Delapanbelas harinya Sabtu
bulan Sya‘ban ketika waktu
pukul empat jamnya itu
haji berzikir di pemarakan tentu
Haji ratib di pengadapan
berkampung bagai mengadap ayapan
tidaklah ada malu dan sopan
ratib berdiri berhadapan
La ilaha illa‘llahu dipalukan ke kiri
kepada hati nama sanubari
datanglah opsir meriksa berdiri
haji berangkat opsirpun lari
......
Haji berteriak Allahu akbar
datang mengamuk tak lagi sabar
dengan tolong Tuhan Malik al-Jabbar
serdadu Menteng habislah bubar......
Haji berteriak sambil memandang
hai kafir marilah tandang
syurga bernaung di mata pedang
bidadari hadir dengan selendang
Di situlah haji lama terdiri
dikerubungi serdadu Holanda pencuri
lukanya tidak lagi terperi
fanalah haji lupakan diri
bulan Sya‘ban ketika waktu
pukul empat jamnya itu
haji berzikir di pemarakan tentu
Haji ratib di pengadapan
berkampung bagai mengadap ayapan
tidaklah ada malu dan sopan
ratib berdiri berhadapan
La ilaha illa‘llahu dipalukan ke kiri
kepada hati nama sanubari
datanglah opsir meriksa berdiri
haji berangkat opsirpun lari
......
Haji berteriak Allahu akbar
datang mengamuk tak lagi sabar
dengan tolong Tuhan Malik al-Jabbar
serdadu Menteng habislah bubar......
Haji berteriak sambil memandang
hai kafir marilah tandang
syurga bernaung di mata pedang
bidadari hadir dengan selendang
Di situlah haji lama terdiri
dikerubungi serdadu Holanda pencuri
lukanya tidak lagi terperi
fanalah haji lupakan diri
Beberapa bait ini, dari Syair Perang Menteng,[3] menceritakan perlawanan orang Palembang terhadap pasukan Belanda yang dikirim untuk menaklukkan kota mereka pada tahun 1819. Perang ini dikenal dengan nama komandan pasukan Belanda, Muntinghe, yang dimelayukan menjadi Menteng. Sang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan ("haji") mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir dan beratib dengan suara keras sampai "fana". Dalam keadaan tak sadar ("mabuk zikir") mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal dan sakti lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil mengalahkan serangan pertama pasukan Belanda.
Kaum haji mujahid yang dipotret dalam syair ini jelas adalah orang tarekat. Walaupun sang penyair tidak menyebut nama tarekat, tidaklah sulit untuk menarik kesimpulan bahwa mereka mengamalkan amalan tarekat Sammaniyah. Tarekat tersebut memang telah berkembang di Palembang, dan dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18.
Syaikh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Syair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya sastra tasawwuf Melayu yang penting. Dua karya ini berdasarkan Ihya dan Bidayat al-Hidayah‘nya Ghazali, dengan tambahan bahan dari berbagai kitab tasawwuf lainnya.[4] Ia menetap cukup lama di Makkah, dan barangkali orang Indonesia pertama yang mendapat ijazah untuk mengajar tarekat Sammaniyah. Setelah mendapat ijazah dari pendiri tarekat, Syaikh Samman sendiri, ia kemudian mengajarkannya kepada orang Indonesia lainnya yang berada di Makkah, terutama kepada orang yang berasal dari kota kelahirannya, Palembang. Uraian mengenai tarekat Sammaniyah terdapat dalam Hidayat Al-Salikin dan dalam Ratib ‘Abd Al-Samad yang ia karang.
Namun Syaikh Abdussamad ternyata tidak menulis karya tasawwuf saja. Ia juga mengarang sebuah risalah berbahasa Arab mengenai jihad, Nashihat Al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu‘minin fi Fadha‘il Al-Jihad fi Sabil Allah. Yang lebih menarik lagi, ia juga telah menulis surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Susuhunan Prabu Jaka (putra Amangkurat IV) yang berisi dorongan untuk terus berjihad melawan orang kafir, sebagaimana dilakukan para sultan Mataram sebelumnya.[5] Syaikh Abdussamad, rupanya, seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik.
Syaikh Abdussamad bukan ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat berjihad melawan penjajah non-Muslim. Lebih dari satu abad sebelumnya, terdapat seorang ahli tarekat berpengaruh yang pernah berperan sebagai pemimpin gerilya melawan Kompeni. Tidak lain, tokoh ini adalah Syaikh Yusuf Makassar, yang mendapat gelar "al-Taj al-Khalwati". Hingga kini, tarekat Khalwatiyah yang ia bawa ke Nusantara masih tetap berakar di Sulawesi Selatan. Syaikh Yusuf lahir di kerajaan Goa dan pada usia muda merambah ke tanah Arab untuk mencari ilmu. Ia berguru kepada berbagai guru kenamaan dan menerima ijazah untuk mengamalkan dan mengajar sejumlah tarekat - selain tarekat Khalwatiyah juga Syattariyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Ba‘alawiyah. Sekembalinya dari Timur Tengah, Syaikh Yusuf tidak mau menetap di Goa, yang telah ditaklukkan oleh Kompeni Belanda, melainkan memilih hidup di Banten, yang belum dikuasai Belanda dan kala itu merupakan salah satu pusat budaya Islam terpenting di Nusantara.
Dalam waktu singkat, Syaikh Yusuf telah mempunyai pengaruh luar biasa di Banten. Ia menjadi penasehat utama Sultan Ageng Tirtayasa dan diambil menantu olehnya. Kedudukannya bertambah kokoh dengan adanya ratusan orang Bugis dan Makassar di Banten, yang menjadi tulang punggung tentara dan armada Banten pada saat itu.
Mereka membanggakan putra daerah mereka yang dianggap waliyullah dan menjadi pengikutnya yang fanatik. Tidak semua orang di Banten senang melihat besarnya pengaruh Syaikh Yusuf. Hubungan antara syaikh dengan putra mahkota, yang bergelar Sultan Haji, lantaran pernah ke Makkah, kian memburuk. Pada tahun 1682, Sultan Haji memberontak dan berusaha menggeser ayahnya. Ia dibantu oleh pasukan Kompeni Belanda dari Betawi, yang tentu saja mempunyai alasan tersendiri untuk campur tangan dalam urusan kerajaan tetangga, yang waktu itu merupakan pesaing kuat dalam perdagangan. Sultan Ageng ditangkap, tetapi Syaikh Yusuf dan pengikut-pengikutnya hijrah ke pegunungan. Nyaris dua tahun mereka mampu bertahan kendati diburu oleh pasukan Kompeni yang jauh lebih kuat. Syaikh Yusuf akhirnya ditangkap dan dibuang ke Ceylon, sedangkan pengikut-pengikutnya dikembalikan ke Sulawesi.[6]
Kaum Tarekat: Militan atau Apolitik?
Dua kasus di atas menunjukkan keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan agresi penjajah. Jumlah kasus seperti ini, jika dikehendaki, dapat dideret lebih banyak lagi. Pertanyaan patut diajukan: apakah sikap militan itu memang melekat pada tarekat, atau hubungan itu kebetulan saja? Apakah ada faktor dalam ajaran, amalan dan organisasi tarekat yang mendorong kepada militansi politik? Atau contoh-contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian, disebabkan situasi luar biasa, sedangkan kaum tarekat biasanya cenderung untuk menjauhkan diri dari urusan politik? Ikhwal tasawwuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang.
Para pejabat jajahan Belanda, Perancis, Italia dan Inggeris lazim mencurigai tarekat karena - dalam pandangan mereka - fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik. Untuk ini, bukan suatu kebetulan jika kajian-kajian Barat yang pertama mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel daripada penelitian ilmiah.[7] Oleh karena bahaya politik yang mereka cerna, banyak pejabat telah menganjurkan larangan atau pembatasan terhadap kegiatan tarekat. Meskipun kecurigaan terhadap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial. Di Republik Turki, misalnya, pada tahun 1925 semua tarekat dilarang setelah terjadi pemberontakan nasionalis Kurdi yang dipimpin oleh syaikh -syaikh tarekat Naqsyabandiyah. Larangan resmi sampai sekarang masih tetap berlaku- walaupun belakangan ini kegiatan tarekat mengalami perkembangan baru. Larangan yang lebih ketat lagi telah berlaku di (almarhum) Uni Soviet; dan di republik-republik bagian Uni Soviet yang Muslim jaringan tarekat memang telah merupakan oposisi bawah tanah yang paling penting.
Persepsi kedua, sebaliknya, menganggap perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi, sebagai pelarian dari tanggungjawab sosial dan politik. Dalam pandangan ini, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah dunia. Para pengkritik tarekat menekankan aspek asketis (zuhd) dan orientasi ukhrawi; dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan, kaum tarekat konon lazim menjauhkan diri dari masyarakat (khalwah, uzlah). Kalau kalangan Islam "tradisional" (Aswaja) dianggap lebih kolot, akomodatif dan apolitik dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik. Pandangan ini, seperti akan kita lihat, terlalu sederhana.
Tetapi tidak dapat diingkari bahwa ada kaitan erat antara proses depolitisasi Islam (seperti yang terlihat di Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir) dan suburnya proses perkembangan para tarekat.
Sebagai pengamatan awal kita bisa mencatat bahwa dua persepsi tentang tarekat ini berkenaan dengan situasi-situasi yang berbeda. Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat yang telah dikenal berlangsung terhadap penguasa yang bukan Muslim atau sekuler (Turki). Dalam negara Muslim merdeka jarang terjadi pemberontakan atau sikap oposisi radikal dari kalangan tarekat. Dalam hal ini, kaum tarekat tidak berbeda dari kalangan Islam "tradisional" pada umumnya. Malahan -ini merupakan pengamatan kedua- orang tarekat seringkali begitu dekat kepada penguasa.
Daripada menjauhi urusan politik, syaikh-syaikh tarekat cenderung mendekati penguasa. Syaikh Yusuf Makassar menjadi penasehat dan menantu Sultan Ageng Banten; Syaikh Abdussamad melalui surat menasehati Sultan Mataram. Dan para penguasa, sebaliknya, tidak jarang mencari dukungan moral dan spiritual dari syaikh tarekat.
Syaikh dan Sultan
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang paling besar, dengan cabang-cabangnya di hampir seluruh dunia Islam, menyebar dari Yugoslavia dan Mesir sampai Cina dan Indonesia. Hasil pengamatan yang telah dilakukan banyak sarjana menunjukkan bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elit politik. Contoh klasik adalah Syaikh ‘Ubaidallah Ahrar (Khwajah Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari pendiri tarekat Baha‘uddin Naqsyaband. Sumber sejarah lokal menggambarkan Khwajah Ahrar sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat berpengaruh di istana dinasti Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang). Jumlah muridnya banyak, dan mereka berasal dari semua lapisan masyarakat, kondisi ini memperkokoh bobot politiknya. Ketika pada masa suksesi terjadi peperangan antara beberapa calon pengganti Sultan, pemenangnya adalah pangeran yang didukung oleh Khwajah Ahrar, Abu Sa‘id.
Syaikh kemudian tetap sebagi guru, penasehat dan pelindung spiritual raja Abu Sa‘id dan kemudian penggantinya ‘Abd al-Lathif.[8] Pengaruhnya dimanfaatkan, antara lain, demi islamisasi lanjutan pemerintahan; atas desakan Khwajah Ahrarlah Abu Sa‘id konon telah mengubah beberapa aturan ‘urfi (adat) sehingga lebih sesuai dengan syari‘ah. Khalifah-khalifah Khwajah Ahrar berusaha memainkan peranan yang sama pada dinasti-dinasti lokal. Bahkan ada keturunan spiritualnya yang berhasil menjadi penguasa di Yarkand, salah satu kerajaan lokal di Asia Tengah.
Dari Asia Tengah, tarekat Naqsyabandiah kemudian menyebar ke Barat (Turki Usmani) dan ke Tenggara (India Moghul), dan banyak di antara syaikhnya yang mempunyai pengaruh kuat di kalangan elit, terkadang sampai Sultan sendiri. Di Turki, Sultan Bayezid II (akhir abad ke-15) terkenal sebagai penguasa yang memiliki hubungan akrab dengan berbagai guru tarekat, sedangkan di India Sultan Aurangzeb (pertengahan abad ke-17) sedikit banyak juga dipengaruhi oleh beberapa syaikh Naqsyabandiyah.
Merekalah yang punya andil dalam perubahan besar kehidupan beragama di bawah Sultan ini. Agama resmi yang diciptakan Sultan Akbar, Din-i Ilahi, yang merupakan perpaduan Islam dan Hindu, digantikan dengan Islam yang murni dan berorientasi syari‘ah. Dalam salah satu surat kepada Sultan Aurangzeb, Syaikh Muhammad Ma‘sum menganjurkannya untuk menunaikan jihad dalam dua dimensinya, yaitu perang melawan kafir (dalam hal ini negara tetangga Qandahar yang Syi‘i) dan perang melawan nafsu.[9]
Ketika tarekat Naqsyabandiyah masuk Indonesia, terlihat pendekatan yang mirip. Syaikh Isma‘il Minangkabawi, yang telah menjadi khalifah Naqsyabandiah di Makkah, kembali ke Nusantara sekitar tahun 1850 dan menjadi guru dan penasehat raja muda Riau (Yang Dipertuan Muda), Raja Ali. Waktu Syaikh Isma‘il pulang ke Makkah, adik Raja Ali, Raja Abdullah, menjadi khalifahnya. Raja Abdullah kemudian menggantikan kakaknya sebagai penguasa. Setelah Raja Abdullah meninggal penggantinya, Raja Muhammad Yusuf ingin memperkuat legitimasinya sebagai penguasa dan pergi ke Makkah untuk minta ijazah khalifah Naqsyabandiyah dari Syaikh Muhammad Salih al-Zawawi.
Akan halnya sultan-sultan Pontianak, pernah menjadi murid Syaikh Muhammad Salih dan putranya Abdullah al-Zawawi. Syaikh Abdullah al-Zawawi pernah datang ke Indonesia dan tinggal di istana Pontianak dan Kutai. Di Sumatera Utara, Sultan Deli dan Pangeran Langkat pada tahun 1880-an dikenal sebagai murid tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Abdul Wahhab, yang berasal dari Rokan (Riau), mendirikan desa Naqsyabandiyah Babussalam di Langkat dan senantiasa mendapat perlindungan oleh istana Langkat. Di pulau Jawa tarekat Naqsyabandiyah gagal merangkul raja-raja, tetapi ada beberapa bupati yang menjadi pengikut setia. Laporan Belanda abad ke-19 mencatat bahwa guru-guru tarekat Naqsyabandiyah sengaja pada awalnya mendekati kaum bangsawan dan pamong praja, sehingga mendapat restu dari atas, dan barulah kemudian menaruh perhatian kepada lapisan masyarakat lainnya.
Pendekatan guru-guru tarekat ini terhadap sultan dan penguasa lainnya sangat bermanfaat dari sudut pandangan sang syaikh. Salah seorang ulama penentang tarekat menulis dengan nada sinis mengenai keberhasilan Syaikh Isma‘il Minangkabawi di Riau: "dan itu Haji Isma‘il sudah balik kembali ke negeri Makkah dengan bawa uwang terlalu banyak adanya".[10] Komentar senada sering pula terdengar terhadap ulama-ulama yang dekat pada penguasa. Dan memang saya jarang sekali bertemu dengan syaikh tarekat yang miskin. Tetapi di samping itu ada dampak lain juga. Semua syaikh yang disebut di atas juga berhasil mempengaruhi sikap beragama penguasa yang mereka dekati.
Riau, Pontianak, Deli dan Langkat menjadi wilayah tempat syari‘ah diindahkan, atau dalam bahasa para pejabat Hindia Belanda, penguasa setempat cenderung kepada "fanatisme". Di Cianjur masjid tiba-tiba mulai dikunjungi khalayak ramai pada tahun 1885-an setelah bupatinya masuk tarekat Naqsyabandiyah (sehingga ada pejabat yang panik dan mencurigai ada persiapan untuk pemberontakan). Di Kutai, yang budayanya masih campuran, kalangan istana dianjurkan berhenti minum minuman keras oleh Abdullah al-Zawawi, dan seterusnya.
