Ada yang terasa manis
tersembunyi di balik laparnya lambung
Insan itu tak ubahnya
sebatang seruling.
Ketika penuh isi lambung seruling,
tak ada desah: rendah atau tinggi
yang dihembuskannya.
Jika lambung dan kepalamu
terasa terbakar karena berpuasa,
apinya akan menghembuskan
rintihan dari dadamu.
Melalui api itu
akan terbakar seribu hijab dalam sekejap,
kau akan melesat naik seribu derajat
dalam Jalan dan cita-citamu.
Jaga lah agar lambungmu kosong.
Merintih lah bagai sebatang seruling
dan sampaikan keperluanmu kepada Rabb.
Jaga lah agar lambungmu kosong
hingga dapat kau lantunkan bermacam rahasia
layaknya sebatang seruling.
Jika lambungmu selalu penuh
Setan yang akan menanti di kebangkitanmu
dan bukannya Akal Sejati-mu,
di rumah berhala dan bukannya di Ka'bah.
Ketika engkau berpuasa,
akhlak yang baik berkumpul di sekitarmu,
bagaikan pembantu, budak dan penjaga.
Teruskan lah berpuasa,
karena ia adalah segel Sulaiman.
Jangan serahkan segel itu kepada Setan,
yang dapat membuat kerajaanmu kacau.
Dan jika sempat kerajaan dan bala-tentaramu
tinggalkan dirimu,
mereka akan kembali,
jika kau tegakkan lagi panjimu
dengan berpuasa.
Hidangan dari langit, al-Maidah,
telah tiba bagi mereka yang berpuasa.
Isa ibn Maryam telah menurunkannya
dengan do'anya.
Tunggu lah Meja Perjamuan, al-Maidah,
dari Yang Maha Pemurah dengan puasamu:
sungguh tak pantas membandingkan
hidangan dari langit dengan sederhananya
sup sayuranmu.
Catatan:
"Al-Maidah" nama surat ke 5 dari al-Qur'an Suci, menyampaikan rujukan terkait bahasan di atas, pada ayat-ayat:
(112) (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan maidah dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".
(113) Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
(114) Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu maidah dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".
(115) Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia".
Sumber:
Rumi: Divan-i Syams ghazal 1739.
dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick
dalam "The Sufi Path of Love"
SUNY Press, Albany, 1983.
dan dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam "Mystical Poems of Rumi 2"
The University of Chicago Press, 1991.
Sumber: Ngrumi
Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Showing posts with label Rumi Poetry. Show all posts
Showing posts with label Rumi Poetry. Show all posts
Thursday, July 2, 2015
Wednesday, October 2, 2013
Rumi: Merdeka Ketika Berserah Diri
Semula ingin kuceritakan padamu
kisah hidupku,tetapi
gelombang kepedihan tenggelamkan suaraku.
Kucoba utarakan sesuatu,
tetapi pikiranku rawan dan remuk,
laksana kaca.
Bahkan kapal paling megah bisa karam
dalam gelombang-badai Laut Cinta
apalagi biduk rapuhku,
remuk berkeping-keping:
tinggalkan ku sendiri, hanyut,
hanya berpegangan ke sepotong papan.
Kecil dan tak berdaya
timbul tenggelam dalam terpaan ombak,
sampai tak kuketahui apakah aku ada atau tiada.
Ketika menurutku aku ada,
kudapati diriku tak berharga.
Saat ku tiada,
kudapati nilai-nilai sejati diriku.
Seturut pasang-surut akalku,
tiap hari mati aku, dan dihidupkan lagi;
karenanya tak kuragukan sedikit pun
adanya Hari Kebangkitan.
Ketika telah lelah,
ku berburu cinta di alam dunia ini,
akhirnya di Lembah Cinta ku berserah-diri:
dan aku merdeka.
Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1419.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin dan Maryam Mafi, dalam Rumi: Hidden Music, HarperCollins Publishers Ltd, 2001 http://ngrumi.blogspot.com/
kisah hidupku,tetapi
gelombang kepedihan tenggelamkan suaraku.
Kucoba utarakan sesuatu,
tetapi pikiranku rawan dan remuk,
laksana kaca.
Bahkan kapal paling megah bisa karam
dalam gelombang-badai Laut Cinta
apalagi biduk rapuhku,
remuk berkeping-keping:
tinggalkan ku sendiri, hanyut,
hanya berpegangan ke sepotong papan.
Kecil dan tak berdaya
timbul tenggelam dalam terpaan ombak,
sampai tak kuketahui apakah aku ada atau tiada.
Ketika menurutku aku ada,
kudapati diriku tak berharga.
Saat ku tiada,
kudapati nilai-nilai sejati diriku.
Seturut pasang-surut akalku,
tiap hari mati aku, dan dihidupkan lagi;
karenanya tak kuragukan sedikit pun
adanya Hari Kebangkitan.
Ketika telah lelah,
ku berburu cinta di alam dunia ini,
akhirnya di Lembah Cinta ku berserah-diri:
dan aku merdeka.
Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1419.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin dan Maryam Mafi, dalam Rumi: Hidden Music, HarperCollins Publishers Ltd, 2001 http://ngrumi.blogspot.com/
Labels:
Rumi Poetry
Monday, June 24, 2013
Rumi: Rasa Sakit: Menyiapkan Hati

dan menyergap rasa senangmu,
ketahuilah, ia sedang menyiapkan
jalan bagi datangnya kebahagiaan.
Cepat sekali rasa sakit menyapu bersih
semua rasa lainnya,
mengusir mereka keluar dari ruang hati;
hingga tiba saat bahagia mendatangimu
dari Sumber Kebaikan.
Ia merontokkan semua daun layu
dari cabang-ranting hati,
agar daun segar dapat tumbuh.
Ia mencabut akar tua kesenangan,
sehingga keriangan yang baru
dapat berkunjung dari ke-Tiada-an.
Rasa sakit di hati membongkar
akar kesenangan yang lapuk dan busuk,
sehingga tiada kepalsuan tersembunyi.
Rasa sakit mencuci bersih hatimu,
agar hal yang lebih baik dapat hadir
menggantikannya.
Sumber:
Rumi: Matsnavi V 3678 - 3683.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick
Dalam The Sufi Path of Love - The Spiritual Teachings of Rumi, SUNY, Albany, 1983.
http://ngrumi.blogspot.com
Labels:
Rumi Poetry
Saturday, January 5, 2013
Rumi: Bahkan Isa putra Maryam pun Menyingkir

ketika dia menghindar dari orang-orang dungu,
menjauh, hendak mengungsi,
ke puncak sebuah gunung.
Isa putra Maryam bergegas-cepat
mendaki sebuah gunung.
Sedemikian bergegas,
bagaikan dikejar seekor singa
Seseorang mengejarnya, dan menyapanya,
“Salam untukmu.
Tak kulihat sesuatu pun mengejarmu,
mengapa engkau begitu terburu-buru?”
Tetapi Beliau tetap berlari,
sedemikian terburu-buru,
tak mau berhenti untuk menjawab.
Sang penanya bersikeras,
terus dikejarnya Sang Nabi itu.
Lalu, dia bertanya lagi,
kali ini sampai harus berteriak:
“Demi Tuhan,” serunya,
“berhentilah sebentar!”
“Sungguh aku bingung,
apa yang membuatmu melarikan diri?”
“Wahai Nabi nan mulia dan pemurah,
Apa yang membuatmu bergegas-lari?
Tak ada singa mengejarmu.
Tiada pula ancaman atau wabah?”
Sang Nabi menjawab,
“Aku melarikan diri dari seorang yang tolol.
Pergilah! Sedang kukhawatirkan keselamatanku,
janganlah kau tahan aku lagi!”
Orang itu bertanya lagi,
“Tapi, bukankah engkau al-Masih,” [1]
bukankah engkau yang menyembuhkan
orang yang buta dan tuli?”
“Betul,” jawabnya.
Orang itu bertanya lagi,
“Bukankah engkau Sang Raja Spiritual?
Bukankah dalam dirimu tersimpan do'a
dan permohonan dari alam tak-nampak?”
“Bukankah jika kau berdo'a pada sesosok mayat,
dia langsung bangkit dengan trengginas,
bagaikan gesitnya seekor singa menggondol korbannya?”
“Betul,” jawabnya,
“Aku lah orang yang kau maksud.”
Orang itu masih penasaran,
“Wahai tuan yang tampan,
bukankah engkau yang menghidupkan burung dari tanah-liat?” [2]
“Betul,” jawabnya
“Wahai Ruh Murni,
bukankah engkau bisa menjadikan
apa pun yang kau kehendaki,
lalu apa yang engkau takuti?”
“Dengan keajaiban sebanyak itu,
siapa gerangan di ke dua alam
yang tak dengan suka-rela bersedia
menjadi budakmu?”
Isa putra Maryam berkata,
“Demi Allah yang Maha Suci,
yang Menciptakan jasmani,
dan Menciptakan jiwa,
dengan semua keunggulannya. [3]
Demi Dzat Dia yang Suci dan Sifat-sifat-Nya,
yang karenanya baju pelindung al-Jannah
tanggal sampai ke pinggangnya,
disebabkan takjub.
Aku bersaksi, bahwa do'a-do'a-ku itu,
serta asma-Nya yang Teragung, [4]
yang telah kuucapkan kepada mereka
yang buta dan tuli;
sangatlah manjur.
Jika kuucapkan dzikir itu ke sebuah gunung,
akan terbelah dia,
robek jubahnya sampai ke dasar.
Jika kuucapkan itu ke sesosok mayit,
maka hiduplah dia.
Kuucapkan itu kepada ketiadaan,
maka menjadilah dia sesuatu.
Tetapi ketika kulantunkan do'a itu,
ribuan kali, dengan penuh kasih-sayang
ke hati seorang tolol,
tidaklah itu menjadi obat. [5]
Malahan hati itu mengeras bagai batu,
dan tetap membatu;
lalu menjadi seperti pasir,
yang di atasnya tiada satu benih pun bisa tumbuh.”
Dengan heran orang itu bertanya lagi,
“Mengapa pada mujizat-mujizatmu,
do'a dengan asma Allah itu manjur,
sedangkan pada hati seorang tolol
itu tidak berpengaruh?
Bukankah itu suatu penyakit juga,
bahkan suatu musibah?”
Nabi Isa menjawab,
“Dungunya seorang tolol disebabkan
murka Allah yang teramat-sangat.
Musibah biasa seperti kebutaan
tidak bersumber dari murka Allah,
itu hanya ujian dan cobaan-Nya.”
Musibah berupa ujian dan cobaan,
pada akhirnya mengundang Rahmat-Nya.
Tapi kejahilan seorang tolol hanya membawa
pukulan dan luka.
Luka-berparut itu bersumber dari tutupan-Nya, [6]
tiada tangan penolong yang dapat mengobati.
Karenanya, menjauhlah dari orang tolol,
sebagaimana Isa telah menghindar;
persahabatan dengan orang jahil
telah banyak menimbulkan pertumpahan darah.
Udara menguapkan air perlahan-lahan,
orang tolol mencuri agamamu seperti itu.
Orang jahil mengganti kehangatanmu
dan membuatmu menggigil kedinginan.
Dibuatnya engkau dingin bagaikan batu.
Larinya Isa putra Maryam,
bukan karena ketakutan biasa seperti kita,
karena dia terlindungi dari hal-hal semacam itu.
Tetapi demi memberi kita suatu pelajaran. [7]
Walaupun seluruh alam membeku,
takkan itu membuat murung
Matahari yang bersinar terang. [8]
Catatan:
[1] “Ingatlah ketika al-Malaikat berkata: 'Yaa Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan kalimah dari-Nya, namanya al-Masih 'Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan diakhirat, dan termasuk yang didekatkan.” (QS [3]: 45)
[2] “Dan sebagai utusan bagi Bani Israil, 'Sesungguhnya aku telah datang kepadamu membawa sebuah tanda dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untukmu suatu bentuk burung dari tanah-liat, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan padamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu' … “ (QS [3]: 49)
[3] Karenanya al-Malaikat diminta bersujud (QS [2]: 34)
[4] Asma-Nya yang Teragung (ismul-azham).
Secara umum nama “Allah” dipandang sebagai Nama Tuhan yang terbesar, karena menghimpun 99 asmaul-husna nama-nama Tuhan lainnya yang tak-terhingga. Boleh jadi yang dimaksud disini adalah mengenai ajaran sementara Sufi bahwa Allah mengizinkan sedikit diantara hamba-Nya yang terpilih untuk mengetahui Nama-Nya yang paling agung (dan paling tersembunyi); yang dengan menggunakan asma itu mereka melakukan mujizat (bagi para Nabi) dan karamah (bagi para Wali).
Terkait dengan ini Rumi mengisahkan tentang seorang tolol yang meminta Isa putra Maryam untuk mengajari “asma tersembunyi yang dengan itu engkau menghidupkan orang yang sudah mati” (Matsnavi II: 142). Karena si tolol ini ingin membangkitkan setumpuk tulang yang dilihatnya dalam sebuah gua. Setelah menerima izin Allah, Isa putra Maryam mengucapkan asma itu pada setumpuk tulang tersebut; seekor singa segera bangkit dari situ dan memakan orang tolol tersebut.
Pada catatannya, Nicholson menjelaskan bahwa “asma tersembunyi” itu maksudnya Nama Tuhan yang Teragung (ismu'llahi'l-a'zhamu); secara umum dipahami sebagai “Allah”, dimana “Huwa” (Dia sebagai Dzaat) terliput di dalamnya. Pengetahuan akan asma ini merupakan sumber dari daya yang menghasilkan mujizat dan karamah di kalangan para Nabi dan Wali, dan dapat ditransmisikan kepada mereka yang terpilih.
[5] Nicholson mencatat salah satu ucapan di kalangan Muslim, yang merujuk kepada Nabi Isa, “Walaupun aku dapat melakukan keajaiban menghidupkan orang yang sudah mati, aku tak berdaya menyembuhkan si tolol.”
[6] “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut pendengaranmu dan penglihatanmu, dan menutup qalb-mu, siapakah ilah selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu …” (QS [6]: 46)
[7] Pelajaran bagi manusia biasa sering disampaikan-Nya melalui kiprah para Nabi dan Wali yang sepenuhnya berserah-diri kepada-Nya. Dengan keakraban kepada Sang Pencipta dan melimpahnya pengetahuan Ilahiah yang dianugerahkan, para Nabi dan Wali adalah yang paling sering “hadir semata bersama-Nya saja” dalam shalat ataupun khalwat mereka. Justru pelajaran paling dasar ini yang sering terluput. Terpesona pada mujizat atau karamah, pelajaran malah sering terlewat. [8] Isa putra Maryam a.s. Kalimah-Nya (realisasi Sabda-Nya), "yang terkemuka di dunia dan di akhirat," seorang Nabi besar bagi kaum Muslim, yang dianugerahi "Matahari Sejati" dalam diri.
Sumber:
Rumi: Matsnavi III 2570 - 2599
Dari Mathnawi-ye Ma'nawi, terjemahan Ibrahim Gamard dari Bahasa Persia, dengan memeriksa terjemahan pertama ke Bahasa Inggris oleh Nicholson. --> ngrumi.blogspot.com
Labels:
Rumi Poetry
Sunday, October 28, 2012
Rumi : Pantulan Cahaya yang Mempesonamu

Sang hamba kecintaan makhluk,
yang dulu disanjung-puji dunia,
kini malah ditalaknya,
gerangan apa salahnya?
Itu karena dia memakai baju pinjaman,
dan lalu bersikap seolah memilikinya.
Kami mengambilnya kembali,
agar dia menjadi yakin,
bahwa semua khazanah itu milik Kami,
dan mereka yang cantik-molek itu
hanyalah para peminjam;
sehingga dia paham bahwa jubah-wujud itu
hanyalah sebuah pinjaman,
seberkas cahaya dari Matahari Wujud.
Semua keindahan, kuasa, kebajikan dan
kesempurnaan yang hadir ditempat ini
bersumber dari Matahari Kesempurnaan.
Berkas-berkas cahaya Sang Matahari itu,
kini kembali pulang,
bagaikan berputarnya bintang-bintang,
meninggalkan dinding-dinding ragawi ini.
Ketika cahaya matahari telah surut,
semua dinding menjadi gelap menghitam.
Semua yang mempesonamu,
pada wajah-wajah cantik,
adalah Cahaya Sang Matahari
terpantul pada kaca prisma.
Beragam corak kaca
membuat Cahaya tampil beraneka-warna.
Ketika prisma kaca beraneka-warna tak lagi ada,
barulah Cahaya tanpa-warna mempesonamu.
Bangunlah kebiasaan
menatap Cahaya tanpa prisma kaca,
sehingga ketika prisma kaca itu remuk,
tak lagi engkau buta.
Sumber:
Rumi, Matsnavi V: 981-991
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Juga terdapat pada Rumi: Jewels of Remembrance
Oleh Camille dan Kabir Helminski, Threshold Books, 1996 Bersumber dari terjemahan Persia - Inggris oleh Yahya Monastra
http://ngrumi.blogspot.com
Labels:
Rumi Poetry
Tuesday, July 17, 2012
Rumi: Gemericik Suara Air

dan demi kepentingan amal dari sisi-Nya,
telah diceraikannya semua amal yang lain.
Mereka yang tidak seperti dia, tak lebih bagaikan kanak-kanak,
yang bermain-bersama, di beberapa hari yang singkat,
sampai malam menjelang, dan mereka mangkat.
Atau bagaikan orang yang baru terbangun,
lalu bangkit, sambil masih mengantuk,
tapi dibujuk untuk tidur kembali,
oleh rayuan si perawat jahat;
yang berbisik: "tidurlah kembali, sayangku,
tak kan kubiarkan seorang pun mengganggu tidur nyenyakmu."
Jika engkau bijak, maka engkau,
engkau sedirilah, yang akan mencabut tidurmu
sampai ke akar-akarnya; bagaikan orang kehausan
yang mendengar gemericik suara air.
Tuhan berkata kepadamu,
"Akulah gemericik suara air di telinga mereka yang haus;
Akulah hujan yang tercurah dari langit,
bangkitlah pecinta: tunjukkan gairahmu!
Jangan sampai engkau kembali tertidur,
ketika telah kau dengar gemericik suara air."
(Rumi: Matsnavi, VI no 586 - 592, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)
Catatan:
- "Lelaki," disini maksudnya "pencari Tuhan." Dari "rijal," yaitu yang memiliki "arjul," (= kaki, jamak); yang dengan kaki-kaki itu mereka bergerak di jalan pencarian.
- "Amal Sejati," suatu hal unik yang telah diperjanjikan setiap jiwa kepada Rabb-nya untuk diabdikan kepada-Nya.
- "Mengidamkan Dia," setidaknya dapat dirujukkan kepada QS [18]: 110, "... Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah beramal amal yang shaleh dan janganlah menyekutukan sesuatupun dalam mengabdi kepada Rabb-nya."
- "Kanak-kanak," di sini menunjukkan tingkat kecerdasan mereka yang terlalaikan oleh keaneka-ragaman kesibukan di alam-dunia, sehingga lupa dari menyiapkan keperluan perjalanan ke alam-alam paska-alam-dunia.
- "Si perawat jahat," adalah unsur-unsur belum-terahmati dari diri seseorang, yang selalu membujuk kepada hal-hal yang rendah. Lihat QS [12]: 53.
- (Jiwa) kebanyakan manusia tertidur ketika jasmaninya hidup di alam-dunia, dan baru terbangun ketika mereka mati (periksa Hadits Rasulullah SAW yang berkenaan dengan hal ini).
Labels:
Rumi Poetry
Thursday, May 31, 2012
Rumi : Cahaya dan Bayangan

Tak mungkin suatu semesta terpisah
dari semesta-semesta lainnya.
Tidak mungkin basah terpisah dari air,
suatu langkah dari gerakan lainnya.
Takkan padam nyala api dengan api lainnya;
wahai anakku, hatiku berdarah karena cinta,
jangan bersihkan darahku dengan darah yang lain.
Hanya matahari yang mampu enyahkan bayangan.
Matahari memanjangkan dan memendekkan bayangan; [1]
carilah kuasa ini dari Sang Matahari.
Kalaupun ribuan tahun kau coba hindari,
pada akhirnya, kan kau dapati bayangan
senantiasa bersamamu.
Yang melayanimu adalah dosa-dosamu,
yang menolongmu adalah sakitmu,
nyala lilinmu adalah kegelapanmu,
pencarian dan jelajahmu dari jerat rantaimu.
Hal ini kan kujelaskan,
hanya jika telah kuat hatimu;
sebab jika remuk kristal-gelas hatimu,
takkan pernah ia pulih.
Mestilah engkau miliki, dan sandingkan
keduanya: cahaya dan kegelapan;
dengarkanlah anakku,
bersujudlah dalam-dalam di hadapan Pohon Taqwa. [2]
Ketika dari Pohon Rahmat-Nya,
Dia tumbuhkan untukmu sayap dan bulu,
jadilah sesenyap merpati,
jangan mendekur.
Ketika seekor katak masuk kedalam air,
sang ular tak dapat mendengarnya;
tapi saat ia menguak,
ular jadi tahu dimana ia berada.
Walaupun sang katak berusaha menipu,
dengan mendesis menirukan ular,
suara aslinya yang parau tetap terdengar.
Sang katak hanya dapat selamat
jika menutup mulut,
dan diam di sudut;
bahkan sebutir gandum pun,
jika ia bisa diam di sudut,
berubah jadi harta-karun.
Ketika sebutir gandum berubah menjadi harta-karun,
takkan ia lenyap ditelan bumi;
jiwa, yang bagai sebutir gandum,
berubah menjadi harta-karun,
ketika ia mencapai khazanah Hu.
Apakah kuakhiri kata-kata ini disini,
atau kuperas lagi,
Engkau lah, Sang Pemilik Sabda,
yang tentukan;
Wahai Rajaku,
siapalah hamba ini.
Catatan: [1] “Apakah tak kau perhatikan Rabb-mu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang, dan kalau Dia kehendaki niscaya dijadikan-Nya bayang-bayang itu tetap; lalu Kami jadikan matahari sebagai dalil atasnya.” (QS Al Furqaan [25]: 45)
[2] Pohon Taqwa, Pohon yang Baik, “Syajarah Thayyibah,” (QS Ibrahim [14]: 24).
Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 2155
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam Mystical Poems of Rumi 2,
University of Chicago Press, 1979.
Labels:
Rumi Poetry
Saturday, April 28, 2012
Rumi : Mereka yang Telah Mati

yang dengan ikhlas
mati dari diri mereka sendiri:
mereka bagaikan gula,
di hadapan Sang Kekasih.
Pada Hari Perjanjian, [1]
mereka minum Air Kehidupan,
sehingga matinya jiwa mereka
tak seperti kematian orang lain.
Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta,
kematian mereka tak seperti
orang kebanyakan.
Dengan kelembutan-Nya
mereka telah melampaui tingkat para malaikat;
sama sekali tak bisa kematian mereka
dibandingkan dengan orang kebanyakan.
Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing,
jauh dari hadirat-Nya? [2]
Ketika para pecinta mati di tengah Jalan,
Sang Raja Ruhaniah berlari menyambut. [3]
Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4]
mereka menyala bagaikan Matahari. [5]
Jiwa para pecinta sejati itu bersatu
mereka mati dalam saling mencintai. [6]
Derai embun Cinta membasuh jantung mereka,
mereka sampai pada kematian
dengan hati berdarah-darah.
Setiap mereka,
mutiara yatim tiada tara,
tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya.
Para pecinta terbang menembus lelangit,
para pembangkang terpanggang dalam Api.
Para pecinta terpana menatap yang tak-terlihat,
selain mereka, semua mati dalam buta-tuli.
Sepanjang hidupnya, para pecinta ketakutan,
karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7]
kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.
Mereka yang disini memuja dunia,
hidup bagaikan ternak, [8]
dan akan mati seperti keledai.
Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya,
akan mati berbahagia,
gembira dengan apa yang mereka lihat.
Sang Raja menempatkan mereka
di sisi Rahmat-Nya;
mereka tak mati dengan hina.
Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad,
akan mati bagai Abu Bakar atau Umar.
Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh
kematian ataupun kehancuran. [9]
Bahkan kudendangkan ode ini
kepada mereka yang menyangka
jiwa-jiwa mereka telah mati.
Catatan:
[1] QS [7]: 172.
[2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Allah.”
[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “... dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a).
[4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha.
[5] Terbitnya Matahari dalam diri.
[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami. Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla'i yang bersumber dari 'Ubadah bin Shamit r.a)
[7] “... mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS [3]: 17)
[8] “... bagaikan binatang ternak ...” (QS [7]: 179)
[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)
Sumber: Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick dalam The Sufi Path of Love, SUNY Press, Albany, 1983.
Labels:
Rumi Poetry
Tuesday, April 10, 2012
Rumi : Lemparkanlah Tongkatmu

Sang Raja nan Maha Indah dan Penyayang
telah berkenan menerimaku.
Dia Sang Saksi cahaya hati,
Sang Penyejuk dan Sahabat jiwa,
Ruh bagi segenap semesta.
Kujumpai Dia yang telah menganugerahkan
hikmah kepada para bijak-bestari,
kemurnian kepada orang-orang suci.
Dia yang dipuja rembulan dan bintang-bintang.
Dia yang kepadanya menghormat sekalian wali.
Seluruh sel pada diriku berseru:
Alhamdulillah, Allahu Akbar.
Ketika Musa melihat pohon yang menyala, [1]
dia berkata: "setelah menemukan anugerah ini,
tak lagi kubutuhkan sesuatu yang lain."
Tuhan berkata, "Wahai Musa, penjelajahanmu
telah selesai. Lemparkanlah tongkatmu." [2]
Pada saat itu Musa mengenyahkan dari hatinya
semua teman, saudara, dan kerabat.
Inilah makna dari tanggalkan ke dua terompahmu: [3]
Hilangkan dari hatimu hasrat akan sesuatu pun
di kedua alam.
Sejatinya, ruang qalb itu diperuntukkan
bagi-Nya semata.
Hanya akan kauketahui hal ini melalui
pertolongan para nabi.
Tuhan berkata,
"Wahai Musa, apa itu yang engkau pegang
di tangan kananmu?" [4]
Musa menjawab,
"Ini tongkatku, untuk membantuku berjalan." [5]
Tuhan berkata,
"Lemparkanlah tongkatmu, dan perhatikanlah [6]
keajaiban di dalam dirimu sendiri."
Musa melemparkan tongkatnya ke tanah,
dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga.
Langsung Musa lari ketakutan. [7]
Tuhan berkata,
"Pungutlah kembali, dan akan Kuubah dia [8]
menjadi tongkat lagi.
Dengan berkah-Ku, musuh-musuhmu akan
memberimu pertolongan.
Musuh-musuhmu akan berupaya
meraih persahabatanmu."
Wahai tangan, tetaplah berupaya meraih-Nya.
Wahai kaki, tetaplah berjalan kepada-Nya.
Janganlah lari dari ujian yang Kami berikan padamu.
Karena ketika kau jumpai kesulitan,
disitu akan kau jumpai sarana untuk
memahami maksudnya.
Tak ada seorangpun yang berhasil lolos dari
kesulitan, kecuali terjadi kepadanya
hal yang lebih buruk.
Jangan makan umpannya!
Bala-bencana menantimu.
Jangan menyerah pada keraguanmu!
Itu akan melemparkanmu dari Jalan.
Kini, Matahari dari Tabriz telah memberi kita
pertolongan: dia telah pergi, dan tinggalkan
kita sendiri.
Catatan:
[1] QS Al Qashash [28]: 30.
[2] QS Al Qashash [28]: 31, Thaahaa [20]: 19.
[3] QS Thaahaa [20]: 12.
[4] QS Thaahaa [20]: 17.
[5] QS Thaahaa [20]: 18.
[6] QS Thaahaa [20]: 19.
[7] QS Thaahaa [20]: 20.
[8] QS Thaahaa [20]: 21.
Sumber:
Rumi: Kulliyat-e Syams, Ghazal no 123
Badi-uz Zaman Furuzanfar (Ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star,
dalam In the Arms of the Beloved,
Jeremi P. Tacher/ Penguin, 1997. Ngrumi.blogsot.com
Labels:
Rumi Poetry
Friday, March 9, 2012
Rumi: Mengkaji Cahaya di atas Cahaya

