Friday, September 20, 2013

Selamat Jalan Habib

Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Bunga itu mekar dan gugur. Bintang berpendar dan nantinya hancur. Bumi, mentari, bimasakti, bahkan semesta ini akan tiba hari kala mereka mati. Hidup seorang manusia jika dibandingkan pada itu semua, tak lebih dari satu kedipan mata (QS ar-Rahman, 55: 26).

Dalam serba fana ini, manusia lahir, tertawa, menitikkan air mata, berjuang, terluka, merasa bahagia, menyesak duka, membenci dan mencinta. Kesemuanya itu sungguh singkat.

Dan akhirnya, dia jatuh pada tidur panjang dan dalam yang disebut dengan kematian. Dan kematian bukanlah suatu kesimpulan. Ia hanya sebuah perpindahan. Pintu memasuki hidup di atas hidup.

Hidup yang sesaat namun teramat beresiko ini, pasti akan ada akhirnya. Dan kita nanti akan hidup selama-lamanya; tidak satu abad, tidak pula dua abad; akan tetapi berabad-abad lamanya dan tidak akan ada ujungnya. Kapan? Nanti saat kita semua memulainya melalui pintu kematian.

Kematian adalah akhir kehidupan dunia, namun awal bagi kehidupan akhirat. Bagaimana keadaan kita di akhirat, adalah bagaimana keadaan kita saat di dunia.

Jika sejarah dunia tertulis dengan tinta kebaikan, maka kebaikan itu akan terekam dalam lembar yang sangat indah. Namun jika lembaran dunia banyak memoles keburukan amal, maka akan sangat legam dan hitamlah kehidupan akhiratnya. Na’udzubiLlah.

Sahabatku tercinta, masih membekas duka mendalam di hati imaniyah kita; guru kita yang shaleh, ad-Da’i ila Allah wa Rasuulih, al-Mujahid fi sabilih, telah berpulang ke Haribaan-Nya; al-Habib Munzhir bin Fuad al-Musawa (40).

Peristiwa wafatnya beliau yang terlalu pagi ini dan tentu dengan semua hamba Allah yang mendiami planet bumi-Nya ini yang telah berpulang lebih awal, seharusnya menjadi nasehat berharga buat kita yang masih hidup. Rasul berpesan melalui Amar bin Yasir r.a, “Kafaa bil mauti maw’izhotan, cukuplah kematian menjadi nasehat dan peringatan.”

Jika hari ini kita mendoakan beliau yang telah wafat. Boleh jadi, besok giliran kita yang akan didoakan. Karena kita semua pasti akan seperti beliau.

Bukankah, semua makhluk yang bernyawa sudah divonis mati oleh Allah. Kullu nafsin dzaa iqatul maut, [QS. Ali Imran [3] ; 19] demikian Allah Azza wa Jalla tegaskan.

Berarti saat ini sebenarnya kita sedang menantikan vonis kematian. Kita sejatinya sedang mengantri menuju gerbang kematian.

Karena kita sudah divonis mati oleh Allah, menjadi tidak penting di mana kita mati dan kapan kita mati; tapi lebih dari segalanya, menjawab dan mempersiapkan diri dalam kondisi apa kita mati. Teramat besar harapan kita, kelak saat kita dipanggil untuk segera pulang ke hariabaan-Nya,

Wafatnya kita seperti beliau, wafat dalam keadaan terbaik; membawa iman, dalam keadaan sedang menikmati lezatnya taat di jalan Allah, berserah diri dalam Islam, bersih-suci lahir dan batin, dan dalam keadaan lisan kita berakhir dengan kalimat tauhid; Laa ilaaha illa Allah! Wafat dalam keadaan husnul khootimah.

“Ya Allah, perkenankan kepada kami bertaubat sebelum kami wafat, kami dapat rahmat-Mu di detik-detik kematian kami, dan kami pun dapat ampunan-Mu setelah kami wafat. Ringankan semua kami menghadapi goncangan sakaratul maut. Kelak jadikan kubur kami, terkhusus kubur dari guru kami al-Habib Munzhir bin Fuad al-Musawa, sebagai miniatur surga-Mu, catat nama beliau sebagai penghuni surga-Mu. Dan kelak Engkau pertemukan kami di taman indah surga-Mu. Aamiin!”

Sumber : Republika.co.id

Monday, September 9, 2013

Abuya K.H. Saifuddin Amsir : Di Balik Senandung Maulid

Yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna.

Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid de­ngan suara-suara nan syahdu dan senan­dung yang acap menggetarkan hati.

Ada apa di balik senandung kitab-ki­tab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senan­dung Maulid tersebut?

Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang di­sampaikannya kepada para pembaca se­tia alKisah.

Makna sebagai Tujuan

Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensi­nya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak di­se­nandungkan? Jadi, yang jadi tujuan uta­manya tetap maknanya. Senandung ha­nyalah bagian sekunder yang menye­babkan bacaan itu jadi terasa lebih ber­makna, agar penyampaiannya diharap­kan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki se­macam dorongan yang lebih dari baca­an yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya ka­rena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.

Ini bukan cerita yang tidak pernah ter­jadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di ka­langan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehi­langan kesadaran, tenggelam dalam mak­na-makna kalimat yang tengah di­senandungkan.

Saya juga pernah melihat peman­dang­an serupa saat di Suriah, ketika da­lam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke te­ngah-tengah dan berputar. Apa yang di­lakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terka­dang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan sema­cam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ke­tidaksadaran orang tersebut. Jadi, me­reka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.

Disemarakkan oleh Muhadditsin

Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, be­rita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang di­anggap oleh sebagian ahli hadits lebih ba­nyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk da­lam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).

Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari se­kadar gambaran berita-berita itu sen­diri. Gambaran-gambaran itu pun belum ten­tu mustahil. Sebagian berita itu mung­kin diceritakan dengan sanad yang di­per­tanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.

Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa ter­hadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah kare­na merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Mu­hammad. Sayalah yang menjadi bi­dannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bin­tang yang datang mendekat.” Ini kan gam­baran yang sangat spektakuler hing­ga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.

Sekarang kita melihat, misalnya di Sun­da Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, ba­nyak yang seperti ini, yaitu ketika sese­orang pun tak kuasa menolak berita-be­rita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.

Tapi kemudian, memang harus di­seimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.

Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Ban­tani sampai memerlukan diri untuk me­nuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri nota­bene seorang muhaddits.

Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bah­kan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.

Tampak dalam karyanya itu ia se­orang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menun­jukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.

Tapi, tak urung, di dalam kitabnya ter­dapat hadits-hadits yang menjadi perta­nyaan dan terus disorot oleh sebagian pi­hak. Itu sebabnya tadi saya katakan, to­koh semacam Syaikh Ali Jabir, yang ka­rena lahir dan besar di Arab Saudi, se­bagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang me­nolak berita-berita yang dianggap berle­bihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasul­ullah SAW terlahir dalam keadaan ber­sujud.

Kasus Al-Albani

Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja semen­tara orang mengkritisinya, tapi selayak­nya hanya sampai pada batas melemah­kan. Kalau sampai pada batas meniada­kan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?

Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya ter­hadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu ter­sebut mereka sebutkan lemah periwa­yatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.

Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, ke­maju­an itu tidak mendudukkan arti ke­majuan itu pada posisinya yang benar. Orang se­lalu dituntut secara aqidah for­mal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diber­lakukan dalam konteks hukum atau aqi­dah, bukan pada riwayat sema­cam ini. Ka­rena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.

Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang se­seorang wajib mempercayainya, atau se­seorang yang tidak mempercayainya te­lah kufur. Tidak demikian ulama me­man­dangnya. Jadi memang tidak perlu di­tun­tut sejauh itu, misalnya tentang sa­nadnya, keshahihannya, dan sebagai­nya.

Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani me­ngo­reksi hadits Al-Bukhari sebagai se­suatu yang menurutnya boleh jadi me­nanggung ke­tidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan di­klaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab da­lam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagai­kan samudera yang tak bertepi.

Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini le­mah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sa­ngat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber dari­nya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ri­buan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkon­sistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk ber­debat secara terbuka dalam ilmu ha­dits, sesuatu yang semua orang tahu bah­wa Al-Albani tidak pernah mau melayani­nya.

Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah pro­fesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mung­kin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits ter­hadap sikap over Al-Albani saat mengkri­tisi hadits, dengan kesiapan perangkat ke­ilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.

Kekuasaan Allah Semata

Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar isti­lah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sen­diri sebenarnya baru pernah mende­ngar istilah itu. Kemudian orang-orang se­macam ini tampak lebih muncul di permu­kaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk men­dalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepe­mimpinan Bapak Saiful Hamid, saya me­lihat orang-orang yang rata-rata sebe­lumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan mem­baca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-mak­na yang tertulis dalam buku itu, mereka men­jadi kehilangan rasa untuk memper­soalkan ihwal haditsnya, karena hati me­reka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.

Kalau dikatakan Nabi lahir dalam ke­adaan bersujud, kenapa ini jadi perta­nya­an besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat ke­luarnya air seni), sekarang pun itu bu­kan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuk­tikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?

Ternyata, untuk dunia medis zaman se­karang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di da­lam ginjal hanya dengan cahaya sinar ter­tentu yang disorot dari luar tubuh sese­orang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak ter­tentu, yang semuanya itu diatur oleh ta­ngan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?

Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus di­per­hatikan bahwa ini tidak tepat untuk di­ang­gap sebagai tema-tema kebohongan da­lam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi ka­mu­flase atau pemalsuan yang berdam­pak bahwa suatu ketika Islam bisa men­jadi kehilangan identitasnya, karena me­minggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.

Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin ka­rena semakin banyak tekanan yang da­tang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang me­mandang dengan penuh ketidak­suka­an terhadap perhelatan-perhelatan Mau­lid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin me­nyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY

Sumber : Majalah Al Kisah