Showing posts with label Kontra Wahabi. Show all posts
Showing posts with label Kontra Wahabi. Show all posts

Monday, July 6, 2015

Tawassul Dalam Perspektif Hadits

Tawassuladalah berdoa dengan perantara, sedari dulu ulama dipenjuru dunia memperbolehkan dan mengamalkan tawassul baik dengan amal sholih, ataupun dengan pribadi dan kedudukan nabi Muhammad SAW serta para auliya’. Hanya saja semenjak datangnya gelombang pembaharuan yang dihembuskan oleh Muhammad Bin Abdul wahhab, maka terjadi goncangan ditubuh umat Islam. Mereka yang mengamalkan tawassul kepada Nabi dan para wali dicap sebagai biang Bid’ah dan Syirik. Bukan cuma itu, sejumlah auliya’ Alloh dihujat habis-habisan mulai dari Syaikh Ahmad Badawi sampai para wali songodi tanah jawa.

Sebenarnya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah. ( Lihat QS. Al Maidah : 35 di atas ) .Rasulullah saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no.589 dan hadits no.4442)

Hadits ini jelas bahwa Rasul menunjukkan bahwa beliau tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau sudah dijanjikan syafaat beliau dan hak untuk menjadi perantara ini tidak dibatasi oleh keadaan beliau, baik ketika masih hidup ataupun di saat wafatnya.

Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang telah aku lakukan saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam goa dan masing masing bertawassul pada amal shalihnya.

Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507).

Riwayat diatas menunjukkan bahwa :

Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.

Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri disisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yg ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah.

Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194), ucapan beliau: “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul dengan tanah, menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah swt. Dalam riwayat lain diterangkan

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ

Dari ustman bin hanif sesungguhnya seseorang yang sakit mata datang kepada nabi saw lalu berkata, berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku, Nabi menjawab, jika kamu mau, maka aku akan berdoa (untukmu) dan jika kamu ingin, maka bersabarlah dan itu lebih baik bagimu, lalu dia berkata, berdoalah. Ustman Bin Hanif berkata, lalu Nabi memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik lalu berdoa dengan doa ini, ya Allah sesungguhnya hamba mohon kepadaMu dan hamba menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan engkau ya Rasuulullah supaya hajatku ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafaat hajatku untukku.

(Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist ini dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.

Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.

Lalu muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur.

Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut :

“telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah dengan doa ini : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat.

Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada Utsman bin Affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin Hanif ra : “aku tak bicara apa-apa pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majma’ zawaid Juz 2 hal 279), Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Al Kabir yang dalam sanadnya terdapat Rauh bin Sholah, Ibnu Hibban dan Al Hakim menstiqahkannya ( Syarah Ibnu Majjah 1/99 ).

Ada juga sebuah hadist dari Malik ad Daar diriwayatkan dalam kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 Kitab Fadhail bab Fadhail Umar bin Khattab RA hadis no 32665 dan juga terdapat dalam Musnad Umar Bin Khottob Juz 25/388.

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ , قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW dan berkata “Ya Rasulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya”.

Hadis Malik Ad Daar ini juga diriwayatkan oleh Al Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah 7/47 hadis no 2974 dan Al Khalili dalam kitabnya Al Irsyad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313. Keduanya dengan sanad masing-masing yang bermuara pada ‘Amasy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.

Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu hajjar Al Asqolaniy dalam fathul Bari 3/441 Bab dan juga oleh Ibnu Katsir dalam An Nihayahnya 7/106. Meskipun Syaikh al Albani mendhoifkannya dengan alasan yang dibuat-buatnya ( Suatu saat nanti dengan izin Allah penulis akan menyangkal pernyataan Al Albani dalam At Tawassul 1/120 ). Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut, tawassul dengan Nabi Muhammad baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya adalah boleh dan bukan perbuatan syirik.

Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya.

Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.

Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yg tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt. (Lihat perkataan asy Syaukaniy yang dikutip oleh Abdurrahman Al Mubarokfury dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/476 )

Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.

Imam Asy Syaukaniy dalam Kitab Faidhul Qodir 2/170 berkata :

قال السبكي ويحسن التوسل والاستعانة والتشفع بالنبي إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف ولا من الخلف حتى جاء ابن تيمية فأنكر ذلك وعدل عن الصراط المستقيم وابتدع ما لم يقله عالم قبله

“ Imam Subuki berkata,tawassul, minta tolong dan minta syafaat kepada Alloh melalui Nabi adalah baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan kholaf yang mengingkarinya, hingga datanglah Ibnu Taymiyyah yang mengingkarinya, menganggapnya berpaling dari jalan yang lurus serta membid’ahkannya padahal tidak ada seorang alim pun sebelumnya yang berkata seperti itu”.

Sebagian sahabat berusaha untuk menyangkal dibolehkannya tawassul dengan mengkritik sanad sebuah hadist tentang tawasssulnya Nabi adam Alaihissalam dengan kemuliaan Nabiyullah Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam hakim dalam Mustadroknya, hadist tersebut berbunyi :

حدثنا أبو سعيد عمرو بن محمد بن منصور العدل ثنا أبو الحسن محمد بن إسحاق بن إبراهيم الحنظلي ثنا أبو الحارث عبد الله بن مسلم الفهري ثنا إسماعيل بن مسلمة أنبأ عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده عن عمر بن الخطاب قال : قال رسول الله ( [ لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد إلا ما غفرت لي فقال الله تعالى : يا آدم كيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً (( لا إله إلا الله محمد رسول الله )) فعلمت إنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إليّ وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ) رواه الحاكم وصححه.(

Abu Said Amr bin Muhammad bin Manshur al-Adl menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali dari Abu al-Harits Abdullah bin Muslim al-Fihri dari Ismail bin Maslamah dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Wahai Adam, bagaimana kamu mengetahui Muhammad dan aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau ketika menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di penyangga-penyangga Arsy ‘Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah’. Maka aku tahu bahwa sesungguhnya Engkau tidak menyandingkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Kamu benar wahai Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling aku sukai. Jika kamu meminta kepadaku dengan haknya, maka aku mengampunimu. Jika bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakanmu.’”

Sepanjang pengetahuan penulis Abdurrahman Bin Zaid Bin Aslam adalah rawi yang dilemahkan oleh para ulama hadits dan hampir semua kitab rijal hadits menjarhnya bahkan Adz Dzahabi menganggapnya pemalsu hadist. Oleh karena itu secara kasat mata hadits ini jelas gugur sebagai hujjah karena kedhoifan rawinya, sehingga tidak perlu untuk diperbincangkan lagi. Akan tetapi kehujjahan tawassul tidak serta merta gugur dengan runtuhnya hadits di atas, sebab hadist-hadist yang telah penulis paparkan dimuka sudah sangat cukup untuk menegaskan kepada kita bahwa tawassul kepada Nabi baik ketika beliau masih hidup atau sesudah wafatnya adalah hal yang diperbolehkan.

Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyyah 1/320 mengutip hadist ini dan mengatakan bahwa Abdurrahman Bin Zaid Bin aslam ini diperbincangkan, sementara al baihaqi mendhoifkannya.

Al Alamah Muhammad Bin Alwi Al Maliki meriwayatkannya dalam Mafahim Yajiibu An Tushohah dan beliau mengikuti penshahihan al Hakim. Al Hafidz Al Qostholaniy juga menshahihkan hadist ini dalam kitab Mawahib 2/392. Penerimaan mutlak Al Maliki terhadap penshahihan al hakim maupun al Qostholaniy ini bukanlah suatu perbuatan tercela, sebab dalam ushulul hadist dijelaskan jika seorang hafidz mu’tamad menghukumi shahih suatu hadist, maka diperbolehkan untuk menerimanya secara mutlak. Hal ini pun diungkapkan oleh Syaikh Yusuf Qaradhawiy ketika menanggapi kritikan al Albani dalam Ghayatul marom.

