Asmâ al-Husnâ digolongkan ke dalam dua bagian besar, jalâliyah dan jamâliyah.
Jalâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keagungan dan kebesaran Allah SWT, seperti al-Akbar (Maha Besar), al-Azhîm (Maha Agung), al-Qawiy (Maha Kuat), dan al-Qadîr (Maha Kuasa).
Sedangkan jamâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keindahan dan kelembutan Allah, seperti al-Rahîm (Maha Penyayang), al-Ghafûr (Maha Pengampun), al-Lathîf (Maha Lembut), dan al-Rahmân (Maha Penyayang).
Aspek jalâliyah adalah sesuatu yang sangat bernilai luar biasa, sangat tinggi, tak terjangkau dan tak ada bandingannya dengan makhluknya. Akan tetapi, di samping itu Allah juga sekaligus indah, dekat, akrab, penuh cinta, dan sifat-sifat kelembutan lainnya yang terangkum dalam aspek jamâliyah.
Meskipun Allah Maha Penghukum, Maha Penyiksa, Maha Pendendam, Maha Keras, tetapi diri kita luput dari itu. Allah Maha Pencinta. Tidak ada kekerasan dalam cinta. Yang namanya cinta, lapar dan haus tidak terasa. Luka dan bisa bukan derita. Maka dari itu, di bulan suci Ramadlan orang bisa melaksanakan puasa dengan penuh rasa cinta kepada Allah Swt, sehingga puasa yang dilakukan secara berjama'ah itu dirasakan mudah. Dikatakan dalam Hadis:
"Berkah itu terletak pada jamaah".
Nama-nama keagungan lebih berhubungan dengan ketakterbandingan Allah dan hamba-Nya. Jika kita merasakan diri kita tak terbandingkan dengan Allah SWT, ini tidak salah. Akan tetapi, kalau kita menekankan aspek keserupaan, nama-nama jamâliyah Allah yang kita tonjolkan, itu juga tidak salah. Sebab, memang apa yang Allah ciptakan di dalam diri kita semuanya itu berasal dari Allah SWT.
Wajar kalau terjadi keserupaan-keserupaan. Allah Maha Pencinta, kita juga idealnya mencintai sesama. Allah Maha Pengasih, kita juga idealnya mengasihi antar sesama. Allah Maha lembut, kita juga harus lembut dengan sesama.
Mengidentifikasikan diri dengan sifat-sifat kelembutan Allah itu satu kenikmatan tersendiri. Semakin kita meniru sifat kelembutan Allah, semakin halus budi pekerti ini.
Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk merasakan kehalusan budi pekerti, cukup kita mencoba melakukan pendekatan diri kepada Allah, dengan cara belajar al-Asmâ al-Husnâ.
Contohilah sifat-sifat yang bisa kita contoh, terutama sifat jamâliyah-Nya. Akhlakul Karimah pasti akan terpelihara, tanpa harus melalui penataran-penataran, cukup dengan kedekatan diri kita kepada Allah SWT.
Nama-nama yang dipandang berbeda satu sama lain itu bukan berarti bahwa Allah kontradiktif, apalagi plin-plan. Dualitas itu ada dalam kaitannya dengan makhluk. Allah sendiri tidak merasakan dirinya memiliki sifat kontradiktif. Hanya kita yang memandang itu kontradiktif.
Bukankah diri kita juga kalau dilihat orang lain seringkali tidak konsisten? Di satu tempat, seseorang bisa tampil sebagai malaikat, di tempat lain tanpil sebagai iblis. Satu sisi penyelamat, tetapi sisi lain perusak. Namun demikian itu tetap menjadi bagian diri kita.
Kita keras pada waktu itu, karena keadaan menghendakinya. Tampil halus pada saat ini, karena keadaan menghendakinya. Dua-duanya bagian dari kita. Tidak ada pertentangan. Sifat-sifat Allah pun demikian. Dia adalah utuh pada dirinya sendiri. Itulah Ahâdiyat al-Wâhid.
Kita bisa mendekati Allah dari kedua aspek itu. Aspek jalâliyah Allah biasanya kita dekati melalui pendekatan rasional seperti dalam fiqh dan ilmu kalam (teologi). Hasilnya adalah kita membayangkan diri kita sangat jauh dengan Tuhan. Allah Maha Suci, kita sama sekali sangat kotor.
Waktu usia anak-anak, kita sering membayangkan Allah itu Maha Hebat dan segalanya sehingga tidak ada kemampuan bagi kita untuk mengidentifikasikan diri dengan Allah. Akibatnya, kita sangat takut kepada yang serba maha itu. Takwa pun diartikan takut. Sebagai efeknya, kita beribadah, shalat dan puasa pun dilakukan karena takut dan tunduk. Ada tersimpan beban-beban, terpaksa, dan keharusan.
Ini sangat berbeda kalau kita memakai pendekatan kalbu seperti dalam tasawuf. Allah seperti ada dalam diri kita (immanent). Tuhan tidak jauh bahkan ada dalam diri kita. Maka yang timbul bukan takut, tetapi cinta, karena Allah begitu dekat. Maka yang timbul adalah kepasrahan diri dan keterpesonaan.
Shalat dan puasa tidak lagi terasa sebagai tunduk kepada Tuhan, melainkan bagian dari kecintaan terhadap Tuhan. Nikmat sekali beribadah kepada Allah kalau kita menggunakan pendekatan tasawuf.
Kedua pendekatan ini jangan dipertentangkan. Tidak ada tasawuf tanpa syariat. Seorang hamba Tuhan tidak akan terpikir untuk mempertentangkannya satu sama lain. Akan tetapi, dia akan selalu mempersatukan. Prinsipnya preinciple of identity, bukan principle of negation.
Jangan berfikir kontradiktif, melainkan integratif. Orang yang kelebihan beban dalam hidupnya seringkali berfikir kontraproduktif. Di sinilah pentingnya kajian tasawuf, bisa melembutkan hati yang kasar, meluruskan pikiran yang bengkok, dan memutihkan jiwa yang kotor./taq
Sumber: Newsroom Republika
No comments:
Post a Comment