Tawassuladalah berdoa dengan perantara, sedari dulu ulama dipenjuru dunia memperbolehkan dan mengamalkan tawassul baik dengan amal sholih, ataupun dengan pribadi dan kedudukan nabi Muhammad SAW serta para auliya’. Hanya saja semenjak datangnya gelombang pembaharuan yang dihembuskan oleh Muhammad Bin Abdul wahhab, maka terjadi goncangan ditubuh umat Islam. Mereka yang mengamalkan tawassul kepada Nabi dan para wali dicap sebagai biang Bid’ah dan Syirik. Bukan cuma itu, sejumlah auliya’ Alloh dihujat habis-habisan mulai dari Syaikh Ahmad Badawi sampai para wali songodi tanah jawa.
Sebenarnya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah. ( Lihat QS. Al Maidah : 35 di atas ) .Rasulullah saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no.589 dan hadits no.4442)
Hadits ini jelas bahwa Rasul menunjukkan bahwa beliau tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau sudah dijanjikan syafaat beliau dan hak untuk menjadi perantara ini tidak dibatasi oleh keadaan beliau, baik ketika masih hidup ataupun di saat wafatnya.
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang telah aku lakukan saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam goa dan masing masing bertawassul pada amal shalihnya.
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507).
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri disisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yg ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194), ucapan beliau: “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul dengan tanah, menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah swt. Dalam riwayat lain diterangkan
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ
أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
Dari ustman bin hanif sesungguhnya seseorang yang sakit mata datang kepada nabi saw lalu berkata, berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku, Nabi menjawab, jika kamu mau, maka aku akan berdoa (untukmu) dan jika kamu ingin, maka bersabarlah dan itu lebih baik bagimu, lalu dia berkata, berdoalah. Ustman Bin Hanif berkata, lalu Nabi memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik lalu berdoa dengan doa ini, ya Allah sesungguhnya hamba mohon kepadaMu dan hamba menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan engkau ya Rasuulullah supaya hajatku ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafaat hajatku untukku.
(Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist ini dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.
Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.
Lalu muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur.
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut :
“telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah dengan doa ini : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat.
Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada Utsman bin Affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin Hanif ra : “aku tak bicara apa-apa pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majma’ zawaid Juz 2 hal 279), Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Al Kabir yang dalam sanadnya terdapat Rauh bin Sholah, Ibnu Hibban dan Al Hakim menstiqahkannya ( Syarah Ibnu Majjah 1/99 ).
Ada juga sebuah hadist dari Malik ad Daar diriwayatkan dalam kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 Kitab Fadhail bab Fadhail Umar bin Khattab RA hadis no 32665 dan juga terdapat dalam Musnad Umar Bin Khottob Juz 25/388.
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ , قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW dan berkata “Ya Rasulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya”.
Hadis Malik Ad Daar ini juga diriwayatkan oleh Al Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah 7/47 hadis no 2974 dan Al Khalili dalam kitabnya Al Irsyad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313. Keduanya dengan sanad masing-masing yang bermuara pada ‘Amasy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.
Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu hajjar Al Asqolaniy dalam fathul Bari 3/441 Bab dan juga oleh Ibnu Katsir dalam An Nihayahnya 7/106. Meskipun Syaikh al Albani mendhoifkannya dengan alasan yang dibuat-buatnya ( Suatu saat nanti dengan izin Allah penulis akan menyangkal pernyataan Al Albani dalam At Tawassul 1/120 ). Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut, tawassul dengan Nabi Muhammad baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya adalah boleh dan bukan perbuatan syirik.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yg tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt. (Lihat perkataan asy Syaukaniy yang dikutip oleh Abdurrahman Al Mubarokfury dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/476 )
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.
Imam Asy Syaukaniy dalam Kitab Faidhul Qodir 2/170 berkata :
قال السبكي ويحسن التوسل والاستعانة والتشفع بالنبي إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف ولا من الخلف حتى جاء ابن تيمية فأنكر ذلك وعدل عن الصراط المستقيم وابتدع ما لم يقله عالم قبله
“ Imam Subuki berkata,tawassul, minta tolong dan minta syafaat kepada Alloh melalui Nabi adalah baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan kholaf yang mengingkarinya, hingga datanglah Ibnu Taymiyyah yang mengingkarinya, menganggapnya berpaling dari jalan yang lurus serta membid’ahkannya padahal tidak ada seorang alim pun sebelumnya yang berkata seperti itu”.
Sebagian sahabat berusaha untuk menyangkal dibolehkannya tawassul dengan mengkritik sanad sebuah hadist tentang tawasssulnya Nabi adam Alaihissalam dengan kemuliaan Nabiyullah Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam hakim dalam Mustadroknya, hadist tersebut berbunyi :
حدثنا أبو سعيد عمرو بن محمد بن منصور العدل ثنا أبو الحسن محمد بن إسحاق بن إبراهيم الحنظلي ثنا أبو الحارث عبد الله بن مسلم الفهري ثنا إسماعيل بن مسلمة أنبأ عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده عن عمر بن الخطاب قال : قال رسول الله ( [ لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد إلا ما غفرت لي فقال الله تعالى : يا آدم كيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً (( لا إله إلا الله محمد رسول الله )) فعلمت إنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إليّ وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ) رواه الحاكم وصححه.(
Abu Said Amr bin Muhammad bin Manshur al-Adl menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali dari Abu al-Harits Abdullah bin Muslim al-Fihri dari Ismail bin Maslamah dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Wahai Adam, bagaimana kamu mengetahui Muhammad dan aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau ketika menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di penyangga-penyangga Arsy ‘Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah’. Maka aku tahu bahwa sesungguhnya Engkau tidak menyandingkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Kamu benar wahai Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling aku sukai. Jika kamu meminta kepadaku dengan haknya, maka aku mengampunimu. Jika bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakanmu.’”
Sepanjang pengetahuan penulis Abdurrahman Bin Zaid Bin Aslam adalah rawi yang dilemahkan oleh para ulama hadits dan hampir semua kitab rijal hadits menjarhnya bahkan Adz Dzahabi menganggapnya pemalsu hadist. Oleh karena itu secara kasat mata hadits ini jelas gugur sebagai hujjah karena kedhoifan rawinya, sehingga tidak perlu untuk diperbincangkan lagi. Akan tetapi kehujjahan tawassul tidak serta merta gugur dengan runtuhnya hadits di atas, sebab hadist-hadist yang telah penulis paparkan dimuka sudah sangat cukup untuk menegaskan kepada kita bahwa tawassul kepada Nabi baik ketika beliau masih hidup atau sesudah wafatnya adalah hal yang diperbolehkan.
Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyyah 1/320 mengutip hadist ini dan mengatakan bahwa Abdurrahman Bin Zaid Bin aslam ini diperbincangkan, sementara al baihaqi mendhoifkannya.
Al Alamah Muhammad Bin Alwi Al Maliki meriwayatkannya dalam Mafahim Yajiibu An Tushohah dan beliau mengikuti penshahihan al Hakim. Al Hafidz Al Qostholaniy juga menshahihkan hadist ini dalam kitab Mawahib 2/392. Penerimaan mutlak Al Maliki terhadap penshahihan al hakim maupun al Qostholaniy ini bukanlah suatu perbuatan tercela, sebab dalam ushulul hadist dijelaskan jika seorang hafidz mu’tamad menghukumi shahih suatu hadist, maka diperbolehkan untuk menerimanya secara mutlak. Hal ini pun diungkapkan oleh Syaikh Yusuf Qaradhawiy ketika menanggapi kritikan al Albani dalam Ghayatul marom.
