Penjelasan Imam Nawawi Tentang Hadis Jibril
Iman, secara etimologis, berarti kepastian atau keyakinan. Adapun secara istilah berarti suatu pernyataan atas kepastian tentang kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, Hari Akhir dan terhadap segala yang ditakdirkan baik kebaikan atau pun keburukan. Islam adalah suatu kata yang bermakna pelaksanaan atas kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Keduanya ini adalah tindakan lahir yang harus diusahakan sekuat tenaga untuk dilaksanakan oleh seseorang.
Allah Swt. membedakan iman (percaya) dengan islam (ketundukkan) dan hal ini pun disebutkan di dalam hadis ini. Ia berfirman, “Orang-orang Arab itu mengatakan, ‘Kami beriman.’ Katakanlah, ‘Kalian tidaklah beriman, tapi katakanlah, Kami tunduk’” (Q.S. al-Hujurât [49]: 14). Hal ini dikarenakan orang-orang munafik itu melaksanakan salat, puasa, zakat padahal mereka mengingkari semuanya itu di dalam hatinya. Tatkala mereka mengaku beriman, Allah menyatakan bahwa pengakuan mereka itu bohong belaka karena hati mereka yang mengingkarinya. Meskipun demikian Allah menguatkan pengakuan mereka akan ketundukkan mereka, karena mereka melaksanakan semua kewajiban yang dibebankan atas mereka.
Allah berfirman, “Apabila orang-orang munafik itu datang kepadamu dan mengatakan ‘Kami bersaksi bahwa engkau sesungguhnya utusan Allah,’ Allah lebih tahu daripada mereka bahwa engkau sesungguhnyalah utusan-Nya, dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu adalah pendusta” (Q.S. al-Munâfiqûn [63]: 1). Mereka adalah pendusta dalam pernyataannya bahwa mereka bersaksi atas risalah itu padahal hatinya mengingkarinya. Kata-kata yang keluar dari mulut-mulut mereka tidak selaras dengan isi hati mereka, padahal syarat dari bersaksi atas risalah itu adalah bahwa lidah menegaskan isi hati. Ketika mereka berbohong dalam pernyataannya, maka Allah mengungkapkan kebohongan mereka itu.
Karena percaya atau iman juga merupakan sebuah syarat atas ketundukkan atau islam, Allah Swt. membedakan antara orang yang tunduk (muslim) dengan orang yang percaya (mukmin) dengan firmannya, “Aku keluarkan orang-orang yang percaya (mu’minîn) yang tinggal di dalamnya dan tak ditemukan satu pun yang tertinggal di sana kecuali satu rumah tempat berdiamnya orang-orang yang tunduk” (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 35-36). Pembedaan ini menghubungkan iman dengan islam dalam keberadaannya sebagai syarat dan pemenuhannya.
Terakhir, Allah menamakan salat juga sebagai iman dalam firman-Nya, “Bukanlah maksud Allah hendak menjadikan imanmu itu sia-sia” (Q.S. al-Baqarah [2]: 143) dan “Kamu tidak mengetahui apakah Alkitab itu, juga apakah iman itu (Q.S. al-Syûra [42]: 52). Yang Allah maksudkan dengan iman dalam kedua ayat ini adalah salat.
No comments:
Post a Comment