Oleh sebab itu, kritik terhadap cara penshahihan Al Maliki tersebut sangat tidak tepat, namun mengkritisi sanad hadits riwayat Al Hakim di atas adalah terpuji. Sebab bisa jadi ada yang tampak oleh ulama’ satu akan tetapi tersembunyi dari ulama’ lainnya.

Wallohu a’lam

Oleh : AHMAD AR-RIFA’I http://www.sarkub.com

Wednesday, January 15, 2014

Dalil Syar’i Maulid Nabi



Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid,
haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid,
bid’ahkah merayakannya?

Memaparkan legalitas syari’at perayaan Maulid Nabi menjadi sedemikian penting meng­ingat kini semakin banyaknya tuduhan, ”... yang ditujukan pada umat Islam yang me­rayakan Maulid sebagai pe­laku bid’ah tercela, bahkan hing­ga me­masukkan mereka sebagai ahli ne­raka yang ke­kal di dalam neraka selama-lamanya,” demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, penulis buku Bahas Cerdas & Kupas Tuntas – Dalil Syar’i Maulid Nabi, da­lam pengan­tar karyanya tersebut.

Mereka, yang sesung­guhnya me­rupakan golongan minoritas itu, tak per­nah mau mendengar dalil orang lain, se­lalu menyikapi segala per­bedaan de­ngan hitam-putih, be­nar-salah, surga-neraka, hing­ga dalam hal ini, mereka sam­pai mengeluarkan fatwa mengha­ram­kan seluruh hi­dangan Maulid, bah­kan dise­butkan, ke­haramannya lebih haram dari memakan hewan babi.

Na’udzubillah, kami berlin­dung ke­pa­da Allah, dari pejuang nafsu yang se­lalu me­rasa benar sendiri,” tulis Ustadz Muhammad.

”Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah me­rayakannya?” Dua kalimat tanya ini ter­tulis besar di bawah judul karya Ustadz Muhammad. Memang, bagi kebanyakan orang, mungkin dua hal itu yang sering menggelayut dalam pikiran mereka, dan ke­tika mereka keliru dalam menyimpul­kan, maka tuduhan demi tuduhan tak berdasarlah yang mereka lontarkan.

Demi memaparkan penjelasan atas masalah ini secara cerdas dan mengu­pas­nya secara tuntas, Ustadz Muham­mad membagi pembahasan di buku ini menjadi tiga pokok pembahasan.

Pertama, penjelasan makna tark, yaitu tentang perbuatan yang tidak di­kerjakan oleh Nabi. Pembahasan ini un­tuk menjawab kalimat tanya pertama di atas, Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya?

Kedua, penjelasan makna bid’ah dan kaitannya dengan Maulid Nabi SAW. Pembahasan yang kedua ini ditujukan untuk menjelaskan pada pembaca ter­hadap kalimat tanya yang kedua, umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah me­rayakannya?

Bukan hanya dalam masalah Maulid, dua pembahasan di atas, seyogyanya menjadi dasar bagi setiap muslim untuk memahami setiap permasalahan syariat, agar umat tidak mudah menuding se­sama saudaranya yang lain.

Pembahasan yang terakhir, yaitu pem­bahasan yang ketiga, Ustadz Mu­ham­mad mengurai dalil-dalil syar’i yang melatarbelakangi diselenggarakannya Maulid Nabi itu sendiri. Setelah mema­hami dasar-dasar yang tepat dalam me­nilai sebuah amaliyah, bagian yang ter­akhir ini secara khusus akan semakin membuka pandangan bagi insan muslim atas hujjah-hujjah syar’iyyah dalam peringatan Maulid Nabi SAW.

Sebagai pelengkap pembahasan, Ustadz Muhammad menyertakan secara utuh terjemah dari kitab Husn al-Maq­shad fi ’Amal al-Maulid, karya Imam Su­yuthi, yang memaparkan secara khusus perihal dasar-dasar argumentasi keaga­maan di balik penyelenggaraan Maulid Nabi SAW.

Kaidah Ibn Taimiyah

Law kana khairan lasabaquna ilayh. Maknanya, kalau perkara itu baik pasti para salaf telah melakukannya. Kaidah yang dirumuskan Ibn Taimiyah ini men­jadi salah satu dasar utama bagi orang-orang yang menolak amaliyah Maulid Nabi. Bahkan, orang-orang itu hendak menilai (baca: menyele­saikan) semua urusan agama ini hanya dengan kaidah tersebut.

”Sayangnya, dengan kaidah ini orang-orang bodoh itu semakin mem­beku. Mereka semakin sulit diajak ber­diskusi, semakin menikmati fatwa-fatwa yang tidak populer, sampai akhirnya tum­buh suburlah para penyesat umat, yang berpendapat dengan tanpa men­dengar dalil orang. Bahkan, kaidah yang mereka buat ini mereka tempatkan pada tempat yang lebih utama dari dalil-dalil syar’i,” tulis Ustadz Muhammad lagi menjelaskan perihal kaidah tersebut.

Padahal, apapun yang dikuatkan de­ngan dalil-dalil syar’i itu baik adanya, bukan bid’ah, karena Allah SWT ber­fir­man, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77

Al-Hafizh Ibnu Hajar dan kalangan yang sependapat menilai, Nabi SAW mengingatkan keutamaan merayakan Maulid melalui kesimpulan umum yang diambil dari hadits tentang puasa Asyura. Hadits ini menegaskan legalitas puasa peringatan tahunan sebagai wu­jud syukur kepada Allah SWT atas nik­mat selamatnya Nabi Musa.

Hadits tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dari puasa mengingat hari kelahiran adalah sebagai wujud rasa syukur. Setiap tindakan yang bisa me­wujudkan rasa syukur secara syari’at di­anjurkan, karena syukur adalah sebab hukum. Dan semua ibadah dalam hal ini, yang hukumnya sama seperti puasa meng­ingat hari kelahiran menurut ke­sepakatan ulama, sepertinya sudah men­­jadi kesepakatan tertulis di antara mereka, atau diqiyaskan seperti itu me­nurut sebagian lainnya. Terkait dengan hal-hal mubah, selain ibadah yang mengungkapkan rasa senang, asal hu­kumnya boleh-boleh saja, tidak ada dalil yang melarang demikian.

Ibnu Taimiyah menilai, salaf tidak pernah merayakan Maulid. Andai hal itu baik tentu mereka sudah terlebih dulu melakukannya sebelum kita. Jadi, me­nurut mereka Maulid hukumnya adalah bid’ah.

Imam Suyuthi menanggapi, tidak ada pernyata­an salaf yang mencegah dan menganjurkan perayaan Maulid, mereka bersikap abstain sementara ha­dits di atas adalah dalil kuat. Berdasar­kan ijma’, hadits lebih dikedepankan dari sikap abstain dan tidak adanya riwayat yang termasuk dalam istilah istishhab pada masalah itu. Istishhab adalah pem­berlakuan hukum terhadap suatu per­kara di masa selanjutnya atas dasar bah­wa hukum itu telah berlaku sebelumnya.

Antara Inkar dan Ijtihad

Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijti­had dan benar, ia mendapat dua pa­hala, namun ketika memutuskan se­suatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”

Hadits di atas secara tegas menyata­kan orang yang salah dalam berijtihad bukan berarti melakukan amalan bid’ah ataupun sesat karena Allah SWT tidak mem­beri pahala bid’ah, bahkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.

