Syekh Abu Nashr as-Sarraj
Syeikh Abu Nashr As-Sarraj rahimahullah— berkata: Allah swt. berfirman: “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Fathir: 1).
Mereka menafsirkannya dengan akhlak yang mulia dan suara yang indah.
Diriwayatkan dalam Hadis Nabi Saw. bahwa beliau pernah bersabda:
“Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali ia memiliki suara yang indah.” (H.R. Tirmidzi).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Allah Swt. tidak pernah mendengarkan dengan serius terhadap sesuatu sebagaimana Dia mendengarkan seorang nabi yang memiliki suara yang indah.” (H.R. Bukhari-Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i dari Abu Hurairah).
Nabi Saw. juga bersabda:
“Sungguh Allah Swt. lebih serius mendengarkan seorang pembaca al-Qur’an dengan suara merdu daripada seorang pemilik biduan perempuan mendengar nyanyian biduannya.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim dari Fudhalah bin Ubaid).
Dalam sebuah Hadis disebutkan, bahwa Nabi Dawud as. dianugerahi suara yang merdu sehingga ketika ia membaca Kitab Zabur, jin, manusia, binatangbuas dan burung khusyuk mendengarkan bacaannya. Bahkan seperti diriwayatkan dalam sebuah Hadis, bahwa kaum Bani Israel pernah berkumpul untuk mendengarkan suara Nabi Dawud, sementara itu ada empat ratus jenazah orang-orang yang telah mati di situ diboyong dari majelisnya. (Imam al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, bahwa Hadis ini tak memiliki sumber yang jelas).
Sebagaimana pula diriwayatkan dan Nabi Saw bahwa beliau bersabda, “Sungguh Abu Musa diberi terompet (seruling) dan terompet keluarga Nabi Dawud a.s. karena ia telah diberi suara yang merdu.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Disebutkan dalam sebuah Hadis, “Bahwa pada saat Pembukaan Kota Mekkah, Nabi Saw. membaca surat al-Fath, beliau membaca panjang bacaan mad dan mengulanginya kembali.” (H.R. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud dari Anas dan Ubaidillah bin Mughafal).
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa ia pernah berkata kepada Rasulullah Saw., “Andaikan aku tahu bahwa engkau orang yang mendengar, niscaya aku akan memperindah suaraku dalam membaca al-Qur’an.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Diriwayatkan pula dari Nabi Saw. yang bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara kalian yang merdu.” (H.R. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan, bahwa Hadis di atas dimungkinkan memiliki dua pengertian —dan hanya Allah Yang Mahatahu: Pertama, yang dimaksud Hadis di atas adalah menghiasi bacaan al-Qur’an dengan mengeraskan suara ketika membacanya, kemudian memperindah suara dan lagunya. Sebab al-Qur’an adalah Kalam Allah dan bukan makhluk, maka ia tidak perlu dihiasi dengan suara makhluk atau diperindah dengan lagu yang direkayasa. Kedua, makna yang dimaksud dengan menghiasi bacaan al-Qur’an dengan suara yang indah adalah mendahulukan mana yang harus lebih dahulu dalam makna dan mengakhirkan mana yang harus di akhir, seperti dalam firman Allah Swt.:
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia tidak menjadikan di dalamnya suatu yang menyimpang, sebagai bimbingan yang lurus.” (Q.S. al-Kahfi: 1-2).
Artinya dalam uslub mendahulukan mana yang harus didahulukan dan mengakhirkan mana yang terakhir adalah bahwa Allah Swt. menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai bimbingan yang lurus dan Dia tidak menjadikan suatu yang menyimpang (bengkok). Sementara ayat-ayat seperti ini banyak kita jumpai dalam al-Qur’an.
Allah Swt. mencela suara yang tidak disukai (buruk), sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman: 19).
Tentu saja ketika Allah mencela suara yang buruk, Dia akan memuji suara yang indah.
Orang-orang bijak telah banyak berbicara tentang suara yang indah dan alunan lagu yang merdu. Misalnya Dzun-Nun —rahimahullah— pernah ditanya tentang suara yang bagus, maka ia mengatakan, “Itu adalah pembicaraan-pembicaraan dan isyarat-isyarat yang ditujukan kepada al-Haq yang dititipkan pada segala kebaikan.”
Diceritakan dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi, yang mengatakan, “Suara yang indah merupakan hiburan dari Allah Swt. bagi hati yang di dalamnya ada rasa cinta kepada Allah.”
Sementara itu yang lain mengatakan, “Lagu yang indah adalah hiburan dari Allah Swt. yang digunakan untuk menghibur hati yang terbakar oleh api cinta Allah Swt.”
Saya mendengar Ahmad bin Au al-Wajihi mengatakan: Saya mendengar Abu Ali ar-Rudzabari —rahimahullah— yang mengatakan, “Bahwa Abu Abdillah al-Harits bin Asad al-Muhasibi pernah berkata: Ada tiga hal bila ditemukan maka akan menjadi hiburan, sementara saya telah kehilangan semuanya: (1) Suara yang indah dengan tetap berpegang teguh pada agama; (2) Wajah yang cantik dengan tetap menjaga diri; (3) Persaudaraan yang baik dengan penuh kesetiaan.”
Dari Bundar bin al-Husain —rahimahullah— yang mengatakan, “Suara yang bagus merupakan hikmah yang mengakibatkan kebijakan yang selamat. Suara yang merdu dan perkataan yang halus merupakan takdir dari Allah Swt. Yang Mahaagung lagi Mahatahu.”
