Judul: Renung dan Canda Pelawak Bersorban
Penulis: Nugroho Suksmanto
Penerbit: Koekoesan, Depok
Cetakan: Pertama, Februari 2008
Tebal: x+126 halaman
”Makna lebih penting daripada fakta. Hakikat lebih bermakna dari syariat...Tuhan yang lahir dalam kenyataan, orang menyebutnya medium (perantara) dan kalau dikeramatkan menjadi berhala.” (Suksmanto, 2008: 9)
Nugroho Suksmanto, menyuguhkan canda sufi yang renyah dibaca. Orang dibuat asyik mendalami 105 perigi yang dibagi menjadi 10 bagian bab itu. Kumpulan canda yang menyimpan mata air kebestarian. Lebih mengena lagi, karena amsal yang diambil tidak jauh-jauh amat dari ruang lingkup kehidupan kita, orang Indonesia. Benar-benar menyajikan hidangan sehari-hari yang biasa dan mungkin ada yang menganggapnya remeh temeh. Tabu juga dilanggar, dalam arti membiarkan sesuatu yang selama ini terkurung diumbar seenaknya. Kenapa lalu mengandung makna yang menyentuh? Nilai atau ukuran yang dicap sebagai norma ideal yang mengawang, atau bahkan jarang teraba, terasa akrab karena terlempar secara membumi dan membuat geli diri kita. Penyederhanaan plus pemerkayaan humor; cara jitu untuk berkomunikasi. Kalau memang diartikan sebagai ”dakwah” tidak mengapa. Ya, dakwah yang merakyat, yang juga tidak sok tahu.
Tasawuf sebagai jalan kehidupan bukan pilihan hidup untuk mengasingkan diri. Bahwasanya benar, dunia tasawuf amat dekat dengan keseharian. Gus Mus, kiai dan sastrawan sufistik, bilang bahwa dunia tasawuf bukanlah dunia yang kering dari kelakar. Tradisi tasawuf sangat kaya dengan permainan kelakar yang sarat dengan makna. Kelakar berlebihan yang dipandang agama bisa mengeraskan hati dan menjauhkan ketuhanan, tidak berlaku bagi sang sufi. Sufi dalah jenius spiritual yang mampu menggunakan sesuatu sebagai sarana. Teorinya, cinta adalah agama para sufi. Para sufi tidak pernah membenci sesuatu yang bahkan dianggap hina atau nista, tetapi ia dekati hal itu secara halus. Segala sesuatu yang dilihat dari perspektif tasawuf adalah makrifat, bahwa Tuhan ada di sana-sini. Ia Mahahadir juga Mahamampu. Omnipresent dan Omnipotent.
Canda atau lawakan bukan barang haram dalam berdakwah. Para sufi memahaminya sebagai kreativitas. Pendekatan ini bisa dimaklumi karena sufi mengejawantahkan sifat Tuhan ke dalam dirinya, sebagaimana akhlak Nabi menyerupai sifat-sifat Tuhan. Sangat wajar bila sufi sangat cerdas dan kreatif, karena Tuhan Mahakreatif (Al-Khaliq).
Sufi menyiratkan pesan untuk tidak puritan dalam beragama. Hitam dan putih bukan dunia sufi. Begitupun, cara pemaksaan dan kekerasan. Dunia sufi jauh dari violente, sebaliknya ia mampu menjadi penawar kehidupan melalui jalan damai, pacifique. Mengapa Wali Songo mengajarkan wayang ketimbang kasidah? Suksmanto menulis, ”Kalau aku mengajarkan kasidah, pengetahuanku tidak bertambah dan nanti aku dikira menyebarkan budaya Arab, bukan menyebarkan agama Islam. Yang terjadi malah mereka sibuk dengan urusan klenik dan puji-pujian berirama gurun pasir” (halaman 40).