Mengapa para sultan seringkali mengembangkan hubungan akrab dengan seorang (atau beberapa orang) syaikh tarekat dan bersedia mendengarkan nasehat-nasehatnya? Kita memang jauh lebih sering melihat ulama tarekat daripada kaum fuqaha sebagai penasehat sultan dan raja. Alasannya bermacam-macam, tapi salah satu yang penting adalah karamahnya syaikh tarekat. Kekuatan spiritual syaikh diharapkan bisa melindungi dan melestarikan kerajaan. Syaikh yang ahl al-kasyf bisa menunjukkan kapan harus perang dan kapan damai, apa hari terbaik untuk sebuah keputusan dan apa hari naas. Raja yang sadar bahwa ia telah berbuat banyak dosa mendapat ketenangan hati berkat bimbingan ruhani oleh syaikh. Kehadiran orang yang dianggap "kramat" di lingkungan istana diharapkan dengan sendirinya akan membawa berkah. Yang tidak kalah pentingnya, kehadiran syaikh bisa memperkokoh legitimasi penguasa di mata rakyat. Dalam kenyataannya, peranan syaikh di istana bisa bervariasi dari guru agama sampai jimat hidup.
Tasawwuf sebagai Legitimasi Politik dan Sumber Kesaktian
Seperti diketahui, setiap kerajaan di Nusantara memiliki dan sangat menghargai pusaka, benda-benda yang dianggap sakti. Raja-raja juga mengumpulkan orang maupun binatang yang "aneh" di sekitar mereka untuk meningkatkan kesaktian dan keabadian kerajaan. Agaknya, bukan suatu kebetulan kalau kerajaan-kerajaan Nusantara baru mulai masuk agama Islam setelah Islam mulai diwarnai ajaran tasawwuf wahdatul wujud dan tarekat-tarekat. Karya sejarah legendaris seperti Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi menunjukkan bahwa raja-raja sangat tertarik kepada ajaran tasawwuf dan mempunyai penasehat yang ahli tasawwuf. Dari tasawwuf diharapkan, antara lain, kesaktian yang lebih hebat daripada kesaktian pra-Islam.
Teori tasawwuf mengenai kewalian diadaptasi sehingga banyak raja dulu mengklaim diri sebagai wali dan al-insan al-kamil. Dengan demikian konsep-konsep yang diambil dari tasawwuf digunakan sebagai pengganti legitimasi pra-Islam yang menyatakan raja sebagai Siva-Buddha atau bodhisattva.[11] Di kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara), ajaran tasawwuf mengenai martabat tujuh (yang merupakan penyederhanaan dari teori tajalli‘nya Ibnul Arabi) telah dipakai sebagai legitimasi sistem politik kerajaan itu. Proses emanasi (tajalli) diidentikkan dengan stratifikasi masyarakat. Menurut teori sufi martabat tujuh, pada tiga tahap pertama proses tajalli Tuhan bersifat tanzih (transendental, secara mutlak berbeda dari sifat-sifat alam), sedangkan empat tahap berikut (dengan sifat tasybih, immanen) merupakan manifestasiNya dalam alam semesta. Di Buton, tiga golongan bangsawan (yang dulu, agaknya, dianggap berasal dari dewata) diserupakan dengan tiga tahap tanzih itu, sedangkan empat tahap tasybih diidentikkan dengan empat lapisan masyarakat: raja, bangsawan, orang awam, dan budak. Ini barangkali merupakan contoh yang paling ekstrim dari "pribumisasi" ajaran tasawwuf di Indonesia.[12]
Dalam proses islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara, tasawwuf dan tarekat memainkan peranan penting - walaupun dalam proses itu, ajaran tasawwuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibn al-‘Arabi dan Al-Jili, misalnya, diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan tarekat - dzikir, wirid, ratib dan sebagainya - juga diterapkan dengan tujuan di luar tasawwuf. Orang Nusantara masa dulu sangat menaruh perhatian kepada kemampuan supranatural - kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan dan segala ilmu gaib lainnya. Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka menganggap amalan tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan kemampuan supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara tasawwuf dan magi.
Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan yang berasal dari tarekat-tarekat guna mengembangkan "tenaga dalam", tujuan yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan debus, yang dulu juga terkait dengan persilatan, nampak berasal dari amalan tarekat Rifa‘iyah dan Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan bacaan-bacaan dan cara meditasi (mujahadah, muraqabah, dan sebagainya) yang berasal dari amalan tarekat, walaupun pengetrapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan tarekat masa kini.
Tentu saja, tarekat tidak bisa diidentikkan dengan kegiatan magi itu sendiri. Dalam sejarah tarekat terlihat, seperti dalam sejarah Islam pada umumnya, gelombang demi gelombang pemurnian. Syaikh-syaikh yang disebut di bagian depan artikel ini semuanya pada zamannya merupakan pemurni agama, dalam arti bahwa mereka berusaha menggantikan praktek-praktek lokal dengan ajaran dan amalan yang mereka peroleh di tanah Arab - termasuk penekanan kepada syari‘ah. Tuntutan masyarakatlah yang senantiasa mendorong kepada penerapan "praktis" yang berbau magi. Ambillah, sebagai contoh, perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, yang selalu syari‘ah-oriented, di pulau Lombok. Pada abad lalu tarekat ini punya pengaruh besar di Lombok; penganutnya berkiblat kepada Syaikh Muhammad Salih al-Zawawi di Makkah, guru yang paling ortodoks. Sekarang tarekat ini hampir tidak dikenal lagi; tetapi waktu saya melakukan pelacakan sejarahnya, akhirnya saya bertemu dengan dua orang keturunan guru Naqsyabandiyah yang pertama. Mereka sekarang tidak dikenal lagi sebagai guru agama tetapi sebagai guru kekebalan. Amalan-amalan yang mereka ajarkan kepada pemain silat perisai di sana, ternyata tetap merupakan amalan-amalan Naqsyabandiyah!
