Sebuah kisah hikmah buat kita untuk selalu berhati-hati dengan segala sesuatu dalam kehidupan kita..
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu. “Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi. Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
“Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda.
“4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang?” tanya Ibrahim.
“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”.
“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatasnamakan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”
“Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim. 4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra.
Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap.
“Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Tuesday, May 31, 2011
Sufi Road : Tasawuf dan Cara Pandang Interdisipliner
Dr. KH. Said Aqil Siraj
Saat ini, agaknya dirasakan baik dalam teoritis maupun praktis, membuncahnya pola pemikiran yang cenderung bersifat sporadis, hiperspesialis, sektarian, dan skismatis.
Akibatnya, kenyataan yang terpampang terlihat “miris” dan tak rentan dari bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang afinitatif dan bahkan konfliktual. Tentu saja, ini amat jauh dari kerinduan abadi (gharizah) bagi setiap individu untuk mencitakan kehidupan yang harmonis, rukun-sejahtera, dan penuh dengan cinta kasih.
Kondisi skismatis tersebut rasanya sudah merata dari hulu ke hilir. Dalam dunia akademis pun, dirasakan belum terwujudnya suatu kerangka pikir yang integratif-holistik. Betapa pun, banyak disiplin ilmu di dunia akademis yang diajarkan, ternyata belum mampu membawa para terdidiknya untuk bisa memahami indahnya berhubungan secara lintas disiplin ilmu (interdisipliner). Yang terpampang adalah kenyataan saling merasa superior (istihqar) dengan disiplin ilmunya.
Para filsuf muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajjah atau Ibnu Thufail adalah para ‘generalis’ yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Mereka tekun dan berdedikasi tinggi terhadap ilmu dan praksis kemasyarakatan. Pola pemikiran yang mereka bangun bersifat integral dengan menyatukan berbagai ilmu. Usaha yang mereka lakukan itu akhirnya membuahkan kesadaran bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah kemanusiaan dan ketuhanan.
Pada sisi lain, dalam soal perkembangannya, iptek dewasa ini telah memunculkan berbagai reaksi keilmuan dengan ikhtiar melakukan upaya integralisme. Ilmu pengetahuan dipandang telah berjalan sendiri-sendiri. Munculnya gerakan Holisme yang dieksponeni oleh Fritjof Capra misalnya membuktikan kenyataan saling silang antarilmu. Gerakan ini malah memasukkan unsur-unsur pemikiran Timur dan hikmah kaum sufi dalam formulasi ilmu pengetahuan.
Berkaca Pada Kaum Sufi
Kaum sufi telah mengungkapkan suatu pola pikir, sikap, dan perilaku yang amat konstruktif bagi penataan dan pengembangan aspek kemanusiaan dan keilahiaan. Kaum sufi senantiasa melakukan formulasi kedirian melalui wilayah privat yang kemudian mampu memberikan dampak eksternal yang luar biasa pada wilayah publik. Kehadiran tasawuf di tengah-tengah kehidupan sosial dan kultural masyarakat senantiasa menampilkan sebagai suatu kekuatan bagi "revolusi spiritual" (tsaurah al-ruhiyah). Suatu kekuatan yang sangat eksplosif dalam meretas segala bentuk penyimpangan moral dan sosial, sekaligus sebagai pemicu bagi ghirah kebangkitan pengetahuan.
Dalam tasawuf, pengolahan pengetahuan dihampiri secara esoteris (bathini). Sebab, pengetahuan esoteris ini dipandang sebagai basis bagi pengembangan keilmuan yang eksoteris (dzahiri). Dalam merengkuh pengetahuan diperlukan suatu kejernihan batin, sehingga akan memancarkan cahaya bening dalam menangkap berbagai pernik kenyataan. Apa yang diberikan dalam tasawuf seperti latihan fisik (riyadhah) dan latihan batin (mujahadah) sesungguhnya merupakan perangkat bagi pengembangan kedirian yang punya kebertautan dengan aspek penataan moral dan pengembangan pengetahuan.
Para sufi tidaklah membedakan secara ekstrim antara metoda akal atau batin. Para sufi hendak menunjukkan bahwa akal hanya mempunyai fungsi yang terbatas, sehingga tidak bisa digunakan untuk menangkap kedalaman realitas. Karena itu, hatilah yang layak digunakan dalam memahami realitas tersembunyi. Bagi kaum sufi, realitas tidak hanya terpancang pada segala hal yang bersifat empirik, melainkan yang metafisis dan spiritual. Dan justru realitas spiritual inilah yang sesungguhnya merupakan hakikat dari kenyataan itu sendiri yang akan menghasilkan pemahaman yang jernih, jauh hari distorsi sosial dan moral.
Dalam kenyataannya kesufian telah menjadi sifat dan lelaku yang interen dalam diri ilmuwan muslim. Jabir bin Hayyan, al-Farabi, Sufyan al-Tsauri, al-Ghazali atau Ibnu Sina yang merupakan figur ilmuwan yang menguasai berbagai bidang ilmu, ternyata juga menunjukkan diri sebagai sosok sufi.
Di sini, menunjukkan bahwa kesufian tidaklah menghalangi keinginan untuk melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dalam wilayah keilmuan. Sebaliknya, justru menyibakkan betapa basis kesufian ini telah menjadi pemicu bagi keinginan yang menyala (sense of curiousity) dalam membangun formulasi ilmu pengetahuan. Dan terlihat pula, para ilmuwan dan filsuf muslim pada akhir perjalanan intelektualnya justru menjadikan taSawuf sebagai terminal puncaknya.
Dalam sejarah peradaban Islam kita mengenal istilah zawiyah dan khanaqah yang merupakan pusat pertemuan kaum sufi, tempat mereka melakukan berbagai latihan spiritual. Lembaga sufi ini berfungsi sebagai pusat belajar untuk mengkaji dan menginsyafi bentuk tertinggi ilmu (gnosis/ma'rifat) yang pencapaiannya menuntut penyucian jiwa dan pikiran (tazkiyah al-nafs). Ia adalah pengajaran sains dalam Islam yang bersifat esensial yang pegang peranan signifikan sebagai satu dari lembaga utama yang bertanggung jawab dalam pembinaan dan penyebaran sains dalam Islam.
Maka jelaslah bahwa tasawuf tidaklah sama sekali berlawanan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan upaya untuk secara kontinyu melakukan penelitian (istiqra'). Sementara, upaya tersebut memerlukan pula basis penataan diri untuk membangun sikap konsistensi. Dalam tasawuf, sikap konsistensi (istiqamah) merupakan prasyarat fundamental dalam melakukan perjalaan spiritual (rihlah al-ruhiyah).
TaSawuf sendiri sesungguhnya merupakan 'tajribah al-ruhiyah', yakni proses eksperimentasi diri guna menghasilkan derajat kemanusiaan (martabat insaniyah) yang memangku secara kokoh derajat ilahiyah (martabat ilahiyah).
Metode "tajribah al-ruhiyah" ini bisa dimaknai secara lebih luas, tidak hanya terpaku pada pola-pola ritual kesufian, tetapi bertaut pula dengan pemacuan ghirah keilmuan. Namun, yang harus diperhatikan bahwa pola eksperimentasi kesufian ini harus ditempatkan dalam posisi sebagai basis pelatihan kedirian. Di sini, mutlak diperlukan pemahaman bahwa apa pun bentuk pengembangan keilmuan demi menggayuh kemajuan peradaban harus berporos pada pelatihan jiwa-batini.
Dengan demikian, tidak saja berguna bagi eskalasi pengembangan keilmuan, tetapi juga penataan moralitas. Saat ini, disadari kian pentingnya pengembalian keilmuan dalam cagar etika. Dunia ilmu memerlukan arahan secara etik, agar tidak melaju tanpa nilai. Sebab, bagaimanapun, kemajuan ilmu pengetahuan adalah demi peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan material dan spiritual bagi manusia. Tentu saja, diharapkan pengajaran ilmu pengetahuan tidak akan membawa mentalitas dehumanisasi, yang memojokkan manusia pada jaring-jaring otomatisasi yang bisa menghilangkan kesadaran transendental.
*) Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum Masyarakat TaSawuf Indonesia (MATIN)
www.sufinews.com
Saat ini, agaknya dirasakan baik dalam teoritis maupun praktis, membuncahnya pola pemikiran yang cenderung bersifat sporadis, hiperspesialis, sektarian, dan skismatis.
Akibatnya, kenyataan yang terpampang terlihat “miris” dan tak rentan dari bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang afinitatif dan bahkan konfliktual. Tentu saja, ini amat jauh dari kerinduan abadi (gharizah) bagi setiap individu untuk mencitakan kehidupan yang harmonis, rukun-sejahtera, dan penuh dengan cinta kasih.
Kondisi skismatis tersebut rasanya sudah merata dari hulu ke hilir. Dalam dunia akademis pun, dirasakan belum terwujudnya suatu kerangka pikir yang integratif-holistik. Betapa pun, banyak disiplin ilmu di dunia akademis yang diajarkan, ternyata belum mampu membawa para terdidiknya untuk bisa memahami indahnya berhubungan secara lintas disiplin ilmu (interdisipliner). Yang terpampang adalah kenyataan saling merasa superior (istihqar) dengan disiplin ilmunya.
Para filsuf muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajjah atau Ibnu Thufail adalah para ‘generalis’ yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Mereka tekun dan berdedikasi tinggi terhadap ilmu dan praksis kemasyarakatan. Pola pemikiran yang mereka bangun bersifat integral dengan menyatukan berbagai ilmu. Usaha yang mereka lakukan itu akhirnya membuahkan kesadaran bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah kemanusiaan dan ketuhanan.
Pada sisi lain, dalam soal perkembangannya, iptek dewasa ini telah memunculkan berbagai reaksi keilmuan dengan ikhtiar melakukan upaya integralisme. Ilmu pengetahuan dipandang telah berjalan sendiri-sendiri. Munculnya gerakan Holisme yang dieksponeni oleh Fritjof Capra misalnya membuktikan kenyataan saling silang antarilmu. Gerakan ini malah memasukkan unsur-unsur pemikiran Timur dan hikmah kaum sufi dalam formulasi ilmu pengetahuan.
Berkaca Pada Kaum Sufi
Kaum sufi telah mengungkapkan suatu pola pikir, sikap, dan perilaku yang amat konstruktif bagi penataan dan pengembangan aspek kemanusiaan dan keilahiaan. Kaum sufi senantiasa melakukan formulasi kedirian melalui wilayah privat yang kemudian mampu memberikan dampak eksternal yang luar biasa pada wilayah publik. Kehadiran tasawuf di tengah-tengah kehidupan sosial dan kultural masyarakat senantiasa menampilkan sebagai suatu kekuatan bagi "revolusi spiritual" (tsaurah al-ruhiyah). Suatu kekuatan yang sangat eksplosif dalam meretas segala bentuk penyimpangan moral dan sosial, sekaligus sebagai pemicu bagi ghirah kebangkitan pengetahuan.
Dalam tasawuf, pengolahan pengetahuan dihampiri secara esoteris (bathini). Sebab, pengetahuan esoteris ini dipandang sebagai basis bagi pengembangan keilmuan yang eksoteris (dzahiri). Dalam merengkuh pengetahuan diperlukan suatu kejernihan batin, sehingga akan memancarkan cahaya bening dalam menangkap berbagai pernik kenyataan. Apa yang diberikan dalam tasawuf seperti latihan fisik (riyadhah) dan latihan batin (mujahadah) sesungguhnya merupakan perangkat bagi pengembangan kedirian yang punya kebertautan dengan aspek penataan moral dan pengembangan pengetahuan.
Para sufi tidaklah membedakan secara ekstrim antara metoda akal atau batin. Para sufi hendak menunjukkan bahwa akal hanya mempunyai fungsi yang terbatas, sehingga tidak bisa digunakan untuk menangkap kedalaman realitas. Karena itu, hatilah yang layak digunakan dalam memahami realitas tersembunyi. Bagi kaum sufi, realitas tidak hanya terpancang pada segala hal yang bersifat empirik, melainkan yang metafisis dan spiritual. Dan justru realitas spiritual inilah yang sesungguhnya merupakan hakikat dari kenyataan itu sendiri yang akan menghasilkan pemahaman yang jernih, jauh hari distorsi sosial dan moral.
Dalam kenyataannya kesufian telah menjadi sifat dan lelaku yang interen dalam diri ilmuwan muslim. Jabir bin Hayyan, al-Farabi, Sufyan al-Tsauri, al-Ghazali atau Ibnu Sina yang merupakan figur ilmuwan yang menguasai berbagai bidang ilmu, ternyata juga menunjukkan diri sebagai sosok sufi.
Di sini, menunjukkan bahwa kesufian tidaklah menghalangi keinginan untuk melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dalam wilayah keilmuan. Sebaliknya, justru menyibakkan betapa basis kesufian ini telah menjadi pemicu bagi keinginan yang menyala (sense of curiousity) dalam membangun formulasi ilmu pengetahuan. Dan terlihat pula, para ilmuwan dan filsuf muslim pada akhir perjalanan intelektualnya justru menjadikan taSawuf sebagai terminal puncaknya.
Dalam sejarah peradaban Islam kita mengenal istilah zawiyah dan khanaqah yang merupakan pusat pertemuan kaum sufi, tempat mereka melakukan berbagai latihan spiritual. Lembaga sufi ini berfungsi sebagai pusat belajar untuk mengkaji dan menginsyafi bentuk tertinggi ilmu (gnosis/ma'rifat) yang pencapaiannya menuntut penyucian jiwa dan pikiran (tazkiyah al-nafs). Ia adalah pengajaran sains dalam Islam yang bersifat esensial yang pegang peranan signifikan sebagai satu dari lembaga utama yang bertanggung jawab dalam pembinaan dan penyebaran sains dalam Islam.
Maka jelaslah bahwa tasawuf tidaklah sama sekali berlawanan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan upaya untuk secara kontinyu melakukan penelitian (istiqra'). Sementara, upaya tersebut memerlukan pula basis penataan diri untuk membangun sikap konsistensi. Dalam tasawuf, sikap konsistensi (istiqamah) merupakan prasyarat fundamental dalam melakukan perjalaan spiritual (rihlah al-ruhiyah).
TaSawuf sendiri sesungguhnya merupakan 'tajribah al-ruhiyah', yakni proses eksperimentasi diri guna menghasilkan derajat kemanusiaan (martabat insaniyah) yang memangku secara kokoh derajat ilahiyah (martabat ilahiyah).
Metode "tajribah al-ruhiyah" ini bisa dimaknai secara lebih luas, tidak hanya terpaku pada pola-pola ritual kesufian, tetapi bertaut pula dengan pemacuan ghirah keilmuan. Namun, yang harus diperhatikan bahwa pola eksperimentasi kesufian ini harus ditempatkan dalam posisi sebagai basis pelatihan kedirian. Di sini, mutlak diperlukan pemahaman bahwa apa pun bentuk pengembangan keilmuan demi menggayuh kemajuan peradaban harus berporos pada pelatihan jiwa-batini.
Dengan demikian, tidak saja berguna bagi eskalasi pengembangan keilmuan, tetapi juga penataan moralitas. Saat ini, disadari kian pentingnya pengembalian keilmuan dalam cagar etika. Dunia ilmu memerlukan arahan secara etik, agar tidak melaju tanpa nilai. Sebab, bagaimanapun, kemajuan ilmu pengetahuan adalah demi peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan material dan spiritual bagi manusia. Tentu saja, diharapkan pengajaran ilmu pengetahuan tidak akan membawa mentalitas dehumanisasi, yang memojokkan manusia pada jaring-jaring otomatisasi yang bisa menghilangkan kesadaran transendental.
*) Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum Masyarakat TaSawuf Indonesia (MATIN)
www.sufinews.com
Labels:
Sufi Nusantara
Friday, May 27, 2011
Sufi Road ; Kisah Tuhfah (sang sufi wanita)
Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah tidak menjual. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai meninggal dunia.
Budak Yang Sufi
SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.
Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair
Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.
Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.
SAQATI BERDOA
Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.
HAJI BERSAMA
Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah
berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.
Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.
Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.
Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat
Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang merupakan agama dan duniaku
Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya
Ada lagi syair Tuhfah ra. lainnya
Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.
Pustaka :
1. Nurani 199, 6 – 12 Oktober 2004
2. Javad Nurbakh, Wanita-wanita Sufi, Penerbit Mizan, Bandung, 1983.
3. http://oryza.blogsome.com/2006/05/22/tuhfah-sufi-wanita-dari-irak
Budak Yang Sufi
SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.
Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair
Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.
Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.
SAQATI BERDOA
Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.
HAJI BERSAMA
Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah
berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.
Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.
Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.
Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat
Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang merupakan agama dan duniaku
Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya
Ada lagi syair Tuhfah ra. lainnya
Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.
Pustaka :
1. Nurani 199, 6 – 12 Oktober 2004
2. Javad Nurbakh, Wanita-wanita Sufi, Penerbit Mizan, Bandung, 1983.
3. http://oryza.blogsome.com/2006/05/22/tuhfah-sufi-wanita-dari-irak
Labels:
Manakib
Thursday, May 26, 2011
Sufi Road : Doa Jaya Sampurna
Berikut adalah salah satu doa yang ditukil dari kitab mukhul ibadah karya Habib Muhammad bin Alwi Al Maliky..
semoga bisa mendapatkan berkah dalam mengamalkannya.. amien
semoga bisa mendapatkan berkah dalam mengamalkannya.. amien
Labels:
Dzikir dan Doa
Saturday, May 21, 2011
Sufi Road : Sultan Tanpa Tahta dan Istana
Ibrahin Bin Adham
Di atas jalan yang tak berujung, di bawah langit yang tak bertepi. Lelaki gagah berani itu memulai pengembaraannya, memasuki labirin kehidupan demi setitik asa, mengharap ampunanNya, mengharap keridhoaanNya. Buliran air mata bagai permata putih, satu persatu berjatuhan, dengan segenap rasa di jiwa, dengan setumpuk dosa yang melekat di dada, mengalir membasahi setiap langkah-langkahnya yang tak pernah lelah. Rangkaian doa-doa itu dibacanya dengan penuh kedalaman jiwa.
Ia seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya dan berkelana untuk menjalani kehidupan barunya dalam kesahajaan. Ia memperoleh makanannya di Suriah dari hasil kerja keras yang jujur hingga wafatnya pada tahun 165 H/782 M. Sejumlah catatan menyatakan bahwa ia syahid dalam sebuah ekspedisi laut menaklukkan Byzantium.
Awalnya, dia adalah seorang Raja Besar, ‘Jihan Padishah’. Padishah, salah satu Sultan terkaya dan seluruh dunia berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, dia pun bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu dikawal 80 orang pengawal yang selalu mengiringi di depan dan di belakangnya. Untuk menjaga kawanan dombanya saja, dia menempatkan 12.000 ekor anjing dan setiap ekor anjing disematkan satu kalung emas! Jadi bisa dibayangkan berapa banyak kawanan domba yang dia miliki? Dan dia juga memiliki ketertarikan lain sebagai hobbinya yaitu berburu.Malam kian larut di kota Arkian persis pada pergantian bulan. Di langit tidak tampak sepotong bulan. Hanya ada kerlipan bintang yang menyebar. Dingin tak jua menepi, sementara rasa kantuk menguasai seluruh penduduk kota tidak terkecuali penghuni istana. Namun tiba-tiba suara gaduh memecah kesunyian menyusul suara orang berlari terbirit-birit di atas kubah istana.
Istana megah yang dihuni seorang Sultan di negeri Balkh itu, heboh! Ibrahim bin Adham mendengar di atas loteng kamarnya ada seseorang yang reseh mencari sesuatu. Aksi orang itu terbilang nekat karena istana dalam pengawalan yang ketat. Tidak kurang dari 80 orang pengawal, 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.
Ibrahim pun menegur orang yang berani mengganggu keasyikan tidurnya itu. Sebagai seorang raja muda, ia sangat terganggu oleh suara berisik itu, maka secara spontan ia berteriak, ”Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ibrahim bin Adham. Sang pengganggu menjawab enteng, ”Sedang mencari ontaku yang hilang!” Mendengar jawaban itu, nyaris Ibrahim bin Adham naik pitam. ”Bodoh, di mana akalmu?” katanya membentak. ”Mana mungkin kau menemukan onta di atas loteng.”
Tanpa diduga sang pengganggu menjawab lebih seenaknya: ”Begitu juga kau, mana mungkin engkau menemukan Tuhan di istana dengan berpakaian sutera dan tidur di alas tilam emas!”
Mendengar jawaban singkat yang amat tenang itu, Ibrahim bin Adham kemudian terdiam. Kata-kata asing dari langit-langit istananya itu sungguh menyentuh nuraninya; suaranya mantap, kalimatnya jelas dan logikanya sangat kuat, sehingga keseluruhan kata-kata itu menjadi sangat berwibawa dan menggelitik jiwanya. Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Kejadian itu membuatnya sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya hingga fajar datang.
Seperti kebiasaannya, menjelang siang Ibrahim berada di atas singgasananya untuk mendengar pengaduan dan masalah rakyat jelata. Tetapi hari itu keadaannya berlainan, dirinya gelisah dan banyak termenung. Para menteri kerajaan berdiri di tempat mereka masing-masing; budak-budaknya berdiri berjajar berhimpitan. Semua warga istana hadir.
Tiba-tiba, seorang lelaki dengan raut wajah yang sangat buruk memasuki ruangan, sangat buruk untuk dilihat sehingga tak ada seorang pun dari para pejabat dan pelayan kerajaan yang berani menanyakan namanya; lidah-lidah mereka tertahan di tenggorokan. Lelaki ini mendekat dengan khidmat ke singgasana.
“Apa maumu” tanya Ibrahim.
“Aku baru saja tiba di penginapan ini,” ujar lelaki itu.
“Ini bukan penginapan. Ini istanaku. Kau gila,” teriak Ibrahim.
“Siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” tanya lelaki itu.
“Ayahku,” jawab Ibrahim.
“Dan sebelumnya?”
“Kakekku?”
“Dan sebelumnya?”
“Buyutku.”
“Dan sebelumnya?”
“Ayah dari buyutku.”
“Ke mana mereka semua pergi?” tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.
“Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, di mana seseorang masuk dan yang lainnya pergi?”
Setelah berkata begitu, lelaki asing itu pun menghilang. Ia adalah Nabi Khidhr as. Api berkobar semakin dahsyat di dalam jiwa Ibrahim, dan seketika kesedihan menatap dalam hatinya.
Kedua kejadian itu, di malam dan siang hari, sama-sama misterius dan tidak dapat dijelaskan oleh akal. Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya untuk berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikit berkurang. Akhirnya Ibrahim berkata, “Pasang pelana kudaku. Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah kualami hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ini akan berakhir?”
Ibrahim bin Adham (إبراهيم بن ادھم) dan rombongan terus melintasi padang pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia memacu kudanya dengan cepat sehingga sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan bingung, ia terpisah dari para Pengawalnya. Dalam mencari jalan keluar dia melihat seekor rusa. Ibrahim segera memburu rusa itu. Belum sempat berbuat apa-apa rusa itu berbicara kepadanya:
“Ibrahim, kamu tidak diciptakan untuk bersenang-senang Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk diadili)?(Al Qur’an Surat Al-Mu’minun 23:115). Takutlah pada Allah dan persiapkan dirimu untuk menghadapi kematian.”
Ibrahim yang masih dalam ketakutan itu tiba-tiba terkejut dengan kata-kata itu. Dia langsung sadar dan berfikir selama ini untuk apa dirinya diciptakan Allah ke dunia. Sekarang keyakinan serta keimanannya telah tertanam di dalam dadanya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air mata penyesalannya selama ini. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam keadaan panas terik itu, Ibrahim melepaskan kudanya dan memutuskan untuk berjalan kaki. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang penggembala yang sedang menjaga sekumpulan kambing-kambingnya. Gembala itu mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan. Ibrahim melihat lebih dekat, dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya.
Tanpa pikir panjang Ibrahim menanggalkan apa yang selama ini dikenakannya dan memberikan kepada gembala itu, berupa jubah yang bersulam emas dan mahkota yang bertahtakan permata, sekaligus dengan domba-dombanya. Sedangkan Ibrahim berganti mengenakan pakaian kasar dan penutup kepala budak itu. Dan tanpa riskan Ibrahim sendiri mengenakan pakaian yang sehari-harinya dikenakan si penggembala kambing itu.
Ibrahim bin Adham meninggalkan kerajaan beserta istananya yang mewah karena rasa bersalah dan malu menyadari masih ada rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun pencerahan itu membuat ia menikmati manisnya iman walau pakaiannya kini adalah kulit domba alih-alih sutra China, tidurnya kini berbantalkan akar pohon yang tak lagi bulu angsa berlapis beludru. Begitulah Ibrahim menukar kerajaan beserta isinya untuk sebuah kenikmatan iman.
Dengan berjalan kaki Ibrahim mengembara melintasi gunung dan menyusuri padang pasir yang luas sambil mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah dia di sebuah gua. Ibrahim yang dulunya seorang raja yang hebat akhirnya menyendiri dan berkhalwat di dalam gua selama sembilan tahun.
Selama di dalam gua itulah Ibrahim betul-betul mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Setiap hari Kamis dia pergi ke kota Nishafur untuk menjual kayubakar. Setelah shalat Jumat Ibrahim pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya tadi. Roti itu separuh diberikan kepada pengemis dan separuh lagi untuk berbuka puasa. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.
Akhirnya Ibrahim memutusan untuk keluar dari gua tersebut dan mengembara lagi melintasi padang pasir yang luas itu. Dia tidak tahu lagi ke mana hendak dituju. Setiap kali berhenti di sebuah perkampungan, dikumpulkanlah orang-orang setempat untuk memberitahu betapa kebesaran Allah terhadap hambaNya dan azab yang akan diterima oleh siapapun yang mengingkarinya. Justeru itu banyaklah orang yang akrab dengannya bahkan ada yang menjadi muridnya.
Pengembaraan melintas padang pasir itu dilakukannya empat belas tahun lamanya. Selama itu pula dia berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nama Ibrahim mulai disebut-sebut orang; dari seorang raja berubah menjadi seorang ahli sufi yang rendah hati.
Pernah dalam perjalanannya dia diuji. Disebabkan kewara’annya itu ada seorang kaya raya datang menemuinya untuk mengambil tabarruk atas dirinya dengan memberi sejumlah uang yang sangat banyak. “Terimalah uang ini, semoga berkah”, katanya kepada Ibrahim.
“Aku tidak mau menerima sesuatupun dari pengemis”, jawab Ibrahim.
“Tetapi aku adalah seorang yang kaya raya”, sergah orang kaya itu.
“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari apa yang telah engkau miliki sekarang ini?” tanya Ibrahim.
“Ya, kenapa tidak?” Jawabnya ringkas.
“Simpanlah uang ini kembali, bagiku engkau tidak lebih dari ketua para pengemis. Bahkan engkau bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat fakir dan peminta-minta.” Tegur Ibrahim.
Kata-kata Ibrahim itu membuat orang kaya itu tersentak seketika. Penolakan pemberiannya oleh Ibrahim disertai dengan kata-kata yang sinis lagi pedas itu turut meninggalkan kesan yang mendalam kepada dirinya. Dengan peristiwa tersebut orang kaya itu bersyukur kepada Allah karena pertemuan dengan Ibrahim itu membuat dirinya sadar akan tipu daya dunia ini. Merasa lalai dengan nafsu yang tidak pernah cukup dari apa yang perolehnya selama ini.
Suatu ketika Ibrahim bin Adham sedang menjahit jubah buruknya di tepi sungai Tigris kemudian dia ditanya oleh sahabatnya, “Engkau telah meninggalkan kemewahan istana dari kerajaanmu yang besar. Tetapi apakah yang engkau dapatkan dari semua yang engkau jalani selama ini?”
Disebabkan pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu keluar dari mulut sahabatnya sendiri maka dengan tiba-tiba jarum di tangannya terjatuh ke dalam sungai itu. Sambil menunjuk jarinya ke sungai, Ibrahim berkata, “Kembalikanlah jarumku!”
Tiba-tiba seribu ekor ikan mendongakkan kepalanya ke permukaan air. Masing-masing ikan itu membawa sebatang jarum emas di mulutnya. Ibrahim berkata: “Aku inginkan jarumku sendiri.”
Seekor ikan kecil yang lemah datang mengantarkan jarum besi kepunyaan Ibrahim di mulutnya.
“Jarum ini adalah salah satu di antara imbalan-imbalan yang aku peroleh, karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedangkan yang lainnya belum tentu untuk kita, semoga engkau mengerti.” Kata Ibrahim Adham dengan penuh kiasan.
Ibrahim bin Adham terkenal juga memiliki semangat ukhuwah yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Sahl bin Ibrahim sebagai pernah mengatakan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham, lantas aku sakit. Ia memberikan nafkahnya untuk diriku. Suatu saat aku ingin sekali akan sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya, dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku ingin minta penjelasan, ‘Hai Ibrahim, mana kudanya?’ Ia menjawab, ‘Sudah kujual!’ Kukatakan, “Lantas aku naik apa?’ Dijawabnya, ‘Saudaraku, engkau naik di atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga pos ia menggendongku.”
Pada kesempatan lain Ibrahim bin Adham ditemui oleh khalifah pada masa itu. Khalifah tertarik untuk bertemu dengan Ibrahim bin Adham, karena ketakwaannya. Untuk menguji kebenaran berita itu, Sang Amir (khalifah) menemui Ibrahim bin Adham di masjid.
“Ya Ibrahim, kau kenal aku kan? Aku seorang Amir, apa yang ingin kau minta dariku?” Khalifah membujuk
“Bagaimana aku berani meminta kepadamu, aku malu meminta kepadamu, karena aku sedang berada di rumahNya.” Ibrahim mencoba mengelak.
Sesaat ketika khalifah dan Ibrahim berada di luar masjid, khalifah mengulangi lagi permintaannya,”Nah Ibrahim, sekarang kita telah berada di luar rumah Allah, apa yang ingin kau minta dariku?”
“Aku boleh meminta kepadamu tentang dunia atau akhirat?” pinta Ibrahim
“Tentunya dunia wahai Ibrahim, karena aku tak memiliki akhirat.” Khalifah terperangah atas permintaan Ibrahim.
Ibrahim berpikir sejenak, lalu merespon permintaan khalifah, yang akan mencerminkan ketakwaannya.
“Maaf tuan, kepada yang “Maha Memiliki” dunia saja aku takut untuk meminta dunia, bagaimana aku minta dunia, kepada yang “tak memiliki” dunia??”
Begitulah kehidupan Abu Ishaq–nama panggilannya–Kakeknya dahulu adalah penguasa Khurasan, dan ayahnya pernah menjadi salah satu dari raja Khurasan. Otomatis, Ibrahim mewarisi kerajaan itu. Dia pun seorang Tabi’in yang terkenal. Dia pernah bertemu dengan beberapa dari sahabat Rasulullah SAW dan meriwayatkan hadits-hadits setelah mereka. Dia sangat lancar berbahasa Arab fushkhah. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir Al-Ajly At-Tamimi. Ia mewarisi kekayaan dan hidup di dalam kemewahan, tetapi akhirnya berkelana selama dua puluh tahun, kemudian dikenal sebagai ulama besar yang bermukim di Makkah, menjadi murid Sufyan ats-Tsaury dan al Fudhail bin ‘Iyadh.
Imam Junayd al Baghdadi ra berkata tentangnya, “Ibrahim adalah kunci ilmu pengetahuan” dan dia sangat dihormati, oleh semua orang yang memiliki ilmu pengetahuan, untuk kehidupannya yang patut dicontoh dan ketajaman kebijakannya kepada seluruh manusia”.
Ibrahim bin Adham meninggal di salah satu pulau yang terletak di laut Mediterania dalam sebuah ekspedisi jihad menaklukkan Byzantium. Diriwayatkan pada malam sebelum wafatnya, beliau pergi ke kamar kecil sebanyak dua puluh kali. Dia juga selalu memperbaharui wudhunya setiap selesai berhajat karena ketika itu ia sedang menderita sakit perut. Kemudian, ketika sedang sakaratul maut, Ibrahim berkata, “Berikan aku panah!,” Para sahabatnya lantas memberi Ibrahim panah, kemudian ia memegang panah tersebut namun saat bersamaan datanglah malaikat Izrail menjemput sedang dia ingin melemparkan panah itu ke pihak musuh.
Dengan begitu, beliau meninggal sebagai syuhada karena sakit perut saat sedang berjihad bersama para tentara lainnya di jalan Allah. Allah swt merahmati hamba shaleh ini yang telah menyiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya maka ketika kematian menjemputnya ia pun menyambutnya dengan hati gembira karena ingin bertemu dengan Tuhannya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan kedudukannya. Wallahu a’lam
(Al Mihrab)
Di atas jalan yang tak berujung, di bawah langit yang tak bertepi. Lelaki gagah berani itu memulai pengembaraannya, memasuki labirin kehidupan demi setitik asa, mengharap ampunanNya, mengharap keridhoaanNya. Buliran air mata bagai permata putih, satu persatu berjatuhan, dengan segenap rasa di jiwa, dengan setumpuk dosa yang melekat di dada, mengalir membasahi setiap langkah-langkahnya yang tak pernah lelah. Rangkaian doa-doa itu dibacanya dengan penuh kedalaman jiwa.
Ia seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya dan berkelana untuk menjalani kehidupan barunya dalam kesahajaan. Ia memperoleh makanannya di Suriah dari hasil kerja keras yang jujur hingga wafatnya pada tahun 165 H/782 M. Sejumlah catatan menyatakan bahwa ia syahid dalam sebuah ekspedisi laut menaklukkan Byzantium.
Awalnya, dia adalah seorang Raja Besar, ‘Jihan Padishah’. Padishah, salah satu Sultan terkaya dan seluruh dunia berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, dia pun bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu dikawal 80 orang pengawal yang selalu mengiringi di depan dan di belakangnya. Untuk menjaga kawanan dombanya saja, dia menempatkan 12.000 ekor anjing dan setiap ekor anjing disematkan satu kalung emas! Jadi bisa dibayangkan berapa banyak kawanan domba yang dia miliki? Dan dia juga memiliki ketertarikan lain sebagai hobbinya yaitu berburu.Malam kian larut di kota Arkian persis pada pergantian bulan. Di langit tidak tampak sepotong bulan. Hanya ada kerlipan bintang yang menyebar. Dingin tak jua menepi, sementara rasa kantuk menguasai seluruh penduduk kota tidak terkecuali penghuni istana. Namun tiba-tiba suara gaduh memecah kesunyian menyusul suara orang berlari terbirit-birit di atas kubah istana.
Istana megah yang dihuni seorang Sultan di negeri Balkh itu, heboh! Ibrahim bin Adham mendengar di atas loteng kamarnya ada seseorang yang reseh mencari sesuatu. Aksi orang itu terbilang nekat karena istana dalam pengawalan yang ketat. Tidak kurang dari 80 orang pengawal, 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.
Ibrahim pun menegur orang yang berani mengganggu keasyikan tidurnya itu. Sebagai seorang raja muda, ia sangat terganggu oleh suara berisik itu, maka secara spontan ia berteriak, ”Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ibrahim bin Adham. Sang pengganggu menjawab enteng, ”Sedang mencari ontaku yang hilang!” Mendengar jawaban itu, nyaris Ibrahim bin Adham naik pitam. ”Bodoh, di mana akalmu?” katanya membentak. ”Mana mungkin kau menemukan onta di atas loteng.”
Tanpa diduga sang pengganggu menjawab lebih seenaknya: ”Begitu juga kau, mana mungkin engkau menemukan Tuhan di istana dengan berpakaian sutera dan tidur di alas tilam emas!”
Mendengar jawaban singkat yang amat tenang itu, Ibrahim bin Adham kemudian terdiam. Kata-kata asing dari langit-langit istananya itu sungguh menyentuh nuraninya; suaranya mantap, kalimatnya jelas dan logikanya sangat kuat, sehingga keseluruhan kata-kata itu menjadi sangat berwibawa dan menggelitik jiwanya. Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Kejadian itu membuatnya sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya hingga fajar datang.
Seperti kebiasaannya, menjelang siang Ibrahim berada di atas singgasananya untuk mendengar pengaduan dan masalah rakyat jelata. Tetapi hari itu keadaannya berlainan, dirinya gelisah dan banyak termenung. Para menteri kerajaan berdiri di tempat mereka masing-masing; budak-budaknya berdiri berjajar berhimpitan. Semua warga istana hadir.
Tiba-tiba, seorang lelaki dengan raut wajah yang sangat buruk memasuki ruangan, sangat buruk untuk dilihat sehingga tak ada seorang pun dari para pejabat dan pelayan kerajaan yang berani menanyakan namanya; lidah-lidah mereka tertahan di tenggorokan. Lelaki ini mendekat dengan khidmat ke singgasana.
“Apa maumu” tanya Ibrahim.
“Aku baru saja tiba di penginapan ini,” ujar lelaki itu.
“Ini bukan penginapan. Ini istanaku. Kau gila,” teriak Ibrahim.
“Siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” tanya lelaki itu.
“Ayahku,” jawab Ibrahim.
“Dan sebelumnya?”
“Kakekku?”
“Dan sebelumnya?”
“Buyutku.”
“Dan sebelumnya?”
“Ayah dari buyutku.”
“Ke mana mereka semua pergi?” tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.
“Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, di mana seseorang masuk dan yang lainnya pergi?”
Setelah berkata begitu, lelaki asing itu pun menghilang. Ia adalah Nabi Khidhr as. Api berkobar semakin dahsyat di dalam jiwa Ibrahim, dan seketika kesedihan menatap dalam hatinya.
Kedua kejadian itu, di malam dan siang hari, sama-sama misterius dan tidak dapat dijelaskan oleh akal. Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya untuk berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikit berkurang. Akhirnya Ibrahim berkata, “Pasang pelana kudaku. Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah kualami hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ini akan berakhir?”
Ibrahim bin Adham (إبراهيم بن ادھم) dan rombongan terus melintasi padang pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia memacu kudanya dengan cepat sehingga sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan bingung, ia terpisah dari para Pengawalnya. Dalam mencari jalan keluar dia melihat seekor rusa. Ibrahim segera memburu rusa itu. Belum sempat berbuat apa-apa rusa itu berbicara kepadanya:
“Ibrahim, kamu tidak diciptakan untuk bersenang-senang Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk diadili)?(Al Qur’an Surat Al-Mu’minun 23:115). Takutlah pada Allah dan persiapkan dirimu untuk menghadapi kematian.”
Ibrahim yang masih dalam ketakutan itu tiba-tiba terkejut dengan kata-kata itu. Dia langsung sadar dan berfikir selama ini untuk apa dirinya diciptakan Allah ke dunia. Sekarang keyakinan serta keimanannya telah tertanam di dalam dadanya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air mata penyesalannya selama ini. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam keadaan panas terik itu, Ibrahim melepaskan kudanya dan memutuskan untuk berjalan kaki. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang penggembala yang sedang menjaga sekumpulan kambing-kambingnya. Gembala itu mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan. Ibrahim melihat lebih dekat, dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya.
Tanpa pikir panjang Ibrahim menanggalkan apa yang selama ini dikenakannya dan memberikan kepada gembala itu, berupa jubah yang bersulam emas dan mahkota yang bertahtakan permata, sekaligus dengan domba-dombanya. Sedangkan Ibrahim berganti mengenakan pakaian kasar dan penutup kepala budak itu. Dan tanpa riskan Ibrahim sendiri mengenakan pakaian yang sehari-harinya dikenakan si penggembala kambing itu.
Ibrahim bin Adham meninggalkan kerajaan beserta istananya yang mewah karena rasa bersalah dan malu menyadari masih ada rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun pencerahan itu membuat ia menikmati manisnya iman walau pakaiannya kini adalah kulit domba alih-alih sutra China, tidurnya kini berbantalkan akar pohon yang tak lagi bulu angsa berlapis beludru. Begitulah Ibrahim menukar kerajaan beserta isinya untuk sebuah kenikmatan iman.
Dengan berjalan kaki Ibrahim mengembara melintasi gunung dan menyusuri padang pasir yang luas sambil mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah dia di sebuah gua. Ibrahim yang dulunya seorang raja yang hebat akhirnya menyendiri dan berkhalwat di dalam gua selama sembilan tahun.
Selama di dalam gua itulah Ibrahim betul-betul mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Setiap hari Kamis dia pergi ke kota Nishafur untuk menjual kayubakar. Setelah shalat Jumat Ibrahim pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya tadi. Roti itu separuh diberikan kepada pengemis dan separuh lagi untuk berbuka puasa. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.
Akhirnya Ibrahim memutusan untuk keluar dari gua tersebut dan mengembara lagi melintasi padang pasir yang luas itu. Dia tidak tahu lagi ke mana hendak dituju. Setiap kali berhenti di sebuah perkampungan, dikumpulkanlah orang-orang setempat untuk memberitahu betapa kebesaran Allah terhadap hambaNya dan azab yang akan diterima oleh siapapun yang mengingkarinya. Justeru itu banyaklah orang yang akrab dengannya bahkan ada yang menjadi muridnya.
Pengembaraan melintas padang pasir itu dilakukannya empat belas tahun lamanya. Selama itu pula dia berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nama Ibrahim mulai disebut-sebut orang; dari seorang raja berubah menjadi seorang ahli sufi yang rendah hati.
Pernah dalam perjalanannya dia diuji. Disebabkan kewara’annya itu ada seorang kaya raya datang menemuinya untuk mengambil tabarruk atas dirinya dengan memberi sejumlah uang yang sangat banyak. “Terimalah uang ini, semoga berkah”, katanya kepada Ibrahim.
“Aku tidak mau menerima sesuatupun dari pengemis”, jawab Ibrahim.
“Tetapi aku adalah seorang yang kaya raya”, sergah orang kaya itu.
“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari apa yang telah engkau miliki sekarang ini?” tanya Ibrahim.
“Ya, kenapa tidak?” Jawabnya ringkas.
“Simpanlah uang ini kembali, bagiku engkau tidak lebih dari ketua para pengemis. Bahkan engkau bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat fakir dan peminta-minta.” Tegur Ibrahim.
Kata-kata Ibrahim itu membuat orang kaya itu tersentak seketika. Penolakan pemberiannya oleh Ibrahim disertai dengan kata-kata yang sinis lagi pedas itu turut meninggalkan kesan yang mendalam kepada dirinya. Dengan peristiwa tersebut orang kaya itu bersyukur kepada Allah karena pertemuan dengan Ibrahim itu membuat dirinya sadar akan tipu daya dunia ini. Merasa lalai dengan nafsu yang tidak pernah cukup dari apa yang perolehnya selama ini.
Suatu ketika Ibrahim bin Adham sedang menjahit jubah buruknya di tepi sungai Tigris kemudian dia ditanya oleh sahabatnya, “Engkau telah meninggalkan kemewahan istana dari kerajaanmu yang besar. Tetapi apakah yang engkau dapatkan dari semua yang engkau jalani selama ini?”
Disebabkan pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu keluar dari mulut sahabatnya sendiri maka dengan tiba-tiba jarum di tangannya terjatuh ke dalam sungai itu. Sambil menunjuk jarinya ke sungai, Ibrahim berkata, “Kembalikanlah jarumku!”
Tiba-tiba seribu ekor ikan mendongakkan kepalanya ke permukaan air. Masing-masing ikan itu membawa sebatang jarum emas di mulutnya. Ibrahim berkata: “Aku inginkan jarumku sendiri.”
Seekor ikan kecil yang lemah datang mengantarkan jarum besi kepunyaan Ibrahim di mulutnya.
“Jarum ini adalah salah satu di antara imbalan-imbalan yang aku peroleh, karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedangkan yang lainnya belum tentu untuk kita, semoga engkau mengerti.” Kata Ibrahim Adham dengan penuh kiasan.
Ibrahim bin Adham terkenal juga memiliki semangat ukhuwah yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Sahl bin Ibrahim sebagai pernah mengatakan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham, lantas aku sakit. Ia memberikan nafkahnya untuk diriku. Suatu saat aku ingin sekali akan sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya, dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku ingin minta penjelasan, ‘Hai Ibrahim, mana kudanya?’ Ia menjawab, ‘Sudah kujual!’ Kukatakan, “Lantas aku naik apa?’ Dijawabnya, ‘Saudaraku, engkau naik di atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga pos ia menggendongku.”
Pada kesempatan lain Ibrahim bin Adham ditemui oleh khalifah pada masa itu. Khalifah tertarik untuk bertemu dengan Ibrahim bin Adham, karena ketakwaannya. Untuk menguji kebenaran berita itu, Sang Amir (khalifah) menemui Ibrahim bin Adham di masjid.
“Ya Ibrahim, kau kenal aku kan? Aku seorang Amir, apa yang ingin kau minta dariku?” Khalifah membujuk
“Bagaimana aku berani meminta kepadamu, aku malu meminta kepadamu, karena aku sedang berada di rumahNya.” Ibrahim mencoba mengelak.
Sesaat ketika khalifah dan Ibrahim berada di luar masjid, khalifah mengulangi lagi permintaannya,”Nah Ibrahim, sekarang kita telah berada di luar rumah Allah, apa yang ingin kau minta dariku?”
“Aku boleh meminta kepadamu tentang dunia atau akhirat?” pinta Ibrahim
“Tentunya dunia wahai Ibrahim, karena aku tak memiliki akhirat.” Khalifah terperangah atas permintaan Ibrahim.
Ibrahim berpikir sejenak, lalu merespon permintaan khalifah, yang akan mencerminkan ketakwaannya.
“Maaf tuan, kepada yang “Maha Memiliki” dunia saja aku takut untuk meminta dunia, bagaimana aku minta dunia, kepada yang “tak memiliki” dunia??”
Begitulah kehidupan Abu Ishaq–nama panggilannya–Kakeknya dahulu adalah penguasa Khurasan, dan ayahnya pernah menjadi salah satu dari raja Khurasan. Otomatis, Ibrahim mewarisi kerajaan itu. Dia pun seorang Tabi’in yang terkenal. Dia pernah bertemu dengan beberapa dari sahabat Rasulullah SAW dan meriwayatkan hadits-hadits setelah mereka. Dia sangat lancar berbahasa Arab fushkhah. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir Al-Ajly At-Tamimi. Ia mewarisi kekayaan dan hidup di dalam kemewahan, tetapi akhirnya berkelana selama dua puluh tahun, kemudian dikenal sebagai ulama besar yang bermukim di Makkah, menjadi murid Sufyan ats-Tsaury dan al Fudhail bin ‘Iyadh.
Imam Junayd al Baghdadi ra berkata tentangnya, “Ibrahim adalah kunci ilmu pengetahuan” dan dia sangat dihormati, oleh semua orang yang memiliki ilmu pengetahuan, untuk kehidupannya yang patut dicontoh dan ketajaman kebijakannya kepada seluruh manusia”.
Ibrahim bin Adham meninggal di salah satu pulau yang terletak di laut Mediterania dalam sebuah ekspedisi jihad menaklukkan Byzantium. Diriwayatkan pada malam sebelum wafatnya, beliau pergi ke kamar kecil sebanyak dua puluh kali. Dia juga selalu memperbaharui wudhunya setiap selesai berhajat karena ketika itu ia sedang menderita sakit perut. Kemudian, ketika sedang sakaratul maut, Ibrahim berkata, “Berikan aku panah!,” Para sahabatnya lantas memberi Ibrahim panah, kemudian ia memegang panah tersebut namun saat bersamaan datanglah malaikat Izrail menjemput sedang dia ingin melemparkan panah itu ke pihak musuh.
Dengan begitu, beliau meninggal sebagai syuhada karena sakit perut saat sedang berjihad bersama para tentara lainnya di jalan Allah. Allah swt merahmati hamba shaleh ini yang telah menyiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya maka ketika kematian menjemputnya ia pun menyambutnya dengan hati gembira karena ingin bertemu dengan Tuhannya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan kedudukannya. Wallahu a’lam
(Al Mihrab)
Labels:
Kisah Sufi
Sufi Road : sebuah kisah Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili
Suatu ketika saat berkelana beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?” Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja” Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?” Kemudian terdengar suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.ِِ
Syadziliyah adalah nama suatu desa di benua Afrika yang merupakan nisbat nama Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau pernah bermukim di Iskandar sekitar tahun 656 H. Beliau wafat dalam perjalanan haji dan dimakamkan di padang Idzaab Mesir. Sebuah padang pasir yang tadinya airnya asin menjadi tawar sebab keramat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a.
Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’.
Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, di samping Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya. Hizb Bahr merupakan Hizb yang diterima langsung dari Rasulullah saw. yang dibacakan langsung satu persatu hurufnya oleh beliau saw.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. pernah ber-riadhah selama 80 hari tidak makan, dengan disertai dzikir dan membaca shalawat yang tidak pernah berhenti. Pada saat itu beliau merasa tujuannya untuk wushul (sampai) kepada Allah swt. telah tercapai. Kemudian datanglah seorang perempuan yang keluar dari gua dengan wajah yang sangat menawan dan bercahaya. Dia menghampiri beliau dan berkata, ”Sunguh sangat sial, lapar selama 80 hari saja sudah merasa berhasil, sedangkan aku sudah enam bulan lamanya belum pernah merasakan makanan sedikitpun”.
Suatu ketika saat berkelana, beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”. Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”. Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”. Kemudian terdengarlah suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.
Beliau pernah khalwat (menyendiri) dalam sebuah gua agar bisa wushul (sampai) kepada Allah swt. Lalu beliau berkata dalam hatinya, bahwa besok hatinya akan terbuka. Kemudian seorang waliyullah mendatangi beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduh hai badan, kenapa kamu beribadah bukan karena Allah (hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali)”. Setelah itu beliau sadar dan faham dari mana datangnya orang tadi. Segera saja beliau bertaubat dan minta ampun kepada Allah swt. Tidak lama kemudian hati Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. sudah di buka oleh Allah swt.
Demikian di antara bidayah (permulaaan) Syekh Abul Hasan As-Syadzili. Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya? Sabdanya, “Guruku adalah Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Ustman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung. Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat”. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku”. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah SWT. apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”. Lalu Nabi saw. Menjawab, “Abul Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawashul kepada Abul Hasan, maka berarti dia sama saja bertawashul kepadaku”.
Pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis terdapat seorang faqir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang faqir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus. Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”.
Kemudian Syekh Abul Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata, “Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud itu adalah makam dan kedudukan yang tinggi”. Orang fakir tadi lalu berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan bertaubat”.
Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili:
1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat. Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.
2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga :
pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan beristiqhfar.
Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah swt.
Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk mengujimu.Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah, maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan sendirinya). Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. Setiap keramat (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak. Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.Di antara keramatnya para Shidiqin ialah : 1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu). 2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.
Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri. Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu. Radiya allahu ‘anhu wa ‘aada ‘alaina min barakatihi wa anwarihi wa asrorihi wa ‘uluumihi wa ahlakihi, Allahumma Amiin.
(Al-Mihrab)
Labels:
Kisah Sufi,
Syaziliah
Sufi Road : Warna Agama
Warna Agama “Chinese Art and Greek Art”
Rasul pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku
di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka.
Kami adalah satu.
Walau tak terhubung oleh tali apapun,
walau tak menghafal buku dan kebiasaan,
kami meminum air kehidupan bersama-sama.”
Rasul pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku
di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka.
Kami adalah satu.
Walau tak terhubung oleh tali apapun,
walau tak menghafal buku dan kebiasaan,
kami meminum air kehidupan bersama-sama.”
Inilah sebuah kisah tentang misteri yang tersimpan:
Sekelompok Tiongkok mengajak sekelompok Yunani bertengkar tentang siapa dari mereka
adalah pelukis yang terhebat.
Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.”
Tiongkok memulai perdebatan.
Tapi Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan.Tiongkok lalu meminta dua ruangan
untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka,dua ruang yang saling menghadap terpisah hanya oleh tirai.
Tiongkok meminta pada raja beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya.
Maka setiap pagi, mereka pergi ke tempat penyimpanan pewarna kain dan mengambil semua yang ada.
Yunani tidak menggunakan warna, “warna bukanlah lukisan kami.”
Masuklah mereka ke ruangannya lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya.
Setiap hari, setiap saat, mereka membuat dinding-dindingnya lebih bersih lagi,
seperti bersihnya langit yang terbuka.
Ada sebuah jalan yang membawa semua warna menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah,
seindah-indahnya berbagai jenis warna di awan dan langit, semua berasal dari
sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan.
Tiongkok telah selesai, dan mereka sangat bangga tambur ditabuh dalam kesenangan
dengan selesainya lukisan agung mereka. Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia
karena keindahan warna dan seluk-beluknya.
Lalu Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka.
Dan tampaklah bayangan lukisan Tiongkok dan semua pelukisnya berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening, seakan mereka hidup di dalam dinding itu.
Bahkan lebih indah lagi, karena tampaknya mereka selalu berubah warna.
Seni lukis Yunani itulah jalan sufi.
Jangan hanya mempelajarinya dari buku.
Mereka membuat cintanya bening, dan lebih bening.
Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu mereka menerima dan memantulkan kembali lukisan dari setiap potong waktu, dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang.
Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya, sebagaimana mereka melihat
melalui beningnya Cahayayang juga sedang melihat mereka semua
Sumber : ifud17.wordpress.com
Sekelompok Tiongkok mengajak sekelompok Yunani bertengkar tentang siapa dari mereka
adalah pelukis yang terhebat.
Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.”
Tiongkok memulai perdebatan.
Tapi Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan.Tiongkok lalu meminta dua ruangan
untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka,dua ruang yang saling menghadap terpisah hanya oleh tirai.
Tiongkok meminta pada raja beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya.
Maka setiap pagi, mereka pergi ke tempat penyimpanan pewarna kain dan mengambil semua yang ada.
Yunani tidak menggunakan warna, “warna bukanlah lukisan kami.”
Masuklah mereka ke ruangannya lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya.
Setiap hari, setiap saat, mereka membuat dinding-dindingnya lebih bersih lagi,
seperti bersihnya langit yang terbuka.
Ada sebuah jalan yang membawa semua warna menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah,
seindah-indahnya berbagai jenis warna di awan dan langit, semua berasal dari
sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan.
Tiongkok telah selesai, dan mereka sangat bangga tambur ditabuh dalam kesenangan
dengan selesainya lukisan agung mereka. Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia
karena keindahan warna dan seluk-beluknya.
Lalu Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka.
Dan tampaklah bayangan lukisan Tiongkok dan semua pelukisnya berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening, seakan mereka hidup di dalam dinding itu.
Bahkan lebih indah lagi, karena tampaknya mereka selalu berubah warna.
Seni lukis Yunani itulah jalan sufi.
Jangan hanya mempelajarinya dari buku.
Mereka membuat cintanya bening, dan lebih bening.
Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu mereka menerima dan memantulkan kembali lukisan dari setiap potong waktu, dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang.
Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya, sebagaimana mereka melihat
melalui beningnya Cahayayang juga sedang melihat mereka semua
Sumber : ifud17.wordpress.com
Labels:
Intermezzo Sufi
Sufi Road : Bahlul dan Syekh Junaid
Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya tentang Bahlul. Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda butuhkan darinya?”
“Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid.
Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya, “Siapakah engkau?”
“Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata syekh itu.
“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu.
“Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang syekh.
“Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan.”Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi.
Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.”
Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!”
Bahlul mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?”
“Syekh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid.
“Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang syekh.
“Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika.
Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!”
Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi.
Murid-muridnya berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!”
Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku butuhkan darinya. Kalian tidak tahu itu.”
Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?”
“Ya, aku tahu!” jawab syekh itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul.
Syekh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama.
“Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit. Tetapi syekh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”
Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!”
“Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik.
Dan apa pun yang kau katakan tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!”
Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya.
Syarh dari pen-tahkik :
Anakku. Orang zaman sekarang masih ada yang beribadah tanpa memahami isi makna. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya tanpa kemampuan memaknai. Maka tak heran jika amal yang dilakukan, ibadah yang dilakukan, akan terasa kering. Tidak menyerap di hati. Bahkan shalat sudah tak mampu mencegah kemungkaran. Kenimatan beribadah sangat sulit mereka dapatkan. Dalam cerita di atas, bahlul mencoba membeberkan beberapa kasus yang sehari-hari ditemui. Semoga dengan cerita di atas engkau dapat memaknai setiap amal yang kau lakukan, sehingga makan, bicara dan tidurmu menjadi cahaya. Amin
“Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid.
Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya, “Siapakah engkau?”
“Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata syekh itu.
“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu.
“Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang syekh.
“Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan.”Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi.
Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.”
Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!”
Bahlul mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?”
“Syekh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid.
“Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang syekh.
“Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika.
Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!”
Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi.
Murid-muridnya berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!”
Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku butuhkan darinya. Kalian tidak tahu itu.”
Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?”
“Ya, aku tahu!” jawab syekh itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul.
Syekh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama.
“Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit. Tetapi syekh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”
Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!”
“Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik.
Dan apa pun yang kau katakan tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!”
Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya.
Syarh dari pen-tahkik :
Anakku. Orang zaman sekarang masih ada yang beribadah tanpa memahami isi makna. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya tanpa kemampuan memaknai. Maka tak heran jika amal yang dilakukan, ibadah yang dilakukan, akan terasa kering. Tidak menyerap di hati. Bahkan shalat sudah tak mampu mencegah kemungkaran. Kenimatan beribadah sangat sulit mereka dapatkan. Dalam cerita di atas, bahlul mencoba membeberkan beberapa kasus yang sehari-hari ditemui. Semoga dengan cerita di atas engkau dapat memaknai setiap amal yang kau lakukan, sehingga makan, bicara dan tidurmu menjadi cahaya. Amin
Labels:
Intermezzo Sufi
Sufi Road : Sifat Kedermawanan Rasul SAW
www.majelisrasulullah.org
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ، فِي رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ، مِنْ رَمَضَانَ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ، مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ.
(صحيح البخاري)
“Bahwasanya Rasulullah saw orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan dibulan ramadhan, ketika sering didatangi Jibril as, yang menemui beliau saw setiap malamnya dibulan ramadhan, dan mempelajari dan mengulang ulang Alqur’an, dan sungguh Rasulullah saw orang yang paling dermawan atas segala kebaikan dengan selalu mengalir kedermawanannya melebihi angin yang berhembus dengan mudah” (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الْجَمْعِ اْلعَظِيْمِ .
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala yang Maha Luhur , Yang mengumpulkan kita dalam perkumpulan yang agung dan mulia ini. Maha Suci Allah Yang telah mengundang kita hadir di dalam pengampunan-Nya yang besar ini, di dalam cahaya keagungan-Nya yang luhur ini, di dalam perkumpulan yang dipenuhi kasih sayang dan rahmat-Nya ini, tiadalah seseorang yang hadir di tempat ini kecuali berada dalam naungan cahaya rahmat Ilahi dan semoga akan terus berlanjut tanpa berhenti di sepanjang waktu hingga kita berjumpa dengan Sang Pemilik rahmat, Allah subhanahu wata’ala sehingga diteruskan untuk menuju rahmat yang kekal di surga Allah subhanahu wata’ala.
Dan seluruh pintu gerbang rahmat itu ada pada makhluk mulia yang telah dicipta oleh Allah, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dengan mencintai dan mengikuti beliau maka akan terbukalah seluruh gerbang rahmat Ilahi, terbukalah seluruh pintu rahmat Allah dan menerima sang hamba untuk sampai pada cita-cita terluhur lebih dari yang ia cita-citakan bahkan lebih dari yang ia dambakan, sehingga anugerah yang terus berlimpah hampir membuatnya tidak mampu bersyukur dari dahsyatnya limpahan rahmat itu, dari gelombang kasih sayang-Nya yang terus berlimpah sepanjang generasi kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dari zaman ke zaman, semoga gelombang rahmat itu berlimpah kepada kita di majelis ini dan semua yang mengikuti majelis ini di website, radio dan media lainnya semoga juga dalam naungan gelombang rahmat Ilahi, yang padanya terhapus segala dosa dan kesalahan, yang dengannya akan terangkat derajat dan keluhuran, dengannya akan terhapus dari hati sifat-sifat yang hina dan tumbuh dalam sanubari sifat-sifat yang luhur sehingga kita merasa berat untuk berbuat dosa dan mudah untuk berbuat mulia. Wahai Yang Maha Mulia, Engkau menyaksikan perkumpulan ini dan Engkaulah Yang menggenggam segenap kemuliaan, maka curahkan kemuliaan itu kepada kami zhahir dan bathin di dunia dan akhirah, pastikan seluruh wajah kami bercahaya dengan cahaya kemuliaan-Mu, dengan cahaya pengampunan-Mu, dengan cahaya keluhuran-Mu, dengan cahaya keberkahan-Mu, dengan cahaya anugerah dan kasih sayang-Mu, yang membimbing kami untuk terus dalam ketenangan dan keberkahan di dunia dan di akhirah, kemudahan di dunia dan di akhirah, kemuliaan di dunia dan akhirah, untuk kami, kota kami, bangsa kami, dan negeri kami juga untuk negeri-negeri para pecinta sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Sampailah kita pada hadits luhur, yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan dan tidak ada manusia yang lebih dermawan dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perlu kita ketahui bahwa dermawan itu bukan hanya dalam segi harta, namun sifat dermawan itu sangat luas. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam Fathul Bari Bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa makna : أجود الناس dalam hadits ini :
كَانَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan”
Adalah yang paling banyak berbuat kebaikan, termasuk juga kebaikan menyelesaikan hajat-hajat orang lain dan membantunya, mungkin dengan harta, nasihat atau doa maka itulah bagian dari bentuk kedermawanan. Ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah mereka banyak berderma, mereka berkata : “wahai Rasulullah, apa lagi yang harus kita infakkan ?”, maka Allah subhanahu wata’ala menjawabnya seraya berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
( البقرة : 219 )
Perbuatan maaf merupakan infak besar, dan memaafkan kesalahan orang lain bisa dilakukan oleh orang yang kaya dan juga oleh orang yang miskin. Orang yang miskin tidak mampu untuk bersedekah dengan harta namun dia mampu berinfak dengan member maaf. Memberi maaf tidak harus mencari para fuqara’, dimana pun kita berada, kita bisa memberi maaf kepada orang yang pernah berbuat salah kepada kita . Maka berinfakkalah dengan segala bentuk dan cara, dengan harta, fikiran, nasehat, maaf, doa dan dengan segala perbuatan luhur, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“ Setiap kebaikan adalah shadaqah”
Maka membantu orang lain dengan ucapan, dengan tenaga, dengan nasihat, dengan harta, dengan jabatan, dengan doa dan lainnya, semua itu adalah bagian dari shadaqah untuk jasad kita, dan manusia yang paling banyak melakukan hal itu adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga beliau diumpamakan lebih dermawan dari angin yang berhembus. Maksudnya jika angin itu berhembus maka hembusan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih cepat dari itu, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika beliau belajar, membaca dan mengulang-ulang Alqur’an bersama malaikat Jibril di bulan Ramadhan. Maka dari hadits ini, Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany menukil ucapan Al Imam An Nawawi Ar bahwa disunnahkan membaca Al qur’an bersama ( Tadaarus Al qur’an ), hadits ini sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca Al qur’an bersama malaikat Jibril As, padahal beliau shallallahu ‘aliahi wasallam adalah Shahib Al qur’an, pimpinan dari semua orang yang mengerti dan memahami Al qur’an, karena Al qur’an diturunkan kepada beliau namun beliau masih juga membacanya bersama malaikta JIbril, dan terkadang beliau membacanya sendiri dan terkadanga beliau meminta sahabat yang lain membacanya dan beliau mendengarkannya. Oleh sebab itu di majelis Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kita membuat HR (Halaqatur Rasul), Alhamdulillah telah mencapai lebih dari 360 halaqah, dan semoga terus bertambah orang-orang yang mencintai Alqur’an, dan lebih mencintainya daripada buku-buku lainnya . Ketahuilah buku-buku yang lainnya itu akan sirna dan fana, sedangkan setiap huruf dari ayat-ayat Al qur’an akan bersaksi dan memberi syafaat untuk kita kelak di hari kiamat jika sekarang kita membacanya, karena Al qur’an adalah kalam Allah yang mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dengan keluhuran yang khusus jika mereka mencintai Al qur’an.
Terdapat pahala dan cahaya dari setiap huruf dari al quran yang kita baca itu, cahaya ketenangan, cahaya pengampunan, cahaya kemudahan, cahaya keberkahan, berpadu dalam setiap kalimat-kalimat Al quran, pada setiap huruf-hurufnya yang kesemuanya adalah kalam Ilahi yang dituliskan dan itu adalah kalimat-kalimat yang kekal dan abadi yang ada sebelum alam ini tercipta dan akan tetap ada setelah ala mini sirna, maka makmurkanlah Al quran dalam jiwa kita, di bibir kita, di hari-hari kita. Berkali-kali muncul pertanyaan ini : “bolehkan membaca Al qur’an dengan cara confrensi lewat handphone, dan masing-masing di tempat yang berbeda?”, hal ini boleh-boleh saja, karena yang terpenting adalah kita tetap membaca Al qur’an, ketika seseorang membaca maka yang lainnya mendengarkan, dan jika ada kesalahan maka dibetulakan sehingga setiap orang menjadi pembaca, pendengar dan pengajar, itulah keunggulan dari halaqah Al quran . Semoga semangat kita terus bangkit untuk mencintai Al quran Al Karim, maka jadilah pelopor pembangkit generasi Al quran di wilayah-wilayah kita dan di seluruh wilayah, karena di masa sekarang banyak orang muslim yang malu untuk menggenggam Al quran dihadapan orang lain, dan lebih baik baginya menggenggam buku yang lain, seperti buku-buku yang berbahasa Inggris ia bangga jika menggenggamnya. Sungguh tidak ada yang patut dibanggakan lebih dari Al qur’an Al Karim, surat cinta Allah kepada hamba-Nya.
Maka semakin seseorang memahami rahasia keluhuran Allah, semakin Allah limpahkan untuknya kebahagiaan di dunia dan di akhirah. Diriwayatkan di dalam riwayat yang tsiqah, dan telah dinukil oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda diriwayatkan oleh Al Imam At Turmidzi :
إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ
“ Sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan menyukai kedermawanan”
Juga diriwayatkan dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَنَا أَجْوَدُ وَلَدِ آدَمَ
“Aku adalah keturunan anak Adam yang paling bermurah hati “
Sehingga beliau tidak pernah mengatakan “tidak” kepada orang yang meminta sesuatu kepada beliau, baik yang diminta itu harta atau pun permintaan maaf. Bahkan ketika di hari kiamat beliau berderma dengan syafaat kepada para pendosa dari umatnya, demikian indahnya kedermawanan sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hal itu adalah merupakan bantuan dan uluran tangan meskipun bukan berupa harta bahkan justru lebih berharga dari sekedar harta, disaat harta tiada lagi berharga namun beliau masih tetap berderma dengan syafaat .
Diriwayatkan dalam kitab Qabasunnuurilmubin ringkasan Rub’ Al Muhlikaat dari kitab Ihyaa’ Ulumuddin oleh guru mulia kita Al Musnid Al Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh, dimana suatu waktu sayyidina Hasan, sayyidina Husain dan sayyidina Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum, sedang dalam perjalanan untuk melakukan ibadah haju, dan di tengah perjalanan mereka kehausan dan kelaparan karena kehabisan bekal, kemudian menemukan satu rumah di tengah padang pasir yang di dalamnya hanya ada seorang wanita yang tua renta, maka mereka bertanya kepada wanita itu : “wahai Ibu, apakah engkau mempunyai air untuk kami minum?”, maka ibu itu berkata : “ada air tapi hanya sedikit”, mereka bertanya lagi : “wahai ibu, apakah kau mempunyai makanan?”, wanita itu menjawab : “tidak ada, aku hanya mempunyai seekor kambing, jika kalian mau menyembelihnya, aku yang akan memasaknya”, maka salah seorang dari mereka pun menyembelihnya kemudian wanita itu memasaknya. Setelah beberapa saat mereka pun memakannya kemudian mereka pamit kepada wanita itu untuk pergi melanjutkan perjalanan, dan berkata kepada wanita itu : “wahai ibu kami adalah orang Quraisy kelak kami akan membalas kebaikanmu”. Dan setelah mereka pergi dari rumah wanita tua itu, maka suami wanita itu datang dan berkata kepada istrinya : “mana kambing kita yang satu-satunya?” , wanita itu menjawab : “sudah disembelih untuk tamu”, suaminya berkata : “siapa tamu itu?”, si wanita menjawab : “3 orang mereka mengatakan dari kaum quraisy”, si suami marah berkata : “bagaimana kau menyembelih kambing yang hanya satu-satunya milik kita untuk orang yang tidak engkau kenal, yang hanya mengatakan mereka adalah kaum quraisy!”. Waktu berlalu, suatu saat si bapak dan ibu yang tua renta ini keluar ke Madinah untuk menjual kotoran onta yang dijadikan sebagai pupuk, dan mereka gunakan hasil dari penjualan itu untuk kehidupan mereka. Ketika itu sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib sedang duduk di depan rumahnya dan beliau mengenali wanita itu, maka beliau pun memanggilnya : “wahai Ibu, apakah engkau mengenaliku?”, maka wanita itu berkata : “tidak”, sayyidina Hasan berkata : “aku adalah orang yang engkau tolong disaat itu”, wahai ibu ini hadiah dariku 1000 dinar dan 1000 ekor kambing, kemudian sayyidina Hasan memerintahkan pembantunya untuk membawanya kepada sayyidina Husain, maka sayyidina Husain berkata : “wahai ibu, apa yang engkau peroleh dari sayyidina Hasan?”, si ibu menjawab : “ 1000 ekor kambing dan 1000 dinar emas”, sayyidina Husain berkata : “terimalah dariku 1000 ekor kambing dan 1000 dinar emas”, kemudian sayyidina Husain meminta pembantunya untuk membawa wanita kepada Abdullah bin Ja’far, kemudian beliau bertanya : “wahai ibu, apa yang engkau dapatkan dari sayyidina Hasan dan Husain?”, si ibu menjawab : “2000 ekor kambing dan 2000 dinar emas”, sayyidina Abdullah menjawab : “baiklah, terimalah dariku 2000 ekor kambing dan 2000 dinar emas, sungguh jika engkau mendatangiku terlebih dahulu maka aku akan membuat sayyidina Hasan dan Husain kebingungan untuk berbuat dan membalas kebaikannmu”. Maka si wanita itu pun pulang menemui suaminya dengan 4000 ekor kambing dan 4000 dinar emas, demikianlah kedermawanan sayyidina Hasan, sayyidina Husain dan sayyidina Abdullah bin Ja’far.
Juga diriwayatkan dalam kitab Qabs An Nuur Al Mubin ringkasan Rub’ Al Muhlikaat dari kitab Ihyaa’ Ulumuddin oleh guru mulia kita Al Musnid Al Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh dalam bab “Sakhaa’ ( Kedermawanan)”, bahwa sayyidina Abdullah bin ‘Amir membeli rumah sayyidina Khalid bin ‘Uqbah seharga 90.000 dirham, ketika malam hari dia mendengar suara tangisan di luar rumah dan ternyata itu adalah tangisan keluarga Khalid yang menangisi karena rumahnya telah dijual, maka sayyidina Abdullah berkata kepada budaknya : “datanglah kepada mereka (keluarga Khalid) dan katakan kepada mereka bahwa harta dan rumah ini semua untuk mereka”. Sungguh demikian dermawannya mereka para sahabat sehinga mereka selalu dilimpahi keberkahan oleh Allah subhanahu wata’ala. Teriwayatkan pula bahwa sayyidina Laits RA beliau tidak pernah berbicara di setiapharinya sebelum ia bersedekah kepada 360 orang fuqara’ .
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
السَّخِيُّ قَرِيْبٌ مِنَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ الْجَنَّةِ قَرِيْبٌ مِنَ النَّاسِ, بَعِيْدٌ عَنِ النَّارِ واْلبَخِيْلُ بَعِيْدٌ مِنَ اللهِ، بَعِيْدٌ مِنَ اْلجَنَّةِ، بَعِيْدٌ مِنَ النَّاسِ، قَرِيْبٌ مِنَ النَّارِ. وَ اْلجَاهِلُ السَّخِيُّ اَحَبُّ اِلَى اللهِ مِنْ عَابِدٍ بَخِيْلٍ
“Orang yang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat kepada surga, dekat kepada manusia dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia dan dekat pada neraka. Orang yang bodoh tetapi dermawan lebih dicintai Allah daripada orang yang suka beribadah tetapi bakhil".
Namun kedermawanan ada batasnya, yang dari tadi kita bahas adalah sifat pemurah dan bersedekah, maka jangan berlebihan seperti mengada-adakan hukum yang tidak ada, seperti zakat profesi hal ini adalah sesuatu yang mungkar , yang mengatakan bahwa setiap 3 bulan harus mengeluarkan zakat, hadits itu adalah lemah dan tidak bisa dijadikan dalil. Zakat hanya ada 7 macam dan tidak bisa ditambah, dan berbeda dengan shadaqah yang bisa dilakukan kapan saja yang hukumnya adalah sunnah, sedangkan zakat hukumnya adalah wajib. Adapun alasan mereka yang mengharuskan zakat profesi adalah banyaknya orang-orang yang kekurangan, maka harus mengeluarkan infak setiap bulannya, kita boleh mengelurakan infak atau shadaqah namun bukan zakat, karena zakat hukumnya fardhu ‘ain dan tidak bisa dirubah lagi dan orang yang mengingkarin dan tidak melakukannya maka darahnya halal untuk dibunuh, jika telah ditentukan banyaknya zakat adalah 7 macam maka tidak bisa ditambah lagi, seperti halnya shalat wajib hanya 5 waktu maka tidak boleh ditambah-tambah lagi. Riwayat Al Imam Malik dalam Al Muwattha’, yang mengatakan hadits dari Malik, dari Nafi’ dari Ibn Umar Ra bahwa tidak zakat harta kecuali harus menunggu satu tahun dan telah mencapai nishab. Maka jika selama setahun harta itu tidak berkurang dan telah mencapai nishab maka wajib untuk dikeluarkan zakatnya, bukan setiap bulan apalagi setiap hari.
Demikian pula disebutkan dalam Al Muwattha’ Al Imam Malik bahwa sayyidina Abu Bakr As Shiddiq di masa kepemimpinannya juga tidak mengeluarkan shadaqah bulanan atas gaji para karyawan khalifah, dan tidak pula diperintahkan kepada kaum muslimin dan semua khulafaa’ ar rasyidin pun tidak menjalankannya. Dan dijelaskan dalam kitab Al Istidzkar syarh Al Muwattha’ oleh Al Imam Ibn ‘Abd Al Bar mengatakan bahwa riwayat di dalam Al Muwattha’ yang mengatakan bahwa Mu’awiyah mengeluarkan uang di setiap bulannya, maka hal itu adalah perbuatan Mu’awiyah yang tidak ia perintahkan orang lain untuk melakukannya, karena ia tahu bahwa zakat harta berlaku hanya setahun sekali. Demikian pula terdapat dalam riwayat Al Imam Ahmad Ibn Hanbal Ar bahwa tidak ada zakat harta kecuali telah melewati satu tahun dan telah mencapai nishab. Demikian pula yang telah dijelaskan dalam Al Majmuu’ oleh Al Imam An Nawawi dan dalam kitab An Nihayah oleh Al Imam Ramli, dan juga dalam kitab Mughni Al Muhtaj oleh Al Khatib As Syarbini Alaihim rahmatullah, bahwa seluruh madzhab telah berittifaq tidak adanya zakat harta dalam setiap bulannya .
Adapun zakat-zakat yang harus langsung dikelurakan itu, seperti zakat tanaman yang dikeluarkan setiap kali panen, dan zakat rikaz (harta karun) yang berupa emas dan perak dan selain emas dan perak maka tidak dikenai zakat, begitu juga barang tambang emas dan perak dan selain itu tidak wajib zakat, seperti tambang batu bara, minyak dan lainnya maka tidak diwajibkan zakat, maka kesemua itu ketika mendapatkan hasil maka harus langsung dikeluarkan zakatnya. Namun zakat harta, perdagangan, zakat fitrah, dan zakat hewan ternak maka menunggu waktu satu tahun dan telah mencapai nisab. Insyaallah akan saya buatkan buku tentang zakat agar mudah difahami, namun secara ringkas bahwa zakat profesi adalah sesuatu yang di ada-ada kan dan jangan diikuti. Namun jika mengeluarkannya dengan nama shadaqah maka hal itu boleh-boleh saja, bisa dilakukan setiap hari, tiap minggu atau setiap bulan dan bukan disebut zakat, karena zakat itu hukumnya wajib dan fardhu ain.
