Ketenaran Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Banyak kalangan ingin menikahinya, tetapi semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya' jawabnya.
Selama hidupnya, Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita sufi dari Bashrah, tidak pernah menikah. Ketenarannya sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus ke kaguman pada semua kalangan. Karena itulah, Gubernur Bashrah kala itu, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi berkeinginan untuk menikahinya, tapi ditolak Rabiah. Rabiah mengatakan, “ Seandainya engkau memberikanku seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku emmalingkan perhatianku dari Allah kepadamu, hatta sekejap mata sekalipun”
Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah gubernur yang kaya raya. De ngan kekayaan yang melimpah ruah ini dia meminta tolong kepada para ulama dan umara untuk mencarikan istri yang cocok, yang dapat membuatnya menjaga dengan amanah harta bendanya.
Orang-orang yang dimintai saran itu memberikan saran bahwa istri yang memenuhi syarat itu adalah Rabi'ah Al-Adawiyah.Namun, begitu lamaran itu disampaikan kepada Rabi'ah, ia mengirim surat kepada sang gubernur:
Persis seperti halnya kezuhudan (zuhud) di dunia ini adalah sumber kesenangan dan kenikmatan jasmani, maka begitu pulalah perhatian pada dunia menimbulkan kekhawatiran dan kesedihan. Singkirkanlah kekayaanmu di dunia ini untuk kehidupan akhirat nanti. Bersikaplah amanah kepada dirimu sendiri sekarang ini. Jangan biarkan orang lain mengelola dan membagi-bagikan harta kekayaanmu kelak. Berpuasalah dan kehidupan. Berbukalah dengan kematian.
Akan halnya diriku, seandainya Allah memberiku sebanyak apa yang engkau berikan, atau bahkan lebih dan itu, aku tidak mungkin memalingkan perhatian ku dari-Nya barang sekejap pun.
Kepada orang lain yang bertanya ke-padanya mengapa ia tidak menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab, "Ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku sendiri. Aku adalah milik-Nya."
Kisah di atas mungkin berkenaan dengan Hasan Al-Bashri, sufi dari Bashrah, dekat Baghdad. Hasan pernah bertanya kepada Rabi'ah ihwal apakah ia ingin bersuami.
Rabi'ah menjawab, "Ikatan perkawin¬an hanya sebatas pada wujud. Akan tetapi, di sini wujud itu tidak ada. Aku tidak mengetahui diriku sendiri. Melalui Dia-lah aku ada, dan di bawah bayang-bayang kehendak dan kemauan-Nya saja-lah aku mawujud. Suami dicari dari-Nya."
"Bagaimana engkau mencapai ke-dudukan (maqam) ini?" tanya Hasan.
"Dengan melenyapkan segenap pencapaianku dalam diri-Nya."
"Lalu, bagaimana engkau menge-tahui-Nya?"
"Engkau mengetahui 'bagaimana',' jawabnya, "sementara aku mengetahui tanpa 'bagaimana'."
Dalam beberapa kisah disebutkan, Hasan Bashri sendiri sangat mencintai Rabi'ah. Namun tidak ada keberanian untuk melamamya. Dan akhirnya mereka terlibat dalam suatu persahabatan tetapi mesra yang didasarkan karena Allah SWT semata-mata, bukan karena hawa nafsu.
Sebuah anekdot menggambarkan bagaimana status "teman tapi mesra" antara Hasan dan Rabi'ah:
Seminggu sekali, Hasan Al-Bashri mengadakan pertemuan dan ia me-nyampaikan khutbah. Setlap kali naik mimbar, ia selalu mencari Rabi'ah. Dan jika tidak melihatnya, ia tidak mau berkhutbah.
Orang-orang mengatakan, "Begitu banyak orang panting dan terkemuka berkumpul di sini, ada apa gerangan jika wanita tua berhijab itu tidak datang ke sini?"
Hasan menjawab, "Anggur yang di-peruntukkan buat gajah tidak bisa di-tuangkan ke dalam dada semut."
Setiap kali majelis pertemuan itu se-makin hangat dan bersemangat karena mendengar kata-katanya, Hasan Al-Bashri akan berpaling kepada Rabi'ah dan berkata, "Duhai, meskipun tersembunyi di balik hijab, segenap hasrat dan gairah ini timbul hanya dari bara api da¬lam qalbumu."
Persahabatan mesra kedua sufi itu juga tertihat dalam pengakuan Hasan Al-Bashri berikut, "Kuhabiskan siang dan malam hari bersama Rabi'ah dengan mendiskusikan thariqah dan haqiqah, tetapi aku maupun Rabi'ah tidak pemah merasa bahwa salah seorang di antara kami adalah pria dan yang lainnya wanita. Hanya saja, ketika aku meninggalkannya, kudapati diriku dalam keadaan sangat memerlukan dan miskin, sementara kulihat Rabi'ah benar-benar dalam keadaan ikhlas."