Sang Mustapha bertutur tentang permohonan Neraka,
ketika dengan berendah-hati dia bermohon kepada pemilik iman sejati:
"berlalulah dengan cepat, wahai Sang Raja, karena cahayamu telah memadamkan apiku."
Jadi, terang cahaya al-Mukmin berarti padamnya api,
karena tanpa tanpa tampilnya yang berlawanan tak mungkin sesuatu sirna.
Pada Hari Perhitungan, api akan menjadi lawan cahaya,
karena api bersumber dari Murka-Nya,
sementara cahaya dari Rahmat-Nya.
Jika engkau ingin tanggalkan api kejahatan,
tujukan air Rahmat Ilahiah ke jantung api.
Mereka yang bertakwa dengan haqq memancarkan aliran air rahmat itu:
inti jiwa mereka yang bertakwa adalah Air Kehidupan.
Tidak heran engkau yang berjiwa duniawi
lari menjauh dari orang seperti mereka,
karena engkau tersusun dari api,
sementara mereka dari aliran air.
Api melarikan diri dari air,
karena takut nyala dan asapnya
dipadamkan oleh air.
Pikiran dan perasaanmu terbentuk dari api;
pikiran dan perasaan orang suci
tersusun dari cahaya yang indah.
Ketika percikan cahaya orang suci menetes
di atas api, terdengar suara berdesis,
dan lidah api menjilat dengan murka.
Ketika datang saat seperti itu, katakanlah,
“mati dan musnahlah engkau,”
agar padam neraka itu,
yaitu api hawa-nafsumu.
Sehingga ia tak membakar taman mawarmu,
sehingga ia tak membakar keadilan dan hasanah-mu.
Setelah berhasil engkau padamkan,
barulah bibit yang engkau tanam
dapat menghasilkan aneka buah,
atau memekarkan bermacam bunga.
Wahai Guru tuturmu melantur,
mengapa kau tak kembali ke
pokok perbincangan?
Kita sedang memperlihatkan melanturnya
dirimu, wahai pemendam iri-dengki;
tak kau sadari, keledaimu pincang,
sedangkan kota cahaya sangatlah jauh,
alangkah lambat jalanmu.
Telah sekian tahun kita habiskan;
sudah hampir lewat masa tanam;
tak ada hasil panenmu,
kecuali wajahmu yang menghitam,
dan amalmu yang berbau busuk?
Cacing telah bersarang,
di akar pohon dirimu:
galilah dan bakarlah.
Kuperingatkan lagi, wahai pencari,
waktu telah hampir habis,
hari telah senja,
matahari jelang tenggelam.
Hanya tersisa satu dua hari lagi,
ketika masih tersisa kekuatan pada dirimu,
kepakkan sayapmu dengan bersemangat.
Manfaatkanlah baik-baik sisa benihmu,
agar dari bibit-waktu yang sedikit itu
dapat tumbuh pohon abadi.
Sementara lampu hidupmu belum padam,
kecilkanlah sumbunya,
dan jagalah minyaknya.
Jangan lagi engkau berkata, besok, besok;
sudah terlalu banyak besokmu yang terlewat.
Jangan sampai tiada hari tanam tersisa.
Dengarkanlah nasehatku,
jasmanimu itu yang mengikatmu,
tanggalkan jasmanimu rentamu,
jika kau inginkan pembaruan.
Tutup mulutmu, dan bukalah buah berisikan emas:
tanggalkan keakuanmu,
perlihatkan kemurahanmu.
Kemurahan berarti meninggalkan syahwat dan hawa-nafsu;
orang yang tenggelam dalam hawa-nafsunya,
sulit mentas lagi.
Kemurahan adalah salah satu cabang
cemara di al-Jannah:
malang lah orang yang tak berpegangan
pada cabang semacam itu.
Menanggalkan hasratmu adalah pegangan yang paling kuat:
cabang itu menarik jiwamu ke Langit.
Karena itu jadilah pemurah,
wahai penganut ad-Diin,
sehingga terangkat engkau
ke sumber cabang itu.
Jadikan Yusuf yang cantik
sebagai teladan keindahan jiwamu,
perlakukan alam-dunia ini sebagai sumur,
gunakan kemurahan
dan keberserahan kepada karsa Rabb
sebagai tali untuk mentas ke atas.
Wahai peneladan keindahan Yusuf,
tali telah diturunkan,
raihlah dengan ke dua belah tanganmu;
jangan kau lepaskan, karena hari telah larut.
Berpujilah kepada-Nya ketika tali telah terjulur;
itu dari semesta yang sangat nyata,
tapi tak nampak.
Semesta fenomenal ini,
sebenarnya hanya wujud yang mungkin,
tapi telah menjadi sangat nyata bagimu,
sementara semesta yang sejati,
semakin tersembunyi.
Seperti debu bertaburan dipermainkan angin,
bagaikan fatamorgana yang menghijab.
Yang tampak ramai ini sejatinya hampa dan dangkal,
bagai bebauan; yang tersembunyi itulah inti dan sumbernya.
Debu hanya tanda
dari adanya angin:
angin itulah yang bernilai,
dan tinggi derajatnya.
Mata yang tersusun dari tanah-liat,
hanya akan menatap debu;
untuk melihat angin itu
diperlukan penglihatan yang berbeda.
Seekor kuda mengenal kuda yang lain,
karena mereka sejenis:
hanya penunggang kuda dapat mengenali
sesama penunggang.
Yang dimaksud dengan kuda itu
adalah mata syahwatiah,
sedangkah sang penunggang
adalah Cahaya Ilahiah;
tanpa sang penunggang,
kuda itu sendiri tak berguna.
Karena itu latihlah kudamu,
agar dia sembuh dari kebiasaan buruknya;
jika tidak, dia akan tertolak
dari majelis Sang Raja.
Penglihatan si kuda mendapati jalan,
bersumberkan pandangan Sang Raja;
tanpa pandangan Sang Raja
penglihatan si kuda kehilangan panduan.
Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan,
kecuali ke arah makanan dan padang rumput.
Cahaya Ilahiah itu yang seyogyanya jadi penentu arah bagi penglihatan si kuda,
barulah jiwa dapat merindu Rabb.
Tidaklah mungkin kuda tanpa pengendara
dapat membaca tanda-tanda jalan.
Hanya penunggang bermartabat Raja
dapat mengenali jalan Sang Raja.
Tempuhlah arah selaras dengan rasa-jati
yang dikendarai oleh Cahaya,
Cahaya itu pengendara terpercaya.
Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya rasa-jati,
ini salah satu makna dari Cahaya di atas cahaya.
Sumber: Rumi: Matsnavi II 1248 - 1293 Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson, ngrumi.blogspot.com
Labels:
Rumi Poetry
Friday, February 24, 2012
Rumi : Mengkaji Mukhlish dan Mukhlash

