Jalan orang-orang sufi.. Pecinta menuju makrifatullah Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah. Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikel
Wednesday, March 31, 2010
Pemikiran Sufistik Sunan Bonang
Kedua wali itu dikenal sebagai pendakwah Islam yang gigih. Keduanya sama-sama belajar di Malaka dan Pasai, baru kemudian menunaikan ibadah haji di Mekah. Bedanya, jika Sunan Giri lebih condong pada ilmu fiqih, syariah, teologi, dan politik; Sunan Bonang –tanpa mengabaikan ilmu-ilmu Islam yang lain– lebih condong pada tasawuf dan kesusastraan. Sumber-sumber sejarah Jawa, termasuk suluk-suluknya sendiri menyatakan bahwa ia sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, dan seni kriya. Dakwah melalui seni dan aktivitas budaya merupakan senjatanya yang ampuh untuk menarik penduduk Jawa memeluk agama Islam.
Sebagai musikus dan komponis terkemuka, konon Sunan Bonang menciptakan beberapa komposisi (gending), di antaranya Gending Dharma. Gending ini dicipta berdasarkan wawasan estetik sufi, yang memandang alunan bunyi musik tertentu dapat dijadikan sarana kenaikan menuju alam kerohanian. Gending Darma, konon, apabila didengar orang dapat menghanyutkan jiwa dan membawanya ke alam meditasi (tafakkur). Penabuhan gending ini pernah menggagalkan rencana perampokan gerombolan bandit di Surabaya. Manakala gending ini ditabuh oleh Sunan Bonang, para perampok itu terhanyut ke alam meditasi dan lupa akan rencananya melakukan perampokan. Keesokannya pemimpin bandit dan anak buahnya menghadap Sunan Bonang, dan menyatakan diri memeluk Islam.
Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga dan lain-lain, jelas bertanggung jawab bagi perubahan arah estetika Gamelan. Musik yang semula bercorak Hindu dan ditabuh berdasarkan wawasan estetik Sufi. Tidak mengherankan gamelan Jawa menjadi sangat kontemplatif dan meditatif, berbeda dengan gamelan Bali yang merupakan warisan musik Hindu. Warna sufistik gamelan Jawa ini lalu berpengaruh pada gamelan Sunda dan Madura.
Sunan Bonang juga menambahkan instrumen baru pada gamelan. Yaitu bonang (diambil dari gelarnya sebagai wali yang membuka pesantren pertama di Desa Bonang). Bonang adalah alat musik dari Campa, yang dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu Brawijaya dengan Putri Campa, yang juga saudara sepupu Sunan Bonang. Instrumen lain yang ditambahkan pada gamelan ialah rebab, alat musik Arab yang memberi suasana syahdu dan harus apabila dibunyikan. Rebab, yang tidak ada pada gamelan Bali, sangat dominan dalam gamelan Jawa, bahkan didudukkan sebagai raja instrumen.
Sebagai Imam pertama Masjid Demak, Sunan Bonang bersama wali lain, terutama murid dan sahabat karibnya Sunan Kalijaga, sibuk memberi warna lokal pada upacara-upacara keagamaan Islam seperti Idul Fitri, perayaan Maulid Nabi, peringatan Tahun Baru Islam (1 Muharram atau 1 Asyura) dan lain-lain. Dengan memberi warna lokal maka upacara-upacara itu tidak asing dan akrab bagi masyarakat Jawa.
Syair Islam pun akan mulus dan ajaran Islam mudah diresapi.Toh, menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban. Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan memakai kebaya dan kerudung.
Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa, yang sampai kini masih diselenggarakan ialah upacara Sekaten dan Grebeg Maulid. Beberapa lakon carangan pewayangan yang bernapas Islam juga digubah oleh Sunan Bonang bersama-sama Sunan Kalijaga.
Di antaranya Petruk Jadi Raja dan Layang Kalimasada.
