Showing posts with label Alawiyyin. Show all posts
Showing posts with label Alawiyyin. Show all posts

Sunday, March 11, 2012

Pelajaran dari al-Habib Abdul Qadir-Seggaf

Assalamualaikum..
Berikut adalah video pelajaran dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin 'Abdurrahman as-Seggaf tentang bagaimana cara kita meminta dan momohon dalam doa kita kepada Allah.. semoga kita bisa mengambil ilmu ini..

salam

Tuesday, December 6, 2011

Sufi Road : Pangeran Syarif Ali, Palembang

Dibesarkan oleh Ilmu dan Alam
la arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi
sederhana, di tengah ancaman badai besar dan
gelombang laut yang kerap datang menghadang
.

Terlahir dari pasangan penuh berkah Habib Abubakar bin Shalih B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, sejak kecil ia dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik. Ayahnya, Habib Abubakar, yang lahir di kota 'Inat, adalah cucu se orang wali, Habib Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima Habib Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari generasi habaib sebelumnya, ia pegang teguh dan diteruskannya kepada para muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu-bakar, yang kemudian meneruskan run tarbiyah itu kepada putranya yang ber nama Ali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Syarif Ali.
Pangeran Syarif Ali, atau Habib Ali bin Abubakar bin Shalih bin Ali bin Ahmad Bin Syaikh Abubakar bin Salim As-Seggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin seorang sultan yang shalih, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.

Kerabat Kesultanan
Gelar Pangeran yang disandangnya adalah karena kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembanga Darussalam, baik secara nasab, pertalian pemikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. dijuiuki Pangeran karena kedekatannya, baik secara nasab, pertalian perkawinan, maupun kedudukan di dalam keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam. Neneknya, dari sebelah ibu, adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya, adalah putri Sultan Husin Ohiauddin.
Ibundanya, yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita shaiihah putri seorang 'allamah dan ahli tasawwuf terkenal pada saat itu, Habib Ibrahim bin Zein Bin Yahya. la mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para pamannya, seperti Habib Abdullah bin Ibrahim dan Habib Syekh bin Ibrahim, serta dari banyak ulama lainnya pada masa itu.

Diriwayatkan, ia memiliki koleksi hingga sekitar seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu-nya yang mendalam.

Masa kecilnya, sebagaimana putra-putri keluarga Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil kecerdasannya terlihat menonjol dan ia memiilki banyak teman sepergaulan yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif Ali sering mengunjungi kesultanan, hingga ia pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.
Menginjak remaja, Pangeran Syarif Ali giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. la arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.


Pilihan Dilematis
Suatu saat, Sultan Husin Dhiauddin memintanya menyelesaikan sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil menyelesaikan misi tersebut itulah ia, yang masih dalam usia relatif muda, dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan salah satu putri-nya, Raden Ayu Maliya.
Dari pernikahannya dengan putri sultan ini, ia mendapat putra bemama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayahnya, berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif Ali dengan kapal ayah-nya berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.
Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud, 1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan oleh Sayyid Hasan bin Syaikh Abubakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada hubungannya dengan putra Pangeran Syarif Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif All, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun ia nadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.

Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.
Pangeran Syarif Ali merasakan hal ini sebagai sebuah dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila ia menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia dapat. Bila diterima, ia hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat memerlukannya.

Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk m-nerima jabatan tersebut, dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor residen. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, ia pun ingin dibantu oleh putranya, Abubakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif Ali, yang selalu mengenakan pakaian keulamaannya, Residen Belanda saat itu memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh putranya selama hampir setengah abad. Seballknya, Pangeran Syarif Ali sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak satu sen pun ia ambil.

Pangeran Syarif Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazahnya di-makamkan di kompleks pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 llir Palembang.
Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putranya, Habib Muhammad Mahimud. Sedangkan dalam hal aktivitasnya di kesultanan, digantikan oleh putranya, Habib Abubakar, atau di-kenal dengan Pangeran Bakri.
Untuk lebih mengetahui asal-usul keluarga Pangeran Syarif Ali, berikut sekilas perjalanan leluhumya dari negeri Hadhramaut ke Palembang, sebuah kota yang dulunya sempat dikenal sebagai "Hadhra-maut Tsani", atau Hadhramaut Kedua.



Panji-panji Keluarga
Setiap kabilah keluarga di Hadhramaut biasanya memiliki seseorang yang dituakan untuk memimpin. Istilahnya munshib. Dalam keluarga, fungsi seorang munshib adalah sebagai imam dalam hal keagamaan, panglima di medan pepe-rangan, serta menjadi hakim kaia mengadili perkara keluarganya.

Datuk nya Pangeran Syarif Ali, yang juga bernama sama dengannya, yaitu Habib Ali (bin Ahmad), semasa hidupnya menjabat munshib bagi keluarga Syaikh Abubakar bin Salim. Sebagai seorang munshib, ia memang dikenal akan keluasan ilmu agamanya, tegas dalam mengambil keputusan, serta berani menghadapi orang yang memusuhi komunitasnya.
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah salah seorang guru Habib Ali bin Ahmad. Selain mengarungi samudera, ilmu sang guru yang melimpah ruah, dari gurunya ini ia juga banyak mendapatkan ijazah awrad atau amalan wirid-wirid.
Habib Ali wafat di kota 'Inat pada 1730 M. Dari hasif pemikahannya dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi bin Idrus Bin Yahya, ia mendapat sejumlah putra dan putri: Shalih, Ahmad, Salim, Abdullah, Thalhah, Alwiyah, dan Muznah.

Setelah Habib Ali wafat, salah seorang putranya yang bernama Shalih di-percaya keluarganya untuk menerima panji-panji Bairaq, bendera lambang keluarga besar Bin Syaikh Abubakar. Artinya penyerahan kepemimpinan dirinya sebagai seorang munshib.
Hingga suatu saat, jabatan munshib tersebut ia limpahkan kepada saudara-nya, Ahmad, karena ia bermaksud meng-antarkan sang putra, Abubakar, yang kala itu masih berusia belia, untuk hijrah ke negeri nan jauh di seberang lautan, Palembang.