Cahaya-Nya melambungkan dia ke langit.
Karena benda-benda terinderai itu
letaknya di alam bawah.
Cahaya Tuhan itu bagaikan laut,
sedangkan yang kita inderai itu bagai setitik uapnya.
Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak,
yang kita tangkap hanyalah akibat dan kata-kata.
Cahaya inderawi, yang kasar dan berat,
tersembunyi pada hitamnya mata.
Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi,
bagaimana mungkin ia dapat melihat cahaya kewalian?
Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi,
apalagi apa yang ada dibaliknya,
yang lebih murni dan halus?
Alam-dunia ini bagaikan jerami,
dalam genggaman angin--yakni alam tak-nampak;
ia hanya dapat menyerahkan diri,
tunduk sepenuhnya pada alam yang tak-nampak.
Kadang ia dibuat merunduk,
kadang menengadah;
kadang bersuara,
kadang utuh, kadang terpecah.
Kadang ia digerakkan ke kiri,
kadang ke kanan;
kadang darinya tumbuh duri,
kadang menyembul mawar.
Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis,
tersembunyi Tangan;
di atas kuda yang berderap,
ada Pengendara tak-nampak.
Jika anak-panah melayang,
mestilah ada Busurnya,
walau tak-nampak;
jika tampak diri-diri kita,
mestilah ada Diri yang tersembunyi.
Jangan patahkan anak-panah,
karena ia berasal dari Sang Raja;
tidaklah ia dilepaskan tanpa suatu maksud,
ia berasal dari genggaman jemari Sang Tunggal,
yang paling mengenal sasaran.
Dia bersabda, "... dan bukanlah engkau yang
melempar, ketika engkau melempar ..": [1]
tindakan-Nya mendahului
tindakan-tindakan kita.
Patahkanlah kemarahanmu,
bukannya anak-panah itu:
tatapanmu yang penuh amarah
menganggap susu sebagai darah.
Ciumlah anak-panah itu,
dan persembahkan kepada Sang Raja;
anak-panah berpercik darah,
darahmu sendiri.
Apa yang tampil di alam nampak,
tak-berdaya, terpenjara dan rapuh;
apa yang tak-nampak
begitu perkasa dan agung.
Kita lah hewan buruan,
yang ditunggu jebakan sangat menakutkan;
kita bagai bola dalam permainan polo,
menunggu pukulan tongkat,
dan dimanakah Sang Pemukul?
Dia menyobek,
Dia pula yang merajut:
dimanakah Sang Penjahit?
Dia meruntuhkan,
Dia yang membakar,
dimanakah Sang Pemadam api?
Dalam sekejap Dia dapat mengubah
seorang suci menjadi kufur;
sekejap pula Dia dapat mengubah
penyembah berhala menjadi seorang zahid.
Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya
terjatuh kedalam jebakan,
sampai dirinya sepenuhnya termurnikan.
Karena dia masih berjalan,
dan penyamun tak terhingga jumlahnya;
yang berhasil selamat hanya
mereka yang dijaga-Nya.
Jika belum mati seseorang
dari dirinya sendiri--bagaikan cermin kemilau,
dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish:
jika dia belum berhasil menangkap burung,
maka dia masih berburu.
Tapi ketika seorang mukhlish
diubah menjadi mukhlash, [2]
maka dia telah sampai:
dia menang dan selamat.
Cermin tak berubah kembali menjadi besi,
roti tak berubah lagi menjadi biji gandum.
Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah;
buah matang tak kembali jadi mentah lagi.
Matanglah,
dan menjauhlah dari kemungkinan berubah
jadi kembali buruk:
jadilah Cahaya,
bagai Burhan-i Muhaqqiq. [3]
Catatan:
[1] QS Al Anfaal [8]: 17.
[2] "(Iblis) berkata: 'Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau,
akan kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba
Engkau yang al-Mukhlashiin." (QS Shaad [38]: 82 - 83).
[3] Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa
gerangan tokoh yang Rumi gelari dengan 'Burhan-i Muhaqqiq' ini.
Sumber:
Rumi: Matsnavi II 1294 - 1319.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Labels:
Rumi Poetry
Saturday, February 18, 2012
Rumi : Di Lembah Cinta

Tengah malam,
aku bertanya, siapa ini yang ada
di dalam rumah qalb-ku?
Dia menjawab, Inilah Aku,
yang cemerlangnya membuat matahari dan
rembulan jadi tertunduk malu.
Dia bertanya, Mengapa rumah ini penuh
dengan aneka macam lukisan?
Aku menjawab,
Ini semua adalah bayangan dari-Mu,
wahai Engkau yang wajah-Mu membuat
iri warga Chigil. [1]
Dia bertanya, Dan apa ini:
qalb yang berdarah-darah?
Aku menjawab,
Ini adalah gambaran diriku:
hati terluka, dan kaki dalam lumpur.
Kuikat leher dari jiwaku,
dan menyeretnya kehadapan-Nya sebagai persembahan:
Inilah dia yang telah berkali-kali memunggungi Cinta,
kali ini jangalah Kau lepaskan.
Dia serahkan satu ujung tali,
ujung yang penuh kecurangan dan pengkhianatan,
Peganglah ujung yang ini,
Aku kan menghela dari ujung yang lain,
mari berharap tali ini tidak putus.
Kuraih tangan-Nya, Dia menepisku,
seraya berkata, Lepaskan!
Aku bertanya,
Mengapa Engkau bersikap
keras padaku?
Dia menjawab, Ketahuilah, sikap keras-Ku
demi tujuan yang baik bagimu,
bukan karena niat-buruk atau jahat.
Ini untuk memperingatkanmu,
barangsiapa masuk kesini dan berkata,
'Inilah Aku!'
maka Aku akan memukul dahinya;
karena ini adalah Lembah Cinta,
bukan kandang hewan.
Salahuddiin, [2]
sungguh keelokan wajah sejatimu
indahnya bagaikan sosok Tamu di tengah malam itu;
kawan-kawan gosok matamu,
dan tataplah dia dengan pandangan qalb-mu,
dengan bashirah-mu.
Catatan:
[1] Daerah Chigil di Turkesta terkenal dengan
keelokan wajah warganya.
[2] Salahuddiin Zarkub, salah satu sahabat Mawlana Rumi,
belakangan berkembang menjadi sosok inspirasi ruhaniyah baginya;
yaitu setelah Mawlana Rumi menerima bahwa Syamsuddin at-Tabriz yang menghilang dan lama dirindukannya, telah wafat.
Menurut Sultan Valad, salah satu putra Rumi, tentang Salahuddin ini,Rumi menyatakan:
Syamsuddin yang selalu kita bicarakan telah kembali pada kita! Mengapa kita masih tertidur?
Bersalinlah kalian dengan baju baru, dia telah kembali menunjukkan dan memamerkan keindahannya.
(Dari karya Franklin D. Lewis: Rumi, Past, Present, East and West, Oneworld Publications, 2000).
Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1335
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam Mystical Poems of Rumi 1, The University of Chicagi Press, 1968.
Labels:
Rumi Poetry
Friday, January 13, 2012
Kearifan Rumi: Kisah Penanam Duri

Sebagai seorang pujangga sufi beliau banyak menulis puisi-puisi dan kisah-kisah yang bermuatan spiritual. Salah satu karyanya adalah Matsnawi-i-Ma’nawi, yang berisi ribuan bait syair yang sangat indah dalam bahasa Persia. Matsnawi, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai “Al Quran dalam bahasa Persia” karena keindahan bahasa dan kedalaman dimensi spiritual yang termuat di dalamnya, menjadi sebuah karya yang paling banyak diterjemahkan sepanjang masa. Di dalamnya banyak termuat kisah-kisah penuh mutiara hikmah. Saya kutip salah satunya.
Jalaludin Rumi berkisah tentang seorang penduduk Konya yang punya kebiasaan aneh. Ia suka menanam duri di pinggir jalan. Setiap hari kerjanya menanam duri. Lama kelamaan, pohon duri yang ia tanam menjadi besar. Awalnya orang-orang yang lewat jalan itu tidak merasa terganggu oleh duri-duri. Mereka baru mulai protes setelah duri itu mulai bercabangdan mempersempit jalan yang dilalui mereka. Hamper setiap orang pernah tertusuk duri itu. Yang menarik lagi, bukan orang lain saja yang terkena tusukan duri. Si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri tanaman yang ia pelihara.
Petugas kota Konya lalu datang menegur orang itu dan memintanya agar menyingkirkan tanaman berduri dari jalan. Si penanam enggan untuk menebang tanamannya. Tapi setelah banyak orang yang protes, akhirnya ia berjanji untuk menebang tanaman itu keesokan harinya. Tapi ternyata pada hari berikutnya, ia menunda pekerjaannya. Demikian pula hari berikutnya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga akhirnya orang itu sudah menjadi sangat tua dan tanaman berduri itu sudah menjadi pohon yang sangat kokoh. Orang tua itu sudah tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam.
Dalam bahasa sederhana, Rumi menasehati kita, “kalian, wahai orang-orang yang malang, adalah penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan dan sifat buruk kalian, perilaku tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, banyak sudah yang menjadi korban. Dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan menunda untuk menebang duri itu. Ambillah kapak dan tebang duri-duri itu sekarang, agar orang bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu olehmu.”
Ingatlah rumpun berduri itu setiap kebiasaan burukmu
Berulang kali tusukannya menyobekkan kakimu
Berulangkali kamu terluka oleh akhlakmu yang keji
Kamu tak punya perasaan, bebal dan keras hati
Jika terhadap luka yang kamu torehkan pada orang
Yang semua dari watakmu yang garang
Kamu tak peduli, paling tidak pedulikan lukamu sendiri
Kamu menjadi bencana bagi semua orang dan diri sendiri
Ambillah kapak dan tebas layaknya lelaki
Runtuhkan benteng Khaibar, laksana Ali
(Matsnawi, hal 1240-1246).
Labels:
Rumi Poetry,
Sastra Sufistik
Wednesday, December 21, 2011
Sufi Road : Puisi Cinta Rumi

Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu.
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu,
Bagai unta memahah biak makanannya,
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara,
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata.
Aku bagai benih di bawah tanah,
Aku menanti tanda musim semi.
ingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi,
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi.
CINTA : LAUTAN TAK BERTEPI
Cinta adalah lautan tak bertepi
langit hanyalah serpihan buih belaka.
Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta
Andai tak ada Cinta, Dunia akan membeku.
Bila bukan karena Cinta,
Bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan?
Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam?
Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju
Tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang bagai belalang.
Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna
Dan naik ke atas laksana tunas.
Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah
lagu pujian Keagungan pada Tuhan.
PERIH CINTA
Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta:
Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini.
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi,
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta,
Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari?
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.
TANPA CINTA, SEGALANYA TAK BERNILAI
Jika engkau bukan seorang pencinta,
maka jangan pandang hidupmu adalah hidup
Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan
dihitung Pada Hari Perhitungan nanti
Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,
akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit
dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari
Mereka merupakan bintang-bintang di langit
agama yang dikirim dari langit ke bumi
Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah
dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting
dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan
Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira
bagaikan sekumpulan kebahagiaan
Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ?
Sang lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati
adalah melalui Kerendahan Hati.
Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan :
“Bukankah Aku ini Rabbmu ?”
KEARIFAN CINTA
CINTA yang dibangkitkan
oleh khayalan yang salah
dan tidak pada tempatnya
bisa saja menghantarkannya
pada keadaan ekstasi.
Namun kenikmatan itu,
jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya
kekasih yang sedar akan hadirnya seseorang
by Jalaludin Rumi
Labels:
Rumi Poetry
Thursday, November 24, 2011
Rumi : Hikmah Kesengsaraan

Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan :
merintih terus-menerus tiada henti.
"Mengapa engkau letakkan api di bawahku ?
Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini ?"
Sang isteri memukulnya dengan penyendok
"Sekarang," katanya "jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku ;
sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air
minum itu demi api ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada kemurkaan-Nya, tujuannya bahwa dengan
kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya itu
supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, "Sekarang
engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai."
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri
tak tersisa padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan
dalam mulut dan masuk ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran ! Engkau menjadi air bersusu : Kini
jadilah singa hutan !
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan;
kembalilah kepada Sifat-sifat-Nya !
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang ; Engkau 'kan
menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, 'bunuhlah
aku, wahai para teman setia', adalah benar.
Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata- kata, 'Lihatlah, karena
dibunuh aku hidup,' adalah benar."
Labels:
Rumi Poetry,
Sastra Sufistik
Tuesday, November 8, 2011
Rumi : Datanglah Dengan Suka Hati

Semuanya berjalan dengan rasa malas sepanjang jalan ini, kecuali hanya mereka yang diberitahu rahasia-rahasia tindakan Ilahi.
Perintah "Datanglah engkau dengan terpaksa"ditujukan kepada pengikut yang buta;" Datanglah dengan suka hati " diperuntukkan bagi orang yang dibentuk oleh kebenaran.
Adapun yang pertama, seperti seorang bayi, mencintai Jururawat hanya demi susu,yang lainnya mempersembahkan hatinya kepada Tuhan Yang Maha Lembut.
"Bayi" tidak mengetahui kecantikan-Nya: ia tidak menginginkan dari-Nya kecuali susu semata;Pecinta Jururawat yang sesungguhnya tidak mementingkan diri, tulus-ikhlasdalam kesetiaan yang murni.
Apakah pencari Tuhan itu mencintai-Nya demi sesuatu selain-Nya atau tidak,agar selalu dapat bagian dari kebaikan-Nya,
Atau mencintai Tuhan demi Diri-Nya, sia-sia berada di samping-Nya,
agar tidak dipisahkan dari-Nya.
Dalam kedua hal itu pencarian maupun hasrat itu berasal dari Sumber tadi :hati itu dijadikan tawanan oleh Sang Hati yang sangat mempesona.
Labels:
Rumi Poetry,
Sastra Sufistik
Monday, January 10, 2011
Sufi Road : Rumi Poem "Lelaki dan Wanita"

Jika cahaya Cinta menerobos kalbu kita, artinya Cinta telah bersemayam di hati si dia
Bila Cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu
Suara tepukan tidak akan terdengar dari tangan yang bertepuk sebelah tangan
Tuhan telah menetapkan bahwa kita adalah pencinta satu dengan yang lain.
Karena ketentuan itulah setiap hal di muka bumi diberi pasangan
Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan
Perumpamaan Bumi dan Langit adalah seperti bakat dan kepandaian
Yang satu memerlukan yang lain untuk hidup dan maujud
Tanpa Bumi bagaimana kembang dan pepohonan berbunga?
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
Ketika Tuhan meletakkan nafsu berahi ke dalam diri lelaki dan perempuan
Lihat, dunia telah berhasil diselamatkan oleh persatuan dari keduanya.
Begitulah Tuhan menanamkan keinginan dalam setiap bagian
Dari keberadaan demi bagian keberadaan yang lain
Siang dan Malam, dilihat dari luar saling bertentangan
Namun untuk mencapai tujuan yang satu, mereka saling membantu
Masing-masing saling mencinta untuk mencapai kesempurnaan
Mereka saling memerlukan agar kerja mereka sempurna
Tanpa Malam, hidup manusia tak akan membuahkan hasil, pun jika tanpa Siang.
Labels:
Rumi Poetry
Sunday, December 19, 2010
Sufi Road : Rumi Anniversary


