Rumi: Kulliyat-e Syams
Sang hamba kecintaan makhluk,
yang dulu disanjung-puji dunia,
kini malah ditalaknya,
gerangan apa salahnya?
Itu karena dia memakai baju pinjaman,
dan lalu bersikap seolah memilikinya.
Kami mengambilnya kembali,
agar dia menjadi yakin,
bahwa semua khazanah itu milik Kami,
dan mereka yang cantik-molek itu
hanyalah para peminjam;
sehingga dia paham bahwa jubah-wujud itu
hanyalah sebuah pinjaman,
seberkas cahaya dari Matahari Wujud.
Semua keindahan, kuasa, kebajikan dan
kesempurnaan yang hadir ditempat ini
bersumber dari Matahari Kesempurnaan.
Berkas-berkas cahaya Sang Matahari itu,
kini kembali pulang,
bagaikan berputarnya bintang-bintang,
meninggalkan dinding-dinding ragawi ini.
Ketika cahaya matahari telah surut,
semua dinding menjadi gelap menghitam.
Semua yang mempesonamu,
pada wajah-wajah cantik,
adalah Cahaya Sang Matahari
terpantul pada kaca prisma.
Beragam corak kaca
membuat Cahaya tampil beraneka-warna.
Ketika prisma kaca beraneka-warna tak lagi ada,
barulah Cahaya tanpa-warna mempesonamu.
Bangunlah kebiasaan
menatap Cahaya tanpa prisma kaca,
sehingga ketika prisma kaca itu remuk,
tak lagi engkau buta.
Sumber:
Rumi, Matsnavi V: 981-991
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Juga terdapat pada Rumi: Jewels of Remembrance
Oleh Camille dan Kabir Helminski, Threshold Books, 1996
Bersumber dari terjemahan Persia - Inggris oleh Yahya Monastra
http://ngrumi.blogspot.com
Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Sunday, October 28, 2012
Saturday, October 27, 2012
Bisyir bin Harits, Seorang Wali dari Dunia Pemabuk
Hidayah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Tak terkecuali Bisyir bin Harits, seorang pemuda yang gemar minum-minuman keras.
Bisyir bin Harits benar-benar datang. Ia menempati janji seperti yang disampaikan kepada saudara perempuannya. Namun kemunculannya terlihat lain, ia limbung seperti halnya orang yang tengah kebingungan.
Belum lagi duduk atau berkata sepatah katapun untuk basa-basi, Bisyir malah melenggang meninggalkan ruang tamu, “Saya akan naik ke atas,” begitu kata Bisyir tanpa basa-basi, membuat saudara perempuannya heran.
Keheranan saudara perempuan Bisyir kian bertambah. Pasalnya setelah melewati beberapa anak tangga menuju ke loteng, Bisyir berhenti. Ia terdiam di sana sampai saat subuh tiba.
“Mengapa sepanjang malam tadi engkau hanya berdiri di tangga itu?” tanya saudara perempuan Bisyir sesaat setelah Bisyir selesai melaksanakan shalat subuh.
“Ketika saya baru naik, tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku. Di Baghdad ini banyak orang yang memiliki nama Bisyir, ada yang Yahudi, Kristen, Majusi. Aku sendiri seorang muslim yang bernama Bisyir. Saat ini aku mendapat kebahagiaan yang besar. Aku bertanya dalam diriku: Apakah yang telah aku lakukan ini sehingga mendapat kebahagiaan sedemikian besar, dan apa pula yang selama ini mereka kerjakan sehingga tidak mendapat kebahagiaan seperti yang kudapat? Itulah yang membuatku berdiri di tangga itu sepanjang malam tadi,” kata Bisyir kepada suadara perempuannya. Tingkah aneh yang dilakukan Bisyir tidak itu saja. Orang-orang yang mengenalnya mengetahui, hampir separuh hidup Bisyir dijalani dengan penuh keanehan.
Suatu ketika cuaca sangat dingin, orang-orang yang tidak kuat dengan cuaca itu merangkap bajunya beberapa lembar, tapi Bisyir malah melepas bajunya yang dipakai hingga menggigil kedinginan.
“Mengapa engkau melepas bajumu wahai Abu Nashr, bukankah engkau menggigil kedinginan. Lihatlah orang-orang itu, mereka mengenakan baju berlapis-lapis,” kata salah seorang sahabat yang merasa aneh dengan tingkah Bisyir.
“Aku teringat pada orang-orang miskin, betapa menderitanya mereka saat ini, sementara aku tidak punya uang untuk membantu mereka, karena itu aku turut merasakan penderitaan seperti yang mereka rasakan saat ini,” kata Bisyir. Sahabatnya tidak bisa berkata-kata.
Di waktu yang lain, Bisyir berjanji hendak mengunjungi Ma’ruf, salah satu sahabatnya. Mendapati janji tersebut Ma’ruf dibuat girang. Dengan sabar Ma’ruf menunggu kedatangan Bisyir hingga waktu dluhur tiba, Bisyir belum juga tiba hingga usai shalat Asar.
Bahkan setelah menunaikan salat Isya pun, Bisyir belum juga tiba. Ma’ruf tetap bersabar menunggu kedatangan Bisyir, Ia yakin Bisyir tidak mungkin mengkhianati janjinya. Harapan dan kesabaran Ma’ruf tidak sia-sia. Ketika malam semakin larut, ia melihat Bisyir dari kejauhan, tanangannya mengapit sebuah sajadah.
Saat sampai di Sungai Tigris, Bisyir menyebrang sungai itu dengan cara berjalan di atas air. Hal sama dilakukannya ketika hendak pulang saat waktu subuh tiba setelah mereka berbincang sepanjang malam. Seorang sahabat Ma’ruf yang menyaksikan kejadian itu mencoba mengejar Bisyir, kepadanya ia minta didoakan, setelah mendoakan sahabat Ma’ruf sesuai yang dimintanya, Bisyir berpesan agar apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan kepada siapapun. Dan orang itu tetap menjaga rahasia tersebut sepanjang masa hidup Bisyir.
Di lain kesempatan Bisyir kedatangan sekelompok orang dari Syiria. Mereka bermaksud mengajaknya menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Namun ajakan itu tidak serta merta dipenuhinya. Kepada tamunya itu Bisyir mengajukan syarat: Pertama, mereka tidak dibolehkan membawa bekal apapun. Kedua, mereka tidak boleh meminta belas kasihan orang lain dalam perjalanan. Ketiga, jika ada orang yang melihat karena iba dan kasihan kepada mereka, mereka tidak diizinkan menerima pemberian itu.
Tawakal kepada Allah
“Pergi tanpa perbekalan dan tidak boleh meminta-minta dapat kami terima, tapi apabila orang lain memberikan sesuatu mengapa tidak boleh menerimanya,” tanya salah seorang dalam rombongan itu.
Mendengar kekhawatiran tersebut, Bisyir pun menjawab, “Sebenarnya diri kalian tidak memasrahkan diri kepada Allah, tapi kepada perbekalan yang kalian bawa.”
Pada saat yang lain datang seorang lelaki datang minta nasihat pada Bisyir, lelaki itu memiliki uang sebanyak 2000 dirham, yang halal dan akan digunakannya untuk melaksanakan haji.
Kepada orang itu Bisyir malah berkata, “Apakah engkau hendak bersenang-senang? Jika engkau benar-benar bermaksud membuat Allah suka, lunasilah hutang seseorang, atau berikan uang itu kepada anak yatim, atau kepada orang yang butuh pertolongan. Kelapangan yang diberikan kepada jiwa seorang muslim lebih disukai Allah daripada seribu kali menunaikan ibadah haji.”
Mendengar nasihat itu, laki-laki itu menjawab, “Walau demikian aku lebih suka jika uang ini kupergunakan untuk menunaikan ibadah haji.”
“Itulah bukti, engkau telah memperolehnya dengan cara tidak halal, maka engkau tidak akan merasa senang sebelum menghabiskannya dengan cara-cara yang tidak benar,” kata Bisyir kemudian.
BismillahKeanehan dan kealiman Bisyir tidak terlepas dari pengalaman relijius yang pernah dialaminya. Sewaktu muda, Bisyir dikenal sebagai seorang pemabuk. Suatu malam ia berjalan seorang diri dengan sempoyongan karena mabuk minuman keras. Di tengah perjalanan ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat “Bismillahirramanirrahim”. Antara sadar dan tidak, ia lantas membeli minyak mawar yang dipakainya memerciki kertas itu untuk disimpannya.
Setelah kejadian itu, di suatu malam ada seorang ulama yang bermimpi bahwa ia diperintah Allah agar menemui Bisyir, dengan menyatakan, “Engkau telah mengharumkan namaku, maka Aku pun telah mengharumkan namamu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka aku pun telah menyucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat.” Namun, karena ia mengenal Bisyir sebagai sosok pemuda berandal, lelaki itupun langsung melanjutkan tidurnya setelah ia bersuci. Tapi ia menemukan mimpi yang sama hingga tiga kali. Keesokan harinya ia pergi menemui Bisyir, yang tengah menghadiri pesta minuman keras. Ia ceritakan sebuah pengalaman dan perintah Allah yang mesti dikerjakannya. Sejak itu, atas izin dan perkenan Allah, Bisyir langsung berubah. Namanya tidak lagi disebut dalam pesta anggur, apalagi sampai ia datang ke pesta maksiat itu.
***
Kisah yang lain menyebutkan, Bisyir sempat bertemu Rasulullah SAW dalam tidurnya. Rasulullah mengatakan kepadanya alasan mengapa Allah memilih sebagai hamba yang dimuliakan. Karena dia selalu mengikuti sunah Nabi SAW, memuliakan orang yang saleh, memberi nasihat yang baik kepada saudara-saudaranya, dan mencintai Rasulullah dan keluarganya.
Pada kesempatan lain Bisyir sempat meminta nasihat pada sahabat Ali bin Abi Thalib melalui mimpinya. Sahabat Ali pun memberinya nasehat. “Belas kasihan orang kaya kepada orang miskin, karena berharap pahala dari Allah adalah perbuatan baik. Tapi lebih baik lagi bila orang-orang miskin itu enggan menerima pemberian orang kaya karena percaya kepada kemurahan Allah.”
Begitulah kisah hidup Abu Nashr Bisyir bin Al-Harits Al-Hafi. Meski sempat menjadi brandal dan pemabuk semasa mudanya, hamba Allah yang saleh yang lahir di Kota Merv (Persia) pada 150 H / 767 M ini segera berubah setelah hidayah itu diperolehnya. Ia tinggalkan segala kesenangan di dunia, lalu belajar hadits di Baghdad. Ia meninggal pada 227 H. Karena kesalehannya, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hambali, pun ikut menghormati dan mengaguminya.
Referensi Kisah Alkisah Nomor 08 / 11-24 April 2005, http://www.sufiz.com
Labels:
Manakib
Friday, October 26, 2012
Monday, October 22, 2012
Tawasin (1): Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad S.A.W)
1.Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban,ia terpancar dan (tampak) kembali, dan melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang, yang menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia bintang yang graha perbintangannya di Langit „Azaly. Allah menyebutnya „ummi (awam) atas dasar keterpusatan aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan syafa‟atnya,dan makki (pusat) karena kedekatannya di Hadirat-Nya.
2.Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya, dan mengangkatnya dari beban “yang memberati punggungnya” (Q. 94: 2 -3) serta Dia tetapkan kewenangannya. Sebagaimana Allah membuat „Badr‟nya terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya bersinar gemerlap dari sumur Karamah (Zamzam)
3. Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut pandangan (bashirah) batinnya,dan tidak mewajibkan diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnah-nya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya.Ia telah „melihat‟ (Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan batas (halal-haram) perilaku.
4.Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya,maka tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.
5.Tiada seorang arif ( „irfan) pun yang merasa „kenal‟ padanya, yang tidak keliru mengenali kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing untuk menyingkap (kasyf) tabirnya , “ Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab,mereka mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]
6.Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Gaib.Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini.
7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului „Tiada‟ („Adam),namanya mendahului „Pena‟ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum apa pun.
8.Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk,namanya adalah Ahmad, dan harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.
9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih masyhur,lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia senantiasa diingat sebelum adanya „sebelum‟ dan setelah adanya „setelah‟,juga sebelum ada substansi dan kualitas.Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab,kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah damai, dan sebutannya adalah „ummi (awam).
10.Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada. Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang „menyatu‟ dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.
11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah „pembeda‟, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia untukmembasmi pemujaan.
12.Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap kearifan hanyalah secauk dari bengawannya,dan segenap waktu hanyalah sesaat dari masanya.
13. Allah („ada‟) bersamanya,dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan ma‟rifatnya bersifat lahir.
14.Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.
15.Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya,sebab ia adalah „ia‟, dan ia adanya bersama Dia,sedangkan Dia adalah „Dia‟.
16.Tidak ada apa pun yang keluar dari „Mim‟ -nya Muhammad, dan tidak ada yang masuk ke „Ha‟-nya. Adapun „Ha‟)-nya sebagaimana „Mim‟ -nya yang kedua, sedangkan ‟Dal‟ ( د)-nya seperti „Mim‟ -nya yang pertama.„Mim‟ -nya yang pertama adalah peringkat (maqam)-nya, serta „Ha‟ -nya adalah keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana „Mim‟ -nya yang kedua.
17.Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)- nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya tidakmampu [memalsu Al- Qur‟an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.
18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari‟at nya, adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir, dibandingkan hikmahnya
Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana
2.Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya, dan mengangkatnya dari beban “yang memberati punggungnya” (Q. 94: 2 -3) serta Dia tetapkan kewenangannya. Sebagaimana Allah membuat „Badr‟nya terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya bersinar gemerlap dari sumur Karamah (Zamzam)
3. Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut pandangan (bashirah) batinnya,dan tidak mewajibkan diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnah-nya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya.Ia telah „melihat‟ (Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan batas (halal-haram) perilaku.
4.Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya,maka tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.
5.Tiada seorang arif ( „irfan) pun yang merasa „kenal‟ padanya, yang tidak keliru mengenali kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing untuk menyingkap (kasyf) tabirnya , “ Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab,mereka mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]
6.Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Gaib.Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini.
7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului „Tiada‟ („Adam),namanya mendahului „Pena‟ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum apa pun.
8.Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk,namanya adalah Ahmad, dan harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.
9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih masyhur,lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia senantiasa diingat sebelum adanya „sebelum‟ dan setelah adanya „setelah‟,juga sebelum ada substansi dan kualitas.Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab,kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah damai, dan sebutannya adalah „ummi (awam).
10.Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada. Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang „menyatu‟ dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.
11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah „pembeda‟, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia untukmembasmi pemujaan.
12.Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap kearifan hanyalah secauk dari bengawannya,dan segenap waktu hanyalah sesaat dari masanya.
13. Allah („ada‟) bersamanya,dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan ma‟rifatnya bersifat lahir.
14.Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.
15.Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya,sebab ia adalah „ia‟, dan ia adanya bersama Dia,sedangkan Dia adalah „Dia‟.
16.Tidak ada apa pun yang keluar dari „Mim‟ -nya Muhammad, dan tidak ada yang masuk ke „Ha‟-nya. Adapun „Ha‟)-nya sebagaimana „Mim‟ -nya yang kedua, sedangkan ‟Dal‟ ( د)-nya seperti „Mim‟ -nya yang pertama.„Mim‟ -nya yang pertama adalah peringkat (maqam)-nya, serta „Ha‟ -nya adalah keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana „Mim‟ -nya yang kedua.
17.Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)- nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya tidakmampu [memalsu Al- Qur‟an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.
18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari‟at nya, adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir, dibandingkan hikmahnya
Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana
Hb. Lutfi: Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?
Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi.
Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk.
Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Saleh
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?
Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt).
Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja.
Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).
Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.
Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.
Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.
Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram.
Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib. Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.
Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.
Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi.
Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk.
Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Saleh
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?
Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt).
Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja.
Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).
Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.
Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.
Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.
Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram.
Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib. Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.
Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.
Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.
Labels:
Habib Lutfi bin yahya
Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin
Tausiyyah al-Habib Umar bin Hafidz
Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, iaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan. Sinarnya bergemerlapan. Demi Allah …. memisahkan diri dari mereka merupakan suatu kerugian yang sangat besar.
Tidakkah kalain fikir, kerugian tersebut disebutkan oleh pemimpin dari segala pemimpin, iaitu Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah bersabda (maksudnya): Celakalah bagi orang yang tidak melihatku pada hari qiamat.
Sesungguhnya orang yang tidak melihat kaum sholihin tidak akan bisa melihat Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Orang yang tidak memandang mereka, tidak akan bisa memandang Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Dan orang yang tidak menjalin hubungan dengan mereka tidak akan bisa berhubungan dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.
Ketahuilah, bahwa kaum sholihin adalah bahagian dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pewaris Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah khalifah Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr setelah kewafatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.
Mereka adalah pewaris rahasia an-Nabawiyyah sepeninggalan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah semulia-mulia perwaris Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Di antara mereka adalah al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه yang telah disifatkan oleh al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه dalam bait qashidah beliau: “Kerananya (Imam al-Haddad) sejuklah hati Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Bagi Baginda صلى الله عليه وآله وسلمia adalah sebaik-baik keturunannya. Panutan bagi pengikut. Ka’abah (qiblat) bagi orang yang meniti jalan kebenaran dan merupakan kebanggaan bagi penduduk negerinya. Nasihat-nasihatnya menebarkan ilmu pengetahuan. Kasih-sayangnya meliputi semua umat. Darinya, mereka mengambil manfa’at dengan sebaik-baik manfa’at.”
Dalam kesempatan lain, al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه menyifatkan al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه dalam untaian syairnya yang begitu indah. Al-Habib ‘Ali mengatakan: “Dialah cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang bersambung nasabnya dengan orang-orang mulia yang kemuliaan mereka dikenal oleh para pejuangan dan pemberani. Dialah penyalur asrar dan ilmu kepada keluarga, keturunan, penduduk negerinya, bahkan kepada umat generasi sesudahnya. Maka semua yang bersuluk dengannya akan bersinar dengan cahaya bilau yang terang benderang.”
Cahaya ini tak akan padam dan tak akan sirna. Mengapa? Sebab, Allah Ta’ala lah yang menyalakannya! Itulah sebabnya cahayanya terus bersinar dan kian memancar. Siapakah yang mampu memadam cahaya yang telah dinyalakan oleh Allah Ta’ala? Demi Allah! Cahaya itu tidak akan padam dan takkan pernah sirna selamamana Allah Ta’ala yang menjaganya.
Namun sungguh menyedihkan, di antara kita (yakni para ‘Alawiyyin dan keturunan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم) terdapat orang-orang yang terhalang dari cahaya itu. Mereka adalah orang-orang yang enggan masuk ke dalam golongan itu. Bahkan sangat disayangkan, justru mereka masuk ke dalam kelompok lain. al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه berkata: “Siapa tidak menempuh jalan leluhurnya pasti akan bingung dan tersesat. Wahai anak-cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tempuhilah jalan mereka, setapak demi setapak dan jauhi segala bid’ah.”
