Saturday, December 15, 2012

Hb. Lutfi:Ahli Kubur Bisa Mendengar Doa

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pada tanggal 12 Juni 2005 saya diajak ke makam Syeikh Subakir di Gunung Tidar, Magelang, oleh guru saya, K.H. Syekh Abdul Jalail bin Thoyyib Assa'id (Gus Jalil), Kudus. Beliau membaca berbagai bacaan yang selalu diikuti jemaah. Antara lain, Salamullah ya sadah dan seterusnya, Al-Fatihah, Yasin, Al-Wáqi'ah, Asma al-Husna, tahlil, kemudian ditutup dengan bacaan Maulid, dengan Asyraqal kaunubtihajah dan seterusnya. Adakah dasar-dasarnya amalan tersebut? Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

K.A. Rifai


Jawaban:

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Doa para alim ulama dalam ziarah kubur pasti ada dasar-dasarnya. Ketakutan seorang ulama itu kepada Allah (Swt) sangat tinggi. Jadi mereka tidak mau berbuat sesuatu yang mengada-ada, yang tidak ada dasarnya, yang mengundang pertanggungjawaban di hari Kemudian.

Contoh, mengambil sepotong ayat, "Dan Tuhanmu berfirman,
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS Al-Mukmin: 60).

Lalu bab perintah ziarah kubur dalam Hadist, "Dahulu aku melarang kamu ziarah kubur, sekarang berziarahlah." Namun banyak orang yang memotong Hadist ini, dan tidak dilanjutkan, jadi bunyinya hanya, "Aku telah melarang kamu berziarah kubur." Kalau tidak dilanjutkan, akan mengundang pertanyaan. Karena, dalam uslub (tata bahasa) dalam kalimat yang didahului dengan kata kerja madhi' (past tense, kata kerja lampau), kalau kata kerja lampau itu diucapkan, selalu mengundang pertanyaan: Lalu sekarang bagaimana?

"Dulu aku melarang kamu berziarah kubur", mestinya orang bertanya, sekarang bagaimana. Di sini, Hadist itu dilanjutkan oleh Rasulullah, "sekarang berziarahlah."

Tujuan orang berziarah, pertama, mengingatkan kembali kepada kita bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah. Kedua, mengingatkan kita, apa yang harus kita bawa (bekal) ketika keluar dari dunia yang fana ini. Ketiga, dzikr al-maut bertujuan untuk membangkitkan amal saleh, bukan untuk memupuk rasa takut mati, tapi takut kalau mati dalam keadaan yang buruk.

Berziarah kubur akan mendorong kita mengubah sikap serta amal yang tidak baik. Adapun doa-doa ziarah kubur, karena ada perintah dari Allah "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan", sangat luas. Kita bisa minta kepada Allah dengan perantaraan bacaan surah Al-Fatihah. Atau dengan lantaran bacaan Al-Qur'an yang lain. Dan pahala bacaan Al-Qur'an itu kita hadiahkan kepada para ulama yang kita cintai. Siapakah yang mengatakan doa seperti ini tidak sampai kepada Allah (Swt)? Kita tidak bisa mengklaim suatu doa itu sampai atau tidak kepada Allah, yang bisa mengetahui hanya Allah. Apalagi tentang mendoakan orang lain, shalat lima waktu kita saja kita tidak tahu, apakah diterima Allah atau tidak. Itu hak Allah. Jadi, perlu diingat, tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan para wali maupun ulama yang saleh akan menyimpang dari keteladan Nabi dan para sahabat.

Bacaan, "Salamullah ya sadah" merupakan bagian dari ajaran Rasulullah (saw). Rasulullah kalau berziarah kubur mengucapkan salam,"Assalamu'alaikum, ya ahlul kubur, wal mukminin wal mukminat." Ada lagi Hadist, "Ya daril kaumul mukminin". Artinya, kalau Rasulullah memberikan salam kepada ahli kubur, berarti ahli kubur itu mendengar apa yang diucapkan Rasulullah. Bahkan telapak sandalnya saja mereka mendengar. Para ahli kubur mendengar setiap telapak kaki yang masuk ke kuburan. Apalagi orang membaca doa. Apalagi orang membaca Al-Qur'an. Apalagi orang membaca tahlil. Dari situlah, ungkapan "Assalamu'alaikum, ya darul mukminin" di dalamnya diteruskan oleh para alim ulama, "Salamullah, ya sadah minar-rahman yaghsyakum, ibadallah ji'nakum, qashadnakum thalabnakum". Itulah di antaranya luasnya doa ziarah kubur yang artinya, Semoga Allah memberikan keselamatan, wahai orang yang mulia, (keselamatan) dari Yang Maha Pengasih. Itu semua merupakan doa, permintaan kepada Allah, untuk siapa yang diziarahi, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah. Seperti kita mengucapkan kalimat "Assalamu'alaika ayyuhannabiyyu warrahmatullahi wabaraktuh, assalamu'alaina wa'ala 'ibadillahish-salihin."

"Assalamu'alaina" di sini memiliki arti yang luas. Sebab di sini lafalnya jamak. Namun secara terperinci sudah merangkum semuanya, dan diucapkan lagi oleh Baginda Nabi, karena cintanya Rasulullah kepada para salihin. Sedang di dalam kalimat tersebut, para salihin sudah termasuk di dalamnya. Seperti ketika shalat, kita senantiasa mengucapkan "Ihdinash-shirathal mustaqim, atau "tunjukkanlah kami jalan yang lurus." Di sini lafal tersebut menggunakan kata "kami", bukan "saya", untuk menunjukkan bahwa subjeknya umat Islam secara umum.

Sumber: Majalah Al Kisah

Friday, December 14, 2012

Tawasin (2): Thasin Al Fahm (Pemahaman) Al Halaj

1.Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya- Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2.Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman- temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3.Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4.Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya,supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman- temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.

5.Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6.Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu.Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini

merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.

7.Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.

8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q.53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidakberpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana