Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
Termasuk perilaku yang harus dilakukan murid, hendaknya berusaha menipu daya bisikan-bisikan nafsunya,
memperbaiki akhlaknya, menghilangkan kelalaian (ghaflah) dengan Allah dan hatinya dengan cara selalu membiasakan berdzikir (mengingatNya). Ini bisa dilakukan dengan cara memperbanyak bacaan al-Qur’an dan shalat. Maka seorang murid yang benar-benar jujur tidak akan berpaling darinya, sebab al-Qur’an merupakan dzikir yang sempurna, dan demikian pula shalat.
Maka tugas utama seorang murid adalah membersihkan bagian lahir dan batin dari sifat-sifat yang menghalanginya untuk masuk ke hadirat Allah Azza wa-Jalla, seperti marah, tinggi hati, takabur, bangga dengan dirinya dan lain-lain. Apabila seorang murid telah membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela seperti itu, maka ia patut untuk membaca al-Qur’an, bermunajat dan berhadapan dengan Tuhannya, berhenti di depan-Nya untuk shalat dan lain-lain. Inilah yang dilakukan para salaf saleh.
BERDZIKIR KEPADA ALLAH MENYINARKAN HATI
SAYA pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi berkata:
“Para guru tarekat sufi sudah tidak mampu lagi menemukan obat yang lebih cepat menyinarkan hati sang murid selain melanggengkan dzikir kepada Allah Azza wa-Jalla. Maka orang yang selalu berdzikir kepada Allah ibarat orang yang memengkilapkan tembaga yang berkarat dengan pasir, sementara orang yang melakukan ibadah tapi tidak selalu berdzikir kepada Allah ibarat orang yang memengkilapkan tembaga dengan sabun. Orang ini sekalipun berusaha memengkilapkan tembaga yang berkarat dengan sabun, tapi ia butuh waktu yang cukup lama dan itu pun tidak bisa mengkilap seperti tembaga yang digosok dengan pasir atau debu.”
Diantara perilaku seorang murid apabila ia tinggal di zawiyah (pemondokan) atau di tengah keramaian pasar hendaknya yang dijadikan modal utama adalah sanggup bersabar dengan penuh lapang dada dan memaafkan semua orang yang datang kepadanya dengan membawa apa yang tidak disuka. Ia juga harus sanggup menerima dengan senang hati, rela dan pasrah terhadap apa yang dibawa orang-orang yang tinggal di pemondokan atau mereka yang tinggal di tengah keramaian pasar. Kalau tidak, maka dengan cara bersabar. Kalau tidak sanggup bersabar atas tindakan kasar saudara-saudaranya dan masyarakat sekitarnya maka tidak pantas masuk ke dalam tarekat kaum sufi, dan sebaiknya keluar menuju ke kalangan orang-orang awam dan meninggalkan tarekat kaum sufi.
Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi bercerita:
AbuYazid al-Bisthami tidak mau tinggal di suatu tempat kecuali bila orang-orang yang ada di sekitarnya mengingkari, selalu menyakiti dan meremehkannya. Ini dia lakukan untuk melatih diri (nafsu)nya. Ketika orang-orang di sekitarnya sudah mulai menghormati dan banyak berterima kasih kepadanya, dia akan segera rneninggalkan mereka. Barangkali ini dilakukan pada tahap awal dia masuk ke kalangan kaum Sufi.
Apabila seorang murid di negerinya tidak menemukan seorang guru yang bisa mendidiknya maka hendaknya pindah ke orang yang sudah dianggap bisa memberikan petunjuk kepada para murid pada saat itu, sekalipun jarak antara dia dengan tempat guru tersebut memerlukan waktu setahun atau lebih (barangkali perjalanan kaki; Pent.). Terutama apabila ia diuji dengan mencintai harta, perempuan atau jabatan, maka ia harus hijrah meninggalkan tempat tersebut untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Sebab segala sesuatu yang dijadikan sarana untuk mendapatkan sesuatu yang wajib maka sarana tersebut akan menjadi wajib.
APAKAH SEORANG MURID HARUS MENJADIKAN GURU LAIN SETELAH GURU PERTAMANYA WAFAT?
DIANTARA kewajiban seorang murid apabila gurunya telah wafat maka ia harus menjadikan guru lain yang menggantikan posisi guru pertamanya dalam mendidik dan merawat apa yang telah dilakukan oleh guru pertamanya. Sebab tarekat tidak akan bisa kokoh.
Ketika Syekh Muhammad as-Surawi, guru dari guruku, Syekh Muhammad asy-Syanawi wafat, dimana gurunya telah mengizinkan untuk men-talqin dan membina para murid, maka Muhammad asy-Syanawi berkumpul dengan Tuan Guru Ali al-Murshifi dan menerima bimbingan dzikir darinya, dimana Tuan Guru Ali al-Murshifi mengatakan kepadanya: “Engkau —syukur alhamduliLlah— telah sampai pada tingkatan para tokoh sufi, maka engkau tidak perlu untuk di-talqin dzikir.” Lalu ia menjawab, “Saya tidak ingin diam sesaat tanpa bimbingan seorang guru, sekalipun saya termasuk orang yang telah mendapatkan bimbingan dzikir darinya dan mendapatkan izin untuk membimbing para murid.”
Kemudian sang guru berkata, ‘Wahai anakku, engkau akan mendapatkan bimbingan dzikir lagi dari gurunya gurumu, agar engkau dan gurumu sama-sama murid dari Tuan Guru Ali.”
Kasus seperti ini hanya boleh terjadi pada orang-orang yang benar-benar jujur dalam tarekat. Adapun orang yang bukan kelompok orang-orang yang benar-benar jujur maka dirinya tidak akan mengizinkan untuk mendapatkan bimbingan dzikir dari guru lain setelah mereka mendapatkan izin untuk membimbing dzikir dan membina para murid. Hal itu dianggap sebagai tanda-tanda tidak mendapatkan pertolongan, dan merupakan tanda pertama kali bahwa gurunya telah berkhianat dalam memberi izin. Sebab orang fakir sufi yang secara sah telah memberi izin maka ia tidak punya ambisi, dimana ia sudah membina dan mendidik para murid, sementara ia menganggap dirinya bukan dari bagian mereka.
Sumber: Sufinews.com
Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Thursday, May 23, 2013
Saturday, May 18, 2013
Sunan Bonang dengan Santrinya
Kisah Hikmah untuk memahami syukur nikmat dari Allah
Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."
"Mengapa guru?" tanya santri heran.
"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman."
"Apa saya jorok?"
"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.
Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik :
"Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?"
Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"
"Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit."
"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"
"Tidak."
"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"
"Karena kamu memang bodoh."
"Maksud Guru?"
"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya."
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."
"Mengapa guru?" tanya santri heran.
"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman."
"Apa saya jorok?"
"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.
Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik :
"Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?"
Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"
"Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit."
"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"
"Tidak."
"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"
"Karena kamu memang bodoh."
"Maksud Guru?"
"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya."
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.
Labels:
Intermezzo Sufi
Akal, Nafs Dan Hawa
Mutiara Hikmah Kitab : Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn
Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf, 50:37)Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan…” (QS Yusuf, 12:53)
Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq dan hati yang takut.”
Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga memberi nafs angan-angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ). Sebagaimana Allah memberi hati harapan (rojâ`), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth). Perhatikan dan renungkan kata-kataku ini.
Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.
Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang jahat merasakan kenikmatan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula halnya dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”
Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.
Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan oleh nafs dan hawâ. Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di mana pun berada, hawâ akan selalu merusak.
Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ akan merendahkan dan menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawâ mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?
Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena hawâ mempunyai tingkat setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!
Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam.
Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.
(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)
Catatan:Hawâ adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawâ. Oleh karena itu, jauhilah hawâ dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab, hawâ akan menodai agama dan murûah-mu. Jika kamu perhatikan dan beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu dapati bahwa hawâ-lah yang menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawâ merupakan sumber kebatilan dan kesesatan. Hawâ bak minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu dan akan hilang akal sehatnya.
Murûah: usaha seseorang untuk melaksanakan semua hal yang dianggap baik dan menjauhi semua hal yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf, 50:37)Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan…” (QS Yusuf, 12:53)
Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq dan hati yang takut.”
Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga memberi nafs angan-angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ). Sebagaimana Allah memberi hati harapan (rojâ`), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth). Perhatikan dan renungkan kata-kataku ini.
Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.
Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang jahat merasakan kenikmatan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula halnya dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”
Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.
Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan oleh nafs dan hawâ. Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di mana pun berada, hawâ akan selalu merusak.
Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ akan merendahkan dan menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawâ mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?
Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena hawâ mempunyai tingkat setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!
Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam.
Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.
(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)
Catatan:Hawâ adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawâ. Oleh karena itu, jauhilah hawâ dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab, hawâ akan menodai agama dan murûah-mu. Jika kamu perhatikan dan beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu dapati bahwa hawâ-lah yang menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawâ merupakan sumber kebatilan dan kesesatan. Hawâ bak minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu dan akan hilang akal sehatnya.
Murûah: usaha seseorang untuk melaksanakan semua hal yang dianggap baik dan menjauhi semua hal yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Saturday, May 11, 2013
Mencium Tangan Orang Yang Dihormati
Banyak orang yang mudah mengatakan bahwa sesuatu itu bid‘ah, tak ada dasarnya, dan sebagainya, tanpa memeriksanya dengan seksama.
Di antaranya dalam masalah mencium tangan.
Banyak hadits yang menyebutkan masalah mencium tangan. Di antaranya dari Sayyidina Jabir disebutkan bahwa Sayyidina Umar mencium tangan Rasulullah. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Al-Muqri Al-Ashbihani. Sedangkan dalam riwayat dari Ummu Aban binti Al-Wari‘ bin Zari‘ dari kakeknya, Zari‘, disebutkan bahwa kakeknya itu, yang suatu ketika berada dalam rombongan Abdul Qais, mengatakan, “Ketika datang ke Madinah, kami segera beranjak dari kendaraan-kendaraan kami lalu mencium tangan dan kaki Nabi SAW.” Hadits ini disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dalam At-Tarikh Al-Kabir. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Ath-Thabarani, dan Ahmad.
Ibnu Jad‘an meriwayatkan bahwa Tsabit bertanya kepada Anas, “Apakah engkau pernah memegang Nabi SAW dengan tanganmu?”
Anas menjawab, “Ya.”
Maka Tsabit pun mencium tangannya.
Di dalam kitab Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, disebutkan bahwa Abu Lubabah, Ka‘ab bin Malik, dan dua orang sahabat Ka‘ab mencium tangan Nabi SAW setelah Allah menerima taubat mereka.
Dalam sebuah keterangan, Shuhaib mengatakan, “Aku melihat Ali mencium tangan dan kaki Al-Abbas.” Demikian disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dalam keterangan mengenai penaklukan Baitul Maqdis oleh Umar bin Al-Khaththab, mengatakan, “Ketika sampai di Syam, Umar disambut oleh Abu Ubaidah dan para pembesar, seperti Khalid bin Al-Walid. Abu Ubaidah dan Umar berjalan saling mendekat. Abu Ubaidah ingin mencium tangan Umar sedangkan Umar ingin mencium kaki Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menolak, maka Umar pun menolak.”
Para tokoh ulama dari berbagai madzhab pun menjelaskan bolehnya mencium tangan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Fath Al-Bari, menyebutkan bahwa Al-Imam An-Nawawi mengatakan, “Mencium tangan seseorang karena kezuhudannya, keshalihannya, ilmunya, kemuliaannya, atau alasan-alasan keagamaan lainnya, adalah sesuatu yang tidak makruh, bahkan disunnahkan. Tetapi jika mencium tangan seseorang karena memandang kekayaannya, kekuasaannya, atau kedudukannya di kalangan ahli dunia, itu perbuatan yang sangat dibenci.”
Al-Allamah Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Dan disunnahkan mencium tangan karena alasan keshalihan dan alasan-alasaan keagamaan lainnya, seperti ilmu dan kezuhudan. Tetapi perbuatan mencium tangan itu dibenci apabila karena kekayaan dan alasan-alasan keduniaan yang lain, seperti kekuasaan atau kedudukan.”
Bukan hanya para ulama Madzhab Syafi‘i yang berpendapat demikian. Para ulama dari madzhab-madzhab lain juga menegaskan hal yang sama. Ibnu ‘Abidin, salah seorang pemuka Madzhab Hanafi, mengatakan dalam Hasyiyah-nya, “Tak apa-apa mencium tangan seorang alim yang wara‘ untuk mendapatkan keberkahan, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu sunnah.” Al-Allamah Ath-Thahawi, pemuka Madzhab Hanafi, pun mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil (karena keadilannya, bukan karena kekuasaannya) adalah dibolehkan.” Kemudian ia mengatakan, “Kesimpulan dari apa yang kami sebutkan adalah bahwa mencium tangan itu sesuatu yang dibolehkan.” Az-Zaila‘i dalam kitabnya, Tabyin Al-Haqaiq, mengatakan, “Dalam Al-Jami‘ Ash-Shaghir dikatakan: Asy-Syaikh Al-Imam As-Sarkhasi dan sebagian ulama mutaakhirin membolehkan mencium tangan seorang alim atau seorang yang wara‘ dengan maksud mendapatkan keberkahan.” Sedangkan Ats-Tsauri mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil adalah sunnah.”
Al-Allamah As-Sifaraini, tokoh ulama Madzhab Hanbali, mengatakan dalam kitabnya, Ghidza’ Al-Albab, bahwa Al-Marwadzi menyebutkan, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad bin Hanbal) mengenai mencium tangan. Beliau menjawab, ‘Jika itu dilakukan karena alasan agama, tidak apa-apa. Tetapi bila karena alasan dunia, tidak dibolehkan.”
As-Sifaraini juga mengatakan, “Al-Hafizh Ibn Al-Jauzi menjelaskan, ‘Sepatutnya seorang penuntut ilmu sangat tawadhu’ kepada seorang alim dan merendahkan diri kepadanya, dan di antara ketawadhu’an itu adalah mencium tangan. Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin `Iyadh mencium Al-Husain bin Ali Al-Ja`fi; salah satu dari keduanya mencium tangannya dan yang lain mencium kakinya.”
Dari hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan, mencium tangan karena alasan-alasan agama adalah dibolehkan, sedangkan mencium tangan karena alasan dunia tidak dibolehkan.
Sumber: Majalah Al Kisah
Di antaranya dalam masalah mencium tangan.
Banyak hadits yang menyebutkan masalah mencium tangan. Di antaranya dari Sayyidina Jabir disebutkan bahwa Sayyidina Umar mencium tangan Rasulullah. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Al-Muqri Al-Ashbihani. Sedangkan dalam riwayat dari Ummu Aban binti Al-Wari‘ bin Zari‘ dari kakeknya, Zari‘, disebutkan bahwa kakeknya itu, yang suatu ketika berada dalam rombongan Abdul Qais, mengatakan, “Ketika datang ke Madinah, kami segera beranjak dari kendaraan-kendaraan kami lalu mencium tangan dan kaki Nabi SAW.” Hadits ini disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dalam At-Tarikh Al-Kabir. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Ath-Thabarani, dan Ahmad.
Ibnu Jad‘an meriwayatkan bahwa Tsabit bertanya kepada Anas, “Apakah engkau pernah memegang Nabi SAW dengan tanganmu?”
Anas menjawab, “Ya.”
Maka Tsabit pun mencium tangannya.
Di dalam kitab Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, disebutkan bahwa Abu Lubabah, Ka‘ab bin Malik, dan dua orang sahabat Ka‘ab mencium tangan Nabi SAW setelah Allah menerima taubat mereka.
Dalam sebuah keterangan, Shuhaib mengatakan, “Aku melihat Ali mencium tangan dan kaki Al-Abbas.” Demikian disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dalam keterangan mengenai penaklukan Baitul Maqdis oleh Umar bin Al-Khaththab, mengatakan, “Ketika sampai di Syam, Umar disambut oleh Abu Ubaidah dan para pembesar, seperti Khalid bin Al-Walid. Abu Ubaidah dan Umar berjalan saling mendekat. Abu Ubaidah ingin mencium tangan Umar sedangkan Umar ingin mencium kaki Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menolak, maka Umar pun menolak.”
Para tokoh ulama dari berbagai madzhab pun menjelaskan bolehnya mencium tangan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Fath Al-Bari, menyebutkan bahwa Al-Imam An-Nawawi mengatakan, “Mencium tangan seseorang karena kezuhudannya, keshalihannya, ilmunya, kemuliaannya, atau alasan-alasan keagamaan lainnya, adalah sesuatu yang tidak makruh, bahkan disunnahkan. Tetapi jika mencium tangan seseorang karena memandang kekayaannya, kekuasaannya, atau kedudukannya di kalangan ahli dunia, itu perbuatan yang sangat dibenci.”
Al-Allamah Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Dan disunnahkan mencium tangan karena alasan keshalihan dan alasan-alasaan keagamaan lainnya, seperti ilmu dan kezuhudan. Tetapi perbuatan mencium tangan itu dibenci apabila karena kekayaan dan alasan-alasan keduniaan yang lain, seperti kekuasaan atau kedudukan.”
Bukan hanya para ulama Madzhab Syafi‘i yang berpendapat demikian. Para ulama dari madzhab-madzhab lain juga menegaskan hal yang sama. Ibnu ‘Abidin, salah seorang pemuka Madzhab Hanafi, mengatakan dalam Hasyiyah-nya, “Tak apa-apa mencium tangan seorang alim yang wara‘ untuk mendapatkan keberkahan, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu sunnah.” Al-Allamah Ath-Thahawi, pemuka Madzhab Hanafi, pun mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil (karena keadilannya, bukan karena kekuasaannya) adalah dibolehkan.” Kemudian ia mengatakan, “Kesimpulan dari apa yang kami sebutkan adalah bahwa mencium tangan itu sesuatu yang dibolehkan.” Az-Zaila‘i dalam kitabnya, Tabyin Al-Haqaiq, mengatakan, “Dalam Al-Jami‘ Ash-Shaghir dikatakan: Asy-Syaikh Al-Imam As-Sarkhasi dan sebagian ulama mutaakhirin membolehkan mencium tangan seorang alim atau seorang yang wara‘ dengan maksud mendapatkan keberkahan.” Sedangkan Ats-Tsauri mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil adalah sunnah.”
Al-Allamah As-Sifaraini, tokoh ulama Madzhab Hanbali, mengatakan dalam kitabnya, Ghidza’ Al-Albab, bahwa Al-Marwadzi menyebutkan, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad bin Hanbal) mengenai mencium tangan. Beliau menjawab, ‘Jika itu dilakukan karena alasan agama, tidak apa-apa. Tetapi bila karena alasan dunia, tidak dibolehkan.”
As-Sifaraini juga mengatakan, “Al-Hafizh Ibn Al-Jauzi menjelaskan, ‘Sepatutnya seorang penuntut ilmu sangat tawadhu’ kepada seorang alim dan merendahkan diri kepadanya, dan di antara ketawadhu’an itu adalah mencium tangan. Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin `Iyadh mencium Al-Husain bin Ali Al-Ja`fi; salah satu dari keduanya mencium tangannya dan yang lain mencium kakinya.”
Dari hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan, mencium tangan karena alasan-alasan agama adalah dibolehkan, sedangkan mencium tangan karena alasan dunia tidak dibolehkan.
Sumber: Majalah Al Kisah
Labels:
Kontra Wahabi
Subscribe to:
Posts (Atom)