Tasawuf adalah sebuah perspektif lain dalam beragama. Melalui buku ini, Suksmanto menawarkan cara pandang lain dengan kecerdasan melawak yang asyik. Pesan canda tidak saja baik untuk melemaskan kekakuan dalam melihat sesuatu, tetapi ada sisi ”renung” yang bermakna penundaan. Setelah ketawa, kita dibuat hanyut merenung untuk tidak menghakimi secara mutlak. Karena itu, Suksmanto berhasil menyajikan renungan tema-tema yang sedang hangat dan kontorversial, seperti poligami, pornografi dan pornoaksi, kekafiran dan keimanan, prostitusi, salat dengan bahasa daerah, korupsi, demokrasi, dan seterusnya. Tidak ada yang tabu dalam tasawuf. Dan, cara humor ini persis seperti misalnya dipraktekkan sastrawan Arab klasik Abu Nawas yang dekat dengan khamr, kekafiran, dan remeh-temeh lainnya. Metode yang dipakai Abu Nawas adalah junun atau ketidakwarasan hidup. Ketidakwarasan yang urutannya bermuara ke ”jalan Tuhan”.
Humor ala sufi juga sebuah filsafat keseharian. Suksmanto menghidangkan toleransi dan titik temu antariman yang berbeda: hak beragama, kebebasan, dan berbagi keselamatan. Memang, pandangan sufistik sangat melekat dengan pluralisme. Filsafat sufi adalah membuyarkan keajekan, membiaskan titik fokus, dan memendarkan warna cahaya. Sufi tidak sedang membangun nirwana untuk dirinya sendiri. Ia sedang berbagi kepada orang lain, tanpa pandang bulu. Tanpa melihat secara petak-petak kebenaran. Jadi, jangan lihat warna sufi hanya sebening cahaya putih saja, karena sesungguhnya ia sedang mengurai berbagai warna yang berbeda secara sama, baik sebagai manusia lebih-lebih sebagai makhluk Tuhan. Tuhan tidak sedang bermain dadu, kata Einstein. Tapi, para sufi sering bermain dadu, untuk melihat Tuhan dari berbagai sisinya: yang tidak sama dan tidak beragam. Karenanya, kita mendapat sebuah pelajaran: jalan kebenaran itu ternyata banyak bercabang.
Sufisme adalah sebuah kritik sosial. Membalikkan yang positif melalui cara negatif, yang sebetulnya tidak biasa. Nalar yang dibalik justru untuk dipikirkan. Ini membuat kita memandang sesuatu secara tidak hitam putih. Ada suatu makna yang bisa tak terhingga dijangkau pengindera manusia. Dalam dunia tasawuf, antara laku dan kata para sufi berada dalam derajat khawariqul adat, melampaui atau menyalahi kebiasaan, nonkonvensional, untuk memperoleh hikmah kearifan. Secara kasatmata kelihatan negatif, tapi banyak orang yang tidak menyadari hati positifnya. Itulah yang kerap disebut ”teologi negatif”. Model pemahaman seperti ini ampuh untuk melumpuhkan ketergesaan dan ketertutupan dalam beriman. Sufi bahkan tidak takut salah dalam menjalani kehidupan, karena di matanya selalu memandang ”Tuhan”. Kematian pun bukan sebuah kekalahan (lihat misalnya halaman 25), melainkan dunia baru menuju kemenangan. Para sufi membangun sendiri metode penjemputan menuju kematian dengan tidak menghiraukan surga dan neraka. Spiritualitas adalah kekayaannya, dan Tuhan merupakan khazanah yang tersembunyi untuk disingkap. Hidupnya sumringah penuh anekdot dan ketawa.
Karena itu, sufi sebetulnya amat peduli dan dekat dengan keseharian kita, keberadaannya tidak sejauh apa yang banyak dianggap selama ini. Bahwa ia santo yang berperan sebagai Semar. Keganjilannya dalam kekocakan menyuruk waskita, nubuat, untuk kita renungkan. Kadang, ia rela menjadi lilin yang sedia meleleh untuk menerangi kita. Hanya, kita lupa untuk secuil terima kasih.
