Monday, December 5, 2011

Hb. Lutfi: Khadam tidak ada kaitanya dengan ilmu tarekat

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selama ini saya tertarik dengan pelajaran ilmu tarekat, tetapi selama ini pula saya bingung untuk menemukan seorang mursyid dalam hal tersebut. Saya ingin befajar Tarekat Syamaniyah, tetapi mursyid yang saya kenal seiama ini sudah kembali ke hadirat Allah SWT. Yakni, almarhum K.H. Abdul Gani Zaini, Martapura, Kalimantan Selatan, disebut juga Guru ijai atau Guru SekumpuL Walaupun saya ikut pengajian beliau, saya belum berbai'at, sedang beliau sudah wafat. Dan selama ini saya belum tahu siapa yang menggantikan beliau. Saya ingin bertanya. Amalanamalan dan syaratsyarat apa saja untuk menjadi seorang murid tarekat? Apakah belajar ilmu kha-dam tidak bertentangan de¬ngan sunnah Rasulullah SAW? Apakah ilmu kha¬dam bisa dikategorikan dalam ilmu taisawuf? Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Rahmadiansyah.

Waalaikumussalam Wr. Wb.
Adik Rahmadiansyah, terima kasih atas pertanyaan Anda. Ilmu tarekat sangat luas. Jenis tarekatpun banyak sekati. Dari mulai Qadiriyah, Naksyabandiyah, Khalidiyah, Sahuwardiyah, Satariyah, Syadziliyah, Aiawiyah, Tijaniyah, dan IainIain. Itulah tarekat-tarekat yang terkenal dan mashur atau di sini dikenal dengan tarekat muktabarah. Karena itu, peljarliah dahulu sejauh mana ilmu tarekat, sehingga kita masuk suatu tarekat bukan sekadar karena iming-iming fadhilahnya. Namun yang pertama, yang paling penting adalah cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah. Yang kedua, bagaimana kita selalu dekat di sisi Allah SWT dan di sisi Baginda Nabi Muhammad SAW.

Silakan saja Anda ingin memilihTarekat Qadiriyah, Naksyabandiyah, Syadziliyah, Alawiyah, atau Tijaniyah. Yang jelas tarekat-tarekat tersebut punya mushalsal sampai kepada Rasulullah SAW. Dan tarekat itu hakikatnya bukan ilmu kesaktian. Ilmu tarekat dipelajari bukan untuk mencari kekayaan. Kita mempelajari ilmu tarekat bukan untuk menjadi seorang wali atau mendapatkan karamah. Lebih lebih mempelajari ilmu tarekat sekadar untuk memperoleh khadam.
Guruguru tarekat, bila mendapatkan karamah, justru merasa malu kepada Allah SWT. Dia mawas diri, apakah pantas kalau kita menerima karamah dari Allah SWT? Karena itulah para guru tarekat justru takut mendapatkan karamah, se bab hal itu justru meru pakan salah bentuk ujian kepadanya.

Selanjutnya, cobaan berikutnya, bila termasyhur karena sebab karamahnya, dia akan sangat malu kepada Allah SWT. Karena kemasyhuran tarekat bukan menjadi tujuannya, kadang justru menjadi beban dan fitnah baginya. Makna fitnah ini bukan dari luar, sepertiorang memfrtnah dirinya. Namun yang ditakutkan justru fitnah yang datang dari dalam dirinya sendiri. Karena, dengan munculnya kemasyhuran namanya, akan timbul sifat egoisme, keakuan, atau annaniyah, selanjutnya mendorong dirinya bersifat sombong dan congkak, serta sifat yang kurang terpuji lainnya. Itulah sikap para auliya, yang bila mendapatkan karamah justru sangat khawatir bila menimpa dirinya sendiri, bukan malah berbangga bangga diri, atau mencari-cari.
Pada hakikatnya ilmu tarekat adalah pengamalan dari bentuk ihsan. Mampukah kita ketika bersujud kepada Allah seolah-olah kita melihatNya. Namun sulit hal demikian ini dilaksanakan bagi awam. Kalau tauhidnya tidak kuat, katakata "seolah-olah melihatNya" nanti bisa menimbulkan efek mengada-ada, Inilah yang sangat dikhawatirkan para guru tarekat terhadap murid-murid yang baru belajar

ilmu tarekat. Kalau kita tidak mampu merasa seolah-olah melihatNya, kita merasa dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa. Ini dulu, mampukah kita setiap hari mengamalkan sesuatu yang seolah-olah kita merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Bila sikap ini tumbuh di setiap hati masing-masing pengamal tarekat, insyaAllah akan melahirkan sifat-sifat yang terpuji. Sebab, pertama, akan tumbuh sifat takut (khauf) kita kepada Allah, yang tujuannya akan menambah ketaqwaan kita kepada Allah. Kita akan mawas hati, muhasabbah, kita takut bila kita digolongkan sebagai orang yang merugi.
Kedua, akan menumbuhkan sifat raja', mengharap semata-mata kepada Allah, karena khauf tersebut
Ketiga, akan menumbuhkan kecintaan kepada Allah, dan kebenaran akan dipegang kuat Dalam arti benar hatinya, benar matanya, benar telinganya, benar tutur katanya, serta benar perilakunya.
Keempat, akan menumbuhkan, di antaranya, alhaya' (malu) kepada Allah. Dan karena cinta kepada Allah dan Rasulullah, kita akan malu kepada Allah dan RasulNya kalau berbuat yang bertentangan dengan perintahNya. Bagaimana kita tidak malu? Kita sudah mendapatkan keutamaan dari Yang Mahakuasa berupa nikmat keutamaan beriman dan berislam, dan melalui Baginda Nabi Muhammad SAW, bahwa kenikmatan iman dan islam merupakan kenikmatan yarig luar biasa dari Allah SWT. Maka, apabila keutamaan yang datang dari Allah malah kita pergunakan untuk hal yang tidak semestinya, akan tumbuh rasa malu kepada Allah dan RasulNya

