Setiap Ayat Quran adalah Penghormatan dan Pengagungan atas Nabi Muhammad SAW
Ditranskrip oleh Dr. G. F. Haddad
“Tak ada satu ayat pun dalam Qur’an Suci melainkan pasti ia berisi penghormatan (ta’zim) dan penghargaan yang tinggi (tawqir) atas Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Se bagai contoh, ketika kita membaca : “Wa man ahsanu qawlan mimman da’aa ila-Allahi wa ‘amila saalihan wa qaala innanii mina l-muslimiin” “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerja kan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS 41:33). Ayat ini mengacu pada Nabi saw.Karena ialah (yang memiliki) pembicaraan terbaik dan petunjuk terbaik, dan ia pulalah Muslim pertama yang diciptakan (Allah) menurut sekelompok Ahl ul-Haqaiq (Shiddiqin).
Sebagai tambahan, Allah Ta’ala berfirman pula: “Inna akramakum ‘inda-Laahi atqaakum” “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS. 49:13) dan telah dimafhumi pula bahwa Nabilah Yang Paling Bertaqwa sebagaimana beliau (s) sendiri telah menjelaskan secara eksplisit dalam hadits beliau (s). Jadi, dari ini semua kita bisa pahami bahwa be liau-lah ciptaan terbaik di Hadirat Allah SWT. Ketika dalam hadits qudsi dinyatakan: “Wahai Anak-anak Adam, ketahuilah seandainya seluruh manusia di antara kalian dan seluruh jinn, dan seluruh malaikat berkumpul menjadi satu dengan kalbu dari manusia terbaik di antara kalian…”, kalbu itu adalah kalbu Nabi Muhammad (s).”“Artinya, sesuai dengan hal tersebut, maka setiap jama’ah atau majelis yang berkumpul untuk melantunkan salawat dan salam atas Nabi adalah pula suatu majelis Qur’aniy, karena mereka mendedikasikan majelisnya bagi ia yang dipuji dalam ayat demi ayat Quran Suci.”.
“Maqam Ihsan adalah maqam kedekatan kepada Nabi (s) menurut huruf dalam ayat Qur’an. Karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Inna rahmat Allahi qaribun min al-muhsinin”- "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. 7:56) tanpa meletakkan qaribun dalam bentuk femininnya (qariibatun) sekalipun rahmah adalah bentuk feminin (mu’annats), karena dalam hakikatnya rahma yang disebut itu adalah Nabi (s), sebagaimana secara eksplisit disebut dalam ayat: “wa ma arsalnaka illa rahmatan lill`alamin”- "Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahma bagi seluruh alam." (QS. 21:107)“Para Nabi dan Awliya’ (kekasih Allah) serta mu’min (orang beriman) tidaklah mati dengan cara seperti yang tertangkap oleh indera biasa, karena doktrin Ahl as-Sunna menyatakan bahwa ruh tidaklah hancur atau lenyap, melainkan berpindah menuju lain tempat dan memasuki suatu keadaan tak terlihat setelah sebelumnya dibusanai dengan keterlihatan selama masa hidupnya di muka bumi. Saat kematian, yang terjadi tidak lain adalah suatu perpin dahan dari wujud barzakhi yang satu ke bidang lain dari wujud barzakhi. Tidak pula ruh-ruh tersebut terkungkung dalam suatu daerah dari kubur atau makam mereka, melainkan sebagaimana Imam Malik berkata [dalam Muwatta’]: “Telah sampai (diriwayatkan) pada kami bahwa ruh-ruh Mu’min (orang-orang yang beriman) datang dan pergi dengan bebas.” Dan ini pun telah dikonfirmasi oleh huruf dan ayat dalam Qur’an Agung dalam ayat: “farawhun wa rayhanun wa jannatu na`im” (QS. 56:89) [yaitu “maka dia memperoleh rezki serta surga kenikmatan.”] karena akar kata dari rawh yaitu rawaha berarti untuk melakukan perjalanan dan untuk pergi.”“Nabi saw suatu saat pernah terlihat oleh seorang awliya’ di atap Al-Azhar di Mesir. Sang wali berkata pada beliau : “Mereka mengatakan bahwa Anda telah mati.” Nabi (s) menjawab: “Semua dapat melihat diriku dan berbicara padaku kecuali mereka yang terhijab.”
Dan para awliya’ melihat, berbicara dengan, mendengar, dan mencium bau Nabi saw. Artinya, adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Nabi (s) telah wafat, namun yang lebih tepat adalah kita katakan bahwa beliau telah meninggalkan keadaan terlihat, beliau telah terhijab dari diri kita.”Tak Satupun Tersembunyi dari Nabi saw“Lebih jauh, Nabi saw memiliki ilmu atas apa pun yang ada dan mengetahui alam semesta yang tercipta ini dengan cara yang sama seperti seseorang mengetahui seluk beluk kamar di mana ia duduk di dalamnya. Tak ada yang tersembunyi bagi beliau (s). Ada dua ayat Qur’an Suci yang menegaskan hal ini, yang pertama adalah “Fa kayfa idzaa ji’na min kulli ummatin bi-syahiidin wa ji’na bika ‘alaa haa-ulaa-i syahiidan” “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-ti ap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS 4:41) dan yang lain adalah “Wa kadzaalika ja’alnaakum ummatan wasathan litakuunuu syuhadaa’ ‘alan-Naasi wa yakuuna ar-Rasuulu ‘alaykum syahiidan” “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu“ (QS 2:143) tak mungkin pula Nabi dipanggil sebagai seorang saksi atas apa yang tidak ia ketahui atau tidak ia lihat. Kami telah sebutkan di sini ayat-ayat Quran dan bukannya hadits, bahwa ‘amal dan perbuatan Ummat ditunjukkan kepada Nabi karena ada segelintir orang yang menolak kenyataan ini. Dan bahkan mereka menolak ayat-ayat ini pula. Dan ini adalah karena kebodohan (Jahl) mereka akan Qur’an dan kebodohan (Jahl) mereka akan Sunnah, dan disebabkan oleh kejahilan mereka akan Allah Ta’ala dan Nabi-Nya .
No comments:
Post a Comment