Showing posts with label Intermezzo Sufi. Show all posts
Showing posts with label Intermezzo Sufi. Show all posts

Saturday, May 18, 2013

Sunan Bonang dengan Santrinya

Kisah Hikmah untuk memahami syukur nikmat dari Allah

Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.

 Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.

Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.

Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."

"Mengapa guru?" tanya santri heran.

"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman."

"Apa saya jorok?"

"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.

Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik :

"Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?"

Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"

"Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit."

"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"

"Tidak."

"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"

"Karena kamu memang bodoh."

"Maksud Guru?"

"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya."

Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.

Friday, April 5, 2013

Abu Nawas : Curang Dibalas Curang

Pada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya, ada dua orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.

Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka. "Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu."

Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan berada di pihak yang benar. Pada malam harinya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang diminta oleh Abu Nawas. Berkata Abu Nawas, "Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak rumah Tuan Kadi yang baru jadi."

"Hah? Merusak rumah Tuan Kadi?" gumam semua muridnya keheranan. "Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!" kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya.

"Barang siapa yang mencegahmu, jangan kau perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barang siapa yang hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan lemparilah dengan batu."

Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi. Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakukan mereka.

Lebih-lebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah Tua Kadi. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah. Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,

"Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?" Murid-murid itu menjawab, "Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!"

Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah. Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya, "Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda."

Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap Baginda. Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya.

"Hai Abu Nawas apa sebabnya kau merusak rumah Kadi itu." Abu Nawas menjawab, "Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada suatu malam hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus Iagi. Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi."

Baginda berkata, "Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?"

Dengan tenang Abu Nawas menjawab, "Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini Tuanku." Mendengar perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. Ia terdiam seribu bahasa. "Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?" tanya Baginda.

Tapi Tuan Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran karena takut. "Abu Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini !" perintah Baginda.

"Baiklah..." Abu Nawas tetap tenang. "Baginda... beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah terlihat arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua harta benda milik pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhimya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa."

Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.

Berkata Baginda Raja, "Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini." Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia menginap.

"Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad moralnya." Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir. Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas pulang ke rumahnya.

Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas. Berkata Abu Nawas, "Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua." Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.

Sumber: kumpulan-humor-abunawas.blogspot.com

Friday, July 6, 2012

Kisah Unta yang Bersaksi kepada Rasulullah

Karena Sholawat atas Nabi SAW, Seekor unta bersaksi atas kedustaan seorang pemuda penjaga keamanan

 Di dalam "Kitab HayatuI Haayawan” yang ditulis oleh Addamiri yang dinukil dari Kitab "Adda'awaat" yang ditulis oleh Ath Thabrani yang bersumber dari Zaid bin Tsabit r.a. telah berkata : "Kami telah berperang bersama Rasulullah SAW. dan ketika kami tiba di persimpangan jalan Madinah, kami melihat seorang A'rabii (orang Arab pegunungan) sedang menuntun seekor unta hingga ia berhenti di hadapan Rasulullah SAW. Dan ketika itu, kami berada di sekelilingnya.
A'raabii itu mengucapkan salam :
"Salam sejahtera bagimu wahai Nabi warahmatullahi wabarakatuh),
Lalu unta itu diam,Rasulullah SAW pun membalasnya. Beliau bersabda “Bagaimanakah keadaanmu pagi ini”

Ketika itu, tiba-tiba datang seorang laki laki yang nampaknya seperti penjaga keamanan seraya berkata” Hai Rasulullah, Arabi ini telah mencuri lenguhan itu didengarkanya baik baik oleh Rasulullah. Dan setelah itu unta itu diam, Nabi SAW mendatangi orang itu seraya bersabda kepadanya: “ Berpalinglah engkau daripada arabi itu, karena unta itu telah bersaksi bahwa engkau adalah pendusta”. Kemudian penjaga keamanan itu pergi, lalu Rasulullah mendatangi Arabi seraya berkata:”Apa yabg engkau ucapkan ketika engkau mendatangiku?” Ia berkata: Demi Bapak dan Ibuku aku telah mengucapkan:”





Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhamad sehingga tidak ada rahmat yang tersisa, Ya Allah, limpahkanlah keberkahan atas Muhammad sehingga tidak ada keberkahan yang tersisa. Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan atas Muhammad sehingga tidak ada kesejahteraan yang tersisa. Ya Allah, rahmatilah Muhammad sehingga tidak ada rahmat yang tersisa".

Maka bersabdalah SAW. : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci telah menjelaskan kepadaku, dan unta itu, telah bercakap dengan permohonan uzumya (maafnya) dan para malaikat telah menutup atap langit.

Dan didalam riwayat Tabrani dari Nafi' dari Ibni 'Amir bahwa Nabi SAW telah bersabda kepada A'rabii itu: "Hai engkau, apa yang engkau katakan tadi?". Lalu iapun memberitahukan kepada beliau mengenai apa yang telah ia ucapkan. Maka bersabdalah Nabi SAW: "Karena itu, aku telah menyaksikan para malaikat menerobos jalan-jalan kota Madinah hingga hampir-hampir menutupi antara aku dan engkau". Kemudian beliau bersabda pula: "Engkau akan mendatangi Ash Shiraat (titian), sedang wajahmu lebih terang dari bulan purnama ".

Saturday, April 14, 2012

Berderma Kepada Seekor Anjing

Kisah Hikmah

Suatu hari 'Abdullah bin Ja'far memasuki sebuah perkebunan kurma. Di sana ia lihat seorang anak kecil berkulit hitam menjaga perkebuan tersebut. Di tangannya tampak beberapa potong roti. Tak lama kemudian terlihat seekor anjing memasuki perkebunan itu. Sang budak kecil melemparkan sepotong roti kepadanya. Anjing itu memakannya dengan lahap. Budak itu kemudian melemparkan dua potong roti lagi. Anjing tersebut menyantapnya tanpa sisa.

"Duhai anakku, dalam sehari, kau makan apa?" tanya 'Abdullah bin Ja'far penasaran.
"Tiga potong roti yang kau lihat," jawabnya.

"Mengapa kau lebih mengutamakan anjing itu dan memberikan semua rotimu kepadanya?" tanya 'Abdullah.

"Di kawasan ini tidak ada anjing, dia datang dari tempat yang jauh. Dia tentu lapar. Aku tak mau dia kelaparan sedangkan aku kenyang," jawab anak kecil itu.

"Lalu apa yang akan kau makan hari ini” Tanya Abdullah.
Hari ini aku akan berpuasa," jawabnya.

Budak kecil ini lebih dermawan dariku/'ujarnya.
'Abdullah membeli perkebunan kurma tersebut beserta budak kecil itu dan segala peralatannya, kemudian ia membebaskan Sang budak dan menghadiahkan kebun itu kepadanya.

Hikmah dibalik Cerita

Jika seorang yang berharta berderma itu hal yang biasa, tetapi jika seorang yang kekurangan harta berderma itu adalah sesuatu yang luar biasa. Kisah di atas mengajarkan banyak hal, di antaranya adalah sifat itsar, yaitu mengutamakan orang lain meskipun kita berada dalam kesulitan dan kesempitan. Bayangkan, seorang budak kecil rela mendermakan jatah makannya kepada seekor anjing. Dia tahu bahwa anjing itu lelah dan lapar, sebab ia berasal dari daerah yang jauh. Sikap ini timbul dari jiwa yang penuh kasih. Rasuluah saw bersabda:

"Orang-orang yang berjiwa kasih akan dikasihi oieh Allah yang Maha Pengasih. Kasihilah (sayangilah) (semua) yang di bumi, maka semua yang di larngit akan mengasihi (menyayangj) kalian," (HR Tirmidzi Abu Dawud dan Ahmad)

Anak kecil itu telah memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Karena mengasihi seekor anjing, ia pun memperoleh kasih sayang Allah. Seketika itu juga ia bebas dari perbudakan dan menjadi jutawan.

Sunday, March 25, 2012

Nashrudin Hodja : Banyak Saja Diberikan, Apalagi Sedikit

Suatu Malam Nashruddin biasa berdoa kepada Allah di waktu sahur, kemudian memohon kepada-Nya agar diberi rezeki berupa uang sebanyak seribu dirham emas. Namun, dia tidak akan mengambilnya kecuali 999 dirham saja.
Nashruddin juga memiliki seorang tetangga Yahudi, yang setiap hari mendengarkan doanya. Suatu hari, tetangga Yahudinya itu hendak menguji Nashruddin. Dia menaruh uang sebanyak 999 dirham emas dalam sebuah pundi.

Ketika datang waktu sahur, seperti biasa, Nashruddin mulai berdoa dengan doa yang biasa dilakukannya. Orang Yahudi itu pun melempar kan pundi itu ke dalam rumah Nashruddin melalui cerobong asap. Lalu, si Yahudi itu mengintip dan memperhatikan apa yang bakal dilakukan Nashruddin.

Melihat pundi berisikan uang itu,Nashruddin bersyukur kepada Allah dan meng-
ucapkan alhamdulillah, karena Allah telah mengabulkan doanya. Nashruddin mengambil
kantung itu dengan tenang dan sopan, lalu menghitungnya. Ternyata, uang itu sesuai dengan yang diharapkannya. Nashruddin berkata, "Sesungguhnya yang memberikan kepadaku
uang sebanyak 999 dirham ini, tentu tidak akan kikir dengan uang yang satu dirham."
Lalu, dia menyembunyikan pundi tersebut.

Melihat itu, dengan segera orang Yahudi itu pergi ke rumah Nashruddin sambil tertawa dan berkata, "Kembalikan uangku itu! Aku hanya ingin menguji dan mempermainkanmu agar aku tahu kesungguhanmu dalam memohon rezeki kepada Allah Swt."
Dengan penuh heran, Nashruddin berkata kepada Yahudi itu, "Dirham mana yang kau
maksudkan? Apakah engkau pernah meminjami-ku uang?" Orang Yahudi itu menjawab, "Tidak,wahai tuan, sesungguhnya uang itu bukanlah uang yang kamu mohon kepada Tuhanmu, tetapi itu uangku yang kulemparkan lewat cerobongasap."

Nashruddin berkata padanya, "Gila kamu,cerita macam ini tidak akan ada yang mem-
percayainya. Apakah engkau pernah mendengar,di zaman sekarang ini, adanya seorang Yahudi yang terlintas dalam benaknya untuk mem-berikan uang sebanyak itu kepada orang lain lewat cerobong asap? Sungguh, uang yang kudapatkan itu adalah bukti nyata terkabulnya doaku, dan itu datang dari khazanah kekayaan Allah Swt yang Mahaluas."
Lalu, terjadilah perselisihan di antara keduanya, dan Nashruddin bersikeras pada
pendapatnya. Setelah meliha^ Nashruddin begitu berkeras dalam mempertahankan pendapatnya, orang Yahudi itu berkesimpulan bahwa perselisihan itu tidak akan terselesaikan kecuali bila diajukan pada seorang hakim. Orang Yahudi itu berkata pada Nashruddin, "Untuk mengakhir perselisihan ini, sebaiknya kita pergi ke seorang
hakim."

Nashruddin menjawab, "Jika itu yang kau harapkan, mari kita pergi ke sana. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak dapat pergi ke tempat hakim itu dengan berjalan kaki. Sebab, disamping rumahnya jauh, aku juga tidak tahan dengan hawa dingin. Sementara, aku tidak punya baju tebal untuk menyelimuti tubuhku."
Yahudi itu berkata padanya, "Aku akan sediakan untukmu keledai dan baju mantel
tebal." Lalu, keduanya pergi menuju rumah seorang hakim. Sementara Yahudi itu berjalan kaki, Nashruddin menunggang keledai dan mengenakan baju mantel tebal milik Yahudi itu. Setelah kedua orang itu masuk ke rumah seorang hakim, si Yahudi itu membeberkan persoalannya. Setelah selesai, hakim itu berkata pada Nashruddin, "Lalu, bantahan apa yang akan kau katakan dalam kasus ini?"

Nashruddin pun angkat bicara, "Wahai hakim, dia telah mengada-ada. Aku tidak men-
dapatkan uang darinya, namun aku memperoleh uang dirham itu dari anugrah Allah Swt yang Mahaderma kepada hamba-Nya. Sehingga, dakwaannya itu sangat tidak logis dan tak dapat diterima. Seandainya ada seorang yang akan mati kelaparan pun, karena kikirnya, dia tidak akan memberikan bahkan sepotong roti pun. Lantas, bagaimana mungkin dia akan memberikan kepadaku uang sebanyak itu. Sungguh, dia ingin menipuku dan merampas seluruh hartaku ini.Mungkin saja sebentar lagi dia akan mengaku bahwa keledai yang kutunggangi itu dan baju mantel yang kupakai ini adalah miliknya juga."
Mendengar kata-kata Nashruddin, Yahudi itu pun terkejut dan takut akan kehilangan
keledai serta baju mantelnya. Dia lalu berkata pada Nashruddin,"Apakah keledai dan mantelku itu akan kau dakwa menjadi milikmu juga?
Sungguh aku merasa kasihan padamu karena engkau seorang yang tua, sehingga kubiarkan
engkau mengendarai keledaiku dan aku berjalan kaki!"

Nashruddin berkata kepada hakim itu, "Wahai tuan hakim, bukankah telah Anda dengar
ucapannya? Mulai hari ini, saya tidak akan mempercayainya. Sungguh aneh orang ini; segala milikku.dia dakwa menjadi miliknya."

Setelah mendengar perang kata-kata antara kedua orang itu, hakim itu lalu berdiri dan
memberikan keputusannya, "Keluarlah wahai Yahudi...
Telah tampak kebenaran atas semua
masalah ini. Sungguh, seluruh dakwaanmu ohong dan tidak benar. Kamu ingin merampas
arta milik orang tua yang patut dikasihani ini."

Orang Yahudi itu pun keluar sambil menangis dan mengadukan nasibnya yang
malang itu. Sementara, Nashruddin meunggangi keledai itu dan pulang ke rumahnya
engan tenang. Tak lama setelah orang Yahudi itu tiba di rumahnya, Nashruddin pergi ke rumah rang Yahudi itu dan mengembalikan seluruh harta miliknya, tanpa berkurang satu dirham pun; begitu juga keledai dan baju mantelnya.
nashruddin lalu berkata padanya, "Janganlah engkau turut campur dalam urusan hamba
dengan Tuhannya. Sebab, itu akan membuat cemas dan gelisah hati seorang hamba."

Tenyata, kejadian itu menjadi pelajaran besar bagi orang Yahudi itu. Tak lama kemudian, orang yahudi itu datang ke rumah Nashruddin untuk bertaubat dan menyatakan keislamannya kepadanya.

Monday, February 20, 2012

Alam Semesta Adalah Guru Yang Bijak

Sebuah cerita penuh hikmah dari seorang sufi bernama Hasan. Tidak diketahui lebih jelas siapa Hasan yang dimaksud, tetapi semoga cerita ini bisa memberikan kita pemahaman untuk lebih memahami dan bertafakur akan lingkungan dan alam kita.

Tatkala seorang guru sufi besar Hasan, mendekati akhir masa hidupnya, seseorang bertanya kepadanya, “Hasan, siapakah gurumu?”

Dia menjawab, “Aku memiliki ribuan guru. Menyebut nama mereka satu-persatu akan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun dan sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Tetapi ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.

Pertama adalah seorang pencuri. Suatu saat aku tersesat di gurun pasir, dan ketika aku tiba di suatu desa, karena larut malam maka semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang melubangi dinding pada sebuah rumah. Aku bertanya kepadanya dimana aku bisa menginap dan dia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”

Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan! Dan setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.” Ketika dia telah kembali aku bertanya “apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.

Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan di akhir waktu tidak terjadi apapun, begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini. Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”

Guruku yang kedua adalah seekor anjing. Tatkala aku pergi ke sungai karena haus, seekor anjing mendekatiku dan ia juga kehausan. Pada saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada ajing lainnya disana “bayangannya sendiri”, dan ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh. Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi. Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.

Guruku yang ketiga adalah seorang anak kecil. Tatkala aku memasuki sebuah kota dan aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang liling yang menyala. Dia sedang menuju mesjid untuk meletakkan lilinnya disana.

“Sekedar bercanda”, kataku kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang menyalakan lilinnya?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana lilinnya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana lilinnya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada lilinnya?

Anak kecil itu tertawa, lalu menghembuskan lilinnya, dan berkata, “Sekarang tuan telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”

Egoku remuk, seluruh pengetahuanku remuk. Pada saat itu aku menyadari kebodohanku sendiri. Sejak saat itu aku letakkan seluruh ilmu pengetahuanku.

Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon. Seperti itulah aku belajar dari kehidupan. Aku tidak memiliki seorang guru karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber. Menjadi seorang murid adalah sebuah keharusan di jalan sufi. Apa maksud dari menjadi seorang murid? Maksud dari menjadi seorang murid adalah untuk belajar. Bersedia belajar atas apa yang diajarkan oleh kehidupan. Melalui seorang guru engkau akan memulai pembelajaranmu.

Sang guru adalah sebuah kolam dimana engkau bisa belajar bagaimana untuk berenang. Dan tatkala engkau telah mahir berenang, seluruh Samudera adalah milikmu.

Sunday, February 5, 2012

Kisah Sufi Penyayang Binatang

Mungkin sulit sekali mencari penyayang binatang semacamSyekh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau adalah tokoh sufi besar pendiri tarekat Rifa’iyah, sebuah ordo sufi yang memiliki banyak pengikut, terutama di daratan Afrika Utara.

Konon, bila ada nyamuk hinggap dan menggigitnya, beliau tidak pernah mengusirnya. Bila ada orang hendak mengusir nyamuk yang menggigit tubuh beliau itu, beliau justru melarangnya.

“Biarkan nyamuk ini minum dari darah yang telah dijadikan sebagai bagian rejekinya oleh Allah,” kata beliau.

Bila ada belalang hinggap di pakaiannya saat sedang berjalan di bawah terik matahari, maka beliau mencari tempat yang teduh. Beliau duduk berdiam diri di situ sampai belalang itu pergi sendiri. “ Belalang ini ingin berteduh dengan bantuan kita,” katanya.

Konon pernah ada seekor kucing tidur di atas lengan baju miliknya. Beliau tidak sedikitpun mengganggunya sampai kucing itu bangun sendiri dan pergi. Ketika waktu salat tiba, Syekh ar-Rifa’I tetap tidak mau menarik lengan bajunya. Beliau malah menggunting lengan bajunya itu, lalu pergi salat. Setelah kucing itu bangun dan pergi, beliau menjahit kembali lengan bajunya itu. Subhanallah!

Suatu waktu, Syekh ar-Rifa’I pernah mendapati seekor anjing dengan tubuh nyaris hancur penuh kudis. Anjing itu diusir penduduk karena tubuhnya betul-betul menjijikkan. Maka, Syekh mengantarkannya ke sebuah gurun tak berpenghuni. Di tempat itu, beliau membuatkan sebuah kandang yang teduh untuk anjing tersebut. Lalu beliau meminyaki tubuhnya, menyediakan makan dan minumnya, juga menggosok kudisnya dengan sebuah kain. Setelah anjing itu sembuh, beliau membawakan air hangat, lalu memandikannya.

www.madinatulilmi.com

Saturday, January 28, 2012

Sebutir Delima untuk Satu Pertanyaan

Kisah Nashruddin

Seorang pelajar mendapatkan kesulitan mengenai beberapa persoalan dalam pelajarannya.
Dia sudah bertanya kepada beberapa orang ulama, tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat menjawabnya. Mereka malah berkata padanya, "Satu-satunya orang yang dapat menyelesaikan seluruh pertanyaanmu itu adalah Syaikh Nashruddin yang tinggal di kota Aq Syahr."
Pelajar tersebut lalu pergi ke kota tempattinggal Nashruddin. Sesaat sebelum tiba di
rumah Syaikh Nashruddin, dia berjumpa dengan seorang pria tua, mengenakan jubah dan sorban, sedang asyik membajak sawah. Pelajar itu mendekati dan berbincang-bincang dengannya.
Dia tidak tahu kalau orang tua itu adalah Syaikh Nashruddin yang sedang dicarinya.
Setelah mendengarkan kata-katanya yang sarat ilmu dan kesantunan, pelajar tersebut yakin bahwa orang yang sedang diajaknya bicara adalah seorang yang cerdas dan bijak. Karena itu, dia mulai menanyakan tentang masalah yang sulit dipahaminya.

Tiba-tiba Nashruddin melihat sebuah bungkusan kain berisi buah delima yang dibawa
pelajar itu. Nashruddin pun berkata padanya, "Beri aku sebutir delima untuk setiap pertanyaan, maka aku akan menjawab seluruh pertanyaanmu itu."

Dengan cara itu, sang pelajar menanyakan seluruh kesulitan yang dihadapinya pada
Nashruddin. Setiapkali menjawab pertanyaan yang diajukan, Nashruddin menerima sebutirdelima. Sampai akhirnya, delima yang ada di dalam bungkusan itu pun habis.
Kemudian, pelajar itu berkata, "Saya masih memiliki satu pertanyaan lagi."Nashruddin pun menjawab, "Tapi buah delimamu sudah habis.
Jadi, pergilah dari sini."Nashruddin pun kembali membajak sawahnya. Sementara, pelajar itu beranjak pulang sembari bergumam, "Jika para petani negeri ini begitu pandai, apalagi para ulamanya..."

Wednesday, January 25, 2012

Kisah Sufi : Emas Keberuntungan

Konon hiduplah seorang saudagar bernama Abdul Malik. Ia dikenal sebagai orang baik dari Khurasan karena menggunakan kekayaannya yang berlimpah untuk berderma dan mengundang orang-orang miskin untuk makan.

Tetapi pada suatu hari, ia begitu saja memberikan sebagian besar hartanya, dan merasakan kelegaan yang jauh lebih nikmat dibandingkan ketika ia memberi hanya sebagian kecil dari segala kepunyaannya. Kelegaan itu membuatnya memutuskan untuk mendedikasikan tiap sen miliknya demi kesejahteraan umat manusia. Dan ia melakukan keputusannya itu.


Tak lama setelah membebaskan hatinya dari segala kekayaan duniawi—dan berserah diri pada takdir kehidupannya—dan ketika sedang shalat, Abdul Malik melihat sosok gaib muncul dari lantai kamarnya. Sosok itu ternyata seorang lelaki; jubah perca di tubuhnya jelas jubah seorang darwis.

"Wahai Abdul Malik, manusia murah hati dari Khurasan!" sapa sosok itu. "Aku adalah dirimu sendiri, yang sekarang ini hampir nyata bagimu karena engkau telah berbuat kebajikan yang sungguh mulia. Oleh karena itu, semua laku baikmu di masa lalu jadi tampak kerdil. Dan karena engkau mampu melepaskan dirimu dari kekayaan tanpa merasa dirimu hebat, aku menganugerahkanmu sumber anugerah yang sejati."

"Setiap hari dengan cara ini aku akan muncul di depanmu. Saat itu pukullah aku, dan aku akan berubah menjadi emas. Ambillah emas itu sebanyak yang engkau mau. Tak usah khawatir engkau menyakitiku, sebab yang kau ambil akan diganti dari sumber segala anugerah." Setelah berkata demikian, sosok itu pun lenyap.

Keesokan harinya, Abdul Malik sedang duduk-duduk bersama seorang teman, Bay-Akal, ketika hantu darwis itu mulai menunjukkan diri. Hantu itu pun jatuh ke tanah ketika dipukul oleh Abdul Malik dengan tongkat, dan berubah jadi emas. Abdul Malik mengambil bagiannya dan memberikan emas itu juga untuk tamunya.

Kini Bay-Akal, tanpa mengerti kejadian sebelumnya, mulai berpikir alangkah baiknya bila ia dapat melakukan keajaiban serupa. Ia mengetahui bahwa kaum darwis punya kekuatan tertentu dan menyimpulkan bahwa ia pun hanya perlu memukul mereka untuk mendapatkan emas.