Tetapi dalam budaya Islam Timur Tengah juga terdapat berbagai tradisi "magi Islam", yang kadangkala disebut dengan istilah hikmah dan thibb. "Ilmu" yang berasal dari budaya pra-Islam (seperti wafaq, rajah, dsb) biasanya disebut hikmah, sedangkan thibb ("pengobatan") berdasarkan fawa‘id ayat Qur‘an dan sebagainya. Dua-duanya oleh kalangan luas dianggap sebagai bagian dari Islam, dan ulama-ulama besar yang ortodoks (seperti Ghazali, Suyuti, Ibn Qayyum al-Jauzi) pernah menulis kitab mengenai ilmu-ilmu ini.[13] Ilmu-ilmu ini sering melekat pada tarekat; banyak guru tarekat sekaligus punya nama sebagai ahli tibb dan/atau hikmah. Menulis jimat dan isim sudah termasuk pekerjaan biasa untuk seorang syaikh tarekat; syaikh yang tidak bisa (atau tidak mau) memberikan muridnya jimat penyelamat dapat dikatakan fenomena langka.
Tarekat dan Pemberontakan
Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal hanya merupakan aspek kurang penting dalam pertarekatan (walaupun punya daya tarik kuat). Namun pada situasi tidak aman, dalam perang atau pemberontakan, aspek ini menjadi sangat menonjol. Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat yang memelopori pemberontakan melainkan para pemberontak yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian. Dalam beberapa kasus laporan resmi menyebutkan bahwa menjelang pemberontakan orang berjubel mendatangi syaikh-syaikh tarekat yang punya nama sebagai ahli kesaktian, untuk minta dibaiat oleh mereka.
Suatu kasus yang menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah Banjarmasin sekitar tahun 1860-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru mulai mengajar amalan yang dinamakan "beratip be‘amal" - barangkali suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Orang berbondong-bondong datang dibaiat dan diberikan jimat-jimat. Seperti dalam kasus perlawanan di Palembang, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tanpa mempedulikan bahaya. Tiba-tiba pemberontakan menjadi jauh lebih membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan dari kaum beratip be‘amal tewas tertembak. Dalam kasus ini tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat dilibatkan.[14]
Pada zaman revolusi, kita juga melihat fenomena yang sama. Banyak dari pemuda-pemuda yang siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah Sukabumi, misalnya, Kiai Ahmad Sanusi sangat terkenal sebagai guru kekebalan dan silat "sambatan" (yaitu, murid-muridnya secara supranatural menguasai jurus-jurus yang tak pernah mereka pelajari). Banyak dari pemuda-pemuda yang aktif ikut dalam revolusi di daerah itu minta dibaiat olehnya.[15] Kartosuwirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa barat, juga pernah belajar kekebalan dan silat gaib pada beberapa guru tarekat, antara lain Kiai Yusuf Tauziri.[16] Di Banten, Kiai Abdurrahim Maja, guru debus yang terkenal, memimpin sebuah lasykar Sabilillah yang konon kebal semuanya (tetapi kemudian gugur di Tangerang). Dari daerah lain kita mendengar cerita serupa.[17]
Tarekat sebagai jaringan sosial
Ada satu ciri tarekat lagi yang tak boleh diabaikan dalam pembahasan mengenai tarekat dan politik. Amalan tarekat bisa saja dilakukan secara perseorangan, tetapi biasanya murid yang telah dibaiat akan tetap menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan sesama murid. Kalau tempat tinggal guru tidak terlalu jauh, para murid secara teratur ikut zikir bersama dan juga cenderung bergaul lebih banyak dengan sesama "ikhwan" daripada orang lain. Seorang syaikh besar biasanya punya beberapa orang wakil (khalifah, badal), dan melalui mereka ia bisa memimpin puluhan ribu murid yang tersebar secara luas. Jaringan syaikh-syaikh dengan wakil-wakil mereka merupakan suatu organisasi informal yang kadangkala sangat berpengaruh.