Termasuk kelembutan yang Allah ciptakan pada keindahan suara adalah ketika seorang anak kecil menangis dalam buaian karena ada sesuatu yang dirasakan sakit, kemudian mendengar suara yang indah, maka ia akan berhenti menangis dan bisa tidur.
Suatu hal yang sudah cukup terkenal, bahwa orang-orang terdahulu mengobati orang yang sakit empedu dengan menggunakan suara yang indah. Dimana pada akhirnya si pasien bisa sehat kembali.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Di antara rahasia yang Allah ciptakan di dalam suara yang merdu dan indah akan memberi semangat baru. Coba Anda perhatikan unta yang melintasi gurun pasir, ketika telah lelah dan tidak mampu meneruskan perjalanannya, maka orang yang menggiringnya akan melantunkan senandung untuknya. Unta akan asyik mendengarkan lantunan senandungnya dengan memanjangkan lehernya dan memasang telinganya ke arah orang yang bersenandung, kemudian jalannya menjadi cepat sehingga barang-barang bawaannya bergoncang. Tapi barangkali nafasnya akan habis bila orang yang menggiring tidak melantunkan senandungnya lagi, setelah ia berjalan dengan cepat dan beban bawaannya cukup berat, dimana sebelumnya ia merasa ringan pada saat mendengar keindahan dan kemerduan suara orang yang menggiringnya.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah—juga mengatakan: Ketika ad-Duqqi di Damaskus ia pernah bercerita kepadaku tentang suatu kisah yang searti dengan hal di atas, dimana ia ditanya mengenai hal itu, maka ia bercerita: Ketika berada di gurun pasir aku mendatangi salah satu kabilah Arab, kemudian salah seorang dan mereka menyambutku dan mempersilakan masuk ke dalam sebuah kemah. Di dalam kemah aku melihat seorang budak hitam yang diikat dengan rantai, sementara di depan kemah kulihat beberapa ekor unta yang telah mati dan ada seekor unta kurus dan lunglai seperti mau mati. Maka si budak yang diikat oleh tuannya itu berkata kepadaku, “Pada malam ini Anda adalah tamu tuan saya. Sementara Anda adalah orang yang dihormatinya, maka tolonglah saya agar ia mau melepaskan saya dari ikatan ini, karena ia tidak mungkin menolak permintaan Anda
Ketika mereka menyuguhkan makanan kepadaku, maka aku tidak mau makan. Dan hal ini membuat temanku (tuan rumah) terasa sangat berat, lalu Ia bertanya kepadaku, “Mengapa Anda tidak mau makan?”
Maka aku menjawab, “Aku tidak akan makan makanan ini sebelum Anda mau memberitahu kepadaku tindak kejahatan budak ini dan melepaskan rantai yang mengikatnya.”
Ia pun menceritakan kasus kejahatannya, “Oh tuan yang mulia, sesungguhnya budak ini telah membuat saya miskin, menghancurkan semua harta saya dan membuat hidup saya dan keluarga saya sengsara.”
Kemudian aku bertanya kepadanya, “Apa yang telah ia lakukan?”
Ia menceritakannya, “Budak ini memiliki suara yang sangat indah, sementara hidup saya sangat bergantung pada punggung unta-unta ini. Ia telah memberi muatan yang sangat berat di atas punggung unta-unta ini, kemudian ia bersenandung dengan merdunya yang diperdengarkan untuk unta-unta ini sehingga mereka berjalan dengan cepat, dimana perjalanan yang semestinya ditempuh tiga hari hanya ditempuh semalam karena kemerduan suaranya yang disenandungkan untuk mereka. Namun begitu unta-unta ini telah sampai dari perjalanannya dan semua barang muatannya diturunkan, mereka langsung mati kecuali seekor unta ini yang keadaannya juga mengenaskan. Anda adalah tamu saya, dan demi menghormati Anda, maka ini saya berikan kepada Anda.”
Akhirnya ia melepaskan rantai yang mengikat budak hitam tersebut, dan kami juga makan makanan yang disuguhkannya. Ketika pagi hari aku ingin mendengarkan kemerduan suara budak hitam itu, kemudian aku memintanya agar ia memperdengarkan keindahan suaranya kepadaku seraya memerintahnya agar ia bersenandung untuk seekor unta yang masih hidup yang telah diberi minum dari air sumur yang ada di seberang sana. Kemudian ia berangkat dan mulai menggiring untanya dengan bersenandung. Ketika ia mengeraskan suaranya, maka unta ini pergi sehingga memutus tali kendalinya. Maka saya jatuh tersungkur ke tanah dan sama sekali tidak pernah mendengar suara sebagus suaranya. Kemudian tuan budak itu berteriak, “Wahai laki-laki, apa lagi yang Anda inginkan dari saya? Anda telah mencelakakan unta saya. Pergilah dar sini!” Ini sebagaimana yang diceritakan oleh ad-Duqqi atau searti dengan apa yang ia ceritakan. —Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Saya mendengar Ahmad bin Muhammad ath-Thili di Anthakiyah pernah mengatakan: Saya pernah mendengar Bisyr al-Hafi berkata: Saya bertanya kepada Ishaq bin Ibrahim al-Maushili, “Siapakah orang yang bagus suaranya dalam berlagu?” Ia menjawab, “Adalah orang yang memungkinkan nafasnya dan sanggup menahannya serta betul-betul memahami seluk-beluknya dengan teliti.”
Sumber : www.sufinews.com
No comments:
Post a Comment