Sumber : Newsroom Suara Merdeka
Penulis: Nugroho Suksmanto
Penerbit: Koekoesan, Depok
Cetakan: Pertama, Februari 2008
Tebal: x+126 halaman
”Makna lebih penting daripada fakta. Hakikat lebih bermakna dari syariat...Tuhan yang lahir dalam kenyataan, orang menyebutnya medium (perantara) dan kalau dikeramatkan menjadi berhala.” (Suksmanto, 2008: 9)
Nugroho Suksmanto, menyuguhkan canda sufi yang renyah dibaca. Orang dibuat asyik mendalami 105 perigi yang dibagi menjadi 10 bagian bab itu. Kumpulan canda yang menyimpan mata air kebestarian. Lebih mengena lagi, karena amsal yang diambil tidak jauh-jauh amat dari ruang lingkup kehidupan kita, orang Indonesia. Benar-benar menyajikan hidangan sehari-hari yang biasa dan mungkin ada yang menganggapnya remeh temeh. Tabu juga dilanggar, dalam arti membiarkan sesuatu yang selama ini terkurung diumbar seenaknya. Kenapa lalu mengandung makna yang menyentuh? Nilai atau ukuran yang dicap sebagai norma ideal yang mengawang, atau bahkan jarang teraba, terasa akrab karena terlempar secara membumi dan membuat geli diri kita. Penyederhanaan plus pemerkayaan humor; cara jitu untuk berkomunikasi. Kalau memang diartikan sebagai ”dakwah” tidak mengapa. Ya, dakwah yang merakyat, yang juga tidak sok tahu.
Tasawuf sebagai jalan kehidupan bukan pilihan hidup untuk mengasingkan diri. Bahwasanya benar, dunia tasawuf amat dekat dengan keseharian. Gus Mus, kiai dan sastrawan sufistik, bilang bahwa dunia tasawuf bukanlah dunia yang kering dari kelakar. Tradisi tasawuf sangat kaya dengan permainan kelakar yang sarat dengan makna. Kelakar berlebihan yang dipandang agama bisa mengeraskan hati dan menjauhkan ketuhanan, tidak berlaku bagi sang sufi. Sufi dalah jenius spiritual yang mampu menggunakan sesuatu sebagai sarana. Teorinya, cinta adalah agama para sufi. Para sufi tidak pernah membenci sesuatu yang bahkan dianggap hina atau nista, tetapi ia dekati hal itu secara halus. Segala sesuatu yang dilihat dari perspektif tasawuf adalah makrifat, bahwa Tuhan ada di sana-sini. Ia Mahahadir juga Mahamampu. Omnipresent dan Omnipotent.
Canda atau lawakan bukan barang haram dalam berdakwah. Para sufi memahaminya sebagai kreativitas. Pendekatan ini bisa dimaklumi karena sufi mengejawantahkan sifat Tuhan ke dalam dirinya, sebagaimana akhlak Nabi menyerupai sifat-sifat Tuhan. Sangat wajar bila sufi sangat cerdas dan kreatif, karena Tuhan Mahakreatif (Al-Khaliq).
Sufi menyiratkan pesan untuk tidak puritan dalam beragama. Hitam dan putih bukan dunia sufi. Begitupun, cara pemaksaan dan kekerasan. Dunia sufi jauh dari violente, sebaliknya ia mampu menjadi penawar kehidupan melalui jalan damai, pacifique. Mengapa Wali Songo mengajarkan wayang ketimbang kasidah? Suksmanto menulis, ”Kalau aku mengajarkan kasidah, pengetahuanku tidak bertambah dan nanti aku dikira menyebarkan budaya Arab, bukan menyebarkan agama Islam. Yang terjadi malah mereka sibuk dengan urusan klenik dan puji-pujian berirama gurun pasir” (halaman 40).