Sumber: Alkisah

Saturday, November 19, 2011

Hb. Lutfi: Aliran Kejawen dan Tarekat

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Di Indonesia banyak sekali aliran yang bercorak kebatinan. Di antaranya tarekat dan aliran kebatinan Kejawen. Keduanya memang memiliki kesamaan, tapi di sisi lain juga berseberangan dalam banyak hal. Aliran Kejawen mengajarkan, salah satunya, tapa pendhem. Pelakunya ditanam layaknya orang meninggal. Mereka yang berhasil, konon bisa menjadi sakti, mengetahui peristiwa di tempat yang jauh, bisa menebak isi hati orang, dan Iain-Iain. Sebaliknya, aliran tarekat tidak mengajarkan kesaktian. Tarekat mengarahkan pengikutnya agar hatinya bersih, sabar, dan mencari kerelaan Tuhan semata. Jadi, meng¬ajarkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar, sehingga orang itu menjadi beriman dan bertaqwa kepada Allah SWI
Pertanyaan saya, pertama, seandainya ke-dua aliran tersebut dipersandingkan, apakah Kejawen yang lebih unggul daripada tarekat, atau sebaliknya? Kedua, seandainya ada pengikut aliran ta¬rekat minta agar bisa sakti, bagaimana solusi-nya? Apakah harus bergabung dengan aliran Kejawen? Apakah Kejawen itu bisa dianggap ilmu hitam? Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Bagi pengikut tarekat, karamah (yang bagi orang lain bisa saja dianggap kesaktian - Red.) bukanlah tujuan. Karamah itu, bagi para kekasih Allah, tanpa diminta pun, Allah Taala akan memberinya. Itu bukan merupakan kebanggaan. Sekali lagi, itu bukan tuju¬an bagi para waliyullah. Kalau mereka diberi kelebihan yang luar biasa sebagainana di-anugerahkan kepada Syaikh Abdul Oadir Jailani, misalnya, itu semata-mata karena kekuasaan Allah. Bahkan mereka sebenarnya malu kepada Allah SWT apabila diberi ke¬lebihan yang luar biasa.

Kalau seseorang sudah dekat dan semakin dekat dengan Allah SWT, mungkin-kah ada ilmu yang bisa mengalahkan orang yang dekat kepada Sang Pencipta? Kami tidak bermak-sud mengatakan bahwa ilmu yang dipelajari dan di-amalkan dalam aliran Kejawen itu lebih rendah, tidak sama sekali. Tapi, sekali lagi, apakah orang yang sudah dekat benar kepada Allah SWT bisa dikalahkan?
Namun, ingat, orang yang tidak mempan ditembak atau dibacok itu belum tentu orang yang selalu melakukan pendekatan kepada Allah. Sebab, itu terkadang bisa menimbulkan kesombongan dan berakibat menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Terkecuali orang-orang yang makrifatnya tinggi. Dia akan lebih memahami makna dan rahasia kebesaran ayat-ayat Allah. Jadi semua itu tergantung pada manusianya.
Tidak semua ilmu Kejawen itu beraliran hitam. Perlu diketahui, ilmu Kejawen dirintis oleh tokoh-tokoh ulama pada zaman Wall Sembilan dulu dan para ulama sesudahnya. Mereka itu mencari jalan untuk menerjemah-kan kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab tasawuf, khususnya ke dalam bahasa Jawa. Maka kitab itu disebut kitab Kejawen, karena per alihan bahasa dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa, baik yang Kawi maupun krama inggil. Misalnya,, kitab karya Kial Saleh Darat Semarang. Kitab Majmu' dan kitab Munjiyat, misalnya, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sehingga sering disa-ahsangkai, disebut kitab Kejawen.
Penerjemahan kitab-kitab itu bermaksud memberi jembatan (pada waktu itu) bagi penganut agama pada waktu itu (zaman Wali Sembilan atau sesu¬dahnya) untuk memudah-kan memahami agama yang baru, yaitu Islam, dari agama sebelumnya. Para au/iya itu memberikan warna tersendiri dalam dunia ta¬sawuf, dan dari situlah muncul Kejawen. Misalkan orang bertapa, dalam Islam bertapa ini kemudian diganti de¬ngan khalwat, menyendiri. Dalam khalwatnya mereka selalu menjaga wudhu, dan tidak boleh melepaskan dzikir kepada Allah SWT.
Memang ada ilmu Keja¬wen yang bertujuan semata-mata mencari kesaktian,termasuk untuk pengobatan dan sebagainya. Ada pula ilmu Kejawen yang tumbuh terlepas dari ajaran Islam. Nah, dari sinilah kita harus pandai-pandai memilah da¬lam masalah ini.
Seperti contoh tapa pendhem, itu tidak ada di dalam Islam. Begitu juga dalam tarekat. Dalam Islam sudah ada aturan untuk puasa atau shiyam, yaitu puasa tidak makan dan minum serta tidak berhubungan suami-istri dari subuh hingga maghrib. Karena itu, kalau ada yang berkata bahwa tapa pen¬dhem dipercayai akan memberikan kesak¬tian, kita sebagai kaum muslim patut berhati-hati. Bisa-bisa itu adalah ulah setan. Jika kita percaya kepada kepercayaan semacam itu, dikhawatirkan kita akan jatuh pada kesyirikan.

