1.Imam Abu Hanifah (w. 150H)
Ibnu Abidin meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Kalau bukan karena dua tahun, maka celakalah aku.” Beliau menjelaskan:
Selama dua tahun beliau menyertai Sayidina Ja`far al-Shâdiq dan dia mendapatkan pengetahuan spiritual yang menjadikannya sebagai seorang sufî … Abu Ali Daqqâq (yaitu guru sufinya Imam Qusyayrî) mendapatkan tarekatnya dari Abu al-Qâsim al-Nashirabadi dari al-Syibli dari Sârî al-Saqathi dari Ma`rûf al-Karkhi dari Dawud al-Thâ’i, yang menerima pengetahuan ini, baik yang lahir atau yang batin, dari Imam Abu Hanîfah.
2.Imam Malik (w. 179H)
Dia adalah ulama Madinah yang dikenal karena kesalehannya dan kecintaannya kepada Nabi saw. begitu dalam. Beliau memperlakukan Nabi saw. sedemikian hormat dan takzim sehingga ia tidak mau menaiki kudanya di dalam batas-batas kota Madinah untuk menghormati bumi yang menutupi jasad Nabi saw., juga beliau tidak mau meriwayatkan suatu hadis tanpa terlebih dahulu mengambil air wudu. Ibn al-Jauzi menceriterakan:
Abu Mus`ab berkata: “Saya masuk untuk bertemu dengan Malik Ibn Anas. Beliau berkata kepada saya, ‘Tengok ke bawah tempat salat atau sajadah saya dan lihatlah apa yang ada di sana.” Saya melihatnya dan menemukan suatu tulisan. Beliau berkata, “Bacalah.” (Saya melihat bahwa) tulisan itu berisi (suatu ceritera dari) suatu mimpi yang dilihat oleh salah satu saudaranya dan menarik perhatiannya. Ia mengatakan (sambil membaca apa yang tertulis), ‘Saya melihat Nabi saw. dalam tidur. Beliau sedang berada di dalam mesjid dan orang-orang berkumpul di sekeliling beliau, dan beliau kemudian bersabda, “Aku menyembunyikan sesuatu yang berguna—atau pengetahuan—untuk kamu di bawah mimbarku, dan aku telah memerintahkan Malik untuk membagi-bagikannya kepada orang-orang.’” Kemudian Malik menangis, maka saya pun bangkit dan meninggalkannya.”
Imam Malik secara tersurat memasukkan tasawuf sebagai salah satu tugas dari ulama dalam pernyataannya berikut:
Orang yang mengamalkan tasawuf tanpa mempelajari fikih, ia merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf ia merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang menemukan kebenaran (man tashawwafa wa lam yatafaqqah fa qad tazandaqa waman tafaqqaha wa lam yatashawwaf faqad tafassaqa wa man jama`a baina humâ fa qad tahaqqaqa).
Hal ini diceriterakan oleh muhadis Ahmad Zarruq (w. 899H), hafiz Ali al-Qârî al-Hawari (w. 1014H), muhadis Ali Ibn Ahmad al-Adawi (w. 1224H). dan yang lainnya.12 Ibn `Ajiba menjelaskan:
Syekh Ahmad Zarruq berkata, “Tasawuf memiliki lebih dari dua ratus pengertian, yang semuanya menunjuk pada kesungguhan seseorang dalam menghadap kepada Allah… Setiap pengertian berhubungan dengan suasana hatinya dan keluasan serta kedalaman pengalaman, pengetahuan, dan perasaannya. Atas hal-hal inilah ia mendasarkan pengertiannya bahwa, “Tasawuf itu adalah begini dan begitu.”
Hal ini berarti bahwa setiap orang di antara kaum saleh yang disebutkan [dalam Hilyat al-auliyâ’ karya Abu Nuaim] yang bertekun-diri secara tulus (shidq al-tawajjuh) mereka turut serta dalam tasawuf, dan setiap tasawuf seseorang tercapai karena shidq al-tawajjuh-nya. Lazimnya, shidq al-tawajjuh merupakan sebuah tuntutan agama karena ia membentuk sikap dan perilaku yang diterima Allah. Sikap dan perilaku tidaklah absah apabila shidq al-tawajjuh-nya tidak benar. “Dan Allah tidaklah menyukai kekufuran pada hambanya, tapi apabila kalian bersyukur, Ia akan menyukai syukur pada kalian tersebut” (Q.S. al-Zumar [39]: 7)
Oleh karena itulah, Islam mengharuskan adanya perbuatan, dan tidak ada penyucian diri (tasawuf) tanpa ilmu fikih, karena aturan-aturan Allah yang bersifat lahiriah tidak dapat dikenali kecuali melalui ilmu fikih; dan tidak ada ilmu fikih tanpa penyucian diri, karena tidak ada perbuatan tanpa ketulusan dalam bertekun-diri, dan tidak ada tasawuf atau pun ilmu fikih tanpa iman.
Dengan demikian, hukum Tuhan menuntut semuanya itu secara pasti, sebagaimana tubuh dan roh saling mengharuskan keberadaan satu sama lainnya, karena seseorang tidak dapat berada secara sempurna di dunia kecuali dalam hubungannya dengan yang lain. Itulah makna dari perkataan Imam Malik, “Orang yang mengamalkan tasawuf tanpa mempelajari fikih …”
3. Imam Syâfi’î (w. 204H)
Al-hâfiz al-Suyuti menceriterakan di dalam Ta’yîd al-haqîqat al-âliyah bahwa Imam Syafi`i mengatakan:
Saya menyertai para sufi dan memperoleh tiga hal saja dari mereka, yakni pernyataan: pertama, waktu adalah pedang, kalau bukan kamu yang mematahkannya, maka ia yang akan mematahkanmu; kedua, apabila kamu tidak terus menyibukkan egomu dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kepalsuan; ketiga, penghilangan adalah kekebalan.
Muhaddis al-Ajluni juga menceriterakan bahwa Imam Syafi`i mengatakan:
Tiga hal di dunia ini yang saya sukai: menghindari kepura-puraan, memperlakukan manusia dengan baik, dan mengikuti jalan tasawuf.
4.Imam Ahmad Ibn Hanbal (w. 241H)
Muhammad Ibn Ahmad al-Saffârini al-Hanbali (w. 1188H) menceriterakan dari Ibrahim Ibn ‘Abd Allah al-Qalasani bahwa Imam Ahmad mengatakan tentang kaum sufi. “Saya tidak mengetahui kaum yang lebih baik dari mereka.” Seseorang berkata kepadanya, “Mereka mendengarkan musik dan mereka sampai pada keadaan mabuk.” Beliau berkata, “Apakah kamu hendak mencegah mereka untuk bersenang-senang selama sejam bersama Allah?”
Kekaguman Imam Ahmad terhadap kaum sufi didukung oleh keterangan-keterangan tentang katakzimannya terhadap al-Harits al-Muhâsibi. Meskipun demikian, beliau memeringatkan tentang sulitnya jalan sufi ini untuk mereka yang tidak dipersiapkan untuk mengikutinya. Barangkali tidak setiap orang mampu mengikuti jalan orang-orang yang tentang mereka Allah telah memerintahkan Nabi-Nya, “Dan tetaplah engkau bersabar bersama orang-orang yang selalu menyeru Tuhan-Nya baik di pagi hari atau pun petang sambil mengharap keridhaan-Nya . . . ” (Q.S. al-Kahfi [18]: 28).
Sumber : Tasawuf dan ihsan ; Syeh Muhammad Hisyam Kabbani
No comments:
Post a Comment