Disarikan dari Karya Imam al-Ghazali.
Alih bahasa: Juru Angon–
Ketahuilah, bahwa umat ini telah bersepakat (ijma) bahwa mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya adalah wajib atau fardlu hukumnya. Uraian berikut adalah untuk membuktikan bagaimana cinta yang bersifat abstrak itu diwajibkan? Dan bagaimana cinta itu dimaknai atau ditafsiri dengan “ketatatan”? sedangkan ketaatan pada dasarnya mengikuti cinta dan menjadi konsekuensi logisnya. Yang harus didahulukan adalah cinta, baru kemudian “mentaati” atau mematuhi “Yang Dicintainya” itu.
Dalil tentang cinta ini adalah firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-Maidah; 54).
Dan juga firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (Qs. Al-Baqarah; 165).
Dalam berbagai haditsnya, Rasulullah Saw telah menyatakan bahwa mencintai Allah Swt merupakan syarat iman, sebagaimana ditanyakan oleh Abu Razin al-‘Uqaili: “Ya Rasulullah Saw, apakah yang disebut iman itu?” Jawab Rasulullah Saw: “(Yakni) engkau mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya melebihi cintamu kepada yang lainnya.”
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kamu, sehingga Allah Swt dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lainnya.” Dalam hadits yang lain disebutkan: “Seorang hamba tidak akan beriman sehingga Aku (Rasulullah Saw) lebih dicintainya daripada keluarganya, hartanya dan semua orang” dalam riwayat lain: “(melebihi cintanya) kepada diri sendiri.”
Allah Swt juga berfirman: “Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (Qs. Al-Taubah; 24).
Ayat di atas mengandung peringatan bagi siapa saja yang mengingkarinya. Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya: “Cintailah Allah Swt karena Dia telah memberi berbagai kenikmatan kepadamu, dan cintailah aku karena Allah Swt juga mencintaiku.”
Diriwayatkan, ada seorang sahabat yang berkata kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah Saw, aku mencintaimu”, maka Rasulullah Saw bersabda:“Bersiaplah engkau (untuk menghadapi) kefaqiran.” Sahabat tadi berkata lagi: “Aku mencintai Allah Swt.” Jawab Rasulullah Saw: “Bersiaplah engkau (untuk menghadapi) cobaan-(Nya)”.
Dalam suatu riwayat yang terkenal, Nabi Ibrahim ‘alaihi salam berkata kepada malaikat maut ketika akan mencabut nyawanya: “Pernahkah engkau melihat Sang Kekasih (maksudnya Allah Swt) mematikan kekasihnya (maksudnya dirinya sendiri yang bergelar “al-halil”) ?”, maka Allah Swt menurunkan wahyu kepada Ibrahim: “Pernahkah kamu melihat Sang Pecinta tidak suka bertemu dengan orang yang dicintainya?” Lalu Nabi Ibrahim berkata kepada malaikat maut: “Sekarang, cabutlah nyawaku!”. Kisah diatas tidak mungkin terjadi, kalau saja Nabi Ibrahim tidak mencintai Allah Swt dengan sepenuh hati. Ketika Nabi Ibrahim mengetahui bahwa kematian menjadi sebab pertemuannya dengan Allah Swt, maka hatinya menjadi gelisah ingin segera bertemu dengan-Nya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa bagi Nabi Ibrahim, tidak ada yang lebih dicintai kecuali Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw pernah berdo’a: “Ya Allah, anugerahkanlah aku (untuk) mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu dan mencintai apapun yang bisa mendekatkanku untuk mencintai-Mu. Jadikanlah kecintaanku pada-Mu menjadi (hal yang) lebih aku cintai daripada (kesukaanku pada) air yang dingin.” Abu bakar al-Shiddiq berkata: “Barang siapa yang telah merasakan tulusnya cinta Allah Swt, ia tidak akan lagi disibukkan untuk mencari dunia dan ia bisa melepaskan diri dari (pergaulan) sesama manusia.”