Friday, October 14, 2011

Hb. Lutfi: Beda Ilmu Hikmah dan Tasawuf

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya, Ada pandangan yang berkembang bahwa ilmu hikmah sama dengan ilmu tasawuf. Seolah orang yang memiliki kelebihan supranatural, identik dengan seorang sufi. Saya jadi bingung. Sebenarnya apakah persamaan dan perbedaannya? Apakah karamah itu ada kaitannya dengan ilmu hikmah? Atas jawa-bannya, saya sampaikan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
H.M. Syamsi Wafa Jin. A.I. Suryani, Sidoarjo, Jawa Timur


Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ilmu tasawuf dan ilmu hikmah memiliki perbedaan yang jauh, sehingga jangan sekali-kali mencoba untuk mempersamakannya.
Ilmu tasawuf itu erat kaitannya dengan ilmu tarekat dan ilmu syareat, keduanya tidak bisa dipisahkan. Mempelajari rasawuf tanpa syareat itu jelas tidak dibenarkan.
Untuk mempelajari tasawuf, harus mempelajari ilmu syariat dulu. Syariat sudah mengatur dan menjadi dasar. Kalau dipelihara dengan baik akan berbuah tarekat. Pakaian di antara tarekat tersebut adalah tasawuf. la mengatur bagaimana menjaga perbuatan, iman, amal dan Islam. Yaitu untuk mengantisipasi datangnya penyakit penyebab rusaknya amal, itulah yang disebut tasawuf. Maka itu inti tasawuf adalah akhlak dan adab atau sopan santun.

Ada orang yang diberi kelebihan oleh Allah (Swt) berupa ahlak dan adab. la memiliki kemampuan weruh sakdurunge winarah, atau waskita, yaitu tahu sebelum kejadian. Bagi orang yang tahu, tidak akan berani berbicara sembarangan. la merasa malu kepada Allah karena mendahuiui kehendak-Nya.

Orang yang mencapai tingkatan tasawuf yang berakhlak dan beradab, akan mempergunakan tasawuf untuk menjaga diri darti perbuatan yang tidak menguntungkan. Seperti bagaimana membersihkan riya', atau bagaimana cara mem-bawa wudu yang maknannya bukan sekadar untuk menja-lankan shalat tapi di luar shalat. Tapi bisakah wudu itu, setelah menyucikan secara lahiriah, juga membuat suci bati. Ini hakikat wudu dalam dunia tasawuf.

Sedangkan ilmu hikmah berbeda.iImu hikmah, asal dia mengetahui ilmu tauhid itu sudah cukup. Yaitu mempelajari fatwa ulama khususnya dan Baginda Nabi Muhammad (saw).Ulama yang mengetahui rahasia ayat, doa dan sebagainya sehingga bisa sehingga bisa mengobati orang, berani tirakatnya, harus puasa sekian kali dan sebagainya, siapa pun asal siap mentalnya, bisa mempelajari llmu hfkmah itu. Untuk mem¬ber! pengobatan atau pertolongan itu, dengan jalur ilmu hikmah. Seperti supaya dagangannya laris, dan sebagainya, itu bisa dicapai oleh siapa pun. la mengetahui, membaca ini atau itu, bisa dipakai untuk jimat. Kalau ditaruh di toko, Allah (Swt) akan membukakan rezeki yang lebih banyak, dan orang yang membeli juga banyak—sebab ada doa yang mengandung pengabulan hajat tersebut. Itulah ilmu hikmah, yang terkait dengan rahasia ilmu Al-Qur'an untuk dimanfaatkan manusia.

Bisa saja ilmu hikmah terkait dengan karomah. Tapi sebenarnya karamah itu dikhususkan bagi waliyullah atas kedekatan seseorang di sisi Allah dan Rasul-Nya. Sekaii lagi saya tekankan, karamah bukan tujuan para wali. Tapi Allah (Swt) memberikannya. Jadi, mau diberi karamah apa pun, kalau Allah (Swt) memberi, sekalipun tidak masuk akal bagi manusia, itu sangat mungkin terjadi. Karena Allah (Swt) tidak pernah terikat oleh akal manusia. Para wali mempergunakan karomahnya bila terdesak. Sekalipun mampu, namun karena malu, mereka tidak sembarangan menggunakan. Apalagi karena itu bukan tujuan. Mereka tidak membangga-banggakan karomahnya. Sewaktu-waktu bila terdesak dan sangat diperlukan, baru itu akan keluar.
Orang yang menjalankan ilmu hikmah diberikan karomah karena karomahnya ayat-ayat Allah (Swt), yaitu yang memiliki kandungan asrar (rahasia) luar biasa. Karena itu Allah (Swt) menurunkan karomah. Tapi hakikatnya bukan karomah si pelaku ilmu hikmah, melainkan karena pribadinya bertawasul kemudian mendapat karomah dari ayat-ayat
tersebut. Sedangkan para wali tidak. Karomah yang mereka miliki langsung dari Allah (Swt), yang disebabkan karena penghambaannya kepada Allah. Itu perbedaannya.

Sumber: Mengenal Taerkat ala Habib Lutfi bin Yahya

Saturday, September 17, 2011

Mengapa Perlu Bertariqah

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya yang terhormat, apakah setiap muslim lebih baik menjadi jama'ah thariqah? Apakah, dengan cara menjadi jama'ah thariqah, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamal-kan tuntunan agama, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW melalui bimbingan seorang mursyid? Demikian pertanyaan dan saya. Amin ya rabbal alamin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Busman Ependi Lamongan, Jawa Timur


Wa alaikumussalam wr. wb.
Dalam Al-Quran ada ayat yang artinya, "Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31).
Ketika ayat inl turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, bilamana aku menjadi mukmin sesungguhnya?
Baginda Nabi SAW menjawab, "Apa-bila engkau mencintai Allah. Mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang di-cintai Allah dan Rasul-Nya. Dan keimanan mereka itu bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW mengulangi kalimat yang terakhir sampai tiga kali. Lalu beliau kembali bersabda, "Kadar bobot iman se¬seorang tergantung pada kecintaannya kepadaku. Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenci-annya kepadaku."
Jadi, kalau kecintaannya kepada Rasulullah SAW bertambah, kecintaan dan keimananya kepada Allah SWT pun akan ber¬tambah. Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya.
Demikianlah Allah SWT mengajarkan kepada kita cara mencintaiNya. Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bias dipisahkan. Kalau seseorang mencin¬tai Allah, la juga mencintai Nabi-Nya. la akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintaj Rasul-Nya.
Siapakah orang-orang yang dicintai Rasul-Nya? Tidak lain adalah para pewaris
nya, yaitupara ulama, orang-orang shalih, termasuk para mursyid. Merekalah yang senantiasa menapaki jejak Rasulullah SAW, mengikuti sunnah-sunnahnya.
Sementara itu, keimanan terbentuk secara terbimbing. Nah, di situlah peran para mursyid. Melalui bimbingannya, kita meningkatkan tauhid dan ma'rifat kita kepada Allah SWT.
Lalu, bagaimana dengan orangyang tidakberthariqah? Sebelumnya, perlu di-ketahui bahwa orang yang ingin bertha-riqah, teriebih dahulu harus memahami syari'at dan mefaksanakannya. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dipahaminya. Di antaranya, memahami hak Allah SWT dan hak para rasul.
Setelah mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang di-sampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bag! yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui arkanui iman (rukun Iman) serta beberapa tuntunan Islam lalnnya, seperti shalat, wudhu', dan Iain-Iain.

Namun Anda harus tahu, orangyang menempuh jalan kepada Allah SWT secara sendirian tentu berbeda dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah SWTbersama-sama dengan orang lain, yaitu mursyid.
Kalau mau menuju Makkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tem-pat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.
Orang yang tidak mengenal sama sekalikedua tempatitu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuan-nya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai pembimbing akan lebih runtut dan sempurna, karena si pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun Yamani, sumur zamzam, maqam Ibrahim, dan Iain-Iain. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, kalau tidak tahu rukun zamani, la tidak akan mampu memulai thawaf, karena tidak tahu bagaimana memulai-nya. Itulah perbedaannya.

>> Majalah Alkisah

Wednesday, January 12, 2011

Sufi Road : Mengenal Sifat Para Kekasih Allah

Habib Lutfi bin Yahya
[SERI PENGAJIAN THORIQOH JUM'AT KLIWON]

Wali adalah hamba-hamba yang dicintai oleh Allah Swt. Mereka diangkat menjadi wali bukan karena ibadah mereka ditujukan untuk itu, akan tetapi karena ketaatan dan keiklasannya dalam beribadah. Mereka melakukan ibadah semata-mata karena kesadaran sebagai hamba Allah. Maka mereka mengerti maqomat ubudiyah, dan mengerti ilmu ke-Tuhanan.

Dengan semakin meningkatnya mereka mengenal Allah maka mereka semakin sadar akan kehambaan mereka. Mereka adalah teladan bagi kita semuanya. Sifat-sifat mereka disebutkan oleh Allah dalam Al Quran (Yunus: 62-63):

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, iaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa
Ketahuilah bahwa Aulia (para Wali Allah), tidak punya rasa takut kecuali terhadap Allah ta'alaa, karena tidak sekedar kadar keimanannya, dan tidak pula setengah-setengah keimanan dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tadhoru-nya, ibadahnya, syukurnya, roja’nya itulah yang menjadikan mereka sempurna dalam kehambaannya. Yang kedua mereka tidak mempunyai rasa takut selain pada Allah Swt, karena mereka itu adalah الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ , orang-orang yang beriman.Tidak sedikitpun mengambil atsar (merasa ada yang bisa member efek psoitif danalam mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan) dari sesuatu selain Allah. Beliau-beliau bisa membedakan mana dorongan nafsunya, mana dorongan imannya. Beliau-beliau tidak tertipu dengan nafsunya sendiri, apalagi oleh Syaithan,

Beliau-beliau sangat menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan disuatu subuh turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain. Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.