Jadi, diadakanlah sebuah pesta lalu diundangnya semua darwis untuk hadir dan bersantap. Ketika mereka sudah makan kenyang, Bay-Akal pun mengeluarkan sebilah besi dan dengan tanpa ampun dihantamnya setiap darwis di dekatnya hingga mereka tersungkur di tanah.

Orang-orang suci yang luput segera menangkap Bay-Akal dan membawanya kepada hakim. Mereka mengadukannya bersama para darwis yang luka sebagai bukti. Bay-Akal pun bercerita tentang kejadian di rumah Abdul Malik dan ia hanya mencoba menirukan mukjizat tersebut.

Maka dipanggillah Abdul Malik. Dan dalam perjalanan ke pengadilan, sosok emas itu membisikkan kepadanya apa yang harus ia katakan.

"Inilah pernyataan saya," kata Abdul Malik. "Menurut saya, orang ini sudah tidak waras, atau sedang berusaha menutup-nutupi hobinya menyiksa orang tanpa alasan. Memang saya mengenalnya, tetapi yang ia ceritakan tentang kejadian di rumah saya tidak lebih dari akal-akalannya belaka."

Bay-Akal pun dimasukkan ke rumah sakit jiwa sampai ia menjadi lebih tenang. Para darwis yang luka sudah sehat kembali melalui ilmu pengobatan yang mereka miliki. Dan tak ada yang percaya bahwa peristiwa menakjubkan seperti seorang manusia berubah menjadi patung emas—setiap hari demikian—bisa terjadi.

Selama berpuluh-puluh tahun kemudian, hingga ia dikumpulkan bersama para para leluhurnya, Abdul Malik terus memecahkan patung emas yang adalah dirinya. Dan membagi-bagikan harta itu—yang adalah dirinya—kepada siapa saja yang tak dapat ia tolong dengan cara lain kecuali dengan materi.

Ada pendapat bahwa para pendeta menyampaikan ajaran moral dengan memakai perumpamaan, tetapi kaum darwis mampu menyamarkan pengajaran mereka secara lebih sempurna. Sebab, hanya melalui usaha untuk mengerti dan kecerdikan seorang gurulah yang sungguh-sungguh mampu memengaruhi pendengar.

Kisah ini lebih condong pada bentuk perumpamaan daripada kebanyakan kisah sejenis. Namun, sang darwis yang menceritakannya di sebuah pasar di Peshawar pada awal tahun 1950-an menasihati, "Pusatkan perhatian pada bagian awal cerita, bukan pada pesan moralnya. Itu menunjukkan padamu tentang metode."

Sumber: Republika

Thursday, January 19, 2012

Pencuri yang tercuri hatinya

Seorang pencuri memanjat tembok rumah Malik bin Dinar, menyelinap masuk, tapi ia tidak menemukan apapun yang pantas untuk dicuri. Sementara tuan rumah yang khusyuk melakukan shalat, memperpendek shalatnya karena merasa ada sesuatu yang mengganggu.

Kemudian Malik bin Dinar menoleh kearah pencuri itu. Sambil mengucapkan salam, ia berkata, “Semoga Allah memberimu taubat, engkau memasuki rumahku, tetapi engkau tidak menemukan sesuatu yang dapat engkau ambil. Namun aku tidak akan membiarkanmu keluar dengan sia-sia.”
Malik bin Dinar membawakan sebaskom air dan berkata kepadanya, “Ambillah air wudhu, lalu lakukan shalat 2 rakaat, niscaya engkau nanti akan keluar dengan membawa sesuatu yang lebih berharga daripada apa yang engkau cari ke sini!” Mendengar kata-kata dan ketulusan Malik bin Dinar, pencuri itu terharu lalu ia menjawab, “Baiklah. Aku jadi tersanjung.”

Pencuri itu berwudhu, lalu melakukan shalat 2 rakaat. Jiwanya tergetar luar biasa, dengan sopan ia minta pada Malik bin Dinar kalau boleh dia melakukan shalat 2 rakaat lagi.

Betapa nasihat Malik bin Dinar telah mengubah niat maling itu dalam sekejap. Dan Malik bin Dinar dengan tulus mengizinkannya, dan maling itu shalat terus sampai pagi hari.

“Sekarang pulanglah, dan baik-baiklah,” Malik bin Dinar berkata kepadanya. Ia menjawab, “Tuan, kalau engkau berkenan bolehkah aku tinggal bersamamu? Aku berniat berpuasa hari ini jadi aku tak perlu menghabiskan makananmu.”

“Tentu, boleh saja, aku senang, tinggallah di sini selama engkau mau,” jawab Malik bin Dinar. Maka pencuri itu tinggal bersama Malik bin Dinar berhari-hari. Dia bangun malam melakukan shalat sepanjang malam dan berpuasa pada siang harinya. Ketika hendak pulang dia berkata pada Malik bin Dinar, “Wahai Tuan Malik bin Dinar yang baik hati, aku telah berniat melakukan taubat.” Malik bin Dinar menjawab, “Itu ditangan Allah Azza wa Jalla.” Dan, maling itu benar bertaubat. Dia tidak mau dan tidak pernah lagi mencuri.

Dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan temannya maling lain yang ia kenal baik. Temannya bertanya padanya, “Lama benar engkau di rumah Malik bin Dinar, aku pikir kau pasti sudah mencuri harta karun di sana!”

“Saudaraku, aku menyelinap hendak mencurinya, tapi kenyataannya dia justru mencuriku, aku bertaubat pada Allah Azza wa Jalla, dan mulai sekarang aku akan lebih banyak berada dalam rumahku untuk mendapatkan dan menikmati apa-apa yang dikaruniakan Allah pada para Kekasih-Nya.”
Ia melangkah pulang dengan langkah tetap dan tegap. Pencuri yang pernah menjadi rekannya itu terbengong-bengong memandang sosok punggungnya dari belakang. Subhanallah!

Kak Mer)
Baitul amin

Monday, December 5, 2011

Sufi Road: Abu Nawas Mendemo Hakim

Pada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya. Ada dua orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.

Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan olwh si pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka. "Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu!"

Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka manut saja kepada sang guru, karena mereka merasa yakin gurunya selalu membuat kejutan dan berada di pihak yang benar. Pada malam harimya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang dimintanya. "Hai kalian semua, pergilah malam hari ini untuk merusak Tuan Kadi yang baru jadi!" perintah Abu Nawas.