Contoh klasik dari tarekat sebagai jaringan pemersatu masyarakat adalah tarekat Sanusiyah di Libya. Orang Badui di sana terdiri dari sejumlah suku yang di antaranya terdapat banyak persaingan dan peperangan. Syaikh Muhammad al-Sanusi al-Kabir dan putranya al-Mahdi melantik banyak khalifah, yang biasanya mendirikan zawiyah di perbatasan antara wilayah dua atau tiga suku dan yang sengaja berusaha agar pengikutnya tidak terdiri dari satu suku saja. Ketika terjadi perlawanan terhadap penjajah Perancis dan Italia, guru-guru tarekatlah yang bisa mengkordinir dan mempersatukan semua suku Badui. Negara Libya modern merupakan hasil perjuangan tarekat Sanusiyah (dan syaikh tarekat Sanusiyah yang ke-empat, Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara Libya).[18]
Di Kurdistan -wilayah yang sekarang dibagi antara Turki, Irak dan Iran- peranan pemersatu itu dimainkan oleh tarekat Naqsyabandiyah pada menghujung abad ke-19. Masyarakat Kurdi, seperti halnya masyarakat Badui, terdiri dari sejumlah suku (‘asyirah) besar dan kecil. Dulu pernah ada kerajaan-kerajaan Kurdi yang mampu mengendalikan suku-suku dan pertentangan-pertentangannya, namun kerajaan-kerajaan Kurdi terakhir dibubarkan oleh negara Turki Usmani pada awal abad ke-19. Selama beberapa puluhan tahun tidak ada pemimpin Kurdi yang punya wibawa lebih luas daripada sukunya sendiri. Kekosongan itu mulai diisi oleh syaikh-syaikh tarekat. Mereka memang sudah ada sejak lama tetapi dalam situasi politik baru ini mereka mulai memainkan peranan baru. Mereka biasanya mempunyai pengikut dari berbagai suku, sehingga mereka sering menjadi perantara antara suku-suku dan wasit dalam konflik antarsuku. Pemberontakan-pemberontakan nasionalis Kurdi yang pertama, antara tahun 1880 dan 1925, hampir semua dipimpin oleh syaikh tarekat Naqsyabandiyah, karena hanya merekalah yang bisa mengkordinir suku-suku yang terus bersaing dan berkonflik.[19]
Masyarakat Indonesia (sekurang-kurangnya sukubangsa besar seperti Jawa dan Sunda) tidak terdiri dari banyak suku yang saling bersaing seperti masyarakat Arab dan Kurdi, sehingga fenomena di atas tidak ditemui dalam bentuk yang sama di sini. Walau demikian, dalam beberapa pemberontakan antikolonial terlihat tarekat memainkan peranan kordinasi dan komunikasi yang mirip. Pemberontakan Banten 1888, yang cukup dikenal berkat kajian Sartono Kartodirdjo, menggambarkan peranan itu.[20] Dalam pemberontakan tersebut tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah berperan penting, walaupun khalifah-khalifahnya barangkali tidak bertindak sebagai perencana ataupun pemimpin. Syaikh Abdulkarim Banten, pemimpin utama tarekat ini, menetap di Makkah pada masa itu dan tidak ikut berpolitik. Seorang khalifahnya, Haji Marjuki, memang sangat anti-penjajah, dan pidato-pidatonya ikut memanaskan suasana. Tetapi dalam pemberontakan sendiri Haji Marjuki tidak memainkan peranan yang menonjol. Tarekat berperan sebagai jaringan komunikasi dan kordinasi antara para pemberontak. Sesama ikhwan saling mengenal dan saling mempercayai, dan itulah yang menyebabkan para anggota tarekat menjadi kelompok inti pemberontakan ini. (Di samping itu, tentunya para pemberontak meminta jimat-jimat dan amalan untuk kekebalan pada guru tarekat pada tingkat lokal).
Jaringan tarekat, yang lebih luas daripada organisasi informal lainnya, tentu mempunyai potensi politik. Pada zaman kolonial, potensi itu berulang kali muncul dalam bentuk gerakan rakyat. Pada zaman merdeka potensi itu muncul dengan tujuan yang lain. Karena ketaatan para murid kepada syaikh mereka, para syaikh bisa menjanjikan ribuan, puluhan ribu suara menjelang pemilihan. Dengan demikian, seorang syaikh bisa merunding dengan partai-partai politik untuk mendapatkan imbalan yang cukup berarti.
Di Turki, para tarekat sampai sekarang tetap terlarang, tetapi syaikh-syaikh belakangan ini terang-terangan memainkan peranan politik yang menonjol. Demokratisasi sistem politik Turki secara bertahap sejak tahun 1945 memberikan semangat baru kepada tarekat. Dalam istilah politik Turki, tarekat-tarekat merupakan "gudang suara", dan semua partai memperebutkan gudang-gudang yang penuh suara itu. Dalam posisi tawar-menawar yang begitu kuat, para syaikh berhasil mendapatkan berbagai fasilitas. Beberapa syaikh, atau orang kepercayaan mereka, menjadi anggota parlemen, dan anakbuah-anakbuah mereka ditempatkan dalam jajaran birokrasi. Di berbagai daerah terdapat hubungan cukup erat antara syaikh dengan aparat pemerintahan yang saling menguntungkan. Secara demikian para syaikh dengan mudah memperjuangkan kepentingan-kepentingan pengikutnya dan mendapatkan berbagai jenis fasilitas untuk mereka (tender, pembangunan jalan atau saluran irigasi, listrik, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya). Perkembangan ini, tentu saja, memperkuat posisi syaikh dalam masyarakat, dan jumlah pengikut tarekat kelihatannya kini sedang naik drastis!
Di Indonesia, Golkar dan para partai politik juga sangat sadar akan potensi tarekat sebagai "gudang suara". Potensi itu telah menjadi pokok perhatian luas ketika Kiai Musta‘in Romly, tokoh tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, menyatakan dukungannya terhadap Golkar pada awal dasawarsa 1970-an. Pernyataan ini menimbulkan reaksi keras dari kiai-kiai lainnya, yang menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap NU (yang waktu itu belum "kembali ke khitthah"). Pesantren Tebuireng memelopori usaha "penggembosan" pengaruh Kiai Musta‘in. Sebagai hasil usaha ini, sebagain besar khalifah dan badalnya pindah kiblat kepada Kiai Adlan Ali, sehingga pada pemilu 1977 dan 1982 gudang suara besar itu dapat diserahkan kepada Ka‘bah ketimbang pohon Beringin.