Siapakah yang lebih mengenal Allah Ta’ala dibandingkan para kaum ‘arifin? Siapakah yang lebih mengetahui hakikat Rabbul ‘Alamin dibandingkan dengan imam-imam kita? Siapakah yang lebih mengenal Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dibanding mereka? Selain mereka, kepada siapa kita akan bercermin? Kepada siapa kita akan berteladan?
Wahai hamba-hamba Allah, pelajarilah riwayat hidup kaum sholihin. Jalinlah persaudaraan dan kasih-sayang dia antara kalain. Jangan kalian bercerai berai. Bersiap-siaplah menolong jalan mereka. Demi Allah! Jalan mereka tersebar, bendera mereka berkibar. Bukan di negara kalian sahaja, namun diseluruh penjuru dunia. Di belahan dunia, timur mahupun barat. Bagi masyarakat ‘Arab mahupun ‘Ajam (non-‘Arab). Baik di Jaziarah ‘Arab, Amerika, Eropah, Rusia, Asia, China ataupun Indonesia ini.
Di sana bendera kelaurga al-Imam al-Habib ‘Alwi bin ‘Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir رضي الله عنه telah berkibar. Di segala penjuru, bendera keluarga al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawi رضي الله عنه telah berkibar. Di setiap wilayah, kita pasti akan melihat bendera ahli thariqah ini (yakni thariqah ‘Alawiyyah). Mereka memiliki para tentera dan penolong yang berkedudukan tinggi disisiNya. Namun saat ini, di antara para tentera dan penolong itu ada yang tidur, bahkan mereka nyenyak dalam tidurnya. Ada di antara mereka yang hanya duduk berpangku tangan (berpeluk tubuh) dan terus duduk sahaja. Cukuplah wahai saudaraku! Sudah banyak kita melihat orang-orang yang terlambat dan tertinggal. Bangkitlah wahai saudataku! Sampai kapan kalian akan tidur? Sampai kapan kalian akan terus berpeluk tubuh? Amatilah! Apakah perjalanan hidup mereka telah diterapkan dirumah-rumah kalian? Apakah mereka sudah menjadi teladan dalam keluarga kalian? Apakah mereka telah menjadi panutan bagi anak dan isteri kalian? Bagaimana kalian ini? Kalian mengaku cinta dan memiliki ikatan dengan mereka, namun di rumah kalian setiap harinya yang terdengar hanyalah berita mengenai orang-orang kafir. Hanya menyimak khabar dari orang-orang fasiq dan gossip para bintang filem?????!!!! Setahun penuh tidak pernah ada berita mengenai salaf!!! Apakah ini yang disebut cinta????? Apakah ini yang dikatakan memiliki ikatan kekeluargaan????
Jubah Sayyidatuna Fathimah az-Zahra عليها السلام
Sungguh ironis sekali!!!! Saat ini sinetron, orang-orang fasiq dan orang-orang kafir lah yang mendidik anak-anak kita. Pemandangan itu yang menjadi hiasan dalam keluarga kita. Betapa banyak anak perempuan kita yang meniru wanita-wanita fasiq di TV, baik dari cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya. Sehingga mereka itdak mengenal lagi siapa Fathimah az-Zahra عليها السلام. Siapakh beliau? Bagaimana biografi beliau? Seperti apa pakaian beliau? Bagaimana kezuhudannya? Bagaimana ibadahnya? Saat ini mereka tidak lagi mengenal puteri-puteri Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak tahu siapa itu Zainab, Ummu Kultsum, Ruqayyah. Mereka juga tidak tahu isteri-isteri Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak lagi mengenal siapa itu Khadijah binti Khuwailid عليها السلام, ‘Aisyah ash-Shiddiqah عليها السلام dan lain-lain. Bagaimana ini boleh terjadi? Wahai para kepala keluarga! Bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian? Dengan figur siapa kalian memberikan contoh kepada puteri-puterimu?
Apakah kalian berniat menggantikan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dengan mereka? Teladan apakah yang telah kalian berikan kepada keluarga dan anak-anak kalian? Kalian meniru orang-orang durhaka, padahal kalian adalah mu’min. sesungguhnya kalian telah memiliki kebesaran, kebanggan dan kemuliaan. Namun mengapa kebesaran, kebanggaan serta kemuliaan itu kalian tukar dengan orang-orang yang jauh dari Allah dan RasulNya
Sungguh, kalian telah menggantikan teladan yang telah diredhai Allah Ta’ala dan RasulNya untuk kalian. Apakah kalian lupa akan firman Allah Ta’ala di dalam al-Quran: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ Ertinya: Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik (Surah al-Ahzab: 21)
Wahai saudaraku, tanamlah dalam hatimu untuk berubah dari semua ini. Kembalilah pada jalan yang telah diteladankan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Dalam buku catatan ‘amal kita tertulis kata-kata yang tidak patut, pandangan yang tidak layak, dan niat yang tidak pantas (selayaknya). Jikalau demikian, maka siapakah yang akan menghapuskannya? Bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, kerana Dialah yang menerima segala taubat dari hamba-hambaNya dan Dialah yang memaafkan segala kesalahan-kesalahan para hambaNya. Wallahu a’lam.
Sekian dari, al-Fagir ilaLlah abu zahrah al-qedahiy http://pondokhabib.wordpress.com
Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, iaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan. Sinarnya bergemerlapan. Demi Allah …. memisahkan diri dari mereka merupakan suatu kerugian yang sangat besar.
Tidakkah kalain fikir, kerugian tersebut disebutkan oleh pemimpin dari segala pemimpin, iaitu Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah bersabda (maksudnya): Celakalah bagi orang yang tidak melihatku pada hari qiamat.
Sesungguhnya orang yang tidak melihat kaum sholihin tidak akan bisa melihat Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Orang yang tidak memandang mereka, tidak akan bisa memandang Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Dan orang yang tidak menjalin hubungan dengan mereka tidak akan bisa berhubungan dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.
Ketahuilah, bahwa kaum sholihin adalah bahagian dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pewaris Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah khalifah Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr setelah kewafatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.
Mereka adalah pewaris rahasia an-Nabawiyyah sepeninggalan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah semulia-mulia perwaris Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Di antara mereka adalah al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه yang telah disifatkan oleh al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه dalam bait qashidah beliau: “Kerananya (Imam al-Haddad) sejuklah hati Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Bagi Baginda صلى الله عليه وآله وسلمia adalah sebaik-baik keturunannya. Panutan bagi pengikut. Ka’abah (qiblat) bagi orang yang meniti jalan kebenaran dan merupakan kebanggaan bagi penduduk negerinya. Nasihat-nasihatnya menebarkan ilmu pengetahuan. Kasih-sayangnya meliputi semua umat. Darinya, mereka mengambil manfa’at dengan sebaik-baik manfa’at.”
Dalam kesempatan lain, al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه menyifatkan al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه dalam untaian syairnya yang begitu indah. Al-Habib ‘Ali mengatakan: “Dialah cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang bersambung nasabnya dengan orang-orang mulia yang kemuliaan mereka dikenal oleh para pejuangan dan pemberani. Dialah penyalur asrar dan ilmu kepada keluarga, keturunan, penduduk negerinya, bahkan kepada umat generasi sesudahnya. Maka semua yang bersuluk dengannya akan bersinar dengan cahaya bilau yang terang benderang.”
Cahaya ini tak akan padam dan tak akan sirna. Mengapa? Sebab, Allah Ta’ala lah yang menyalakannya! Itulah sebabnya cahayanya terus bersinar dan kian memancar. Siapakah yang mampu memadam cahaya yang telah dinyalakan oleh Allah Ta’ala? Demi Allah! Cahaya itu tidak akan padam dan takkan pernah sirna selamamana Allah Ta’ala yang menjaganya.
Namun sungguh menyedihkan, di antara kita (yakni para ‘Alawiyyin dan keturunan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم) terdapat orang-orang yang terhalang dari cahaya itu. Mereka adalah orang-orang yang enggan masuk ke dalam golongan itu. Bahkan sangat disayangkan, justru mereka masuk ke dalam kelompok lain. al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه berkata: “Siapa tidak menempuh jalan leluhurnya pasti akan bingung dan tersesat. Wahai anak-cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tempuhilah jalan mereka, setapak demi setapak dan jauhi segala bid’ah.”
Siapakah yang lebih mengenal Allah Ta’ala dibandingkan para kaum ‘arifin? Siapakah yang lebih mengetahui hakikat Rabbul ‘Alamin dibandingkan dengan imam-imam kita? Siapakah yang lebih mengenal Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dibanding mereka? Selain mereka, kepada siapa kita akan bercermin? Kepada siapa kita akan berteladan?
Wahai hamba-hamba Allah, pelajarilah riwayat hidup kaum sholihin. Jalinlah persaudaraan dan kasih-sayang dia antara kalain. Jangan kalian bercerai berai. Bersiap-siaplah menolong jalan mereka. Demi Allah! Jalan mereka tersebar, bendera mereka berkibar. Bukan di negara kalian sahaja, namun diseluruh penjuru dunia. Di belahan dunia, timur mahupun barat. Bagi masyarakat ‘Arab mahupun ‘Ajam (non-‘Arab). Baik di Jaziarah ‘Arab, Amerika, Eropah, Rusia, Asia, China ataupun Indonesia ini.
Di sana bendera kelaurga al-Imam al-Habib ‘Alwi bin ‘Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir رضي الله عنه telah berkibar. Di segala penjuru, bendera keluarga al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawi رضي الله عنه telah berkibar. Di setiap wilayah, kita pasti akan melihat bendera ahli thariqah ini (yakni thariqah ‘Alawiyyah). Mereka memiliki para tentera dan penolong yang berkedudukan tinggi disisiNya. Namun saat ini, di antara para tentera dan penolong itu ada yang tidur, bahkan mereka nyenyak dalam tidurnya. Ada di antara mereka yang hanya duduk berpangku tangan (berpeluk tubuh) dan terus duduk sahaja. Cukuplah wahai saudaraku! Sudah banyak kita melihat orang-orang yang terlambat dan tertinggal. Bangkitlah wahai saudataku! Sampai kapan kalian akan tidur? Sampai kapan kalian akan terus berpeluk tubuh? Amatilah! Apakah perjalanan hidup mereka telah diterapkan dirumah-rumah kalian? Apakah mereka sudah menjadi teladan dalam keluarga kalian? Apakah mereka telah menjadi panutan bagi anak dan isteri kalian? Bagaimana kalian ini? Kalian mengaku cinta dan memiliki ikatan dengan mereka, namun di rumah kalian setiap harinya yang terdengar hanyalah berita mengenai orang-orang kafir. Hanya menyimak khabar dari orang-orang fasiq dan gossip para bintang filem?????!!!! Setahun penuh tidak pernah ada berita mengenai salaf!!! Apakah ini yang disebut cinta????? Apakah ini yang dikatakan memiliki ikatan kekeluargaan????
Jubah Sayyidatuna Fathimah az-Zahra عليها السلام
Sungguh ironis sekali!!!! Saat ini sinetron, orang-orang fasiq dan orang-orang kafir lah yang mendidik anak-anak kita. Pemandangan itu yang menjadi hiasan dalam keluarga kita. Betapa banyak anak perempuan kita yang meniru wanita-wanita fasiq di TV, baik dari cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya. Sehingga mereka itdak mengenal lagi siapa Fathimah az-Zahra عليها السلام. Siapakh beliau? Bagaimana biografi beliau? Seperti apa pakaian beliau? Bagaimana kezuhudannya? Bagaimana ibadahnya? Saat ini mereka tidak lagi mengenal puteri-puteri Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak tahu siapa itu Zainab, Ummu Kultsum, Ruqayyah. Mereka juga tidak tahu isteri-isteri Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak lagi mengenal siapa itu Khadijah binti Khuwailid عليها السلام, ‘Aisyah ash-Shiddiqah عليها السلام dan lain-lain. Bagaimana ini boleh terjadi? Wahai para kepala keluarga! Bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian? Dengan figur siapa kalian memberikan contoh kepada puteri-puterimu?
Apakah kalian berniat menggantikan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dengan mereka? Teladan apakah yang telah kalian berikan kepada keluarga dan anak-anak kalian? Kalian meniru orang-orang durhaka, padahal kalian adalah mu’min. sesungguhnya kalian telah memiliki kebesaran, kebanggan dan kemuliaan. Namun mengapa kebesaran, kebanggaan serta kemuliaan itu kalian tukar dengan orang-orang yang jauh dari Allah dan RasulNya
Sungguh, kalian telah menggantikan teladan yang telah diredhai Allah Ta’ala dan RasulNya untuk kalian. Apakah kalian lupa akan firman Allah Ta’ala di dalam al-Quran: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ Ertinya: Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik (Surah al-Ahzab: 21)
Wahai saudaraku, tanamlah dalam hatimu untuk berubah dari semua ini. Kembalilah pada jalan yang telah diteladankan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Dalam buku catatan ‘amal kita tertulis kata-kata yang tidak patut, pandangan yang tidak layak, dan niat yang tidak pantas (selayaknya). Jikalau demikian, maka siapakah yang akan menghapuskannya? Bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, kerana Dialah yang menerima segala taubat dari hamba-hambaNya dan Dialah yang memaafkan segala kesalahan-kesalahan para hambaNya. Wallahu a’lam.
Sekian dari, al-Fagir ilaLlah abu zahrah al-qedahiy http://pondokhabib.wordpress.com
Labels:
Habaib,
Hikmah Spiritual
Friday, October 12, 2012
Bermimpi Rasulullah dengan Sholawat Al Fatih
Bermimpi melihat Rasulullah adalah Haq, didalam hadits dijelaskan:
من رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لا يتخيل بي
“Siapa yang melihatku dalam mimpi, dia benar-benar melihatku. Karena setan tidak mampu meniru rupa diriku.” (HR. Bukahri dan Muslim)
Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz
مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآى الحَقَّ
Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku.
Menurut Imam Nawawi berkata:"Melihat RAsulullah adalah salah satu kegembiraan yang luhur dan berita gembira yang agung. Allah mengkhususkan hal itu bagi orang-orang yang dicintaiNya. Melihat Rasulullah adalah hak yang umum bagi setiap orang mukmin dan muslim, baik saleh ataupun tidak saleh, namun bentuknya berneda-beda sesuai dengan perbedaan sumber yang keluar dari ahri mereka, kebersihan, dan kesiapan mental mereka."