Ada beberapa kemungkinan bagi kalangan yang menyesatkan kelompok lain dalam masalah peringatan Maulid ini.

Pertama, mereka tak mengetahui kaidah di atas. Kedua, mereka pura-pura tidak tahu adanya argumentasi pihak yang berseberangan, yang disebab­kan adanya faktor dan tujuan pribadi. Ketiga, mereka mengira masalah ini dan masa­lah-masalah serupa lainnya bukan ma­salah ijtihad, tapi sesuatu yang sudah jelas, sehingga dengan mudah ia me­nyesatkan orang lain yang berpaling atau menen­tang masalah ini.

Dengan alasan apapun, siapapun yang meng­anjurkan perayaan Maulid, tidak bisa dan tidak laik dituduh menen­tang ajaran-ajaran yang telah jelas. Per­hatikan siapakah mereka yang dituduh seperti itu; mereka adalah para imam ter­percaya, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Hafizh As-Suyuthi; lalu perhatikan siapa Anda, para pengingkar anjuran pe­ra­yaan Maulid itu, yang gemar mem­bawa pandangan sembrono sampai me­nyatakan bahwa para imam besar itu ti­dak boleh diikuti karena pendapatnya keliru.

Anda, yang tidak sependapat de­ngan anjuran merayakan Maulid, meng­anggap mereka keliru? Baik. Perta­nya­annya, apakah para imam terpercaya itu keliru dengan menyalahi pengamalan agama yang nashnya jelas dan tegas, ataukah mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad?

Jika para imam tersebut keliru de­ngan menyalahi ajaran-ajaran agama yang sudah jelas hukumnya, berarti ke­salahan tersebut adalah sikap pembang­kangan. Allah SWT berfirman mengenai orang-orang yang berbuat demikian, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan ber­selisih sesudah datang keterang­an yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” – QS. Ali ‘Imran [3]: 105

Apakah ini laik bagi imam-imam se­perti Ibnu Hajar dan As-Suyuthi? Jika mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad, toh Nabi SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pa­hala, namun ketika memutuskan se­suatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”

Dan Allah SWT tidak memberi pa­hala untuk bid’ah.

Ijtihad Bukan Kebenaran Absolut

Anda tidak bisa membid’ahkan dan menyata­kan Ibnu Hajar sesat dan ber­buat bid’ah, meski menurut Anda hal itu salah. Boleh jadi, justru Anda yang sa­lah. Jika Anda, atau ulama panutan Anda, berpen­dapat bahwa perayaan Maulid itu keliru, lalu merayakannya, itu baru berarti Anda melakukan bid’ah dan Anda sesat. Sementara bagi yang tidak sependapat dengan Anda, tidak seperti itu.

Disebutkan, Imam Ahmad bin Han­bal dan para pengikutnya berdoa, “Ya Allah aku memohon kepada­mu dengan perantara Nabi-Mu, ampunilah aku.”

Ia melakukan sesuatu yang menu­rutnya baik, dan mendapat dua pahala jika benar, atau satu pahala jika salah. Lain halnya kalau yang berdoa itu adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wah­hab, Al-Albani, atau para pengikut­nya, yang berpandangan doa dengan ber­tawassul adalah suatu hal yang bid’ah dan sesat. Kalau mereka berdoa de­ngan ucapan itu, mereka menang­gung dosa dan hukumannya. Hal sena­da berlaku dalam semua masalah ijtihad yang diperdebatkan, baik yang dianjur­kan atau dilarang.

Dalam masalah-masalah ijtihad, muj­tahid tidak harus puas dengan dalil-dalil pihak yang berseberang­an, tapi masing-masing kubu harus puas dengan adanya kemungkinan, bahwa salah satu di an­tara kedua pihak adalah salah, seperti yang Rasulullah SAW sampaikan dalam sebuah wasiat yang beliau sampaikan pada seorang komandan pasukan, “Ka­rena kau tidak tahu apakah putusanmu sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”

Hadits ini secara tegas menyatakan, seorang mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dan kalangan yang tidak sependapat pasti salah.

Maulid di Mata para Hafizh Kita, yang tinggal di Nusantara, mung­kin hanya mengenal sedikit kitab Maulid. Padahal kitab Maulid karya para ulama itu jumlahnya sangat banyak, lantaran per­hatian khusus mereka terhadap mo­men­tum agung tersebut. Sebagiannya disusun oleh para hafizh, orang-orang yang dalam hidupnya ”tenggelam” dalam bahtera hadits Rasulullah SAW. Di ba­wah ini nama sebagian di antara mereka itu.

Al-Hafizh Muhammad bin Abubakar Al-Qisi Asy-Syafi’i, lebih populer sebagai Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (777-842), seorang imam besar, ahli hadits dan sejarah dengan kekuatan hafalan yang gemilang, menulis kitab Maulid Al-Lafzhu ar-Raiq fi Maulid Khairi al-Khalaiq.

Al-Hafizh Abubakar bin Abdurrahim Al-Mashri, imam yang sangat tersohor di kalangan para imam ahli hadits, lebih dikenal dengan Al-’Iraqi (725-707), san­daran para ulama dalam masalah yang pelik dan rumit, menulis kitab Maulid Al-Maurid al-Hani fi al-Maulid as-Sani.

Al-Hafizh As-Sakhawi, Muhammad bin Abdurrah­man Al-Qahiri As-Sakhawi (831-902). Imam Syaukani memujinya, “Aku tak pernah melihat seorang hafizh generasi akhir yang melebihi As-Sakha­wi dalam kekuatan hafalannya.” Ia me­nulis kitab Maulid Nabi SAW sebagai­mana yang di kutip oleh pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun.

Al-Hafizh Mula Ali Al-Qari (1014) pengarang kitab syarh Al-Misykah. Ia juga menulis kitab Maulid berjudul Al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabi.

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ismail bin Umar bin Katsir, seorang mufassir tersohor, ia juga menulis kitab Maulid yang baru-baru ini dicetak dan ditahqiq oleh Dr. Shalahuddin.

Al-Hafizh Ibnu Ad-Daiba’i Wajihuddin ibnu Abdurrahman Asy-Syaibani Al-Yamani (866-944), seorang yang sangat populer di zamannya. Kitab maulidnya sangat dikenal di penjuru dunia termasuk di Indonesia, yaitu yang biasa disebut Maulid Ad-Diba’.

Dunia Islam menyematkan gelar “al-hafizh” kepada para ulama ahli hadits yang memiliki hafalan lebih dari seratus ribu hadits (pendapat lain menyebut ang­ka tiga ratus ribu hadits) baik matan (re­daksi) maupun sanad (mata rantai peri­wayatan)-nya. Mereka adalah para ha­fizh yang lebih mema­hami hadits dari para pengingkar Maulid.

Tidakkah kita bisa berbaik sangka se­dikit pun, apalagi kepada para ulama seperti mereka? Bahkan seringkali vonis bid’ah, kafir, dan syirik terlontarkan ke­pada mereka, hanya dengan bermodal­kan dalil kullu bid’atin dhalalah, tanpa mau mendengar pendapat para ulama yang lebih alim dan lebih wara’. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenar­an dan mengikutinya.

Memahami Tark

Maksud tark yang menjadi tujuan pe­nulisan risalah singkat ini, adalah suatu amalan yang ditinggalkan dan tidak dilaku­kan Nabi SAW, atau ditinggalkan oleh salafush shalih, tanpa adanya ha­dits atau atsar yang melarang amalan yang diting­galkan tersebut, yang menun­jukkan per­buatan tersebut haram atau makruh.

Ulama kalangan mutaakhir sering mengguna­kan dalil tark untuk meng­haramkan atau mencela berbagai hal, bah­kan sebagian kalangan terlalu ber­lebihan menggunakan dalil ini. Ibnu Taimiyah memakai dan menjadikan ini sebagai sandaran dalam menghukumi berbagai hal, seperti yang akan dibahas berikutnya.

Ketahuilah, ketika Nabi SAW me­ning­galkan (tidak mengerjakan) sesuatu amalan, ada beberapa kemungkinan amalan tersebut tidak dilarang, yaitu karena beberapa sebab berikut ini:

Pertama, karena beliau tidak biasa terhadap sesuatu itu. Contohnya, suatu ketika Nabi SAW diberi biawak bakar. Beliau menjulurkan tangan. Kemudian ada yang berkata, “Itu biawak.” Maka beliau pun tak jadi memungutnya.

Kemudian ada yang bertanya, “Apa­kah itu haram?”

Nabi SAW menjawab, “Tidak, hanya saja hewan ini tidak terdapat di kawasan kaumku, aku pun merasa jijik.”

Hadits ini tertera dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ini me­nunjukkan dua hal, yaitu bahwa mening­galkan sesuatu bagi Nabi SAW, meski se­telah beliau hampir melakukannya, tidaklah menunjukkan sesuatu tersebut haram, dan bahwa jijik terhadap sesuatu bukan berarti mengharamkan sesuatu itu.

Kedua, karena beliau lupa. Contoh­nya, Nabi SAW pernah lupa dalam sha­lat, meninggalkan salah satu bagian shalat kemudian beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?”

Nabi SAW menjawab, “Aku hanya manusia biasa, aku lupa seperti halnya kalian. Jika aku lupa, ingatkan.”

Ketiga, karena beliau khawatir amal­an tersebut diwajibkan terhadap umat. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Tarawih saat para sahabat telah berkumpul untuk shalat bersama beliau.

Keempat, karena tidak terpikirkan dan tidak terlintas di benak beliau. Con­tohnya, pada mulanya Nabi SAW khut­bah shalat Jum’at di atas kayu kurma. Tak terpikirkan oleh beliau untuk mem­buat mimbar sebagai tempat berkhut­bah. Saat ada yang mengusulkan pem­buatan mimbar, beliau setuju dan meng­akui hal itu, karena khutbah di atas mim­bar lebih mengena untuk pendengaran hadirin. Para sahabat juga mengusulkan untuk membuatkan tempat duduk dari tanah untuk Nabi SAW, agar dikenali utus­an asing yang datang menemui be­liau. Beliau menyetujui usulan itu, karena sebelumnya sama sekali tidak terpikir­kan untuk itu.

Kelima, karena sesuatu itu sudah ter­masuk dalam penjelasan umum ayat-ayat Al-Qur‘an atau hadits. Contohnya, Nabi SAW meninggal­kan shalat Dhuha dan banyak sekali amalan-amalan lain yang dianjurkan, karena sudah termasuk dalam penjelasan umum firman Allah SWT: “Dan perbuatlah kebajikan, supa­ya kalian mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77

Keenam, karena beliau khawatir se­suatu itu mengubah hati para sahabat atau sebagian sahabat. Contohnya, sab­da Nabi SAW kepada Aisyah, “Andai saja kaummu tidak baru saja masuk Islam, tentu aku robohkan Ka’bah ke­mudian aku bangun lagi sesuai pondasi Ibrahim, karena kaum Quraisy memper­kecil bangunannya.”

Hadits ini tertera dalam dua kitab hadits shahih utama, Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Secara tegas dije­laskan, Nabi SAW tidak merobohkan Ka’bah dan mengembalikannya ke po­sisi semula, semata dilakukan untuk menjaga hati para sahabat di Makkah yang baru masuk Islam. Tindakan ini memungkinkan adanya alasan lain yang bisa diketahui dengan cara mencermati kitab-kitab hadits.

Meninggalkan, Bukan Melarang

Larangan adalah sesuatu yang ha­ram, yang memang harus ditinggalkan. Ma­salah larangan adalah satu hal, dan masalah tark adalah satu hal lainnya lagi. Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang secara tegas menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi SAW serta merta menjadi sesuatu yang haram.

Dijelaskan dalam Ar-Radd al-Muh­kam al-Matîn, tentang meninggalkan se­suatu tidak menunjukkan sesuatu terse­but dilarang. Berikut ini penjelasannya:

“Meninggalkan suatu amalan saja tan­pa disertai nash lain yang menunjuk­kan bahwa hal tersebut terlarang, bukan­lah hujjah yang melarang sesuatu ter­sebut, meskipun pada akhirnya memang meninggalkan sesuatu tersebut ternyata disyari’atkan. Ada dua hal yang perlu di­perhatikan dari kasus semacam ini: Per­tama, sesuatu yang ditinggalkan terse­but dilarang, namun pelarangan ini bu­kan karena sesuatu tersebut ditinggal­kan. Kedua, ada dalil lain yang menun­jukkan sesuatu tersebut dilarang.

Imam Abu Sa’id bin Lubb juga me­nyebutkan kaidah ini. Ia menyampaikan bantahan terhadap kalangan yang me­makruhkan berdoa seusai shalat, yang selalu berhujjah bahwa merutinkan hal tersebut, tidak pernah dilakukan kalang­an salaf. Dengan asumsi penukilan ini benar, meninggalkan sesuatu justru me­nunjukkan amalan tersebut boleh dan tidak berdosa dilakukan, bukan berarti amalan tersebut haram atau makruh, terlebih bagi amalan yang secara garis besar ada landasan hukumnya dalam syari’at, seperti doa.

Nabi SAW tidak pernah puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhan. Ini juga tidak menunjukkan bahwa mak­ruh hukumnya puasa sunnah sebulan penuh.”

Demikian teks-teks yang secara te­gas menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu amalan bukan berarti amalan tersebut makruh, apalagi haram.

Sebagian kalangan yang bersikap berlebihan, mereka mengingkari kaidah ini dan tidak mengakui­nya sebagai salah satu bagian dari ilmu ushul. Ini menun­juk­kan, pengingkaran terhadap dalil ini semata disebabkan kebodohan dan akal tidak sehat.

Adapun mengenai larangan dalam syari’at, berikut kami jelaskan dalil-dalil larangan:

Pertama; yang menunjukkan peng­haraman ada tiga. Satu, larangan. Con­toh, “Jangan mendekati zina, jangan me­makan harta di antara sesamamu de­ngan cara bathil.” Dua, pengharaman. Contoh, “Diharamkan bagimu bangkai,” dan seterusnya. Tiga, celaan atau an­caman siksa atas suatu perbuatan. Con­toh, “Barangsiapa menipu, ia bukan go­longan kami.”

Dan meninggalkan suatu amalan ti­dak terma­suk dalam tiga kategori ini. De­ngan demikian mening­galkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.

Kedua; Allah SWT berfirman, “Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggal­kanlah.” – QS. Al-Hasyr [59]: 7

Allah SWT tidak menyatakan, “Apa yang ia tinggalkan, tinggalkanlah.” De­ngan demikian, mening­galkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut di­larang.

Ketiga; Nabi SAW bersabda, “Apa yang aku perintahkan, kerjakan semam­pu­mu, dan apa yang aku larang, jauhi­lah.”

Nabi SAW (saja) tidak menyatakan, “Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.” Lalu bagaimana bisa sampai ada yang meng­a­takan bahwa meninggalkan sesuatu sebagai larangan atas sesuatu tersebut?