Dan tentunya kita harus mengikuti pendapat para jumhur, yaitu pendapat ulama’ yang terbanyak dan tidak mamilih kelompok yang memisahkan diri. Karena orang-orang yang memisahkan diri dari jamaah itu telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, riwayat Shahih Al Bukhari :
فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena, tidaklah seseorang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal saja lalu mati, maka matinya tidak lain seperti orang jahiliyah."
Dan ajaran yang seperti banyak muncul di zaman sekarang, maka jangan diikuti. Namun jangan pula dimusuhi, musuhi aqidah dan ajarannya tetapi jangan musuhi orangnya, karena mereka tertipu dengan kejahilan dan seandainya mereka mengetahui pastilah mereka akan menuju jalan yang benar, ingatlah doa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَللّهُمَّ اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
" Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku , sesungguhnya mereka tidak mengetahui "
Kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala semoga Allah melimpahkan kepada kita rahmat dan keberkahan, keluhuran, kesucian dan pengabulan doa atas segala hajat kita. Rabbi, kami mendengar sifat-sifat dermawan dari hamba-hamba-Mu yang luhur sehingga mereka mau member 1000 kali lebih besar dari yang mereka terima, seperti itulah hamba-hamba-Mu maka terlebih lagi Engkau Yang Maha Memiliki sifat dermawan. Wahai Allah kami bershadaqah kepada orang-orang yang tidak mampu diantara kami, dan kami adalah hamba-hamba yang tidak mampu dihadapan-Mu maka bershadaqahlah kepada kami wahai Allah. Ya Arhamar rahimin, inilah hamba-hamba yang lemah, yang banyak kesulitan untuk meninggalkan perbuatan dosa, banyak kesulitan untuk berbuat ketaatan, banyak pula kesulitan untuk melewati masalah-masalah kehidupan di dunia, dan Engkau Maha memegang kunci kemudahan maka curahkan cahaya kemudahan menerangi hari-hari kami, menerangi jiwa dan sanubari kami hingga jiwa dan sanubari kami tenang dengan kasih sayang-Mu, tenang dengan anugerah dan kesejukan nama-Mu sehingga hari-hari kami menjadi semakin indah dan mudah di dunia dan akhirah….
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ، فِي رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ، مِنْ رَمَضَانَ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ، مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ.
(صحيح البخاري)
“Bahwasanya Rasulullah saw orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan dibulan ramadhan, ketika sering didatangi Jibril as, yang menemui beliau saw setiap malamnya dibulan ramadhan, dan mempelajari dan mengulang ulang Alqur’an, dan sungguh Rasulullah saw orang yang paling dermawan atas segala kebaikan dengan selalu mengalir kedermawanannya melebihi angin yang berhembus dengan mudah” (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الْجَمْعِ اْلعَظِيْمِ .
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala yang Maha Luhur , Yang mengumpulkan kita dalam perkumpulan yang agung dan mulia ini. Maha Suci Allah Yang telah mengundang kita hadir di dalam pengampunan-Nya yang besar ini, di dalam cahaya keagungan-Nya yang luhur ini, di dalam perkumpulan yang dipenuhi kasih sayang dan rahmat-Nya ini, tiadalah seseorang yang hadir di tempat ini kecuali berada dalam naungan cahaya rahmat Ilahi dan semoga akan terus berlanjut tanpa berhenti di sepanjang waktu hingga kita berjumpa dengan Sang Pemilik rahmat, Allah subhanahu wata’ala sehingga diteruskan untuk menuju rahmat yang kekal di surga Allah subhanahu wata’ala.
Dan seluruh pintu gerbang rahmat itu ada pada makhluk mulia yang telah dicipta oleh Allah, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dengan mencintai dan mengikuti beliau maka akan terbukalah seluruh gerbang rahmat Ilahi, terbukalah seluruh pintu rahmat Allah dan menerima sang hamba untuk sampai pada cita-cita terluhur lebih dari yang ia cita-citakan bahkan lebih dari yang ia dambakan, sehingga anugerah yang terus berlimpah hampir membuatnya tidak mampu bersyukur dari dahsyatnya limpahan rahmat itu, dari gelombang kasih sayang-Nya yang terus berlimpah sepanjang generasi kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dari zaman ke zaman, semoga gelombang rahmat itu berlimpah kepada kita di majelis ini dan semua yang mengikuti majelis ini di website, radio dan media lainnya semoga juga dalam naungan gelombang rahmat Ilahi, yang padanya terhapus segala dosa dan kesalahan, yang dengannya akan terangkat derajat dan keluhuran, dengannya akan terhapus dari hati sifat-sifat yang hina dan tumbuh dalam sanubari sifat-sifat yang luhur sehingga kita merasa berat untuk berbuat dosa dan mudah untuk berbuat mulia. Wahai Yang Maha Mulia, Engkau menyaksikan perkumpulan ini dan Engkaulah Yang menggenggam segenap kemuliaan, maka curahkan kemuliaan itu kepada kami zhahir dan bathin di dunia dan akhirah, pastikan seluruh wajah kami bercahaya dengan cahaya kemuliaan-Mu, dengan cahaya pengampunan-Mu, dengan cahaya keluhuran-Mu, dengan cahaya keberkahan-Mu, dengan cahaya anugerah dan kasih sayang-Mu, yang membimbing kami untuk terus dalam ketenangan dan keberkahan di dunia dan di akhirah, kemudahan di dunia dan di akhirah, kemuliaan di dunia dan akhirah, untuk kami, kota kami, bangsa kami, dan negeri kami juga untuk negeri-negeri para pecinta sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Sampailah kita pada hadits luhur, yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan dan tidak ada manusia yang lebih dermawan dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perlu kita ketahui bahwa dermawan itu bukan hanya dalam segi harta, namun sifat dermawan itu sangat luas. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam Fathul Bari Bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa makna : أجود الناس dalam hadits ini :
كَانَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan”
Adalah yang paling banyak berbuat kebaikan, termasuk juga kebaikan menyelesaikan hajat-hajat orang lain dan membantunya, mungkin dengan harta, nasihat atau doa maka itulah bagian dari bentuk kedermawanan. Ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah mereka banyak berderma, mereka berkata : “wahai Rasulullah, apa lagi yang harus kita infakkan ?”, maka Allah subhanahu wata’ala menjawabnya seraya berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
( البقرة : 219 )
Perbuatan maaf merupakan infak besar, dan memaafkan kesalahan orang lain bisa dilakukan oleh orang yang kaya dan juga oleh orang yang miskin. Orang yang miskin tidak mampu untuk bersedekah dengan harta namun dia mampu berinfak dengan member maaf. Memberi maaf tidak harus mencari para fuqara’, dimana pun kita berada, kita bisa memberi maaf kepada orang yang pernah berbuat salah kepada kita . Maka berinfakkalah dengan segala bentuk dan cara, dengan harta, fikiran, nasehat, maaf, doa dan dengan segala perbuatan luhur, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“ Setiap kebaikan adalah shadaqah”
Maka membantu orang lain dengan ucapan, dengan tenaga, dengan nasihat, dengan harta, dengan jabatan, dengan doa dan lainnya, semua itu adalah bagian dari shadaqah untuk jasad kita, dan manusia yang paling banyak melakukan hal itu adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga beliau diumpamakan lebih dermawan dari angin yang berhembus. Maksudnya jika angin itu berhembus maka hembusan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih cepat dari itu, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika beliau belajar, membaca dan mengulang-ulang Alqur’an bersama malaikat Jibril di bulan Ramadhan. Maka dari hadits ini, Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany menukil ucapan Al Imam An Nawawi Ar bahwa disunnahkan membaca Al qur’an bersama ( Tadaarus Al qur’an ), hadits ini sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca Al qur’an bersama malaikat Jibril As, padahal beliau shallallahu ‘aliahi wasallam adalah Shahib Al qur’an, pimpinan dari semua orang yang mengerti dan memahami Al qur’an, karena Al qur’an diturunkan kepada beliau namun beliau masih juga membacanya bersama malaikta JIbril, dan terkadang beliau membacanya sendiri dan terkadanga beliau meminta sahabat yang lain membacanya dan beliau mendengarkannya. Oleh sebab itu di majelis Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kita membuat HR (Halaqatur Rasul), Alhamdulillah telah mencapai lebih dari 360 halaqah, dan semoga terus bertambah orang-orang yang mencintai Alqur’an, dan lebih mencintainya daripada buku-buku lainnya . Ketahuilah buku-buku yang lainnya itu akan sirna dan fana, sedangkan setiap huruf dari ayat-ayat Al qur’an akan bersaksi dan memberi syafaat untuk kita kelak di hari kiamat jika sekarang kita membacanya, karena Al qur’an adalah kalam Allah yang mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dengan keluhuran yang khusus jika mereka mencintai Al qur’an.
Terdapat pahala dan cahaya dari setiap huruf dari al quran yang kita baca itu, cahaya ketenangan, cahaya pengampunan, cahaya kemudahan, cahaya keberkahan, berpadu dalam setiap kalimat-kalimat Al quran, pada setiap huruf-hurufnya yang kesemuanya adalah kalam Ilahi yang dituliskan dan itu adalah kalimat-kalimat yang kekal dan abadi yang ada sebelum alam ini tercipta dan akan tetap ada setelah ala mini sirna, maka makmurkanlah Al quran dalam jiwa kita, di bibir kita, di hari-hari kita. Berkali-kali muncul pertanyaan ini : “bolehkan membaca Al qur’an dengan cara confrensi lewat handphone, dan masing-masing di tempat yang berbeda?”, hal ini boleh-boleh saja, karena yang terpenting adalah kita tetap membaca Al qur’an, ketika seseorang membaca maka yang lainnya mendengarkan, dan jika ada kesalahan maka dibetulakan sehingga setiap orang menjadi pembaca, pendengar dan pengajar, itulah keunggulan dari halaqah Al quran . Semoga semangat kita terus bangkit untuk mencintai Al quran Al Karim, maka jadilah pelopor pembangkit generasi Al quran di wilayah-wilayah kita dan di seluruh wilayah, karena di masa sekarang banyak orang muslim yang malu untuk menggenggam Al quran dihadapan orang lain, dan lebih baik baginya menggenggam buku yang lain, seperti buku-buku yang berbahasa Inggris ia bangga jika menggenggamnya. Sungguh tidak ada yang patut dibanggakan lebih dari Al qur’an Al Karim, surat cinta Allah kepada hamba-Nya.
Maka semakin seseorang memahami rahasia keluhuran Allah, semakin Allah limpahkan untuknya kebahagiaan di dunia dan di akhirah. Diriwayatkan di dalam riwayat yang tsiqah, dan telah dinukil oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda diriwayatkan oleh Al Imam At Turmidzi :
إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ
“ Sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan menyukai kedermawanan”
Juga diriwayatkan dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَنَا أَجْوَدُ وَلَدِ آدَمَ
“Aku adalah keturunan anak Adam yang paling bermurah hati “
Sehingga beliau tidak pernah mengatakan “tidak” kepada orang yang meminta sesuatu kepada beliau, baik yang diminta itu harta atau pun permintaan maaf. Bahkan ketika di hari kiamat beliau berderma dengan syafaat kepada para pendosa dari umatnya, demikian indahnya kedermawanan sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hal itu adalah merupakan bantuan dan uluran tangan meskipun bukan berupa harta bahkan justru lebih berharga dari sekedar harta, disaat harta tiada lagi berharga namun beliau masih tetap berderma dengan syafaat .