Demikian pula ketika kita datang kesuatu daerah untuk ceramah, tuan rumah mengatakan kalau di daerah itu masih banyak orang yang meminum minuman keras. Pada waktu naik ke panggung dia ngomong; ‘ masa disini masih banyak orang minum..’ dengan nada marah. Dia naik ke podium dengan amarah bukan dengan kasih sayang untuk menyadarkan orang lain. Tanpa sadar dia telah mendahulukan amarahnya. Ibarat seorang tuan rumah yang menyuruh atau mempersilahkan minum kopi yang dihidangkan padahal kopinya sangat panas. Tapi jika mubaligh itu bisa memahami dan menguasai nafsunya maka akan menyampaikan dengan lemah lembut. Ibarat menyuruh minum kopi itu, menunggu setelah dingin dahulu. Karena dalam al Quran sendiri pelarangan dan penyadaran minum khomer itu secara bertahap. Tapi jika panas (mubaligh) dan panas (pendengar; karena tersinggung) apa jadinya dakwah itu.

Nah para wali-wali Allah Swt tidak mungkin seperti itu. Para beliau paham mana dorongan nafsu dan mana dorongan kasih sayang atau niatan taat kepada Allah. Nafsu itu menurut imam Qusyairi ibara anak kecil, waktu masih kecil kencing sembarangan tetap lucu dan menggemaskan, membuat kita tertawa tetapi ketika makin tumbuh besar usia 6 tahun kencing sembarangan kan membuat ibunya marah.
Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka selalu ingat pada Allah Swt. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih. Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.

Nah para wali Allah itu sendalnya saja tidak pernah maksiat apalagi kakinya, kalau kita kaki kita terperosok kejurang maksiat apalagi sendalnya. Itu pengandaian saja bagaimana beliau-beliau bisa menahan diri dari menuruti nafsu.
Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah Swt, hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah lalai lupa sama Allah sekejap saja belia-beliau wajib taubat. Mata dan mulut itu yang pertam kali busuk saat orang meninggal dunia.

Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.

Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.

Pada masa Sahabat Abu Bakar belum bisa ditemukan, dan amanat Rasulullah Saw itu baru bisa disampaikan pada masa Sahabat Umar menjadi Khalifah, beliau sendiri dan Sayidina Ali yang menyampaikan salam dan titipan Rasulullah Saw itu. Karena dalamnya ma’rifatnya Uwais Al Qarni beliau mengenal siapa saja yang datang menghapirinya; katanya: Asalam Alaik Umar bin Khatab amirul mukminin, asalam alaika Amirul Mukminin Arabi’ Ali bin Abi Thalib. Itu Karena dalamnya ma’rifatnya beliau padahal belum pernah saling bertemu. Karena taatnya pada orang tua Uwais kenal dengan Allah. Karena taatnya pada orang tua Uwais diangkat menjadi wali, bahkan sayid at tabiin. Karena taat dan hormatnya Uwais sampai mendapatkan gamisnya (pakaian) dari Rasulullah Saw Padahal tidak pernah bertemu Beliau SAW

Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta'alaa. Guru yang menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam. (Fdi/Tsi)

==> www.habiblutfiyahya.net

sufi Road : Peran Thoriqoh Dalam Membersihkan Hati

Habib Lutfi bin Yahya

Bila kita mau melihat lebih jauh tentang filosofis atau makna‘ Al Mudghoh’ yang di sebutkan pada bahasan sebelumnya ((ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب) [البخاري ومسلم]). Hati sering digunakan dengan maksud makna jiwa, dan hati yang bermakna liver. Untuk menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati yang bermakna jiwa manusia saya akan menguraikan mudhgoh atau hati dalam hadis tersebut dengan makna liver. Ini analog saja untuk memudahkan pemahaman pada tujuan dari pembahasan kita ini.

Mudghoh atau hati letaknya di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia membutuhkan perhatian yang serius. Perlu kita ketahui bahwa penyakit-penyakit manusia bersumberkan dari hati . baik dan tidaknya metabolism tubuh seseorang tergantung pada baik dan tidaknya darah darah orang tersebut. Dan darah itu akan menjadi baik dan tidak tergantung dua hal:

Pertama; apa yang dimakan dan yang dan bagaimana cara memperoleh makanan itu. Apa yang dimakan adalah harus sehat, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daging-dagingan yang memperkuat stamina. Kemudian darimana yang kita makan atau bagaimana cara mendapatkan makanan itu. Yang jelas makanannya harus halal, halal disini sudak mencakup pengertian makanan itu diperoleh dengan cara yang benar.Kedua darah itu baik dan tidaknya adalah bersumber dari pencernaan. Pencernaan yang berfungsi dengan baik akan membuat darah baik dan begitu juga sebaliknya; jika pencernaannya tidak berfungsi dengan baik maka darah yang dihasilkannya juga tidak baik.

Upaya untuk membantu memperbaiki pencernaan biasa kita lakukan paling tidak satu tahun sekali; yaitu puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan diantara manfaatnya adalah membersihkan semua organ-organ manusia. Panasnya pencernaan orang-orang yang berpuasa akan membakar hal-hal yang negative dalam pencernaan seperti bachsil dan bakteri. Dan lain sebagainya. Dengan demikian pencernaan dapat kita analogikan seperti bejana yang kita gunakan untuk memasakn segala sesuatu.

Kita bayangkan seandainya bejana itu tidak pernah dicuci. Setalah kita gunakan untuk memasak ikan laut, kita gunakan untuk memasak telur, terus demikian silih beganti sehingga menimbulkan kerak pada bejana itu. Demikian pula pencernaan, kerak-kerak, imbas daripada yang kita makan lambat atau cepat mempengaruhi proses kerja perncernaan atas makanan yang kita konsumsi.

Sangat jelas sekali bahwa pencernaan tidak bisa bekerja sendiri. Hasil proses pencernaan dilimpahkan ke ginjal, pancreas sampai pada liver. Dari kerja sama yang kompak menghasilkan beberapa hal, diantaranya darah putih, darah merah, sperma, keringat, air kencing dan kotoran.