Keempat; para pakar ushul men­defi­nisikan, sunnah adalah perkataan, per­buatan, dan persetujuan Nabi SAW. Me­reka tidak mendefinisikan, sunnah ada­lah sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW, karena meninggalkan sesuatu bu­kanlah dalil.

Kelima; seperti disebutkan sebelum­nya, hukum adalah khithab Allah SWT. Para pakar ushul menyebutkan, hukum ber­dasarkan Al-Qur‘an, sunnah, ijma’, atau qiyas. Dan meninggalkan sesuatu amalan bukan bagian dari dasar-dasar hukum tersebut, dengan begitu ia bukan suatu dalil.

Keenam; seperti disebutkan sebelum­nya, meninggalkan sesuatu memiliki be­berapa kemungkin­an selain larangan, dan kaidah ushul menyebutkan: jika ter­dapat kemungkinan dalam suatu dalil, da­lil tersebut tidak bisa dijadikan pijakan. Juga sudah disampaikan sebelumnya, tidak ada nash yang menunjukkan bah­wa Nabi SAW meninggalkan sesuatu se­bagai dalil bahwa sesuatu tersebut ha­ram. Hujjah ini saja sudah cukup menun­jukkan bahwa dalil tark tidak bisa di­jadi­kan pijakan.

Ketujuh; meninggalkan sesuatu ada­lah hukum asal, karena meninggalkan sesuatu berarti tidak adanya perbuatan. Tidak adanya sesuatu adalah hukum asal, sementara mengerjakan suatu amal­an adalah sesuatu yang terjadi tanpa diduga. Hukum asal sama sekali tidak menunjukkan apapun, tidak secara bahasa ataupun menurut syari’at. De­ngan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.

Pengertian Bid’ah

Definisi bid’ah pertama kali dijelas­kan oleh Imam Syafi’i berdasarkan ri­wayat Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469).

Disebutkan, bahwa semua hal baru itu ada dua macam: Pertama; sesuatu yang dibuat-buat dan berseberangan de­ngan Al-Qur‘an, sunnah, atsar, atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua; kebaikan yang diciptakan dan belum ada sebelumnya serta tidak diperdebatkan. Inilah bid’ah yang tidak tercela.

Umar bin Khaththab RA berkata ten­tang qiyam Ramadhan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini; maksud­nya shalat Ta­rawih bersifat baru, dan tidak ada sebe­lumnya, karena seperti itu berarti tidak menyalahi (dalil-dalil yang ada).”

Kemudian Asy-Syafi’i menjelaskan maksud “bid’ah” dalam perkataan Umar bin Khaththab di atas.

Apa pengertian bid’ah? Yaitu se­suatu yang diciptakan dan belum ada sebelumnya. Ini makna umum bid’ah men­cakup apa saja yang tidak ada di masa Nabi SAW, dan baru ada setelah masa beliau, baik ada dalilnya ataupun tidak. Inilah makna etimologi bid’ah yang paling tepat. Untuk itu bid’ah harus dibagi menjadi dua bagian:

Pertama; sesuatu yang diciptakan dan menya­lahi Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat kare­na berseberangan dengan dalil-dalil syar’i.

Kedua; kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun. Inilah bid’ah yang tidak tercela, karena menurut syari’at baik adanya. Karena me­nurut syari’at baik, berarti bid’ah ter­sebut juga baik, lantaran tidak menyalahi dalil-dalil yang ada.

Selanjutnya Asy-Syafi’i menjelaskan alasan kenapa Umar bin Khaththab RA memuji dan menganjurkan amal tersebut (qiyam Ramadhan secara berjama’ah), meski ia sebut sebagai bid’ah, alasannya adalah karena tidak berseberangan de­ngan Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’.

Imam Syafi’i RA menyatakan, “Ke­baik­an yang diciptakan dan tidak diper­debatkan oleh siapapun adalah bid’ah yang tidak tercela.” Pernyataan Asy-Syafi’i ini juga ber­san­dar pada perkataan Umar RA, serta per­setujuan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Zaid bin Tsabit RA bahwa pengum­pulan Al-Qur‘an dalam satu kitab dianjur­kan meski tidak pernah dilakukan Rasul­ullah SAW, karena hal tersebut baik ada­nya.

Umar bin Khaththab berkata, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, “Menurutku, engkau ha­rus mengumpulkan Al-Qur`an (dalam satu kitab).’

Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW?”

Umar berkata, “Demi Allah itu baik.”

Abu Bakar berkata, “Umar terus mem­pertim­bangkan hal itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku.” (HR Al-Bukhari nomor 4402)

Pada mulanya Abu Bakar berdalih mengumpul­kan Al-Qur‘an dalam satu kitab tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, sementara Umar bin Khaththab berdalih meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW tapi langkah tersebut baik, dan karena baik berarti dianjurkan. Abu Bakar selanjutnya mengulang ja­wab­an Umar saat Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah itu baik.”

Jawaban dari kedua khalifah Rasul­ullah SAW tersebut adalah tanggapan bagi siapapun, yang saat ini mengingkari berbagai kebaikan yang dibuat, dan tidak ada sebelumnya, dengan dalih tidak per­nah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebab menurut nash kitabul­lah, kebaikan itu diperintahkan untuk di­lakukan, dan diberi janji keberuntungan. Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat ke­menangan.” – QS Al-Hajj: 77

Kita diperintahkan untuk menyeru pada kebaikan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang me­nyeru kepada kebajikan, menyuruh ke­pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang berun­tung.” – QS. Ali ‘Imran [3] 104

Karenanya, menurut penjelasan Asy-Syafi’i, bid’ah yang tidak tercela ada­lah setiap kebaikan yang tidak menyalahi dalil-dalil syar’i.

Gebyah Uyah Masalah Bid’ah

Pendapat yang menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah dan ada yang dhalalah sesungguhnya tidak bersebe­rangan dengan pendapat yang menyata­kan tidak ada bid’ah hasanah dalam syari’at. Sebab, yang dimaksud hadits ter­sebut dalam pandangan mereka, bah­wa amal yang menyalahi dalil-dalil syar’i tidak bisa dianggap baik. Demikian yang dinyatakan secara tegas oleh Ibnu Taimiyah.

Pernyataan Ibnu Taimiyah dinukil di sini bukan untuk lebih mengedepankan pendapatnya atas pendapat lainnya, tapi untuk menjelaskan bahwa kalangan yang tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah, misalnya dalam hal peringat­an Maulid, bukanlah ahli bid’ah berda­sar­kan kaidah-kaidah yang ia sebutkan sen­diri dalam Al-Fatawa (10/370), bah­wa menjaga keumuman sabda Rasul­ullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” hu­kumnya wajib, sementara suatu amalan yang disebut bid’ah dan terbukti baik ber­dasarkan dalil-dalil syar’i, berarti ada dua kemungkinan pasti:

Kemungkinan pertama, amalan ter­sebut bukan bid’ah dalam agama, meski dari sisi bahasa disebut bid’ah, seperti perkataan Umar bin Khaththab RA, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Kemungkinan kedua, bersifat per­nyataan umum, namun dikhususkan ka­rena adanya pengecua­lian yang kuat, seperti yang berlaku pada masalah-ma­salah lain berdasarkan tuntutan pernya­taan umum, sama seperti kata-kata umum lain yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas (pada kemungkinan kedua) secara tegas menyatakan, adanya pengecualian yang lebih kuat memunculkan adanya kekhu­susan dari perkataan umum dalam sab­da Nabi SAW, “Setiap bid’ah itu sesat,” dan menjadikan contoh kasus yang di­kecualikan menjadi tidak sesat, karena tidak termasuk dalam keumuman kata-kata tersebut.

