Thursday, January 21, 2010

Fenomena Hikayat 1001 malam

Hikayat 1001 Malam yang merupakan sumbangsih peradab-an Islam, kini telah menjadi cerita rakyat seluruh dunia. Sastra epik Arab di zaman kekhalifahan itu telah memberi pengaruh yang besar dalam peradaban manusia terutama dalam bidang kebudayaan.

’Buku ibu’ sastra tradisional Arab. Begitulah para sastrawan dunia menjuluki kitab alf layla wa-layla (hikayat 1001 Malam). Karya sastra epik Arab terbaik yang amat fenomenal itu merupakan buah karya para sastrawan Muslim di era keemasan. Meski telah berusia 12 abad, hikayat 1001 Malam masih memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya Arab maupun non-Arab.


Karya sastra epik yang melegenda itu merupakan salah satu bukti kontribusi para sastrawan Muslim di zaman kekhalifahan bagi jagad sastra dunia. Hikayat 1001 Malam yang begitu fenomenal tak pernah mati digilas zaman. Cerita rakyat yang sangat fenomenal itu selalu diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dalam peradaban manusia.

Sejatinya hikayat 1001 Malam merupakan kumpulan cerita berbingkai yang sambung-menyambung dan menampilkan beragam tokoh yang berbeda-beda. Cerita rakyat yang berkisah tentang berbagai legenda, dongeng, fabel, dan roman dengan beragam latar yang berbeda seperti Baghdad, Basrah, Kairo, Damaskus, Cina, Yunani, India, Afrika Utara dan Turki itu muncul pada abad ke-9 M. Ketika itu, Baghdad ibu kota Dinasti Abbasiyah telah menjelma sebagai metropolis intelektual dunia. Selain dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan dan peradaban, di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid (786 M - 803 M) Baghdad pun menjadi kota perdagangan yang sangat penting di dunia.

Kota itu menjadi tempat persinggahan para saudagar dari berbagai belahan dunia, seperti India, Cina, Afrika serta Eropa. Konon, pada era itulah cikal-bakal hikayat 1001 Malam mulai dirajut. Terdapat beragam versi tentang asalmuasal lahirnya karya sastra epik Arab yang termasyhur itu. NJ Dawood dan William Harvey dalam bukunya berjudul Tales from the Thousand and One Nights mengungkapkan, hikayat 1001 Malam merupakan satra epik yang berasal dari tiga rumpun kebudayaan dunia, yakni India, Persia, dan Arab.

‘’Masterpieces seni cerita bertutur itu berasal dari sebuah buku dari Persia yang hilang berjudul Hazar Afsanah (Seribu Legenda),’‘ papar Dawood dan Harvey. Menurut keduanya, buku cerita dari Persia itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada tahun 850 M. Hazar Afsanah, imbuh keduanya, berisi tentang cerita rakyat India dan Persia. ‘’Para pendongeng Muslim yang profesional membumbui dan mengadopsi cerita itu dengan warna lokal Arab.’‘ Versi lainnya menyebutkan, hikayat 1001 Malam sebagai kumpulan ceritera rakyat Arab. Adalah Abu Abdullah bin Abdus Al-Jasyayari seorang pengarang Muslim terkemuka yang merangkai dan dan menulis kisah yang legendaris itu. Kitab alf layla wa-layla yang ditulis Al-Jasyayari ide ceritanya berasal dari Hazar Afsanah yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab.

Pendapat lainnya menuturkan, do ngeng 1001 Malam yang dikenal dalam ba ha sa Persia berjudul Hezar-o yek sab itu merupakan sebuah kumpulan cerita yang disusun selama berabad-abad oleh be gitu banyak pengarang, penerjemah, dan sarjana. Cerita rakyat yang mulai la hir antara abad ke-8 M hingga 9 M itu berawal dan berakar dari cerita rakyat Arab dan Yaman Kuno, India Kuno, Asia Kecil Kuno, Persia Kuno, Mesir Kuno, Suriah Kuno, dan era kekhalifahan Islam. Cerita rakyat India mewarnai dongeng 1001 Malam melalui fabel Sansekerta kuno. Sedangkan, cerita rakyat Baghdad hadir dalam hikayat yang populer itu melalui Kekhalifahan Abbasiyah.

Sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwas - penyair terkemuka di era kekuasaan Abbasiyah muncul dalam cerita rakyat yang begitu melegenda itu. Kumpulan cerita rakyat itu mengangkat kisah tentang seorang ratu Sassanid bernama Scheherazade. Dalam dongeng 1001 Malam itu, sang Ratu menceritakan serantai kisah-kisah yang menarik pada suaminya, Raja Shahryar. Cerita demi cerita yang dikisahkan sang ratu pada raja merupakan upaya cerdik yang dilakukannya untuk menunda hukuman mati atas dirinya. Malam demi malam, Ratu Scheherazade bercerita pada sang raja.

Scheherezade mengakhiri kisahnya dengan akhir yang menegangkan dan menggantung. Sehingga, sang raja dibuat tertarik dan penasaran untuk mendengar kelanjutan kisah dari sang ratu. Setiap kisah yang diceritakan ratu mampu membetot perhatian raja. Sang raja pun selalu menangguhkan perintah hukuman mati bagi Scheherazade.

Hikayat 1001 Malam mengandung beragam cerita seperti, kisah percintaan, tragedi, komedi, syair, ejekan, serta beragam bentuk erotika. Sejumlah kisah yang termuat dalam 1001 Malam juga melukiskan tentang jin, tukang sihir, tempat-tempat legendaris yang sering kali menampilkan tempat dan orangorang yang sesungguhnya. Khalifah Harun Ar-Rasyid, Abu Nuwas dan Wazir (perdana menteri) Ja’far Al-Barmaki juga menjadi tokoh cerita. Popularitas Hikayat 1001 Malam semakin mengkilap lantaran diramikan dengan kisah-kisah lainnya yang menarik seperti, Aladdin dan Lampu Wasiat, Ali Baba, Sinbad si Pelaut, serta 40 Pencuri.

Namun, kisah-kisah yang justru cerita rakyat Timur Tengah yang asli itu tak muncul dalam kitab alf layla wa-layla versi Arab. Kisah-kisah yang menarik itu justru baru muncul dalam The Arabian Nights yang diterjemahkan seorang sarjana Prancis bernama Jean Antonie Galland. Galland mengaku menulis kisah- kisah yang banyak diangkat ke dalam film di berbagai negara itu setelah mendengarnya dari seorang penutur cerita asal Aleppo, Suriah bernama Hanna Diab. Hikayat 1001 Malam yang merupakan sumbangsih peradaban Islam, kini telah menjadi cerita rakyat seluruh dunia. Sastra epik Arab di zaman kekhalifahan itu telah memberi pengaruh yang besar dalam peradaban manusia terutama dalam bidang kebudayaan.

Dengan sederet kisah yang memikat, hikayat 1001 Malam telah memberi warna dalam bidang sastra, film, musik dan permainan di berbagai belahan dunia. Itulah yang membuat dongeng 1001 Malam tak lekang digerus zaman. Selalu menemani perjalanan setiap generasi umat Manusia.

Dari versi Prancis hingga Portugis

Sejatinya, Jean Antonie Galland adalah seorang kolektor yang gemar berburu benda-benda antik. Perburuan barang antik yang dilakukan sarjana berkebangsaan Prancis itu telah mengantarnya pada sebuah naskah kumpulan dongeng Arab yang menakjubkan. Kumpulan dongeng yang dalam bahasa Arab berjudul kitab alf layla wa-laylaitu mampu memikat Galland.

Sang kolektor benda antik itu begitu yakin naskah kumpulan dongeng Arab yang ditemukannya begitu bernilai. Ia lalu menerjemahkan kitab dongeng 1001 Malam yang dtemukannya itu ke dalam bahasa Prancis yang bertajuk Les Mille et une nuits, contes arabes traduits en francais(Seribu satu malam cerita Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis).

Dongeng itu diterjemahkan ke dalam 12 jilid. Galland menerbitkan jilid pertama kisah 1001 Malam itu pada tahun 1704. Sedangkan, dua jilid terakhir diterbitkan pada tahun 1717. Dalam buku dongeng 1001 malam yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Prancis itu, Galland memuat dongeng-dongeng Arab lainnya seperti, Aladin Lampu Ajaib, Ali Baba, 40 Pencuri serta Sinbad si Pelaut. Dongeng itu tak tertulis dalam kitab 1001 Malam asli versi Arab.

Galland memuat cerita rakyat Timur Tengah itu dari seorang tukang dongeng dari Allepo, Suriah. Sejarah sastra mencatat, Galland sebagai orang pertama yang memperkenalkan dongeng 1001 Malam kepada masya - r akat Eropa. Kisah yang memikat itu pun mendapat sambutan hangat dari masyarakat Eropa. Berkat alihbahasa yang dilakukannya, nama Galland pun berkibar di daratan Eropa.

Kisah 1001 Malam versi bahasa Inggris pun lalu muncul pada tahun 1885. Adalah penerjemah terkemuka bernama Sir Richard Francis Burton yang melakukan alih bahasa kitab alf layla wa- laylake dalam bahasa Inggris berjudul The Book of the Thousand Nights and a Night. Pada tahun itu dia menerbitkan 10 volume dongeng 1001 Malam. Kemudian, pada tahun 1886 dan 1888 Burton kembali menerbitkan enam volume tambahan dongeng itu.

Hikayat 1001 Malam versi bahasa terbaru diterjemahkan Powys Mathers. Versi teranyar itu didasarkan atas manuskrip Suriah abad ke-14 M yang terdapat di Bibliothäque Nationale. Pada tahun 2005, seorang sarjana Brasil Mamede Mustafa Jarouche mulai menerbitkan Hikayat 1001 Malam dalam bahasa Portugis. Baru-baru ini, hikayat 1001 Malam juga telah terbit dalam bahasa Indonesia.

Mereka yang Terpengaruh Hikayat 1001 Malam

Hikayat 1001 Malam telah mampu menyihir para sastrawan barat di era modern. Mereka yang ‘kesihir’ kehebatan kitab alf layla wa- laylaitu antara lain:

GOETHE
memiliki hubungan emosional yang erat dengan cerita rakyat asal Timut Tengah ini. Menu - rut Katharina Momsen, 1001 Malam mempunyai pengaruh kuat dalam karya-karya Goethe. Ia mulai tertarik dengan cerita-cerita itu sejak belia. Dalam beberapa puisinya, Goethe banyak menyebut ‘Syahrazaad’ (tokoh dalam Seribu Satu Malam). Salah satu novel terkenalnya Wilhelm Meisters Wanderjahre (Tahun-tahun pengembaraan di Wilhelm Meisters), menggunakan pola penceritaan Syahrazaad dalam 1001 Malam. Goethe tak hanya terpengaruh dengan pola penulisan yang disajikan dongeng rakyat Timur Tengah itu. Goethe juga kerap meminjam tema, judul cerita dan penokohan dari Seribu Satu Malam. ?

EDGAR ALLAN POE
Dia menulis cerita 1002 Malam. Cerita itu sangat terpengaruh dengan Hikayat 1001 Malam yang sangat populer.

BILL WILLINGHAM
Dia adalah pencipta buku komik seri fabel. Willingham menggunakan cerita 1001 Malam sebagai dasar cerita fabel yang dibuatnya yang berjudul 1001 Nights of Snowfall.

ALFRED TENNYSON DAN WILLIAM WORDSWORTH’S
Dongeng 1001 Malam ternyta juga telah memberi inspirasi terhadap syair dan puisi di Inggris. Puisi kedua penyair itu sangat dipengaruhi dongeng 1001 Malam. Pengaruh cerita rakyat itu mempengaruhi Alfred Tennyson dalam puisinya berjudul Recollections of the Arabian Nights(1830). Sedangkan puisi karya William Wordsworth’s yang terinspirasi 1001 Malam berjudul ‘The Prelude’ (1805).



Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari - Ahli tasawuf dari tanah kalimantan

Nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai ‘Matahari Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.


Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, tulis situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya, tulis buku itu, lokasi ini berupa sebidang tanak kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.

Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan, sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.

Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Ia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan Hukum Fiqih di Asia Tenggara.

Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan ‘Empat Serangkai dari Tanah Jawi’ yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama ‘Matahari Agama’ yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan – panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang – ini dikebumikan.
Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab.

Buku-buku yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.

Dari berbagai buku-buku fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.

Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul "Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin," menyatakan, ”Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.”

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.

Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan, ”Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.

Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. ”Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata,” ujar Kailani.

”Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak,” tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Mas’udi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.

”Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang,” kata Kailani.

Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang kini tengah mentahkik karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.

Sumber : Newsroom republika

Syair Sufi Burdah al Bushiri (bag 4)

Kelahiran Sang Nabi SAW

Kelahiran Sang Nabi menunjukkan kesucian dirinya
Alangkah eloknya permulaan dan penghabisannya

Lahir saat bangsa Persia berfirasat dan merasa
Peringatan akan datangnya bencana dan angkara murka

Dimalam gulita singgasana kaisar Persia hancur terbelah
Sebagaimana kesatuan para sahabat kaisar yang terpecah

Karena kesedihan yang sangat, api sesembahan padam
Sungai Eufrat pun tak mengalir dari duka yang dalam

Penduduk negeri sawah bersedih saat kering danaunya
Pengambil air kembali dengan kecewa ketika dahaga

Seakan sejuknya air terdapat dalam jilatan api
Seakan panasnya api terdapat dalam air, karena sedih tak terperi

Para jin berteriak sedang cahaya terang memancar
Kebenaran pun tampak dari makna kitab suci maupun terujar

Mereka buta dan tuli hingga kabar gembira tak didengarkan
Datangnya peringatan pun tak mereka hiraukan

Setelah para dukun memberi tahu mereka
Agama mereka yang sesat takkan bertahan lama

Setelah mereka saksikan kilatan api yang jatuh dilangit
Seiring dengan runtuhnya semua berhala dimuka bumi

Hingga lenyap dan pintu langitNya
Satu demi satu syetan lari tunggang langgang tak berdaya

Mereka berlarian laksana lasykar Raja Abrahah
Atau bak pasukan yang dihujani kerikil oleh tangan Rasul

Batu yang Nabi lempar sesudah bertasbih digenggamannya
Bagaikan terlemparnya Nabi Yunus dan perut ikan paus
---(ooo)---


Syair Sufi Burdah al Bushiri (bag 3)

Pujian Kepada Nabi SAW

Kutinggalkan sunnah Nabi yang sepanjang malam.
Beribadah hingga kedua kakinya bengkak dan keram.

Nabi yang karena lapar mengikat pusarnya dengan batu.
Dan dengan batu mengganjal Perutnya yang halus itu.

Kendati gunung emas menjulang menawarkan dirinya.
la tolak permintaan itu dengan perasaan bangga.

Butuh harta namun menolak, maka tambah kezuhudannya.
Kendati butuh pada harta tidaklah merusak kesuciannya.

Bagaimana mungkin Nabi butuh pada dunia.
Padahal tanpa dirinya dunia takkan pernah ada.

Muhammadlah pemimpin dunia akherat.
Pemimpin jin dan manusia, bangsa Arab dan non Arab.

Nabilah pengatur kebaikan pencegah mungkar.
Tak satu pun setegas ia dalam berkata ya atau tidak.

Dialah kekasih Allah yang syafa’atnya diharap.
Dari tiap ketakutan dan bahaya yang datang menyergap.

Dia mengajak kepada agama Allah yang lurus.
Mengikutinya berarti berpegang pada tali yang tak terputus.

Dia mengungguli para Nabi dalam budi dan rupa.
Tak sanggup mereka menyamai ilmu dan kemuliaannya.

Para Nabi semua meminta dari dirinya.
Seciduk lautan kemuliaannya dan setitik hujan ilmunya.

Para Rasul sama berdiri di puncak mereka.
Mengharap setitik ilmu atau seonggok hikmahnya.

Dialah Rasul yang sempurna batin dan lahirnya.
Terpilih sebagai kekasih Allah pencipta manusia.

Dalam kebaikanya, tak seorang pun menyaingi.
Inti keindahannya takkan bisa terbagi-bagi.

Jauhkan baginya yang dikatakan Nasrani pada Nabinya.
Tetapkan bagi Muhammad pujian apapun kau suka.

Nisbatkan kepadanya segala kemuliaan sekehendakmu.
Dan pada martabatnya segala keagungan yang kau mau.

Karena keutamaannya sungguh tak terbatas.
Hingga tak satupun mampu mengungkapkan dengan kata.

Jika mukjizatnya menyamai keagungan dirinya.
Niscaya hiduplah tulang belulang dengan disebut namanya.

Tak pernah ia uji kita dengan yang tak diterima akal.
Dari sangat cintanya, hingga tiada kita ragu dan bimbang.

Seluruh mahluk sulit memahami hakikat Nabi.
Dari dekat atau jauh, tak satu pun yang mengerti.

Bagaikan matahari yang tampak kecil dari kejauhan.
Padahal mata tak mampu melihatnya bila berdekatan.

Bagaimana seseorang dapat ketahui hakikat Sang Nabi
Padahal ia sudah puas bertemu dengannya dalam mimpi

Puncak Pengetahuan tentangnya ialah bahwa ia manusia
Dan ia adalah sebaik baik seluruh ciptaan Allah

Segala mukjizat para Rasul mulia sebelumnya
Hanyalah pancaran dari cahayanya kepada mereka

Dia matahari keutamaan dan para Nabi bintangnya
Bintang hanya pantulkan sinar mentari menerangi gulita

Alangkah mulia paras Nabi yang dihiasi pekerti
Yang memiliki keindahan dan bercirikan wajah berseri

Kemegahannya bak bunga, kemuliaannya bak purnama
Kedermawanannya bak lautan, kegairahannya bak sang waktu

la bagaikan dan memang tiada taranya dalam keagungan
Ketika berada di sekitar pembantunya dan di tengah pasukan

Bagai mutiara yang tersimpan dalam kerangnya
Dari kedua sumber, yaitu ucapan dan senyumannya

Tiada keharuman melebihi tanah yang mengubur jasadnya
Beruntung orang yang menghirup dan mencium tanahnya
---(ooo)---


Spiritualitas Jilani untuk Semua Agama


Judul Buku: Jila’ al-Khatir
Penulis: Syeikh Abdul Al-Qadir Jilani (wacana-wacana kekasih Allah)
Penerjemah: Luqman Hakim
Penerbit: Marja (Bandung) Oktober 2009.
Tebal: 264 Halaman.
Harga 45.000

Selama ini Abdul Qadir al-Jilani dikenal sebagai sufi (spiritual) muslim tradisional, tetapi melalui Jila-al-khatir ini pesonanya berubah 180 derajat. Ia bukan seorang sufi eskapis dan sektarian, melainkan seorang motivator, spiritualis dan universalis. Sebuah buku dahsyat yang akan mengubah kehidupan spiritualitas berubah seketika. Sebuah buku yang akan membawa kita kepada kesadaran etos kerja, kemandirian dan pemikiran positif untuk meraih kebahagiaan hidup di masa krisis sekarang ini. Layak dibaca oleh pemeluk agama manapun.

Para pecandu spiritual di kalangan Islam baik mazhab Sunni maupun Syiah sepakat bahwa Abdul Qadir Jilani adalah manusia spiritual yang mencapai hal dan maqam spiritual yang tidak pernah dicapai sufi lainnya. Puncak spiritual sufisme yang paling fenomenal ialah munculnya jargon, "kakiku berda di atas leher setiap sufi,” yang berarti bahwa dia adalah seorang tokoh spiritual paling top sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.

Sang fenomenal inilah yang kemudian menarik perhatian kalangan ilmuwan di Eropa. Sejak tahun 1920 hingga kini, tak henti-hentinya para peneliti membongkar manuskrip tentang pemikiran dan jalan sufi Abdul Qadir Jilani. Para peneliti itu kebanyakan melihat sosoknya sebagai seorang spiritualis sejati yang memiliki keunikan mampu melepas dari kontroversi lintas mazhab: Ini yang membedakan Abdul Qadir dengan sufi radikal lainnya semisal Siti Jenar atau al-Hallaj.

Jila’ al-Khathir yang diterbitkan Isytar Press, Baghdad 1989 ini sekarang hadir ke tengah-tengah kesibukan kita. Memang sudah banyak buku atau kitab klasik yang mengulas pemikiran dan biografi Abdul Qadir, tetapi buku ini belum lengkap jika diabaikan. Buku ini memuat 40 manuskrip spesial dari Abdul Qadir Jilani yang memiliki sejumlah keunggulan seperti, rasionalitas pemikiran tentang konsep ketuhanan, empirisme praktik spiritualitas dan nilai universalitasnya.

Kalau selama ini sosok Jilani dianggap sebagai sufi tradisional abad pertengahan yang jauh dari nilai rasional, buku ini membuktikan lain. Mungkin karena pemikiran yang beredar selama ini cenderung disajikan dalam kemasan Islam tradisional dan kebanyakan diapresiasi oleh golongan Islam marjinal, maka buku ini sungguh menampilkan wajah Jilani yang lain, wajah Jilani yang modernis dan universalis.

Apa relevansinya Jila’ al-Khatir untuk kita semua?

Pertama, terletak pada nilai motivatornya. Tren modernitas yang kini menghadirkan pemikiran inklusif di setiap bidang memang sarat dengan nilai-nilai motivasi hidup. Dari sisi sosial-ekonomi hal ini bisa dimaklumi karena memang kondisi krisis selalu membutuhkan motivasi untuk bangkit. Wacana spiritualitas yang selama ini dikembangkan oleh banyak orang ternyata cukup banyak memberi kontribusi bagi masyarakat untuk bangkit. Sosok Mario Teguh dan beberapa motivator lainnya bisa menjadi contohnya. Jilani dengan universalitas spiritualnya akan membawa kita pada laku etik yang penuh kebajikan dan selalu mengarahkan pada sikap kemandirian, sikap dermawan dan sikap peduli pada sesama dengan pilar kasih-sayang.

Kedua, Jilani oleh para pengamat spiritualis Barat dianggap sebagai pengusung ide sufi (spiritualitas) yang tidak sektarian. Sekalipun ia seorang muslim yang taat, tetapi ternyata melalui Jila al-Khatir ini Jilani adalah seorang genius yang secara implisit ingin memberikan kontribusi pemikiran kepada non muslim. Wacana cinta sesama dan kiat menggapai spiritualitas ketuhanan yang ditulisnya sangat relevan untuk golongan agama manapun.

Ketiga, Jilani memiliki keunggulan karena mampu melepaskan jerat determinasi sosial-politik yang berkembang di masa hidupnya. Pemikiran-pemikiran dalam buku ini sungguh sangat menarik karena memperlihatkan kemampuan spiritualitas Jilani yang tidak terpengaruhi kehidupan masa itu sehingga saat kita baca sekarang pun masih terasa hangat dan bisa kita cumbui secara mesra untuk meraih nilai spiritual kehidupan di masa krisis sekarang ini.

Jila’ al-Khatir. Bukanlah strategi melarikan diri dari kenyataan (eskapisme) melainkan strategi spiritual yang akan membawa kita ke dalam kehidupan yang positif. Selamat menikmati.

Arifin Hakim, Alumni Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Cirebon


Kualitas Maskulin Feminin dalam Sifat-sifat Tuhan

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S.Al-Zariyat/51:49)

Ayat ini mengisyaratkan segala sesuatu selain Tuhan diciptakan berpasang-pasangan (za­ja³n). Bukan hanya manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan mempunyai pasangan, laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina, tetapi juga makhluk-makhluk lain seperti makhluk kosmologis. Di balik konsep berpasang-pasangan (azwaj) ini ada dua kualitas yang bekerja secara aktif dan mekanik, yaitu kualitas kejantanan dan ketegaran (masculinnity/struggeling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (femininity/nurturing).


Al-Qur'an sering kali menyebutkan fenomena kosmologi yang berpasang-pasangan, seperti langit dan bumi , siang dan malam dan musim dingin dan musim panas, dunia dan akhirat , syurga dan neraka , alam gaib dan alam nyata . Yang lebih istimewa pasangan-pasangan makrokosmos ini mempunyai jumlah yang sama di dalam Al-Qur'an, meskipun masa turunnya Al-Qur'an berlangsung sekitar 23 tahun.

Kemahaesaan Tuhan dapat difahami melalui kenyataan bahwa seluruh makhluk Tuhan diciptakan berpasang-pasangan dan hanya Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya Dia yang tidak butuh pasangan. Dia Yang Esa, baik dalam Esensi maupun dalam sifat. Karena itu, Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan segala sesuatu, "Tiada sesuatu yang menyerupai-Nya" (Q.S.Al-Syura/42:11).

Pada makhluk biologis, setiap pasangan mempunyai hubungan fungsional, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Masing-masing pasangan mempunyai ketergantungan antara satu dengan yang lain. Demikian pula makhluk-makhluk alam lainnya. Untuk menyatakan adanya siang diperlukan adanya malam, sulit dimengerti adanya sinar terang tanpa adanya kegelapan. Musim dingin baru dapat dimengerti setelah adanya musim panas. Seseorang tidak akan pernah memahami secara mendalam arti sebuah kesehatan jika tidak pernah sakit. Pengecualian terjadi dalam hal Pencipta (Al-Khaliq) dan ciptaan-Nya (al-makhl­q). Makhluk sangat tergantung kepada Khaliqnya, tetapi tidak sebaliknya.

Tuhan tidak masuk dalam konsep azwaj, karena Tuhan adalah Maha Mandiri, sebaliknya seluruh makhluk-Nya tidak ada yang mandiri secara paripurna. Eksistensi setiap makhluk ditentukan oleh hubungan horizontalnya dengan pasangannya dan secara vertikal oleh khaliq-nya. Termasuk manusia dan binatang, keutuhannya terletak pada hubungan interaktifnya dengan pasangannya, laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina.

Dalam dunia tasawuf, konsep azwaj dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, Tuhan Yang Maha Mandiri di mana segala sesuatu tergantung kepada-Nya , dianggap sebagai Zat Yang Wajib Wujudnya sementara makhluk-Nya disebut zat yang munkin wujudnya , karena keberadaannya sangat tergantung kepada kehendak-Nya dan keutuhan dan kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya. Dicontohkan langit dan bumi; langit memberi atau melimpahkan (al-faidl) dan bumi menerima atau menampung (istifadlah/. Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya hubungan antara laki-laki dan perempuan, atau menurut Murata hubungan antara keduanya dapat diterangkan melalui hubungan yang dan ying dalam Taoisme.

Ibn 'Arabi juga memberikan pernyataan yang hampir sama. Langit diumpamakan dengan suami dan bumi diumpamakan dengan isteri dalam kehidupan rumah tangga. Jika langit menurunkan airnya kepada bumi maka akan lahirlah berbagai makhluk biologis seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula halnya manusia, penurunan air (sperma) kepada perempuan menyebabkan tumbuhnya janin dalam rahim dan selanjutnya lahir sebagai manusia.

Dan Allah menjadikan bumi bagaikan isteri dan langit bagaikan suami.Langit membeikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui "hubungan suami-isteri". Ketika pemberian itu berlangsung, bumi mengeluarkan seluruh tingkatan benda-benda yang dilahirkan yang disembunyikan Tuhan di dalamnya.

Konsep perkawinan dalam pandangan sufi lebih luas dari pada sekedar apa yang dirumuskan dalam Fikih Perkawinan , yaitu peraturan perkawinan dan akibat-akibat hukum sebuah perkawinan. Kalangan sufi mengenal Perkawinan Makrokosmos (Macrocosmic Marriage), meliputi perkawinan hubungan-hubungan tertentu antara benda atau sifat yang berpasangan, seperti hujan mengawini tanah.

Komposisi ideal kualitas maskulin-feminin tergambar di balik 99 nama-Nya dalam Al-Asma` al-Husna, sebagaimana dapat di lihat sebagai berikut:

Kualitas Maskulin
1. Al-Jabbar (Yang Maha Pemaksa)
2. Al-Qawiy (Yang Maha Kuat)
3. Al-Muntaqim (Y.M. Penyiksa)
4. Al-Qahhar (Y.M.Menguasai)

Kualitas Feminin
1. Al-Rahim (Yang Maha Penyayang)
2. Al-Lathif (Y.M.Lembut)
3. Al-Gaf­r (Y.M.Pengampun)
4. Al-Hakim (Y.M.Bijaksana)

Orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat maskulin Tuhan, akan didominasi rasa: aktif, progresif, kuasa, independen, jauh, dan dominan (struggeling). Sedangkan orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat feminin Than akan didominasi rasa: pasrah, berserah diri, dekat, kasih dan pemelihara (nurturing).

Orang yang lebih menekankan aspek maskulinitas Tuhan, ia seringkali membayangkan Tuhan transenden, jauh, dan lebih memilih untuk menakuti-Nya. Sedangkan orang yang lebih menekankan aspek feminin Tuhan, ia membayangkan Tuhan immanen, dekat, dan lebih memilih untuk mencintai-Nya.

Sikap yang pertama akan memberikan efek seseorang harus hati-hati dalam berbuat, karena Tuhan itu Maha Adil (al-'Adl). Sedangkan yang kedua akan memberikan efek optimisme dalam menjalani kehidupan, karena Tuhan itu Maha Pemaaf (al-'Afuw).

Pendekatan pertama bisa melahirkan sikap formalisme beragama, karena membayangkan Tuhan itu Maha Penuh Perhitungan (al-Hasib). Sedangkan yang kedua bisa melahirkan sikap permissif dan seberono, karena membayangkan Tuhan Maha Penyayang (al-Rahman) dan Maha Pengampun (al-Gafur).

Yang ideal ialah seperti sabda Rasulullah: berakhlaklah sebagaimana akhlak Tuhan, yaitu kombinasi ideal antara kualitas maskulin dan kualitas feminin, seperti yang dicontohkan Rasulullah sebagai uswah al-Hasanah, yang "akhlaknya adalah Al-Qur'an".

Nama-nama indah Tuhan (al-asma` al-Husna) yang berjumlah 99 menurut hitungan ulama sunni, dapat dirangkai secara kronologis begitu indah ibarat seuntai tasbih. Dimulai dengan lafz al-jalalah, Allah, dengan angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka kesempurnaan, disusul dengan al-Rahman (Yang Maha Pengasih), al-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan seterusnya sampai ke angka 99, al-Shabr (Yang Maha Sabar) dan kembali lagi ke angka nol, Allah (lafz al-jalalah), atau kembali ke pembatas besar dalam untaian tasbih. Simbol angka nol berupa lingkaran atau titik, menggambarkan siklus kehidupan bagaikan sebuah cyrcle, bermula dan berakhir pada satu titik, atau menurut istilah Al-Qur`an: inna li Allah wa inna ilaih raji'un (kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya).

Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap bisa eksis kembali dan tidak perlu kehilangan semangat hidup. Bukankah di antara 99 nama itu sifat-sifat kasih Tuhan lebih dominan?

Allah bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin ("The Father God"), tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin ("The Mother God"). Ada kecenderungan di dalam masyarakat sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (al-Kabir), Maha Perkasa (al-'Aziz), dan Maha Pembalas/Pendendam (al-Muntaqim), bukannya menonjolkan sifat-sifat femininitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahim), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha Pema'af (al-'Afuw), sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti dari pada dicintai. Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan "The Father God", yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggeling, bukannya dengan "The Mother God", yang mengabil ciri berserahdiri, kasih, dekat, dan nurturing. Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan, seperti tercermin di dalam al-asma` al-Husna, dan sebagaimana juga dipraktekkan Rasulullah saw.

Allah swt, adalah Tuhan segala sesuatu, Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Ia bagaikan setitik air di tengah samudra. Bumi tempat ia hidup bagaikan sebuah titik di antara jutaan planet dalam galaksi bimasakti. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala`if al-ardl), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah swt, lebih menonjol sebagai Tuhan manusia dari pada Tuhan makrokosmos, karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar amban daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan. Sepantasnya kita menyadari bahwa konsep al-asma` al-Husna adalah konsep alam semesta. Tuhan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia, atau Tuhan tidak hanya kepada manusia, sebagaimana kesan dan pemahaman sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhir adalah "SIM" untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskh³r sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu bersumber dari Tuhan Yang Maha Bijaksana (al-Hakim), yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.

Manusia yang paling berkualitas di mata Allah swt ialah yang paling bertaqwa (Q.S. Al-Hujurat/49:13), yaitu "orang-orang yang menafkahkan (hartanya), naik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) oraang" (Q.S.Ali 'Imran/3:133). Dari ayat ini difahami bahwa kualitas sejati di sisih Allah swt ialah orang-orang yang mengaktifkan komposisi kualitas maskulin dan feminin. Sikap seperti inilah yang akan melahirkan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian di dalam masyarakat.

Dalam menyukseskan kedua misi manusia di bumi, yaitu sebagai khalifah dan sebagai hamba ('abid), komposisi kedua sifat ini juga santa penting. Kualitas maskulin sangat membantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai khalifah dan kualitas feminin sangat membantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai abid. Namun, separasi ini tidak berarti pemisahan secara total, karena misi kekhalifahan hanya dijalankan dengan kualitas maskulin, maka kemungkinan besar yang akan terjadi ialah disrupsi dan kerusakan lingkungan alam dan lingkungan sosial, serta ketimpangan ekologis. Sebaliknya, mengeliminir kualitas maskulin dalam menjalankan misi manusia sebagai 'abid, maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah fatalisme keagamaan, yakni kesalehan individual yang tidak membawa dampak ke dalam kehidupan sosial.

Idealnya, jika komposisi kedua kualitas ini menyatu dalam diri setiap orang, maka yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alam³n) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah Thayyibah wa Rab al-Gafur) di tingkat mikrokosmos

Sumber : Ustat Nasaruddin Umar

Jalaliah dan Jamaliah Allah

Asmâ al-Husnâ digolongkan ke dalam dua bagian besar, jalâliyah dan jamâliyah.

Jalâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keagungan dan kebesaran Allah SWT, seperti al-Akbar (Maha Besar), al-Azhîm (Maha Agung), al-Qawiy (Maha Kuat), dan al-Qadîr (Maha Kuasa).

Sedangkan jamâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keindahan dan kelembutan Allah, seperti al-Rahîm (Maha Penyayang), al-Ghafûr (Maha Pengampun), al-Lathîf (Maha Lembut), dan al-Rahmân (Maha Penyayang).

Aspek jalâliyah adalah sesuatu yang sangat bernilai luar biasa, sangat tinggi, tak terjangkau dan tak ada bandingannya dengan makhluknya. Akan tetapi, di samping itu Allah juga sekaligus indah, dekat, akrab, penuh cinta, dan sifat-sifat kelembutan lainnya yang terangkum dalam aspek jamâliyah.