Salah satu risalah berjumpa rasulullah dalam mimpi yaitu dengan membaca sholawat Fatih yang terdapat didalam kitab Maghnatisul Qabul Fil Wushul Ila Ru'yati Sayyidina Rasul karya Syaikh Hasan Muhammad Syiad Ba'Umar.
Berikut adalah sholawat Al Fatih yang dinisbahkan oleh Sayyid Muhammad Al Bakry
Allâhumma shalli `alâ Sayyidinâ Muhammadini ‘l-fâtihi limâ ughliq, wa ‘l-khâtimi limâ sabaq, nâshiri ‘l-haqqi bi ‘l-haqq, wa ‘l-hâdî ilâ shirâthika ‘l-mustaqîm, wa `alâ âlihi haqqa qadrihî wa miqdârihi ‘l-`azhîm.
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”
Diriwayatkan: Barangsiapa membacanya sebanyak 1000 kali pada malam kamis atau malam jumat atau malam senin maka orang itu akan berkumpul bersama nabi.
Pembacaan sholawat tersebut dilaksanakan selepas sholat sunnah empat rekaat, pada rekaat pertama setelah surat alfatihah membaca surat al Qodr tiga kali
Pada rekaat kedua surat Al Zalzalah tiga kali
Pada rekaat ketiga surat Al Kafirun tiga kali dan
Pada rekaat keempat membaca surat Al Mu’awwizatain (Al Falaq dan An Nas) tiga kali
Pada saat membacanya bakarkanlah dupa atau kayu gaharu
hal yang penting dalam melakukan riyadah ini seperti yang dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu adalah dengan menumbuhkan kecintaan yang dalam terhadap rasulullah. dengan kecintaan ini akan membuat hubungan spiritual yang dekat dan tersambung dengan setiap lafadz sholawat atau mawlid yang kita baca dalam memuji dan mengagungkan rasulullah.
semoga risalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengamalkannya.
Salam
من رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لا يتخيل بي
“Siapa yang melihatku dalam mimpi, dia benar-benar melihatku. Karena setan tidak mampu meniru rupa diriku.” (HR. Bukahri dan Muslim)
Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz
مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآى الحَقَّ
Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku.
Menurut Imam Nawawi berkata:"Melihat RAsulullah adalah salah satu kegembiraan yang luhur dan berita gembira yang agung. Allah mengkhususkan hal itu bagi orang-orang yang dicintaiNya. Melihat Rasulullah adalah hak yang umum bagi setiap orang mukmin dan muslim, baik saleh ataupun tidak saleh, namun bentuknya berneda-beda sesuai dengan perbedaan sumber yang keluar dari ahri mereka, kebersihan, dan kesiapan mental mereka."
Salah satu risalah berjumpa rasulullah dalam mimpi yaitu dengan membaca sholawat Fatih yang terdapat didalam kitab Maghnatisul Qabul Fil Wushul Ila Ru'yati Sayyidina Rasul karya Syaikh Hasan Muhammad Syiad Ba'Umar.
Berikut adalah sholawat Al Fatih yang dinisbahkan oleh Sayyid Muhammad Al Bakry
Allâhumma shalli `alâ Sayyidinâ Muhammadini ‘l-fâtihi limâ ughliq, wa ‘l-khâtimi limâ sabaq, nâshiri ‘l-haqqi bi ‘l-haqq, wa ‘l-hâdî ilâ shirâthika ‘l-mustaqîm, wa `alâ âlihi haqqa qadrihî wa miqdârihi ‘l-`azhîm.
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”
Diriwayatkan: Barangsiapa membacanya sebanyak 1000 kali pada malam kamis atau malam jumat atau malam senin maka orang itu akan berkumpul bersama nabi.
Pembacaan sholawat tersebut dilaksanakan selepas sholat sunnah empat rekaat, pada rekaat pertama setelah surat alfatihah membaca surat al Qodr tiga kali
Pada rekaat kedua surat Al Zalzalah tiga kali
Pada rekaat ketiga surat Al Kafirun tiga kali dan
Pada rekaat keempat membaca surat Al Mu’awwizatain (Al Falaq dan An Nas) tiga kali
Pada saat membacanya bakarkanlah dupa atau kayu gaharu
hal yang penting dalam melakukan riyadah ini seperti yang dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu adalah dengan menumbuhkan kecintaan yang dalam terhadap rasulullah. dengan kecintaan ini akan membuat hubungan spiritual yang dekat dan tersambung dengan setiap lafadz sholawat atau mawlid yang kita baca dalam memuji dan mengagungkan rasulullah.
semoga risalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengamalkannya.
Salam
Labels:
Rasulullah SAW,
Sholawat
Subscribe to:
Posts (Atom)