Masa itu nama Palembang memang sudah dikenal di Hadhramaut sebagai negeri yang makmur dan rakyatnya bersahabat. Sultannya menghargai kalangan aiim ulama serta memerlukan orang yang dapat membantunya dalam perdagangan biji timah dan lada di Bangka, serta hasil hutan dan kayu dari kawasan Sumatera Selatan lainnya. Karenanya, pada saat itu, sudah banyak orang dari Hadhramaut yang pergi ke Palembang dan saat kembali ke Hadhramaut mereka menceritakan perihal kemakmuran negeri Palembang kala itu.
Palembang adalah negeri yang kaya dengan hasil bumi biji timah dan lada yang melimpah, yang dihasilkan di Pulau Bangka. Hasil bumi ini telah membangkitkan hasrat kuat bagi pihak Belanda dan Inggris untuk menguasai Pulau Bangka. Sejak zaman VOC (1602-1799), para sul¬tan Palembang selalu mendapatkan tekanan dari Belanda. Karena itu, mereka meminta bantuan saudagar-saudagar

Arab untuk mencari meriam sebanyak-banyaknya untuk pertahanan benteng kesuftanan yang sedang dibangun. Meriam-meriam itu diperoleh di bekas benteng-benteng Portugis di India dan Oman, atau dari kapal-kapai perang yang telah di-tinggalkan di Teluk Persi untuk kemudian dibawa ke Palembang dan mendapatkan imbalan besar dari Sultan. Berbagai ukuran meriam pun didapat dengan beragam tulisan yang tergores padanya, hingga benteng sultan Palembang berhasil mendapatkan 242 pucuk meriam, sementara di Pulau Kembara dan di Plaju diletakkan 141 pucuk meriam.
|
Bersama putranya, Habib Shalih pergi berlayar dari Pelabuhan Hudaidah. Dengan kapal layar dan peralatan navigasi yang masih sederhana, ia arungi samudera luas. Hudaidah yang dimaksud kemungkinan merupakan salah satu kota peabuhan di Pantai Selatan Jazirah Arab di sekitar Mukalla atau Syihr, bukan yang terdapat di Pantai Laut Merah Yaman Utara. Ini didasarkan pada banyaknya kota di antara antara Aden dan Muscat yang tercantum pada peta yang dibuat Hugo Allardt tahun 1650 M, sekitar 25 kota. Dari kota-kota itu pelayaran ke Timur (India dan Indonesia) dan ke Selatan (Afrika Timur) lebih dekat bagi orang-orang Yaman Selatan. Kota-kota itu antara lain Bokum, Al-Gail Bawazir, Al-Hami, Addis, As-Syirma, Al-Qusyair.
Biasanya, pelayaran dari Hadhramaut ke Palembang memakan waktu sekitar delapan bulan sampai satu tahun, tergantung pada musim angin dan lamanya perbaikan kapal di selatan India atau Sri Lanka Di-perkirakan, kedatangannya ke Palembang pada tahun 1755, yaitu di akhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Waktu itu, di sana sudah ada beberapa keluarga Alawiyyin yang sudah menetap, di antaranya keluarga Alaydrus, Assegaf, Al-Kaf, Bin Syihabud-din, Bin Yahya, Anggawi, Khaneman, dan sebagainya. Saat itu, Habib Shalih menjadi tamu Habib Ibrahim bin Zen bin Alwi Bin Yahya, seorang ulama ahli sufi yang menjadi menantu sultan Palembang pada saat itu.
Karena sama-sama ulama sufi, kedekatan di antara keduanya segera ter-bangun akrab. Selain itu, ibunda Habib Shalih juga dari keluarga Bin Yahya. Keduanya pun segera saja bersepakat untuk menjodohkan Syarifah Nur, putri Habib Ibrahim Bin Yahya dengan Abu-bakar, putra Habib Shalih.
Setelah beberapa saat tinggal di Palembang, Habib Shalih pun berkemas untuk pergi kembali'ke negeri asalnya. Se-belum berangkat, ia meninggalkan nasihat-nasihat keagamaan, mehyerahkan sebuah bairaq keluarga sebagai ikatan keluarga Syaikh Abubakar bin Salim, dan memberlkan sebilah pedang wasiat untuk membela diri. Bairaq tersebut sampai sekarang maslh tersimpan dan beberapa duplikatnyatelah dlbuat. Habib Shalih wafat di Inat dan dimakamkan di kompleks pemakaman Habib Ahmad bin Salim bin Husen bin Syaikh Abubakar, tak jauh dari makam Syaikh Abubakar bin Salim.
Habib Abubakar bin Shalih kemudian tinggal di rumah mertuanya, yaitu di 5 llir Kampung Karang Manggis, di sebuah rumah panggung berkonstruksi atap bentuk limas, lengkap dengan kijing-kijing di ruang muka, kemudian bagian yang ter-tinggi dari kijing-kijing itu terletak di ruang dalam yang terdapat kamar tidur.
Di bagian belakang terdapat garang, yaitu ruangan tak beratap untuk tempat mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan sebagainya. Selanjutnya, masih di bagian belakang rumah, terdapat ruang dapur dan kamar tidur. Di pekarangan, dibuat kambang atau kolam tempat penam-pungan air. Di depan rumah ditempatkan jambangan air untuk air tadah hujan.
Sekitartahun 1930-1935, rumah tersebut dijual, kemudian dipindahkan kese-belah barat Benteng Kuto Besak dan di-jadikan museum. Ukurannya sedikit di-rombak, menjadi lebih kecil dan lebih rendah dari ukuran aslinya, dan kini ditempatkan di halaman belakang Museum Bala Putra Dewa, Palembang. Perabot rumah yang masih tertinggal adalah se¬buah tempat tidur yang masih tersimpan di museum tersebut.

Rumah kayu tersebut masih ada dan dilestarikan sampai sekarang. Gambar rumah itu bahkan kemudian menjadi sim-bol rumah budaya daerah Palembang yang sketsa gambarnya tercetak pada cetakan uang pecahah sepuluh ribu ru-piah saat ini.
Di rumah inilah semua putra-putri Habib Abubakar dibesarkan, termasuk di antaranya adalah Pangeran Syarif All.

Sumber: Al Kisah

Friday, October 21, 2011

Sufi Road : Mengenang Kisah Turunnya Simtud Durar

Allahumma sholli alaa sayyidina muhammad wa aalihi washohbihi wassalim
Mawlid Simtud Duror merupakan kitab maulid yang cukup agung yang dibaca oleh umat muslim di seluruh dunia khususnya yang dibawa dari bani alawy yaitu para habaib yang berdakwah menyebar keseluruh dunia.
Banyak keistimewaan dan keberkahand alam Mawlid ini.
Berikut dikisahkan dari buku biografi Habib Ali Al Habsy tentang penulisan kitab mulia ini.


--------------------------------------------------------------------

Ketika usia Habib 'All menginjak 68 tahun, ia menulis kitab maulid yang diberinya nama Simtud Durar.
Pada hari Kamis 26 Shafar 1327 H, Habib 'All mendiktekan paragraf awal dari Maulid Simtud Durar setelah memulainya dengan bacaan basmalah:


sampai dengan ucapan beliau:


Ia kemudian memerintahkan agar tulisan itu dibacakan kepada beliau. Setelah pendahuluan yang berupa khutbah itu dibacakan, beliau berkata, "Insya Allah aku akan segera menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah maulid. Sampai suatu hari anakku Muhammad datang menemuiku dengan membawa pena dan kertas, kemudian berkata kepadaku, 'mulailah sekarang.' Aku pun lalu memulai-nya."
Kemudian dalam majelis lain beliau mendiktekan maulidnya


Pada hari Selasa, awal Rabi'ul Awwal 1327 H, ia memerintahkan agar maulid yang telah beliau tulis dibaca. Beliau membukanya dengan Fatihah yang agung. Kemudian pada malam Rabu, 9 Rabi'ul Awwal, beliau mulai membaca maulidnya di rumah beliau setelah maulid itu disempurnakan. Beliau berkata, "Maulid ini sangat menyentuh hati, karena baru saja
selesai diciptakan."

Pada hari Kamis, 10 Rabi'ul Awwal beliau menyempurnakan-nya lagi. Pada malam Sabtu, 12 Rabi'ul Awwal 1327 H, ia membaca maulid tersebut di rumah muridnya, Sayyid 'Umar bin Hamid as-Saggaf. Sejak hari itu Habib 'Ali kemudian membaca maulidnya sendiri: Simtud Durar. Sebelumnya ia selalu membaca maulid al-Haftdz ad-Diba'i.

Maulid Simtud Durar yang agung ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan tempat-tempat lain yang jauh. Maulid ini juga sampai ke Haramain yang mulia, Indonesia, Afrika, Dhafar dan Yaman. Disebutkan bahwa maulid Simtud Durar pertama kali dibaca di rumah Habib 'Ali, kemudian di rumah muridnya, Habib 'Umar bin Hamid. Para sahabat beliau kemudian meminta agar Habib 'All membaca maulid itu di rumah-rumah mereka. Ia berkata kepada mereka, "Selama bulan ini, setiap hari aku akan membaca Maulid Simtud Durar di rumah kalian secara bergantian.
Tanggal 27 Sya'ban 1327 H, Sayyid Hamid bin 'Alwi al-Bar akan pergi ke Madinah al-Munawwarah membawa satu naskah maulid Simtud Durar yang akan dibacanya di hadapan Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam. Nabi shallalldhu (alaihi wa sallam akan merasa sangat senang.
Habib 'All radhialdhu 'anhu berkata:

Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpul-kan mereka kepada Allah dan akan membuat mereka dicintai Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam.

Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) al-Habib shallalldhu 'alaihi wa sallam akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubung-an dengan Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam. Pujianku kepada Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam dapat diterima oleh masyarakat.

1ni karena besarnya cintaku kepada Nabi shalldlahu alaihiwa sallam. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi shallaltdhu 'alaihi wa sallam, Allah membukakan kepadaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi shallaahu 'alaihi wa sallam andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu.
Munculnya Maulid Simtud Durar di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang zaman akhir, tapi setelah maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi shallaltdhu 'alaihi wa sallam sangat menyukai maulid ini.

Maulid Hari Kamis Akhir Bulan Rabi'ul Awwal

Suatu hari Habib 'Abdul Qadir bin Muhammad bin 'Ali al-Habsyi, cucu penulis Simtud Durar berpidato:
"Wahai saudara-saudaraku. Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang agung dan karunia yang besar ini. Allah Jalla wa 'Ala bermurah kepada kita sehingga kita dapat mengadakan acara agung yang dahulu diselenggarakan sendiri oleh penulis kitab Maulid ini, pendiri acara yang agung ini sejak 90 tahun yang lalu. Acara itu dihadiri oleh masyarakat dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Hijaz, Dhafar, Sawahil dan negara-negara lainnya. Ada yang memperkirakan, jumlah orang yang menghadiri maulid tersebut sekitar 30.000 orang.
Habib 'Ali membiayai keperluan mereka semua. Dan beliau juga mengurus jamuan dan kendaraan mereka. Sebab, saat itu tidak ada mobil atau pesawat. Semua orang datang dengan mengendarai onta dan kendaraan lain. Beberapa orang dan pegawai pemerintah mengkhawatirkan hal ini, "Wahai Habib 'Ali, manusia berdatangan dari segenap penjuru, bagaimana pembiayaannya" Habib 'Ali menjawab, "Kalian sambut saja mereka, bukalah rumah kalian untuk mereka, Allah nanti yang akan memberi mereka rezeki, bukan aku atau kalian. Bukalah rumah kalian untuk mereka, aku akan menyediakan segala sesuatunya kepada kalian. Jika ada yang kekurangan, pergilah ke tempat fulan dan fulan." Beliau menyebutkan beberapa nama sehingga mereka dapat mendatangi orang-orang itu untuk mengambil semua yang diperlukan.

Maulid yang agung ini dihadiri oleh para munshib, dai dan ulama yang berasal dari berbagai daerah. Mereka semua berkumpul sehingga turunlah madad, kebaikan, keberkahan dan nafahat yang agung. Para munshib datang dengan rombongan hadhrah mereka: ada yang dari Syihr, Ghail dan dari berbagai tempat lain. Kota Seiwun dipadati oleh manusia sebagaimana dikatakan oleh Habib 'Ali:
Seiwun memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain.

Menjelang hari Kamis terakhir bulan Rabi'ul Awwal, para buruh meminta ijin dari majikan mereka untuk tidak masuk kerja. Pernah seorang buruh ditanya mengapa harus libur, ia menjawab: Wahai Habib, ketahuilah, waktuku setahun berlalu begitu saja; sia-sia. Sekarang yang kumiliki tinggal dua hari ini saja, yaitu hari-hari pembacaan maulid. Nanti, ketika manusia telah berkumpul di lembah itu, Habib 'Ali akan berdiri dan menyeru orang-orang ke jalan Allah, mengajak mereka bertobat dan mendoakan mereka, maka semua dosa dari orang-orang yang berkumpul di situ pasti diampuni.
'Ammi 'Umar bin Hasan al-Haddad berkata, "Perhatikanlah, bagaimana kaum awam dapat menemukan sir."

Sumber: Buku biografi Habib Ali Al Habsy

Saturday, October 15, 2011

Habib Idrus bin Salim Al Jufri - Palu

Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat, yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas. Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan Timur Nusantara.

Nasab Beliau adalah :
Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.

Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.

Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau.

Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan. Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat) bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang.

Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar. Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.

Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.
Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.

Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.

Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat.

Sumber: Ahlulkisa




Friday, May 20, 2011

Sufi Road : Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos

Beliau dilahirkan di Huraidhoh, Hadhramaut (Yaman) pada hari Selasa 19 Ramadhan 1257 H.

NASAB

Al-Habib Ahmad bin Hasan bin Abdulloh bin Ali bin Abdulloh bin Muhammad bin Muhsin bin Imam Husein bin al-Quthb al-Kabiir Umar bin Abdurrohman bin Aqil al-'Atthos bin Salim bin Abdulloh bin Abdurrohman bin Abdulloh bin al-Quthb Abdurrohman as-Segaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi bin al-Ustadz al-'Adhom al-Faqih al-Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi' Qosam bin Alwi bin Muhammad Shohib Shouma'ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Jakfar ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam as-Sibth al-Husein bin al-Imam Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib suami az-Zahro Fatimah al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

MASA KECIL

Ketika masih dalam umur penyusuan, ia terkena penyakit mata yang ganas hingga hilang penglihatannya. Ibu beliau merasa sedih lalu mendatangi al-Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos. Ia letakkan bayi mungil itu di depan Habib Sholeh, lalu menangis sekuat-kuatnya.

"Apa yang dapat kami perbuat dengan anak yang buta ini?" kata ibunya dengan suara sedih.

Habib Sholeh menggendong bayi itu, lalu memandangnya dengan tajam. "Ia akan memperoleh kedudukan yg tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya. Ia akan mencapai maqom kakeknya, Umar bin Abdurrohman al-'Atthos.", kata Habib Sholeh
Mendengar ini, ibu beliau pun merasa terhibur.

Sejak itu Habib Ahmad memperoleh perhatian khusus dari Habib Sholeh. Kadang bila melihat Habib Ahmad berjalan menghampirinya, Habib Sholeh berkata, "Selamat datang pewaris sir Umar bin Abdurrohman." Kemudian Habib Sholeh memboncengkan dia di tunggangannya.

Pada kesempatan lain Habib Sholeh berkata kepada beliau, "Kau mendapat madad khusus dari kakekmu Umar bin Abdurrohman."


PENGLIHATAN BATIN

Meski kehilangan kedua penglihatannya, Habib Ahmad bin Hasan tampak seperti orang yang dapat melihat dengan baik. Allah mengganti penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah. Hal ini terbukti dalam beberapa peristiwa, baik ketika beliau masih kecil maupun setelah mencapai usia lanjut. Seakan Alloh SWT ingin menunjukkan kepada orang-orang yang hidup sejamannya makna firman-Nya:

"Karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada."
(Q.S. al-Haj, 22:46)

Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yg telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya.

Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya.

Habib Umar bin Muhammad al-'Atthos bercerita,
"Ketika masih kecil, aku suka bermain-main dengan Akh Ahmad bin Hasan dan Akh Abdulloh bin Abubakar bin Abdulloh di jalanan kota.

Usia kami sebaya, aku sering mendengar masyarakat memperbincangkan kewalian dan kasyf-kasyf Akh Ahmad bin Hasan, namun aku belum pernah membuktikannya.

Suatu hari aku berkata pada Akh Abdulloh bin Abubakar,
"Mari kita buktikan omongan masyarakat malam ini. Jika ia memang seorang wali, kita akan membenarkannya, tapi jika itu hanya kabar bohong, kita akan membuatnya menderita."

Kami menggali lubang di dekat tempat kami bermain lalu kami tutup dengan tikar. Setelah tiba saat bermain, aku berkata pada pada Akh Ahmad bin Hasan,
"Malam ini kita adakan lomba lari."

Kami tempatkan ia di tengah2, tepat ke arah lubang yang baru kami gali. Kami lalu berlari sambil berteriak,
"Ayo lari...lari...!"

Ketika sudah dekat dengan lubang itu, Akh Ahmad melompat seperti seekor kijang.

Mulanya kami kira kejadian ini hanya suatu kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba lagi. Tapi ketika sampai di depan lubang, ia melompat seperti sebelumnya. Saat itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa.

Pernah ada lelaki datang menemui beliau dengan membawa uang 1 dirham yang ia temukan di jalan. Di permukaan dirham itu tertulis sesuatu yang sulit dibaca karena dirham itu sudah terlalu tua.

Beliau meraba dirham tersebut, lalu berkata kepada murid beliau, Syeikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl,
"Coba perhatikan dengan teliti, apa yang tertulis di permukaan dirham ini."

Ia mencoba membacanya, tapi tidak berhasil. Beliau kemudian berkata,
"Mungkin ini adalah jenis dirham ash-Shomadiah yang dikeluarkan oleh Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi. Pada sisi yang satu tertulis surat al-Ikhlas dan pada sisi lain tertulis: Laa ilaaha 'illallaah wahdahu laa syariikalahu, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syay'in qodiir."

Syeikh Muhammad lalu mencoba melihat mata uang itu dengan lebih teliti, ternyata benar apa yang ducapkan Habib Ahmad bin Hasan. Nama raja Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi tertulis melingkari mata uang tersebut dengan tulisan kufi tanpat titik dan dengan aturan yang aneh.


MENUNTUT ILMU

Sejak kecil beliau Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos gemar menuntut ilmu. Ketika berusia 5 tahun, kakek beliau, Habib Abdulloh, mengajari beliau membaca Qur'an sebelum menyerahkan pendidikan beliau pada Faraj bin Umar bin Sabbah murid Habib Hadun bin Ali bin Hasan al-'Atthos.