BAnyak sekali karya-karya beliau yang cukup fenomenal yaitu Masnavi, Diwan-e Shams-e Tabrizi, dan Fihi Ma Fihi
Berikut adalah secuplik syair-syair Rumi :
"I Died as a Mineral" by Maulana Rumi
I died as a mineral and became a plant,
I died as plant and rose to animal,
I died as animal and I was Man.
Why should I fear? When was I less by dying?
Yet once more I shall die as Man, to soar
With angels blest; but even from angelhood
I must pass on: all except God doth perish.
When I have sacrificed my angel-soul,
I shall become what no mind ever conceived.
Oh, let me not exist! for Non-existence
Proclaims in organ tones, 'To Him we shall return.'
Divan-e-Shams by Maulana Rumi, Spiritual Couplet 26
I need a lover and a friend
All friendships you transcend
And impotent I remain
You are Noah and the Ark
You are the light and the dark
Behind the veil I remain
You are passion and are rage
You are the bird and the cage
Lost in flight I remain
You are the wine and the cup
You are the ocean and the drop
While afloat I remain
I said, "O Soul of the world
My desperation has taken hold!"
"I am thy essence," without scold,
"Value me much more than gold."
You are the bait and the trap
You are the path and the map
While in search I remain
You are poison and the sweet
You are defeated and defeat
Sword in hand I remain
You are the wood and the saw
You are cooked, and are raw
While in a pot I remain
You are sunshine and the fog
You are water and the jug
While thirsty I remain
Sweet fragrance of Shams is
The joy and pride of Tabriz
Perfume trader I remain.
Other Select Verses by Maulana Rumi
I swallowed
some of the Beloved's sweet intoxicant,
and now I am ill.
My body aches,
my fever is high.
They called in the Doctor and he said,
drink this tea!
OK, time to drink this tea.
Take these pills!
OK, time to take these pills.
The Doctor said,
get rid of the sweet intoxicant of his lips!
OK, time to get rid of the doctor.
It is your turn now,
you waited, you were patient.
The time has come,
for us to polish you.
We will transform your inner pearl
into a house of fire.
You're a gold mine.
Did you know that,
hidden in the dirt of the earth?
It is your turn now,
to be placed in fire.
Let us cremate your impurities.
When we talk about the witness in our verse,
we talk about you.
A pure heart and a noble demeanor
cannot compete with your radiant face.
They will ask you
what you have produced.
Say to them,
except for Love,
what else can a Lover produce?
By day I praised you
and never knew it.
By night I stayed with you
and never knew it.
I always thought that
I was me--but no,
I was you
and never knew it.
This is a gathering of Lovers.
In this gathering
there is no high, no low,
no smart, no ignorant,
no special assembly,
no grand discourse,
no proper schooling required.
There is no master,
no disciple.
This gathering is more like an intoxicated party,
full of tricksters, fools,
mad men and mad women.
This is a gathering of Lovers.
I wish I could give you a taste of
the burning fire of Love.
There is a fire
blazing inside of me.
If I cry about it, or if I don't,
the fire is at work,
night and day.
People make clothing to cover their intellect,
but the heart of Lovers
is a shroud,
inflamed in golden hues of His Love.
Labels:
Rumi Poetry
Wednesday, November 3, 2010
Sufi Road : Rumi Poem "Perkawinan dan Penyatuan"

Dua sosok, dua wajah, yang menyatu …
kau dan aku.
Bunga-bunga ‘kan bermekaran dan
burung-burung ‘kan menembangkan kidungnya,
ketika kita memasuki taman … kau dan aku.
Bintang-bintang ‘kan muncul di langit ‘tuk menjadi saksi,
‘kan kita terangi mereka,
dengan cahaya purnama … kau dan aku.
Tiada lagi pemisahan ‘kau’ dan ‘aku’
nuansa kebahagiaan dalam penyatuan semata -
kegembiraan, kegairahan, tiada kesusahan … kau dan aku.
Burung-burung surga yang bersayap cemerlang,
‘kan menukik turun ‘tuk minum air yang manis -
air mata kebahagiaan kita … kau dan aku.
Betapa sebuah keajaiban, kita duduk disini,
walau di tepi dunia yang berseberangan,
kita tetap akan duduk bersama … kau dan aku.
Kita adalah satu sosok di dunia ini,
dan menjadi sosok yang lain dikemudian.
bagi kita ada surga yang abadi,
keceriaan yang tanpa akhir …. kau dan aku.
__________
Sumber: Diwan, S P, XXXVIII – terjemahan ke bahasa Inggris oleh Reynold A Nicholson – alih ke bahasa Indonesia oleh wiwin.wr
Labels:
Rumi Poetry
Wednesday, September 22, 2010
Sufi Road: Rumi Poem - "Menangislah.."
Karena tangisan awan, taman pun tersenyum
Karena tangisan bayi, air susu pun mengalir
Pada suatu hari ketika bayi tahu cara, ia berkata
“Aku akan menangis agar perawat penyayang tiba”
Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat Agung
Tidak akan berikan susu jika kamu tidak meraung
Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya”
Dengarkan, anugerah Tuhan kan curahkan air susunya
Tangisan awan dan panas mentari
Adalah tiang dunia, rajutlah keduanya
Jika tak ada panas mentari dan tangisan awan
Mana mungkin bakal kembang semua badan
Mana mungkin musim silih berganti
Jika kemilau dan tangis ini berhenti
Mentari yang membakar dan awan yang menangis
Itulah yamg membuat dunia segar dan manis
Biarkan matahari kecerdasanmu terus-menerus terbakar
Biarkan matamu, seperti awan, kemilau karena airmata yang keluar
Menangislah seperti rengekan anak kecil, jangan makan rotimu
karena roti jasmanimu akan mengeringkan air ruhanimu
Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur
Siang malam batang rohmu melepaskannya seperti musim gugur
Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan rohmu
Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan rohmu!
Pinjami Tuhan, pinjamkan kerimbunan tubuhmu
Tukarkan dengan taman yang merkah dalam jiwamu
Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu
Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu
Ketika badan mengeluarkan semua kotoran keji
Tuhan mengisinya dengan mutiara dan kesturi
Orang itu telah menukar kotoran dengan kesucian
Dari “Dia sucikan kamu” ia peroleh kenikmatan
__________
dari buku Matsnawi, Buku Kelima 65-149
Karena tangisan bayi, air susu pun mengalir
Pada suatu hari ketika bayi tahu cara, ia berkata
“Aku akan menangis agar perawat penyayang tiba”
Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat Agung
Tidak akan berikan susu jika kamu tidak meraung
Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya”
Dengarkan, anugerah Tuhan kan curahkan air susunya
Tangisan awan dan panas mentari
Adalah tiang dunia, rajutlah keduanya
Jika tak ada panas mentari dan tangisan awan
Mana mungkin bakal kembang semua badan
Mana mungkin musim silih berganti
Jika kemilau dan tangis ini berhenti
Mentari yang membakar dan awan yang menangis
Itulah yamg membuat dunia segar dan manis
Biarkan matahari kecerdasanmu terus-menerus terbakar
Biarkan matamu, seperti awan, kemilau karena airmata yang keluar
Menangislah seperti rengekan anak kecil, jangan makan rotimu
karena roti jasmanimu akan mengeringkan air ruhanimu
Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur
Siang malam batang rohmu melepaskannya seperti musim gugur
Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan rohmu
Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan rohmu!
Pinjami Tuhan, pinjamkan kerimbunan tubuhmu
Tukarkan dengan taman yang merkah dalam jiwamu
Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu
Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu
Ketika badan mengeluarkan semua kotoran keji
Tuhan mengisinya dengan mutiara dan kesturi
Orang itu telah menukar kotoran dengan kesucian
Dari “Dia sucikan kamu” ia peroleh kenikmatan
__________
dari buku Matsnawi, Buku Kelima 65-149
Labels:
Rumi Poetry
Subscribe to:
Posts (Atom)