Oleh sebab itu, kritik terhadap cara penshahihan Al Maliki tersebut sangat tidak tepat, namun mengkritisi sanad hadits riwayat Al Hakim di atas adalah terpuji. Sebab bisa jadi ada yang tampak oleh ulama’ satu akan tetapi tersembunyi dari ulama’ lainnya.
Wallohu a’lam
Oleh : AHMAD AR-RIFA’I
http://www.sarkub.com
Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Showing posts with label Kontra Wahabi. Show all posts
Showing posts with label Kontra Wahabi. Show all posts
Monday, July 6, 2015
Wednesday, January 15, 2014
Dalil Syar’i Maulid Nabi
Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid,
haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid,
bid’ahkah merayakannya?
Memaparkan legalitas syari’at perayaan Maulid Nabi menjadi sedemikian penting mengingat kini semakin banyaknya tuduhan, ”... yang ditujukan pada umat Islam yang merayakan Maulid sebagai pelaku bid’ah tercela, bahkan hingga memasukkan mereka sebagai ahli neraka yang kekal di dalam neraka selama-lamanya,” demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, penulis buku Bahas Cerdas & Kupas Tuntas – Dalil Syar’i Maulid Nabi, dalam pengantar karyanya tersebut.
Mereka, yang sesungguhnya merupakan golongan minoritas itu, tak pernah mau mendengar dalil orang lain, selalu menyikapi segala perbedaan dengan hitam-putih, benar-salah, surga-neraka, hingga dalam hal ini, mereka sampai mengeluarkan fatwa mengharamkan seluruh hidangan Maulid, bahkan disebutkan, keharamannya lebih haram dari memakan hewan babi.
Na’udzubillah, kami berlindung kepada Allah, dari pejuang nafsu yang selalu merasa benar sendiri,” tulis Ustadz Muhammad.
”Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah merayakannya?” Dua kalimat tanya ini tertulis besar di bawah judul karya Ustadz Muhammad. Memang, bagi kebanyakan orang, mungkin dua hal itu yang sering menggelayut dalam pikiran mereka, dan ketika mereka keliru dalam menyimpulkan, maka tuduhan demi tuduhan tak berdasarlah yang mereka lontarkan.
Demi memaparkan penjelasan atas masalah ini secara cerdas dan mengupasnya secara tuntas, Ustadz Muhammad membagi pembahasan di buku ini menjadi tiga pokok pembahasan.
Pertama, penjelasan makna tark, yaitu tentang perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Pembahasan ini untuk menjawab kalimat tanya pertama di atas, Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya?
Kedua, penjelasan makna bid’ah dan kaitannya dengan Maulid Nabi SAW. Pembahasan yang kedua ini ditujukan untuk menjelaskan pada pembaca terhadap kalimat tanya yang kedua, umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah merayakannya?
Bukan hanya dalam masalah Maulid, dua pembahasan di atas, seyogyanya menjadi dasar bagi setiap muslim untuk memahami setiap permasalahan syariat, agar umat tidak mudah menuding sesama saudaranya yang lain.
Pembahasan yang terakhir, yaitu pembahasan yang ketiga, Ustadz Muhammad mengurai dalil-dalil syar’i yang melatarbelakangi diselenggarakannya Maulid Nabi itu sendiri. Setelah memahami dasar-dasar yang tepat dalam menilai sebuah amaliyah, bagian yang terakhir ini secara khusus akan semakin membuka pandangan bagi insan muslim atas hujjah-hujjah syar’iyyah dalam peringatan Maulid Nabi SAW.
Sebagai pelengkap pembahasan, Ustadz Muhammad menyertakan secara utuh terjemah dari kitab Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid, karya Imam Suyuthi, yang memaparkan secara khusus perihal dasar-dasar argumentasi keagamaan di balik penyelenggaraan Maulid Nabi SAW.
Kaidah Ibn Taimiyah
Law kana khairan lasabaquna ilayh. Maknanya, kalau perkara itu baik pasti para salaf telah melakukannya. Kaidah yang dirumuskan Ibn Taimiyah ini menjadi salah satu dasar utama bagi orang-orang yang menolak amaliyah Maulid Nabi. Bahkan, orang-orang itu hendak menilai (baca: menyelesaikan) semua urusan agama ini hanya dengan kaidah tersebut.
”Sayangnya, dengan kaidah ini orang-orang bodoh itu semakin membeku. Mereka semakin sulit diajak berdiskusi, semakin menikmati fatwa-fatwa yang tidak populer, sampai akhirnya tumbuh suburlah para penyesat umat, yang berpendapat dengan tanpa mendengar dalil orang. Bahkan, kaidah yang mereka buat ini mereka tempatkan pada tempat yang lebih utama dari dalil-dalil syar’i,” tulis Ustadz Muhammad lagi menjelaskan perihal kaidah tersebut.
Padahal, apapun yang dikuatkan dengan dalil-dalil syar’i itu baik adanya, bukan bid’ah, karena Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77
Al-Hafizh Ibnu Hajar dan kalangan yang sependapat menilai, Nabi SAW mengingatkan keutamaan merayakan Maulid melalui kesimpulan umum yang diambil dari hadits tentang puasa Asyura. Hadits ini menegaskan legalitas puasa peringatan tahunan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas nikmat selamatnya Nabi Musa.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dari puasa mengingat hari kelahiran adalah sebagai wujud rasa syukur. Setiap tindakan yang bisa mewujudkan rasa syukur secara syari’at dianjurkan, karena syukur adalah sebab hukum. Dan semua ibadah dalam hal ini, yang hukumnya sama seperti puasa mengingat hari kelahiran menurut kesepakatan ulama, sepertinya sudah menjadi kesepakatan tertulis di antara mereka, atau diqiyaskan seperti itu menurut sebagian lainnya. Terkait dengan hal-hal mubah, selain ibadah yang mengungkapkan rasa senang, asal hukumnya boleh-boleh saja, tidak ada dalil yang melarang demikian.
Ibnu Taimiyah menilai, salaf tidak pernah merayakan Maulid. Andai hal itu baik tentu mereka sudah terlebih dulu melakukannya sebelum kita. Jadi, menurut mereka Maulid hukumnya adalah bid’ah.
Imam Suyuthi menanggapi, tidak ada pernyataan salaf yang mencegah dan menganjurkan perayaan Maulid, mereka bersikap abstain sementara hadits di atas adalah dalil kuat. Berdasarkan ijma’, hadits lebih dikedepankan dari sikap abstain dan tidak adanya riwayat yang termasuk dalam istilah istishhab pada masalah itu. Istishhab adalah pemberlakuan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya.
Antara Inkar dan Ijtihad
Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
Hadits di atas secara tegas menyatakan orang yang salah dalam berijtihad bukan berarti melakukan amalan bid’ah ataupun sesat karena Allah SWT tidak memberi pahala bid’ah, bahkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.
Ada beberapa kemungkinan bagi kalangan yang menyesatkan kelompok lain dalam masalah peringatan Maulid ini.
Pertama, mereka tak mengetahui kaidah di atas. Kedua, mereka pura-pura tidak tahu adanya argumentasi pihak yang berseberangan, yang disebabkan adanya faktor dan tujuan pribadi. Ketiga, mereka mengira masalah ini dan masalah-masalah serupa lainnya bukan masalah ijtihad, tapi sesuatu yang sudah jelas, sehingga dengan mudah ia menyesatkan orang lain yang berpaling atau menentang masalah ini.
Dengan alasan apapun, siapapun yang menganjurkan perayaan Maulid, tidak bisa dan tidak laik dituduh menentang ajaran-ajaran yang telah jelas. Perhatikan siapakah mereka yang dituduh seperti itu; mereka adalah para imam terpercaya, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Hafizh As-Suyuthi; lalu perhatikan siapa Anda, para pengingkar anjuran perayaan Maulid itu, yang gemar membawa pandangan sembrono sampai menyatakan bahwa para imam besar itu tidak boleh diikuti karena pendapatnya keliru.
Anda, yang tidak sependapat dengan anjuran merayakan Maulid, menganggap mereka keliru? Baik. Pertanyaannya, apakah para imam terpercaya itu keliru dengan menyalahi pengamalan agama yang nashnya jelas dan tegas, ataukah mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad?
Jika para imam tersebut keliru dengan menyalahi ajaran-ajaran agama yang sudah jelas hukumnya, berarti kesalahan tersebut adalah sikap pembangkangan. Allah SWT berfirman mengenai orang-orang yang berbuat demikian, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” – QS. Ali ‘Imran [3]: 105
Apakah ini laik bagi imam-imam seperti Ibnu Hajar dan As-Suyuthi? Jika mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad, toh Nabi SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
Dan Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah.
Ijtihad Bukan Kebenaran Absolut
Anda tidak bisa membid’ahkan dan menyatakan Ibnu Hajar sesat dan berbuat bid’ah, meski menurut Anda hal itu salah. Boleh jadi, justru Anda yang salah. Jika Anda, atau ulama panutan Anda, berpendapat bahwa perayaan Maulid itu keliru, lalu merayakannya, itu baru berarti Anda melakukan bid’ah dan Anda sesat. Sementara bagi yang tidak sependapat dengan Anda, tidak seperti itu.
Disebutkan, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berdoa, “Ya Allah aku memohon kepadamu dengan perantara Nabi-Mu, ampunilah aku.”
Ia melakukan sesuatu yang menurutnya baik, dan mendapat dua pahala jika benar, atau satu pahala jika salah. Lain halnya kalau yang berdoa itu adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Albani, atau para pengikutnya, yang berpandangan doa dengan bertawassul adalah suatu hal yang bid’ah dan sesat. Kalau mereka berdoa dengan ucapan itu, mereka menanggung dosa dan hukumannya. Hal senada berlaku dalam semua masalah ijtihad yang diperdebatkan, baik yang dianjurkan atau dilarang.
Dalam masalah-masalah ijtihad, mujtahid tidak harus puas dengan dalil-dalil pihak yang berseberangan, tapi masing-masing kubu harus puas dengan adanya kemungkinan, bahwa salah satu di antara kedua pihak adalah salah, seperti yang Rasulullah SAW sampaikan dalam sebuah wasiat yang beliau sampaikan pada seorang komandan pasukan, “Karena kau tidak tahu apakah putusanmu sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”
Hadits ini secara tegas menyatakan, seorang mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dan kalangan yang tidak sependapat pasti salah.
Maulid di Mata para Hafizh Kita, yang tinggal di Nusantara, mungkin hanya mengenal sedikit kitab Maulid. Padahal kitab Maulid karya para ulama itu jumlahnya sangat banyak, lantaran perhatian khusus mereka terhadap momentum agung tersebut. Sebagiannya disusun oleh para hafizh, orang-orang yang dalam hidupnya ”tenggelam” dalam bahtera hadits Rasulullah SAW. Di bawah ini nama sebagian di antara mereka itu.
Al-Hafizh Muhammad bin Abubakar Al-Qisi Asy-Syafi’i, lebih populer sebagai Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (777-842), seorang imam besar, ahli hadits dan sejarah dengan kekuatan hafalan yang gemilang, menulis kitab Maulid Al-Lafzhu ar-Raiq fi Maulid Khairi al-Khalaiq.
Al-Hafizh Abubakar bin Abdurrahim Al-Mashri, imam yang sangat tersohor di kalangan para imam ahli hadits, lebih dikenal dengan Al-’Iraqi (725-707), sandaran para ulama dalam masalah yang pelik dan rumit, menulis kitab Maulid Al-Maurid al-Hani fi al-Maulid as-Sani.
Al-Hafizh As-Sakhawi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiri As-Sakhawi (831-902). Imam Syaukani memujinya, “Aku tak pernah melihat seorang hafizh generasi akhir yang melebihi As-Sakhawi dalam kekuatan hafalannya.” Ia menulis kitab Maulid Nabi SAW sebagaimana yang di kutip oleh pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun.
Al-Hafizh Mula Ali Al-Qari (1014) pengarang kitab syarh Al-Misykah. Ia juga menulis kitab Maulid berjudul Al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabi.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ismail bin Umar bin Katsir, seorang mufassir tersohor, ia juga menulis kitab Maulid yang baru-baru ini dicetak dan ditahqiq oleh Dr. Shalahuddin.
Al-Hafizh Ibnu Ad-Daiba’i Wajihuddin ibnu Abdurrahman Asy-Syaibani Al-Yamani (866-944), seorang yang sangat populer di zamannya. Kitab maulidnya sangat dikenal di penjuru dunia termasuk di Indonesia, yaitu yang biasa disebut Maulid Ad-Diba’.
Dunia Islam menyematkan gelar “al-hafizh” kepada para ulama ahli hadits yang memiliki hafalan lebih dari seratus ribu hadits (pendapat lain menyebut angka tiga ratus ribu hadits) baik matan (redaksi) maupun sanad (mata rantai periwayatan)-nya. Mereka adalah para hafizh yang lebih memahami hadits dari para pengingkar Maulid.
Tidakkah kita bisa berbaik sangka sedikit pun, apalagi kepada para ulama seperti mereka? Bahkan seringkali vonis bid’ah, kafir, dan syirik terlontarkan kepada mereka, hanya dengan bermodalkan dalil kullu bid’atin dhalalah, tanpa mau mendengar pendapat para ulama yang lebih alim dan lebih wara’. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan mengikutinya.
Memahami Tark
Maksud tark yang menjadi tujuan penulisan risalah singkat ini, adalah suatu amalan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan Nabi SAW, atau ditinggalkan oleh salafush shalih, tanpa adanya hadits atau atsar yang melarang amalan yang ditinggalkan tersebut, yang menunjukkan perbuatan tersebut haram atau makruh.
Ulama kalangan mutaakhir sering menggunakan dalil tark untuk mengharamkan atau mencela berbagai hal, bahkan sebagian kalangan terlalu berlebihan menggunakan dalil ini. Ibnu Taimiyah memakai dan menjadikan ini sebagai sandaran dalam menghukumi berbagai hal, seperti yang akan dibahas berikutnya.
Ketahuilah, ketika Nabi SAW meninggalkan (tidak mengerjakan) sesuatu amalan, ada beberapa kemungkinan amalan tersebut tidak dilarang, yaitu karena beberapa sebab berikut ini:
Pertama, karena beliau tidak biasa terhadap sesuatu itu. Contohnya, suatu ketika Nabi SAW diberi biawak bakar. Beliau menjulurkan tangan. Kemudian ada yang berkata, “Itu biawak.” Maka beliau pun tak jadi memungutnya.
Kemudian ada yang bertanya, “Apakah itu haram?”
Nabi SAW menjawab, “Tidak, hanya saja hewan ini tidak terdapat di kawasan kaumku, aku pun merasa jijik.”
Hadits ini tertera dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ini menunjukkan dua hal, yaitu bahwa meninggalkan sesuatu bagi Nabi SAW, meski setelah beliau hampir melakukannya, tidaklah menunjukkan sesuatu tersebut haram, dan bahwa jijik terhadap sesuatu bukan berarti mengharamkan sesuatu itu.
Kedua, karena beliau lupa. Contohnya, Nabi SAW pernah lupa dalam shalat, meninggalkan salah satu bagian shalat kemudian beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?”