Kiai Musta‘in bukan guru tarekat pertama yang ikut dalam permainan politik di Indonesia. Pada awal masa kemerdekaan Syaikh Haji Jalaluddin Bukittinggi mendirikan Partai Politik Tharikat Islam (PPTI). Guru Naqsyabandiyah ini sebelumnya adalah anggota Perti tetapi meninggalkan partai itu karena suatu konflik dengan Syaikh Sulaiman Al-Rasuli. Dalam pemilu 1955 PPTI menang 35.000 suara di Sumatera Tengah (2,2 %) dan 27.000 di Sumatera Utara (1,3%).[21] Selama dasawarsa berikut, PPTI berkembang terus dan mendirikan perwakilan di berbagai propinsi lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Syaikh Jalaluddin menjadi pendukung presiden Sukarno yang sangat setia. Kelak untuk mengikuti tuntutan keadaan, partainya diubah menjadi ormas (1961), dan kepanjangan dari PPTI diubah pula menjadi Persatuan Pembela Tharikat Islam. Pada permulaan Orde Baru, PPTI masuk Golkar, dan pada tahun 1971 menganjurkan semua anggota dan simpatisannya untuk menusuk tanda gambar Beringin. Semenjak itu PPTI merupakan "onderbouw"nya Golkar untuk tarekat. Syaikh Haji Jalaluddin sendiri meninggal dunia pada tahun 1976; organisasinya (yang pada 1975 telah pecah menjadi dua, "Pembela" dan "Pembina" Tarekat) tetap berjalan tetapi tidak lagi mempunyai pemimpin karismatik sebanding Haji Jalaluddin. PPTI sekarang merupakan organisasi Golkar untuk tarekat daripada organisasi tarekat yang mendukung Golkar.[22]
Organisasi tarekat yang mempunyai massa besar adalah Jam‘iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu‘tabarah, yang didirikan pada tahun 1957. Anggotanya terutama terdiri dari kiai-kiai tarekat Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan rata-rata adalah orang NU. Kiai Musta‘in pernah dipilih sebagai ketua organisasi ini, dan setelah penyeberangannya ke Golkar Jam‘iyah ini juga pecah menjadi dua. Pada muktamar yang diadakan oleh kubu non-Golkar di Semarang pada tahun 1979, kata Al-Nahdhiyah ditambah kepada nama organisasi. Perpecahan di dalam Jam‘iyah tidaklah berlangsung tajam; berbagai kiai tarekat tetap menjalin hubungan dengan kedua kubu. Namun terlihat bahwa Jam‘iyah‘nya Kiai Musta‘in (almarhum) jauh lebih kecil daripada yang Nahdhiyah.
Menarik sekali melihat bahwa ketika NU mengambil keputusan untuk meninggalkan politik praktis, justeru organisasi tarekat ini yang cenderung tetap mendukung PPP. Atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa Jam‘iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu‘tabarah Al-Nahdhiyah telah menjadi benteng terakhir untuk orang NU yang tetap ingin berpolitik. Kiai yang paling vokal menentang keputusan Situbondo, Syamsuri Badawi dari Tebuireng, memainkan peranan sentral dalam Jam‘iyah (walaupun ia sebelumnya tidak dikenal sebagai guru tarekat). Dan politikus NU yang paling berpengalaman, Idham Chalid, aktif juga di Jam‘iyah setelah ia digeser dari kepemimpinan NU pada muktamar Situbondo.[23]
Kata penutup
Tarekat-tarekat di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan pesat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah perubahan sosial yang terjadi, di mana proses modernisasi diiringi pula oleh memudarnya ikatan sosial tradisional, telah menimbulkan kekosongan emosional dan moral. Tarekat dan aliran mistisisme lain telah mampu memenuhi kebutuhan yang dirasakan orang banyak tersebut. Organisasi informal seperti itu menawarkan suasana emosional dan spiritual yang semakin sulit dicari dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, proses depolitisasi Islam beberapa dasawarsa ini mendorong umat tidak lagi menaruh perhatian pada cita-cita politik Islam tetapi kepada pengalaman ruhani dan akhlaq pribadi. Perkembangan ini turut pula menambah popularitas tarekat.
Walaupun suburnya perkembangan tarekat untuk sebagian disebabkan oleh depolitisasi Islam, namun sebagai akibat potensi politik tarekat - dalam arti terbatas, tentunya - menjadi semakin nampak. Jumlah pengikut seorang guru tarekat rata-rata jauh lebih banyak daripada pengikut kiai lainnya, dan pengaruhnya terhadap pengikutnya lebih besar. Karena gudang suara yang digenggamnya, kiai tarekat mempunyai posisi tawar menawar (dengan aparat pemerintahan atau dengan partai politik) yang kuat. Peranan mantan politisi NU dalam Jam‘iyah Ahl Al-Thariqah dapat dipandang sebagai salah satu gejala depolitisasi - tetapi juga sebagai indikasi potensi politik wadah-wadah kaum tarekat.
-------------ooOoo-----------
[1] Artikel ini telah dimuat dalam majalah Pesantren vol. IX no. 1 (1992), hal. 3-14.
[2] Martin van Bruinessen adalah Professor Studi Islam di Universitas Utrecht and di the International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM). Keduanya di Netherlands.
[3] Syair ini diterbitkan oleh M.O. Woelders dalam bukunya Het Sultanaat Palembang 1811-1825 (’s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975). Bait-bait yang dikutip terdapat pada hal. 195-6.
[4] Lihat M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ’Abdus-Samad al-Palimbani (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 25-30.
[5] Quzwain, op.cit., hal. 16-17 dan 22-23.
[6] Uraian lebih lanjut mengenai kegiatan Syaikh Yusuf sebagai guru tarekat dan pemimpin gerilya dalam: Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), Bab 3; dan "Tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan", dalam Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1994).
