Showing posts with label Taubat. Show all posts
Showing posts with label Taubat. Show all posts

Monday, April 22, 2013

Madrasah Hadhramaut: Taubat

Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kembalikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf kepada mereka untuk dirinya jika Allah melihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat.

Pelajaran ini akan membahas langkah pertama yang harus dijalani seorang hamba dalam perjalanan­nya menuju Allah SWT setelah muncul­nya al-baits dan kerinduan yang kuat di dalam hati untuk datang kepada-Nya. Langkah pertama untuk menuju Allah adalah tash-hih at-taubah, memperbaiki taubat dan sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah SWT.

Taubat sebagai kata diambil dari kata ar-ruju‘ dan al-awbah, yang berarti “kem­bali”. Taubat sendiri pada hakikatnya meliputi tiga makna, yang, apabila ke­tiganya terpenuhi dan tercakup, terwu­judlah taubat yang sesungguhnya. Tiga hal tersebut adalah ‘ilm, hal, fi‘l.

‘Ilm

‘Ilm, atau ilmu, yang dimaksud di sini adalah ilmu yang mengetahui bahwa dirinya adalah seorang hamba, yang ke­lak akan berdiri di hadapan Allah SWT pada hari Kiamat, yang hidupnya hanya sementara untuk kemudian menemui ke­matian, dan akan dimintai pertanggung­jawaban atas segala perbuatan yang te­lah dilakukannya dalam hidupnya yang teramat singkat itu.

Sang hamba mengetahui bahwa hi­dup yang teramat singkat ini akan ber­ujung pada satu masa ketika ia akan ber­diri seorang diri di hadapan Raja dari se­gala raja, Yang akan menanyainya se­orang diri dengan tanpa ada seorang pem­bela pun dan tidak pula seorang pe­rantara yang dapat membantunya untuk menjawab segala pertanyaan yang di­ajukan. Maharaja itu akan berkata ke­pa­danya, “Wahai hamba-Ku, ingatkah eng­kau di hari ini, di waktu ini... engkau me­nutup rapat semua pintu agar tidak terlihat oleh pandangan seorang pun dari makh­luk-Ku karena engkau malu bila mereka melihat perbuatanmu kala itu... sedang­kan engkau terang-terangan mem­per­tunjukkan kepada-Ku satu per­buatan yang tidak Aku ridhai. Di mana­kah eng­kau taruh pandangan-Ku saat itu? Ham­ba-Ku, mengapa engkau jadi­kan Aku pemandang yang paling remeh dalam penilaianmu? Hambaku, engkau malu terhadap hamba-hamba-Ku, tetapi sama sekali tidak merasa malu kepada-Ku?”

Di saat berada di hadapan-Nya, Dia akan berkata, “Wahai hamba-Ku, Aku telah menciptakanmu dari ketiadaan, Aku limpahi engkau dengan berbagai karunia, Aku muliakan engkau dengan ‘La ilaha illallah.’ Engkau tumbuh dengan karunia-karunia yang Aku berikan, ibu­mu menyusui dan mengasuhmu dengan karunia itu, pengetahuanmu pun ber­kembang dengan karunia itu, lalu eng­kau tumbuh besar dan menjadi perkasa dengan segala karunia yang telah Aku berikan dari berbagai kebaikan, namun kemudian engkau pergunakan untuk mendurhakai-Ku? Bagaimana engkau pergunakan nikmat-Ku? Apakah engkau menggunakannya untuk hal-hal yang Aku ridhai? Apakah engkau mencari kedekatan dengan-Ku selama hari-hari yang telah Aku berikan kepadamu?”

Saat-saat kelak kita dimintai pertang­gungjawaban itu tidak seorang mukmin pun kecuali ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa pasti akan dilaluinya.

Seorang hamba pun mengetahui bah­wa tidaklah setiap kata yang terucap dari lidahnya kecuali akan dicatat, tidak­lah setiap tatapan di saat memandang sesuatu kecuali akan dituliskan, dan ti­dak pula setiap diam, gerak, dan lengah kita kecuali akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.

Di saat memperhatikan semua pen­jelasan itu, mungkin sebagian orang akan merasa sempit dadanya untuk da­pat memahami makna-makna mulaha­qah (pencarian jati diri), mutaba‘ah (me­neladani), hisab (penghitungan amal), ataupun kitab ‘alaih (pencatatan amal perbuatan).

Maka, coba kita perhatikan dari segi yang lain, yakni memahami makna dari makna-makna kemurahan yang Allah SWT karuniakan kepada kita, kemuliaan yang diberikan-Nya kepada kita, dan penghormatan yang diberikan Allah kepada kita.

Coba perhatikan seseorang yang memiliki kedudukan atau popularitas yang tinggi di tengah-tengah masyara­kat. Orang-orang berkumpul di sekitar­nya. Wartawan yang satu menulis setiap kata yang diucapkannya, sedang yang lainnya mengambil gambar dari setiap gerak-geriknya. Namun, puncak dari se­mua perhatian yang diberikan itu tidaklah lebih dari satu atau dua jam saja, setelah itu mereka kembali ke rumahnya ma­sing-masing.

Ketahuilah, seorang hamba memiliki kedudukan yang penting di sisi Allah. Karena penting dan tingginya keduduk­an seorang hamba di sisi Allah, Dia, bah­kan, mewakilkan dua malaikat mulia, yang tercipta dari cahaya yang tidak per­nah durhaka kepada-Nya, sebagai pen­dampingnya setiap saat.

Dua malaikat yang Allah wakilkan ini mencatat setiap ucapan sang hamba dari semenjak ia baligh hingga akhir ha­yatnya. Dalam gurau, sungguh-sungguh, marah, ridha, sedih, atau gembira, “Tiada suatu ucapan pun yang diucap­kannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Raqib dan ‘Atid (yang selalu hadir meng­awasi).” — QS Qaf (50): 18.

Seorang hamba adalah pemilik ke­dudukan di sisi Allah. Seseorang yang telah mengetahui bahwa semua per­buat­annya akan dicatat, dihitung, ke­mudian akan dilaporkan dan dibuka di hadapan Allah SWT. Setelah itu ditentu­kan tempat kembalinya, apakah menuju negeri keridhaan atau negeri kemurka­an, menuju surga atau dijerumuskan ke jurang neraka.

Waktunya di dunia akan berakhir di saat ruh sampai di ujung kerongkongan. Tidak ada jaminan tentang kapan sam­painya ruh ke ujung kerongkongan. Ti­dak dapat direncanakan dan tidak pula dapat disiasati agar ia datang pada wak­tu yang tepat, dan tidak diketahui kapan malaikat maut datang menjemput. Se­mua­nya datang dengan tiba-tiba dan se­kejap mata. Tidak dibedakan antara anak muda ataupun orang tua, dan tidak pula dibedakan atara yang sakit ataupun yang sehat. Jika malaikat maut datang menjemput, pada saat itulah diberitahu­kan bahwa waktunya telah berakhir untuk selamanya.

Seseorang yang mengetahui semua kemestian itu, akankah di hatinya tidak ada sesuatu yang terlahir dan muncul dari pengetahuannya itu? Yakni keada­an menyesal, merasa malu, hina, dan rendah di hadapan Allah SWT. “Kemarin aku mendurhakai Allah padahal Allah melihatku. Aku akan berdiri di hadapan-Nya dan Allah akan menanyaiku semua itu.”

Salah seorang shalihin dari negeri Habasyah datang kepada seorang waliyullah dari kalangan salaf. Orang itu bertanya, “Wahai Syaikh, apakah Allah akan mengampuniku atas dosa yang telah aku perbuat?”

“Benar, Allah akan mengampunimu bila engkau bertaubat dengan sungguh-sungguh,” jawab sang waliyullah.

Orang itu pun bersyukur dan memuji Allah, dan tampak dari raut wajahnya kegembiraan yang luar biasa. Namun, setelah beberapa langkah meninggalkan sang waliyullah, orang itu kembali lagi de­ngan raut muka yang tidak lagi me­nunjukkan kegembiraan.

Wali tadi bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?”

Orang itu menjawab, “Apakah Allah melihatku di saat aku mendurhakai-Nya?”

Maka dijawab, “Ya, Allah melihatmu.”

Tiba-tiba orang itu berteriak histeris dan langsung tersungkur ke tanah dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Tahukah apa yang terjadi dengan orang ini?

Awal mula, pikirannya sibuk dengan urusan, “Apakah aku akan masuk ke da­lam surga atau neraka?” Setelah kekha­watirannya terhadap urusan surga dan neraka hilang dengan jawaban sang wali tadi bahwa Allah akan mengampuninya atas segala dosanya, muncullah di da­lam hatinya makna yang lebih dalam, lebih tinggi, lebih besar, dan lebih halus lagi dari apa yang menyibukkan pikir­an­nya selama itu tentang surga dan ne­raka. Yakni makna hubungan seorang ham­ba dengan Allah, makna bahwa Allah melihat dirinya melakukan kedur­hakaan ini dan itu, makna bahwa Allah me­nutupi semua keburukannya dari pan­dangan makhluk-Nya, padahal Allah Mahakuasa untuk mempertunjukkan se­mua keburukan itu kepada mereka, makna bahwa Allah tak pernah berhenti memberikan berbagai karunia, nikmat, dan limpahan rizqi padahal ia tak henti pula mendurhakai-Nya.

Semua perasaan itu melahirkan pe­nye­salan terhadap semua keteledoran, ke­durhakaan, dan keberanian yang se­lama ini ia lakukan terhadap Allah SWT. Perasaan semacam ini yang hadir di dalam hati seorang hamba disebut pe­nyesalan, salah satu unsur yang sangat penting dalam taubat.

Hal

Hal dalam konteks ini adalah penye­salan atas segala perbuatan buruk yang telah lalu. Terkadang sebagian salaf me­megang jenggotnya sambil berkata, “Alangkah buruknya perbuatanku meski­pun seandainya akan dimaafkan!”

Penyesalan semacam ini akan me­nimbulkan keteguhan yang kuat dalam diri seseorang untuk berkata dalam hati­nya, “Aku akan berhenti dari berbuat dosa... aku tidak akan pernah melaku­kannya lagi untuk selama-lamanya... aku tidak akan pernah lagi mendurhakai Allah....”

Fi‘l

Fi’il, atau perbuatan, dalam konteks ini adalah melepaskan diri dari maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Bila telah lahir penyesalan semacam ini, yang dilandasi dengan ilmu, penye­salan dan ilmu itu akan membuahkan ke­teguhan dalam hati untuk meninggalkan maksiat, dan tidak mengulanginya lagi, sehingga darinya terwujudlah hakikat sesuatu yang disebut taubat.

Adapun apabila kesalahan atau mak­siat itu berkaitan dengan hak-hak ma­nusia, misalnya mengambil harta si Fulan atau menghina dan mencacinya, ada per­kara keempat yang harus dilaku­kan, yak­ni mengembalikan hak-hak itu kepada pe­miliknya. Jika seseorang telah memakan harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada pe­milik­nya.

Namun bukan hanya itu, karena apa yang telah dikembalikan itu belum ter­hitung sebagai taubat sebelum ia pun meminta maaf kepada mereka.

Lalu bagaimana seandainya mereka tidak memaafkannya?

Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kem­balikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf ke­pada mereka untuk dirinya jika Allah me­lihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat. Dengan demi­kian berarti ia telah menunaikan kewajib­annya dalam taubat. Allah akan memu­lia­kannya dengan memberinya anu­ge­rah berupa kerelaan dari orang-orang yang didzalimi haknya. Dan bila ia tidak kuasa untuk mengembalikan hak itu ke­pada mereka, Allah akan memuliakan­nya dengan memberinya sesuatu yang setimpal dengan kerelaan orang-orang yang terzhalimi itu. Karena hak-hak orang lain atas dirinya tetap tidak gugur sebagai tanggunggannya.

Lembaran-lembaran Dosa

Lembaran-lembaran dosa manusia dapat digolongkan menjadi tiga bagian.

Pertama, lembaran dosa yang pe­laku­nya dapat diampuni. Yakni semua kedurhakaan dan dosa yang ada antara sang hamba dan Tuhannya bila pada diri hamba terdapat penyesalan yang benar dan hakiki yang dihasilkan dari ilmu. Sehingga, penyesalan itu melahirkan keteguhan dan tekad yang kuat untuk meninggalkan dosa-dosa itu semua. Itulah taubat nasuha. Maka Allah pun akan mengampuninya atas dosa-dosa­nya seluruhnya.

Kedua, lembaran dosa yang pelaku­nya tidak akan diampuni. Yakni dosa syi­rik akbar, syirik besar. Syirik akbar ada­lah meyakini adanya Tuhan selain Allah SWT. Namun, dosa ini tidak terjadi pada umat Rasulullah SAW. Tidak akan ada syirik besar pada umat Nabi SAW, se­bagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesung­guhnya aku, demi Allah, tidaklah takut ka­lian akan berbuat syirik (akbar) sete­lahku, akan tetapi yang aku takutkan ada­lah akan dibukakannya dunia atas kalian.”

Ketiga, lembaran dosa yang tidak tergugurkan. Yakni dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak-hak manusia, hak-hak yang berkaitan dengan makhluk. Inilah yang semestinya membuat sese­orang yang sedang berjalan menuju Allah besungguh-sungguh dalam me­nunai­kan hak-hak itu.

Dosa Besar dan Kecil

Para ulama mengatakan, dosa besar itu ada empat macam. Sebagian saha­bat mengatakan, dosa besar ada tujuh macam, dan sebagian yang lain menga­ta­kan ada sebelas macam. Ibnu Abbas RA berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Umar, yang membagi dosa kepada tujuh macam, karena yang tujuh itu lebih dekat kepada tujuh puluh.”

Adapun yang disepakati oleh jumhur ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa semua perkara yang dikenai had (hukuman tertentu) termasuk dosa be­sar, semua yang dinashkan oleh Al-Qur’an atas keharamannya itu pun ter­masuk dosa besar, dan semua perbuat­an keji termasuk dosa besar.

Perhatikan juga terhadap makna lain, yaitu keadaan hati terhadap maksiat sesudah melakukan maksiat. Ulama berkata, “Terus-menerus dalam maksiat ter­golong dosa besar.” Dan meremeh­kan maksiat adalah termasuk dosa besar, meskipun maksiat itu kecil.

Itulah sebabnya, sebagian shalihin memohon ampun kepada Allah terhadap hal-hal mubah sekalipun. Mereka selalu memandang bahwa hal (interaksi)-nya dengan Allah adalah senantiasa menun­tut ketinggian dan kedekatan dengan-Nya dalam segala hal. Karenanya bila melakukan sesuatu yang mubah tidak berniat untuk mencari kedekatan dengan Allah, mereka pun memohon ampun ke­pada-Nya.

Bukan hanya itu, sebagian mereka pun bertaubat kepada Allah pada bebe­rapa perbuatan taat. Mereka bertaubat dari makna yang hadir di hati pada saat berbuat taat, yakni tidak merasa dan menyadari adanya kemurahan Allah pada saat berdiri mengerjakan suatu ketaatan.

Lebih tinggi lagi, Rabiatul Adawiyah pernah berkata, “Istighfar kita butuh kepada istighfar.” Mungkin kita memang sudah beristighfar, tapi istighfar kita belum sungguh-sungguh karena Allah.

Itulah taubat. Mulailah taubat sejak saat ini juga, dan tidak ada ujung dari taubat. Setiap kali seseorang meningkat derajat kede­katannya kepada Allah secara maknawi, dituntut taubat dari makna-makna se­belumnya.

Seorang shalihin berkata kepada Rabiatul Adawiyah, “Doakanlah aku su­paya aku bertaubat kepada Allah agar Allah memberiku taubat.”

Rabiah menjawab, “Melainkan aku akan mendoakanmu semoga Allah mem­berimu taubat agar engkau bertaubat.”

Shalatlah dua rakaat shalat sunnah Taubat dan jadikan sebagai wiridannya istighfar Astaghfirullaha wa atubu ilayh (100 kali) atau Rabbighfirli warhamni wa tub ‘alayya (100 kali). Apabila ini se­nantiasa dilakukan pada tiap-tiap malam, buahnya akan memperoleh satu tingkat­an yang dikatakan ulama sebagai ting­katan mahbubiyah (dicintai – oleh Allah). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat.” — QS Al-Baqarah (2): 222.

Sumber :www.majalah-alkisah.com

Thursday, February 16, 2012

Risalah Al Qusyairi : 1. Taubat

Abd al-Karim ibn Hawazinal-Qusyairi

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahawa Rasulullah saw mengatakan - 'Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdoa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.’
Ketika beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apa tandanya taubat?”, Rasulullah menjawab, “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan bahawa Rasulullah saw mengatakan, “Tiada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah selain pemuda yang bertaubat.”
Makna taubat dalam bahasa Arab adalah kembali – ia merupakan tingkat pertama di antara maqam yang dialami oleh sufi, dan tahap pertama di antara tahap-tahap yang dicapai oleh salik (si penempuh jalan Allah).
Sebuah hadis mengatakan, “Pengingat Tuhan di dalam hati setiap insan adalah Muslim.”
Abu Hafs Al-Haddad mengatakan, “Saya meninggalkan suatu perbuatan tercela, lalu kembali kepada Nya. Kemudian perbuatan itu meninggalkan saya, dan sesudah itu saya tidak kembali kepada Nya.”
Syeikh Abu Ali Al-Daqqaq mengatakan, “Salah seorang murid bertaubat, kemudian menerima ujian. Dia bertanya-tanya di dalam hati, “Jika saya bertaubat, bagaimanakah keadaan saya nanti?”

Syeikh Abu Ali Al-Daqqaq pula mengatakan: Taubat dibahagikan menjadi 3 tahap: tahap pertama adalah tawbah (taubat), tahap kedua adalah inabah (berpaling kepada Tuhan), dan tahap akhir adalah awbah (kembali).

Al-Junaid menyatakan, “Taubat mempunyai 3 makna. Pertama menyesali kesalahan; kedua tetap hati untuk tidak mengulang kembali kepada apa yang telah dilarang oleh Allah SWT, dan ketiga adalah menyelesaikan keluhan orang terhadap dirinya.”
Sahl Ibn Abdullah menyatakan, “Taubat adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda.”
Al-Harith menegaskan, “Saya tidak pernah mengatakan , “Wahai Tuhanku, aku memohon ampunan-Mu.’ Saya mengatakan, ‘Kurniakan kepadaku, wahai Tuhan, kerinduan untuk bertaubat.’

Al-Junaid mengunjungi As-Sari pada suatu hari, dan mendapatinya sedang kebingungan. Dia bertanya, “Apa yang terjadi atas dirimu?”
As-Sari menjawab, “Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan dia bertanya tentang taubat kepadaku. Ku beritahu dia – ‘Taubat adalah engkau tidak melupakan dosa-dosamu.’ Lantas dia menegurku dengan mengatakan, ‘Taubat adalah bahwa engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu.’ Al-Junaid mengatakan bahwa yang dikatakan oleh pemuda itulah yang benar. As-Sari bertanya kepadanya mengapa dia berpendapat seperti itu. Al-Junaid menjawab, ‘Karana apabila aku kafir dan kemudian Dia membimbingku menjadi Muslim, maka ingatan akan kekafiran dalam taubat merupakan kekafiran.’ As-Sari lalu terdiam.
Al-Junaid merujuk taubatnya orang-orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi karana keagungan Allah SWT telah menguasai hati mereka, dan dzikr (mengingat Dia) yang terus mereka lakukan.

Menurut Ruwaym, : Ia adalah taubat dari taubat.
Dzun Nun Al-Mishri memberi penjelasan, “Taubat dari kalangan orang awam adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum terpilih adalah taubat dari kealpaan.”

Abul Hussain An-Nuri mengatakan, “Taubat adalah bahawa engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah SWT.”
Yahya bin Muaz berdoa, “Wahai Tuhanku, aku tidak mengatakan bahwa aku telah bertaubat. Aku tidak kembali kepada-Mu dikerenakan sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak akan berbuat dosa lagi, karana aku mengetahui kelemahanku sendiri. Aku tidak mengatakan bahwa aku kembali kepada-Mu kirana bisa jadi aku mati sebelum kembali dengan sunguh-sungguh.”

Dzun Nun mengatakan, “Permohonan keampunan diajukan dengan tidak disertai kehati-hatian adalah taubatnya para pendusta.”

Ketika Ibn Yazdanyar ditanya tentang prinsip-prinsip yang menjadi asas perjalanan seorang hamba menuju Tuhan, dia menjawab, “Prinsip-prinsip yang engkau maksudkan ialah bahwa dia tidak kembali kepada sesuatu yang telah dia tinggalkan, tidak meminta segala sesuatu selain Yang Esa yang kepada Nya dia menuju, dan menjaga lubuk hatinya dari menginginkan sesuatu yang darinya dia telah menjauhkan diri.”
“Taubat ialah saat di mana engkau mengingat dosa dan tidak menemukan kemanisan di dalamnya.”, kata Al-Bunsyanji.

“Perasaan taubat adalah bahwa bumi ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehingga engkau tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu terbatas, kerana Allah SWT telah mengatakan dia dalam Al Quran:
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Taubah, 9:118)

Ibn Atha’ mengatakan “Terdapat dua jenis taubat: inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi) Dalam inabah sang hamba bertaubat kerana takut akan hukuman; dalam istijabah dia bertaubat kerana malu akan kedermawan-Nya.

Abu Hafs mengatakan, “Seorang hamba tidak bersangkut paut dengan taubat. Taubat datang kepadanya, bukan dari dirinya.”
Abu Hafs ditanya, “Mengapa orang-orang bertaubat membenci dunia?” Dia menjawab, “Karana ia merupakan tempat dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya, “Ia juga tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh Tuhan dengan taubat. Dia mengatakan, “Pendosa mendapatkan keyakinan dari dosanya, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas taubatnya.”

Diriwayatkan bahawa Allah SWT berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, Aku telah mewariskan anak cucumu beban dan penderitaan Aku juga telah mewariskan kepada mereka taubat. Aku menjawab seorang di antara mereka, yang berdoa dengan sunguh-sungguh kepada Ku sebagaimana kamu telah berdoa kepada-Ku, sama sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira; doa mereka akan Ku-jawab.”
Diriwayatkan seseorang telah bertanya kepada Rabiah, "Saya telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila saya bertaubat, apakah Dia akan mengampuninya?" Rabiah menjawab: 'Tidak - tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.'

Adalah perbuatan Nabi Muhammad saw bertaubat terus-menerus. Beliau mengatakan, “Hatiku suram, oleh kerana itu aku memohon ampunan Allah 70 kali dalam sehari.”
Yahya bin Muaz menyatakan, “Satu pelanggaran saja sesudah taubat lebih patut ditakuti berbanding 70 pelanggaran sebelum taubat.

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَا‌ۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِہِنَّ‌ۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآٮِٕهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآٮِٕهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٲنِهِنَّ أَوۡ بَنِىٓ إِخۡوَٲنِهِنَّ أَوۡ بَنِىٓ أَخَوَٲتِهِنَّ أَوۡ نِسَآٮِٕهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِى ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٲتِ ٱلنِّسَآءِ‌ۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ‌ۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 

"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, apa yang mereka perbuat." "Katakanlah kepada wanita yang beriman :"Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka meukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (An-Nur:31)

وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِ‌ۖ قُلۡ هُوَ أَذً۬ى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلۡمَحِيضِ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَ‌ۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٲبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Al-Baqarah:222)

إِنَّمَا يَسۡتَجِيبُ ٱلَّذِينَ يَسۡمَعُونَ‌ۘ وَٱلۡمَوۡتَىٰ يَبۡعَثُہُمُ ٱللَّهُ ثُمَّ إِلَيۡهِ يُرۡجَعُونَ 

Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah), dan orang-orang yang mati (hatinya), akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nya-lah mereka dikembalikan. (Al-An'am:36)

Sunday, December 25, 2011

Taubat Menurut Imam Ghazali

Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.

Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.

Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.

Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.

Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya." (Ihya Ulumuddin (4: 3,4), cetakan: Darul Ma'rifah, Beirut).

Wednesday, April 6, 2011

Sufiroad : Tobat Nasuha...

Para sufi umumnya memandang tobat sebagai langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang ingin menempuh jalan tasawuf. Ia merupakan sarana pertama menuju Allah. Artinya bahwa maqam tobat itu merupakan awal perjalanan bagi mutashawiff, yaitu pengikut tasawuf yang melakukan mujahadah menuju perjumpaan dengan Allah. Sebab untuk menuju jalan tersebut harus suci lahir dan bathin agar mudah menerima taufik , hidayah dan inayah dari Allah SWT.

Tobat yang paling utama yang dikejar oleh orang tasawuf adalah TOBAT NASUHA, yaitu tobat yang semurni-murninya betapa beratnya persyaratannya mereka harus berjuang untuk mendapatkannya. Tobat nasuha dapat berupa kesadaran seseorang yang mendorong dirinya untuk memperbaiki semua kesalahand an kekurangan masa lalu, dengan tekad bulat untuk tidak mengulanginya kembali di masa depan. Karenanya tobat yang murni ini harus disertai dengan keterbangunan jiwa yang melahirkan kesadaran akan segala kesalahannya dan tekad untuk memperbaikinya. Makanya untuk mencapainya tidaklah mudah, ada empat hal yang harus dilakukan untuk mencapai tobat nasuha:Pertama, menyadari bahwa maksiat yang mendatangkan dosa itu amatlah keji dan berdampak buruk, baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun masyarakat luas. Sehingga ia harus benar-benar menyesali dosanya di masa lalu.
Kedua, menyadari sungguh-sungguh betapa dahsyatnya siksaan Allahatas orang yang berbuat dosa dan maksiat, sehingga ia bertekad bulat untuk ben ar-benar menjauhi maksiat dan tidak melakukannya lagi
Ketiga, menyadari akan kekurangan dan kelamahan dirinya yang tak akan tahan menanggung siksaan diakherat nanti, sehingga iasangat mendambakan ampunan dari Allah dan berniat akan mengisi hidupnya untuk banyak memohon ampun pada Allah.
Keempat, kalau punya kesalahan dan dosa yang berhubungan dengan hak-hak sesama manusia (huluqul adami), maka secara khusus ia mau ebrusaha untuk menyelesaikannya dengan sebaik baiknya hingga tercapai suatu kerelaan (‘an taradhin)
Untuk itu guna meraih maqam tobat nasuha sangatlah diperlukan kejujuran dan kesungguhan hati seseorang dalam memohon ampunan dan bertobat kepada Allah SWT. Dan juga disertai perasan yang tulus dan ikhlas untuk bersedia meninggalkan sama sekali dosa dosa dimasa lalu yang mengotori hidupnya. Tentunya proses ini membutuhkan waktu dan kesabaran untuk terus menerus mengendalikan dan memerangi hawa nafsunya.
Dalam kisah-kisah kehidupan sufi, kadang tobat dilakukan setelah melewati peristiwa aneh dan luar biasa yang menggugah perasaan seorang sufi, sehingga ia menyadari bahwa dirinya berada didalam kesesatan. Ibrahin bin Adham misalnya, diwirayatkan segera meninggalkan istana ayahandanya disaat berburu ia mendengar suara ebrulang-ulang kali yang memperingatkannya bahwa bukan untuk kehidupan mewah itu ia diiptakan, dengan suara “Bukan untuk itu kamu diciptakan, bukan untuk itu kamu diperintah” Dua kali suara itu ebrkata lantang dan pada kali ketiga suara datang dari bagian depan pelana kudanya, sehingga ibrahim bin adham ebrkata “Demi tuhan, aku tidak akan ingkar dari Tuhan sesudah ini , sepanjang Tuhanku selalu melindungiku dari dosa.”
Begitu pula ajaibnya Dzun nun Al Misri, seorang sufi mesir ternama, ketika ditanya tentang pengalaman tobatnya “apakah yang menyebakan dirimu bertobat:, jawab beliau “Pada suatu hari aku berjalan-jalan dan melihat seekor burung jatuh dari sangkarnya. Dalam hati aku berkata “betapa celakanya burung ini! Setelah aku berkata demikian, terlihat olehku tanah merekah kemudian tampaklah sebuah wadah seperti piring yang satu berisi makanan dan yang satu berisi air. Maka keduanya aku santap dan kemudian aku bertobat. Begitu Dzun Nun mengutarakan kisahnya.

Demikianlah sekilas mengenai tobat, semoga kita selalu diberikan Allah kesempatan untuk terus bertobat sebanyak-banyaknya sebelum nafas diambil dari tubuh ini.

Thursday, August 12, 2010

Riyadhus Shalihin : Taubat

1. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Saya mendengar dari
Rasulullah SAW, bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya saya membaca istighfar dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuhpuluh kali setiap hari.” (HR. Bukhari)


2. Dari Al-Aghar bin Yasar Al-Muzanniy ra., ia berkata:Rasulullah SAW, bersabda: “Wahai manusia, bertaubatlahkalian kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya,sesungguhnya saya bertaubat seratus kali setiap hari.” (HR.Muslim)

3. Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Al-Anshariy (pembantuRasulullah SAW) berkata: Rasulullah SAW, bersabda:“Sesungguhnya Allah gembira menerima taubat hamba-Nya,melebihi kegembiraan seseorang diantara kalian ketikamenemukan kembali untanya yang hilang di padang yangluas.” (Muttafaqalaih)
Dalam riwayat Imam muslim disebutkan, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah sangat gembira menerima taubat hamba-Nya ketika bertaubat kepada-Nya, melebihi dari kegembiraan seseorang yang berkendaraan di tengah padang
pasir tetapi hewan yang dikendarai lari meninggalkannya, padahal di atas hewan itu terdapat makanan dan minuman, kemudian dia berteduh di bawah pohon, dan membaringkan
badannya, sedang ia benar-benar putus asa untuk menemukan kembali hewan yang dikendarainya. Ketika bangkit, tiba-tiba ia menemukan kembali hewan yang dikendarainya lengkap dengan bekal yang dibawanya, ia pun segera memegang tali kekangnya, seraya berkata karena sangat gembira: “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-mu.” Ia keliru mengucapkan kalimat itu karena luapan kegembiraannya.”


4. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ariy ra., dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membentangkan tangan-Nya (memberikan kesempatan) pada waktu malam, untuk taubat orang yang berbuat dosa pada waktu siang hari. Dan Allah membentangkan tangan-Nyapada waktu siang, untuk taubat orang yang berbuat dosa di malam hari, hingga matahari terbit dari barat.” (HR Muslim)

5. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah SAW, bersabda:
“Siapa saja bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah menerima taubatnya.” (HR Muslim)

6. Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. Dari Nabi SAW, beliau bersabda : “ Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung akan menerima taubat seseorang sebelum nyawa sampai di tenggorokan (sebelum sekarat).” ( H.R. Tirmidzi )


7. Dari Zir bin Hubais, ia berkata : “Saya mendatangi Shafwan bin `Assal ra. untuk menanyakan tentang mengusap ke dua khuf, kemudian dia menanyaiku: “Wahai Zir, mengapa engkau kemari?” . Saya menjawab : “Untuk mencari ilmu.” Ia pun berkata : “Sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya bagi orang yang mencari ilmu, karena senang terhadap apa yang dicarinya.” Kemudian aku melanjutkan pertanyaanku : “Wahai Shafwan saya masih belum jelas tentang cara mengusap kedua sepatu sesudah berak dan
kencing sedangkan engkau adalah salah seorang sahabat Nabi SAW, maka saya datang ke sini untuk bertanya kepadamu, apakah engkau pernah mendengar beliau menjelaskan masalah itu?” 

Ia menjawab : “Ya, beliau menyuruh kami bila dalam perjalanan agar tidak melepas khuf selama tiga hari tiga malam kecuali berjanabat, tetapi kalau hanya berak, kencing, atau tidur tidak perlu dilepas.” Saya bertanya lagi :”Apakah engkau pernah mendengar Rasulullah SAW, menyebut tentang cinta?” 
Ia menjawab : “Betul, ketika kami datang bepergian bersama Rasulullah SAW mendadak seorang Badui memanggil Rasulullah SAW dengan suara keras: Ya..Muhammad,” maka Rasulullah pun menjawab menyerupai suaranya. Kemudian saya berkata kepada orang Badui itu : “Rendahkanlah suaramu, karena engkau berhadapan dengan Nabi SAW Dan kamu dilarang berkata seperti itu.” Dan orang Badui itu berkata lagi: “Bagaimana seseorang yang mencintai sekelompok orang, tetapi ia tidak boleh berkumpul bersamanya?”
 Nabi SAW menjawab : “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya di hari kiamat.” Beliau selalu bercerita kepada kami, sampai akhirnya beliau menceritakan tentang sebuah pintu yang berada di sebelah barat, pintu itu sebesar 40 atau 70 tahun perjalanan.” Menurut Sufyan, salah seorang perawi dari daerah Syiria berkata : “Allah Ta`ala menciptakan pintu itu ketika Ia menciptakan langit dan bumi; pintu itu senantiasa
terbuka untuk menerima taubat dan tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari arah barat. ( H.R Tirmidzi ) Bab Taubat, Hal 20-21. .


8. Dari Abu Sa`id Sa`ad bin Malik bin Sinan Al- Khudriy ra. Nabi SAW bersabda : “Sebelum kalian, ada seorang laki-laki membunuh 99 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk sekitar tentang seorang yang alim, maka ia ditunjukkan kepada seorang rahib ( pendeta Bani Israil). Setelah mendatanginya, ia menceritakan bahwa ia telah membunuh 99 orang, kemudian ia bertanya : “ Apakah ia bisa
bertaubat?”. Ternyata pendeta itu menjawab : “Tidak” Maka pendeta itupun dibunuh sehingga genaplah jumlahnya seratus. Kemudian ia bertanya lagi tentang seorang yang paling alim di atas bumi ini. Ia ditunjukkan kepada seorang laki-laki alim. Setelah menghadap ia bercerita bahwa dirinya
telah membunuh seratus jiwa, dan bertanya : “ Bisakah saya bertaubat?” Orang alim itu menjawab: “Ya, siapakah yang akan menghalangi orang bertaubat? Pergilah kamu ke kota ini (menunjukkan ciri-ciri kota yang dimaksud) sebab di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah Ta`ala. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan jangan kembali ke kotamu. Karena kotamu kota yang jelek!” Lelaki itupun berangkat, ketika menempuh separuh perjalanan maut menghampirinya. Kemudian timbullah perselisihan antara malaikat Rahmat dengan malaikat Azab, siapakah yang lebih berhak membawa rohnya. Malaikat Rahmat beralasan bahwa : “Orang ini datang dalam keadaan bertaubat, lagi pula menghadapkan hatinya kepada Allah.” Sedangkan malaikat Azab (bertugas menyiksa hamba Allah yang berdosa)
beralasan: “Orang ini tidak pernah melakukan amal baik.” Kemudian Allah SWT. mengutus malaikat yang menyerupai manusia mendatangi keduanya untuk menyelesaikan masalah itu dan berkata: “ Ukurlah jarak kota tempat ia meninggal antara kota asal dan kota tujuan, Manakah lebih dekat, maka itulah bagiannya.” Para malaiakat itu lalu mengukur, ternyata mereka mendapati si pembunuh meninggal dekat kota tujuan,
maka malaikat Rahmatlah yang berhak membawa roh orang tersebut.” ( H.R Bukhari dan Muslim ).


Pada riwayat lain di dalam kitab Ash-Shahih disebutkan : “Ia lebih dekat sejengkal untuk menuju daerah tujuan, maka ia dimasukkan dalam kelompok mereka.” Dalam riwayat lain, di dalam kitab Ash-Shahih disebutkan : “Kemudian Allah Ta`ala memerintahkan kepada daerah hitam itu untuk menjauh dan memerintahkan kepada daerah yang baik itu untuk mendekat kemudian menyuruh kedua malaikat itu
mengukurnya, akhirnya mereka mendapakan daerah yang baik itu sejengkal lebih dekat sehingga ia diampuni.” Di dalam riwayat lain disebutkan: “Allah mengarahkan hatinya untuk menuju ke daerah yang baik itu”


9. Dari Abdullah bin Ka`ab bin Malik ra. ( beliau adalah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata : “Saya mendengar Ka`ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah SAW Dalam perang Tabuk, Ka`ab bin Malik berkata : “ Saya selalu bersama Rasulullah SAW Dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorang pun dicela, karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah SAW bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh. Sungguh aku mengikuti pertemuan bersama Rasulullah SAW pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah, ketika kami berjanji memeluk Agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar, tetapi tidak mengikuti ba`iat di Jumrah Aqabah,
meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaanya di kalangan manusia daripada Ba`iat Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang), daripada ketika aku tertinggal Rasulullah SAW daripada ketika aku tertinggal dari perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya
tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya. Dikarenakan Rasulullah SAW berangkat ke Tabuk ketika hari itu sangat panas, menghadapi perjalanan jauh dan sulit, serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah merasa perlu membekali kaum muslimin akan kesulitankesulitan yang mungkin dihadapi, agar kaum muslimin
membuat persiapan yang cukup. Rasulullah juga menjelaskan tentang tujuan mereka.


Waktu itu, kaum muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah SAW cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi dan tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahuinya, selama wahyu Allah Ta`ala tidak turun.

Rasulullah berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu, hatiku lebih condong ke sana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum muslimin hendak berangkat mempersiapkan segala sesuatunya, akupun bergegas keluar, guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namun saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati aku berkata: “Saya mampu mempersiapkannya jika bersungguhsungguh.“ Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak. Pada akhirnya, di pagi hari Rasulullah SAW beserta kaum muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Dengan perasaan menyesal ia berkata: “Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain,” Akhirnya, apabila saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah SAW Hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafiq, atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu, di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munafiq dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit, dan sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman) Rasulullah SAW tidak pernah menyebut-nyebut saya, hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk, barulah beliau bertanya : “Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka`ab Bin Malik?” Salah seorang dari Bani Salimah menjawab : “Ya Rasulullah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya). “Tetapi Mu`adz bin Jabal menghardiknya : “Betapa buruk perkataanmu, Demi Allah, yang kami ketahui pada Ka`ab hanyalah kebaikan.” Rasulullah SAW pun diam. Pada saat itulah melihat seorang lelaki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan. Rasulullah bersabda: “Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah.” Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah Al-Anshariy. Dialah orang yang bersedekah segantang kurma, ketika diolik-olok oleh orang munafiq. Ka`ab meneruskan ceritanya: ”Tatkala saya mendengar, bahwa Rasulullah berada dalam perjalanan pulang  dari Tabuk, maka kesusahan pun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka, alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah SAW Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang sangat baik. Tetapi, ketika mendengar bahwa Rasulullah SAW sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan, hingga saya yakin tidak ada alasan yang dapat menyelamatkan dari Rasulullah SAW selamanya. Karena itu saya mengatakan yang sebenarnya. Keesokan harinya, Rasulullah SAW tiba. Biasanya, kalau beliau datang dari bepergian, yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan shalat dua raka`at lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya. Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk, menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah SAW disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada delapan puluh orang lebih. Rasulullah SAW Menerima mereka, beliau memperkenankan memperbaharui bai`at dan memohonkan ampun bagi mereka, sedangkan batin mereka, beliau serahkan kepada Allah Ta`ala. Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis, kemudian bersabda : “Kemarilah” Ka`ab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?” Saya menjawab: “Ya, Rasulullah! Demi Allah, andaikan saya duduk di hadapan orang selainmu, saya yakin dapat bebas dari kemarahannya dengan menggunakan berbagai alasan yang bisa diterima. Sungguh, saya telah dikaruniai kepandaian berbicara. Namun, demi Allah aku benar-benar yakin, seumpama hari ini saya berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah Ta`ala menggerakan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya, jika saya berkata benar yang membuatmu marah, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah, aku tidak mempuyai udzur7.” Demi Allah, diriku sama sekali tidak merasa kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikutimu ke Perang Tabuk. Sekarang ini, saya merasa cukup segalanya” Rasulullah SAW, bersabda : Orang ini (Ka`ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah! Tunggulah keputusan Allah terhadap dirimu. Akupun berdiri. Beberapa orang dari Bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya : “Demi Allah, kami tidak pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah SAW seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu, jika Rasulullah SAW memintakan ampun untukmu.” Ka`ab melanjutkan : “Demi Allah, orang-orang Bani Salimah itu terus menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah SAW Untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian aku bertanya kepada orangorang Bani Salimah itu: “Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?” Mereka menjawab: “Ya, memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang engkau katakan dan mereka mendapat jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima.” Saya bertanya :”Siapa mereka?” Mereka menjawab:” Murarah bin Rabi`ah Al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifiy.” Dua orang lelaki shalih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak saat itu, Rasulullah SAW melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah mengubah sikap dan menjauhi kami, sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah kukenal. Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku ( Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing, sambil tiada hentihentinya menangis mohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang. Di antara kami bertiga, akulah orang yang paling muda dan paling kuat. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti salat jama`ah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar, tetapi tak seorangpun mau diajak bicara. Saya pergi menghadap Rasulullah SAW Untuk sekadar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah salat. Tetapi hati ini berkata: “Apakah Rasulullah SAW, akan menggerakan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?” Kemudian saya mengerjakan salat berdekatan dengan beliau, sesekali aku melirik beliau. Apabila menghadap ke salat, beliau memandangku, kalau menengok ke arah beliau, beliau berpaling dari saya. Hal ini terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalanjalan, lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling kusayangi. Kuucapkan salam kepadanya, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah diam saja. Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam, sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, barulah dia menjawab:”Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” Seketika itu mengalirlah air mata saya dan saya pun pulang. Pada suatu hari, ketika saya sedang berjalan-jalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar) :” Siapakah yang dapat menunjukkanku kepada Ka`ab bin Malik?” orang-orang memberikan isyarak ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari Raja Ghassan. Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut: ”Amma ba`du. Sungguh kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad SAW) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hina dan tersia-sia. Karena itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu.” Saat membaca surat itu aku berpikir: ”Ini juga merupakan cobaan.” Kemudian saya bakar surat itu di dapur. Selang empat puluh hari, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah SAW Datang kepadaku dan berkata : “Rasulullah SAW memerintahkanmu untuk menjauhi isterimu.” Ka`ab bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?” Utusan itu menjawab :”Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat padanya!” Rasulullah SAW juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal), yang maksudnya sama dengan yang kuterima. Saya berkata kepada isteriku: ”Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang. Suatu saat isteri Hilal bin Umayyah menghadap kepada Rasulullah SAW Memohon kepada beliau :”Ya Rasulullah! Suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatangkara dan tidak mempunyai pelayan, Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?” Rasulullah SAW menjawab: ”Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai dia dekatdekat padamu.” Isteri Hilal pun berkata: ”Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun(gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang kaum muslimin berbicara dengannya, sampai hari ini.” Sebagian keluarga berkata kepada saya : “Hai Ka`ab! Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk isterimu tentu itu lebih baik, sebagaimana isteri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.” Saya menjawab: ”Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah SAW Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasulullah SAW Apabila saya meminta izin beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda.” Saya lalui kehidupan tanpa isteri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami, lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat aku sedang duduk ketika shalat shubuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku. Kemudian aku mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal`i. “Hai Ka`ab bin Malik, bergembiralah !” Serta merta aku menjatuhkan diri bersujud syukur dan aku tahu. Bahwa saya dapat penyelesaian. Rasulullah SAW memberi tahu kepada kaum muslimin, bahwa Allah Yang Mahaagung dan Maha Tinggi telah menerima taubat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan shalat Subuh. Maka kaum muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada lagi penduduk Aslam yang berjalan kaku dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat, sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda. Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu, saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah SAW Sementara kaum muslimin menyambutku, mengucapkan selamat atas diterimanya taubatku. Mereka berkata kepada saya : “Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.” Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat. Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah SAW Sedang duduk dikelilingi oleh para sahabat. Melihat kedatanganku, sahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku. Menjabat tangan saya dan memberi selamat. Demi Allah! Tak seorangpun di antara para sahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka`ab tak bisa melupakan kebaikannya. Ka`ab meneruskan ceritanya.:”Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW Beliau menyambut saya dengan wajah berseri-seri dan berkata:”Bergembiralah! Karena, hari ini merupakan hari paling baik bagimu, sejak kamu dilahirkan ibumu.”Aku bertanya: “Wahai Rasulullah apakah darimu sendiri ataukah dari sisi Allah?” Beliau SAW Menjawab :”Dari Allah yang Mahaagung dan Maha Tinggi.” Jika merasa senang, wajah Rasulullah SAW, bersinar terang, seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya, kami mengetahui bahwa Rasulullah SAW sedang senang hatinya. Ketika saya duduk menghadap beliau, aku berkata:”Ya Rasulullah, sungguh, termasuk taubat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku), aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapakan ridha) Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah SAW, bersabda: ”Simpanlah sebagian harta bendamu (Jangan engkau serahkan seluruhnya). Itu lebih baik. ”Kemudian saya menjawab: ”Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil dari rampasan perang di Khaibar.” Lebih lanjut saya berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya, Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Dan saya nyatakan, bahwa termasuk taubatku (sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah). Saya tidak akan berbicara selain yang benar, selama hidup saya.” Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorangpun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta`ala untuk berkata jujur, lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasululah SAW Hingga kini, aku tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku. Kemudian Allah menurunkan ayat surat At-taubah.:” Sesungguhnya Allah telah benar-benar menerima taubat Nabi, sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi (Berangkat ke Tabuk) dalam masa kesulitan (mencari perlengkapan perang), sesudah hati segolongan dari para sahabat tersebut hampir saja berpaling (saking berat dan payahnya), kemudian Allah menerima taubat mereka, Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terhadap mereka. Dan juga terhadap tiga orang (Ka`ab, Hilal, dan Murarah) yang ditangguhkan (keputusan penerimaan) taubat mereka, sehingga manakala bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan merekapun telah sempit pula dirasakan oleh mereka, serta mereka tahu bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka, agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Zat Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. Hai orangorang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian berkumpul dengan orang-orang yang benar.” Menurut Ka`ab, demi Allah! Belum pernah Allah memberikan nikmat, sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah SAW Sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku), sebagaimana orang-orang munafiq yang berdusta kepada beliau. Sungguh, Allah berfirman untuk orang-orang yang mendustai Rasulullah SAW dan mengecam betapa jelek orang tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah, ayat 95 dan 96:”Orang-orang munafik itu akan bersumpah dengan nama Allah kepada kalian, apabila kalian kembali kepada mereka (di Madinah), agar kalian berpaling dari mereka (tidak mencela mereka). Maka berpalinglah kalian dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu najis (hatinya) dan tempat mereka adalah Jahannam (di Akhirat), sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat. Mereka akan bersumpah kepada kalian, supaya kalian ridha terhadap mereka. Tetapi, jika sekiranya kalian ridha terhadap mereka, maka ketahuilah sesungguhnya Allah ridha terhadap orang-orang yang fasik.” Lebih lanjut Ka`ab berkata: ”Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafiq, ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah SAW lalu beliau menerima bai`at mereka dan meminta ampun kepada Allah. Tetapi masalah kami ditunda Rasulullah SAW Sampai Allah memutuskan menerima taubat kami. Sebagaimana firman Allah Ta`ala :”Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya.” Firman Allah tersebut menurut Ka`ab, bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafiq yang bersumpah kepada Rasulullah SAW Dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah SAW” ( H.R Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain : “ Nabi SAW Pada waktu perang Tabuk keluar pada hari kamis; dan memang sudah menjadi kesukaan beliau untuk bepergian pada hari kamis” Dalam salah satu riwayat disebutkan :”Biasanya beliau kalau datang dari bepergian pada waktu pagi, dan bila datang biasanya langsung ke masjid dan salat dua rakaat kemudian duduk di dalamnya.” 

10. Dari Abu Nujaki Imran bin Al-Husain Al-Khuza`iy ra., ia berkata :”Ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah SAW, sedangkan ia sedang hamil karena berzina dan berkata:”Ya Rasulullah, saya telah melakukan kesalahan, dan saya harus di had(hukum), maka laksanakanlah had itu pada diri saya. ”Kemudian Nabi SAW memanggil walinya seraya bersabda: “perlakukanlah baik-baik wanita ini, apabila sudah melahirkan, bawalah kemari.”Maka dilaksanakan perintah itu oleh walinya. Kemudian setelah wanita itu melahirkan, dibawalah ke hadapan Rasulullah SAW Dan memerintahkan untuk wanita, maka diikatkanlah pakaiannya untuk dirajam. Setelah ia mati, maka Rasulullah SAW menyalatkannya. Namun Umar berkata kepada beliau: ”Ya Rasulullah, mengapa engkau menyalatkan wanita itu, padahal ia telah berzina.” Beliau menjawab : “Wanita itu benar-benar bertaubat, dan seandainya taubatnya dibagi pada tujuh puluh penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Pernahkah kamu mendapatkan orang yang lebih utama daripada seseorang yang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Tang Maha Mulia lagi Maha Agung?” ( H.R Muslim) 

11. Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik ra., Rasulullah SAW bersabda : ”Seandainya seorang mempunyai satu lembah dari emas, niscaya ia ingin mempunyai dua lembah, dan tidak akan merasa puas kecuali tanah sudah memenuhi mulutnya. Dan Allah senantiasa menerima taubat orang yang bertaubat.” ( H.R Bukhari dan Muslim) . 

12. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW Bersabda: ”Allah gembira manakala ada dua orang yang saling membunuh dan keduanya masuk surga. Pertama, seseorang yang mati berjuang di jalan Allah. Yang kedua, orang yang membunuh itu bertaubat kepada Allah, kemudian masuk Islam dan terbunuh di Jalan Allah (mati syahid)”. (H.R Bukhari dan Muslim)’