Nabi SAW menjawab, “Aku hanya manusia biasa, aku lupa seperti halnya kalian. Jika aku lupa, ingatkan.”
Ketiga, karena beliau khawatir amalan tersebut diwajibkan terhadap umat. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Tarawih saat para sahabat telah berkumpul untuk shalat bersama beliau.
Keempat, karena tidak terpikirkan dan tidak terlintas di benak beliau. Contohnya, pada mulanya Nabi SAW khutbah shalat Jum’at di atas kayu kurma. Tak terpikirkan oleh beliau untuk membuat mimbar sebagai tempat berkhutbah. Saat ada yang mengusulkan pembuatan mimbar, beliau setuju dan mengakui hal itu, karena khutbah di atas mimbar lebih mengena untuk pendengaran hadirin. Para sahabat juga mengusulkan untuk membuatkan tempat duduk dari tanah untuk Nabi SAW, agar dikenali utusan asing yang datang menemui beliau. Beliau menyetujui usulan itu, karena sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan untuk itu.
Kelima, karena sesuatu itu sudah termasuk dalam penjelasan umum ayat-ayat Al-Qur‘an atau hadits. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Dhuha dan banyak sekali amalan-amalan lain yang dianjurkan, karena sudah termasuk dalam penjelasan umum firman Allah SWT: “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77
Keenam, karena beliau khawatir sesuatu itu mengubah hati para sahabat atau sebagian sahabat. Contohnya, sabda Nabi SAW kepada Aisyah, “Andai saja kaummu tidak baru saja masuk Islam, tentu aku robohkan Ka’bah kemudian aku bangun lagi sesuai pondasi Ibrahim, karena kaum Quraisy memperkecil bangunannya.”
Hadits ini tertera dalam dua kitab hadits shahih utama, Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Secara tegas dijelaskan, Nabi SAW tidak merobohkan Ka’bah dan mengembalikannya ke posisi semula, semata dilakukan untuk menjaga hati para sahabat di Makkah yang baru masuk Islam. Tindakan ini memungkinkan adanya alasan lain yang bisa diketahui dengan cara mencermati kitab-kitab hadits.
Meninggalkan, Bukan Melarang
Larangan adalah sesuatu yang haram, yang memang harus ditinggalkan. Masalah larangan adalah satu hal, dan masalah tark adalah satu hal lainnya lagi. Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang secara tegas menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi SAW serta merta menjadi sesuatu yang haram.
Dijelaskan dalam Ar-Radd al-Muhkam al-Matîn, tentang meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang. Berikut ini penjelasannya:
“Meninggalkan suatu amalan saja tanpa disertai nash lain yang menunjukkan bahwa hal tersebut terlarang, bukanlah hujjah yang melarang sesuatu tersebut, meskipun pada akhirnya memang meninggalkan sesuatu tersebut ternyata disyari’atkan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari kasus semacam ini: Pertama, sesuatu yang ditinggalkan tersebut dilarang, namun pelarangan ini bukan karena sesuatu tersebut ditinggalkan. Kedua, ada dalil lain yang menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.
Imam Abu Sa’id bin Lubb juga menyebutkan kaidah ini. Ia menyampaikan bantahan terhadap kalangan yang memakruhkan berdoa seusai shalat, yang selalu berhujjah bahwa merutinkan hal tersebut, tidak pernah dilakukan kalangan salaf. Dengan asumsi penukilan ini benar, meninggalkan sesuatu justru menunjukkan amalan tersebut boleh dan tidak berdosa dilakukan, bukan berarti amalan tersebut haram atau makruh, terlebih bagi amalan yang secara garis besar ada landasan hukumnya dalam syari’at, seperti doa.
Nabi SAW tidak pernah puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhan. Ini juga tidak menunjukkan bahwa makruh hukumnya puasa sunnah sebulan penuh.”
Demikian teks-teks yang secara tegas menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu amalan bukan berarti amalan tersebut makruh, apalagi haram.
Sebagian kalangan yang bersikap berlebihan, mereka mengingkari kaidah ini dan tidak mengakuinya sebagai salah satu bagian dari ilmu ushul. Ini menunjukkan, pengingkaran terhadap dalil ini semata disebabkan kebodohan dan akal tidak sehat.
Adapun mengenai larangan dalam syari’at, berikut kami jelaskan dalil-dalil larangan:
Pertama; yang menunjukkan pengharaman ada tiga. Satu, larangan. Contoh, “Jangan mendekati zina, jangan memakan harta di antara sesamamu dengan cara bathil.” Dua, pengharaman. Contoh, “Diharamkan bagimu bangkai,” dan seterusnya. Tiga, celaan atau ancaman siksa atas suatu perbuatan. Contoh, “Barangsiapa menipu, ia bukan golongan kami.”
Dan meninggalkan suatu amalan tidak termasuk dalam tiga kategori ini. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.
Kedua; Allah SWT berfirman, “Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” – QS. Al-Hasyr [59]: 7
Allah SWT tidak menyatakan, “Apa yang ia tinggalkan, tinggalkanlah.” Dengan demikian, meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.
Ketiga; Nabi SAW bersabda, “Apa yang aku perintahkan, kerjakan semampumu, dan apa yang aku larang, jauhilah.”
Nabi SAW (saja) tidak menyatakan, “Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.” Lalu bagaimana bisa sampai ada yang mengatakan bahwa meninggalkan sesuatu sebagai larangan atas sesuatu tersebut?
Keempat; para pakar ushul mendefinisikan, sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW. Mereka tidak mendefinisikan, sunnah adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW, karena meninggalkan sesuatu bukanlah dalil.
Kelima; seperti disebutkan sebelumnya, hukum adalah khithab Allah SWT. Para pakar ushul menyebutkan, hukum berdasarkan Al-Qur‘an, sunnah, ijma’, atau qiyas. Dan meninggalkan sesuatu amalan bukan bagian dari dasar-dasar hukum tersebut, dengan begitu ia bukan suatu dalil.
Keenam; seperti disebutkan sebelumnya, meninggalkan sesuatu memiliki beberapa kemungkinan selain larangan, dan kaidah ushul menyebutkan: jika terdapat kemungkinan dalam suatu dalil, dalil tersebut tidak bisa dijadikan pijakan. Juga sudah disampaikan sebelumnya, tidak ada nash yang menunjukkan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu sebagai dalil bahwa sesuatu tersebut haram. Hujjah ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa dalil tark tidak bisa dijadikan pijakan.
Ketujuh; meninggalkan sesuatu adalah hukum asal, karena meninggalkan sesuatu berarti tidak adanya perbuatan. Tidak adanya sesuatu adalah hukum asal, sementara mengerjakan suatu amalan adalah sesuatu yang terjadi tanpa diduga. Hukum asal sama sekali tidak menunjukkan apapun, tidak secara bahasa ataupun menurut syari’at. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.
Pengertian Bid’ah
Definisi bid’ah pertama kali dijelaskan oleh Imam Syafi’i berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469).
Disebutkan, bahwa semua hal baru itu ada dua macam: Pertama; sesuatu yang dibuat-buat dan berseberangan dengan Al-Qur‘an, sunnah, atsar, atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua; kebaikan yang diciptakan dan belum ada sebelumnya serta tidak diperdebatkan. Inilah bid’ah yang tidak tercela.
Umar bin Khaththab RA berkata tentang qiyam Ramadhan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini; maksudnya shalat Tarawih bersifat baru, dan tidak ada sebelumnya, karena seperti itu berarti tidak menyalahi (dalil-dalil yang ada).”
Kemudian Asy-Syafi’i menjelaskan maksud “bid’ah” dalam perkataan Umar bin Khaththab di atas.