Setelah berselisih paham dengan Sultan Demak I, yaitu Raden Patah, Sunan Bonang mengundurkan diri sebagai Imam Masjid Kerajaan. Ia pindah ke desa Bonang, dekat Lasem, sebuah desa yang kering kerontang dan miskin. Di sini ia mendirikan pesantren kecil, mendidik murid-muridnya dalam berbagai keterampilan di samping pengetahuan agama. Di sini pula Sunan Bonang banyak mendidik para mualaf menjadi pemeluk Islam yang teguh. Suluk-suluknya seperti Suluk Wujil, menyebutkan bahwa ia bukan saja mengajarkan ilmu fikih dan syariat serta teologi, melainkan juga kesenian, sastra, seni kriya, dan ilmu tasawuf. Tasawuf diajarkan kepada siswa-siswanya yang pandai, jadi tidak diajarkan kepada sembarangan murid.
Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber air dan sumur untuk perbekalan air penduduk dan untuk irigasi pertanian lahan kering. Sunan Bonang juga mengajarkan cara membuat terasi, karena di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, dan merupakan sumber penghasilan penduduk desa yang cukup penting.
Karya dan Ajaran
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya sebagaimana disebut B Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam tulisannya “Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang” (majalah Djawa no. 3-5, 1938). Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain, berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta (isyq) pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan masalah kecerdasan emosi; masalah kemauan murni dan lain-lain.
Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Mahaindah. Dalam pengertian ini seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang Satu dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-nya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.
Cinta merupakan, baik keadaan rohani (hal) maupun peringkat rohani (maqam). Sebagai keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu. Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid yaitu, tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun harus dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan perilaku kita. Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir) yang baik dan jernih tentang-Nya.
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Relevansi dan Pengaruh
Jelas sekali bahwa Sunan Bonang mengajarkan tasawuf positif dengan menekankan pentingnya ikhtiar dan kemauan (kehendak) dalam mencapai cita-cita.
Pengaruh ajaran ini juga terasa pula pada pandangan hidup dan budaya masyarakat muslim pesisir, khususnya di Jawa Timur dan Madura. Penduduk muslim Jawa Timur dan Madura sejak lama ialah pengikut madzab Syafii yang patuh dengan kecenderungan tasawuf yang kuat. Namun mereka juga memiliki etos kerja keras dan akrab dengan budaya dagang.
Tasawuf yang diresapi dan dipahami ternyata bukan tasawuf yang eskapis dan pasif. Sebaliknya yang dihayati ialah tasawuf yang aktif dan militan; aktif dan militan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan juga dalam kehidupan agama dan kebudayaan.
Pengaruh penting lain ajaran Sunan Bonang ialah pada pemikiran kebudayaan termasuk dalam seni atau wawasan estetik. Sunan Bonang berpendapat bahwa agama apa pun, termasuk Islam, dapat tersebar cepat dan mudah diresapi oleh masyarakat, apabila unsur-unsur penting budaya masyarakat setempat dapat diserap dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai dan pandangan hidup agama bersangkutan.
Sumber: Nusa Dwipa
Hikam Al Hadad: Mukasyafah (penyingkapan rahasia)
Diantara perkara-perkara yang boleh membahayakan seorang murid ialah mencita-citakan
(menginginkan) Mukasyafah (penyingkapan rahasia-rahasia Tuhan) dan berharap keramat
serta perkara-perkara diluar kebiasaan adat berlaku atas dirinya. Ingatlah wahai murid, bahwa perkara-perkara serupa ini tidak akan muncul selagi kamu dituntut atau diminta-minta dengan berdasarkan hawa dan nafsu kerana pada kebiasaanya ia tidak akan muncul melainkan pada orang-orang yang membencinya dan tidak menduganya sama sekali.
Keterangan:
“Kebanyakkan murid dan salik bercita-cita untuk memperolehi ‘mukasyafah’ iaitu terbukanya
rahasia-rahasia Tuhan dan bila terbukanya rahasia ketuhanan maka beralihlah ia untuk
mencapai kedudukkan keramat yang mempunyai perkara-perkara diluar kebiasaan adat resam
sebagai manusia biasa kerana tercapainya kedudukkan keramat akan membawanya kepada
kedudukkan luar biasa, macam ‘superman’. Ingatlah wahai murid dan salik, perkara ini tidak
akan datang selagi kamu mencarinya atau meminta-minta dengan berlandaskan hawa nafsu.