Dari hasil kerja sama yang baik antara organ tubuh manusia tersebut akan menghasilkan lima hal di atas yang baik pula. Bila akibat proses kerja pencernaan yang kurang baik sehingga terjadi darah kotor dalam tubuh manusia, maka sangat diperlukan sekali pembersih. Yang pertama untuk membersihkan pencernaan yang menjadi sumber pengelola makanan dalam tubuh. Kedua membersihkan apa yang telah di olah.

Tugas liver adalah menjatah atau menyalurkan darah ke jantung, ke otak kecil. Apakah tidak mungkin apabila darah atau kotoran akan mempengaruhi fisik otak manusia serta sarafnya. Sehingga kurang mampu untuk berfikir baik, membuka wawasan, dan pandangan yang jauh. Apalagi jelas kita tidak menginginkan pola fikir-pola fikir yang kurang baik. Yang tidak menguntungkan bagi pribadi kita, baik dalam urusan dunia dan maupun akhirat kita.

Dengan hasil darah yang baik, sehat, akan sangat membantu dalam kecerdasan; dari kecerdasan hati sampai kecrdasan akal. Sehingga menumbuhkan pola fikir dan wawasan serta pandangan yan jernih. Bisa memilah mana yang menguntungkan dalam dunia dan akhiratnya. Dan mana yang merugikan dalam kedua hal tersebut.

Secara fisik saja sangat memerlukan kesehatan dan kebersihan. Hati adalah bagian tubuh manusia yang sangat berperan dalam memberikan atau dalam mensuport pola fikir, wawasan dan pandangan manusia, karena hati adalah tempatnya iman dan tempatnya nafsu. Lalu apa yang terjadi jika kita tidak mempunyai alat untuk membersihkannya.

Kita harus memberikan makanan hati serta pembersihnya seperti ilmu ma’rifat dan lain sebagainya, yang terkait dengan keimanan serta pertumbuhannya. Paling tidak kita bisa memilih mana yang di dorong oleh imannya dan mana yang didorong oleh nafsunya.
Seperti masalah pencernaah diatas bukan sesuatu hal yang mustahil bilamana kita mendiamkan kotoran-kotoran hati maka akan mempengaruhi pola fikir yang pada dasarnya akan merugikan diri sendiri.

==>www.habiblutfiyahya.net

Tuesday, December 21, 2010

Sufi Road : Nabi Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang

Wawancara Tempo dengan Habib Luthfi bin Ali bin Yahya:

Murid Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, yang lebih dikenal sebagai Habib Luthfi Pekalongan, tersebar ke berbagai daerah—bahkan mancanegara. ”Enggak bisa ngitung lagi,” kata Ketua Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah, perkumpulan tarekat yang diakui (mu’tabar) di bawah Nahdlatul Ulama, ini.
BILA jadwal pengajian tiba, seperti Reboan atau Jumat Kliwonan, ribuan orang datang ke Kanzus Shalawat (Gedung Shalawat), pusat kegiatan Tarekat Syadziliah, di Kampung Noyontaan, Pekalongan, Jawa Tengah, persis di tepi jalan raya lama Jakarta-Semarang. Banyak yang percaya Habib Luthfi bisa menjadi wasilah (penghubung) doa manusia kepada Tuhan.
Karisma Habib Luthfi pulalah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri datang ke Kampung Noyontaan pada acara Maulid Nabi lalu. Perayaan Maulid merupakan puncak acara Tarekat Syadziliah karena mencakup 68 kegiatan di berbagai tempat di seantero Pekalongan, yang berlangsung selama hampir setengah tahun.
Habib yang memiliki lima cucu ini juga dikenal terbuka dan inklusif sehingga diterima berbagai kalangan. Sampai sekarang, dia masih mengajar santri di rumahnya, di belakang Kanzus Shalawat. Rabu pekan lalu, Arif A. Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemui Habib Luthfi seusai salat tarawih di rumah tersebut.
Wawancara sempat terputus oleh kegiatannya mengajarkan kitab selama Ramadan. Ada puluhan orang yang mengikuti irsyadat dan taklimat yang digelar tiap malam selepas tarawih selama satu jam. Ditambah tamu yang juga berlipat jumlahnya, Ramadan adalah bulan yang sibuk buat sang Habib. ”Saya hanya tidur tiga-empat jam sehari,” katanya.
Sekitar pukul 23.00, percakapan dilanjutkan di studio musik miliknya yang berisi delapan organ bersusun dan dilengkapi tata suara elektronik. Habib yang dikenal pandai memainkan sejumlah alat musik ini sudah melahirkan beberapa komposisi. ”Umumnya instrumen,” katanya seraya menggelitik bilah organ. ”Kalau lagu dengan syair, baru dua.”
Tak lama kemudian, melantunlah lagu Cinta Tanah Air, ciptaannya. Liriknya memuji cinta tanah air yang menjadi cerminan iman seseorang. Musiknya campuran Melayu, dangdut, tarling, dan irama padang pasir. ”Supaya anak muda suka,” katanya. Dengan suara kalem, terkadang diselingi humor, Habib Luthfi menjawab semua pertanyaan Tempo.
Saat ini ulama menjadi rebutan para politikus. Apa sikap Anda?