Apa pengertian bid’ah? Yaitu sesuatu yang diciptakan dan belum ada sebelumnya. Ini makna umum bid’ah mencakup apa saja yang tidak ada di masa Nabi SAW, dan baru ada setelah masa beliau, baik ada dalilnya ataupun tidak. Inilah makna etimologi bid’ah yang paling tepat. Untuk itu bid’ah harus dibagi menjadi dua bagian:
Pertama; sesuatu yang diciptakan dan menyalahi Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat karena berseberangan dengan dalil-dalil syar’i.
Kedua; kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun. Inilah bid’ah yang tidak tercela, karena menurut syari’at baik adanya. Karena menurut syari’at baik, berarti bid’ah tersebut juga baik, lantaran tidak menyalahi dalil-dalil yang ada.
Selanjutnya Asy-Syafi’i menjelaskan alasan kenapa Umar bin Khaththab RA memuji dan menganjurkan amal tersebut (qiyam Ramadhan secara berjama’ah), meski ia sebut sebagai bid’ah, alasannya adalah karena tidak berseberangan dengan Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’.
Imam Syafi’i RA menyatakan, “Kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun adalah bid’ah yang tidak tercela.” Pernyataan Asy-Syafi’i ini juga bersandar pada perkataan Umar RA, serta persetujuan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Zaid bin Tsabit RA bahwa pengumpulan Al-Qur‘an dalam satu kitab dianjurkan meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, karena hal tersebut baik adanya.
Umar bin Khaththab berkata, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, “Menurutku, engkau harus mengumpulkan Al-Qur`an (dalam satu kitab).’
Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW?”
Umar berkata, “Demi Allah itu baik.”
Abu Bakar berkata, “Umar terus mempertimbangkan hal itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku.” (HR Al-Bukhari nomor 4402)
Pada mulanya Abu Bakar berdalih mengumpulkan Al-Qur‘an dalam satu kitab tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, sementara Umar bin Khaththab berdalih meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW tapi langkah tersebut baik, dan karena baik berarti dianjurkan. Abu Bakar selanjutnya mengulang jawaban Umar saat Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah itu baik.”
Jawaban dari kedua khalifah Rasulullah SAW tersebut adalah tanggapan bagi siapapun, yang saat ini mengingkari berbagai kebaikan yang dibuat, dan tidak ada sebelumnya, dengan dalih tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebab menurut nash kitabullah, kebaikan itu diperintahkan untuk dilakukan, dan diberi janji keberuntungan. Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” – QS Al-Hajj: 77
Kita diperintahkan untuk menyeru pada kebaikan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” – QS. Ali ‘Imran [3] 104
Karenanya, menurut penjelasan Asy-Syafi’i, bid’ah yang tidak tercela adalah setiap kebaikan yang tidak menyalahi dalil-dalil syar’i.
Gebyah Uyah Masalah Bid’ah
Pendapat yang menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah dan ada yang dhalalah sesungguhnya tidak berseberangan dengan pendapat yang menyatakan tidak ada bid’ah hasanah dalam syari’at. Sebab, yang dimaksud hadits tersebut dalam pandangan mereka, bahwa amal yang menyalahi dalil-dalil syar’i tidak bisa dianggap baik. Demikian yang dinyatakan secara tegas oleh Ibnu Taimiyah.
Pernyataan Ibnu Taimiyah dinukil di sini bukan untuk lebih mengedepankan pendapatnya atas pendapat lainnya, tapi untuk menjelaskan bahwa kalangan yang tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah, misalnya dalam hal peringatan Maulid, bukanlah ahli bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah yang ia sebutkan sendiri dalam Al-Fatawa (10/370), bahwa menjaga keumuman sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” hukumnya wajib, sementara suatu amalan yang disebut bid’ah dan terbukti baik berdasarkan dalil-dalil syar’i, berarti ada dua kemungkinan pasti:
Kemungkinan pertama, amalan tersebut bukan bid’ah dalam agama, meski dari sisi bahasa disebut bid’ah, seperti perkataan Umar bin Khaththab RA, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Kemungkinan kedua, bersifat pernyataan umum, namun dikhususkan karena adanya pengecualian yang kuat, seperti yang berlaku pada masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum, sama seperti kata-kata umum lain yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas (pada kemungkinan kedua) secara tegas menyatakan, adanya pengecualian yang lebih kuat memunculkan adanya kekhususan dari perkataan umum dalam sabda Nabi SAW, “Setiap bid’ah itu sesat,” dan menjadikan contoh kasus yang dikecualikan menjadi tidak sesat, karena tidak termasuk dalam keumuman kata-kata tersebut.
Yang dimaksud “menjaga keumuman” dalam hal ini adalah seperti yang ditegaskan Ibnu Taimiyah sendiri (pada kemungkinan kedua tersebut), “Seperti yang berlaku bagi masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum.” Maksudnya, selain masalah-masalah yang dikhususkan oleh dalil yang lebih kuat dari pernyataan umum tersebut. Dengan kata lain, hadits tersebut bersifat khusus (yaitu pada bid’ah yang termasuk dhalalah).
Karena itu Ibnu Taimiyah sendiri menyatakan (27/152), kalangan yang menjadikan hadits tersebut tetap bersifat umum, dan kalangan lain yang mengkhususkannya, bermuara pada satu kesimpulan yang sama, seperti yang ia sebutkan dalam Al-Fatawa; bid’ah hasanah – bagi yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi‘ah – pasti dianjurkan oleh seorang ahlul ilmi yang menjadi panutan, di samping ada dalil yang menganjurkan.
Seperti itu juga kalangan yang menyatakan bid’ah semuanya tercela. Bid’ah menurut kalangan ini adalah sesuatu yang tidak ada dalil syar’inya. Karena itu kedua pendapat tersebut (yang mengklasifikasi bid’ah maupun yang menggeneralisir bid’ah), bermuara pada satu titik yang sama. Pendapat pertama, mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang dibuat-buat sepeninggal Nabi SAW. Dengan demikian bid’ah menurut pendapat pertama ini, harus dibagi menjadi bid’ah yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan dalil. Sementara pendapat kedua, menilai bid’ah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil. Bid’ah menurut pendapat kedua, tidak terbagi menjadi dua, tapi hanya satu, yang tak lain adalah bid’ah jenis kedua (bid’ah dhalalah) menurut pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyah sendiri, dapat disimpulkan bahwa kalangan yang menilai bid’ah sebagai “sesuatu yang dibuat sepeninggal Rasulullah SAW, dan masa salaf tanpa klasifikasi atau batasan apapun” berarti berseberangan dengan kedua pendapat di atas sekaligus.
Dalil syar’i yang menguatkan baiknya suatu amalan, yang secara bahasa disebut bid’ah atau mengkhususkan kata-kata umum sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” bisa jadi berupa nash dan bisa jadi melalui istinbath, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (1/587), bahwa suatu hal yang terbukti baik, bukanlah suatu bid’ah. Di bagian lain ia menyatakan, suatu hal yang terbukti baik berarti mengkhususkan pernyataan umum (dalam hadits tersebut). Yang mengkhususkan adalah dalil-dalil syar’i yang bersumber dari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ baik dalam bentuk nash ataupun melalui istinbath.
Sikap Semena-mena
Kekeliruan dalam ijtihad bukanlah bid’ah, karena perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi dalam ijtihad, tidak membuat salah satu dari dua kubu sebagai ahli bid’ah, bahkan bagi yang salah sekalipun, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Namun ketika ia memutuskan sesuatu lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”
Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah, bahkan bid’ah membuat pelakunya sesat dan berada di neraka, “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”
Disebutkan dalam Musawwadah Alu Taimiyah, diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, “Kebenaran di sisi Allah SWT hanya satu, ahli ijtihad harus berijtihad, namun tidak boleh berkata kepada pihak yang tidak sependapat, ‘Kamu salah’.”