"Aku akan Menikah jika..
Di kala lain, orang-orang juga ber-tanya kepada Rabi'ah, "Mengapa engkau tidak menikah?"
la menjawab, "Aku khawatir akan tiga hal. Jika kalian sanggup membebaskanku dari kekhawatiranku itu, aku akan menikah.
Pertama, di saat sekarang, akankah keimananku cukup untuk menyelamatkanku? Kedua, akankah buku amalanku diberikan kepadaku di tangan kiriku atau tangan kananku? Ketiga, di saat itu ketika sekelompok orang dipanggii maju di sebelah kiri dan digiring ke neraka, dan sekelompok orang di sebelah kanan dipanggii serta digiring masuk ke surga, dalam kelompok mana aku termasuk?"
Orang-orang itu terbengong, Ten-tang masalah itu, kami tidak tahu."
"Dengan ketakutan seperti ini, apa-kah aku bisa menikah?" kata Rabi'ah.
Sekendi Madu Putih
Tidak hanya seorang gubemur kaya raya yang terpesona dengan Rabi'ah, seorang ulama juga kesengsem dengan akhlaq sufi wanita yang hidupnya penuh amai ibadah itu.
Menurut Abdul Wahid Zayd, Rabi'ah sering kali menghadiri majelis Samit Ajlan. Amalan-amalan ibadahnya yang terkenal menyebabkan Abdul Wahid ingin menikahinya.
"Aku ungkapkan keinginanku kepada Samit Ajlan," tutur Abdul Wahid, "yang mengungkapkan keinginanku kepada Samit Ajlan, yang mengatakan bahwa bahwa ia akan mencoba menyampaikan pinanganku kepada Rabi'ah."
Abdul Wahid meninggalkan Samit dan berusaha menemui Rabi'ah sendiri.
Ketika sudah berhadapan dengan Rabi'ah, justru Abdul Wahid mendapatkan pertanyaan, "Nafsu mana, wahai sang pria, yang engkau lihat dalam diriku yang menyebabkanmu rindu kepada-ku?"
Pertanyaan itu mengejutkan Abdul Wahid, sebab ia yakin bahwa berita pinangannya belum sampai kepada wanita sufi tersebut.
Kemudian Rabi'ah mengangkat wajahnya ke langit dan berdoa, "Ya Allah, kirimkan kepada kami sekendi madu putih untuk jamuan makan kami."
Segera saja sebuah kendi, yang belum pemah disaksikan Abdul Wahid sebelumnya, muncul dari tempat yang tidak diketahui asal-usulnya.
"Wahai Abdul Wahid," serunya, "jika engkau ingln madu yang sama sekali bukan berasal dari lebah mana pun, atau belum pemah dirasakan oleh makhluk mana pun, ulurkan tanganmu dan berbukalah sendiri."
Abdul Wahid sangat ketakutan untuk mengulurkan tangannya, betapapun dia ingin berusaha.
Rabi'ah kemudian meminta dia dan rombongannya meninggalkannya.
Dengan segera Abdul Wahid dan rombongannya pun pergi.
"Pandanglah Sang Pencipta"
Rabi'ah tidak hanya dicintai kaum pria, tetapi juga kaum wanita. Cinta di sini bukan cinta hawa nafsu, tetapi cinta untuk mengabdi dan meneladani sebagaimana yang diamalkannya.
Seorang wanita pemah mengaku kepada Rabi'ah, "Demi Allah, aku mencin-taimu."
Rabi'ah menjawab, "Patuhilah dan taatilah Allah, yang demi diri-Nya engkau mencintaiku."
Salah seorang wanita shalihah yang mengabdi dan berkhidmat kepada Rabi'ah adalah Abdah binti Abu Syuwail. Banyak riwayat hidup Rabi'ah, khusus-nya yang berada di dalam rumah, ber-sumber dari dirinya.
Ada juga beberapa santri wanita yang berkhidmat kepada Rabi'ah, se-bagaimana petikan kisah berikut ini:
Pada suatu hari yang indah di musim semi, Rabi'ah menyendiri di kamar tempat ia berkhalwat, dan tidak bermaksud keluar.
Kemudian, salah seorang santri wanitanya berkata, "Wahai Ibu, keluarlah dan lihatlah karya-karya Sang Pencipta."
"Lebih baik masuklah," jawab Rabi'ah, "dan pandanglah Sang Pencipta itu sendiri. Merenungkan-Nya membuatku tidak sempat lagi memandang ciptaan-Nya."
Sumber : Al Kisah
No comments:
Post a Comment