Yang dimaksud “menjaga keumum­an” dalam hal ini adalah seperti yang ditegaskan Ibnu Taimiyah sendiri (pada kemungkinan kedua tersebut), “Seperti yang berlaku bagi masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum.” Maksudnya, selain masalah-masalah yang dikhususkan oleh dalil yang lebih kuat dari pernyataan umum tersebut. Dengan kata lain, hadits tersebut bersifat khusus (yaitu pada bid’ah yang termasuk dhalalah).

Karena itu Ibnu Taimiyah sendiri me­nyatakan (27/152), kalangan yang men­jadikan hadits tersebut tetap bersifat umum, dan kalangan lain yang meng­khu­suskannya, bermuara pada satu ke­simpulan yang sama, seperti yang ia se­butkan dalam Al-Fatawa; bid’ah hasanah – bagi yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi‘ah – pasti dianjurkan oleh seorang ahlul ilmi yang menjadi panutan, di samping ada dalil yang menganjurkan.

Seperti itu juga kalangan yang me­nyatakan bid’ah semuanya tercela. Bid’ah menurut kalangan ini adalah se­suatu yang tidak ada dalil syar’inya. Ka­rena itu kedua pendapat tersebut (yang mengklasifikasi bid’ah maupun yang menggeneralisir bid’ah), bermuara pada satu titik yang sama. Pendapat pertama, mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang dibuat-buat sepeninggal Nabi SAW. Dengan demiki­an bid’ah menurut pendapat pertama ini, harus dibagi menjadi bid’ah yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan dalil. Se­mentara pendapat kedua, menilai bid’ah adalah sesuatu yang tidak sesuai de­ngan dalil. Bid’ah menurut pendapat ke­dua, tidak terbagi menjadi dua, tapi ha­nya satu, yang tak lain adalah bid’ah je­nis kedua (bid’ah dhalalah) menurut pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimi­yah sendiri, dapat disimpulkan bahwa kalangan yang menilai bid’ah sebagai “se­suatu yang dibuat sepeninggal Ra­sulullah SAW, dan masa salaf tanpa kla­sifikasi atau batasan apapun” berarti ber­seberangan dengan kedua pendapat di atas sekaligus.

Dalil syar’i yang menguatkan baiknya suatu amalan, yang secara bahasa di­sebut bid’ah atau mengkhususkan kata-kata umum sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” bisa jadi berupa nash dan bisa jadi melalui istinbath, se­perti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (1/587), bahwa suatu hal yang terbukti baik, bukanlah suatu bid’ah. Di bagian lain ia menyatakan, suatu hal yang ter­bukti baik berarti mengkhususkan per­nyataan umum (dalam hadits tersebut). Yang mengkhususkan adalah dalil-dalil syar’i yang bersumber dari Al-Qur`an, sun­nah, dan ijma’ baik dalam bentuk nash ataupun melalui istinbath.

Sikap Semena-mena

Kekeliruan dalam ijtihad bukanlah bid’ah, karena perbedaan pendapat di ka­langan ahlul ilmi dalam ijtihad, tidak membuat salah satu dari dua kubu se­bagai ahli bid’ah, bahkan bagi yang sa­lah sekalipun, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan se­suatu kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pa­hala. Namun ketika ia memutuskan se­suatu lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”

Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah, bahkan bid’ah membuat pelakunya sesat dan berada di neraka, “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap ke­sesatan itu (tempatnya) di neraka.”

Disebutkan dalam Musawwadah Alu Taimiyah, diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, “Kebenaran di sisi Allah SWT hanya satu, ahli ijtihad harus berijtihad, namun tidak boleh berkata kepada pihak yang tidak sependapat, ‘Kamu salah’.”

Disebutkan dalam Hilyat al-Awliya‘, diriwayatkan dari Imam Malik, “Khalifah Ar-Rasyid mengusulkan padaku untuk menggantung kitab Al-Muwaththa‘ di Ka’bah, dan menginstruksikan agar di­terapkan oleh semua kaum muslimin. Lalu aku mengatakan, ‘Jangan, karena para sahabat Rasulullah SAW sendiri berbeda pendapat dalam masalah-ma­salah furu’, mereka juga sudah berpen­car di berbagai daerah, masing-masing (dari mereka) benar’.”

Rasulullah SAW menjelaskan, muj­ta­hid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dalam mengetahui maksud Allah SWT. Rasulullah SAW menyampaikan wasiat kepada salah seorang komandan pasukan, “Jika kau mengepung pendu­duk suatu benteng, lalu mereka ingin agar kamu menghukumi mereka berda­sarkan hukum Allah, jangan hukumi me­reka (dengan mengatasnamakan) ber­dasarkan hukum Allah, tapi hukumi me­reka berdasarkan hukummu (dengan menggali hukum Allah yang kamu ke­tahui), karena kau tidak tahu apakah putusanmu terhadap mereka sesuai hu­kum Allah ataukah tidak.” (HR Muslim nomor 1731). Orang yang tidak bisa me­mastikan dirinya benar, bagaimana bisa memastikan orang lain yang tidak se­pendapat dengan dirinya itu salah?

Disebutkan dalam risalah Imam Syafi’i (Ar-Risalah, hal: 497), saat mem­bahas hadits ijtihad di atas, Imam Syafi’i ditanya, “Apa makna benar dan salah?”

Aku (Asy-Syafi’i) menjawab, “Sama seperti makna menghadap kiblat. Arah kiblat dicari-cari oleh orang yang berada jauh dari Ka’bah. Mengarah ke kiblat itu sendiri, bagi yang berada jauh dari Ka’bah, ada yang benar dan ada juga yang salah.”

Si penanya berkata, “Menurutmu bagaimana, apakah ijtihad bisa dikata­kan benar dengan selain pengertian ter­sebut?”

Asy-Syafi’i menjawab, “Ya, hanya saja ijtihad berlaku untuk masalah-ma­salah yang dalilnya tidak diketahui. Ke­tika yang bersangkutan mengamalkan­nya (berda­sarkan ijtihad dengan segala persyarat­an­nya), artinya ia benar dalam hal meng­amalkan sesuatu yang dibe­bankan. Se­cara lahir ia benar, dan yang mengetahui sisi batin hanya Allah se­mata.”

Karena itu Ibnu Taimiyah menyata­kan, masalah-masalah yang diperdebat­kan oleh salaf dan para imam tersebut, masing-masing mengakui ijtihad kalang­an lain. Untuk itu bagi kalangan yang mengikuti pendapat Asy-Syafi’i, tidak boleh menyalah­kan kalangan lain yang mengikuti pendapat Malik, bagi yang mengikuti pendapat Ahmad, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang meng­ikuti pendapat Syafi’i, dan seterusnya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/292)

Dengan demikian, siapapun yang me­nyalahkan kalangan yang tidak se­pendapat – meski berpedoman pada da­lil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian imam – berarti menyalahi metode ter­sebut, di samping berlaku semena-mena terhadap kalangan yang tidak sepen­dapat.

Wujud Rasa Syukur Berkumpul bersama dalam Maulid untuk bersyukur kepada Allah SWT, atas petunjuk pada salah satu sunnah Ra­sulullah SAW yang diamalkan dan dipuji oleh para sahabat, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim dari Mu’awiyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW datang menghampiri para sahabat yang tengah berkumpul, beliau bertanya, “Untuk apa kalian duduk berkumpul?”

Para sahabat menjawab, “Untuk mengingat dan memuji Allah, karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam, dan menganugerahkan Islam kepada kami.”

Rasulullah SAW bertanya, “Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”

Para sahabat menjawab, “Demi, Allah hanya itu alasan kami duduk ber­kumpul.”

Rasulullah SAW melanjutkan, “Aku meminta kalian bersumpah bukannya aku meragukan kalian, Jibril baru saja datang menghampiriku, dan memberi­tahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat’.”

Berkumpul untuk memuji Allah SWT atas nikmat dan karunia Islam yang diberikan adalah sunnah, termasuk berkumpul untuk bersyukur kepada Allah SWT, karena nikmat kelahiran junjungan kita Muhammad SAW, karena beliau menyeru kita menuju Islam. Inilah wujud nyata kitab Allah SWT seperti yang disampaikan Aisyah kepada orang yang menanyakan seperti apa akhlak Rasul­ullah SAW, “Bukankah kau membaca Al-Qur`an?”

Si penanya menjawab, “Ya, betul.”

Aisyah berkata, “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim, hadits nomor 746)

Di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar menye­but­kan sejumlah ibadah sebagai wujud rasa syukur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya: tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan syair-syair pujian untuk Nabi SAW, dan syair-syair tentang zuhud.

Adab Memperingati Maulid

Memperingati hari lahir manusia ter­mulia yang dimuliakan oleh yang Maha­mulia, adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi SAW. Syiar kecintaan ini menjadi­kan orang yang lalai dapat meng­ingat, mengenang, serta meneladani kem­bali akhlak beliau.

Majelis Maulid juga ajang umat Islam dalam mengekspresikan kegembiraan dan rasa suka cita atas anugerah besar yang Allah limpahkan kepada mereka.

Allah SWT berfirman, “Isa putera Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan Kami turun­kan­lah kiranya kepada Kami suatu hi­dangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi Kami, yaitu orang-orang yang bersama Kami dan yang datang sesudah Kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah Kami, dan Engkaulah Pemberi rezki yang paling Utama’.” – QS Al-Maidah: 114

Sudah barang tentu rasa gembira dan suka cita atas datangnya manusia mulia, juru selamat dunia akhirat pada se­luruh umat, lebih layak untuk diraya­kan dari pada sekadar turunnya hidang­an dari langit. Manusia manapun tahu Rasulullah SAW lebih mulia dari semua ciptaan Allah SWT.

Namun perlu diingat, agar peringatan peringat­an itu tetap tidak keluar dari bim­bingan para ulama, sehingga kita semua ber­oleh hasil maksimal dan peneladan­an yang benar, serta jauh dari segala ke­munkaran, juga untuk menutup celah ko­mentar orang yang anti perayaan Mau­lid. Janganlah niat baik kita terkon­ta­minasi oleh ketidaktahuan cara peng­ung­kapan rasa cinta dan suka cita itu sendiri.

Di antara beberapa hal yang harus kita perhati­kan, kita jauhi, dan jangan sampai terulang lagi pada tahun-tahun yang akan datang, adalah:

Pertama, ikhthilath, yaitu perbauran laki laki dan wanita dalam satu majelis, apalagi wanita melantunkan Al-Qur’an, atau membaca saritilawah di tengah ke­ru­munan laki-laki, itu semua dilarang oleh agama.

Kedua, menjauhkan majelis yang mu­lia ini dari pencera­mah yang memba­wakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), karena itu akan menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menyerang kita, dan yang terpenting itu dilarang oleh sang Shahibul Maulid, dengan sabda­nya, “Barang siapa berbohong atasku (me­malsukan hadits-ku), persiapkanlah tempatnya di neraka.” Sesungguhnya kita pun tidak butuh dengan hadits-hadits itu, sekedar untuk memper­kuat hujjah dan dalil penguat tentang Maulid, karena banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait legalitas peraya­an Maulid.

Ketiga, larut dalam tawa yang tidak terkontrol, dengan bahasa yang tidak layak diungkapkan pada majelis Nabi SAW tercinta dan termulia, karena beliau juga melarang hal-hal tersebut.

Keempat, hendaknya pembicaraan kita tidak keluar dari mahabbah pada Nabi Muhammad SAW, rahmat, penela­danan dan segala yang terkait pada ke­sempurnaan akhlaq beliau, serta penje­lasan pada orang awam tentang dalil pe­ringatan Maulid, agar mereka memaha­mi dengan jelas apa yang mereka laku­kan. Inilah yang dilakukan para ulama di berbagai belahan dunia seperti di Mak­kah, Madi­nah, Maroko, Yaman, dan lain­nya. Semoga Allah memberikan berkah pada kita lantaran mereka.

Kelima, menjauhkan acara ini dari kepentingan-kepenting­an sesaat, pribadi maupun golongan, yang bertuju­an meng­galang massa, membeli dan membodohi ulama yang mempunyai banyak peng­ikut dengan harga yang murah, dalam arti­an berapa pun uang itu sangat­lah ke­cil dibandingkan kesucian acara itu sen­diri, toh akhirnya mereka pun tak mau meneri­ma syariat yang dibawa oleh Nabi SAW.

Keenam, jangan pernah memberi tem­pat untuk para pembicara yang tidak sopan, baik dalam tutur bahasa atau pe­nampilan, apalagi membahas hal-hal ca­bul dan mesum dalam majelis yang ber­kah itu, apapun alasan mereka sungguh ini melukai hati Rasulullah SAW.

Renungan Maulid

Menyambut bulan Maulid tahun ini, buku karya Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq ini diterbitkan. Penulisnya me­nyuguhkan isinya dengan metode pem­bahasan yang sedemikian rupa, dengan harapan pembaca dapat memahami perihal perayaan Maulid ini secara utuh. Di bagian belakang sampul buku ter­sebut, penulis juga menyertakan sinop­sis yang cukup menggugah pembaca­nya. Sinopsis itu bak rekaman sejarah Maulid dari zaman ke zaman yang ke­mudian diperas hingga menjadi satu ha­laman. Meski terkesan padat untuk ukur­an sebuah sinopsis buku, namun kalimat demi kalimat yang dituturkan terasa sangat mengena. Mengingat sedemikian dalamnya pe­san yang ingin disampaikan dalam si­nopsis buku yang tertera dalam sampul be­lakang buku itu, berikut ini kami tuang­kan secara utuh isinya. Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam se­ketika. Pilar-pilar kokoh istana kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan ba­nyak lagi. Wal­hasil, alam bergemuruh, me­nyambut kelahiran Nabi SAW sede­mi­kian rupa.

Puluhan tahun kemudian, ada saha­bat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin. “Itu­lah hari kelahiran­ku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara be­liau mem­peringati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bah­kan di setiap pekan.

Waktu berputar. Sumber-sumber se­jarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan Maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya Ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaf­far Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H). Kala itu, kisah hidup Nabi diperdengar­kan, keluhuran akhlaq beliau disebut-se­but, shalawat bergema silih-berganti, ha­dirin dijamu layaknya tamu yang mesti di­hormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran sang rahmatan lil ’alamin. Di hati pecinta, sungguh ini ke­nikmatan tiada tara.

Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpul­kan orang da­lam sebuah majelis Maulid nyatanya di­sambut baik oleh ulama, para pewaris an­biya’, seperti halnya shalat Tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khath­thab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat.

Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah men­jelas­kan pada umat huj­jah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk mema­hami hadits-ha­dits shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Qur’an Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan se­kitar 500 karya berbobot lain­nya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid.

Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tau­hid­nya, dan benar mutlak pendapat­nya menghukumi Maulid dengan ter­gesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amal­an bid’ah, tradisi paham yang sesat, me­nyerupai kebiasa­an orang kafir, dalil-da­lilnya dipaksakan, jamuan yang dihi­dang­kan haram, memuji-muji Nabi di da­lamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku ”bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, ”Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Tai­miyah, ”Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu meng­amal­kannya.”

Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal, dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umat­nya, hingga menempatkan kaum mus­lim­in sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadits Nabi SAW atau para pembang­kang atas syariat yang beliau gariskan?

Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana Persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam me­mahami kebenaran dan dalam mengi­kutinya.

Sumber : Majalah Al Kisah

Monday, September 9, 2013

Abuya K.H. Saifuddin Amsir : Di Balik Senandung Maulid

Yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna.

Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid de­ngan suara-suara nan syahdu dan senan­dung yang acap menggetarkan hati.

Ada apa di balik senandung kitab-ki­tab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senan­dung Maulid tersebut?

Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang di­sampaikannya kepada para pembaca se­tia alKisah.

Makna sebagai Tujuan

Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensi­nya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak di­se­nandungkan? Jadi, yang jadi tujuan uta­manya tetap maknanya. Senandung ha­nyalah bagian sekunder yang menye­babkan bacaan itu jadi terasa lebih ber­makna, agar penyampaiannya diharap­kan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki se­macam dorongan yang lebih dari baca­an yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya ka­rena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.

Ini bukan cerita yang tidak pernah ter­jadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di ka­langan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehi­langan kesadaran, tenggelam dalam mak­na-makna kalimat yang tengah di­senandungkan.

Saya juga pernah melihat peman­dang­an serupa saat di Suriah, ketika da­lam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke te­ngah-tengah dan berputar. Apa yang di­lakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terka­dang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan sema­cam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ke­tidaksadaran orang tersebut. Jadi, me­reka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.

Disemarakkan oleh Muhadditsin

Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, be­rita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang di­anggap oleh sebagian ahli hadits lebih ba­nyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk da­lam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).

Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari se­kadar gambaran berita-berita itu sen­diri. Gambaran-gambaran itu pun belum ten­tu mustahil. Sebagian berita itu mung­kin diceritakan dengan sanad yang di­per­tanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.

Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa ter­hadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah kare­na merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Mu­hammad. Sayalah yang menjadi bi­dannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bin­tang yang datang mendekat.” Ini kan gam­baran yang sangat spektakuler hing­ga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.

Sekarang kita melihat, misalnya di Sun­da Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, ba­nyak yang seperti ini, yaitu ketika sese­orang pun tak kuasa menolak berita-be­rita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.

Tapi kemudian, memang harus di­seimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.

Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Ban­tani sampai memerlukan diri untuk me­nuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri nota­bene seorang muhaddits.

Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bah­kan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.

Tampak dalam karyanya itu ia se­orang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menun­jukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.

Tapi, tak urung, di dalam kitabnya ter­dapat hadits-hadits yang menjadi perta­nyaan dan terus disorot oleh sebagian pi­hak. Itu sebabnya tadi saya katakan, to­koh semacam Syaikh Ali Jabir, yang ka­rena lahir dan besar di Arab Saudi, se­bagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang me­nolak berita-berita yang dianggap berle­bihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasul­ullah SAW terlahir dalam keadaan ber­sujud.

Kasus Al-Albani

Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja semen­tara orang mengkritisinya, tapi selayak­nya hanya sampai pada batas melemah­kan. Kalau sampai pada batas meniada­kan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?

Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya ter­hadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu ter­sebut mereka sebutkan lemah periwa­yatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.

Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, ke­maju­an itu tidak mendudukkan arti ke­majuan itu pada posisinya yang benar. Orang se­lalu dituntut secara aqidah for­mal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diber­lakukan dalam konteks hukum atau aqi­dah, bukan pada riwayat sema­cam ini. Ka­rena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.

Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang se­seorang wajib mempercayainya, atau se­seorang yang tidak mempercayainya te­lah kufur. Tidak demikian ulama me­man­dangnya. Jadi memang tidak perlu di­tun­tut sejauh itu, misalnya tentang sa­nadnya, keshahihannya, dan sebagai­nya.

Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani me­ngo­reksi hadits Al-Bukhari sebagai se­suatu yang menurutnya boleh jadi me­nanggung ke­tidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan di­klaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab da­lam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagai­kan samudera yang tak bertepi.

Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini le­mah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sa­ngat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber dari­nya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ri­buan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkon­sistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk ber­debat secara terbuka dalam ilmu ha­dits, sesuatu yang semua orang tahu bah­wa Al-Albani tidak pernah mau melayani­nya.

Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah pro­fesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mung­kin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits ter­hadap sikap over Al-Albani saat mengkri­tisi hadits, dengan kesiapan perangkat ke­ilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.

Kekuasaan Allah Semata

Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar isti­lah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sen­diri sebenarnya baru pernah mende­ngar istilah itu. Kemudian orang-orang se­macam ini tampak lebih muncul di permu­kaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk men­dalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepe­mimpinan Bapak Saiful Hamid, saya me­lihat orang-orang yang rata-rata sebe­lumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan mem­baca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-mak­na yang tertulis dalam buku itu, mereka men­jadi kehilangan rasa untuk memper­soalkan ihwal haditsnya, karena hati me­reka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.

Kalau dikatakan Nabi lahir dalam ke­adaan bersujud, kenapa ini jadi perta­nya­an besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat ke­luarnya air seni), sekarang pun itu bu­kan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuk­tikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?

Ternyata, untuk dunia medis zaman se­karang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di da­lam ginjal hanya dengan cahaya sinar ter­tentu yang disorot dari luar tubuh sese­orang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak ter­tentu, yang semuanya itu diatur oleh ta­ngan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?

Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus di­per­hatikan bahwa ini tidak tepat untuk di­ang­gap sebagai tema-tema kebohongan da­lam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi ka­mu­flase atau pemalsuan yang berdam­pak bahwa suatu ketika Islam bisa men­jadi kehilangan identitasnya, karena me­minggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.

Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin ka­rena semakin banyak tekanan yang da­tang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang me­mandang dengan penuh ketidak­suka­an terhadap perhelatan-perhelatan Mau­lid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin me­nyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY

Sumber : Majalah Al Kisah

Saturday, July 13, 2013

Pandangan Ulama Seputar Hadits “Semua Bid'ah Adalah Sesat"

Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama 'Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).

Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)

'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:

"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)

Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:

Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:

Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".

 Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu 'anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush'. 'Am Makhshush' artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualiaan. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir 'Alaihissalam menjelaskan kepada Nabi Musa 'Alaihissalam alasan mengapa beliau merusak kapal. Allah Ta'ala mewahyukan:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)

Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.

Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)

"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:

"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:

Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.

Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(

Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus

Friday, July 12, 2013

Mengkritisi Mazhab Panggilan Hati: Dialog Al Bouti vs Al-Bani

Assalamualaikum..
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.

Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:

Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?

Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?

Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?

Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.

Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !  

Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?

Al-Bani: Ya benar !

Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.

Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.

(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)

Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?

Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.

Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?

Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !

Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?

Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.

Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?

Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .

Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?

Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.

(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .

Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !

Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !

Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !

Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?

Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa ! 

 Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !

Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.

Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)

Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.

Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !

Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).

Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.

Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?

Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,


(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).

Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).


Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah. 

Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.

Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.

Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?

Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.

(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).

Talak Tiga: Contoh Kasus 

Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?


Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.


Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).

Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.

Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?

Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?

Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.

Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.

Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?

Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?


Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.

Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?

Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.

Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?

Al-Bani: Ya, cukup.

Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?

Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?

Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?

(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.

Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.

Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).


Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?


Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?

Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.

(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).

Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.

Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.

Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum? 


Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.


Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.

Dokter don Brosur: Analog! Lainnya

Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?

Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan. (Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)

Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.


Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain. 


Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?

Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,

Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?

Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa. 

Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.

(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).

Sumber: Majalah Alkisah