Disebutkan dalam Hilyat al-Awliya‘, diriwayatkan dari Imam Malik, “Khalifah Ar-Rasyid mengusulkan padaku untuk menggantung kitab Al-Muwaththa‘ di Ka’bah, dan menginstruksikan agar diterapkan oleh semua kaum muslimin. Lalu aku mengatakan, ‘Jangan, karena para sahabat Rasulullah SAW sendiri berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’, mereka juga sudah berpencar di berbagai daerah, masing-masing (dari mereka) benar’.”
Rasulullah SAW menjelaskan, mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dalam mengetahui maksud Allah SWT. Rasulullah SAW menyampaikan wasiat kepada salah seorang komandan pasukan, “Jika kau mengepung penduduk suatu benteng, lalu mereka ingin agar kamu menghukumi mereka berdasarkan hukum Allah, jangan hukumi mereka (dengan mengatasnamakan) berdasarkan hukum Allah, tapi hukumi mereka berdasarkan hukummu (dengan menggali hukum Allah yang kamu ketahui), karena kau tidak tahu apakah putusanmu terhadap mereka sesuai hukum Allah ataukah tidak.” (HR Muslim nomor 1731). Orang yang tidak bisa memastikan dirinya benar, bagaimana bisa memastikan orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya itu salah?
Disebutkan dalam risalah Imam Syafi’i (Ar-Risalah, hal: 497), saat membahas hadits ijtihad di atas, Imam Syafi’i ditanya, “Apa makna benar dan salah?”
Aku (Asy-Syafi’i) menjawab, “Sama seperti makna menghadap kiblat. Arah kiblat dicari-cari oleh orang yang berada jauh dari Ka’bah. Mengarah ke kiblat itu sendiri, bagi yang berada jauh dari Ka’bah, ada yang benar dan ada juga yang salah.”
Si penanya berkata, “Menurutmu bagaimana, apakah ijtihad bisa dikatakan benar dengan selain pengertian tersebut?”
Asy-Syafi’i menjawab, “Ya, hanya saja ijtihad berlaku untuk masalah-masalah yang dalilnya tidak diketahui. Ketika yang bersangkutan mengamalkannya (berdasarkan ijtihad dengan segala persyaratannya), artinya ia benar dalam hal mengamalkan sesuatu yang dibebankan. Secara lahir ia benar, dan yang mengetahui sisi batin hanya Allah semata.”
Karena itu Ibnu Taimiyah menyatakan, masalah-masalah yang diperdebatkan oleh salaf dan para imam tersebut, masing-masing mengakui ijtihad kalangan lain. Untuk itu bagi kalangan yang mengikuti pendapat Asy-Syafi’i, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Malik, bagi yang mengikuti pendapat Ahmad, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Syafi’i, dan seterusnya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/292)
Dengan demikian, siapapun yang menyalahkan kalangan yang tidak sependapat – meski berpedoman pada dalil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian imam – berarti menyalahi metode tersebut, di samping berlaku semena-mena terhadap kalangan yang tidak sependapat.
Wujud Rasa Syukur Berkumpul bersama dalam Maulid untuk bersyukur kepada Allah SWT, atas petunjuk pada salah satu sunnah Rasulullah SAW yang diamalkan dan dipuji oleh para sahabat, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim dari Mu’awiyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW datang menghampiri para sahabat yang tengah berkumpul, beliau bertanya, “Untuk apa kalian duduk berkumpul?”
Para sahabat menjawab, “Untuk mengingat dan memuji Allah, karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam, dan menganugerahkan Islam kepada kami.”
Rasulullah SAW bertanya, “Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”
Para sahabat menjawab, “Demi, Allah hanya itu alasan kami duduk berkumpul.”
Rasulullah SAW melanjutkan, “Aku meminta kalian bersumpah bukannya aku meragukan kalian, Jibril baru saja datang menghampiriku, dan memberitahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat’.”
Berkumpul untuk memuji Allah SWT atas nikmat dan karunia Islam yang diberikan adalah sunnah, termasuk berkumpul untuk bersyukur kepada Allah SWT, karena nikmat kelahiran junjungan kita Muhammad SAW, karena beliau menyeru kita menuju Islam. Inilah wujud nyata kitab Allah SWT seperti yang disampaikan Aisyah kepada orang yang menanyakan seperti apa akhlak Rasulullah SAW, “Bukankah kau membaca Al-Qur`an?”
Si penanya menjawab, “Ya, betul.”
Aisyah berkata, “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim, hadits nomor 746)
Di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah ibadah sebagai wujud rasa syukur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya: tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan syair-syair pujian untuk Nabi SAW, dan syair-syair tentang zuhud.
Adab Memperingati Maulid
Memperingati hari lahir manusia termulia yang dimuliakan oleh yang Mahamulia, adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi SAW. Syiar kecintaan ini menjadikan orang yang lalai dapat mengingat, mengenang, serta meneladani kembali akhlak beliau.
Majelis Maulid juga ajang umat Islam dalam mengekspresikan kegembiraan dan rasa suka cita atas anugerah besar yang Allah limpahkan kepada mereka.
Allah SWT berfirman, “Isa putera Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan Kami turunkanlah kiranya kepada Kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi Kami, yaitu orang-orang yang bersama Kami dan yang datang sesudah Kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah Kami, dan Engkaulah Pemberi rezki yang paling Utama’.” – QS Al-Maidah: 114
Sudah barang tentu rasa gembira dan suka cita atas datangnya manusia mulia, juru selamat dunia akhirat pada seluruh umat, lebih layak untuk dirayakan dari pada sekadar turunnya hidangan dari langit. Manusia manapun tahu Rasulullah SAW lebih mulia dari semua ciptaan Allah SWT.
Namun perlu diingat, agar peringatan peringatan itu tetap tidak keluar dari bimbingan para ulama, sehingga kita semua beroleh hasil maksimal dan peneladanan yang benar, serta jauh dari segala kemunkaran, juga untuk menutup celah komentar orang yang anti perayaan Maulid. Janganlah niat baik kita terkontaminasi oleh ketidaktahuan cara pengungkapan rasa cinta dan suka cita itu sendiri.
Di antara beberapa hal yang harus kita perhatikan, kita jauhi, dan jangan sampai terulang lagi pada tahun-tahun yang akan datang, adalah:
Pertama, ikhthilath, yaitu perbauran laki laki dan wanita dalam satu majelis, apalagi wanita melantunkan Al-Qur’an, atau membaca saritilawah di tengah kerumunan laki-laki, itu semua dilarang oleh agama.
Kedua, menjauhkan majelis yang mulia ini dari penceramah yang membawakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), karena itu akan menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menyerang kita, dan yang terpenting itu dilarang oleh sang Shahibul Maulid, dengan sabdanya, “Barang siapa berbohong atasku (memalsukan hadits-ku), persiapkanlah tempatnya di neraka.” Sesungguhnya kita pun tidak butuh dengan hadits-hadits itu, sekedar untuk memperkuat hujjah dan dalil penguat tentang Maulid, karena banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait legalitas perayaan Maulid.
Ketiga, larut dalam tawa yang tidak terkontrol, dengan bahasa yang tidak layak diungkapkan pada majelis Nabi SAW tercinta dan termulia, karena beliau juga melarang hal-hal tersebut.