"Hah! Merusak rumah Tuan Kadi?" gumam semua muridnya keheranan.

"Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!" kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya. "Barangsiapa yang mencegahmu, jangan kau pedulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru itu. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan lemparilah dengan batu!"

Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi. Laksana demonstran, mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakuan mereka. Lebih-lebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah.

Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,"Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?"

Murid-murid itu menjawab,"Guru kami, Tuan Abu Nawas, yang menyuruh kami!" Habis menjawab begitu, mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.

Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak ada orang yang berani membelanya "Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda," katanya geram.

Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap Baginda.

Setelah menghadap Baginda, Abu Nawas ditanya, "Hai Abu Nawas apa sebabnya kau merusak rumah Kadi itu?"

Abu Nawas menjawab,"Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada suatu malam hamba bermimpi, bahwasannya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus lagi. Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi."

"Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?" tanya Baginda heran.

Dengan tenang Abu Nawas menjawab, "Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini, Tuanku."

Mendengar perkataan Abu Nawas, seketika wajah Tuan Kadi pucat pasi. la terdiam seribu bahasa.

"Hai Kadi, benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?" tanya Baginda.

Tuan Kadi diam tiada menjawab, wajahnya kian pucat, tubuhnya gemetaran karena takut.

"Abu Nawas, jangan membuatku pusing. Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini!" perintah Baginda.

"Baiklah, "Abu Nawas berkata tenang. "Baginda... beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. Ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah terlihat arogansi Tuan Kadi. Ia ternyata merampas semua harta benda milik pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa."

Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.

Baginda berkata, "Hai anak Mesir, ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini!"

Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi, yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia menginap.

"Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad moralnya." Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir.

Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas pulang ke rumahnya. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.

Namun Abu Nawas berkata, "Janganlah engkau memberiku barang sesuatu pun. Aku tidak akan menerimanya sedikit pun jua."

Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.

Sumber: Sufisme News

Friday, December 2, 2011

Sufi Road: Abu Nawas dan Pesta Yahudi

Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton, sehingga suasananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam per¬mainan itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja ma-suk. Ada yang main kecapi, ada yang menari-nari. Se¬mua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.
Dan ketika para tamu sudah kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun, karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan dan diangkatnya lagi cangkirnya. Tapi, lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dinihari.



Di jalan, barulah terpikir olehnya. "Jahat benar perangai orang Yahudi itu. Main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan sepertl itu tak boleh dibiarkan berlangsung di Baghdad. Tapi apa dayaku hendak me rangnya? Ah, ada satu akal"

Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Ar Rasyid di Istana, “Tuanku, ternyata di negri Tuanku ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, Sangat Aneh”
“Dimana Tempatnya?” tanya baginda Khalifag
"Di tepi hutan sana jawab Abu Nawas.
"Mari kita lihat," ajak Baginda.
"Baik," jawab Abu Nawas. "Nantl malam kita pergi berdua saja, dan Tuanku memakai pakaian santri."
Tapi ingat," kata Baginda, "Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi."
Setelah salat Isya, berangkatlah Baginda ke rumah Yahudi itu diiringi Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama teman-taman-nya. Maka Baginda pun dipersilakan duduk. Ketika diminta menari, Baginda menoiak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan.
Sampai di situ Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah Baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Sesudah itu barulah diedarkan kopi kepada semua tamu. Melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing. Padahal ia langsung pulang.
"Biar Baginda merasakan sendiri peristiwa itu karena salahnya sendiri tidak pernah menegtahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para menteri," pikir Abu Nawas.
Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, Baginda ditampar oleh Yahudi itu, Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja. Kemudlan dilihatnya yahudi itu minum seperti binatang: menghirup tambil katawa-kaiawa.

“Apa Boleh Buat” pikir baginda” Aku seorang diri tidak mungkin melawan Yahudi sebanyak inl." Larut malam baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol, ia merasa dipermainkan oleh Abu Nawas dan dipermalukan di depan orang banyak. "Alangkah kasihan diriku,* gumamnya.

Pagi harinya, begitu bangun tidur, Khalifah Harun Al Rasyid memerintahkan se¬orang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.
"Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi. Teria kasih. Kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu," kata Baginda.
"Mohon ampun ya Ba¬ginda," jawab Abu Nawas. "Malam sebelumnya hamba telah mendapat periakuan seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti Baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa Baginda ke sana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu." Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas. Lalu disuruhnya beberapa pengawal memanggil si Yahudi.
"Hai Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam," Baginda bertanya dengan sengit. "Dari mana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?"
"Ya Tuanku Syah Alam...” Jawab si Yahudi, “Sesungguhnya hamba tak tahu itu Baginda,
sekiranya hamba tahu masa hamba berani berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar besarnya hamba berani berbuat seperti itu? Sebab ttu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya."
"Sekarang terimalah pembafasanku; kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan ke dalam penjara. Dan sejak itu diharamkan orang bermain serta minum seperti binatang Mereka yang melanggar larangan itu dihukum Berat.

Sumber: Al Kisah

Tuesday, November 8, 2011

Sufi Cartoon: wal nahi `anil ma`ruf - Forbidding the good

Sebuah refleksi dari keberagaman umat di zaman ini.
Ketika Sunnah diperangi dengan syirk dan bid'ah..
Semoga Allah memberi hidayah Amien..









www.sunnah.org

Thursday, September 8, 2011

Kiayi Marogan Palembang : Dalam Kelapa Ada Ikan

Ratusan tahun yang silam , Tersebutlah kisah tentang seorang ulama besar yang cukup ternama. Ki Mgs H A Hamid namanya. Mubalig yang mengajar Agama Islam tidak saja berada dalam kota Palembang, bahkan beliau juga mengajar sampai ke desa –desa yang terpencil.

Banyak sekali kisah gaib dalam kehidupan mubalig ini ia lebih dikenal dengan sebutan Ki Muara Ogan sampai dengan sekarang. Bahkan makamnya masih hingga kini di kujungi masarakat yang berada di Palembang juga dari luar .
Ki Muara Ogan panggilan akrabnya, kemana-mana pergi untuk mengajar dan menyebarkan Agama Islam selalu menggunakan perahu, bila tempat mengajar yang tetap maka ia akan mendirikan mesjid disana.