Saya terima semuanya. Sebab, dalam partai-partai terdapat aset bangsa. Nah, aset itu wajib kita junjung tinggi dan kita hormati. Tentang pilihan, itu rahasia masing-masing.

Banyakkah pejabat dan politikus yang mengunjungi Anda?

Banyak. (Orang dekatnya menyebut nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Ketua Partai Bulan Bintang M.S. Kaban, dan sejumlah jenderal polisi.)

Anda setuju dengan partai yang menggunakan asas agama?

Di Indonesia ini dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke situ dulu, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Saya secara pribadi menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, kita tidak ikut berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat.

Ada kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim.

Negara kita negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Saya kira tidak semudah itu membungkus sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan.

Menurut Anda, syariat Islam sudah cukup diakomodasi?

Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. Lihatlah: kantor agama ada, pengadilan agama ada, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Nah, inilah yang harus kita pelihara.

Muslim Indonesia kerap dianggap muslim kelas dua karena banyak mistiknya dan tidak radikal. Seharusnya kita seperti muslim Timur Tengah yang militan?

Apakah itu ajaran Nabi? Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia tidak kenal Indonesia. Di Indonesia, yang mau dilawan siapa? Apakah kita harus mengangkat senjata kepada orang yang tidak melawan kita? Orang tidak salah kita tempeleng; apakah itu ajaran Islam? Militan itu ideologinya yang kuat. Rasa kebangsaannya yang kuat.

Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah?

Apa yang dihadapi di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah. Mestinya Anda bertanya kepada Suudi (Arab Saudi): mengapa orang-orang Suudi yang konon radikalnya luar biasa itu kok tidak pernah mengirimkan pasukannya untuk membela Palestina?

Tentang Ahmadiyah, apakah sikap pemerintah sudah tepat?

Saya kira penerbitan surat keputusan bersama sudah bijaksana. Sejahat apa pun mereka, (Ahmadiyah) adalah bangsa kita. Ahmadiyah kan masih bertuhan? Kalau PKI, kan, tidak bertuhan? Lebih jahat mana antara bertuhan dan yang tidak bertuhan? Mengapa PKI masih kita wong-kan, kok, Ahmadiyah tidak?

Kesalehan individual di Indonesia terus meningkat. Kuota haji selalu terlampaui, pengajian ramai, tayangan agama begitu banyak, tapi kenapa korupsi meruyak dan perbaikan di masyarakat tetap lambat?

Masyarakat awam itu sebenarnya mencari tuntunan. Mereka mencari figur pemimpin yang bisa membimbing rohaninya, sehingga apa yang ada di dalam ajaran agama itu, di samping diyakini, dijadikan keperluan untuk kehidupan sehari-hari.

Apakah tuntunan Islam belum cukup?

Ajaran Islam sangat kompleks. Selain menanamkan akidah pada umatnya, seperti percaya kepada Allah, Nabi, malaikat, dan seterusnya, Islam mengatur cara makan, bergaul, dan sebagainya. Misalnya pakaian, Islam mengajarkan bagaimana seseorang terjaga kehormatannya karena pakaian itu. Jadi, Islam tidak hanya mengatur kesehatan fisik, tapi juga kesehatan rohani atau kesehatan batin. Seperti lagu Indonesia Raya, ”bangunlah jiwanya” lebih dulu, baru ”bangunlah badannya”.

Jadi, kalau ada yang melenceng di masyarakat, jiwanya belum beres?

Saya kira tidak perlu sejauh itu, karena hati orang kita tak tahu. Bangunan jiwa ini sudah diatur. Islam setelah mengatur arkanul iman (rukun Iman), lalu arkanul Islam (rukun Islam), selanjutnya baru ihsan. Dari ihsan kita diajari ”bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya”. Kalau tidak mampu merasa melihat Tuhan, kita harus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar oleh Tuhan.

Jadi, perubahan itu memang bertahap?

Pertama kali mungkin kita belum bisa merasakan dampaknya. Tapi, kalau kita terus-menerus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar Tuhan, akan timbul perubahan. Sebagai contoh, seorang pesilat, kalau sering latihan, pasti akan mempunyai gerak refleks. Sehingga, kalau dia terpeleset, paling tidak 85 persen dia akan selamat dan tidak cedera. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah latihan, jika dia terpeleset, akan lebih banyak cederanya ketimbang selamat.

Apa perubahan terbesar bila sudah merasa dekat dengan Tuhan?

Kalau kita sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, akan timbul reaksi. Di antaranya rasa malu. Malu karena perbuatan kita selalu dilihat dan didengar Allah. Malu adalah sebagian tanda iman. Malu akan menambahkan kesempurnaan dalam beriman. Dari malu kepada Allah, malu kepada Nabi, kepada ulama, pahlawan, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesama.

Mungkinkah seseorang yang sudah dekat jiwanya dan malu kepada Tuhan malah terus didera kesulitan?

Kesulitan yang diberikan Allah pada hakikatnya adalah untuk pembekalan. Jika mau menengok ke belakang, akan timbul perubahan. Kalau kemarin kita berdagang terus merugi, kita harus melihat apakah servis atau mutu kita sudah bagus atau belum. Jadi, majunya ke depan karena kita mau menengok ke belakang.

Bagaimana rasa malu bisa memperbaiki kualitas kehidupan sosial?