[7] Beberapa kajian "berorientasi keamanan" yang masih sering dikutip merupakan karangan pejabat Perancis di Afrika Utara: Louis Rinn, Marabouts et Khouan (Alger, 1884); A. Le Chatelier, Les Confréries du Hédjaz (Paris, 1887); O. Depont & X. Coppolani, Les Confréries Religieuses Musulmanes (Alger, 1897). Beberapa kajian Snouck Hurgronje, tentu saja, dibuat dengan orientasi sama walaupun lebih seimbang. Lihat E. Gobée & C. Adriaanse (ed), Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, jilid II (’s Gravenhage: Nijhoff, 1959), hal. 1182-1221 (terjemahan Indonesia akan diterbitkan dalam seri INIS). Kajian pejabat Belanda lainnya tentang tarekat dibahas dalam Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, Bab 1.
[8] Jo-Ann Gross, "Multiple Roles and Perceptions of a Sufi Shaikh", dalam: Marc Gaborieau dkk. (ed), Naqshbandis: Historical Developments and Present Situation of a Muslim Mystical Order (Istanbul & Paris: Isis, 1990), hal. 109-121.
[9] Hamid Algar, "Political aspects of Naqshbandi history", dalam Gaborieau dkk. (ed), Naqshbandis, hal. 123-52.
[10] Sayyid ‘Utsman bin ‘Aqil bin Yahya al-‘Alawi, Arti thariqat dengan pendek bicaranya (Betawi, 1889), hal. 9.
[11] Lihat A.C. Milner, "Islam and the Muslim State", dalam: M.B. Hooker (ed), Islam in South-East Asia (Leiden: Brill, 1983), hal. 23-49, khususnya 39-43.
[12] Lihat Pim Schoorl, "Islam, macht en ontwikkeling in het sultanaat Buton", dalam: L.B. Venema (ed), Islam en macht (Assen, Belanda: Van Gorcum, 1987), hal. 52-65.
[13] Kitab-kitab ini, tentu saja, dikenal dan dipakai oleh kalangan luas di Indonesia. Ibn Qayyum menulis Al-Thibb Al-Nabawi, Jalaluddin al-Suyuthi Al-Rahmah fi Al-Tibb wa Al-Hikmah, Imam Ghazali Al-Aufaq. Kitab hikmah yang paling terkenal di sini adalah Syams Al-Ma‘arif Al-Kubra’nya Syaikh Ahmad al-Buni. Sebagian besar buku Mujarrabat telah meminjam bahan dari kitab tersebut.
[14] P.J. Veth, "Het beratip beamal in Bandjermasin", Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, seri 3 nomor 1 (1869), hal. 331-49.
[15] Diceritakan oleh beberapa bekas pejuang daerah itu. Lihat juga pengamatan seorang pemimpin pasukan revolusi di sana: Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson, 1972), hal. 186. Kiai Ahmad Sanusi, menurut orang setempat, tidak pernah mengajarkan salah satu tarekat tertentu, tetapi ia pernah menulis versi Sunda Manaqib Syaikh Abdulqadir Jailani, dan ilmu kekebalannya barangkali berkaitan dengan tarekat Qadiriyah. Ia juga dikenal sebagai penerjemah Qur’an dalam bahasa Sunda dan sebagai pendiri Persatuan Umat Islam Indonesia. Lihat Mohammad Iskandar, "Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat", Pesantren XXII, no. 2, 1993, hal. 71-86.
[16] Menurut beberapa sumber lisan.
[17] Lihat juga kenang-kenangan zaman revolusi seorang anggota Korps Mahasiswa di Jawa Barat, Ir.H. Aten Suwandi, Di Bawah Lindungan Tuhan (tanpa tempat dan tahun terbit, 1984?), bab III: "Latihan untuk kekebalan". Seperti halnya tarekat-tarekat, aliran-aliran kebatinan pada masa revolusi juga aktif dengan latihan kekebalan dan silat ber"tenaga dalam". Lihat: Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism (Disertasi, Universitas Wisconsin-Madison, 1980), bab 5.
[18] E.E. Evans-Pritchard, The Sanusi of Cyrenaica (Oxford University Press, 1949); Nicola A. Ziadeh, Sanusiyah, a Study of a Revivalist Movement in Islam (Leiden: Brill, 1958).
[19] Martin van Bruinessen, Agha, Shaikh and State, The Social and Political Structures of Kurdistan (London: Zed Books, 1992), bab 4: "Shaikhs: Mystics, Saints and Politicians".
[20] Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 (’s Gravenhage: Nijhoff, 1966). Lihat juga analisa saya tentang pemberontakan Lombok 1893 dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.
[21] Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat (Djakarta: LEKNAS, 1971). Di daerah tertentu persentase suara untuk PPTI lebih tinggi: 11% di Solok (Minangkabau) dan juga 11% di Tapanuli Selatan.
[22] Mengenai sejarah PPTI dan konflik-konflik internnya, lihat Djohan Effendi, "PPTI: Eine konfliktreiche Tarekat-Organisation", dalam: Werner Kraus (ed), Islamische mystische Bruderschaften im heutigen Indonesien (Hamburg: Institut für Asienkunde, 1990), hal. 91-100.
[23] KH. Idham Chalid sebetulnya sejak pertengahan tahun 1970-an sudah duduk sebagai Mudir Aam Jam‘iyah, tetapi tidak pernah aktif selama ia masih menjabat sebagai ketua umum NU.
Kredit Foto : http://asnlf.com/photogallery/photo13242/tapol_1.jpg
www.rajaalihaji.com
No comments:
Post a Comment