Suatu ketika saat menuju ketempat mengajar, Ki Muara Ogan menasehati pada muridnya,”Murid-muridku sekalian ikuti apa yang akan aku ajarkan ini.”
“Baik guru,”jawab muridnya sambil mendayungkan perahu menuju kelokasi di tempat ia mengajar.
Dalam perjalanan itu Ki Muara Ogan menuturkan ,”Baik demikian amalan itu, La illaha illahu malikul hakul mubin Muhammad Rasulullah Shodikul wa adil Amin,” begitu juga murid mengikuti apa yang disampaikan ulama tersebut.
Ki Muara Ogan sepulang dari memberikan petuah-agamanya, ia kembali menuju ketempat tinggalnya, yaitu berada di Kertapati , hingga sekarang mesjid itu masih berdiri kokoh.
Begitu besar keyakinanya pada Allah, ketika itu di tahun 1911, dizaman pemerintahan penjajahan Belanda, seorang dari prajurit Belanda berkata pada Ki Muara Ogan,” tanah untuk kereta api ini harus di perluas.”
Ki Muara Ogan dengan tenang menjawab,”Tanah itu akan menggeser tanah pabrik kayu milik kami.”
“Kami tahu tuan, tapi perluasan tanah ini untuk kepentingan masarakat banyak,” ungkap prajurit utusan Belanda itu kepada Ki Muara Ogan.

Ki Muara Ogan menganggukan kepala , “baik kami iklas ini untuk kepentingan masarakat dan negera, silahkan.”

Setelah itu pabrik kayu milik Ki Muara Ogan ini dipindahkan ke Kampung Karang Anyar, dan pabrik ini diberikan pada Mgs H M Abumansur. Tanah wakap milik Ki Muara Ogan itu, hingga kini jadi milik PT Kereta Api.
Pada saat itu, Ki Muara Ogan tengah mengadakan ceramah, yaitu berada di Mesjid Ki Muara Ogan Kertapati, sehingga terdengar dengan sangat lantangnya,”Bumi berserta isinya adalah milik Allah ,”
Jemaah mendengarkan itu dengan penuh perhatian sekali, sehingga terasa sejuk dan nyaman bagi siapa yang mendengarkan pada waktu itu.
Disaat itu tak lupa beberapa orang Belanda mendengarkan dan menyaksikan ceramah yang disampaikan oleh Ki Muara Ogan tersebut, tentu tugas mereka hanya untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan Ki Muara Ogan.
Kembali terdengar dengan lantang apa yang disampaikan oleh Ki Muara Ogan, yang menyampaikan petuahnya pada jamaah,”Kekuasaan Allah itu adalah maha besar, jika ia berkata jadi maka jadilah ia.”
Penuh perhatian sekali jamaah menyimaknya, sehingga kembali terdengar seruannya,”Allah mengetahui apa-apa yang tidak di ketahui oleh manusia.”
Seorang hadirin bertanya,”Guru apa misalnya kekuasaan Allah yang tidak mungkin di ketahui oleh manusia itu ?
“Begini ,”kata Ki Muara Ogan sambil ia berdiri dihadapan para jamaahnya.”Misalnya tiap-tiap ada air didalamnya selalu akan ada ikannya?”
Mendengar itu spontan seorang prajurit Belanda yang tengah mengawasi Ki Muara Ogan dari sejak tadi, tiba-tiba berkata,”Bagaimana dengan air kelapa, apakah ada juga ikannya?”
“Insya Allah jika Allah menghendaki maka ikan itu akan ada,” tegas Ki Muara Ogan sembari mulut tetap berkomat- kamit menyebut nama Allah.

Serta merta prajurit itu pandangannya mengarah keluar mesjid,”Ki apakah kelapa itu juga ada ikanya?” kembali prajutit itu menunjukan pada sebuah pohon kelapa yang ada di luar.
Serentak Ki Muara Ogan berserta dengan para jamaahnya menuju keluar, untuk membuktikan kekuasaan Allah tersebut, maka di perintahkanlah seorang murid Ki Muara Ogan memanjat sebuah pohon kelapa, sejenak saja sebuah pohon kelapa di letakan di hadapan Ki Muara Ogan juga disaksikan oleh para jamaah lainya yang hadir pada saat itu.
Sehingga pada waktu itu juga, di persilahkan oleh Ki Muara Ogan pada prajurit Belanda itu sendiri untuk membuktikan kebesaran Allah pada penciptanya.

Pada saat itu juga dengan tiba-tiba sekali, prajurit Belanda itu segera memotong kelapa yang ada di hadapannya waktu itu, sungguh hal yang sangat tidak dapat di kira dari dalam kelapa yang di potong itu muncullah seekor ikan seluang, sejak saat itu sekitar masjid Ki Muara Ogan terdapat ikan Seluang dan di sekitar mesjid tetap berdiri pohon kelapa.

Pernah juga Kisah aneh terjadi, ketika Ki Muara Ogan bersama dengan ketujuh muridnya pulang dari menyebarkan agama Islam, pada waktu itu mereka terhambat karena tidak ada perahu yang akan menyeberangkan di sungai Ogan .
Namun dengan keyakinan yang ada dalam jiwa Ki Muara Ogan , serta merta ia membentangkan salnya, yang selalu berada di pundaknya itu, ia letakan di atas air.”Silahkan kalian duduk di sal itu.” Perintah Ki Muara Ogan pada muridnya yang sedang ikut serta itu.
Karena itu adalah perintah seorang guru, muridnya yang yakin tanpa banyak komentar segera saja ia duduk di atas sal itu, tetapi bagi muridnya yang merasa ragu ia akan diam, atau ia akan bimbang.
“Naiklah wahai muridku, maka kau tidak akan tenggelam,” kata Ki Muara Ogan, namun ada seorang murid yang tidak mau ikut, tetapi yang sudah ikut serta segera saja mereka berjalan seperti layaknya mereka naik sebuah perahu saja.