Tasawuf adalah sebuah perspektif lain dalam beragama. Melalui buku ini, Suksmanto menawarkan cara pandang lain dengan kecerdasan melawak yang asyik. Pesan canda tidak saja baik untuk melemaskan kekakuan dalam melihat sesuatu, tetapi ada sisi ”renung” yang bermakna penundaan. Setelah ketawa, kita dibuat hanyut merenung untuk tidak menghakimi secara mutlak. Karena itu, Suksmanto berhasil menyajikan renungan tema-tema yang sedang hangat dan kontorversial, seperti poligami, pornografi dan pornoaksi, kekafiran dan keimanan, prostitusi, salat dengan bahasa daerah, korupsi, demokrasi, dan seterusnya. Tidak ada yang tabu dalam tasawuf. Dan, cara humor ini persis seperti misalnya dipraktekkan sastrawan Arab klasik Abu Nawas yang dekat dengan khamr, kekafiran, dan remeh-temeh lainnya. Metode yang dipakai Abu Nawas adalah junun atau ketidakwarasan hidup. Ketidakwarasan yang urutannya bermuara ke ”jalan Tuhan”.
Humor ala sufi juga sebuah filsafat keseharian. Suksmanto menghidangkan toleransi dan titik temu antariman yang berbeda: hak beragama, kebebasan, dan berbagi keselamatan. Memang, pandangan sufistik sangat melekat dengan pluralisme. Filsafat sufi adalah membuyarkan keajekan, membiaskan titik fokus, dan memendarkan warna cahaya. Sufi tidak sedang membangun nirwana untuk dirinya sendiri. Ia sedang berbagi kepada orang lain, tanpa pandang bulu. Tanpa melihat secara petak-petak kebenaran. Jadi, jangan lihat warna sufi hanya sebening cahaya putih saja, karena sesungguhnya ia sedang mengurai berbagai warna yang berbeda secara sama, baik sebagai manusia lebih-lebih sebagai makhluk Tuhan. Tuhan tidak sedang bermain dadu, kata Einstein. Tapi, para sufi sering bermain dadu, untuk melihat Tuhan dari berbagai sisinya: yang tidak sama dan tidak beragam. Karenanya, kita mendapat sebuah pelajaran: jalan kebenaran itu ternyata banyak bercabang.
Sufisme adalah sebuah kritik sosial. Membalikkan yang positif melalui cara negatif, yang sebetulnya tidak biasa. Nalar yang dibalik justru untuk dipikirkan. Ini membuat kita memandang sesuatu secara tidak hitam putih. Ada suatu makna yang bisa tak terhingga dijangkau pengindera manusia. Dalam dunia tasawuf, antara laku dan kata para sufi berada dalam derajat khawariqul adat, melampaui atau menyalahi kebiasaan, nonkonvensional, untuk memperoleh hikmah kearifan. Secara kasatmata kelihatan negatif, tapi banyak orang yang tidak menyadari hati positifnya. Itulah yang kerap disebut ”teologi negatif”. Model pemahaman seperti ini ampuh untuk melumpuhkan ketergesaan dan ketertutupan dalam beriman. Sufi bahkan tidak takut salah dalam menjalani kehidupan, karena di matanya selalu memandang ”Tuhan”. Kematian pun bukan sebuah kekalahan (lihat misalnya halaman 25), melainkan dunia baru menuju kemenangan. Para sufi membangun sendiri metode penjemputan menuju kematian dengan tidak menghiraukan surga dan neraka. Spiritualitas adalah kekayaannya, dan Tuhan merupakan khazanah yang tersembunyi untuk disingkap. Hidupnya sumringah penuh anekdot dan ketawa.
Karena itu, sufi sebetulnya amat peduli dan dekat dengan keseharian kita, keberadaannya tidak sejauh apa yang banyak dianggap selama ini. Bahwa ia santo yang berperan sebagai Semar. Keganjilannya dalam kekocakan menyuruk waskita, nubuat, untuk kita renungkan. Kadang, ia rela menjadi lilin yang sedia meleleh untuk menerangi kita. Hanya, kita lupa untuk secuil terima kasih.
Sumber : Newsroom Suara Merdeka
No comments:
Post a Comment