Taruhlah seseorang tidak puasa karena memang pekerjaannya sangat berat. Misalnya pekerja fisik. Kalau tidak bekerja, hari itu mereka tidak bisa makan. Tapi, jika sadar bahwa dirinya menjadi bagian yang akan dilihat Allah, dia tidak akan seenaknya berjalan sambil merokok di bulan puasa. Ini contoh sederhana. Jika rasa malu sudah hidup, perlahan tapi pasti akan mengubah perilaku kita.

Apa rasa malu bisa mendorong disiplin?

Ya, mestinya, setelah muncul rasa malu, meningkat menjadi takut kepada Tuhan. Kalau takut, kita akan bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah rasa takut menjelma menjadi takwa.

Apa peran tarekat dalam memunculkan rasa malu kepada Tuhan?

Kita membangun jiwa dengan menyebut nama Allah dalam berzikir, sambil merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Secara tidak langsung kita selalu diingatkan kepada Allah. Lalu, saat kita membaca selawat, kita diingatkan kepada Muhammad. Apakah tidak malu kalau tidak bisa meniru keteladanan Muhammad? Secara umum, kita juga harus menghormati orang tua dan guru. Rasanya malu kalau sudah dibesarkan orang tua dan diajari oleh guru tapi tidak menuruti nasihatnya.

Malu juga dituding menjadi biang kemunduran. Seperti apakah rasa malu yang bisa menghambat kemajuan?

Malu itu ibarat cangkir. Kalau diisi susu, kan, tidak ada yang salah? Kalau diisi minuman keras, baru dosa. Kalau malu dianggap penyebab kemunduran, apa salah ungkapan al haya’ minal iman (malu sebagian dari iman)?

Jadi, menumpuknya masalah bangsa salah satunya karena kita krisis malu?

Saya tidak mau mengatakan bangsa ini krisis akhlak atau krisis malu…. Tapi inilah di antara kelemahan-kelemahan kita.

Bila syariah Islam sudah diterapkan tapi musibah terus mendera, apa yang salah?

Saya tidak mau mengungkap cacatnya salah satu wilayah atau keturunan karena seluruh Islam adalah bersaudara.

Mengapa muncul Islam yang radikal bila dasarnya adalah rasa malu?

Saya tidak mau terpengaruh dengan mereka (radikal). Saya punya konsep sendiri untuk mendidik santri, khususnya santri tarekat, sesuai dengan ajaran assalafu al-shalihin (ulama pendahulu) yang sudah membuatkan satu konsep yang luar biasa dalam memahami Al-Quran dan hadis. Kita juga belajar dari dinamika yang telah diajarkan oleh para imam mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hambali. Para imam mazhab itu sangat menguasai ilmu agama, tapi meski mempunyai perbedaan, mereka saling menghormati.

Para imam mazhab tak mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar.…

Dinamika antar-ulama ini indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat musik dan aliran musik, musiknya bisa dinikmati. Ada harmoni. Masing-masing juga tidak bisa mengklaim paling benar karena jumlah nada atau not musik cuma 12. Antara satu dan yang lain pasti bersinggungan.

Bagaimana supaya kita tidak keliru arah menjadi radikal?

Harus ada transformasi dan pembekalan. Kalau tidak bisa, ya, ikuti yang baik, yang bisa dipercaya, tidak asal.

Bagaimana supaya puasa atau ibadah tidak sekadar ritual saja, tapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial?

Kita ambil contoh yang ringan saja. Bagaimana kita merasakan lapar dan dahaga? Ternyata setetes air dan sebutir nasi sangat bermanfaat. Kita harus menghormati sang pencipta nasi dan setetes air. Secara proses, sebutir nasi itu melibatkan banyak orang, dari ditanam hingga tersaji. Secara sosial, kita harus menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi. Itu baru sebutir nasi, belum lagi tentang air, lauk, dan sebagainya.

Ada contoh lain?

Soal wudu, misalnya. Tiap hari anggota tubuh lima kali dibasuh wudu. Masing-masing tiga kali. Berapa kali satu anggota badan dibasuh dalam sebulan? 450 kali. Setahun? 5.400 kali. Itu baru yang wajib saja. Pertanyaannya: sejauh mana bekasnya kita membasuh anggota tubuh sebanyak itu? Apa ”buah” wudu yang kita dapat? Mestinya mata kita bisa menutupi aib orang lain, mulut kita mengucapkan yang baik-baik, tangan kita juga tidak mengambil yang bukan hak. Karena berkah dari wudu, secara sosial kita juga harus lebih baik.

Bagaimana proses puasa ”membersihkan” tubuh?

Anda bayangkan perut kita seperti bejana yang tidak pernah dicuci, padahal digunakan untuk memasak aneka makanan selama sebelas bulan. Kira-kira bisa tidak pencernaan kita melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik kalau tidak dibersihkan? Padahal darah tadi akan memasok makanan ke otak. Obat cuci perut hanya terbatas, tidak bisa sampai ke dasar pencernaan tempat virus dan kotoran. Hanya puasa yang bisa menjangkaunya. Jadi, puasa juga berdampak pada pencerdasan kehidupan bangsa.


--------------------------------------------------------------------------------
MUHAMMAD LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA
Tempat dan tanggal lahir: Pekalongan, 10 November 1946
Pendidikan:

Pondok Pesantren Bondokerep, Cirebon, Jawa Barat
Belajar ke Hadramaut, Yaman
Pondok Pesantren Kliwet Indramayu, Tegal (Kiai Said)
Belajar kepada Kiai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto
Pekerjaan:

Rais Am Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah 2005-2010 (periode kedua)
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (2005-2010)
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Pekalongan (2005-2010)
Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan