Friday, July 31, 2009

The Beutifull of Hadramaut

Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd
Hadramaut terkenal sebagai kotanya para habaib yang menyebarkan islam sampai ke indonesia, di kota ini terdapat pesantren-tua seperti Rubat tarim, dan darul mustofa yang telah mencetak ulama-ulama besar, selain itu kota ini juga telah menghidupkan wali2 besar di thariqa Alawiyyin..
Disamping itu semua, hadramaut juga memiliki keindahan dalam pemandangan alamnya..
Let's we see some picture, the beutifull of hadramaut...
















By Sufi Road



Thursday, July 30, 2009

Orang thoreqoh itu ora oleh opo-opo, tapi gampang oleh opo-opo


“Orang thoreqoh itu ora oleh opo-opo, tapi gampang oleh opo-opo”,
(Orang thoreqoh itu tidak dapat apa-apa tetapi mudah memperoleh apa-apa)

Kalau dijelaskan apa yang ada di balik dawuh tersebut pasti akan sangat luas dan dalam maknanya, perlu satu sesi pengajian khusus membahas tentang hal itu oleh mereka yang bisa menggapai kedalaman hakikatnya. Hanya saja kalau aku sih gak isok koyok ngono – tidak bisa seperti itu, tidak dapat menggapai makna yang luas dan dalam itu, melainkan hanya sekedarnya saja yang tentunya sesuai kapasitas pemahamanku.

Ora oleh opo-opo [tidak dapat apa-apa]

Memang, berthoreqoh itu dapatnya apa sih ? Gak dapat apa-apa ! Lha wong berthoreqoh itu cuman diajari dzikir, tiap hari harus wiridan sesuai yang diijazahkan, itu pun gak boleh berharap apa pun juga karena niatnya hanya boleh lillahi ta’ala, hanya karena Allah saja. Repot kan jadinya, gak bisa menjadikan wiridan kita sebagai sebuah proposal yang bisa diajukan ke gusti Allah untuk mendapatkan persetujuan proyek-proyek keduniaan kita, misalnya wirid biar rejeki lancar, wirid biar dapat jodoh, wirid biar kebal peluru, biar ditakuti jin, biar berwibawa, biar sembuh atau biar-biar yang lain. Thoreqoh itu untuk akhirat, karena amaliyah kita sama sekali tidak boleh ditukar dengan dunia. Shalat ya shalat dalam rangka melaksanakan kewajiban kehambaan kita, bukannya untuk kelancaran rejeki dan sebagainya. Shodaqoh ya shodaqoh dalam rangka melaksanakan kewajiban kehambaan kita, bukannya untuk larisnya dagangan atau melimpahnya pendapatan. Puasa ya puasa dalam rangka melaksanakan kewajiban kehambaan kita, bukannya untuk mencari jodoh, mendapatkan kesembuhan atau yang lainnya. Kalau ada fadilah/pahala/ganjaran di balik amaliyah yang kita lakukan, itu adalah sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah dan pasti diberikan oleh Allah meskipun tidak kita hitung-hitung. Sedangkan yang dituntut Allah kepada diri kita adalah pelaksanaan amaliyah itu sendiri. Jadi yang penting adalah melaksanakan apa yang dituntut Allah kepada kita titik. Jadi sekali lagi, memang ora oleh opo-opo !!!

“Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin oleh Allah dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti rabunnya mata batinmu”. (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)

Tetapi ora oleh opo-opo itu malah alhamdulillah, malah harus kita syukuri, mengapa ? Ya karena ibarat orang menabung, berthoreqoh itu merupakan metode menabung kita untuk kehidupan akhirat yang hasilnya akan kita petik dengan sempurna dan paripurna kelak di akhirat yang tentu saja dengan keridhoan Allah. Lha kalau tabungan itu kita nikmati sekarang, kapan penuhnya, baru diisi sudah diambil, ya pasti habis. Kalau sudah habis, di akhirat dapat apa ? NOL besar tentunya. Karena itu sekali lagi alhamdulillah kalau kita itu ora oleh opo-opo.

Q.S. Hud [11:15] : “man kaana yuriidu lhayaata ddunyaa waziinatahaa nuwaffi ilayhim a'maalahum fiihaa wahum fiihaa laa yubkhasuun” (Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan)

Q.S. Hud [11:16] : “ulaa-ikalladziina laysa lahum fii l-aakhirati illaa nnaaru wahabitha maa shana'uu fiihaa wabaathilun maa kaanuu ya'maluun” (Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan)

Sementara cuma itu yang bisa kupahami dari dawuh : ora oleh opo-opo.

Gampang oleh opo-opo [mudah mendapatkan apa-apa]

Ora oleh opo-opo tapi kok gampang oleh opo-opo ? Nah menurutku sih, itu merupakan efek samping bagi pengamal thoreqoh dari riyadohnya dalam menjalani thoreqoh. Metode utama dalam berthoreqoh itu kan dzikir. Nah dzikir inilah bila dilaksanakan secara ajeg atau istiqomah akan membawa efek perubahan yang luar biasa bagi pelakunya. Yuk kita lihat....

Tazkiyah

Dzikir thoreqoh atas lisensi dari seorang mursyid yang kamil mukammil, yang utama berfungsi untuk mentazkiyah jiwa kita, mensucikan hati kita sehingga sifat-sifat tercela dalam hati kita sedikit demi sedikit akan mulai tereliminasi dan digantikan dengan sifat-sifat yang mulia. Kalau seseorang sudah mencapai hal seperti itu artinya dia akan benar-benar menjadi khalifah atas dirinya sendiri, akan menjadi khalifah atas hatinya sendiri dan akan menjadi khalifah atas hawa nafsunya sendiri dalam arti dia yang memimpin hatinya untuk terus menerus berdzikir dan memimpin hawa nafsunya agar terkendali dan tidak berkolaborasi dengan pikiran untuk mensabotase hati agar tidak menuruti hasrat ruhnya.

Dengan jiwa yang tersucikan, dengan hati yang sudah berhias akhlaq mulia, maka di mana pun juga serta kapan pun juga insya Allah yang keluar dari diri seseorang hanyalah madu atau dengan kata lain selalu memberikan kemanfaat yang dalam arti yang minimal adalah seseorang tidak akan merugikan apapun dan siapa pun walau pun itu dirinya sendiri. Inilah ketaqwaan.

Dalam bahasa umum, ketaqwaan dapat diartikan sebagai kesadaran atau awareness. Ketaqwaan inilah yang merupakan kunci pengendalian diri. Pengendalian diri dalam menjaga hubungan baik kita secara vertikal dalam arti menjaga kehambaan kita dihadapan Allah, menyadari bahwa sebagi hamba berarti harus ikhlas dalam melakukan apa pun yang dikehendaki Tuhan kita baik dalam aspek syariat maupun hakikatnya yang pada akhirnya akan membuahkan sesuatu yang “manis” dalam hubungan horizontal yaitu hubungan dengan sesama makhluk secara keseluruhan.

Semakin baik pengendalian diri seseorang, berarti semakin baik pula kualitas jati diri seseorang, berarti juga semakin baik ketaqwaan seseorang itu. Dapat juga dibalik bahwa semakin bertaqwa berarti semakin berkualitas jati diri seseorang yang berarti juga semakin baik pengendalian dirinya.

Q.S. Ath Thalaq [651:2-3] : “...waman yattaqillaaha yaj'al lahu makhrajaa wayarzuqhu min haytsu laa yahtasibu...” (Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.)

Nah, untuk menuju ke arah ketaqwaan itu hambatan terbesar adalah dari hawa nafsu yaitu dorongan-dorongan/hasrat dari dalam diri untuk kepentingan diri yang secara ekstrem bisa dikatakan segala sesuatu apa pun itu yang tidak ditujukan untuk Allah.