Setelah itu kembali ia menjemput muridnya yang tadi tinggal tersbut, barulah muridnya itu merasa yakin, karena ia sudah melihat kenyataan itu. Muridnya yang tinggal itu ikut kembali menyeberang .Ketika hampir saja tiba diseberang muridnya itu masih saja merasa ragu, sehingga ia terjatuh, dan segera ia berenang ketepi sungai itu.
Disaat itu Ki Muara Ogan berkata pada muridnya, “Itulah akibat jika seorang hamba belum yakin pada kebesaran Allah, sehingga masih adanya suatu keraguan yang tersimpan dalam pikiran dan hatinya. Untuk itu kamu harus kembali memperkuat iman kepada Allah yang telah menciptakan mahluknya .”

Kisah ini menjadi kisah yang di sampaikan dari mulut kemulut oleh warga kota Palembang, sehingga menjadi warisan kisah turun temurun yang ada di wilayah Sumatera Selatan pada umumnya.

>Insan Kamil

Friday, August 12, 2011

Humor Sufi: Abu Nawas Melarang Rukuk dan Sujud dalam Shalat

Khalifah Harun Al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.

Lebih lagi, Harun Al-Rasyid mendengar Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya khalifah yang suka fitnah! Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas layak dipancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.

Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi). Abu Nawas pun digeret menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan.

"Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak rukuk dan sujud dalam salat?" tanya Khalifah ketus.

Abu Nawas menjawab dengan tenang, "Benar, Saudaraku."

Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, "Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid, adalah seorang khalifah yang suka fitnah?"

Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudaraku.”

Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, "Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!"

Abu Nawas tersenyum seraya berkata, "Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah."

Khalifah berkata dengan ketus, "Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya."

Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, "Saudaraku, aku memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara shalat jenazah yang memang tidak perlu rukuk dan sujud."

"Bagaimana soal aku yang suka fitnah?" tanya Khalifah.

Abu Nawas menjawab dengan senyum, "Kalau itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ’fitnah’ (ujian) itu."

Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan "ya akhi" (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita.

==> Sufinews

Saturday, June 11, 2011

Sufi Road : Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis

Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.”

Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.

Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”

Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.

Tuesday, May 31, 2011

Sufi Road : Sebutir Kurma Pengganjal Doa

Sebuah kisah hikmah buat kita untuk selalu berhati-hati dengan segala sesuatu dalam kehidupan kita..

Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.

Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.

Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu. “Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi. Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.

Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar.

Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda.

“4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang?” tanya Ibrahim.

“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”.

“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatasnamakan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”

Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”

Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim. 4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra.

Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap.
“Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.”

“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

Saturday, May 21, 2011

Sufi Road : Warna Agama

Warna Agama “Chinese Art and Greek Art”

Rasul pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku
di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka.
Kami adalah satu.
Walau tak terhubung oleh tali apapun,
walau tak menghafal buku dan kebiasaan,
kami meminum air kehidupan bersama-sama
.”


Inilah sebuah kisah tentang misteri yang tersimpan:
Sekelompok Tiongkok mengajak sekelompok Yunani bertengkar tentang siapa dari mereka
adalah pelukis yang terhebat.
Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.”
Tiongkok memulai perdebatan.
Tapi Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan.Tiongkok lalu meminta dua ruangan
untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka,dua ruang yang saling menghadap terpisah hanya oleh tirai.
Tiongkok meminta pada raja beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya.
Maka setiap pagi, mereka pergi ke tempat penyimpanan pewarna kain dan mengambil semua yang ada.
Yunani tidak menggunakan warna, “warna bukanlah lukisan kami.”
Masuklah mereka ke ruangannya lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya.
Setiap hari, setiap saat, mereka membuat dinding-dindingnya lebih bersih lagi,
seperti bersihnya langit yang terbuka.

Ada sebuah jalan yang membawa semua warna menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah,
seindah-indahnya berbagai jenis warna di awan dan langit, semua berasal dari
sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan.

Tiongkok telah selesai, dan mereka sangat bangga tambur ditabuh dalam kesenangan
dengan selesainya lukisan agung mereka. Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia
karena keindahan warna dan seluk-beluknya.
Lalu Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka.
Dan tampaklah bayangan lukisan Tiongkok dan semua pelukisnya berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening, seakan mereka hidup di dalam dinding itu.
Bahkan lebih indah lagi, karena tampaknya mereka selalu berubah warna.

Seni lukis Yunani itulah jalan sufi.
Jangan hanya mempelajarinya dari buku.
Mereka membuat cintanya bening, dan lebih bening.
Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu mereka menerima dan memantulkan kembali lukisan dari setiap potong waktu, dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang.
Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya, sebagaimana mereka melihat
melalui beningnya Cahayayang juga sedang melihat mereka semua

Sumber : ifud17.wordpress.com

Sufi Road : Bahlul dan Syekh Junaid

Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya tentang Bahlul. Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda butuhkan darinya?”
Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid.
Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya, “Siapakah engkau?”
“Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata syekh itu.
“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu.
“Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?”
tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang syekh.
Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan.”Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi.
Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.”
Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!”


Bahlul mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?”
“Syekh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid.
“Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang syekh.
Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika.
Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!”

Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi.
Murid-muridnya berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!”
Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku butuhkan darinya. Kalian tidak tahu itu.”
Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?”

“Ya, aku tahu!” jawab syekh itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul.
Syekh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama.
“Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit. Tetapi syekh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”

Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!”
“Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.

Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik.
Dan apa pun yang kau katakan tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!”
Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya.

Syarh dari pen-tahkik :

Anakku. Orang zaman sekarang masih ada yang beribadah tanpa memahami isi makna. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya tanpa kemampuan memaknai. Maka tak heran jika amal yang dilakukan, ibadah yang dilakukan, akan terasa kering. Tidak menyerap di hati. Bahkan shalat sudah tak mampu mencegah kemungkaran. Kenimatan beribadah sangat sulit mereka dapatkan. Dalam cerita di atas, bahlul mencoba membeberkan beberapa kasus yang sehari-hari ditemui. Semoga dengan cerita di atas engkau dapat memaknai setiap amal yang kau lakukan, sehingga makan, bicara dan tidurmu menjadi cahaya. Amin