Al-Hasan berkata: “Barang siapa yang “mengerti” Tuhannya, ia akan mencinta-Nya, dan barang siapa yang “mengerti” dunia, ia kan bersikap zuhud kepadanya.” Abu Sulaiman al-Darani berkata: “Di antara makhluk Allah Swt ada segolongan orang yang tidak lagi tergiur oleh surga dan kenikmatan di dalamnya, maka bagaimana mungkin mereka bisa disibukkan oleh urusan duniawi.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Isa ‘alaihi salam berjalan melewati tiga kelompok orang yang badanya kurus-kurus. Nabi Isa berkata kepada kelompok pertama: “Ajaranku yang mana yang membuat kalian begitu?” Jawab mereka: “Takut kepada neraka.” Nabi Isa berkata: “Kebenaran atas Allah Swt, semoga Dia mengamankan orang yang ketakutan (kepada neraka)”. Lalu Nabi Isa melewati kelompok yang kedua. Mereka lebih kurus daripada kelompok pertama. Nabi Isa bertanya pada meraka: “Ajaranku yang mana yang membuat kalian jadi begini?” Jawab mereka: “Merindukan surga.” Nabi Isa berkata: “Kebenaran atas Allah Swt, semoga Dia memberikan apa yang kalian harapkan.” Selanjutnya, Nabi Isa melewati kelompok yang ketiga. Tubuh mereka sangat kurus dan di wajah mereka seoah-olah ada cahaya. Nabi Isa bertanya pada mereka: “Ajaranku yang mana yang membuat kalian jadi begini?” Jawab mereka: “Kami mencintai Allah Swt.” Nabi Isa berkata: “Kalianlah orang-orang yang dekat dengan Allah Swt, Kalianlah orang-orang yang dekat dengan Allah Swt, Kalianlah orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.”
Abd al-Wahid Zaid berkata: “Saya bertemu dengan orang yang tinggal di tengah salju. Aku bertanya kepadanya: “Tidakkah engkau merasa kedinginan?” Jawab dia: “Barang siapa yang senantiasa mencintai Allah Swt, dia tidak akan merasa kedinginan.” Dari Sirri al-Saqathi, dia berkata: “Pada hari kiyamat, setiap umat dipanggil sesuai dengan nabi-nabi mereka, seperti wahai umat Musa, umat Isa dan umat Muhammad, kecuali mereka yang mencintai Allah Swt. Mereka dipanggil dengan sebutan: Wahai para kekasih Allah Swt, mendekatlah kemari, ke sisi Allah Swt. Hati mereka hampir saja copot saking gembiranya perasaan mereka.”
Harm bin Hayan berkata: “Jika seorang mukmin “mengerti” Tuhannya, maka ia akan mencintai-Nya, jika ia mencintai-Nya, Allah akan menghadapkannya, jika ia telah merasakan manisnya “menghadap Allah Swt”, ia tidak akan memandang dunia dengan pandangan yang tertarik, juga tidak akan memandang akhirat dengan pandangan yang menyenangkan. Manisnya menghadap Allah Swt membuatnya merasa rugi (tidak betah) di dunia dan merasa senang di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata: “Pengampunan Allah Swt bisa menenggelamkan dosa-dosa, bagaimana dengan keridlaan-Nya? Keridlaan-Nya bisa menenggelamkan semua keinginan, bagaimana dengan cinta-Nya? Cinta-Nya bisa mencengangkan akal, bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayangnya bisa melupakan semua selain Allah Swt.” Yahya bin Mu’adz juga berkata: “Cinta, walau hanya sebesar bijih gandum, lebih aku sukai daripada beribadah selama 70 tahun tanpa didasari rasa cinta.”
Dalam kesempatan yang lain, Yahya bin Mu’adz pernah mengadu: “Ya Allah, Ya Tuhanku! Aku berdiri terpana di hadapan-Mu, senantiasa memuji kebesaran-Mu. Hanya sedikit yang bisa aku berikan kepada-Mu, tetapi Engkau anugerahkan aku pakaian ma’rifat-Mu. Engkau tempatkan aku dalam rahasia kelembutan-Mu. Engkau pindahkan aku dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Engkau bolak-balikan aku dari satu perbuatan ke perbuatan lainnya, dari taubat, zuhud, rindu, ridla dan cinta. Engkau sirami aku dengan air telaga-Mu. Engkau mudahkan aku menikmati taman keindahan-Mu. Aku ingin tetap memenuhi perintah-Mu. Aku mabuk cinta pada perkataan-Mu, maka bagaimana mungkin aku berpaling dari-Mu. …aku mencinta-Mu, dan setiap orang yang sedang jatuh cinta pasti tergila-gila dengan kekasihnya dan berpaling dari yang lainnya.”
Banyak hadits dan perkataan sahabat atau tabi’in tentang “mencintai” Allah Swt yang tidak mungkin di paparkan di sini, karena keterbatasan yang ada. Namun demikian, semua itu adalah persoalan dlahir saja, yang perlu dilakukan adalah masuk dan menyelam di balik makna dan hakikat cinta itu sendiri. @@
==> Kampus Wong Alus ( Juru Argon)
No comments:
Post a Comment