Q.S. Al Mu’minuun [23:71] : “walawi ittaba'a lhaqqu ahwaa-ahum lafasadati ssamaawaatu wal-ardhu waman fiihinna bal ataynaahum bidzikrihim fahum 'an dzikrihim mu'ridhuun” (Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.)

Sengkolo

Dari beberapa tradisi atau budaya yang ada, biasanya mengenal (meskipun namanya berbeda tetapi yang dimaksud sama) apa yang dinamakan dengan sengkolo/karma/ciong/sial dalam kehidupan seseorang dan untuk menetralisir hal tersebut biasanya dilakukan dengan sebuah ritual seperti ruwatan/cisuak/inisiasi. Padahal semua yang dimaksud itu sebenarnya adalah kecil, karena yang sejatinya sengkolo besar dalam diri kita ini adalah hawa nafsu. Kalau hawa nafsu teratasi, dapat dikelola dengan baik, insya Allah kehidupan seseorang pun akan menjadi baik pula.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Rasululllah SAW pernah bersabda kepada pasukan perangnya yang baru pulang dari Perang Badar yang teramat berat.”kalian baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar”. Para sahabat terperanjat, bertanya-tanya dalam hati, apakah ada jihad yang lebih akbar dibanding peperangan yang baru saja mereka selesaikan. Rasullah menjawab,”perang akbar adalah perang mengalahkan diri sendiri, jihad alan nafs.

Sengkolo/karma/ciong/sial menurut tradisi atau budaya yang ada salah satunya bisa disebabkan karena seseorang banyak berbuat dosa di masa lalunya. Tentu saja dosa ini meskipun enak tetapi hakikinya sangat tidak baik bagi seseorang yang menjalaninya, bisa jadi penyakit baik secara fisik maupun secara phsikis Kalau seseorang banyak berbuat dosa di masa lalu, hawa nafsunya biasanya akan memberati langkahnya menuju pintu taubat, baik karena merasa tidak pantas mendekat kepada tuhannya atau pun karena diam-diam dia sangat menikmati dosa yang dilakukannya, sehingga akhirnya ya berbuat dosa lagi, terus begitu berulang-ulang. Di sisi lain, ruhnya berontak ingin kembali mendekat kepada tuhannya dan yang pasti akan terjadi gejolak yang luar biasa dalam hatinya, keresahan, kegelisahan, kegersangan yang bahkan mungkin sampai dalam taraf yang mengerikan. Kalau sudah seperti itu, apa pun yang dilakukan pasti akan terasa tidak pas. Walaupun secara kasat mata, dalam strata sosial kemasyarakatan seseorang itu tergolong sukses, tetapi biasanya tidak ada kebarokahan dalam hidupnya, kesuksesan yang didapat tidak bisa dinikmatinya.

Dengan keistiqomahan dzikir yang dilakukan, insya Allah murid thoriqoh tidak akan mengalami hal seperti itu. Kalau pun toh dia pernah berbuat dosa di masa lalu, ya sudah, taubat saja lalu lupakan dosa itu, sehingga tidak ada beban yang menghambat langkahnya di masa depan. Melupakan dosa sesudah bertaubat, berarti sudah tidak ingat lagi enaknya berbuat dosa yang pernah dilakukan, karena bisa jadi kalau dosa itu tidak dilupakan biasanya akan ada dorongan untuk mengulang dosa itu lagi. Jadi orang thoreqoh itu biar mudah memperoleh kebarokahan hidup, tidak usah menjalani ritual ruwatan dan kawan-kawannya itu, wis cukup wiridan wae, noto ati lan ndidik hawa nafsunya biar taat sama Allah. Insya Allah, efek sampingnya berupa berbagai kemudahan dan kebarokahan yang membentang luas di hadapan sana. Gampang oleh opo-opo.

Trauma Masa Lalu

Adakalanya, seseorang dalam perjalanan hidupnya pernah mengalami suatu trauma di masa lalunya. Biasanya trauma itu berkaitan dengan suatu perlakuan atau suatu pengkondisian atau suatu keadaan yang direspon secara negatif oleh kesadaran seseorang yang pada akhirnya mengakibatkan timbulnya rasa marah, benci, dendam atau rasa bersalah, malu atau pun rasa takut yang kesemuanya itu di atas ambang batas normal sehingga sangat membebani batinnya dalam kesehariannya. Tidak bisa los, energinya habis tersedot oleh rekaman-rekaman trauma masa lalunya itu, sehingga apa pun yang dilakukan biasanya terasa berat sekali penuh dengan hambatan.

Nah, orang thoriqoh, insya Allah tidak akan bermasalah walupun mungkin sebenarnya dia juga mengalami trauma masa lalu, sebab dengan dzikir thoriqoh yang istiqomah salah satu efek sampingnya adalah membersihkan pikiran dari ingatan-ingatan kontra produktif yang tersimpan di otaknya. Kesadarannya akan mengatakan bahwa segala yang sudah terjadi di masa lalu adalah memang sudah kehendak tuhan yang harus dilaluinya dalam rangka mendidik dirinya menjadi lebih kuat. Dengan dzikir thoriqoh yang istiqomah, insya Allah efek sampingnya akan meluruhkan segala rasa benci, dendam dan marah menjadi maaf dan cinta, penyesalan menjadi harapan, serta ketakutan menjadi keberanian karena Allah. Kalau diri ini sudah terbebas dari trauma masa lalu yang membelenggu kesadaran, seluruh energi kehidupan akan bisa fokus untuk menapaki kekinian, menjalani saat ini dan merencanakan masa nanti. Yang jelas akan lebih mudah. Gampang oleh opo-opo.

Ilmu Sejati

Seseorang yang sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri, yang sudah bisa menjadi khalifah atas diri, hati dan hawa nafsunya sendiri, berarti dia sudah menemukan ilmu sejati yaitu ilmu untuk memilih yang hakiki saja dan meninggalkan yang hanya sekedar main-main atau senda gurau belaka. Semua yang diucapkan, semua yang ditindakkan, semua yang diinginkan didasari oleh suatu pilihan bahwa memang itu perlu diucapkan, itu perlu ditindakkan dan itu perlu dimiliki, bukan sekedar demi gaya hidup, bukan sekedar ikut-ikutan saja, bukan sekedar demi popularitas dan bukan sekedar demi sebuah kebanggaan saja.

Sebab pada jaman ini industri telah mendikte pasar sedemikian hebatnya. Produk apa pun yang dilempar ke pasar akan dikondisikan sebagai sebuah gaya hidup yang wajib dimiliki dan diikuti, demi pencapaian penjualan yang laris manis, demi keuntungan yang fantastis bagi para produsennya yang seakan-akan mereka yang tidak memiliki, mereka yang tidak mengikuti bagaikan golongan yang tidak ada artinya dan tidak ada nilainya. HARE GENE…… menjadi slogan wajib sebuah gaya hidup apa pun itu. Di mal-mal, di jalan-jalan, di dunia maya, di media cetak dan di media audio-visual penuh dengan bombardir pesona sihir iklan tentang sebuah gaya hidup. Bagai para penyihir Fir’aun yang melemparkan talinya menjadi ular-ular kecil semu yang akhirnya dimakan semua oleh ular sejati dari tongkat Musa, seperti itulah mestinya, yang semu harus dilawan dengan yang sejati agar terhindar dari sekedar permainan atau senda gurau belaka yang tentunya sia-sia.

Q.S. AL AN’AAM [6:32] : ”wamaa lhayaatu ddunyaa illaa la'ibun walahwun waladdaaru l-aakhirati khayrun lilladziina yattaquuna afalaa ta'qiluun” (Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?)

Orang thoreqoh yang sudah bisa mengkhalifahi dirinya sendiri insya Allah akan gampang memperoleh apa pun yang diinginkan, karena apa pun yang diinginkan itu adalah memang benar-benar dibutuhkan sehinga kalau keinginan itu terwujud akan membuahkan kebahagiaan yang akan berujung pada melimpahnya rasa syukur. Melimpahnya rasa syukur inilah yang berfungsi sebagai wadah kesiapan untuk menerima anugerah Allah yang lebih besar lagi.

Q.S. IBRAHIM [14:7] : “wa-idz ta-adzdzana rabbukum la-in syakartum la-aziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid” (Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih")

Fatwa hati

Orang thoriqoh itu kalau sudah ajeg / istiqomah dalam amaliyahnya, biasanya hatinya akan semakin bersinar, karena sifat-sifat yang tercela mulai tergantikan dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan hati yang terang dalam bimbingan seorang mursyid kamil mukammil, insya Allah hatinya bisa menjadi penuntun baginya. Kalau secara umum orang menyebutnya sebagai intuisi, tetapi bagi saya ada satu kekhususan yaitu intuisi orang thoriqoh itu adalah intuisi yang terbimbing. Kenapa kok terbimbing ? Di sinilah kembali lagi pentingnya dzikir thoreqoh, dzikir yang terbimbing yang mempunyai otoritas pengajaran dari kanjeng Nabi Muhammad SAW. Istiqomah dalam dzikir thoriqoh berarti juga kita menjalankan riyadoh/tirakat/disiplin ruhani dalam olah rasa, sehingga insya Allah semakin hari kita akan semakin peka dalam membedakan mana sih yang merupakan hasrat nafsu, mana juga yang hasrat ruh, mana yang merupakan produk akal pikiran, mana yang merupakan hembusan syaithon yang membuat was-was hati kita dan mana pula yang merupakan kata hati kita. Hasrat ruh biasanya mengajak kita terus mendekat pada Allah tanpa tendensi apa pun. Karakter nafsu, munculnya biasanya spontan, spontan marah, spontan sedih, spontan gembira dan spontan-spontan yang lain yang memposisikan diri kita harus menang, harus enak, harus benar dan harus-harus yang lain yang paling menguntungkan hawa nafsu kita. Akal pikiran karakternya selalu disertai munculnya pertimbangan-pertimbangan bagaimana-jika atau jika-maka (logika berpikir), kalau begini maka bagaimana, sesuai referensi (baik pengalaman atau pun keilmuan) yang tersimpan di memori kita. Bila pertimbangan akal-pikiran sudah memutuskan tetapi masih ada keraguan dan pertimbangan yang lebih panjang lagi, maka itulah karakter hembusan syaithon dalam hati kita. Nah paling enak mestinya ya mengikuti kata hati yang terdalam, yang munculnya begitu saja dengan nuansa hati yang biasa-biasa saja dalam arti ketika muncul hal itu hati kita sedang tenang, tidak ada keraguan di dalamnya, tidak ada rasa apa pun baik sebelum kemunculannya maupun sesudah kemunculannya. Pokoknya biasa saja gitu loch.... Hidup ini selalu dan tidak akan pernah lepas dari pilihan-pilihan yang harus kita putuskan, bahkan terkadang kita dihadapkan pada situasi dimana kita harus segera mengambil keputusan dalam hitungan sepersekian detik.

Fatwa hati inilah yang sebenarnya merupakan tuntunan bagi kita dalam bertindak atau pun dalam mengambil suatu keputusan dalam berbagai kemungkinan yang ada. Kalau bisa seperti itu, insya Allah akan banyak kemudahan yang akan kita dapatkan, karena keputusan yang kita ambil dari berbagai pilihan atau kemungkinan yang ada adalah yang terbaik bagi kita yang insya Allah hasilnya pun akan baik. Gampang oleh opo-opo.

Istafti qalbak, al-birr mâ ithma’anna ilayhi al-nafs wa athma’anna ilayhi al-qalb wa al-ismu mâ hâka fi al-nafs wa taraddad fi al-shudûr. [H.R. Ahmad dan al-Dârimî] Mintalah fatwa pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.

Do’a

Orang thoriqoh itu sebenarnya punya andalan yaitu doa. Kalau dalam semua amaliyah diniatkan dan ditujukan hanya untuk Allah, maka kalau ada hajat apa pun itu letaknya adalah di doa.

Syekh Abu al-Abbas al-Mursi menyampaikan bahwa sebenarnya manusia itu selalu membutuhkan Allah baik di dunia maupun di akhirat sebagai hakikat kehambaannya tanpa melalui sebab-sebab tertentu. Hanya saja kebanyakan manusia baru merasa butuh Allah jika sudah ada sebab-sebab tertentu dan ketika sebab itu hilang maka akan hilang juga rasa butuhnya kepada Allah. Padahal salah satu kunci dikabulkannya suatu doa adalah selalu merasa butuh.

[Q.S. 27:62] Siapa yang mengabulkan doa orang yang dalam keadaan membutuhkan ?

"Laa haula walaa quwwata illaa illaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Berarti kita itu NOL, tidak punya daya dan kekuatan bagai sesosok jazad tak bernyawa. Siapa bisa menjamin besok pagi ketika bangun tidur, kita masih bisa menggerakkan tubuh kita ? Siapa bisa menjamin satu jam ke depan kita masih segar bugar ? Siapa bisa menjamin nanti masih tergerak hati kita untuk sholat ? Kalau toh kita bisa beraktivitas dalam keseharian karena kondisi tubuh kita yang sehat, dari mana sebenarnya kesehatan itu berasal ? Kalau toh kita berargumen bahwa tubuh kita sehat karena kita menerapkan pola hidup sehat dengan pola konsumsi makanan yang sehat, istirahat dan olah raga yang teratur, maka dari mana niatan atau kesadaran untuk berpola hidup sehat itu muncul. Beranikah kita mengklaim bahwa niatan atau kesadaran itu muncul karena kehendak atau kekuatan kita sendiri ? Atau ketika kita ringan dalam menjalankan ibadah kita, beranikah kita untuk juga mengklaim itu atas kekuatan kita sendiri atau lebih jauh beranikah kita memastikan di akhir hidup kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah ?

Sungguh, dalam setiap detik kehidupan kita tidak pernah lepas dari pengaturan Allah, karena sebenarnya kita itu faqir di hadapan Allah, sehingga kita semua sangat-sangat tergantung pada Allah, sangat-sangat butuh kepada Allah. Di dalam setiap gerak dan langkah kita, di dalam setiap tarikan dan hembusan napas kita, di dalam setiap detak jantung kita, di dalam setiap dzikir dan pikir kita, Allah-lah yang sejatinya menggerakkan dan memberi kita kekuatan.

Dengan kesadaran bahwa diri kita ini selalu butuh Allah, kita faqir di hadapan Allah, kita hambanya Allah, maka kita laksanakan salah satu yang dituntut Allah kepada kita yaitu berdoa. Doa yang bagaimana ?

Doa yang yakin.

Yakin terhadap apa ?

Yakin terhadap ijabah/pengkabulan Allah.

Kalau pasti dikabulkan, terus ?

Ya... bersyukur
Tapi, kapan dan dimana pengkabulan itu terjadi ?
Ya... terserah Allah pada waktu dan tempat yang dikehendakiNya.
Berarti harus sabar menunggu pengkabulan doa itu terwujud dalam realitas fisik ?
Ya.
Kalau wujudnya doa dalam realitas fisik lama atau tidak seperti yang kita harapkan ?
Ya... harus ridho.

Q.S. al-Mu’min [40]:60 : Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina."

“Tak seorang pun pendoa, melainkan ia berada di antara salah satu dari tiga kelompok ini : kadang ia dipercepat sesuai dengan permintaannya, atau ditunda (pengkabulannya) demi pahalanya, atau ia dihindarkan dari keburukan yang menimpanya” (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Al-Hakim)

“Janganlah membuatmu putus asa dalam mengulang doa-doa, ketika Allah menunda ijabah doa itu“ (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)

“Allahlah yang menjamin ijabah doa itu menurut pilihan-Nya padamu, bukan menurut pilihan seleramu, kelak pada waktu yang dikehendaki-Nya, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.” (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)

Q.S. al-Baqoroh [2]:216 : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”

Nah, orang thoriqoh itu selama selalu merasa butuh Allah, mau berdoa, diiringi dengan rasa yakin, sabar, syukur dan ridho, insya Allah itulah tanda-tanda makbulnya doa yang dipanjatkan. Gampang oleh opo-opo.

Enak tho ? Manteb tho ? Ya... sementara itu dulu. Wallahu’alam.

- Sufinews Group-

Dakwah dan Jihad Ahli Tasawuf


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن نصره ووالاه

Sejarah membuktikan Ahli Tasawuf memainkan peranan penting di dalam usaha menegak dan mempertahankan agama Allah. Mereka bukanlah hanya menghabiskan masa dengan berzikir, tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak mengendahkan suasana di sekelilingnya.

Sebaliknya mereka turut mengambil bahagian yang serius di dalam dakwah dan jihad, malah memberikan sumbangan yang besar dalam perjuangan umat Islam atau dalam jihad menentang kuffar di medan peperangan, mahupun menentang kemungkaran dan kezaliman yang dilakukan golongan berkuasa.

Pembelaan para pemimpin kerohanian terhadap Islam sangat jelas di dalam lembaran sejarah. Di antaranya ialah Syeikh Hatim dan gurunya Syeikh Syaqiq. Mereka berdua telah mengambil bahagian dalam jihad di zaman mereka, dan guru beliau telah syahid di medan peperangan.

Ibrahim bin Adham, seorang wali Allah, di dalam manaqibnya ada dijelaskan bahawa beliau sentiasa mengambil bahagian dalam peperangan yang berlaku di zamannya, baik peperangan itu berlaku di darat mahupun di laut.

Demikian juga Syeikh Abu Yazid Al-Bistami, beliau bukan sahaja seorang guru mursyid dan pemimpin kerohanian, bahkan merupakan seorang pejuang yang berani memasuki apa jua medan peperangan sehingga beliau sendiri pernah berkata : “Aku telah ditetapkan Allah untuk bersama-sama dengan para mujahidin (di medan peperangan). Aku menetakkan pedang di muka musuh-musuh Allah itu bersama mereka di dalam masa yang lama.”


Dalam hal ini, Dr. Abd Halim Mahmud di dalam sebuah bukunya menegaskan bahawa Syeikh Abu Yazid ketika berada di barisan hadapan, bukan hanya semalaman bersandar di tembok-tembok kubu Islam, tetapi beliau juga terus berzikrullah tanpa putus-putus, sehingga beliau benar-benar menjadi orang Mukmin yang menepati kehendak sabda Rasulullah SAW :

“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka (di akhirat) ialah mata yang menangis kerana takutkan Allah dan mata yang celik sepanjang malam kerana menjaga (musuh) di dalam perang fi sabilillah.”

Uwais Al-Qarni adalah seorang wali Allah dan semulia-mulia tabi’in. Sejarah mencatatkan bahawa beliau telah turut sama mempertahankan Saidina Ali di dalam peperangan Siffin kerana berpendapat golongan yang menentang Saidina Ali adalah salah, dan wajib memerangi mereka sehingga mereka bertaubat dan kembali kepada jalan sebenar. Kemudian ketika tentera Islam berperang dengan tentera Rom, beliau telah sama-sama mencabut pedang dan terjun ke medan perang. Beliau telah syahid akibat mengalami kecederaan di dalam peperangan tersebut.

Dalam peperangan Salib, para ulama tasawuf telah memainkan peranan yang cukup penting sebagaimana yang dinukilkan di dalam Haqaiq ‘an al-Tasawuf :

“Dan di Mesir, di waktu tentera Salib sampai di Dimyat, golongan sufiyyah seperti Syeikh Abu Hasan Asy-Syazili, ‘Izuddin bin Abd Salam dan Abu Fath bin Daqiq al-’Iyd dan ulama-ulama lain telah memberikan khidmat yang sebaik-baiknya untuk menentang tentera Salib.”

Begitu juga dengan Imam Sanusi yang hidup di sekitar tahun 1200 Hijrah. Beliau mengetuai umat Islam menentang penjajahan Itali selama berpuluh-puluh tahun. Syeikh Abd Qadir al-Jazairi juga adalah seorang panglima dan pemimpin agung gerakan menentang penjajahan Peranchis di Algeria.

Kita juga mungkin telah membaca sejarah dan menonton tayangan filem mengenai perjuangan Syeikh Umar Mokhtar yang gigih menentang penjajahan Itali di Libya di mana beliau akhirnya syahid di tali gantung.

Di benua India pula, kita menemui tokoh-tokoh perjalanan kerohanian seperti Syeikh Ahmad al-Sirhindi, Syah WaliyuLlah al-Dihlawi dan lain-lain yang sangat berjasa kepada Islam kerana jihad mereka dalam politik dan agama sehingga Syeikh Abu Hassan An-Nadwi menyebutkan pentingnya peranan mereka itu dengan katanya :

“Sesungguhnya saya sentiasa menyatakan bahawa jika tidak kerana wujudnya mereka itu dan jihad mereka, nescaya Islam telah (lenyap) ditelan oleh agama Hindu, tamadunnya dan falsafahnya.”

Di Asia Tenggara dan Kepulauan Melayu, kita akan temui tokoh-tokoh tasawuf yang memainkan peranan penting di dalam politik dan pentadbiran negara. Pada zaman keagungan empayar Islam Acheh pada abad ke-16 dan 17, kita dapat melihat bagaimana peranan yang dimainkan oleh Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abd Rauf Singkel dan lain-lain lagi.

Sejarah kedatangan Islam di Terengganu, malah di Semenanjung Tanah Melayu juga berkait rapat dengan usaha dakwah golongan Tasawuf. Ia bermula di Kuala Berang yang menjadi pusat tamadun dan kerohanian Islam pertama.

Kira-kira 700 tahun dahulu, penduduk Kuala Berang dipercayai menganut agama Buddha, kemudian Hindu dan akhirnya menerima Islam.

Dakwah Islam ini telah dibawa oleh seorang ulama yang sangat berjasa kepada Nusantara ini bernama Syarif Muhammad al-Baghdadi.

Beliau merupakan keturunan Saidina Hasan daripada sebelah bapanya dan Saidina Husin daripada sebelah ibunya.

Syarif Muhammad dipercayai telah meninggalkan takhtanya dan kerajaan Baghdad untuk beruzlah di Mekah. Selepas Mekah, Syarif Muhammad menuju ke Hadratulmaut di Yaman dan kemudiannya ke Nusantara iaitu di Hulu Terengganu. Beliau berdakwah menyampaikan Islam kepada masyarakat dan berjihad menjatuhkan kerajaan Seri Wijaya Majapahit.

Setelah berjaya menjatuhkan kerajaan Hindu, beliau telah mendirikan sebuah kerajaan Islam dan seterusnya membina sebuah pusat pemerintahan yang dinamakan “Kota Tamir” yang terletak di kawasan seluas 300 ekar. Ramai di kalangan para pembesar dan raja-raja Hindu yang memeluk Islam dan menjadi pengikut yang kuat.

Pemerintahan dan perjuangan Baginda Syarif Muhammad diteruskan pula oleh keturunannya yang bernama Syarif Abdul Qahar bin Syarif Muhammad (Tok Paloh), kemudian diamanahkan kepada cucunya Syarif Abdullah bin Syarif Qahar (Tok Pauh) dan seterusnya kepada cicitnya Syarif Abdul Malik yang juga disebut Syeikh Abdul Malik atau Tok Pulau Manis. Kesemuanya adalah wali Allah dan dimuliakan Allah dengan diberikan pelbagai karamah.

Tok Pulau Manis kemudiannya menubuhkan pula ‘Kota Pulau Manis’ dan mendirikan institusi pendidikan agama yang tertua dan terbesar di Tanah Melayu ketika itu. Beliau telah mengambil jalan wara’ dengan menyerahkan pemerintahan kerajaannya kepada menantunya iaitu Tun Jenal yang berkahwin dengan anaknya Siti Zubaidah. Tun Jenal ditabalkan sebagai raja di Tanjung Baru, Hulu Terengganu dan bergelar Sultan Zainal Abidin 1.

Seorang lagi ulama tasawuf Terengganu ialah Tokku Paloh, seorang guru mursyid Tariqat Naqsyabandiah yang banyak berjasa terhadap kerajaan Terengganu dan rakyat jelata di dalam usaha menentang kerajaan British.

Salah satu peristiwa yang masyhur ialah ketika pihak Inggeris mahu berunding dengan Raja Melayu mengenai satu tempat bernama Bukit Besar yang ingin mereka miliki. Raja atau Sultan Terengganu pada ketika itu ialah Sultan Zainal Abidin III dan regu baginda ialah Tokku Paloh. Bila Inggeris bertemu baginda dan menyatakan hasrat mereka, lantas Sultan bertitah, “Negeri ini ada tuannya, hendaklah berunding dengannya terlebih dahulu.” Maksud baginda ialah Tokku Paloh.

Pihak Inggeris pun bertemu dengan Tokku Paloh dan berunding mengenai hal itu. Tokku Paloh mengatakan bahawa mereka boleh ‘mengambil’ Bukit Besar dengan syarat bukit itu dibawa balik ke negeri mereka, punggahlah tanahnya ke dalam kapal.

Pihak Inggeris amat marah lalu bangun untuk meninggalkan majlis tersebut. Tapi dengan izin Allah dan karamah Tokku Paloh, kerusi yang diduduki pihak Inggeris melekat pada punggung mereka. Lalu Tokku Paloh menyindir, “Bukan Bukit Besar sahaja yang kamu mahu ambil, tapi kerusi kamipun kamu mahu ambil juga”. Pergilah pihak Inggeris dengan penuh rasa malu.

Kemudian, mereka mahu berunding buat kali kedua tapi ia mestilah diadakan di atas kapal mereka yang besar itu. Bila diajukan jemputan kepada Tokku Paloh, beliau mengatakan kapal besar tak mampu bertahan kalau ia naik. Pihak Inggeris ketawa mendengar kata-kata Tokku Paloh itu.

Namun dengan izin Allah dan karamahnya, setiap kali Tokku Paloh menyengetkan serbannya ke kanan atau ke kiri, maka kapal yangbesar itu turut senget mengikut perbuatan Tokku Paloh. Hal itu menimbulkan perasaan cemas di pihak Inggeris sehingga rundingan dibatalkan serta merta.

Begitu juga dengan murid Tokku Paloh, Haji Abd. Rahman Limbong yang telah memainkan peranan penting dalam kebangkitan tahun 1921-1928 Masihi di Terengganu dalam mempertahankan Islam dari anasir penjajahan.

Selain itu, sejarah juga mencatatkan peranan besar yang dimainkan oleh Wali Songo (Wali Sembilan) di Pulau Jawa. Dengan usaha gigih yang dilakukan, dengan sokongan rakyat jelata, mereka berjaya menubuhkan pemerintahan Islam, menewaskan kekuasaan Hindu, mendirikan masjid, pesantren (pondok), mewujudkan keamanan dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat.

Sejarah Islamnya Kerajaan Pattani juga melibatkan ahli Tasawuf dengan kaedah menarik. Menurut ceritanya, tiga orang ulama sufi yang merupakan sahabat karib telah menjalankan dakwah di Patani.

Mereka ialah Syeikh Shafiyuddin, Syeikh Sa’id Barsisa dan Syeikh Gombak Abdul Mubin. Sebaik tiba di Patani, mereka bertiga telah membuat pondok kecil di satu tempat bernama Kerisik.

Di situ, mereka mengumpul maklumat, membuat kajian mengenai suasana dan budaya setempat serta memikirkan strategi dakwah yang sesuai kerana di masa itu Patani diperintah oleh raja yang beragama Budha.

Syeikh Shafiyuddin amat kuat beribadah, berkhalwat dan berzikir memohon pertolongan Allah dalam dakwahnya. Manakala kedua sahabatnya keluar meninjau dan mendapatkan maklumat-maklumat baru. Suatu hari, tersebarlah berita bahawa Maharaja Antira iaitu pemerintah Patani mengalami penyakit yang berat.

Maka sesiapa yang dapat merawatnya akan diberi upah yang besar. Sebelum ini telah ramai bomoh yang mengubati beliau, namun tidak juga sembuh-sembuh. Apabila pegawai raja sampai ke tempat Syeikh-Syeikh ini, salah seorang dari mereka menyapa dan memberitahu bahawa terdapat seorang dukun yang sangat sakti yang mampu menyembuhkan maharaja itu. Dukun yang dimaksudkan itu sebenarnya ialah Syeikh Shafiyuddin sendiri.

Keesokan harinya, ketiga-tiga orang Syeikh itu dijemput ke istana untuk mengubati raja. Sebelum upacara pengubatan dilakukan, terjadi perjanjian dimana jika raja sembuh hasil pengubatan Syeikh Shafiyuddin, maka raja mestilah menukar agama dari Budha kepada Islam. Syarat itu dipersetujui raja. Kemudian, Syeikh mula membacakan doa-doa dan ayat-ayat al-Quran.

Dengan izin Allah, tiga hari selepas itu raja pun sembuh dari penyakitnya. Tapi raja engkar dengan janjinya untuk memeluk Islam. Dengan karamah Syeikh Shafiyuddin, penyakit raja berulang semula. Maka diubati lagi seperti janji yang pertama, dan sembuh kembali. Raja mungkir lagi, tiba-tiba penyakitnya datang kembali. Diubati lagi dan sembuh semula. Akhirnya raja Budha itu pun memeluk Islam dan diikuti oleh ramai rakyatnya. Sejak itu, ketiga-tiga Wali Allah tadi mendapat tempat kedudukan yang tinggi di Kerajaan Patani.

Selain itu terdapat tokoh-tokoh lain yang juga berperanan besar dalam menegakkan Islam di Nusantara seperti Syeikh Abd Samad al-Falimbani, Syeikh Daud al-Fatani, Ismail Minangkabau, Muhamad Salleh al-Zawawi, Arshad Banjari dan banyak lagi.

Di samping itu, yang sudah termasyhur ialah seperti Imam Al-Ghazali, Syeikh Abd Qadir Jailani, Imam Hassan Al-Banna dan lain-lain. Mengenai hal ini, Al-Maududi berkata :

“Sesungguhnya mereka (ahli tasawuf) mempunyai jasa yang besar dalam penyebaran Islam di daerah-daerah yang jauh terpencil yang belum ditakluki oleh tentera-tentera Islam atau yang belum dapat ditundukkan di bawah hukum Islam. Di tangan mereka itulah, Islam tersebar di Afrika, Indonesia, pulau-pulau di Lautan Hindi, China dan India.”