Meskipun Allah Maha Penghukum, Maha Penyiksa, Maha Pendendam, Maha Keras, tetapi diri kita luput dari itu. Allah Maha Pencinta. Tidak ada kekerasan dalam cinta. Yang namanya cinta, lapar dan haus tidak terasa. Luka dan bisa bukan derita. Maka dari itu, di bulan suci Ramadlan orang bisa melaksanakan puasa dengan penuh rasa cinta kepada Allah Swt, sehingga puasa yang dilakukan secara berjama'ah itu dirasakan mudah. Dikatakan dalam Hadis:
"Berkah itu terletak pada jamaah".

Nama-nama keagungan lebih berhubungan dengan ketakterbandingan Allah dan hamba-Nya. Jika kita merasakan diri kita tak terbandingkan dengan Allah SWT, ini tidak salah. Akan tetapi, kalau kita menekankan aspek keserupaan, nama-nama jamâliyah Allah yang kita tonjolkan, itu juga tidak salah. Sebab, memang apa yang Allah ciptakan di dalam diri kita semuanya itu berasal dari Allah SWT.

Wajar kalau terjadi keserupaan-keserupaan. Allah Maha Pencinta, kita juga idealnya mencintai sesama. Allah Maha Pengasih, kita juga idealnya mengasihi antar sesama. Allah Maha lembut, kita juga harus lembut dengan sesama.

Mengidentifikasikan diri dengan sifat-sifat kelembutan Allah itu satu kenikmatan tersendiri. Semakin kita meniru sifat kelembutan Allah, semakin halus budi pekerti ini.

Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk merasakan kehalusan budi pekerti, cukup kita mencoba melakukan pendekatan diri kepada Allah, dengan cara belajar al-Asmâ al-Husnâ.

Contohilah sifat-sifat yang bisa kita contoh, terutama sifat jamâliyah-Nya. Akhlakul Karimah pasti akan terpelihara, tanpa harus melalui penataran-penataran, cukup dengan kedekatan diri kita kepada Allah SWT.

Nama-nama yang dipandang berbeda satu sama lain itu bukan berarti bahwa Allah kontradiktif, apalagi plin-plan. Dualitas itu ada dalam kaitannya dengan makhluk. Allah sendiri tidak merasakan dirinya memiliki sifat kontradiktif. Hanya kita yang memandang itu kontradiktif.

Bukankah diri kita juga kalau dilihat orang lain seringkali tidak konsisten? Di satu tempat, seseorang bisa tampil sebagai malaikat, di tempat lain tanpil sebagai iblis. Satu sisi penyelamat, tetapi sisi lain perusak. Namun demikian itu tetap menjadi bagian diri kita.

Kita keras pada waktu itu, karena keadaan menghendakinya. Tampil halus pada saat ini, karena keadaan menghendakinya. Dua-duanya bagian dari kita. Tidak ada pertentangan. Sifat-sifat Allah pun demikian. Dia adalah utuh pada dirinya sendiri. Itulah Ahâdiyat al-Wâhid.

Kita bisa mendekati Allah dari kedua aspek itu. Aspek jalâliyah Allah biasanya kita dekati melalui pendekatan rasional seperti dalam fiqh dan ilmu kalam (teologi). Hasilnya adalah kita membayangkan diri kita sangat jauh dengan Tuhan. Allah Maha Suci, kita sama sekali sangat kotor.

Waktu usia anak-anak, kita sering membayangkan Allah itu Maha Hebat dan segalanya sehingga tidak ada kemampuan bagi kita untuk mengidentifikasikan diri dengan Allah. Akibatnya, kita sangat takut kepada yang serba maha itu. Takwa pun diartikan takut. Sebagai efeknya, kita beribadah, shalat dan puasa pun dilakukan karena takut dan tunduk. Ada tersimpan beban-beban, terpaksa, dan keharusan.

Ini sangat berbeda kalau kita memakai pendekatan kalbu seperti dalam tasawuf. Allah seperti ada dalam diri kita (immanent). Tuhan tidak jauh bahkan ada dalam diri kita. Maka yang timbul bukan takut, tetapi cinta, karena Allah begitu dekat. Maka yang timbul adalah kepasrahan diri dan keterpesonaan.

Shalat dan puasa tidak lagi terasa sebagai tunduk kepada Tuhan, melainkan bagian dari kecintaan terhadap Tuhan. Nikmat sekali beribadah kepada Allah kalau kita menggunakan pendekatan tasawuf.

Kedua pendekatan ini jangan dipertentangkan. Tidak ada tasawuf tanpa syariat. Seorang hamba Tuhan tidak akan terpikir untuk mempertentangkannya satu sama lain. Akan tetapi, dia akan selalu mempersatukan. Prinsipnya preinciple of identity, bukan principle of negation.

Jangan berfikir kontradiktif, melainkan integratif. Orang yang kelebihan beban dalam hidupnya seringkali berfikir kontraproduktif. Di sinilah pentingnya kajian tasawuf, bisa melembutkan hati yang kasar, meluruskan pikiran yang bengkok, dan memutihkan jiwa yang kotor./taq

Sumber: Newsroom Republika

Tuesday, January 19, 2010

Syair Sufi Burdah al Bushiri (bag 2)

Peringatan akan Bahaya Hawa Nafsu

Sungguh hawa nafsuku tetap bebal tak tersadarkan.
Sebab tak mau tahu peringatan uban dan kerentaan.

Tidak pula bersiap dengan amal baik untuk menjamu.
Sang uban yang bertamu di kepalaku tanpa malu-malu.

Jika kutahu ku tak menghormati uban yang bertamu.
Kan kusembunyikan dengan semir rahasia ketuaanku itu.

Siapakah yang mengembalikan nafsuku dari kesesatan.
Sebagaimana kuda liar dikendalikan dengan tali kekang.

Jangan kau tundukkan nafsumu dengan maksiat.
Sebab makanan justru perkuat nafsu si rakus pelahap.

Nafsu bagai bayi, bila kau biarkan akan tetap menyusu.
Bila kau sapih ia akan tinggalkan menyusu itu.

Maka kendalikan nafsumu, jangan biarkan ia berkuasa.
Jika kuasa ia akan membunuhmu dan membuatmu cela

Gembalakanlah ia, ia bagai ternak dalam amal budi.
Janganlah kau giring ke ladang yang ia sukai.

Kerap ia goda manusia dengan kelezatan yang mematikan.
Tanpa ia tahu racun justru ada dalam lezatnya makanan.

Kumohon ampunan Allah karena bicara tanpa berbuat.
Kusamakan itu dengan keturunan bagi orang mandul.

Kuperintahkan engkau suatu kebaikan yang tak kulakukan.
Tidak lurus diriku maka tak guna kusuruh kau lurus.

Aku tak berbekal untuk matiku dengan ibadah sunnah.
Tiada aku dan puasa kecuali hanya yang wajib saja.

Syair Sufi Burdah al Bushiri (bag 1)

Cinta Sang Kekasih

Apakah karena Mengingat Para kekasih di Dzi Salam.
Kau campurkan air mata di pipimu dengan darah.

Ataukah karena angin berhembus dari arah Kazhimah.
Dan kilat berkilau di lembah Idlam dalam gulita malam.

Mengapa bila kau tahan air matamu ia tetap basah.
Mengapa bila kau sadarkan hatimu ia tetap gelisah.

Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya.
Diantara air mata yang mengucur dan hati yang bergelora.

Jika bukan karena cinta takkan kautangisi puing rumahnya.
Takkan kau bergadang untuk ingat pohon Ban dan ‘Alam.

Dapatkah kau pungkiri cinta, sedang air mata dan derita.
Telah bersaksi atas cintamu dengan jujur tanpa dusta.

Kesedihanmu timbulkan dua garis tangis dan kurus lemah.
Bagaikan bunga kuning di kedua pipi dan mawar merah.

Memang terlintas dirinya dalam mimpi hingga kuterjaga.
Tak hentinya cinta merindangi kenikmatan dengan derita.

Maafku untukmu wahai para pencaci gelora cintaku.
Seandainya kau bersikap adil takkan kau cela aku.

Kini kau tahu keadaanku, pendusta pun tahu rahasiaku.
Padahal tidakjuga kunjung sembuh penyakitku.

Begitu tulus nasihatmu tapi tak kudengar semuanya.
Karena untuk para pencaci, sang pecinta tuli telinganya.

Aku kira ubanku pun turut mencelaku.
Padahal ubanku pastilah tulus memperingatkanku.
---(ooo)---


Selepas Ekstase

Muhammad Zuhdi Saad

Orang-orang menyebutku Sufi, saat kukata
Darahku terdiri dari Allah. Seluruh bulu romaku
Bakal masuk Surga. Dan bagai Rabi’ah : kutaktakut Neraka
O,mata mereka berbinar. Syahwat mereka nanar
Inilah susahnya hidup di tengah-tengah masyarakat keledai
Sebab terlalu silau dan terpukau oleh matahari bumi
Mereka tak sekalipun membutuhkan tongkat Musa
Sebab mereka berjubah Al-Hallaj. Dan puas menari
Dalam irama khusu’ Rumi
Hu, hu,hu,… … …

Aku stres, wahai kekasih. Kehilangan kata-kata
Di samudra kalimat-Mu. Aku menjadi gila pada suatu hari
Berteriak disudut-sudut kota yang hangus oleh nista
Ingin lari dari kungkungan para keledai. Ingin mencari
mukjizat Nabi : mendaki Tursina-Mu
berharap nemu tongkat gembala, lalu ngangon keledai dungu itu
di padang-padang kebenaran yang telah mereka lupakan
… … assalamu’aika !
kuketuk pintu Kau dalam ekstase panjang. Rabbi, anta maksudi
mereka makin terpukau. Hu, hu, hu, … …
merekamnya dipita-pita kaset. Memutarnya dikedai-kedai kopi
atau diatas pentas puisi. Menenggelamkam diri
dalam kebahagiaan semu di lautan yang tak mereka pahami
sembari mengunyah dunia
: “Pinjami aku tongkatmu, Musa
biar kubelah laut kebodohan
yang jadi batas kebenaran
melangkahi rumah nurani
di kedalaman samudera hati.”

Aku gila, wahai Kekasih. Aku gila !!
Tapi mereka keledai semakin tak sadarkan diri
Mengumbar gairah duniawisepanjang hari. Hu, hu, hu, … …
Menari-nari Rumi. “Ngigau jadi Rabi’ah
Tak takut Neraka, tak butuh Surga
Mereka tegang dalam birahi. Kemaluannya menerobos hijab
Dan tak lagi mampu menyimpan rahasia. Menggelinding
Dan pamer di panggung-panggung kolosal sekaligus murahan
Mendengus sana sini. Ngiler kesana kemari hingga puncak orgasme
Kian menjauhi bukit Tursina yang menyimpan cahaya
Tambah peduli pada kalimat ekstaseku
Sambil histeris menoreh daging diri mereka kaligrafi
Yang kehilangan makna : Allah, Allah, Allah, … …

Aku gila sekaligus takut. Rabbi !
Mereka mengeja bibirku sebagai Kitab Suci : anta maksudi
Mereka membaptisku sebagai Sufi Sejati. Mereka ingin menyatu
Keledai itu mengunyahku santai-santai bagai mngunyah dunia busuk ini
: “Pinjami aku wahai Musa
walau sebentar tongkat saktimu. Biar kungebut
mendaki bukit-bukti kehidupan para keledai
yang tengah asyik bersenggama dengan dunia
yang teler tanpa ingat akan cahaya di Tursina.”

O, ekstaseku direkam dalam berlusin pita
Dibuat makalah : didiskusikan dengan sejumlah seponsor
Dibumbui referensi busuk duniawi. Dijadikan nara sumber
Dibedah dari berbagai sudut ilmiah semu di hotel brbintang
Hu, hu, hu, … …

Mereka yang mengaku anak cucu sufi itu larut
Sambil memangku para betina. Menjelma menjadi binatang
Yang belajar bicara macam manusia. Membuat kesimpulan
Tentang perlunya sejarah baru yang baku
O, mereka makin lepas landas. Mengingkari banjir bandang
Yag menyelamatkan Nuh. Mengingkari kulit mulus Yunus
Yang terhindar dari runcingnya gigi ikan buas
Mengingkari azab. Mengingkari angin, petir dan bumi
Yang berguncang. O, aku menyaksikan
Wajah-wajah kaum A’ad dan Tsamud di tengah-tengah mereka

Aku seperti tengah menonton Qorun dan Fir’aun berpidato di mimbar
Aku bagai sedang diracuni puisi Ubay bin Kalaf yang berapi-api
Maka aku berteriak keras-keras terhadap mereka. Mencaci-maki
Mengasa ayat-ayat suci jadi pedang yang tajam
Dan menuding-nuding kewajah mereka dengan rasa jijik
O, para keledai itu sangat profesional dengan peranannya
Tak sedikitpun gentar, malah sebaliknya. Mereka kini mengamuk
Ke arahku, wahai Kekasih. Sekejap membuatku terpana
Bagai menyaksikan reinkarnasi penderitaan Nabai-Nabi

O, langit-Mu menggelarkan episode masa-lalu. Ada wajah Zakariya
Yang digergaji. Ada wajah Isa yang disalib
Dan tangan-Mu menyibak hijab dalam potret nurani: Langit
Diserbu darah suci mereka. Lapis bumi teratas merubah diri jadi sayap.
Membawa terbang kebenaran ke gerbang mahligai-Nya
Dan al-Hallaj merintih dibanjir Tigris yang dia ciptakan
Dan Rabi’ah mati diatas sajjadah kesederhanaan
Ditikam cinta dan airmata ketakutan.

Begitu lama kutunggu akhir kegilaan ini, wahai Kekasih
Sebuah penantian yang panjang yang nyaris membuatku bosan.
Sambil mencatat semua tingkah-Mu terhadapku. Malam-malam Enkau menarik
selimut tidurku dengan sebuah bisikan itu ke itu : “Bangunlah
Aku menanti kau di langit pertama-Ku.” Lantas aku
menggeliat membuang tahu dunia di kedua pinggir mata hatiku
Menepis mimpi-mimpi masyarakat yang melenakan sejak awal malam
Membasuh semua kepalsuan dengan bening air suci Kau.

O, didalam diri aku ambruk Sujudku basah
Di tas sajjadah bumi-Mu. Menikmati batin
Yang kini sejuk tersiram kasturi cinta nurani tatkala suluk
(saat kuterjaga, jasadku jadi kelaparan
selepas ekstase daku mencakar-cakar ladang dunia buat kehidupan).
---(ooo)---
Source : Sufinews

Monday, January 18, 2010

Ceramah al-Habib Umar bin Hafidz di Khaul Cidodol 2010

Khaul Syekh Abu Bakar bin Salim, di Cidodol, Kebayoran Lama, 03 Januari 2010.

Bismillahirrohmanirrohim, Alhamdulillah segala puji dan syukur kepada Allah Ta’ala, kita pada saat ini, saya dan kalian berkumpul dihadapan Allah SWT. Kita menanti dipintu Allah Yang Maha Pemurah yang Maha Dermawan. Semuanya ini disebutkan dalam dakwahnya Nabi Besar Muhammad SAW, pemimpin sekalian Rasul, dengan itulah berdiri tiang-tiang kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Nabi-Nya, kecintaan kepada orang-orang yang soleh, para awliya dan sholihin dan kaum mukminin.


Dan segala macam kemuliaan yang diberikan Allah SWT ini kepada kita saat ini, ini adalah pemberian yang diberikan Allah SWT secara cuma-Cuma tanpa didahului dengan uang muka dari kita sekalian. Wahai orang-orang yang telah dimuliakan oleh Allah SWT dengan beragam kemuliaan dimajelis ini, yang mana saat ini kita mencari rahmat dan karunia Allah SWT dan kita telah diberikan Allah SWT, maka perhatikanlah bahwa saat ini Allah sedang menatap kita sekalian.

Dan Allah SWT mengetahui apa yang ada didalam benak dan rahasia sanubari kita. Dan Allah SWT mengetahui apa yang kita sembunyikan didalam hati kita. Bagi Allah sama saja apa yang nampak kita utarakan ataupun kita sembunyikan, semuanya sama dimata Allah SWT. Apabila kalian mencari keridhoan dari Allah SWT dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya, maka Allah SWT akan melimpahkan keridhoan-Nya kepada kalian. Dan orang yang suka maksiat, Insya Allah dapat meraih keberkahan dari berkah orang-orang yang taat pula.

Apabila kita merayakan, bergembira dengan khaulnya Syekh Abu Bakar Bin Salim ini sesungguhnya kita bergembira dengan karunia yang diberikan Allah SWT. Dan kita merayakan bergembira dengan rahmat yang diberikan Allah SWT. Dan kita merayakan nikmat yang dikaruniakan Allah SWT. Dan kita bergembira dengan jasa yang Allah SWT berikan kepada kita sekalian. Dan kita merayakan warisan dari Nabi Muhammad SAW. Dan seseorang yang merayakan seorang pewaris, maka dia pun merayakan orang yang mewariskannya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Dan kita merayakan cahaya-cahaya iman dan yakin. Dan kita merayakan sifat-sifat yang mulia disisi Allah SWT.

Apabila kita saat ini berkumpul merayakan hal-hal yang mulia tersebut, orang-orang yang mulia yang dekat dengan Allah, maka sungguh pantas tidak diragukan bahwa Allah pun akan mendekatkan kita kepada-Nya.

Berapa besar karunia Allah SWT untuk umat ini, berapa banyak orang yang masuk kedalam majelis ini, dalam keadaan tadinya dia jauh dari Allah, dia keluar dari majelis ini dalam keadaan sudah dekat dengan Allah. Bahkan berapa orang yang masuk kedalam majelis ini, tadinya dia dicatat sebagai orang yang sial, dia keluar dari majelis ini sebagai orang yang beruntung.

Dan berapa banyak orang yang hadir dalam majelis ini tadinya hatinya penuh dengan kekotoran, keluar dengan membawa hati yang bersih bercahaya. Berapa banyak orang yang hadir dalam majelis ini, hatinya gelap gulita, dia keluar dengan membawa hati yang terang benderang. Berapa banyak orang yang masuk dalam majelis ini dalam keadaan Allah SWT tidak suka, berpaling dengan orang tersebut, tetapi tidaklah dia keluar dari majelis ini melainkan Allah SWT mencintai orang tersebut.

Wahai orang-orang yang mencari kebaikan yang saya sebutkan ini, sungguh-sungguhlah dalam pencarianmu. Dan kembalilah kepada Allah SWT. Dan merendahlah, tunduklah kepada keagungan Allah SWT. Dan agungkan Allah SWT. Dan tetap tidak ada yang lebih agung dari Allah SWT. Dan tidak ada yang lebih besar dari Allah SWT. Dan tidak ada yang lebih dermawan dari Allah SWT.

Allah SWT yang telah mengangkat derajat Nabi Muhammad SAW. Allah SWT yang mengangkat derajat Nabi-Nabi, mengangkat derajat para malaikat dan para wali-wali serta kaum sholihin. Mereka adalah orang-orang yang sangat tinggi disisi Allah. Dan orang-orang yang mencari selain ketinggian selain dari yang mendekatkan kepada Allah maka mereka itulah orang-orang yang jatuh dan terjerumus.

Bumi telah menjadi saksi atas bergenerasi-generasi manusia, bergenerasi-generasi umat dan kelompok yang mana mereka mencari kemuliaan selain dari Allah, maka mereka pun hina dan terpuruk dijatuhkan oleh Allah SWT.

Diantara mereka yang mencari kemuliaan dan kehebatan melalui kehebatan senjata, seperti kaum ‘Ad kaumnya Nabi Hud yang mengatakan, “siapa yang lebih kuat dan lebih hebat dari kami?”. Yang lain lagi merasa hebat dengan harta yang ia miliki, yang demikian banyak hartanya seperti Qorun. Diantara mereka ada yang mencari kehebatan dan kemuliaan melalui hukum, pemerintahan serta kekuasaan seperti Fir’aun dan Namrud. Semuanya sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT, kami habisi mereka, kami ambil akibat perbuatan dosa mereka. Diantara mereka yang ditenggelamkan, yang dikirim halilintar, dihancurkan rumah mereka. Bukan Allah yang menzholimi mereka, tetapi mereka yang menzholimi dirinya sendiri.


Dan sekarang dimuka bumi ini orang masing-masing mengadakan perkumpulan-perkumpulan untuk mencari kemuliaan, keamanan dan kehebatan selain dari Allah. Mereka orang-orang yang dengan pekumpulannya tersebut menuai keamanan, derajat yang tinggi dan yang lain sebagainya mereka menyangka bahwa orang-orang yang sebelumnya, dari umat-umat yang terdahulu itu, mereka mendapat kehebatan dari harta dan apa yang mereka miliki, dimata Allah SWT akan menambah kedudukan mereka.

Akan tetapi dengan majelis semacam inilah kita berharap kepada Allah SWT, dengan majelis inilah kita mencari dan meminta kepada Allah SWT, dan kita menuju dan bermaksud kepada Allah SWT. Dan kita bertumpu kepada Allah. Dan kita bersandar dan bergantung kepada Allah SWT. Dan kita mendekatkan diri dengan hal yang mendekatkan kita dengan Allah SWT dan yang disukai oleh Allah SWT. Justru dengan keberadaan majelis semacam ini umat akan membaik dan akan menjadi semakin bagus.


Allah SWT mudah-mudahan memperbanyak majelis-majelis semacam ini dan Allah SWT mengabadikan pengaruhnya dalam jiwa kita. Dan kita dalam perkumpulan kita ini, diawal tahun yang mulia ini berdoa dan berharap kepada Allah SWT. Kita meminta agar Allah SWT menolak dari diri kita, dari seluruh kaum muslimin, dan seluruh rakyat Indonesia serta seluruh penjuru dunia berbagai macam bala’ dan musibah yang membawa keburukan bagi umat Islam ini.


Dan alangkah kuatnya apabila, betapa kuatnya karunia yang kita dapat dari Allah SWT, berdoa kepada Allah SWT dimajelis yang mulia ini, kita berdoa bersama-sama dan mengucapkan amin kepada Allah SWT.


Apabila keluar dari majelis ini hati-hati jiwa-jiwa yang tunduk kepada Allah, yang memohon kepada Allah SWT, yang luluh karena malu kepada Allah SWT maka dia telah keluar membawa rahmat dan karunia yag besar dari Allah SWT.


Allah SWT berfirman seketika kalian meminta tolong kepada Allah SWT dan Allah SWT menjawab doa kalian. Malah semalam sebelum turunnya ayat ini Rasulullah SAW tidak bisa tidur, Beliau bermunajah dalam tahajudnya, “Ya Hayyu Ya Qoyyum”. Beliau banyak menangis. Beliau banyak memohon kepada Allah SWT. Maka Sayidina abu Bakar Ash Shidiq RA yang bersama Nabi ikut menangis dan memeluk Rasulullah SAW dan berkata , “Cukup ya Rasulullah, Allah SWT pasti akan mengabulkan doamu”. Dan Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana caranya mengetuk pintunya Allah SWT dan memohon kepada Allah SWT.


Sebaik-baiknya hal yang ada didalam hati kita pada saat Allah SWT sedang menatap hati dan batin kita adalah bagi Allah menemukan dalam hati kita penyesalan atas kesalahan dan dosa-dosa kita. Dan sesungguhnya sebagaimana dalam hadis, orang mukmin; dia memandang dosa yang dia lakukan, dosa pribadinya itu bagai gunung yang ada diatas kepalanya yang sewaktu-waktu bisa bisa menimpa dirinya dan membinasakannya. Adapun seorang munafik; menganggap dosa yang dia lakukan itu bagaikan lalat yang hinggap dihidungnya yang bisa dia usir kapan waktu.


Ketika Imam Hasan Al Bashri melewati sekelompok kaum sedang beradu mulut tentang masalah qodho dan qodar tanpa didasari ilmu, mereka berbincang-bincang dalam masalah yang mereka tidak mengerti, maka Imam Hasan Al Bashri mengatakan, jika mereka masih memikirkan dosa-dosa mereka niscaya mereka tidak akan ada waktu untuk membicarakan hal-hal semacam ini.


Bagaimana halnya dengan seseorang yang setiap hari dan malam harinya dia habis waktunya dalam pandangan yang diharamkan oleh Allah SWT. Bagaimana dengan seseorang yang habis waktunya dalam menjelek-jelekkan para orang-orang sholeh, sahabat Nabi dan keluarganya. Bagaimana dengan keadaan seseorang yang ingin mengatur, menganggap orang lain dari para pendahulunya, orang-orang besar, mau diatur dengan hukumnya dan mau menghakimi mereka seenak perutnya sendiri, menganggap mereka itu orang biasa dan kecil. Seandainya mereka memikirkan dosa mereka, niscaya mereka tidak akan tenggelam sibuk dalam hal-hal semacam begini.


Ini bukan sikap orang-orang yang memikirkan dosa-dosa mereka. Ini adalah yang di firmankan Allah SWT, dalam Al Qur’an yakni sifat-sifat yang mulia, dalam hal ini adalah orang-orang yang apabila datang ke Nabi setelah mereka, yakni yang mengatakan Rabbanafirlana ampuni kami sekalian dan juga dosa orang-orang sebelum kami pendahulu-pendahulu kami. Dan jangan jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yeng beriman. Sesungguhnya Kau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Syekh Abu Bakar bin Salim, beliau mencari pengampunan dari Allah SWT untuk diri beliau dan orang-orang di zaman beliau. Dengan susah payah beliau meminta kepada Allah SWT. Beliau setiap malam menangis untuk Allah SWT. Beliau apabila disampaikan kepada beliau atau mendengar dari orang lain kalau ada orang lain yang menjelek-jelekan dan menghinakan beliau, beliau langsung berdoa dan mendoakan orang tersebut dan memohonkan ampunan karunia Allah SWT untuk orang itu.


Dan sesungguhnya itu apabila ada orang yang mengganggu beliau dalam waktu cepat dekat disusul musibah menimpa orang yang mengganggunya. Ditanya Syekh Abu Bakar bin Salim, “apakah kamu menyumpah orang-orang yang mengganggumu?”. Dijawab, “ tidak aku sama sekali tidak pernah menyumpahi orang islam, akan tetapi Allah SWT yang murka terlebih dahulu, kecemburuan-Nya terhadap para wali-wali-Nya tanpa sebelum aku tahu, maka dibinasakan Allah SWT, kalau aku tahu aku akan minta tolong terlebih dahulu”.


Warisan dari Nabi Muhammad SAW, yang mana sifat Nabi Muhammad SAW tentang kaum munafikin ketika Beliau mengatakan,” Seandainya aku tahu kalau aku beristighfar untuk mereka lebih dari 70 kali akan diampuni Allah untuk mereka, maka aku akan beristghfar lebih dari 70 kali agar mereka diampuni”.


Syekh Abu Bakar Bin Salim, beliau membentuk majelis-majelis ilmu dan majelis zikir untuk orang awam dan orang khusus. Datang pada beliau murid-murid dari jauh, dari Syam, dari Mesir, dari Haromain dan dari tempat pelosok yang jauh untuk menimba ilmu kepadanya.


Beliau mendidik murid-muridnya, mendidik sekalian manusia untuk bersikap adab yang patut kepada Allah SWT. Sebagaimana kita dengar bahwasanya didapur beliau dimasak setiap harinya 700 sampai 1000 potong roti.


Suatu kali datang ke rumah beliau seorang wanita dengan membawa sedikit makanan yakni sekitar setengah liter atau setengah mud dia ingin menghadiahkan kepada Syekh Abu Bakar bin Salim. Ketika sampai wanita tersebut kepada pembantunya Syekh Abu Bakar Bin Salim, pembantunya berkata, “ Apalah artinya hadiah yang kau berikan ini? Tidakkah kau tahu setiap harinya kami memasak hingga seribu potong roti untuk para tamu-tamu kami?” maka tidak disangka-sangka datang Syekh Abu Bakar bin Salim, beliau turun dari tangga terdengar suaranya turun menemui wanita tersebut. Langsung beliau berkata kepada wanita tersebut, ”Engkau datang ketempat ini wahai ibu karena Allah, dan engkau bermaksud kepada saya, engkau menuju kesaya karena Allah SWT. Berapa banyak langkah yang engkau langkahkan didalam perjalananmu menuju kemari, semuanya adalah pahala dari Allah. Dan engkau menyiapkan hadiah yang mulia ini. Berapa butir dari gandum yang engkau hadiahkan kepada saya? Tiap butirnya betapa besar pahalanya disisi Allah SWT.” Maka diangkat dan diterima hadiah tersebut oleh Syekh Abu Bakar bin Salim, menjamu dan menghormati wanita tersebut. Dan dia keluar dari rumahnya dalam keadaan gembira.


Dan beliau pun menegur pembantunya dan berkata, “ Jangan sekali lagi kau berucap kalimat seperti tadi kepada siapa pun. Ketahuilah bahwasanya kami tidak menyaksikan yang memberi kepada kami semata-mata hanya Allah SWT. Apa pun yang sampai kepada kami melalui tangan hamba-Nya banyak ataupun sedikit pada hakikatnya pemberinya adalah Allah SWT. Sesungguhnya Allah mengganjar mereka sesuai dengan niat mereka, apabila ikhlas karena Allah SWT”. Beliau juga mengatakan, “Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, yang banyak nggak akan datang kepadanya.” Dan ini adalah lambang, warisan yang beliau bawa dari Nabi Muhammad SAW. Disebutkan dalam riwayat hidup beliau, bahwasannya beliau mengagungkan, menghormati nikmat Allah yang diberikan walaupun sedikit. Suatu ketika beliau melihat ada sedikit makanan terjatuh dilantai, dibiarkan begitu saja beliau angkat dan beliau berkata kepada istrinya Siti Aisyah, “Hendaknya engkau mensyukuri menjaga nikmat yang dikaruniakan Allah SWT, sebab apabila nikmat tersebut diambil oleh Allah SWT akhirnya tidak kembali lagi.”


Ketika beliau memiliki kesungguhan kepada Alah SWT, ingin memberikan manfaat kepada hamba-hamba Allah SWT maka beliaupun membawa pengaruh besar bagi lingkungannya dan bagi orang-orang di sekelilingnya. Hingga beliau mengatakan, “seandainya datang kepada saya seorang Badui yang tidak terpelajar, tapi dia punya kesungguhan ingin sampai dan mengenal kepada Allah SWT, dalam sesaat akan saya buat dia sampai dan mengenal Allah SWT”.


Hingga disebutkan dalam riwayat bahwa pandangan seorang mukmin, apabila ia memandang, menatap wajah mukmin yang lain, menatap dengan penuh rahmat dan kasih sayang, maka ini adalah suatu pahala yang amat besar disisi Allah SWT.


Adapun apabila seorang mukmin memandang seorang mukmin yang lebih istimewa, dari pada wali-wali Allah SWT, maka ini adalah ramuan yang mujarab yang membuatnya dekat dengan Allah SWT.


Sehingga dikatakan para ulama, “Barang siapa tidak melihat wajah orang-orang yang beruntung bagaimana ia dapat menjadi orang yang untung”. Dan barang siapa menatap wajah orang beruntung dengan ikhlas karena Allah SWT bagaimana ia tidak untung, pasti untung.


Dikatakan oleh Syekh Abu Bakar Bin Salim, “Ini adalah karunia yang engkau dapatkan apabila engkau melihat kepada para awliya. Adapun apabila wali tersebut yang melihat engkau tak bisa dibayangkan karunia yang akan kau dapatkan.”


Pernah dalam suatu kejadian, ketika di sebuah negeri di musim paceklik lama hujan tidak turun, mereka sholat istisqo minta hujan sekali, dua kali tidak juga turun hujan sampai tiga kali. Ketika kebetulan datang satu orang ditempat tersebut melihat kesusahan manusia dan dia berkata sebelum orang-orang tersebut sholat istisqo, “Ya Allah demi apa yang ada didalam kepala saya ini maka saya meminta kepada-Mu agar Engkau menurunkan hujan kepada manusia.” Dan turun hujan saat itu juga.


Maka keesokan harinya dicari orang tersebut yang berdoa dan bertawasul yang berkatnya negeri jadi turun hujan. Ditanya , “memangnya apa yang ada didalam kepalamu hingga engkau bertawasul dengan apa yang ada didalam kepalamu?”. Dijawabnya, “sesungguhnya apa yang ada didalam kepala saya ini ada dua bola mata yang pernah melihat wajah Abu Yazid Al Bushtomi dengan berkat itu Allah turunkan hujan”.


Disebutkan bahwasanya Imam Umar al-Mukhdor bin Syekh Abu Bakar, putranya Syekh Abu bakar Bin Salim beliau berkata, “Saya tidak rela murid saya yang paling rendah kalau kedudukannya, bagiannya sama dengan Abu Yazid Al Busthomi. Saya tidak puas dan tidak ridho”. Kalau anaknya seperti ini bagaimana dengan sang ayah, Syekh Abu Bakar bin Salim? Berapa banyak dengan berkat beliau Allah SWT mendamaikan antara orang lain, satu sama lain beliau mendamaikan orang dan orang juga damai berkat beliau.


Dan di dalam hadis Nabi Muhammad SAW ada dalil yang membuktikan betapa besar pengaruh dari pandangan ini dan melihat penglihatan ini. Disebutkan bahwasanya Rasulullah SAW berkata, “kelak barang siapa seseorang berperang dijalan Allah SWT ditanya mereka satu sama lain, ‘Adakah diantara kalian yang pernah melihat Rasulullah?’, mereka bilang, ‘ada, fulan,fulan dan fulan’”. Dan dengan itu mereka meraih kemenangan.


Kemudian datang generasi berikutnya ditanya, “apakah ada diantara kita orang-orang yang bertempur berjihad ini orang-orang yang pernah melihat manusia yang pernah melihat Rasulullah SAW? Maka dikatakan, “Ada fulan dan fulan pernah melihat sahabat Nabi Muhammad SAW”. Maka bertawasul dengan orang-orang tersebut dan Allah SWT memberikan kemenangan kepada mereka.


Kemudian juga datang lagi generasi berikutnya, ketika seseorang dalam waktu suatu jihad dan pertolongan lambat, mereka tidak berhasil meraih kemenangan karena terlalu lambat, hingga akhirnya bertanya diantara mereka, “Adakah ada diantara kalian yang pernah melihat orang yang pernah melihat orang yang pernah melihat sahabat yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW?”.


Dan disebutkan juga dalam riwayatnya ada seorang ulama besar Imam besar dari Mekah yang datang kepada Sayidina Syekh Abu Bakar bin Salim dengan niatnya beliau dan akhirnya Allah SWT dengan berkat Syekh Abu Bakar Bin Salim diampunkan hal-hal yang terjadi antara dia dengan istrinya.


Ketika orang ini datang dengan niat ini kepada Syekh Abu Bakar bin Salim di Inat, baru masuk kamar baru berjumpa dengan Syekh Abu Bakar bin Salim langsung disambut oleh Syekh Abu Bakar, “Selamat datang wahai Al Bakri, sesungguhnya saya telah memperbaiki segala macam kekacauan yang terjadi antara kau dengan istrimu, sudah beres semuanya”.


Kemudian disajikan kopi kepada mereka yang ada di majelis itu, kemudian diambil satu cangkir kopi oleh Syekh Abu Bakar bin Salim, dikeluarkan melalui jendela maka ketika kembali tangan tersebut cangkir kopi sudah tidak ada lagi entah kemana. Kemudian Syekh Abu Bakar bin Salim berkata, “Wahai Abdurrahim (Ulama Mekah ini) Insya Allah Allah SWT akan memberikan kebaikan kepada istrimu kepada keluargamu dan kelak ia akan mengandung seorang putra yang menjadi ulama besar di Mekah dan namakan anak tersebut Umar”.


Dan ketika dia pulang ke negerinya Mekah ia dapati istrinya baik, berubah jauh, urusannya beres semua, dan ia bertanya,” Apa yang terjadi hingga engkau menjadi baik seperti ini?”. Maka istrinya mengeluarkan cangkir kosong, “Tadinya dicangkir ini ada kopinya, datang beberapa waktu yang lalu seorang tua yang demikian indah membawakan saya cangkir berisi kopi ini, saya minum langsung berubah saya punya hati”. Maka dia lihat cangkir tersebut keika diperhatikan ia berkata, “ini adalah cangkir yang dipegang Syekh Abu Bakar bin Salim di Inat”.


Lalu dia bertanya, “kapan kau dapatkan cangkir ini dari orang tua tersebut?” lalu dijawab, “waktunya sekian, tanggal sekian, jam sekian,hari sekian.” Ketika diingat-ingat betul hari itu adalah hari ketika saya bersama Syekh Abu Bakar Bin Salim diruangannya. Ditanya, “seperti apa orang yang datang membawakan kopi?”. Setelah disifati oleh istrinya ia berkata, “Dia adalah Syekh Abu Bakar Bin Salim”.


Kemudian dia berkata, “Demi Allah waktu yang engkau sebutkan itu aku bersama Syekh Abu Bakar bin Salim diruangannya di Inat sana dan di mengambil secangkir kopi dia keluarkan dari jendela dan keluarkan tangannya dari jendela itu dan kembali dalam keadaan kosong.


Diriwayatkan bahwasannya seorang hamba Allah SWT beliau memindahkan kursi singgasananya Ratu Balqis dari Yaman kehadapan Nabi Sulaiman.as. Dan singgasananya Ratu Balqis lebih besar daripada cangkir kopi. Dan wali dari umat Nabi Muhammad SAW lebih hebat dari wali dari umatnya Nabi Sulaiman.


Dan wanita tersebut melahirkan seorang putra dengan berkat Syekh Abu Bakar bin Salim bernama Umar bin Abdurrahim yang menulis kitab Ilmu fiqih yang luar biasa dan menjadi ulama besar di Mekah.


Dan kita sekarang di dalam perkumpulan majelis ini mari kita berdoa kepada Allah SWT dengan berkat Syekh Abu Bakar bin Salim, Allah SWT Insya Allah memperbaiki hubungan kita dengan Allah SWT dan orang-orang yang punya hak yang besar terhadap kita sekalian, makhluk-makhluknya Allah SWT, mudah-mudahan Allah SWT membantu kita didalam memperbaiki hubungan kita dengan mereka semuanya. Dan mudah-mudahan Allah SWT memberikan keridhoanNya kepada kita sekalian agar Allah SWT mengampuni kita semua.


Alhamdulillah atas nikmat yang demikian besar ini, taufik yang Allah berikan kepada kita sekalian ini semuanya yang Allah SWT berikan dengan berkat shohib musnid yang telah membantu terwujudnya acara hari ini. Dan keberkahan dari perkumpulan kita ini, Ya Allah akan kembali dan mencapai semua yang hadir dan lingkungan kita, kota kita, negeri kita dan seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada dengan berkat majelis ini. sebab yang kita minta yang kita panggil namanya tadi adalah Allah Yang Maha Agung Yang Maha Tinggi, Yang Maha Besar, yang mana Allah SWT menciptakan segala-galanya.


Dan inilah kita datang kepada Allah SWT melalui pintu orang yang dicintai dan mencintai Allah SWT. Maka bersungguh-sungguhlah berdoa kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita yang lampau. Dan Allah SWT menjaga kita dari perbuatan dosa dalam umur kita yang selanjutnya ini. Dan orang-orang yang kini telah meninggal dunia, yang tidak hadir ditempat ini, daripada anak kita, keluarga kita, orang tua kita, kerabat kita, semoga Allah SWT mengangkat derajat mereka dan mengampuni mereka sekalian.


Dan semoga Allah SWT mudah-mudahan memberikan keberkahan dalam sisa hidup kita ini dan memberikan kita khusnul khotimah. Kemudian setelah wafat mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan kita bersama wali-wali, bersama kaum sholihin, bersama Sayidina Syekh Abu Bakar Bin Salim, Ya Allah berdekatan dengan Nabi Muhammad SAW.


Mintalah kepada Allah Yang Maha Penyayang dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa dan memanggil kepada Allah SWT. Dan memohonlah kepada Allah SWT dengan sesungguh-sungguhnya sebab Allah SWT menyukai orang yang bersungguh-sungguh didalam memohon kepada Allah SWT. Berdoalah dengan hati kita, lidah kita dan seluruh jiwa kita memanggil nama, “Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah…..”



Catatan Terjemah Tausiyah pada Khaul Cidodol 2010
Terjemahan oleh Habib Ridho bin Yahya


Yang tentu kita dengar dari para khutbah ulama kita, yang mana beliau yang pertama membukakan pembicaraan beliau, bahwasanya ketahuilah ini (pertemuan dalam majelis ini) menunjukkan ciri bukti keridhoan Allah SWT kepada kita semua. Yang mana tentu bukti kecintaan Allah SWT kepada kita semua beradanya kita ditempatnya yang mulia ini. dan tentu bukti kecintaan kita kepada Allah SWT, dihubungkannya kita dengan para wali-waliNya, dengan orang-orang sholeh. Yang mana juga beliau membuka dengan solawat kepada Baginda Rasulullah SAW dan beliau mengatakan majelis ini didasari dengan cinta, majelis ini didasari dengan hubungan baik dengan Allah SWT. Maka kedatangan kita ditempat ini bukti daripada menjalin hubungan baik kita dengan Allah SWT.


Yang mana kita ketahui bahwa kita hadir ditempat ini dalam rangka menghadiri seorang Imam yang besar. Acara perayaan yang besar merayakan seorang Imam yang besar, Imam yang merupakan bukti kehebatan keturunannya Rasulullah SAW dan mengambil intisari dari Rasulullah SAW. Maka hadirin rahimakumullah (Semoga dirahmati Allah), bukti majelis ini bukti kecintaan Allah SWT di dunia, akan tetapi ketahuilah pemberian Allah SWT di akherat nanti lebih besar dari yang di dapat di dunia ini.


Maka sungguh beruntung, sungguh agung, sungguh hebat manusia-manusia yang ditakdirkan ditempat yang mulia ini dalam rangka menjalin hubungan cinta pada orang-orang yang soleh. Yang mana dalam hadis dijelaskan seseorang akan dibangkitkan dihari kiamat nanti bersama orang-orang yang dicintai. Siapa pun mereka, lihat siapa yang dicintainya maka mereka akan dikumpulkan oleh Allah SWT.


Kita pun mendengar biografi (Manaqib) bagaimana Syekh Abu Bakar bin Salim, bagaimana akhlak Beliau, bagaimana tawadhu’ beliau, beliau adalah sosok gambaran yang sempurna dari wujudnya Rasulullah SAW. Mengambil warisan yang sempurna dari baginda Rasulullah SAW. Yang tentu kita hadir dan tentunya perhatian beliau ada pada kita. Maka hadirin Rahimakumullah, yang penting lagi kehadiran kita ditempat ini, kemudian kita mendengarkan cerita-cerita beliau dan kita mengambil maknanya. Kita praktekkan dalam diri kita. Kita ikut yang mana majelis ini adalah majelis yang membuka hubungan, lalu siapa yang ingin mengikuti jejak beliau, maka mereka akan merangkul kita.


Hadirin Rahimakumullah, tentu kita ketahui yang mana waktu ini adalah waktu pemaafan Allah SWT. Allah SWT membuka pemaafan bagi kita yang datang dengan kesalahan, bagi kita yang datang dengan dosa, maka waktu inilah waktu yang tentunya dibuka untuk kita.


Dan juga yang harus kita perhatikan adalah niat kita datang ketempat ini, untuk menyambungkan hubungan kita dengan orang-orang yang soleh. Niat kita datang ketempat ini untuk menyambungkan batin kita dengan orang-orang yang dekat dan bisa menyampaikan kita kepada Allah SWT. Maka itu sudah sepantasnya waktu-waktu seperti ini kita taubat kepada Allah SWT dengan taubat yang benar dengan niat mengikuti jejak-jejak mereka.


Karena mereka adalah sekelompok manusia yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan. Mereka adalah suatu kelompok apabila malam datang, apabila datang gelap gulita mereka tidak sekali-kali tertipu dengan indahnya kasur dan selimut. Tetapi mereka bangun, alangkah indahnya bangun mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, setapak demi setapak yang mereka jalani ini semua sesuai ajaran Rasulullah SAW. Dan beliau mengakhiri khutbah (ceramah/tausiyah) yang pertamanya. Mudah-mudahan kita semua bisa mengikuti jejaknya Rasulullah SAW.


Menyambung pada khutbah(ceramah/tausiyah) yang kedua, beliau mengatakan bahwa majelis ini adalah majelis yang bisa menyampaikan kita kepada Allah SWT, majelis yang Agung, majelis yang istimewa, majelis yang diistimewakan Allah SWT yang mana kita keluar dari majelis ini hati kita sudah dekat dengan Allah SWT. Karena majelis-majelis seperti ini adalah majelis yang Rasulullah SAW bergembira dengan majelis seperti ini.


Karena majelis-majelis seperti ini membicarakan tentang dzikrullah, tentang berdzikir kepada Allah SWT, yang membicarakan tentang hukum-hukum Allah SWT, yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. yang tentu diantara kalian datang dengan biaya yang besar, dengan upaya yang susah, akan tetapi ketahuilah niat kedatangan kalian dalam khaul Syekh Abu Bakar bin Salim, maka ini semua akan menyambungkan kita dengan Syekh Abu Bakar Bin Salim. Dan Syekh Abu Bakar bin Salim akan menyambungkan kita dengan Rasulullah SAW. Maka pendiri majelis-majelis seperti ini adalah orang-orang yang sholeh, yang mengetahu jalan sampai ke Allah SWT.


Maka itu hadirin, majelis-majelis seperti ini teringatlah kita dengan bagaimana sosok Nabi besar Muhammad SAW. Majelis ini adalah majelis taman-taman surga, yang turun dalam majelis ini taufik dari Allah SWT yang sangat jarang. Karena sesuatu yang sangat jarang turun dari langit ke bumi adalah taufik dari Allah SWT.


Yang tujuan kita hadir ditempat ini adalah mengambil hikmah, mengambil cerita, kemudian kita simpan didalam hati kita, kita praktekkan didalam pekerjaan-pekerjaan kita, sehingga terjadilah hubungan kita dengan mereka, dan kita dapat dikumpulkan sebagaimana diterangkan dalam hadist, seorang yang dicintai akan dikumpulkan bersama orang-orang yang yang dicintai. Dan bukti cinta kita, kita mengikuti jejak Syekh Abu Bakar bin Salim yang mana akhlak beliau yang agung, beliau memiliki amal-amal yang hebat disisi Allah SWT. 40 tahun beliau sholat subuh dengan wudhu sholat Isya’.


Bagaimana beliau belajar dan bagaimana beliau menghidupkan malam-malam berkhidmat di kota Tarim. Ini adalah merupakan akhlak yang istimewa dari Syekh Abu Bakar bin Salim. Maka itu hadirin rahikumullah yang kurang pada kita sekarang ini adalah akhlak dan mengikuti sunahnya Rasulullah SAW.


Yang mana tentu siapa orang yang bisa mengikuti sunah Rasulullah SAW, dalam hadis dijelaskan mereka akan mendapatkan pahala 100 orang yang mati syahid. Yang mana tentunya keunggulan mengikuti jejak Rasululah SAW, diriwayatkan pada waktu itu sahabat belum diberikan kemenangan oleh Allah SWT karena mereka sedikit tidak mengamalkan apa yang ada pada sunahnya Rasulullah SAW. Kemudan ketika mereka ingat maka kemenangan ada pada mereka.


Maka kekufuran-kekufuran yang ada dinegara kita ini bisa kita tuntasi, mereka bisa kembali kepada Allah SWT dengan berkah dari pembacaan-pembacaan semisal Maulid yang kita baca ini dan juga tentunya mengikuti jejak Rasulullah SAW, seperti melaksanakan sholat dhuha yang mana beliau menekankan kepada kita untuk melaksanakan sholat Dhuha dan juga melaksanakan sholat witir, bukan dari kami kata Rasulullah SAW, orang yang tidak mengerjakan witir.



Terjemahan oleh Habib Ahmad bin Novel bin Jindan
Didalam nasehat yang disampaikan para ulama kita, para habaib kita Syekh Abdul Qadir Quraisy, Al Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, al-Habib Muhammad bin Abdullah Al Idrus, dan Al Ustadz Abdul Karim Mustali, beliau semua menyampaikan bahwasanya kita beruntung hadir ditempat yang mulia ini, tempat turunnya rahmat dari Allah SWT. Perayaan khaul Syekh Abu Bakar bin Salim adalah Insya Allah tempat turunnya rahmat dari Allah SWT. Turun anugerah dan ampunan dari Allah SWT. Sayyidina Syekh Abu Bakar bin Salim beliau diberi gelar, dikenal dengan gelar “Fakhrul Wujud”, kebanggan bagi alam semesta. Siapa yang memberikan gelar tersebut? Gelar tersebut diberikan oleh Allah SWT kepada beliau kenapa? Allah memberikan gelar tersebut kepada beliau karena kesungguhan beliau kepada Allah SWT, didalam menyembah Allah SWT dan mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Hubungan beliau yang begitu indah kepada Allah SWT dan hubungan beliau yang begitu bagus kepada para hamba Allah SWT bahkan kepada binatang sekalipun.


Kita sekalian hadir, kita mendengarkan apa yang disampaikan barusan manakib (biografi) Syekh Abu Bakar bin Salim. Kita pun datang ketempat ini dengan memiliki harapan, kita datang ketempat ini punya hajat, punya niat, punya harapan kepada Allah SWT, Insya Allah segala harapan kita dikabulkan oleh Allah SWT. Kita datang kemari mohon kepada Allah SWT, dengan keberkahan dari Syekh Abu Bakar bin Salim. Yang Syekh Abu Bakar bin Salim, beliau menyebutkan didalam ucapannya “apakah kalian tidak mengetahui bahwasannya aku ini adalah orang yang paling dermawan? Aku adalah orang yang dermawan. Dan setiap orang yang datang kepadaku pasti akan mendapatkan segala harapan dan hajat-hajatnya”, kata Syekh Abu Bakar bin Salim. Insya Allah kita semua yang mendapatkan hajat dan harapan kita dari Allah SWT berkah dari Syekh Abu Bakar bin Salim.


Beliau juga pernah mengatakan, ketika datang kepada beliau tamu yang begitu banyak, beliau memberikan harta, beliau memberikan anugrah beliau kepada tamu-tamunya yang berhak menerima anugrah, maupun yang tidak berhak menerima anugrah tersebut.


Itu bahkan disebutkan bagaimana Beliau menyambut tamunya, dizaman tersebut 500 tahun yang lalu, dapur beliau setiap harinya tidak pernah kurag dari pada 1000 potong roti beliau bikin untuk tamu-tamunya. Dan semua tamu-tamu tersebut tidak ada yang keluar dari rumah beliau dengan tangan kosong dan inilah keadaan orang-orang yang dicintai Allah SWT.


Sebagaimana dalam hadis Muhammad SAW, “Allah, Apabila telah cinta kepada hambaNya, Allah memanggil Jibril dan Allah mengatakan kepada Jibril bahwasannya Allah telah mencintai hambaNya dan Allah memerintahkan kepada Jibril untuk menyerukan diseluruh penduduk langit dan bumi bahwasannya Allah cinta kepada hamba tersebut Dan seluruh penduduk langit diwajibkan untuk cinta kepada hamba tersebut”.


Dan inilah orang-orang yang diridhoi oleh Allah SWT. Didalam Al Quran Allah SWT menyatakan dalam ayatnya, Allah berfirman, “Barang siapa taat kepada Allah dan kepada Rasul Nya kelak dihari kiamat mereka akan dibangkitkan oleh Allah bersama orang-orang yang dianugrahi oleh Allah SWT dari para Nabi-Nabi dan shidiqin dan syuhada dan sholihin. Mudah-mudahan kita masuk dalam kelompok mereka. Dikumpulkan pada hari kiamat dalam kelompok mereka. Bagaimana kita bisa bersama mereka dihari kiamat? Taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasulullah SAW. Apa yang disampaikan didalam sejarah kehidupan Syekh Abu Bakar Bin Salim kita terapkan didalam kehidupan kita sekalian.


Thursday, January 7, 2010

Muhammad Baha'uddin Shah Naqshbandi (English Version)

May Allah Bless His Secret and Sanctify His Soul
He is an Ocean of Knowledge that has no shore. Its waves were woven with the pearls of Heavenly Knowledge. He cleansed humanity with his Ocean of Innocence and Piety. He quenched the thirst of souls with the water of his spiritual Support. The whole world, including its oceans and continents, were within his grasp. He is a star decorated with the crown of Guidance. He sanctified all human souls without exception with his holy breath. He adorned even the remotest corner with the secrets of Muhammadun Rasul-Allah

His light penetrated every dark lair of ignorance. His outstanding proofs cast away the least whisper of doubt from the hearts of humanity. His powerful miracles brought life to hearts after their deaths and provided souls with their provision for the spiritual realm. He was nursed in the Station of the Arch-Intercessor when he was a child in the cradle. He sipped the nectar of Unseen Knowledge from the cup of Reality.

If Muhammad were not the last of the Prophets , he would have been a prophet. All Praise to Allah for sending such a Reviver of Religion (mujaddid). He uplifted the hearts of humanity causing them to soar in the sky of spirituality. He made kings to stand at his door. He spread his guidance from North to South and from East to West. He left no one without heavenly support--even the wild animals in jungles. He is the greatest Ghawth, Arch-intercessor, the Sultan of Saints, the Necklace of all the spiritual Pearls that were bestowed on this world by the Divine Presence. By the light of his guidance Allah caused the good to be the best and transformed evil into goodness.

He is the Master of this Tariqat and the Shaikh of the Golden Chain and the Best of those who carried this lineage from the Khwajagan.
He was born in the month of Muharram, in 717 H./1317 CE, in the village of Qasr al-'Arifan near Bukhara. Allah granted him miraculous powers in his childhood. He had been taught about the secret of this tariqat by his first teacher, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi (q). Then he was given the secret and the mastery of the Order by his shaikh, Sayyid Amir al-Kulal (q). He was also Uwaysi in his connection to the Prophet, as he was raised in the spiritual presence of Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), who preceded him by 200 years.

The Beginning of His Guidance and the Guidance of His Beginning
Shah Naqshband (q) was eighteen years of age when he was sent by his grandfather to the village of Samas to serve the Shaikh of the Tariqat, Muhamad Baba as-Samasi (q), who had asked for him. From the beginning of his companionship with the Shaikh, he perceived within himself countless blessings and the urge for great sincerity and devotion. Of his youth he relates:
"I would arise early, three hours before Fajr prayer, take ablution, and after making Sunnah prayers, I would go into prostration, supplicating God with the following prayer: "O my Lord, give me the power to carry the difficulties and the pain of Your Love." Then I would pray Fajr with the Shaikh. On his way out one day he looked at me and said, as if he had been with me when I made that supplication, "O my son, you have to change the method of your supplication. Instead say, 'O Allah, grant your pleasure to this weak servant.' God doesn't like His servants to be in difficulties. Although God in His Wisdom might give some difficulties to His servants to test them, the servant must not ask to be in difficulties.

This would not be respectful to your Lord.'
"When Shaikh Muhammad Baba as-Samasi died, my grandfather took me to Bukhara and I married there. I lived in Qasr al-'Arifan, which was God's special care to me because I was near to Sayyid Amir Kulal. I stayed in his service, and he told me that Shaikh Muhammad Baba as-Samasi had told him a long time before that, 'I will not be happy with you if you will not take good care of him.' One day, I was sitting with a friend in seclusion, and the Heavens opened and a grand vision came to me and I heard a voice saying, 'Is it not enough for you to leave everyone and to come to Our Presence Alone?' This voice reduced me to a state of trembling, causing me to run away from that house. I ran to a river where I threw myself. I washed my clothes and prayed two rakats in a way that I had never prayed before, feeling as if I was praying in the Divine Presence. Everything was opened to my heart in a state of Unveiling (kashf).

The entire universe disappeared and I was not aware of anything other than praying in His Presence.
"I had been asked, in the beginning of my state of Attraction, 'Why are you going to enter on this Path?' I answered, 'In order that whatever I say and whatever I want will happen.' I was answered, 'That will not be. Whatever We say and whatever We want is what will happen.' And I said, 'I cannot do that. I must be permitted to say and to do whatever I like, or I don't want this Way.' Then I received the answer, 'No, it is whatever We want to be said and whatever We want to be done that must be said and done.' And I said again, 'Whatever I say and whatever I do is what must be.' Then I was left alone for fifteen days, until I was overwhelmed with a tremendous depression. Then I heard a voice, 'O Baha'uddin, whatever you want, We will grant.' I was overjoyed. I said, 'I want to be given a Path (tariqat) that will lead anyone who travels on it straight to the Divine Presence.' And I experienced a great vision and heard a voice saying, 'You are granted what you have asked.'"

His Progress and Struggle on the Way
"One time I was in a state of Attraction and in a state of absent-mindedness, moving from here to there, not aware of what I was doing. My feet were torn and bleeding from thorns when darkness fell. I felt myself attracted to the house of my shaikh, Sayyid Amir Kulal. It was a pitch black night with no moon nor stars showing. The air was very cold and I had nothing on but an old leather cloak. When I arrived at his house, I found him sitting with his friends. When he saw me he told his followers, 'Take him out, I don't want him in my house.' They put me out and I felt that my ego was trying to overcome me and that it was taking over my heart and my feelings, trying to poison my trust in my shaikh. At that point Allah's Divine Care and His Mercy were my only support in carrying this humiliation in the Cause of Allah and the Cause of my shaikh. I said to my ego, 'I am not allowing you to poison my trust in my shaikh.' I felt so tired and so depressed that I put the state of humbleness at the door of pride, placed my head on the threshold of the door of my teacher, and took an oath that I would not remove it until he accepted me again.

The snow was beginning to fall and the frigid air was penetrating my bones, causing me to tremble in the dark night. There was not even the warmth of the moon to comfort me. I remained in that state until I froze. But the love that was inside my heart, the love for the Divine and the love for the door of the Divine, my shaikh, kept me warm. Dawn came and my shaikh stepped out of his door without seeing me physically. He put his foot on my head, which was still on his threshold. On sensing my head, he immediately withdrew his foot, took me inside his house and said to me, 'O my son you have been dressed with the dress of Happiness. You have been dressed with the dress of Divine Love. You have been dressed with a dress that neither myself nor my shaikh has been dressed with. Allah is happy with you.

The Prophet is happy with you. All the shaikhs of the Golden Chain are happy with you...' Then with great care and delicacy he pulled the thorns from my feet and washed my wounds. At the same time he poured into my heart such knowledge that I never experienced before. This opened for me a vision in which I saw myself entering into the secret of MUHAMMADUN RASULULLAH. I saw myself entering into the secret of the verse which is the Haqiqa Muhammadiyya (Reality of Muhammad). This led me to enter the secret of LA ILAHA ILLALLAH which is the secret of wahdaniyyah (Uniqueness of God). This then led me to enter the secrets of Allah's Names and Attributes which are expressed by the secret of ahadiyya (Oneness of God). Those states cannot be put into words, but can only known through taste which is experienced in the heart."

"In the beginning of my travel on the Way, I used to wander at night from one place to another in the suburbs of Bukhara. By myself in the darkness of the night, especially in the wintertime, I visited the cemeteries to take a lesson from the dead. One night I was led to visit the grave of Shaikh Ahmad al-Ajgharawa and to read al-Fatiha for him. When I arrived, I found two men, whom I had never met before, waiting for me with a horse. They put me on the horse and they tied two swords on my belt. They directed the horse to the grave of Shaikh Mazdakhin. When we arrived, we all dismounted and entered the tomb and mosque of the shaikh. I sat facing the Qiblah, meditating and connecting my heart to the heart of that shaikh. During this meditation a vision was opened to me and I saw the wall facing Qiblah come tumbling down. A huge throne appeared. A gigantic man, whom no words can describe, was sitting on that throne. I felt that I knew him. Wherever I turned my face in this universe I saw that man. Around him was a large crowd in which were my shaikhs, Shaikh Muhammad Baba as-Samasi and Sayyid Amir Kulal. Then I felt afraid of the gigantic man while at the same time I felt love for him. I had fear of his exalted presence and love for his beauty and attraction. I said to myself, 'Who is that great man?' I heard a voice among the people in the crowd saying, 'This great man who nurtured you on your spiritual path is your shaikh. He was looking at your soul when it was still an atom in the Divine Presence. You have been under his training. He is Shaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) and the crowd you are seeing are the khalifs who carry his great secret, the secret of the Golden Chain.' Then the shaikh began to point to each shaikh and say, 'This is Shaikh Ahmad; this is Kabir al-Awliya; this is 'Arif Riwakri; this is shaikh Ali Ramitani; this is your shaikh, Muhammad Baba as-Samasi, who in his life gave you his cloak. Do you know him?' I said, 'Yes.'
"Then he said to me, 'That cloak which he gave you such a long time ago is still in your house, and with its blessing Allah has removed from your life many afflictions.' Then another voice came and said, 'The Shaikh who is on the Throne is going to teach you something you need while traveling on this way.' I asked if they would allow me to shake hands with him. They allowed this and took the veil away and I took his hand. Then he began to tell me about sulook (wayfaring), its beginning, middle and end. He said, 'You have to adjust the wick of your self in order that the light of the unseen can be strengthened in you and its secrets can be seen. You have to show constancy and you have to be firm in the Divine Law (sharica) of the Prophet in all your states. You have to "order the right and forbid the wrong" [3:110, 114] and keep to the highest standard of the Sharica, and leave the dispensations of ease, and throw away innovation in all its forms, and make your Qiblah the Prophet's Narrations (Hadith). You have to investigate his life (sirah) and the sira of His Companions, and to urge people to follow and to read the Qur'an both day and night, and to do the prayers with all their superogatory worship (nawafil). Do not ignore even the smallest thing from what the Prophet has shown us of deeds and good works.'
"As soon as Abdul Khaliq finished, his khalif told me, 'In order to be assured of the certainty of this vision, he is sending you a sign. Tomorrow go and visit Mawlana Shamsuddin al-Ambikuti, who will be judging between two people. Tell him that the Turk is right and the Saqqa is wrong. Say to him, 'You are trying to help the Saqqa, but you are mistaken. Correct yourself and help the Turk.' If the Saqqa denies what you say, and the judge continues in helping the Saqqa, tell him, 'I have two proofs. The first requires you to tell the Saqqa, 'O Saqqa, you are thirsty.' He will know what that thirst means. As for the second proof, you must tell the Saqqa, 'You have slept in adultery with a woman and she became pregnant, and you have had the baby she was carrying aborted, and you buried the baby under the grapevines.' On your way to Mawlana Shamsuddin, take with you three dry raisins and pass by your shaikh, Sayyid Amir al-Kulal. On your way to him you will find a shaikh who will give you a loaf of bread. Take the bread and don't speak with him. Continue until you meet a caravan. A wrestler will approach you. Advise and reproach him. He is going to repent and become one of your followers. Wear your qalansuwa (hat) and take the cloak of 'Azizan to Sayyid Amir Kulal.'
"After that they moved me and the vision ended. I came back to myself. The next day I went to my house and I asked my family about the cloak that had been mentioned in the vision. They brought it to me and told me, 'It has been sitting there for a long time.' When I saw the cloak a state of internal crying overcame me. I took the cloak and went to the village of Ambikata, in the suburbs of Bukhara, to the mosque of Mawlana Shamsuddin. I prayed Fajr with him and then I told him about the sign which astonished him. As-Saqqa was present and he denied that the Turk was right. Then I told him about the proofs. He accepted the first and he denied the second. Then I asked the people in the masjid to go to the grapevine which was near the masjid. They did and found the child who was buried there. The Saqqa came crying and apologized for what he had done, but it was over. Mawlana Shamsuddin and the others in the mosque were in a great state of astonishment.

"I prepared to travel the next day to the city of Naskh and had with me the three dry grapes. Mawlana Shamsuddin tried to detain me by telling me, 'I am seeing in you the pain of longing for us and the burning desire to reach the Divine. Your healing is in Our Hands.' I answered him, 'O my shaikh, I am the son of someone else and I am his follower. Even if you offer to nurse me from the breast of the highest station, I cannot take it, except from the one to whom I gave my life and from whom I took my initiation.' Then he kept quiet and permitted me to travel. I moved as I had been instructed until I met the shaikh and he gave me a loaf of bread. I didn't speak with him. I took the loaf from him, as I had been ordered. Then I met a caravan. They asked me where I was coming from. I said, 'Ambikata.' They asked me when I had left. I said, 'At sunrise.' They were surprised and said, 'That village is miles away and crossing that distance would take you a long time. We left that village last night and you left at sunrise and yet you have reached us.' I continued on until I met a horseman. He asked me 'Who are you? I am afraid of you!' I told him, 'I am the one on whose hand will be your repentance.' He dismounted his horse, showing complete humbleness to me and repented and threw away all the wine that he was carrying. He accompanied me to my Shaikh, Sayyid Amir Kulal. When I saw him I gave him the cloak.

"He kept silent for some time and then he said, 'This is the cloak of 'Azizan. I was informed last night that you would be bringing it to me, and I have been ordered to keep it in ten different layers of covering.' Then he ordered me to enter his private room. He taught me and placed in my heart the silent dhikr. He ordered me to keep that dhikr day and night. As I had been ordered in the vision of Shaikh 'Abdul Khaliq al-Ghujdawani to keep to the difficult way, I kept that silent dhikr which is the highest form of dhikr. In addition, I used to attend the associations of the external scholars to learn the Sciences of Divine Law (sharica) and the Traditions of the Prophet (Hadith), and to learn about the character of the Prophet and his Sahaba. I did as the vision told me, and this resulted in a big change in my life. All that Shaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani taught me in that vision bore its blessed fruits in my life. His spirit was always accompanying me and teaching me."
On Loud and Silent Dhikr

It is mentioned in the book al-Bahjat as-Saniyya that from the time of Mahmoud al-Faghnawi to the time of Sayyid Amir al-Kulal they kept the way of loud dhikr when in association and silent dhikr when alone. However, when Shah Bahaudin Naqshband received his secret, he kept only the silent dhikr. Even in the associations of Sayid Amir Kulal, when they began to do the loud dhkir, he used to leave and go to his room to do silent dhikr. This was making the murids somewhat upset: although his shaikh was doing the loud dhikr, he was doing the silent dhikr. Yet he stood in the service of his shaikh all his life.

One day, as Shah Baha'uddan and all the followers of Sayyid Amir Kulal were taking a rest from building a new mosque, Sayyid Amir Kulal said, "Whoever was keeping bad thoughts about my son Baha'uddan was wrong. Allah has given him a secret that no one was given before. Even I was unable to know it." And he told him, "O my son, I have fulfilled the will and advice of Shaikh Muhammad Baba as-Samasi when he ordered me to raise you and nurse you in my way of training until you surpassed me. This I have done, and you have capacity to continue higher and higher. So, my dear son, I am now giving you complete permission to go wherever you like and to obtain knowledge from whomever you find."
Subsequent Sheikhs
He said,
"One time I followed Mawlana 'Arif ad-Dik Karrani for seven years. Then I followed Mawlana Kuthum Shaikh for many years. One night I slept in the presence of my shaikh and I saw the Shaikh al-Hakim 'Attar, who was one of the famous shaikhs of the Turks, telling something to a dervish named Khalil Ghirani. When I awoke the picture of that dervish stayed in my mind. I had a pious grandmother to whom I mentioned the dream. She told me, 'O my son, you are also going to follow many Turkish shaikhs.' So I looked in my travels for Turkish shaikhs and I never forgot the picture of that one dervish. Then one day in my own country of Bukhara, I saw a dervish, and I recognized him as the one in my dream. I asked him his name and he told me, 'I am Kahlil Ghirani.' I had to leave him, but I felt terrible to do so. At Maghrib time someone knocked at my door. I answered and a stranger told me, 'Darwish Khalil Ghirani is waiting for you.' I was so surprised. How had that person found me? I took a gift and went with him. When I reached his presence I began to tell him the dream. He said, 'No need to tell me that dream, I know it already.' This moved my heart to be more attached to him. In his company new unseen knowledge was opened to my heart. He was always looking after me, praising me, and lifting me up. The people of Transoxiana put him as a king over them. I continued to keep his company, even in his time of Sultanate, and my heart grew in love for him more and more and his heart lifted me ever higher in knowledge. He taught me how to be in the service of the shaikh. I stayed in his company six years. In his presence and in my seclusion I kept my connection with him."
"In the beginning of my Travel on this Way, I met a lover of Allah and he told me, 'it seems as if you are from Us.' I told him, 'I hope you are from Us and I hope to be a friend to you.' One time he asked me, 'how do you treat your self?' I said to him, 'If I find something I thank Allah and if not I am patient.' He smiled and said, 'This is easy. The way for you is to burden your ego and to test it. If it loses food for one week, you must be able to keep it from disobeying you.' I was very happy with his answer and I asked his support. He ordered me to help the needy and to serve the weak and to motivate the heart of the brokenhearted. He rdered me to keep humbleness and humility and tolerance. I kept his orders and I spent many days of my life in that manner. Then he ordered me to take care of animals, to cure their sicknesses, to clean their wounds, and to assist them in finding their provision. I kept on that way until I reached the state that if I saw an animal in the street, I would stop and make way for it."
"Then he ordered me to look after the dogs of this Association with Truthfulness and Humility, and to ask them for support. He told me, 'Because of your service to one of them you will reach great happiness.' I took that order in the hope that I would find one dog and through service to him I would find that happiness. One day I was in the association of one of them and I felt a great state of happiness overcome me. I began crying in front of him until he fell on his back and raised his forepaws to the skies. I heard a very sad voice emanating from him and so I raised my hands in supplication and began to say 'amin' in support of him until he became silent. What then opened for me was a vision which brought me to a state in which I felt that I was part of every human being and part of every creation on this earth."
After Wearing the Cloak
He said,
"One day I was in my garden in Qasr al-Arifan (where his mosque and tomb are located), wearing the cloak of Azizan and around me were my followers. I was suddenly overwhelmed by the Heavenly Attractions and Blessings, and I felt I was being dressed and adorned with His Attributes. I trembled in a way that I had never experienced before, and I couldn't remain standing. I stood facing the Qiblah and I entered into a great vision in which I saw the True Annihilation. I found myself completely annihilated and I didn't see any existence except my Lord's. Then I saw myself coming out from His Divine Presence reflected through the Mirror of MUHAMMADUN RASULULLAH, in the image of a star in an ocean of Light without beginning or end. My external life ended and I saw only the meaning of LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASULULLAH. This led me to the meaning of the essence of the name 'Allah,' which led me to the Absolute Unseen, which is the essence of the Name huwa ("He"). When I entered that ocean my heart stopped pumping and all my life ended, putting me in a state of death. My soul left my body and all those around thought I had died and were crying. Then after six hours I was ordered to return to my body. I perceived my soul slowly re-entering my body and the vision ended."
"To deny your existence and to neglect and disregard your ego is the currency of this Order. In this state I entered into every level of existence, which made me a part of all creations and which developed in me a certainty that everyone is better than me. I saw that everyone provides a benefit and that only I give no benefit. One day a surprising state came upon me. I heard the Divine Voice saying, 'Ask whatever you like from Us.' So I said, with humility, 'O Allah, grant me one drop of Your Oceans of Mercy and Blessings.' The answer came, 'You are asking from Our Great Generosity for only one drop?' This was like a tremendous slap on my face and the sting of it lasted on my cheek for days. Then one day I said, 'O Allah grant me from Your Oceans of Mercy and Blessings the Power to carry it.' At that moment a vision was opened to me wherein I was seated on a throne and that throne was over an ocean of mercy. And a voice said to me, 'This ocean of mercy is for you. Give it to My servants.'
"I was receiving secrets from every side, especially from Uwais al-Qarani, who greatly influenced me to depart from all worldly matters and to attach myself exclusively to spiritual matters. I did this by firmly keeping the sharaca and the orders of the Prophet , until I began spreading the Unseen Knowledge and the Granted Secrets from the Unique Oneness that no one before had ever shared."
The Miracles of His Sayings and the Sayings of His Miracles
On the Differences Among Imams
In an assembly of great scholars in Baghdad he was asked about the differences in the sayings of the four khalifs of the Holy Prophet . He said:
"One time as-Siddiq said, 'I never saw anything except that Allah was before it,' and Umar al-Faruq said, 'I never saw anything except that Allah was behind it.' And 'Uthman said, 'I never saw anything except that Allah was next to it,' and 'Ali said, 'I never saw anything except that Allah was within it.'" He commented that, "The differences in these sayings was based on the differences in the circumstances at the times they were spoken and not on differences in belief or understanding."
On Traveling in the Path
He said,
"What is behind the meaning of the Prophet's narration, 'Part of faith is to remove what is harmful from the Way'? What he meant by 'the harmful' is the ego, and what he meant by 'the Way' is the Way of God, as He said to Bayazid al-Bistami, 'leave your ego and come to Us.'
He was asked one time, "What is meant by Traveling the Path?" He said, "The details in spiritual knowledge." They asked him, "What are the 'details in spiritual knowledge?' He said, "The one who knows and accepts what he knows will be raised from the state of evidence and proof to the state of vision."
He said,
"Whoever asks to be in the Way of God has asked for the way of affliction. It was narrated by the Prophet , 'Whoever loves me I will burden him.' One person came to the Prophet and said, 'O Prophet I love you,' and the Prophet said, 'Then prepare yourself to be poor.' Another time a person came to the Prophet and said, 'O Prophet I love God,' and the Prophet said, 'Then prepare yourself for affliction.'"
He recited a verse:
"Everyone desires the good,But no one has attained the Ascension,Except by lovingThe One who created the good."
He said, "Everyone who likes himself, must deny himself, and whoever wants other than himself, wants in reality only himself."
On Spiritual Training
He said,
"There are three ways that knowers reach their knowledge:
1. Muraqaba - Contemplation
2. Mushahada - Vision
3. Muhasaba - Reckoning
In the state of Contemplation the seeker forgets the created and remembers only the Creator.
In the State of Vision inspirations from the Unseen come to the heart of the seeker accompanied by two states: contraction and expansion. In the condition of contraction, the vision is of Majesty, and in the state of expansion the vision is of Beauty.
In the state of Reckoning the seeker evaluates every hour that has passed: was he in complete Presence with God or in complete presence with the world?
He said
"The seeker in this way must be busy in rejecting evil whisperings and the ego's insinuations. He might reject them before they reach him; or he might reject them after they reach him but before they control him. Another seeker, however, might not reject them until after they reach him and control him. He cannot get any fruit, because at that time it is impossible to take the whisperings out of the heart."
On Spiritual Stations
He said one time,
"How do the People of God look at the hidden actions and the whispers of the heart?" He said, "By the light of the vision that Allah granted them, as mentioned in the Holy Hadith, 'Beware of the vision of the Believer, because he looks with the light of God.'"
He was asked about showing miraculous powers. He said, "What more miraculous powers do you want than that we are still walking this earth with all these sins upon us and around us."
He was asked, "Who is the reciter and who is the Sufi in the saying of Junayd, 'Disconnect yourself from the reciters of books, and accompany the Sufis?'" He said, "The reciter is the one busy with the words and names, and the Sufi is the one who is busy with the essence of the names."
He warned, "If a murid, a shaikh or anyone speaks about a state that he has not attained, Allah will forbid him to reach that state."
He said, "The mirror of every shaikh has two directions. But our mirror has six directions."
He said,
"What is meant by the Holy Hadith, 'I am with the one who remembers Me,' is a clear evidence and a proof supporting the people of the heart who remember Him always. And the other saying of the Prophet speaking on behalf of God, as-sawmu li ('the fast is for Me') is an affirmation that the true fast is to fast from all that is other than God."
On Spiritual Poverty
He was asked, "Why are they called al-fuqara' (the poor)?" He said,
"Because they are poor, but they don't need to supplicate. Just as Prophet the Ibrahim , when he was thrown into the fire and Jibril came and asked him 'Do you need any help?,' replied, 'I have no need to ask, He is well aware of my state.'"
He said, "Poverty is a sign of annihilation and the erasure of the attributes of existence."
He said one time,
"Who is the poor one?" No one answered him. He said, "The poor one is the one whose inside is always in struggle and whose external is always at peace."
On Proper Manners with One's Sheikh
He said,
"It is necessary for the follower, if he is confused about something his shaikh has said or done and is unable to understand his reasons, to be patient and carry it, and not to become suspicious. If he is a beginner, he might ask; but if he is a murid, he has no reason to ask and should remain patient with what he doesn't yet understand."
He said, "It is impossible to reach the love of the people of God until you come out of yourself."
He said,
"In Our Way there are three categories of conduct (adab):
1. Good conduct with Allah Almighty and Exalted, requires that the murid be externally and internally perfect in his worship, keeping away from all that is forbidden and keeping all that has been ordered and leaving all that is other than God.
2. Good conduct with the Prophet Muhammad requires the murid to fly in the state of in kuntum tuhibbun Allah fa-t-tabicunee ('If you want to love Allah then follow me') [3:31]. He has to follow all the states of the Prophet. He must know that the Prophet is the bridge between God and His creation and that everything in this universe is under his high orders.
3. Good conduct with shaikhs is a requirement for every seeker. The shaikhs are the causes and the means for following in the footsteps of the Prophet . It is a duty for the seeker, in their presence or their absence, to keep the orders of the shaikh."
Shah Naqshband said, "One time one of my followers greeted me. I didn't respond to him, though it is a requirement of the Sunnah to respond if someone greets you. This made my follower upset. I sent someone after him to apologize, saying to him, 'At that time, when you greeted me, my mind, my heart, my spirit, my body, my soul were completely lost in the Divine Presence, listening to what Allah was saying to me. This made me so engrossed in the Speech of God that I was unable to respond to anyone."
On Intention
He said,
"To correct the intentions is very important, because intentions are from the Unseen World, not from the Material World." "For that reason," he said, "Ibn Sireen (author of a book on the interpretation of dreams) didn't pray at the funeral prayer of Hasan al-Basri. He said, 'How can I pray when my intention has not yet reached me connecting me to the Unseen?'"
He continued,
"Intention (niyyah) is very important, because it consists of three letters: Nun, which represents nurullah, the Light of God; ya, which represents yadullah, the hand of God; and ha, which represents hidayatullah, the Guidance of Allah. The niyyah is the Breeze of the Soul."
On the Duties of Saints
He said, "Allah created me to destroy the materialistic life but people want me to build their materialistic life."
He said,
"The people of God carry the burden of creation for creation to learn from them. Allah looks at the heart of his saints with his lights, and whoever is around that saint will get the blessing of that light."
He said,
"The shaikh must know the state of his murid in three categories: in the past; in the present and in the future in order for him to raise him up."
He said,
"Whoever is initiated by us and follows us and loves us, whether he is near or far, wherever he is, even if he is in the East and we are in the West, we nourish from the stream of love and give him light in his daily life."
On Loud and Silent Dhikr
He said,
"From the presence of al-cAzizan there are two methods of dhikr: the silent and the audible. I preferred the silent because it is stronger and more advisable."
He said,
"The permission for the dhikr must be given by the Perfected One, in order to influence the one who is using it, just as the arrow from a Master of Archery is better than the arrow thrown from the bow of an ordinary person."
He added Three Principles to Sheikh Abdul Khaliq's (q) Eight:
9. Awareness of Time ("wuquf zamani")
It means to watch one's composure and check one's tendency to heedlessness. The seeker must know how much time he has spent in moving towards spiritual maturity and must recognize at what place he has arrived in his journey towards the Divine Presence.
The seeker must make progress with all his efforts. He must spend all his time making his one and only goal the arrival at the station of Divine love and Divine Presence. He must become aware that in all his efforts and in all his actions Allah witnesses the smallest detail.
The seeker must make an account of his actions and his intentions every day and every night and analyze his actions each hour, each second, and each moment. If they are good, he thanks God for it. If they are bad, he must repent and ask Allah's forgiveness.
Ya'qub al-Charki said that his shaikh, Ala'uddin al-Attar said, "In the state of depression you must recite istighfar (asking forgiveness) excessively, and in the state of elation, praise of Allah excessively." And he said, "To take into consideration these two states, contraction and expansion, is the meaning of wuquf zamani."
Shah Naqshband (q) explained that state by saying, "You have to be aware of yourself. If you were following the sharica then you have to thank Allah, or else you must ask forgiveness."
What is important for the seeker in this state is to keep secure the smallest period period of time. He has to stand guard on his self and judge if he was in the Presence of Allah or if he was in the presence of his ego, at every moment of his life.
Shah Naqshband (q) said, "You have to evaluate how you spend every moment: with Presence or in Negligence."
10. Awareness of Numbers ("wuquf `adadi")
This means that the seeker who is reciting dhikr must observe the exact number of repetitions entailing the silent dhikr of the heart. To keep an account of the dhikr is not for the sake of the account itself, but is for the sake of securing the heart from bad thoughts and to cause it to concentrate more in the effort to achieve the repetition prescribed by the shaikh as quickly as possible.
The pillar of dhikr through counting is to bring the heart into the presence of the One who is mentioned in that dhikr and to keep counting, one by one, in order to bring one's attention to the realization that everyone is in need of that One whose Signs are appearing in every creation.
Shah Naqshband (q) said, "Observance of the numbers in dhikr is the first step in the state of acquiring Heavenly Knowledge (ilm ul-ladunni)." This means that counting leads one to recognize that only One is necessary for life. All mathematical equations are in need of the number One. All creation is in need of the only One.
11. Awareness of the Heart ("wuquf qalbi")
This means to direct the heart of the seeker towards the Divine Presence, where he will not see other than his Beloved One. It means to experience His Manifestation in all states. Ubaidullah al-Ahrar said, "The state of Awareness of the Heart is the state of being present in the Divine Presenece in such a way that you cannot look to anyone other than Him."
In such a state one concentrates the place of Dhikr inside the heart because this is the center of power. All thoughts and inspirations, good and bad, are felt and appear one after another, circling and alternating, moving between light and dark, in constant revolution, inside the heart. Dhikr is required in order to control and reduce that turbulence of the heart.
The Meaning of Nation of Muhammad
He said,
"When the Prophet said, 'The portion of my Nation destined for the Hellfire is like the portion of Ibrahim destined for the fire of Nimrod,' he was giving the good news of salvation for his nation just as Allah had written salvation for Ibrahim : Ya naru kunee bardan wa salaman cala Ibraham ('O fire, be cool and safe for Abraham') [21:69] This is because the Prophet said, 'My Nation will never agree on error,' affirming that the Ummah will never accept wrong-doing, and thus Allah will save the Nation of Muhammad from the fire."
Shaikh Ahmad Faruqi said that Shah Naqshband said: "The Nation of Muhammad includes whoever comes after the Prophet . It is composed of three types:
1. Ummatu-d-Dacwah: absolutely everyone who came after the Prophet and simply heard his message. That the Prophet came to all people without exception is clear from many verses in the Qur'an; furthermore, his Community is the Moderating Witness over all other Communities, and the Prophet is the one Witness over everybody, including the other Communities and their own respective witnesses.
2. Ummatu-l-Ijaba: those who accepted the message.
3. Ummatu-l-Mutabaca: those who accepted the message and followed the footsteps of the Prophet .
All of these categories of the Prophet's Community are saved. If they are not saved by their deeds, then they are saved by the Intercession of the Prophet , according to his saying, "My intercession is from the big sinners of my Community."
On Reaching the Divine Presence
He said,
"What is meant by the hadith of the Prophet , as-salatu micraj ul-mu'min ("Prayer is the Ascension of the Believer"), is a clear indication of the levels of Real Prayer, in which the worshipper ascends to the Divine Presence and there is manifest in him awe and reverence and obedience and humility, such that his heart reaches a state of contemplation through his prayer. This will lead him to a vision of the Divine Secrets. That was the description of the Holy Prophet's prayer. In the life-history of the Prophet , it is said that when the Prophet would reach that state, even the people outside the city could hear coming from his chest a sound which resembled the humming of bees."
One of the scholar of Bukhara asked him, "How can a worshipper reach the Divine Presence in his prayer?" He replied, "By eating from the hard-earned sweat of your brow and by remembering Allah Almighty and Exalted inside your prayer and outside your prayer, in every ablution and in every moment of your life."
On Hidden Polytheism - Shirk
Shaikh Salah, his servant, reported: "Shah Naqshband said one time to his followers, 'Any connection of your heart with other than Allah is the greatest veil for the seeker,' after which he recited this verse of poetry:
"The connection with other than GodIs the strongest veil,And to be done with it,Is the Opening of Attainment."
Immediately, after he recited this verse, it came to my heart that he was referring to the connection between belief (iman) and islam. He looked at me and laughed and said, 'Did you not hear what Hallaj said? "I rejected the religion of God, and rejection is obligatory on me even though that is hideous to Muslims." O Shaikh Salah, what came to your heart -- that the connection is with belief and islam -- is not the important point. What is important is Real Faith, and Real Faith for the People of the Truth is to make the heart deny anything and everything other than God. That is what made Hallaj say, "I denied your religion and denial is obligatory on me, although that is hideous to Muslims." His heart wanted nothing except Allah."
"Hallaj, of course, was not denying his faith in Islam, but was emphasizing the attachment of his heart to God Alone. If Hallaj was not accepting anything except Allah, how could one say that he was actually denying the religion of God? His testimony of the reality of his Witnessing encompassed and made as child's-play the ordinary witnessing of the common Muslim."
Shaikh Salah continued, saying, Shah Naqshband said, "The people of God do not admire what they are doing; they act only out of the love of God."
Shah Naqshband said,
"Rabi'a al-'Adawiyya said, 'O Allah I didn't worship seeking the reward of Your Paradise nor fearing your punishment, but I am worshipping You for Your Love alone.' If your worship is for saving yourself or for gaining some reward for yourself, it is a hidden shirk, because you have associated something with Allah, either the reward or the punishment. This is what Hallaj meant."
Shaikh Arslan ad-Dimashqi said,
"O Allah, Your religion is nothing but hidden shirk, and to disbelieve in it is obligatory on every true servant. The people of religion are not worshipping You, but are only worshipping to attain Paradise or to escape from Hell. They are worshipping these two as idols, and that is the worst Idolatry. You have said, man yakfur bi-t-taghuti wa yu'min billahi faqad istamsaka bil-curwati-l-wuthqa ("Whoever disbelieves in idols and believes in Allah has grasped the Firm Handhold") [2:256]. To disbelieve in those idols and to believe in You is obligatory on the people of Truth."
Shaikh Abul-Hasan ash-Shadhili (q), one of the greatest Sufi Shaikhs, was asked by his shaikh, "O my son, with what are you going to meet your Lord?" He said, "I am coming to Him with my poverty." He said,
"O my son, do not ever repeat this again. This is the biggest idol, because you are still coming to Him with something. Free yourself of everything and then come to Him.
"The people of laws and external knowledge hold fast to their deeds and on that basis they establish the concept of reward and punishment. If they are good, they find good and if they are bad they find bad; what benefits the servant is his deeds and what harms him is his deeds. To the People of the Way, this is the hidden Shirk, because one is associating something with Allah. Although it is an obligation to do (good deeds), yet the heart must not be attached to those deeds. They should only be done for His sake and for His love, without expectation of anything in return."
On the Naqshbandi Way
Shah Naqshband (q) said,
"Our Way is very rare and very precious. It is the curwati-l-wuthqa ("Firm Handhold"), the way of keeping firm and steadfast in the footsteps of the Prophet and of his Companions. They brought me to this Way from the door of Favors, because at its beginning and at its end, I witnessed nothing but the Favors of God. In this Way great doors of Heavenly Knowledge will be opened up to the seeker who follows in the footsteps of the Prophet ."
To follow the Sunnah of the Prophet is the most important means by which the door will be opened to you. He said, "Whoever is not coming to our Way, his religion is in danger." He was asked, "How does someone come to Your Way?" He replied, "By following the Sunnah of the Prophet ."
He said, "We have carried in this Way humiliation, and in return Allah has blessed us with His Honor."
Some people said about him that he was sometimes arrogant. He said, "We are proud because of Him, because He is our Lord, giving us His Support!"
He said,
"To reach the Secrets of Oneness is sometimes possible, but to reach the Secrets of Spiritual Knowledge (macrifat) is extremely difficult."
He said,
"Spiritual Knowledge is like water, it takes the color and shape of the cup. Allah's Knowledge is so great, that however much we take, it is like a drop of a huge ocean. It like a vast garden, however much we have cut it is as if we had cut but one flower."
His Attitude Towards Food
Shah Naqshband was, may Allah sanctify his soul, in the highest states of the denial of desire for this world. He followed the way of piety, especially in the act of eating. He took all kinds of precautions in regard to his food. He would only eat from the barley he had grown himself. He would harvest it, grind it, make the dough, knead it and bake it himself. All the scholars and seekers of his time made their way to his house, in order to eat from his table and to partake the blessings of his food.
He reached such a perfection of austerity that in winter, he only put old and worn carpets on the floor of his house, which gave no protection from the bitter cold. In summer he put very thin woven mats on the ground. He loved the poor and the needy. He urged his followers to earn money through lawful means, that is, by the sweat of their brows. He urged them to spend that money on the poor. He cooked for the poor and invited them to his table. He served them with his own holy hands and urged them to remain always in the Presence of Allah, Almighty and Exalted. If anyone of them put a bite of food in his mouth in a heedless way, he would inform them, through his state of vision, what they had done and urge them to keep remembrance of Allah while eating.
He taught that,
"One of the most important doors to the Presence of Allah is to eat with Awareness. The food gives the body strength, and to eat with consciousness gives the body purity."
One time he was invited to a city by the name of Ghaziat where one of his followers had prepared a dinner for him. When they sat for dinner he didn't eat. His host was surprised. Shah Naqshband said, "O my son, I am wondering how you prepared this food. From the time you kneaded the dough and cooked it, until you served it, you were in a state of anger. The food is mixed with that anger. If we eat that food, shaytan will find a way to enter through it and to spread his evil throughout our bodies."
One time he was invited to the city of Herat by its king, King Hussain. King Hussain was very happy at the visit of Shah Naqshband and threw a great feast for him. He invited all his ministers, the shaikhs of his kingdom and all his noblemen. He said, "Eat from this food. It is pure food, which I made from the pure earnings which I inherited from my father." Everyone ate except Shah Naqshband, prompting the Shaikh ul-Islam of that time, Qutb ad-din, to ask, "O our Shaikh, why are you not eating?" Shah Naqshband said, "I have a judge to whom I go for counsel. I asked him and that judge told me, 'O my son, about this food there are two possibilities. If this food is not halal (lawful) and you do not eat, when you are questioned you may say I came to the table of the king but I did not eat. Then you are safe because you did not eat. But if you eat and you are asked, then what are you going to say? Then you are not safe.' At that time, Qutb ad-Din was so overcome by these words that he began to shake. He had to ask the King's permission to stop eating. Then the King was very confused and asked, "What shall we do with all this food?" Shah Naqshband said, "If there is any doubt about the purity of the food it is better to send it to the poor. Their need will make it halal for them. If as you say, it is halal, then there is more blessing in giving it as charity to those who need than in feasting those who do not."
He used to fast most of his days. If a guest came to him and he had something to offer him, he would sit with him, break his fast and eat. He told his followers that the Companions of the Prophet used to do the same. Shaikh Abul Hasan al-Kharqani (q) said in his book, The Principles of the Way and the Principles of Reaching Reality, "Keep harmony with friends, but not in sinning. This means that if you were fasting and someone came to you as a friend, you must sit with him and eat with him in order to keep proper company with him. One of the principles of fasting, or of any worship, is to conceal what one is doing. If one reveals it, for example by saying to the guest, 'I am fasting,' then pride may enter and ruin the fast. This is the reason behind the principle."
One day he was given a cooked fish as a gift. There were in his presence many poor people, among them a very pious boy who was fasting. Shah Naqshband gave the fish to the poor and told them, "Sit and eat," and he told the boy who was fasting, "Sit and eat." The boy refused. He told him again, "Break your fast and eat," but he refused. He asked him, "What if I give you one of my days of Ramadan? Will you sit and eat?" Again he refused. He told him, "What if I give you my whole Ramadan?" Still he refused. He said, "Bayazid al-Bistami was once burdened with a person similar to you." After that the boy was seen running after the worldly life, never fasting and never worshipping.
The incident to which Shah Naqshband (q) was referring occurred one day when Shaikh Abu Turab an-Naqshabi (q) visited Bayazid al-Bistami (q). His servant offered him food. Abu Turab said to the servant, "Come and sit with me and eat." The servant said, "No. I am fasting." He said, "Eat, and Allah will give you the reward of fasting for one year." He refused. He said, "Come and eat, I will pray to Allah that he give you the reward of two years of fasting." Then Hadrat Bayazid said, "Leave him. He has been dropped from Allah's care." Later his life degenerated and he became a thief.
His Miracles and Generosity
Shah Naqshband's state is beyond description and the extent of his knowledge cannot be described. One of the greatest miracles was his very existence. He often hid his actions in order not to display miraculous power. Many of his miracles, however, were recorded.
Shah Naqshband, may Allah bless his soul, said,
"One day I went out with Muhammad Zahid (q) to the desert. He was a truthful murid and we had a pickaxe with which we were digging. As we were working with the pick we were discussing such deep states of knowledge that we threw aside the pick and entered deeper into spiritual knowledge. We were going deeper and deeper until the conversation led us to the nature of Worship. He asked me, 'O my shaikh, to what limit does worship reach?' I said, 'Worship reaches such perfection that the worshipper can say to someone 'die,' and that person will die.' Without thinking I pointed at Muhammad Zahid. Immediately he fell down dead. He was in the state of death from sunrise until the midday. It was very hot. I was very anxious because his body was deteriorating from the excessive heat. I pulled him under the shade of a tree and I sat there contemplating the matter. As I was contemplating, an inspiration came to my heart from the Divine Presence telling me to say to him, 'Ya Muhammad, Be Alive!' I said it to him three times. In response, his soul slowly began to enter his body, and life slowly began to return to him. He gradually returned to his original state. I went to my shaikh and told him what had happened. He said, 'O my son, Allah gave you a secret that he has given to no one else.'"
Shaikh Alauddin al-'Attar (q) said,
"One time the king of Transoxiana, Sultan Abdullah Kazgan, came to Bukhara. He decided to go hunting around Bukhara and many people accompanied him. Shah Baha'uddan Naqshband (q) was in a nearby village. When the people went out hunting, Shah Naqshband went to the top of a hill and sat there. While sitting there, it came to his heart that Allah gave much honor to saints. Because of that honor, all kings of this world should bow to them. That thought hadn't yet passed from his heart before a horseman with a crown on his head, like a king, came into his presence and dismounted from his horse. With great humility he greeted Shah Naqshband and stood in his presence in the most polite manner. He bowed to the shaikh but the shaikh did not look at him. He kept him standing one hour. Finally, Shah Naqshband looked up and said, 'What are you doing here?' He said, 'I am the king, Sultan Kazgan. I was out hunting, and I smelled a very beautiful smell. I followed it here and I found you sitting in the midst of a powerful light.' His very thought, 'All kings of this world should bow to the saints,' had instantly become reality. That is how Allah honors the thoughts of his saints.
One of his followers who was serving him in the city of Merv reported,
"One day I wished to go see my family in Bukhara, having received news that my brother Shamsuddin had died. I needed to take permission from my shaikh to go. I spoke with Amir Hussain, the Prince of Herat, to ask permission on my behalf to Shah Naqshband. On their way back from Jum'ah prayer, Amir Hussain told him about the death of my brother and that I wanted permission to go to my family. He said, 'No it is impossible. How can you say he is dead when I can see him alive. More than that, I can even smell his smell. I am going to bring him here now.' He had hardly finished his words before my brother appeared. He aproached the shaikh, kissed his hand and greeted Amir Hussain. I hugged my brother and there was great happiness among us."
Shaikh Alauddin Attar (q) said,
"Shaikh Shah Naqshband was once sitting in a large association in Bukhara speaking about the Unveiling of the State of Vision. He said, 'My best friend, Mawla 'Arif, who is in Khwarazm, (400 miles from Bukhara) has left Khwarazm for the government building, and he reached the station of the horse-carriages. When he reached that station he stayed there for a moment and now he is going back to his house in Khwarazm. He is not continuing on to Saray. This is how a saint can see in his station of gnosis.' Everyone was surprised at this story but we all knew that he was a great saint, so we recorded the time and the day. One day Mawla 'Arif came from Khwarazm to Bukhara and we told him about that incident. He was very surprised and he said, 'In truth, that is exactly what happened.'"
Some scholars from Bukhara traveled to 'Iraq with some followers of Shah Naqshband (q) when they reached the city of Simnan. They heard that there was a blessed man named Sayyid Mahmoud, who was a murid of the shaikh. They went to visit his house and asked him, "How did you become connected with the shaikh?" He said, "One night I saw the Prophet in a dream, sitting in a very nice place, and beside him sat a man of majestic appearance. I said to the Prophet , with complete respect and humbleness, 'Ya Rasulallah, I was not honored to be your companion in your lifetime. What can I do in my lifetime that will approximate that honor?' He told me, 'O my son, if you want to be honored by being our friend and to sit with us and be blessed, you have to follow my son, Shah Baha'uddin Naqshband.' I then asked, 'Who is Shah Bahaudin Naqshband?' He said to me, 'Do you see that person sitting next to me? This is the one. Keep company with him.' I had never seen him before. When I awoke I wrote his name and his description in a book that I have in my library. Much time passed after that dream, until one day, while I was standing in a shop, I saw a man with a luminous and majestic appearance come into the shop and sit on a chair. When I saw him, I remembered the dream and what had happened in it. Immediately I asked him if he would honor me by coming to my house and staying with me. He accepted and began to walk in front of me while I followed. I was shy to walk in front of him, even to lead the way to my house. He did not look at me once, but took the path directly to my house. I was about to say, 'This is my house,' when he said, 'This is your house.' He walked inside and went straight to my special room. He said, 'This is your room.' He went into the closet and he took one book from among hundreds of books. He gave me the book and asked me, 'What did you write in this?' What I had written was what I had seen in the dream. Immediately a state of unconsciousness overtook me and I fainted from the light that poured into my heart. When I awoke I asked him if he would accept me. He was Shah Baha'uddan Naqshband."
Shaikh Muhammad Zahid (q) said,
"In the beginning of my travelling on the Path I was sitting beside him one day, in the spring season. A craving for watermelon entered my heart. He looked at me and said, 'Muhammad Zahid, go to that river near us and bring us what you see and we will eat it.' Immediately I went to the river. The water was very cold. I reached into it and found a watermelon under the water, very fresh, as if it had just been cut from the vine. I was very happy and I took the watermelon and said, 'O my shaikh accept me.'"
It was reported that one of his followers was going to visit him. Before the visit, he asked Shaikh Shadi, one of the senior murids, to advise him. "He said to me, 'O my brother, when you go to visit the shaikh or when you are sitting in the presence of the shaikh, be careful not to place your legs so that your feet face him.' As soon as I left Ghaziut on my way to Qasr al-'Arifan, I found a tree and lay down under it with my legs extended. Unfortunately an animal came and bit me on the leg. Later I fell back asleep in pain, and as I was sleeping again an animal bit me. Suddenly I realized that I had made a big mistake, I had extended my feet in the direction of the shaikh. I immediately repented and the animal biting me left."
One time he was pushed to show miraculous power in order to defend one of his successors in Bukhara, Shaikh Muhammad Parsa. This occurred at the time when Shaikh Muhammad Shamsuddin al-Jazari came to Samarkand, in the time of King Mirza Aleg Beg, to determine the correctness of the chains of transmission in Narrations of the Prophetic Traditions. Some of the jealous and corrupt scholars had complained that Shaikh Muhammad Parsa was giving narrations of hadith whose chains of transmission were not known. They told Shamsuddin, "If you try to correct that problem, Allah will give you a great reward." Shaikh Muhammad Shamsuddin asked the Sultan to order Shaikh Muhammad Parsa to appear. The Shaikh al-Islam of Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, was there, along with many scholars and imams from the area.
Shah Naqshband (q) came with Muhammad Parsa (q) to the meeting. Then Shaikh Husamuddin asked Muhammad Parsa about a hadith. Muhammad Parsa narrated the hadith along with its chain of transmission. Shaikh Muhammad al-Jazari said, "There is no error in the hadith, but the chain is incorrect." Upon hearing this the jealous scholars were happy. They asked Muhammad Parsa to give another chain for the hadith. He did, and it was again said that it was not correct. They asked for another chain, and he gave it and still they found fault with it.
Shah Naqshband interfered, because he knew that whatever chain he gave they would say it was incorrect. He inspired Muhammad Parsa to direct a question to Shaikh Husamuddin and say to him, "You are the Shaikh ul-Islam and the mufti. From what you have learned of external knowledge and sharica and the knowledge of hadith, what do you say about such and such narrator?" Shaikh Husamuddin said, "We accept that person and we base much of our knowledge of hadith on his narrations, and his book is accepted by us, and his lineage is one that all scholars accept, and there is no argument on that matter." Muhammad Parsa said, "The book of that person that you are accepting is in your house in your library, between such and such books. It contains 500 pages and its color is such and such, and the cover looks like such and such, and the hadith you rejected is written by that person on page such and such."
Shaikh Husamuddin was confused and doubts came to his heart, because he did not remember seeing such a book in his library. Everyone was surprised that the shaikh would know about the book while the owner didn't know about it. There was no alternative except to send someone to check. The hadith was found as Muhammad Parsa mentioned. When the king heard about this story, the scholars who brought the charges were humiliated, and Shah Naqshband and Muhammad Parsa were raised up.
His State Upon Leaving This World
Shaikh Ali Damman, one of the servants of the Shaikh, said,"The shaikh ordered me to dig his grave. When I finished it came to my heart, 'Who is going to be his successor?' He raised his head from the pillow and said to me, 'O my son, don't forget what I said to you when we were on our way to the Hijaz. Whoever wants to follow me must follow Shaikh Muhammad Parsa (q) and Shaikh Alauddin Attar (q).'
In his last days, he stayed in his room. People made pilgrimage to see him and he gave them advice. When he entered his final illness he locked himself up in his room. Wave after wave of his followers began to visit him and he gave to each of them the advice they needed. At one point he ordered them to read Surah Ya Sin. Then when they had finished the Surah, he raised his hands to Allah. He then raised his right finger to say the shahada. As soon as he finished, his soul returned to Allah.
He died on a Monday night, the 3rd of Rabi'ul-Awwal, 791 H. (1388 CE). He was buried in his garden as he requested. The succeeding kings of Bukhara took care of his school and mosque, expanding them and increasing their religious endowments (awqaf).
Abdul Wahhab ash-Sha'arani, the qutb (Spiritual Pole) of his time said, "When the shaikh was buried in his grave, a window to Paradise was opened for him, making his grave a paradise from Heaven. Two beautiful spiritual beings entered his presence and greeted him and said to him, 'From the time that Allah created us until now, we have waited for this moment to serve you.' He said to these two spiritual beings, 'I don't look to anything other than Him. I don't need you but I need my Lord.'
Shah Naqshband (q) left behind many successors, the most honorable among whom were Shaikh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar and Shaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi, known as Muhammad Parsa, the author of Risala Qudsiyya. It is to the first that Shah Naqshband passed on the secret of the Golden Chain.
span>