Keempat, hendaknya pembicaraan kita tidak keluar dari mahabbah pada Nabi Muhammad SAW, rahmat, peneladanan dan segala yang terkait pada kesempurnaan akhlaq beliau, serta penjelasan pada orang awam tentang dalil peringatan Maulid, agar mereka memahami dengan jelas apa yang mereka lakukan. Inilah yang dilakukan para ulama di berbagai belahan dunia seperti di Makkah, Madinah, Maroko, Yaman, dan lainnya. Semoga Allah memberikan berkah pada kita lantaran mereka.
Kelima, menjauhkan acara ini dari kepentingan-kepentingan sesaat, pribadi maupun golongan, yang bertujuan menggalang massa, membeli dan membodohi ulama yang mempunyai banyak pengikut dengan harga yang murah, dalam artian berapa pun uang itu sangatlah kecil dibandingkan kesucian acara itu sendiri, toh akhirnya mereka pun tak mau menerima syariat yang dibawa oleh Nabi SAW.
Keenam, jangan pernah memberi tempat untuk para pembicara yang tidak sopan, baik dalam tutur bahasa atau penampilan, apalagi membahas hal-hal cabul dan mesum dalam majelis yang berkah itu, apapun alasan mereka sungguh ini melukai hati Rasulullah SAW.
Renungan Maulid
Menyambut bulan Maulid tahun ini, buku karya Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq ini diterbitkan. Penulisnya menyuguhkan isinya dengan metode pembahasan yang sedemikian rupa, dengan harapan pembaca dapat memahami perihal perayaan Maulid ini secara utuh. Di bagian belakang sampul buku tersebut, penulis juga menyertakan sinopsis yang cukup menggugah pembacanya. Sinopsis itu bak rekaman sejarah Maulid dari zaman ke zaman yang kemudian diperas hingga menjadi satu halaman. Meski terkesan padat untuk ukuran sebuah sinopsis buku, namun kalimat demi kalimat yang dituturkan terasa sangat mengena. Mengingat sedemikian dalamnya pesan yang ingin disampaikan dalam sinopsis buku yang tertera dalam sampul belakang buku itu, berikut ini kami tuangkan secara utuh isinya. Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam seketika. Pilar-pilar kokoh istana kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan banyak lagi. Walhasil, alam bergemuruh, menyambut kelahiran Nabi SAW sedemikian rupa.
Puluhan tahun kemudian, ada sahabat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin. “Itulah hari kelahiranku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara beliau memperingati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bahkan di setiap pekan.
Waktu berputar. Sumber-sumber sejarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan Maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya Ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H). Kala itu, kisah hidup Nabi diperdengarkan, keluhuran akhlaq beliau disebut-sebut, shalawat bergema silih-berganti, hadirin dijamu layaknya tamu yang mesti dihormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran sang rahmatan lil ’alamin. Di hati pecinta, sungguh ini kenikmatan tiada tara.
Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpulkan orang dalam sebuah majelis Maulid nyatanya disambut baik oleh ulama, para pewaris anbiya’, seperti halnya shalat Tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khaththab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat.
Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah menjelaskan pada umat hujjah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk memahami hadits-hadits shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Qur’an Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan sekitar 500 karya berbobot lainnya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid.
Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tauhidnya, dan benar mutlak pendapatnya menghukumi Maulid dengan tergesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amalan bid’ah, tradisi paham yang sesat, menyerupai kebiasaan orang kafir, dalil-dalilnya dipaksakan, jamuan yang dihidangkan haram, memuji-muji Nabi di dalamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku ”bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, ”Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Taimiyah, ”Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu mengamalkannya.”
Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal, dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umatnya, hingga menempatkan kaum muslimin sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadits Nabi SAW atau para pembangkang atas syariat yang beliau gariskan?
Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana Persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan dalam mengikutinya.
Sumber : Majalah Al Kisah
Labels:
Kontra Wahabi,
Mawlid
Monday, September 9, 2013
Abuya K.H. Saifuddin Amsir : Di Balik Senandung Maulid
Yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna.
Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid dengan suara-suara nan syahdu dan senandung yang acap menggetarkan hati.
Ada apa di balik senandung kitab-kitab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senandung Maulid tersebut?
Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang disampaikannya kepada para pembaca setia alKisah.
Makna sebagai Tujuan
Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensinya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak disenandungkan? Jadi, yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna, agar penyampaiannya diharapkan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki semacam dorongan yang lebih dari bacaan yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya karena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Ini bukan cerita yang tidak pernah terjadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di kalangan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehilangan kesadaran, tenggelam dalam makna-makna kalimat yang tengah disenandungkan.
Saya juga pernah melihat pemandangan serupa saat di Suriah, ketika dalam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke tengah-tengah dan berputar. Apa yang dilakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terkadang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan semacam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ketidaksadaran orang tersebut. Jadi, mereka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.
Disemarakkan oleh Muhadditsin
Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, berita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang dianggap oleh sebagian ahli hadits lebih banyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk dalam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).
Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari sekadar gambaran berita-berita itu sendiri. Gambaran-gambaran itu pun belum tentu mustahil. Sebagian berita itu mungkin diceritakan dengan sanad yang dipertanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.
Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa terhadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah karena merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Muhammad. Sayalah yang menjadi bidannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bintang yang datang mendekat.” Ini kan gambaran yang sangat spektakuler hingga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.
Sekarang kita melihat, misalnya di Sunda Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, banyak yang seperti ini, yaitu ketika seseorang pun tak kuasa menolak berita-berita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.
Tapi kemudian, memang harus diseimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.
Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Bantani sampai memerlukan diri untuk menuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri notabene seorang muhaddits.
Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bahkan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.
Tampak dalam karyanya itu ia seorang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menunjukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.
Tapi, tak urung, di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits yang menjadi pertanyaan dan terus disorot oleh sebagian pihak. Itu sebabnya tadi saya katakan, tokoh semacam Syaikh Ali Jabir, yang karena lahir dan besar di Arab Saudi, sebagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang menolak berita-berita yang dianggap berlebihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud.
Kasus Al-Albani
Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja sementara orang mengkritisinya, tapi selayaknya hanya sampai pada batas melemahkan. Kalau sampai pada batas meniadakan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?
Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya terhadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu tersebut mereka sebutkan lemah periwayatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.
Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, kemajuan itu tidak mendudukkan arti kemajuan itu pada posisinya yang benar. Orang selalu dituntut secara aqidah formal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diberlakukan dalam konteks hukum atau aqidah, bukan pada riwayat semacam ini. Karena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.
Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang seseorang wajib mempercayainya, atau seseorang yang tidak mempercayainya telah kufur. Tidak demikian ulama memandangnya. Jadi memang tidak perlu dituntut sejauh itu, misalnya tentang sanadnya, keshahihannya, dan sebagainya.
Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani mengoreksi hadits Al-Bukhari sebagai sesuatu yang menurutnya boleh jadi menanggung ketidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan diklaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab dalam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagaikan samudera yang tak bertepi.
Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini lemah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sangat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber darinya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ribuan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkonsistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk berdebat secara terbuka dalam ilmu hadits, sesuatu yang semua orang tahu bahwa Al-Albani tidak pernah mau melayaninya.
Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah profesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mungkin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits terhadap sikap over Al-Albani saat mengkritisi hadits, dengan kesiapan perangkat keilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.
Kekuasaan Allah Semata
Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar istilah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sendiri sebenarnya baru pernah mendengar istilah itu. Kemudian orang-orang semacam ini tampak lebih muncul di permukaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk mendalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepemimpinan Bapak Saiful Hamid, saya melihat orang-orang yang rata-rata sebelumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan membaca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-makna yang tertulis dalam buku itu, mereka menjadi kehilangan rasa untuk mempersoalkan ihwal haditsnya, karena hati mereka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.
Kalau dikatakan Nabi lahir dalam keadaan bersujud, kenapa ini jadi pertanyaan besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat keluarnya air seni), sekarang pun itu bukan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuktikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?