Diriwayatkan dalam kitab Qabasunnuurilmubin ringkasan Rub’ Al Muhlikaat dari kitab Ihyaa’ Ulumuddin oleh guru mulia kita Al Musnid Al Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh, dimana suatu waktu sayyidina Hasan, sayyidina Husain dan sayyidina Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum, sedang dalam perjalanan untuk melakukan ibadah haju, dan di tengah perjalanan mereka kehausan dan kelaparan karena kehabisan bekal, kemudian menemukan satu rumah di tengah padang pasir yang di dalamnya hanya ada seorang wanita yang tua renta, maka mereka bertanya kepada wanita itu : “wahai Ibu, apakah engkau mempunyai air untuk kami minum?”, maka ibu itu berkata : “ada air tapi hanya sedikit”, mereka bertanya lagi : “wahai ibu, apakah kau mempunyai makanan?”, wanita itu menjawab : “tidak ada, aku hanya mempunyai seekor kambing, jika kalian mau menyembelihnya, aku yang akan memasaknya”, maka salah seorang dari mereka pun menyembelihnya kemudian wanita itu memasaknya. Setelah beberapa saat mereka pun memakannya kemudian mereka pamit kepada wanita itu untuk pergi melanjutkan perjalanan, dan berkata kepada wanita itu : “wahai ibu kami adalah orang Quraisy kelak kami akan membalas kebaikanmu”. Dan setelah mereka pergi dari rumah wanita tua itu, maka suami wanita itu datang dan berkata kepada istrinya : “mana kambing kita yang satu-satunya?” , wanita itu menjawab : “sudah disembelih untuk tamu”, suaminya berkata : “siapa tamu itu?”, si wanita menjawab : “3 orang mereka mengatakan dari kaum quraisy”, si suami marah berkata : “bagaimana kau menyembelih kambing yang hanya satu-satunya milik kita untuk orang yang tidak engkau kenal, yang hanya mengatakan mereka adalah kaum quraisy!”. Waktu berlalu, suatu saat si bapak dan ibu yang tua renta ini keluar ke Madinah untuk menjual kotoran onta yang dijadikan sebagai pupuk, dan mereka gunakan hasil dari penjualan itu untuk kehidupan mereka. Ketika itu sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib sedang duduk di depan rumahnya dan beliau mengenali wanita itu, maka beliau pun memanggilnya : “wahai Ibu, apakah engkau mengenaliku?”, maka wanita itu berkata : “tidak”, sayyidina Hasan berkata : “aku adalah orang yang engkau tolong disaat itu”, wahai ibu ini hadiah dariku 1000 dinar dan 1000 ekor kambing, kemudian sayyidina Hasan memerintahkan pembantunya untuk membawanya kepada sayyidina Husain, maka sayyidina Husain berkata : “wahai ibu, apa yang engkau peroleh dari sayyidina Hasan?”, si ibu menjawab : “ 1000 ekor kambing dan 1000 dinar emas”, sayyidina Husain berkata : “terimalah dariku 1000 ekor kambing dan 1000 dinar emas”, kemudian sayyidina Husain meminta pembantunya untuk membawa wanita kepada Abdullah bin Ja’far, kemudian beliau bertanya : “wahai ibu, apa yang engkau dapatkan dari sayyidina Hasan dan Husain?”, si ibu menjawab : “2000 ekor kambing dan 2000 dinar emas”, sayyidina Abdullah menjawab : “baiklah, terimalah dariku 2000 ekor kambing dan 2000 dinar emas, sungguh jika engkau mendatangiku terlebih dahulu maka aku akan membuat sayyidina Hasan dan Husain kebingungan untuk berbuat dan membalas kebaikannmu”. Maka si wanita itu pun pulang menemui suaminya dengan 4000 ekor kambing dan 4000 dinar emas, demikianlah kedermawanan sayyidina Hasan, sayyidina Husain dan sayyidina Abdullah bin Ja’far.
Juga diriwayatkan dalam kitab Qabs An Nuur Al Mubin ringkasan Rub’ Al Muhlikaat dari kitab Ihyaa’ Ulumuddin oleh guru mulia kita Al Musnid Al Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh dalam bab “Sakhaa’ ( Kedermawanan)”, bahwa sayyidina Abdullah bin ‘Amir membeli rumah sayyidina Khalid bin ‘Uqbah seharga 90.000 dirham, ketika malam hari dia mendengar suara tangisan di luar rumah dan ternyata itu adalah tangisan keluarga Khalid yang menangisi karena rumahnya telah dijual, maka sayyidina Abdullah berkata kepada budaknya : “datanglah kepada mereka (keluarga Khalid) dan katakan kepada mereka bahwa harta dan rumah ini semua untuk mereka”. Sungguh demikian dermawannya mereka para sahabat sehinga mereka selalu dilimpahi keberkahan oleh Allah subhanahu wata’ala. Teriwayatkan pula bahwa sayyidina Laits RA beliau tidak pernah berbicara di setiapharinya sebelum ia bersedekah kepada 360 orang fuqara’ .
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
السَّخِيُّ قَرِيْبٌ مِنَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ الْجَنَّةِ قَرِيْبٌ مِنَ النَّاسِ, بَعِيْدٌ عَنِ النَّارِ واْلبَخِيْلُ بَعِيْدٌ مِنَ اللهِ، بَعِيْدٌ مِنَ اْلجَنَّةِ، بَعِيْدٌ مِنَ النَّاسِ، قَرِيْبٌ مِنَ النَّارِ. وَ اْلجَاهِلُ السَّخِيُّ اَحَبُّ اِلَى اللهِ مِنْ عَابِدٍ بَخِيْلٍ
“Orang yang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat kepada surga, dekat kepada manusia dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia dan dekat pada neraka. Orang yang bodoh tetapi dermawan lebih dicintai Allah daripada orang yang suka beribadah tetapi bakhil".
Namun kedermawanan ada batasnya, yang dari tadi kita bahas adalah sifat pemurah dan bersedekah, maka jangan berlebihan seperti mengada-adakan hukum yang tidak ada, seperti zakat profesi hal ini adalah sesuatu yang mungkar , yang mengatakan bahwa setiap 3 bulan harus mengeluarkan zakat, hadits itu adalah lemah dan tidak bisa dijadikan dalil. Zakat hanya ada 7 macam dan tidak bisa ditambah, dan berbeda dengan shadaqah yang bisa dilakukan kapan saja yang hukumnya adalah sunnah, sedangkan zakat hukumnya adalah wajib. Adapun alasan mereka yang mengharuskan zakat profesi adalah banyaknya orang-orang yang kekurangan, maka harus mengeluarkan infak setiap bulannya, kita boleh mengelurakan infak atau shadaqah namun bukan zakat, karena zakat hukumnya fardhu ‘ain dan tidak bisa dirubah lagi dan orang yang mengingkarin dan tidak melakukannya maka darahnya halal untuk dibunuh, jika telah ditentukan banyaknya zakat adalah 7 macam maka tidak bisa ditambah lagi, seperti halnya shalat wajib hanya 5 waktu maka tidak boleh ditambah-tambah lagi. Riwayat Al Imam Malik dalam Al Muwattha’, yang mengatakan hadits dari Malik, dari Nafi’ dari Ibn Umar Ra bahwa tidak zakat harta kecuali harus menunggu satu tahun dan telah mencapai nishab. Maka jika selama setahun harta itu tidak berkurang dan telah mencapai nishab maka wajib untuk dikeluarkan zakatnya, bukan setiap bulan apalagi setiap hari.
Demikian pula disebutkan dalam Al Muwattha’ Al Imam Malik bahwa sayyidina Abu Bakr As Shiddiq di masa kepemimpinannya juga tidak mengeluarkan shadaqah bulanan atas gaji para karyawan khalifah, dan tidak pula diperintahkan kepada kaum muslimin dan semua khulafaa’ ar rasyidin pun tidak menjalankannya. Dan dijelaskan dalam kitab Al Istidzkar syarh Al Muwattha’ oleh Al Imam Ibn ‘Abd Al Bar mengatakan bahwa riwayat di dalam Al Muwattha’ yang mengatakan bahwa Mu’awiyah mengeluarkan uang di setiap bulannya, maka hal itu adalah perbuatan Mu’awiyah yang tidak ia perintahkan orang lain untuk melakukannya, karena ia tahu bahwa zakat harta berlaku hanya setahun sekali. Demikian pula terdapat dalam riwayat Al Imam Ahmad Ibn Hanbal Ar bahwa tidak ada zakat harta kecuali telah melewati satu tahun dan telah mencapai nishab. Demikian pula yang telah dijelaskan dalam Al Majmuu’ oleh Al Imam An Nawawi dan dalam kitab An Nihayah oleh Al Imam Ramli, dan juga dalam kitab Mughni Al Muhtaj oleh Al Khatib As Syarbini Alaihim rahmatullah, bahwa seluruh madzhab telah berittifaq tidak adanya zakat harta dalam setiap bulannya .
Adapun zakat-zakat yang harus langsung dikelurakan itu, seperti zakat tanaman yang dikeluarkan setiap kali panen, dan zakat rikaz (harta karun) yang berupa emas dan perak dan selain emas dan perak maka tidak dikenai zakat, begitu juga barang tambang emas dan perak dan selain itu tidak wajib zakat, seperti tambang batu bara, minyak dan lainnya maka tidak diwajibkan zakat, maka kesemua itu ketika mendapatkan hasil maka harus langsung dikeluarkan zakatnya. Namun zakat harta, perdagangan, zakat fitrah, dan zakat hewan ternak maka menunggu waktu satu tahun dan telah mencapai nisab. Insyaallah akan saya buatkan buku tentang zakat agar mudah difahami, namun secara ringkas bahwa zakat profesi adalah sesuatu yang di ada-ada kan dan jangan diikuti. Namun jika mengeluarkannya dengan nama shadaqah maka hal itu boleh-boleh saja, bisa dilakukan setiap hari, tiap minggu atau setiap bulan dan bukan disebut zakat, karena zakat itu hukumnya wajib dan fardhu ain.
Dan tentunya kita harus mengikuti pendapat para jumhur, yaitu pendapat ulama’ yang terbanyak dan tidak mamilih kelompok yang memisahkan diri. Karena orang-orang yang memisahkan diri dari jamaah itu telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, riwayat Shahih Al Bukhari :
فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena, tidaklah seseorang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal saja lalu mati, maka matinya tidak lain seperti orang jahiliyah."
Dan ajaran yang seperti banyak muncul di zaman sekarang, maka jangan diikuti. Namun jangan pula dimusuhi, musuhi aqidah dan ajarannya tetapi jangan musuhi orangnya, karena mereka tertipu dengan kejahilan dan seandainya mereka mengetahui pastilah mereka akan menuju jalan yang benar, ingatlah doa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَللّهُمَّ اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
" Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku , sesungguhnya mereka tidak mengetahui "
Kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala semoga Allah melimpahkan kepada kita rahmat dan keberkahan, keluhuran, kesucian dan pengabulan doa atas segala hajat kita. Rabbi, kami mendengar sifat-sifat dermawan dari hamba-hamba-Mu yang luhur sehingga mereka mau member 1000 kali lebih besar dari yang mereka terima, seperti itulah hamba-hamba-Mu maka terlebih lagi Engkau Yang Maha Memiliki sifat dermawan. Wahai Allah kami bershadaqah kepada orang-orang yang tidak mampu diantara kami, dan kami adalah hamba-hamba yang tidak mampu dihadapan-Mu maka bershadaqahlah kepada kami wahai Allah. Ya Arhamar rahimin, inilah hamba-hamba yang lemah, yang banyak kesulitan untuk meninggalkan perbuatan dosa, banyak kesulitan untuk berbuat ketaatan, banyak pula kesulitan untuk melewati masalah-masalah kehidupan di dunia, dan Engkau Maha memegang kunci kemudahan maka curahkan cahaya kemudahan menerangi hari-hari kami, menerangi jiwa dan sanubari kami hingga jiwa dan sanubari kami tenang dengan kasih sayang-Mu, tenang dengan anugerah dan kesejukan nama-Mu sehingga hari-hari kami menjadi semakin indah dan mudah di dunia dan akhirah….
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
Sufi Road : Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah (3)
PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN
Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah
Prof. DR. Al-'Alim Al-'Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah:186) )
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra`:110)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa al-Wasilah”.
Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan: "Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra." Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt. Atau karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah swt.: "يحبّونهم ويحبّونه" atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu."
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu," itu sama dengan orang yang mengatakan: "Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepada NabiMu."
Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA
ý Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran
Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah
Prof. DR. Al-'Alim Al-'Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani
PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:
Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.
Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt.:
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:
Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.
Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt.:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah:186) )
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra`:110)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa al-Wasilah”.
Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan: "Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra." Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt. Atau karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah swt.: "يحبّونهم ويحبّونه" atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu."
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu," itu sama dengan orang yang mengatakan: "Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepada NabiMu."
Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA
ý Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran
Sufi Road : Sholawat Untuk Bermimpi Rasulullah SAW
Berikut adalah sholawat dalam ryadhoh untuk bertemu dengan Rasulullah yang disarikan oleh Syeikh Yusuf An Nabhani dalam Kitabnya Sa'adatu daroin dari riwayat Syeikh Abdul Qadir Al Jilani
Labels:
Dzikir dan Doa,
Sholawat
Sufi Road : Do'a Sayyidina Faqih Muqoddam
Imam Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawiy
Biografi
Imam Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawiy
[Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih yang diunggulkan).
Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam dan guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa, seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan hidupnya terukir dengan indah.
Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin.
Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid (pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya, diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau) dan masih banyak lagi.
Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil dari seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para Salafus Sholeh. Beliau ber-mujahadah dengan keras dalam mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan syariah.
Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulama-ulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di jamannya.
Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif billah. Allah-lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah.
Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh Sa’ad membaca surat itu dan merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagum-kagum dan merasakan asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin.”
Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-Faqih Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau selainnya.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis salam. Beliau berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’”
Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran. Bangunlah Al-Faqih Al-Muqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya, “Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, “Dia adalah Nabi Khidir alaihis salam.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau. Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar Balhaf. Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya, dan masih banyak lagi.
Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy
Labels:
Dzikir dan Doa
Subscribe to:
Posts (Atom)