Abu Hasan Ali an-Nadwi pula menukilkan mengenai dakwah Syeikh Abd Qadir al-Jailani dengan katanya :

“Kira-kira 70,000 orang telah menghadiri majlis (ta’limnya). Lebih 5,000 orang Yahudi dan Nasrani telah memeluk Islam menerusi usahanya. Lebih 100,000 orang-orang jahat dan perompak atau pencuri bersenjata yang telah bertaubat menerusi usahanya. Beliau telah membuka pintu taubat dan bai’ah seluas-luasnya, maka orang ramai yang tidak diketahui bilangan mereka itu kecuali Allah sahaja, telah masuk ke dalamnya. Sehingga akhlak mereka menjadi baik dan demikian juga keIslaman mereka itu.”

Demikianlah beberapa contoh mengenai peranan golongan tasawuf, wali-wali Allah dan pengikut perjalanan kerohanian di dalam amal dakwah dan jihad. Jelaslah bahawa golongan tasawuf bukanlah mereka yang hanya berzikir dan beramal semata-mata, malah berada di barisan hadapan dalam memperjuang dan mempertahankan Islam. Bagi setengah golongan yang meninggalkan amal-amal seperti ini, bermakna mereka telah meninggalkan sunnah Nabi SAW dan perjalanan para sahabat (radiaLahu ‘anhum).

Wallahu ‘alam.

"وصلى اللّه على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم"

Petikan buku : Sufi Mujahid

Al-Haqir illa ALLAH Al-Ghaniy:

Almukminun


Wednesday, July 29, 2009

Guru-guru Syeikh Muhammad Alawi Al Maliki

Berikut adalah Gambar Foto dari guru-guru al-'Alim Allamah Al HAbib, Syeikh Muhammad Alawi al-Maliki

Syeikh Mahmud Afendi al-Hindi

al-'Arif Billah Sayyid Syeikh Soleh al-Ja'fari

Habib Hassan bin Muhammad Fad'aq

Habib Muhammad Bin Salim Bin Syeikh Bakar

Syeikh Hassan Massyat

Syeikh Hassan Bin Saed al-Yamani al-Hijazi

Ayah beliau sendiri Syeikh Alawi Bin Abbas al-Maliki

al-'Arif Billah Syeikh Muhammad Amin al-Kutbi

al-'Arif Billah al-Habib Abdul Qader as-Saqqaf

Habib Ahmad Mahsyur al-Haddad

Habib 'Alawi Bin Shihab

as-Sayyid Syeikh Abu Hassan an-Nadwi

Syeikh Soleh al-Farfur
Syeikh Yasin Isa al-Fadani
Syeikh Sayyid Makki al-Kittani



Sumber :ibnufathani

Wednesday, July 22, 2009

Perjalanan Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Luar Batang

Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus dilahirkan di Yaman Selatan, tepatnya di daerah Hadhramaut, tiga abad yang silam. Ia dilahirkan sebagai anak yatim, yang dibesarkan oleh seorang ibu dimana sehari-harinya hidup dari hasil memintal benang pada perusahaan tenun tradisional. Husein kecil sungguh hidup dalam kesederhanaan.

Setelah memasuki usia belia, sang ibu menitipkan Habib Husein pada seorang “Alim Shufi”. Disanalah ia menerima tempaan pembelajaran thariqah. Di tengah-tengah kehidupan di antara murid-murid yang lain, tampak Habib Husein memiliki perilaku dan sifat-sifat yang lebih dari teman-temannya.
Kini, Al Habib Husein telah menginjak usia dewasa. Setiap ahli thariqah senantiasa memiliki panggilan untuk melakukan hijrah, dalam rangka mensiarkan islam ke belahan bumi Allah. Untuk melaksanakan keinginan tersebut Habib Husein tidak kekurangan akal, ia bergegas menghampiri para kafilah dan musafir yang sedang melakukan jual-beli di pasar pada setiap hari Jum’at.

Setelah dipastikan mendapatkan tumpangan dari salah seorang kafilah yang hendak bertolak ke India, maka Habib Husein segera menghampiri ibunya untuk meminta ijin.

Walau dengan berat hati, seorang ibu harus melepaskan dan merelakan kepergian puteranya. Habib Husein mencoba membesarkan hati ibunya sambil berkata : “janganlah takut dan berkecil hati, apapun akan ku hadapi, senantiasa bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia bersama kita.” Akhirnya berangkatlah Al Habib Husein menuju daratan India.

Sampailah Al Habib Husein di sebuah kota bernama “Surati” atau lebih dikenal kota Gujarat, sedangkan penduduknya beragama Budha. Mulailah Habib Husein mensi’arkan Islam dikota tersebut dan kota-kota sekitarnya.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut membawa Rahmatan Lil-Alamin. Karena daerah yang asalnya kering dan tandus, kemudian dengan kebesaran Allah maka berubah menjadi daerah yang subur. Agama Islam pun tumbuh berkembang.

Hingga kini belum ditemukan sumber yang pasti berapa lama Habib Husein bermukim di India. Tidak lama kemudian ia melanjutkan misi hijrahnya menuju wilayah Asia Tenggara, hingga sampai di pulau Jawa, dan menetap di kota Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu.

Batavia adalah pusat pemerintahan Belanda, dan pelabuhannya adalah Sunda Kelapa. Maka tidak heran kalau pelabuhan itu dikenal sebagai pelabuhan yang teramai dan terbesar di jamannya. Pada tahun 1736 M datanglah Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat di pelabuhan Sunda Kelapa.

Disinilah tempat persinggahan terakhir dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam. Ia banyak di kunjungi bukan saja dari daerah sekitarnya, melainkan juga datang dari berbagai daerah untuk belajar Islam atau banyak juga yang datang untuk di do’akan.

Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara Glodok.

Istilah karomah secara estimologi dalam bahasa arab berarti mulia, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (terbitan balai pustaka, Jakarta 1995, hal 483) menyebutkan karomah dengan keramat, diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya, berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.

1. Menjadi mesin pemintal

Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya.

Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang.

Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”

2. Menyuburkan Kota Gujarat

Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana.

Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam.

Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.

3. Mengislamkan tawanan

Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda.

Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa.

Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.”

Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.

4. Menjadi Imam di Penjara

Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.”

Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain.

Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci.

Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.

5. Si Sinyo menjadi Gubernur

Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya.

Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini.

Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.

6. Cara Berkirim Uang

Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein.

Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman.

Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein.

Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.

7. Kampung Luar Batang
Gubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir.

Habib Husein telah di panggil dalam usia muda, ketika berumur kurang lebih 30-40 tahun. Meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang.

Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasa Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula.

Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.”

Catatan :

Pengalaman masa lampau, tersiar khabar bahwa Al-Habib Husein membuang sejumlah uang ke laut di daerah “Pasar Ikan”. Tidak henti-hentinya para pengunjung menyelami tempat itu. Dengan bukti nyata, mereka mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu, untuk dapat bekerja masih sukar di peroleh. Satu-satunya mata pencaharian yang mudah dikerjakan ialah, menyelam di laut. Dengan demikian, bangkitlah keramaian dikawasan kota tersebut, sehingga timbullah istilah “Mencari Duit ke Kota”

Penutup

1. Perayaan-perayaan tahunan di Makam Keramat Luar Batang.

a. Perayaan/peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, pada minggu terakhir di bulan Rabi’ul Awwal.

b. Perayaan/peringatan haulnya Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Keramat Luar Batang pada minggu terakhir di bulan Syawal.

c. Perayaan “akhir ziarah” pada bulan Sya’ban, yaitu pada 3 (tiga) hari atau 7 (tujuh) hari menjelang bulan suci Ramadhan.