Ternyata, untuk dunia medis zaman sekarang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di dalam ginjal hanya dengan cahaya sinar tertentu yang disorot dari luar tubuh seseorang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak tertentu, yang semuanya itu diatur oleh tangan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?
Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus diperhatikan bahwa ini tidak tepat untuk dianggap sebagai tema-tema kebohongan dalam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi kamuflase atau pemalsuan yang berdampak bahwa suatu ketika Islam bisa menjadi kehilangan identitasnya, karena meminggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.
Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin karena semakin banyak tekanan yang datang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang memandang dengan penuh ketidaksukaan terhadap perhelatan-perhelatan Maulid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin menyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY
Sumber : Majalah Al Kisah
Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid dengan suara-suara nan syahdu dan senandung yang acap menggetarkan hati.
Ada apa di balik senandung kitab-kitab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senandung Maulid tersebut?
Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang disampaikannya kepada para pembaca setia alKisah.
Makna sebagai Tujuan
Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensinya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak disenandungkan? Jadi, yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna, agar penyampaiannya diharapkan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki semacam dorongan yang lebih dari bacaan yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya karena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Ini bukan cerita yang tidak pernah terjadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di kalangan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehilangan kesadaran, tenggelam dalam makna-makna kalimat yang tengah disenandungkan.
Saya juga pernah melihat pemandangan serupa saat di Suriah, ketika dalam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke tengah-tengah dan berputar. Apa yang dilakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terkadang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan semacam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ketidaksadaran orang tersebut. Jadi, mereka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.
Disemarakkan oleh Muhadditsin
Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, berita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang dianggap oleh sebagian ahli hadits lebih banyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk dalam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).
Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari sekadar gambaran berita-berita itu sendiri. Gambaran-gambaran itu pun belum tentu mustahil. Sebagian berita itu mungkin diceritakan dengan sanad yang dipertanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.
Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa terhadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah karena merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Muhammad. Sayalah yang menjadi bidannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bintang yang datang mendekat.” Ini kan gambaran yang sangat spektakuler hingga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.
Sekarang kita melihat, misalnya di Sunda Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, banyak yang seperti ini, yaitu ketika seseorang pun tak kuasa menolak berita-berita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.
Tapi kemudian, memang harus diseimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.
Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Bantani sampai memerlukan diri untuk menuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri notabene seorang muhaddits.
Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bahkan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.
Tampak dalam karyanya itu ia seorang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menunjukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.
Tapi, tak urung, di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits yang menjadi pertanyaan dan terus disorot oleh sebagian pihak. Itu sebabnya tadi saya katakan, tokoh semacam Syaikh Ali Jabir, yang karena lahir dan besar di Arab Saudi, sebagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang menolak berita-berita yang dianggap berlebihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud.
Kasus Al-Albani
Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja sementara orang mengkritisinya, tapi selayaknya hanya sampai pada batas melemahkan. Kalau sampai pada batas meniadakan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?
Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya terhadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu tersebut mereka sebutkan lemah periwayatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.
Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, kemajuan itu tidak mendudukkan arti kemajuan itu pada posisinya yang benar. Orang selalu dituntut secara aqidah formal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diberlakukan dalam konteks hukum atau aqidah, bukan pada riwayat semacam ini. Karena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.
Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang seseorang wajib mempercayainya, atau seseorang yang tidak mempercayainya telah kufur. Tidak demikian ulama memandangnya. Jadi memang tidak perlu dituntut sejauh itu, misalnya tentang sanadnya, keshahihannya, dan sebagainya.
Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani mengoreksi hadits Al-Bukhari sebagai sesuatu yang menurutnya boleh jadi menanggung ketidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan diklaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab dalam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagaikan samudera yang tak bertepi.
Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini lemah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sangat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber darinya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ribuan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkonsistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk berdebat secara terbuka dalam ilmu hadits, sesuatu yang semua orang tahu bahwa Al-Albani tidak pernah mau melayaninya.
Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah profesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mungkin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits terhadap sikap over Al-Albani saat mengkritisi hadits, dengan kesiapan perangkat keilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.
Kekuasaan Allah Semata
Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar istilah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sendiri sebenarnya baru pernah mendengar istilah itu. Kemudian orang-orang semacam ini tampak lebih muncul di permukaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk mendalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepemimpinan Bapak Saiful Hamid, saya melihat orang-orang yang rata-rata sebelumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan membaca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-makna yang tertulis dalam buku itu, mereka menjadi kehilangan rasa untuk mempersoalkan ihwal haditsnya, karena hati mereka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.
Kalau dikatakan Nabi lahir dalam keadaan bersujud, kenapa ini jadi pertanyaan besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat keluarnya air seni), sekarang pun itu bukan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuktikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?
Ternyata, untuk dunia medis zaman sekarang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di dalam ginjal hanya dengan cahaya sinar tertentu yang disorot dari luar tubuh seseorang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak tertentu, yang semuanya itu diatur oleh tangan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?
Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus diperhatikan bahwa ini tidak tepat untuk dianggap sebagai tema-tema kebohongan dalam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi kamuflase atau pemalsuan yang berdampak bahwa suatu ketika Islam bisa menjadi kehilangan identitasnya, karena meminggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.
Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin karena semakin banyak tekanan yang datang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang memandang dengan penuh ketidaksukaan terhadap perhelatan-perhelatan Maulid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin menyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY
Sumber : Majalah Al Kisah
Labels:
Kontra Wahabi,
Mawlid
Saturday, July 13, 2013
Pandangan Ulama Seputar Hadits “Semua Bid'ah Adalah Sesat"
Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama 'Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).
Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)
'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:
Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:
Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".
Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)
'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:
Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:
Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".
Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu 'anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush'. 'Am Makhshush' artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualiaan. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir 'Alaihissalam menjelaskan kepada Nabi Musa 'Alaihissalam alasan mengapa beliau merusak kapal. Allah Ta'ala mewahyukan:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)
Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.
Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)
"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:
Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.
Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(
Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)
Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.
Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)
"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:
Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.
Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(
Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus
Labels:
Kontra Wahabi
Friday, July 12, 2013
Mengkritisi Mazhab Panggilan Hati: Dialog Al Bouti vs Al-Bani
Assalamualaikum..
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.
Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:
Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?
Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !
Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Al-Bani: Ya benar !
Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)
Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?
Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !
Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .
Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?
Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,
(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).
Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).
Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah.
Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.
Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.
Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?
Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.
(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).
Talak Tiga: Contoh Kasus
Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?
Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.
Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).
Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.
Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?
Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?
Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.
Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.
Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?
Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?
Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.
Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?
Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.
Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?
Al-Bani: Ya, cukup.
Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?
Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?
Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?
(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.
Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.
Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).
Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?
Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?
Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.
(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).
Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.
Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.
Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum?
Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.
Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.
Dokter don Brosur: Analog! Lainnya
Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?
Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan. (Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)
Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.
Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain.
Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?
Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,
Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?
Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa.
Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.
(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).
Sumber: Majalah Alkisah
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.
Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:
Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?
Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !
Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Al-Bani: Ya benar !
Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)
Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?
Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !
Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .
Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?
Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,
(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).
Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).
Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah.
Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.
Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.
Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?
Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.
(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).
Talak Tiga: Contoh Kasus
Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?
Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.
Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).
Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.
Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?
Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?
Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.
Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.
Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?
Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?
Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.
Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?
Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.
Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?
Al-Bani: Ya, cukup.
Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?
Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?
Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?
(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.
Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.
Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).
Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?
Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?
Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.
(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).
Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.
Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.
Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum?
Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.
Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.
Dokter don Brosur: Analog! Lainnya
Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?
Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan. (Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)
Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.
Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain.
Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?
Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,
Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?
Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa.
Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.
(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).
Sumber: Majalah Alkisah
Labels:
Kontra Wahabi
Subscribe to:
Posts (Atom)