Kerana pada kebiasaanya keramat ini tidak akan datang melainkan pada orang-orang yang
sangat membencinya dan tidak sangka sama sekali bila ia datang. Orang yang benci pada
kedudukkan keramat ini adalah semata-mata tidak mahu diganggu oleh manusia lain kerana
tumpuan yang selama ini diberikan untuk Allah akan beralih kepada manusia dengan terpaksa
melayani fi’il tabiat manusia yang hanya ingin kesenangan dan menolak kesusuhan kerana
kebanyakkan manusia sebegini adalah manusia yang buta mata hatinya”.
Adakalanya perkara-perkara seumpama keramat dan sebagainya itu berlaku juga pada
golongan orang yang tertipu dengan cita-cita untuk mencelakakan dirinya dan sebagai suatu
69 Petunjuk Jalan Thariqat
pengujian terhadap kamu Mu’minin yang lemah I’tikadnya. Semua itu tidak boleh dikira
sebagai keramat yang benar, malah ia merupakan sebagai suatu penghinaan kepada orangorang
yang mendakwa keramat itu. Sebab keramat hanya lahir (ada) pada orang-orang ahli
istiqamah, yakni orang-orang yang sudah terkenal lurus dalam perjalanannya.
Keterangan:
“Kadang-kadang perkara seperti keramat berlaku juga pada orang yang tertipu dengan
angan-angannya. Ini adalah sebagai hukuman dari Allah untuk mencelakakan dirinya dan
sebagai pelajaran bagi kaum mu’minin yang lemah keyakinannya terhadap Allah Taala.
Sekiranya berlaku juga sesuatu diluar dugaan manusia itu adalah ‘ketetapan hukum yang
berlaku pada masa itu’ bukan pada keramat seperti yang didakwa oleh orang yang tertipu dan
orang yang ditipu. Keramat hanya akan datang pada orang-orang yang ahli didalam
istiqamah sahaja. Lain cara jangan haraplah! Istiqamah didalam menjalankan ketaatan
perintah Allah Taala dan RasulNya. Sangatlah mudah untuk mengetahui seseorang itu
menerima anugerah keramat ataupun tidak, lihatlah akan ketaatannya pada perintah Allah
dan RasulNya. Mudah bukan! Maka dengan itu janganlah lekas terperdaya dengan dakwaan
seseorang itu keramat atau tidak, lihatlah pada istiqamahnya”.
Wahai kamu murid! Sekiranya Allah Taala telah memberikan penghormatan keramat kepada
kamu, maka hendaklah kamu mensyukuriNya. Awas, janganlah pula kamu berhenti dari
meneruskan amalan kamu lantaran keramat itu telah muncul atas diri kamu. Juga hendaklah
kamu tidak bermegah sangat dengan keramat itu, lalu kamu mengantungkan semua harapan ke
atasnya. Hendaklah kamu merahsiakan keramat itu dari orang ramai dan jangan
membicarakannya dengan mereka.
Keterangan:
“Sekiranya ditakdirkan oleh Allah Taala memberikan penghormatan keramat kepada kamu,
maka hendaklah kamu mensyukuriNya atas pemberianNya. Tapi ingat! Selagi kamu tidak tahu
mensyukuriNya bagaimana mungkin penghormatan keramat akan diberikan? Dan janganlah
pula kamu ‘pencen’ pulak dari meneruskan amalan ketaatan kerana keramat sudah dapat dan
kerana telah sebok melayani manusia . . . Janganlah kamu bertepuk dada lantaran keramat itu
dan mengantungkan semua harapan kamu keatasnya. Kalau perbuatan itu tidak dibuat macam
mana orang nak tahu kamu keramat? Rugilah . . . Duit tak masuk . . .
Rahasiakan keramat itu dari orang ramai dan jangan membicarakannya kalau kamu tidak
mahu disebokkan oleh mereka . . .”.
Akan tetapi, jika semua itu tidak pernah muncul atau lahir atas diri kamu, meskipun kamu telah
banyak beramal dan beribadat, maka janganlah sampai kamu mencita-citakannya dan jangan
juga merasa kesal dan dukacita, apabila dengan tiba-tiba ia hilang tidak menjelma lagi.
Keterangan:
“Sekiranya keramat
Syair Sufi Burdah Al Bushiri (bag 8)
Berita kenabian membuat musuh takut dan gundah
Bak lolongan serigala yang takutkan si kambing lengah
Tak henti ia lawan para musuh di medan pertempuran
Hingga mereka bagai daging terserak diatas meja jamuan
Mereka ingin lari dan mati saja bak kawan yang terkapar
Mati menggelepar dikoyak Elang dan burung Nasar
Siang malam berlalu tanpa mereka kenal waktu
Hingga tiba bulan terlarang ketika Nabi hentikan perang
Islam datang bagai tamu yang singgah di pekarangan
Yang sangat ingin membunuh musuh musuh Islam
la bawa lautan pasukan diatas kuda yang meluncur
Membawa para gagah berani bagai ombak yang berdebur
Mereka pejuang yang mengharap syahid dan surga Allah
Menyerang untuk membasmi dan memusnahkan kekafiran
Sehingga berkat mereka, Islam yang semula tak dikenal
Menjadi tersohor dalarn jalinan kekerabatan yang kental
Karena keperkasaan mereka hati musuh takut dan gelisah
Apakah bedanya anak domba dan si pemberani gagah
Siapa saja yang bersama Rasulullah beroleh kemenangan
Singa di rimba bila menemuinya akan diam gemetaran
Takkan kau lihat sahabat Nabi yang tak menang
Takkan ada musuh Nabi yang tak jadi pecundang
la tempatkan umatnya dalam benteng agamanya
Bagai singa yang tinggal di hutan bersama anaknya
Seringkali Al Qur'an jatuhkan para pendebat
Seringkali dalil-dalil kalahkan musuh Muhammad
Cukup sebagai mukjizat, Nabi berilmu padahal buta huruf
Di zaman Jahiliyah, Nabi terdidik tanpa pengasuh
---(ooo)---
Tawassul Kepada Nabi SAW
Kupuji Nabi dengan pujian agar dosaku diampunkan
Karena umurku habis untuk bersyair dan pengabdian
Keduanya mengalungi dosa yang menakutkan
seakan aku hewan sembelihan yang siap dikorbankan
Kuturuti godaan masa muda untuk bersyair dan mengabdi
Tiada satu pun kudapat kecuali dosa dan sesal diri
Alangkah ruginya jiwaku dalam perniagaamya
Tak pernah membeli dan menawar agama dengan dunia
Barang siapa menjual akherat untuk dunia sesaat
Jelas ia tertipu dalam setiap jual beli yang diakad
Jika kuperbuat dosa, janjiku pada Nabi tidaklah gugur
Juga tali hubunganku dengannya tidaklah terputus
Namaku juga Muhammad (Bushiri), jaminanku buat Nabi
Dialah sebaik baik manusia yang tepati janji
Jika kelak di akherat la tak sudi menolongku
Maka alangkah rugi dan celakanya diriku
Tapi mustahil ia tolak para peminta syafaatnya
Atau peminta perlindungannya pulang dengan sia sia
Semenjak kuwajibkan diriku untuk memberinya pujian
Kudapatkan Nabi sebaik baik pemberi pertolongan
Pemberiamya tak luputkan seorangpun pemintanya
Karena hujan mengguyur bunga di bukit secara merata
Dengan pujian ini tidaklah kuinginkan gemerlap dunia
Seperti yang Zuhair mula ketika ia puji Raja Haram
Syair Sufi Burdah Al Bushiri (bag 7)
Wahai manusia terbaik yang dituju pekarangannya
Dijalan atau menunggangi unta yang cepat larinya
Wahai Nabi yang jadi pertanda bagi pencari kebenaran
Yang jadi karunia terbesar bagi pencari nikmat Tuhan
Malam itu kau berjalan dari Masjidil Haram ke Al Aqsha
Bagai purnama yang bergerak di malam gulita
Kau terus saja meninggi hingga sampai tempat terdekat
Yang tak seorang pun mencapai atau mengharap
Para nabi mendahulukanmu berdiri di depan
Tak ubahnya penghormatan pelayan kepada sang tuan
Kau terobos tujuh lapis langit bersama mereka
Dalam barisan para malaikat kaulah pemimpin mereka
Hingga tak satu puncak pun tersisa bagi pengejarmu
Tak sederajat pun bagi pencari kemuliaan tersisa olehmu
Karena keluhuramu, derajat menjadi rendah semua
Ketika kau diseru bagai pemimpim tunggal yang mulia
Agar kau peroleh hubungan khusus yang terselubungkan
Juga rahasia yang senantiasa tersimpan
Kau beroleh kebanggaan yang tak terbagi
Kau lewati setiap derajat tanpa seorang pun menyaingi
Sungguh agung derajat yang kau dapatkan