2. Sumber Riwayat ini di peroleh dari :

a. Nara Sumber, sesepuh keluarga Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ialah Almarhumah Syarifah Muznah binti Husein Alaydus, kakak kandung Al-Habib Abu Bakar bin Husein Alaydrus, diceritakan kembali oleh penulis, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan Maghfirah-Nya….Amiin.

b. Diktat sejarah Kampung Luar Batang, oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta/Dinas Museum dan Sejarah, 1982/1983

Tuesday, July 21, 2009

Undangan Haul dan Ziarah Kubro Palembang Darussalam 2009M-1430H

Undangan Haul dan Ziarah Kubro di Palembang DArussalam pada tanggal 23 - 25 Sya'ban 1430H atau 14 - 16 Agustus 2009M





Tradisi Houl dan Ziarah Kubro di Palembang

Sudah menjadi kebiasaan bahwa hari-hari terakhir di Bulan Sya’ban selalu dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk berziarah, baik ke makam anggota keluarga yang telah mendahului, maupun ke makam ulama dan para wali Allah. Suasana tersebut juga dirasakan di Kota Palembang, terlebih dengan digelarnya Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam

Ziarah Kubra adalah tradisi turun temurun yang diwariskan oleh para salafus sholeh, baik dari kaum alawiyyin maupun para muhibbin di Kota Palembang. Selain untuk mengamalkan anjuran Rasulullah s.a.w. yaitu untuk mengingat kematian, ziarah kubra ini juga bertujuan untuk mendoakan para salafus sholeh serta mengharap keberkahan dari mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah s.w.t.

Sebagai acara pembuka adalah Haul Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Hamid. Habib Abdullah bin Idrus adalah salah satu tokoh kebanggaan masyarakat Palembang, semasa hidupnya ia mempunyai kedudukan yang tinggi karena ilmu dan akhlaknya yang mulia, itu terjadi dimanapun ia berada, bahkan di Hadhramaut sekalipun ia mendapatkan penghormatan yang lebih dari para habaib.


Didalam kitab Tuhfatu Al-Ahbab fi Manaqib Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Idrus bin Shahab disebutkan bahwa setiap kali Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Seiwun datang ke kota Tarim, beliau selalu memuliakan dan mengutamakan Habib Abdullah untuk menjadi imam shalat baik di majlis umum maupun khusus. “Aku melihat semua hati manusia mencintainya dan tidak ada satupun yang memusuhinya”, katanya. Habib Abdullah adalah ayah dari Habib Alwi Qolbu Tarim, Hadramaut.


Sedangkan Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Bin Hamid merupakan seorang habib yang mulia, ia banyak menimba ilmu dari para habib baik di Palembang maupun dari Hadramaut, diantaranya Habib Abdullah bin Idrus bin Shahab. Murid-muridnya antara lain putranya sendiri Habib Ahmad, Habib Muhammad bin Hamid bin Syech Abubakar dan Habib Ahmad bin Zein bin Shahab.

Haul diadakan di rumah panggung peninggalan Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Habib Abdurrahman Al-Bin Hamid di perkampungan Alawiyyin Sungai Bayas, Kuto Batu Palembang. Selain para ulama dan sesepuh kota Palembang, hadir juga beberapa ulama dan puluhan tamu dari luar kota dan luar negeri, diantaranya Habib Umar bin Abdurrahman Al-Jufri (Madinah), Ustadz Abul Aswad Jumadil Kubro (Malaysia) dan Habib Hamid Naqib BSA (Bekasi).
Di luar, puluhan pembawa bendera dan umbul-umbul serta grup marawis yang didominasi oleh anak-anak dan pemuda mengatur barisan serta melakukan persiapan untuk memandu peziarah selama perjalanan. Demikian pula Laskar Kesultanan Palembang Darussalam yang siap siaga memayungi para habib dan tamu kehormatan dengan payung kesultanan.

Tiba saatnya, rombongan yang terdiri dari 5 (lima) ribuan peziarah bergerak menuju ke Pemakaman Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar, di Kelurahan 5 Ilir Boom Baru. Tak pelak, arak-arakan massa ini segera menjadi pusat perhatian. Kemacetan pun tak dapat dihindari, namun berkat kesigapan Anggota Brimob dan Satlantas yang turut mendukung acara ini, semuanya dapat diatasi dengan segera. Grup marawis dengan lincah membunyikan alat musiknya. Demikian pula shalawat dan qasidah pun tak henti-hentinya dilantunkan oleh munsyid demi menambah syiar Islam dalam perjalanan tersebut. Di pemakaman Pangeran Syarif Ali, acara diisi dengan salam ziarah dan dzikir singkat, yang dipimpin oleh Habib Umar bin Abdurrahman Al-Jufri
PEMAKAMAN AL-HABIB PANGERAN SYARIF ALI
SYEIKH ABUBAKAR
Habib Pangeran Syarif Ali adalah seorang waliyullah yang ‘alim dan berwibawa, sehingga ia disegani oleh banyak orang. Syarif Ali dilahirkan di Palembang pada tahun 1795 M dari seorang ibu yang bernama Syarifah Nur binti Ibrahim bin Zain bin Yahya. Adapun ayahnya Habib Abubakar dilahirkan di kota Inat, Hadramaut. Habib Abubakar datang ke kota Palembang bersama ayahnya yaitu Habib Sholeh bin Ali sekitar tahun 1755 diakhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Setelah itu Habib Sholeh kembali ke Hadramaut dan meninggal di kota kelahirannya Inat.


Dari pergaulan yang luas dalam hubungannya dengan para pembesar kesultanan, Syarif Ali memperoleh pengalaman diplomatik. Karena itu ia tampil sebagai seorang yang berwibawa dan mendapat kepercayaan Sultan. Pernah suatu ketika Syarif Ali melakukan misi khusus ke Kalimantan untuk keperluan Sultan Husin Dhiauddin dan misi tersebut berhasil dengan baik. Oleh karena itu Sultan menikahkan beliau dengan salah seorang putrinya yang bernama Laila dan dari perkawinan inilah Syarif Ali diberi gelar Pangeran. Meskipun dalam usia yang relatif muda, ia sudah dipercaya untuk menduduki jabatan bendahara kesultanan. Pangeran Syarif Ali wafat pada tanggal 27 Muharram 1295 H / 1877 M.

Selain makam Habib Pangeran Syarif Ali dan keluarganya, disini juga dimakamkan Habib Umar bin Alwi bin Zain Shahab yang merupakan ipar Pangeran Syarif Ali, makamnya tepat disebelah makam Pangeran Syarif Ali. Habib Umar adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam ke pelosok-pelosok terpencil, beberapa suku adat di pedalaman Palembang masuk Islam berkat beliau, terutama di pesisir sungai Musi, antara lain Pegayut, Pemulutan, Muara Batun, Lingkis, Ulak Temago, Suko Darmo, bahkan sampai saat ini banyak keturunannya tinggal di daerah Bungin Kiaji yang lebih dikenal dengan dengan Desa Pegayut.
Setelah Ziarah Ke Makam Habib Pangeran Syarif Ali,Para Arak-arakan Menuju :

PEMAKAMAN KESULTANAN
KAWAH TENGKUREP
Pemakaman ini dibangun pada tahun 1728 M oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758 M), seorang pemimpin yang adil sekaligus ulama yang hafal Al-Qur’an. Didalam pemerintahannya, Sultan Mahmud Badaruddin I banyak mengadakan musyawarah terutama dengan para habib, iapun memiliki guru-guru agama dari kalangan habaib, bahkan hampir semua putrinya dinikahkan dengan habaib.