Beliau juga belajar kepada Habib Sholeh bin Abdullah al-'Atthos. Beliau bercerita,
"Suatu hari, ketika usiaku 5 tahun, aku bermain-main & berguling-guling di tanah. Kebetulan Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos lewat di dekatku. Beliau berkata, 'Bangun, pakai pakaianmu lalu tunaikan Sholat Jum'at!'..."

"Tubuhku kotor!", jawabku.

"Tidak masalah, bangunlah, pakai pakaianmu dan kerjakanlah Sholat Jum'at!".
Beliau juga belajar kepada Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos. Beliau bercerita,
"Suatu hari, ketika usiaku 5 tahun, aku bermain-main & berguling-guling di tanah. Kebetulan Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos lewat di dekatku. Beliau berkata, 'Bangun, pakai pakaianmu lalu tunaikan Sholat Jum'at!'..."

"Tubuhku kotor!", jawabku.

"Tidak masalah, bangunlah, pakai pakaianmu dan kerjakanlah Sholat Jum'at!".

Habib Sholeh lalu membacakan firman Alloh Ta'ala:
"Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Alloh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati."
(Q.S. al-Haj, 22:32)

Inilah ayat pertama yang dihafalkan oleh Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos dari Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos.

Perlu diketahui bahwa Habib Ahmad memiliki daya hafal yang luar biasa, beliau mampu menghafal dengan sekali dengar.

Setiap kali ada ulama datang ke kotanya, Huraidhoh, beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka.

"Hatiku dipenuhi rasa pengagungan dan penghormatan pada salaf yang tiba di kotaku. Ketika Habib al-'Allamah Muhammad bin Ali Assegaf datang, aku seakan-akan melihat seorang nabi."


GURU-GURU BELIAU

Guru-guru beliau antara lain adalah Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos, Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos, Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdhor, Habib Ahmad bin Abdulloh bin Idrus al-Bar, Habib Abdurrohman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Ali bin Alwi bin Abdillah Assegaf & Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih.

Sedangkan guru-guru beliau di Haramain adalah Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assegaf, Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Shol Maula Dawileh, dan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan.

Adapun Syeikh fath Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos adalah Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos dan Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos.

Habib Sholeh men-tahkiim beliau sebagai seorang sufi dengan mencukur rambut kepala beliau dengan kedua tangannya yang mulia dan memerintahkannya untuk wudhu & mandi. Setelah itu Habib Sholeh mendudukkan beliau di hadapannya lalu men-talqiin kalimat: "Laa ilaa illallah Muhammadun Rasuulullaah" sebanyak 3 kali dan kemudian memberi beliau ijaazah dan ilbaas.

Buku-buku yang dibaca Habib Ahmad di hadapan Habib Sholeh antara lain adalah "Idhoohu Asroori Uluumil Muqorrobiin, Ar-Risaalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifaa' karya Qodhi 'Iyadh dan Mukhtashor al-Adzkaar karya al-Allamah Syeikh Muhammad bin Umar Bahroq.

Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota 'Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H.
Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota 'Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H.

Cinta beliau kepada Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos telah tampak sejak beliau masih kecil, sebagaimana diceritakan oleh Habib Alwi bin Thohir dalam Uquudul Almaas:
"Jika Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos berkunjung ke Huraidhoh, beliau (Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos) selalu menemainya. Suatu saat, Habib Sholeh pulang ke kotanya ('Amd) tanpa sepengetahuan beliau. Ketika mengetahui bahwa Habib Sholeh telah pulang, beliau segera menyusulnya seorang diri tanpa penuntun dan penunjuk jalan. Habib Sholeh merasakan kehadiran beliau, lalu bertanya pada orang-orang yang ikut dalam rombongannya, 'Apakah kalian melihat seseorang di belakang kita?'. Mereka melihat ke belakang lalu berkata, 'Kami tidak melihat apa-apa.'. Tak berapa lama, ia mengulang pertanyaannya dan dijawab, 'Ya, ada seorang anak kecil berusaha menyusul kita.'. Habib Sholeh berkata, 'Dia adalah Ahmad bin Hasan.' Ia menanti kedatangan Habib Ahmad bin Hasan, lalu memboncengkannya sampai di desa terdekat. Setelah itu ia memulangkannya."

Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos juga memberikan perhatian kepada beliau sejak kecil. Buku yang telah dibaca Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos di hadapan Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos antara lain adalah al-Jami' ash-Shoghir, Riyadhush Shibyan dan Hadiyatush Shiddiq.

Habib Ahmad selalu menemani Habib Abubakar, bahkan beliau pernah ikut sampai ke Hijaz. Ketika Habib Abubakar meninggal dunia pada malam Selasa 17 Dzulqoidah 1281 H, beliau sedang berada di Haramain.

Habib Ahmad berkata,
"Aku pernah bertanya pada Habib Abubakar tentang berbagai kasyf dan asror yang diperoleh seseorang padahal ia tidak memiliki amal yang memadai."

Habib Abubakar menjawab,
"Sebab ia dekat dgn shohibul waqt. Tempat yang dekat dengan pancuran akan terkena percikan air."

Keterangan Habib Ahmad ini menjelaskan keadaan dirinya.


BELAJAR DI MAKKAH

Tahun 1274 H, ketika usianya menginjak 17 tahun, beliau melakukan perjalanan haji ke Makkah al-mukarromah. Kedatangan beliau ini disambut dengan senang hati oleh al-'Allamah Mufti Haramain, Sayid Ahmad Zaini Dahlan.

Sayid Ahmad Zaini Dahlan mendorong beliau, Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos untuk menuntut ilmu di Makkah, lalu menyerahkannya di bawah pendidikan seorang guru baca Qur'an, Syeikh Ali bin Ibrohim as-Samanudi.

Sayid al-'Allamah Abubakar yang biasa dipanggil dengan Bakri bin Muhammad Syatho, pengarang buku I-'aanatuth Thoolibiin Syarh Fathul Mu'iin dalam bukunya Nafkhotur Rohmaan yang berisi manaqib guru beliau, Sayid Ahmad Zaini Dahlan, menulis:

"Dahulu Sayid Ahmad Zaini Dahlan hafal Qur'an dengan baik dan menguasai 7 cara baca Qur'an. Beliau juga hafal kitab asy-Syaathibiah dan al-Jazariah, 2 kitab yg sangat bermanfaat bagi para pelajar yang hendak mempelajari 7 bacaan Qur'an dengan cepat. Karena cinta dan perhatiannya pada Qur'an, ia memerintahkan sejumlah ahli baca Qur'an untuk mengajarkan ilmu ini. Ia khawatir ilmu itu akan hilang dari orang-orang yang cerdas dan memiliki pemahaman. Saat itu datang Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos dari Hadhromaut. Ia masih kecil dan buta kedua matanya.
Sayid Ahmad Dahlan sangat menyayanginya. Ia lalu memerintahkannya untuk menghafalkan Qur'an. Dalam waktu singkat Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos mampu menghafalnya. Kemudian tuanku Sayid Ahmad Dahlan meminta Syeikh Ali as-Samanudi yang terkenal menguasai 14 cara baca Qur'an untuk mengajar Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos. Syeikh Ali lalu mengajarkan asy-Syaathibiah dan cara baca Qur'an. Dalam waktu singkat Alloh memberi Sayid Ahmad bin Hasan al-'Atthos fath."


Sumber :
"Sekilas tentang Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos: Riwayat hidup, Wasiat dan Nasihat, Kisah & Hikmah, Do'a dan Amalan."
Oleh: Sayyidy al-Habib Novel bin Muhammad al-'Aydrus.

Friday, April 8, 2011

Sufi Road : Tariqah Bani Alawi

Oleh : Naufal (Novel) bin Muhammad Alaydrus

Secara bahasa tharîqah (tarekat) dapat berarti jalan, metode, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana. Menurut 'Abdurrazzâq Al-Kâsyânî, tharîqah adalah jalan khusus yang ditempuh oleh para Sâlik dalam perjalanan mereka menuju Allâh, yaitu dengan melewati jenjang-jenjang tertentu dan meningkat dari satu maqâm ke maqâm yang lain.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Kibrîtul Ahmar wal Iksîrul Akbar Habîb ‘Abdullâh bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs radhiyallâhu 'anhu menyebutkan: “Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat (tharîqah) adalah lautnya dan hakikat (haqîqah) adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan, hingga memperoleh permata tersebut.”

Tharîqah 'Alawiyyah Dalam Pandangan Habîb ‘Abdurrahmân Bilfaqîh

Dalam buku ‘Iqdul Yawâqît Al-Jauhariyyah, Habîb Edrus bin ‘Umar Al-Habsyî, menyebutkan bahwa ketika Habîb ‘Abdurrahmân bin ‘Abdullâh Bilfaqîh ditanya, “Apa dan bagaimana tharîqah Sâdah Âl Abî ‘Alawî itu? Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Qurân dan sunah? Apakah di antara pengikut tharîqah ini terdapat perbedaan? Apakah tharîqah mereka bertentangan dengan tharîqah-tharîqah lain?” Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan indah. Berikut beberapa hal penting yang kami ringkaskan dari jawaban beliau itu:
•“Ketahuilah, sesungguhnya tharîqah anak cucu Nabi (Sâdah) dari keluarga Abî ‘Alawî (banî 'alawî) merupakan salah satu tharîqah kaum sufi yang dasarnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Al-Qurân dan sunah sedangkan bagian utamanya (ra’suhâ) adalah sidqul iftiqâr dan syuhûdul minnah .

•Tharîqah ini mengikuti berbagai ketetapan hukum yang ada (manshûsh) dengan metode khusus serta menyempurnakan semua dasar (ushûl) guna mempercepat wushûl. Hal ini menunjukkan bahwa tharîqah banî 'alawî lebih dari sekedar mengikuti Al-Qurân dan Sunah sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang.

•Tharîqah ini membimbing seseorang untuk menyandang semua akhlak luhur dan mulia serta menjauhi semua sifat hina dan tercela. Tujuan tharîqah ini tiada lain adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allâh dan memperoleh fath .

•Tharîqah banî 'alawî merupakan sebuah tharîqah yang membimbing seseorang untuk mampu memahami, mengamalkan dan meraih asrâr, maqâmât dan ahwâl. Ia diwariskan dari generasi sholihin ke generasi sholihin berikutnya dengan mempraktekkan, merasakan dan mengamalkannya secara langsung, sesuai dengan fath, anugerah dan karunia Allâh.

• Karena tharîqah banî 'alawî mengutamakan praktek, cita rasa dan rahasia, maka mereka memilih untuk bersikap khumûl (menghindari ketenaran), menyembunyikan diri, dan tidak menyusun karya tentang tharîqah-nya. Periode awal hingga zaman Habîb ‘Abdullâh Al-‘Aidarûs dan adik beliau, syeikh Alî memilih sikap ini.

•Ilmu yang dipelajari oleh Banî ‘Alawî adalah ilmu yang dimiliki para sufi. Ciri khasnya, mereka suka menghapuskan segala tanda yang dapat menunjukkan siapa diri mereka. Mereka berusaha mendekatkan diri kepada Allâh dengan semua amal.
•Adab tharîqah ini adalah menjaga semua rahasia (asrâr) dan cemburu (ghairah) jika rahasia tadi disebarluaskan.

•Dhâhir tharîqah Banî ‘Alawî adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ghazâlî, yaitu menuntut ilmu dan mengamalkannya sesuai dengan metode yang benar. Sedangkan batinnya adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh tharîqah Syâdziliyyah, yaitu tahqîqul haqîqah dan tajrîdut tauhîd.

•Tharîqah-tharîqah sufi lain yang benar, suci dan dapat dipercaya, tidak bertentangan dengan tharîqah Banî ‘Alawî, baik dalam ushûl (dasar-dasar), hakikat sulûk maupun wushûl. Terjadinya perbedaan bentuk dan keadaan di antara mereka tiada lain adalah demi memberikan jalan yang mudah dan dekat kepada setiap orang yang ingin menempuhnya. Perbedaan ini seperti perbedaan madzhab dalam masalah furû’. Karena perbedaan tersebut hanya berlaku pada cabang (furû’), maka sejatinya perbedaan-perbedaan itu tidak ada

Sumber : Pustaka Muhibbun

Tuesday, December 21, 2010

Sufi Road : Imam Ali Zainal Abidin


Beliau adalah Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dijuluki dengan julukan Abal Hasan atau Abal Husain. Beliau juga dijuluki dengan As-Sajjad (orang yang ahli sujud).

Beliau adalah seorang yang ahli ibadah dan panutan penghambaan dan ketaatan kepada Allah. Beliau meninggalkan segala sesuatu kecuali Tuhannya dan berpaling dari yang selain-Nya, serta yang selalu menghadap-Nya. Hati dan anggota tubuhnya diliputi ketenangan karena ketinggian makrifahnya kepada Allah, rasa hormatnya dan rasa takutnya kepada-Nya. Itulah sifat-sifat beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin.

Beliau dilahirkan di kota Madinah pada tahun 33 H, atau dalam riwayat lain ada yang mengatakan 38 H. Beliau adalah termasuk generasi tabi’in. Beliau juga seorang imam agung. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya (Al-Imam Husain), pamannya Al-Imam Hasan, Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhromah, Abu Hurairah, Shofiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, serta para ummahatul mukminin/isteri-isteri Nabi SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin, mewarisi sifat-sifat ayahnya (semoga Allah meridhoi keduanya) di didalam ilmu, zuhud dan ibadah, serta mengumpulkan keagungan sifatnya pada dirinya di dalam setiap sesuatu.

Berkata Yahya Al-Anshari, “Dia (Al-Imam Ali) adalah paling mulianya Bani Hasyim yang pernah saya lihat.” Berkata Zuhri, “Saya tidak pernah menjumpai di kota Madinah orang yang lebih mulia dari beliau.” Hammad berkata, “Beliau adalah paling mulianya Bani Hasyim yang saya jumpai terakhir di kota Madinah.” Abubakar bin Abi Syaibah berkata, “Sanad yang paling dapat dipercaya adalah yang berasal dari Az-Zuhri dari Ali dari Al-Husain dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib.”

Kelahiran beliau dan Az-Zuhri terjadi pada hari yang sama. Sebelum kelahirannya, Nabi SAW sudah menyebutkannya. Beliau shalat 1000 rakaat setiap hari dan malamnya. Beliau jika berwudhu, pucat wajahnya. Ketika ditanya kenapa demikian, beliau menjawab, “Tahukah engkau kepada siapa aku akan menghadap?.” Beliau tidak suka seseorang membantunya untuk mengucurkan air ketika berwudhu. Beliau tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik dalam keadaan di rumah ataupun bepergian. Beliau memuji Abubakar, Umar dan Utsman (semoga Allah meridhoi mereka semua). Ketika berhaji dan terdengar kalimat, “Labbaikallah…,” beliau pingsan.

Suatu saat ketika beliau baru saja keluar dari masjid, seorang laki-laki menemuinya dan mencacinya dengan sedemikian kerasnya. Spontan orang-orang di sekitarnya, baik budak-budak dan tuan-tuannya, bersegera ingin menghakimi orang tersebut, akan tetapi beliau mencegahnya. Beliau hanya berkata, “Tunggulah sebentar orang laki-laki ini.” Sesudah itu beliau menghampirinya dan berkata kepadanya, “Apa yang engkau tidak ketahui dari diriku lebih banyak lagi. Apakah engkau butuh sesuatu sehingga saya dapat membantumu?.” Orang laki-laki itu merasa malu. Beliau lalu memberinya 1000 dirham. Maka berkata laki-laki itu, “Saya bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar cucu Rasulullah.”

Beliau berkata, “Kami ini ahlul bait, jika sudah memberi, pantang untuk menginginkan balasannya.” Beliau sempat hidup bersama kakeknya, Al-Imam Ali bin Abi Thalib, selama 2 tahun, bersama pamannya, Al-Imam Hasan, 10 tahun, dan bersama ayahnya, Al-Imam Husain, 11 tahun (semoga Allah meridhoi mereka semua).

Beliau setiap malamnya memangkul sendiri sekarung makanan diatas punggungnya dan menyedekahkan kepada para fakir miskin di kota Madinah. Beliau berkata, “Sesungguhnya sedekah yang sembunyi-sembunyi itu dapat memadamkan murka Tuhan.” Muhammad bin Ishaq berkata, “Sebagian dari orang-orang Madinah, mereka hidup tanpa mengetahui dari mana asalnya penghidupan mereka. Pada saat Ali bin Al-Husain wafat, mereka tak lagi mendapatkan penghidupan itu.”

Beliau jika meminjamkan uang, tak pernah meminta kembali uangnya. Beliau jika meminjamkan pakaian, tak pernah meminta kembali pakaiannya. Beliau jika sudah berjanji, tak mau makan dan minum, sampai beliau dapat memenuhi janjinya. Ketika beliau berhaji atau berperang mengendarai tunggangannya, beliau tak pernah memukul tunggangannya itu. Manaqib dan keutamaan-keutamaan beliau tak dapat dihitung, selalu dikenal dan dikenang, hanya saja kami meringkasnya disini. Beliau meninggal di kota Madinah pada tanggal 18 Muharrom 94 H, dan disemayamkan di pekuburan Baqi’, dekat makam dari pamannya, Al-Imam Hasan, yang disemayamkan di qubah Al-Abbas. Beliau wafat dengan meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Adapun warisan yang ditinggalkannya kepada mereka adalah ilmu, kezuhudan dan ibadah.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

http://www.asyraaf.net

Friday, November 19, 2010

Sufi Road : Doa Habib Abdul Qadir Assegaf

Telah menjadi kebiasaan para pencinta Junjungan Nabi SAW daripada kalangan ulama untuk mengungkapkan kecintaan mereka kepada Junjungan Nabi SAW melalui susunan indah kata-kata pujian dan sholawat atas Junjungan Nabi SAW. Perkara ini dilakukan sejak zaman para sahabat Junjungan Nabi SAW lagi, di mana kita dapati ada di antara para sahabat RA yang menyusun syair-syair dan lafaz-lafaz sholawat buat kekasih mereka Junjungan Nabi SAW. Mentelaah karya-karya silam, kita akan berjumpa dengan berbagai lafaz sholawat yang dinisbahkan kepada Sayyidina 'Ali RA atau Sayyidina Ibnu Ma`sud RA atau Sayyidina Ibnu 'Abbas RA dan lain-lain sahabat. Kemudian para tabi`in turut berbuat sedemikian, antara yang masyhur sighah sholawat yang dinisbahkan kepada Imam asy-Syafi`i RA. Begitu jugalah dengan wiridan dan amalan-amalan lain seperti doa-doa dan zikir mentakzimkan Allah SWT. Mereka turut menyusun berbagai rupa dan gaya doa serta munajat kepada Ilahi. Perkara ini tiadalah diingkari melainkan oleh kelompok yang memandang agama ini dengan sempit. Tertolaklah akan perkataan ahli bid`ah yang kerjanya membid`ahkan orang yang menyusun lafaz-lafaz zikir, doa, munajat dan sholawat atas Junjungan Nabi SAW.
Dinukilkan sebuah doa susunan al-Habib. Moga-moga ada manfaatnya bagi kita dan bagi al-Habib biarlah ianya menjadi antara amalan dan ilmu yang disebardan diwariskan bagi kita sekalian. ..... al-Fatihah


Sumber : Alhabaib.blogspot.com

Sunday, October 31, 2010

Sufi Road : Mengenang Sayidil Walid Habib Abdurahman Assegaf

Nasab beliau :
Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Biografi
Habib Abdurrahman ahir tahun 1908 di Cimanggu; beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil.tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami'at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman "Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, "Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu". Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar."

Ketika masih belajar di Jami'at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. "Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Habib Empang Bogor ),"

Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).



Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut "kitab kuning". Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.



Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.



Dunia pendidikan memang tak mungkin deipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas.terutama dengan para ulama dan kaum pendidik Jakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
"Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya....sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar," kata Habib Umar merendah.

Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.

Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur'an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.


Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. "Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu." Kata Habib Ali.

Mengenai keikhlasa dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman menga;lami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.

Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.

Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudia dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

==> Nur Syabab

Monday, October 25, 2010

Sufi Road : Mengenal Pengarang Mawlid adh-Dhiya al-Laami’

Maulid adh-Dhiya al-Laami’ – Kitab maulid yang terkini. Dikarang oleh seorang ulama tersohor dewasa ini iaitu al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin ‘Abdullah bin Abi Bakar bin Aydrus bin Umar bin Aydrus bin Umar bin Abi Bakar bin Aydrus bin al-Hussin ibn al-Syaikh Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin ‘Ali bin ‘Alawi bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Shahib al-Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Ubaidullah bin Imam al-Muhajir Ahmad bin ‘Isa al-Rumi bin Muhammad al-Naqib bin ‘Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Hussin al-Sibth putera kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al-Zahra’ binti Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم .

Beliau lebih dikenali dengan nama Habib Umar bin Hafiz dan di Indonesia diberi julukan Habib Sejuta Muhibbin. Merupakan keturunan yang ke-39 dari Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم, melalui salasilah Saidina Husin bin ‘Ali bin Abi Talib رضي الله عنهما

Beliau terlahir Senin, 4 Muharram 1383H bersamaan 27 Mei 1963, di Bandar Tarim, Hadramaut, Yaman. salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.

Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan. Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu.

Ketika berusia 9 tahun, ayahnya Habib Muhammad bin Salim telah ditangkap oleh tentera (regim komunis) dan hilang tanpa berita. Peristiwa tersebut berlaku dihadapan Habib Umar pada hari Jum’at 29 Dhulhijjah tahun 1392H.

Pendidikan: Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya yang juga merupakan mufti Tarim al-Ghanna. Selain itu Habib Umar juga belajar dengan guru-guru berikut, antaranya: al-Habib Muhammad bin ‘Alwi bin Syihab, al-Habib al-Munshib Ahmad bin 'Ali bin asy-Syaikh Abu Bakar, al-Habib 'Abdullah bin Syaikh al-'Aydrus, al-Muarrikh al-Bahhaatsah al-Habib 'Abdullah bin Hasan BalFaqih, al-Muarrikh al-Lughawi al-Habib 'Umar bin 'Alwi al-Kaaf, asy-Syaikh al-Mufti Fadhal bin 'Abdur Rahman BaFadhal, asy-Syaikh Tawfiq Aman, saudara kandungnya al-Habib 'Ali al-Masyhur bin Muhammad bin Salim, Habib Salim bin ‘Abdullah asy-Syathiri dan sejumlah ulama lain.


Selain dari ulama Tarim beliau juga mengambil ilmu beliau juga menuntut ilmu dan ijazah daripada banyak ulama di luar kota tersebut seperti di Kota Syihr, al-Baidha` dan juga al-Haramain. Antaranya beliau menuntut ilmu dan menerima ijazah daripada al-Habib Muhammad bin 'Abdullah al-Hadhar [beliau wafat pada tahun 1418H di Mekah dan merupakan mertua kepada Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith], al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, al-Habib al-Musnid Ibrahim bin 'Umar bin 'Aqil bin Yahya [mufti Ta’iz], al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad bin 'Abdurrahman as-Saqqaf [merupakan pembimbing ruhani beliau], al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, al-Habib Abu Bakar al-Aththas bin 'Abdullah al-Habsyi. Beliau juga mendapat ijazah sanad daripada al-Musnid Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dan al-Muhaddits al-Haramain Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki Hasani.

Beliau mengasaskan Rubath Dar al-Musthafa pada tahun 1414H/1994M dengan tiga matlamat:
Mengajar ilmu agama secara bertalaqqi dan menerimanya daripada ahlinya yang bersanad;
Mentazkiyah diri dan memperbaikkan akhlak; dan

Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada Allah Ta’ala.

Secara rasminya Darul Musthafa berdiri pada hari Selasa 29 Dhulhijjah 1417H/ 6 Mei 1997.

Selain terkenal sebagai ulama dan da`ie yang sering keluar berdakwah keseluruh dunia. Setiap tahun beliau akan turun berdakwah di Asia Tenggara seperti di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Beliau juga merupakan seorang penyair yang mahir. Antara karangannya yang terkenal dan tersebar ke seluruh pelusuk dunia ialah kitab maulidnya الضياء اللامع . Karangan beliau yang lain adalah: الشراب الطهور , رسائل معالم الدعاة , ثقافة الخطيب , إسعاف طالبي رضا الخلاق dan syarah qasidah al-Habib Ibrahim bin ‘Aqil yang bertajuk مشرع المدد القوي في نظم السند العلوي.



Beliau mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikir. Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah.

Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau.

Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah. Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.



Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi. Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional.

Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa.

Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar.

Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka. Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.



==> dari berbagai sumber