Adapun Imam Kubur - istilah untuk penasehat agama kesultanan yang biasanya dimakamkan bersebelahan dengan para sultan - dari Sultan Mahmud Badaruddin I yaitu Al-Habib Abdullah bin Idrus Al-Idrus. Habaib lainnya yang dimakamkan di Pemakaman Kawah Tengkurep ini antara lain Al-Habib Abdurrahman bin Husin Al-Idrus (Maula Taqooh) yang merupakan Imam Kubur Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1776 M), Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Haddad (Datuk Murni) yang merupakan Imam Kubur Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803 M), Al-Habib Muhammad bin Yusuf Al-Angkawi dan Al-Habib Agil bin Alwi Al-Madihij (Penghulu Al-Madihij Palembang).

Disini juga dimakamkan seorang waliyah bernama Hababah Sidah binti Abdullah bin Agil Al-Madihij. Dikisahkan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah SAW secara yaqozoh (dalam keadaan sadar) dengan iringan tetabuhan rebana dan aroma harum wewangian, sehingga seluruh perkampungan disekitar rumahnya pun dapat mendengar suara tabuhan rebana tersebut. Hingga kini rumah tempat tinggalnya masih ada dan terawat dengan baik.
Walaupun Hari Sudah Siang,Baik Hujan Maupun Panas Terik Matahari,Arak-arakan Masih Bersemangat Untuk Menuju :

PEMAKAMAN KESULTANAN DAN AULIYA’
KAMBANG KOCI
Konon, pada tahun 1151 H / 1735 M, Sultan Mahmud Badaruddin I mewakafkan sebidang tanah yang cukup luas untuk pemakaman anak cucu serta menantunya. Tanah pemakaman tersebut dinamakan Kambang Koci yang berasal dari kata-kata kambang (kolam) dan sekoci (perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu merupakan tempat pencucian perahu.
Dalam sejarahnya, areal pemakaman ini telah beberapa kali berusaha direbut oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan. Bermula pada masa pendudukan Belanda sekitar tahun 1913 M, melihat posisinya yang begitu strategis terletak di tepi Sungai Musi, di kawasan ini dibangun Pelabuhan Boom Baru, dan berselang 11 tahun kemudian, Pihak Belanda berusaha mengambil areal pemakaman ini, namun pihak ahli waris mempertahankannya sehingga sampailah pada suatu pengadilan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan dimenangkan oleh pihak ahli waris. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang, upaya-upaya perebutan areal pemakaman tersebut masih terjadi namun tetap tidak berhasil.


Pada 16 Nopember 1974, Pemakaman Kambang Koci ini diresmikan menjadi pemakaman anak, menantu, serta cucu-cucu Sultan Mahmud Badaruddin. Berselang setahun kemudian, terjadi persengketaan dengan pihak pelabuhan Boom Baru sehingga terjadi pembagian luas areal pemakaman ini dari 5000 meter persegi dibagi 2/3 untuk pihak pelabuhan dan 1/3 untuk ahli waris, sehingga saat ini keseluruhan luas area Kambang Koci ini tinggal 1400 meter persegi. Pada tahun 1999, upaya-upaya pihak pelabuhan terus dilakukan untuk mendapatkan sisa areal pemakaman yang ada, namun tetap tidak berhasil.

Hampir keseluruhan keturunan Alawiyyin yang tinggal di Palembang memiliki silsilah bersambung dengan para habib yang dimakamkan di pemakaman ini, paling tidak silsilah dari sebelah ibu. Beberapa penghulu habaib yang dimakamkan disini antara lain Al-‘Arif Billah Al-Habib Syech bin Ahmad bin Syahab, seorang ulama besar yang dianugerahi tanah yang luas oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Tanah tersebut antara lain ia wakafkan sebagai tanah pemakaman kaum alawiyyin Palembang serta tanah wakaf masjid Daarul Muttaqien. Al-‘Arif Billah Al-Habib Ibrahim bin Zein bin Yahya (w.1790 M), seorang ulama besar yang menguasai Ilmu Fiqh, beliau adalah menantu Sultan Mahmud Badaruddin I yang beristerikan Raden Ayu Aisyah binti Sultan Mahmud Badaruddin I. Al-‘Arif Billah Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaaf, seorang wali Quthb, diceritakan bahwa pernah suatu kali saat ayahnya melakukan pelayaran ke Singapura dengan sebuah kapal. Di dalam perjalanan, kapal tersebut mengalami kebocoran, ketika akan diperbaiki ternyata kapal tersebut telah ditambal dari luar dengan sebuah sandal yang menutup rapat kebocoran tersebut. Setelah sandal tersebut diambil dan dihadapkan kepada Habib Ahmad, beliau mengenali bahwa sandal tersebut adalah milik anaknya, Habib Alwi. Setibanya di Palembang, didapati Habib Alwi tengah menunggu ayahnya dengan mengenakan sebelah sandal seraya meminta sandal yang satunya lagi dari ayahnya. Tatkala Habib Alwi wafat, datanglah surat dari Kampung Al-Hajrain, Hadhramaut (setelah 6 bulan perjalanan laut dari Hadhramaut ke Palembang) yang isinya menanyakan siapakah waliyullah di Palembang yang wafat sehingga di Kota Tarim, Hadhramaut terjadi gempa.
Di Kambang Koci juga dimakamkan Habib Abdullah bin Salim Al-Kaf, seorang ulama besar sekaligus pengusaha yang sukses, beliau membangun Masjid Sungai Lumpur pada tahun 1287 H yang berlokasi di 11 Ulu Palembang, dan Habib Abdullah bin Ali Al-Kaf, seorang wali mastur (tersembunyi), zurriyatnya banyak yang menjadi ulama besar yang tersebar di Tegal, Jakarta, Jeddah, dan Hadhramaut, antara lain Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Kaf (Jeddah) dan Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf (Jakarta) dengan anak-anaknya yang menjadi muballigh.
Banyaknya para wali yang dimakamkan disini membuat para peziarah selalu menyempatkan diri untuk singgah disini. Beberapa ulama besar yang pernah berziarah disini adalah, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor (Bondowoso), Habib Muhammad bin Husin Al-Idrus (Surabaya), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Jakarta), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husin Al-Atthos (Bungur), Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul), Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Umar bin Hafizh BSA dan Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri (Hadhramaut-Yaman).

Suatu ketika dalam ziarahnya, Habib Sholeh Tanggul diberitahu bahwasanya pemakaman ini akan dibongkar, mendengar hal itu ia terdiam sesaat dan berkata bahwa pembongkaran tidak akan terjadi, dikarenakan Allah SWT yang akan selalu menjaganya. Terbukti, tatkala ada usaha untuk memindahkan jenazah dari pemakaman ini dalam usaha mengambil alih areal pemakaman pada tanggal 19 Desember 1997, setelah peti-peti jenazah yang berjumlah 104 buah (dihitung berdasarkan jumlah nisan yang nampak) disiapkan di Kambang Koci, tersiarlah kabar mengenai jatuhnya pesawat Boeing 737-300 Silk Air dari Singapura di Muara Makati, Perairan Sungsang, Sumatera Selatan yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat. Yang mengherankan jumlah korban tewas yang dipastikan sebanyak peti yang disiapkan, yaitu 104 penumpang termasuk 7 awak. Mengingat keperluan yang lebih mendesak akhirnya peti-peti yang telah disiapkan tersebut tidak jadi digunakan, dan lahan pekuburan yang telah disediakan bagi jenazah Kambang Koci diisi dengan jenazah korban tewas kecelakaan pesawat tersebut.
Mengingat banyaknya waliyullah yang dimakamkan di Kambang Koci serta di beberapa pemakaman lainnya di Palembang, maka banyak pemuka habaib dari Hadhramaut menyebut Kambang Koci sebagai Zanbal (pemakaman para wali di Kota Tarim, Hadhramaut)-nya Palembang dan Kota Palembang sendiri sebagai Hadramaut Tsani alias Hadramaut Kedua.