Sungguh jarang nikmat yang kepadamu telah diberikan
Kabar gembira wahai ummat islam bagi kita tiang kokoh
Yang dengan Inayah dari Allah, tak akan roboh
Ketika Allah juluki ia rasul termulia karena sangat taat
la rasul termulia maka jadilah kita sebaik baik umat
---(ooo)---
Tuesday, March 30, 2010
SYEKH ACHMAD KHATIB SAMBASI IBN ABD GHAFFAR
Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syekh Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa beliau adalah salah satu guru dari Syekh Nawawi al-Bantani, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.
Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syekh Sambas adalah melahirkan Syekh-Syekh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19. Kunci kesuksesan Syekh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir, muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.
Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syekh Sambasi melalui ajaran-ajarannya setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan, Syekh Sambasi merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, di antaranya Syekh Abd al-Karim Banteni. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-Syekh, beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syekh Sambasi.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, mereka menyatakan sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syekh Sambasi adalah sebagai seorang ulama, dimana tuduhan penulis Eopa tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syekh Sambasi dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan Syekh-Syekh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syekh Tolhah Kalisapu bin Tallabudi dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.
Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19 Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas melalui Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.
Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syekh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syekh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syekh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syekh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syekh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syekh Abd al-Karim Banten dan penggantinya.
Pada prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid atau majelis ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak mengagetkan jika selama masa ceramah umum, tidak ada materi yang terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Mbah Anom, mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan dalam sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengajarkan teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.[]
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi penting empat dasawarsa pasca Paderi. Justeru sejak dasawarsa ke-4 abad ke-19, Paderi menyisakan traumatik orang Minang bahkan ulama kecewa dengan kaum adat. Kekecewaan itu tidak saja karena lumpuh menghadapi tekanan penjajah, secara internal tak kurang dahsyatnya tantangan pengkhianatan sebagian orang Minang sendiri terhadap Islam. Imam Bonjol sendiri mengeluh seperti terungkap dalam drama kolosal Imam Bonjol-nya Wisran Hadi, yakni mengalahkan penjajah tidak terlalu susah, tetapi mempertahankan persatuan di antara kita, aku terluka karenanya. Bagi ulama fenomena tadi rasanya jalan di dunia sudah dipagar, meskipun orang adat punya dalih yang katanya way of life (falsafah hidup) orang Minang tapi identik hela yakni adat basandi syara`, syara` basandi Kitabullah yang belum pernah punya bentuk implementatif. Untung saja para tokoh agama plus perjuang Paderi tidak pessimis, mereka masih yakin jalan ke langit masih tetap terbuka lebar. Makanya untuk menelusuri jalan kelangit serta merambah kembali jalan dunia dan membongkar pagarnya, dalam pengertian lain untuk membangun Islam dan kebangsaanQuo vadis masyarakat dan Islam Minang?, meskipun sudah diketahui Ahmad Chatib kemudian telah melahirkan para ulama pembaharu Islam dan pejuang penyambung mata rantai perjuangan yang terputus, tidak saja untuk Minangkabau tetapi Indonesia secara keseluruhan.
Nama lengkap beliau Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al Minangkabawi as Syafii. Peranan ulama yang berasal dari dunia Melayu di Masjid al-Haram Mekah sudah berjalan begitu lama dan bersambung daripada satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai contoh ulama dunia Melayu yang pernah menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah yang dapat diketahui ada tiga orang, iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Lebih kurang seratus tahun kemudian ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (lahir Senin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) di Kota Gedang Bukittinggi Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M). Eksistensi Ahmad Chatib selama hayatnya di Makah (wafat Senen, 2 Jumadil Awal 1334/ 1917) tidak saja mengangkat citra bangsa Indonesia di mata dunia dalam bidang ilmu ke-Islaman, tetapi tidak sedikit mendidik para ulama sebagai pejuang Islam di tanah airnya. Citra Indonesia yang diangkat pertama sebagai orang Indonesia ia mampu menunjukkan kepada dunia luar mampu menandingi kefasihan orang Arab sendiri dalam berbahasa Al-Qur’an, kedua membuka isolasi konsep mawalli Arab yang memandang rendah orang asing termasuk orang Indonesia dan mengangkat derajat yang sama dari peringkat kelas dua di mata Arab dan tidak boleh menjadi imam selain Arab. Justeru Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy dipercaya menjadi imam umat Islam se-dunia ketika itu di Masjid Al-Haram Al-Syarif.
Ahmad Chatib di Mekkah sampai dasawarsa ke-2 itu merupakan tiang tengah penegak mazhab Syafi’iy. Ia belajar dan mengajarkan fiqh Syafi`iy seperti Kitab Manhaj Al-Thalibin karya Imam Syafi’iy, Thuhfah karangan Imam Ibnu Hajar Haitami, Nihayah karang Imam Ramli dll. Ia belajar dengan banyak guru dan para pakar di bidangnya di berbagai negara Arab. Ia pun banyak mempunyai murid datang dari berbagai penjuru dunia Islam dan banyak pula ulama yang ia didik. Muridnya itu kembali ke tanah air masing-masing, merdeka mengembangkan paham keagamaan yang dianut. Setidaknya ada muridnya yang mengelompok ulama modernis (kaum muda) dan ada yang ulama tradisional (kaum tua). Ulama-ulama yang berhasil dididik Syeikh Ahmad Chatib itu di antaranya, ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H.Abdul Karim Amarullah (Maninjau - Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syeikh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi) dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) dan ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang abad ke-20 Burhan Al-Haq, dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Bayang- Pesisir Selatan) pimpinan ulama tua moderat pengarang buku kepustakaan pejuang penuh moral abad ke-20 Taraghub ila Rahmatilllah (Mencari Rahmat Alla), Syeikh Taher Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi ayah dari Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syeikh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abdullah Abbas Padang Japang, Syeikh Musthafa Padang Japang, Syeikh Musthafa Husen Purba Baru, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli, Syeikh KH. Muhammad Dahlan dll. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.
Ulama murid dari Ahmad Chatib inilah yang melanjutkan perjuangan Islam sekaligus mempunyai saham memupuk rasa kebangsaan hubb al-wathan (cinta tanah air) sebagai ciri nasionalis sejati. Di Minangkabau muridnya menyambung mata rantai yang terputus perjuangan pengembangan Islam dan kebangsaan pada gelombang pertama. Secara kategoris gerakan yang paling dahsyat dalam pengembangan Islam, gelombang pertama adalah perang paderi. Pasca Paderi disusul pergolakan agama diisi polemik Tuanku Muhammad ayah dari Taher Jalaludin yang terlibat langsung dalam menentang paham Wahdat al-Wujud yang dalam filsafat ketuhanan disebut dengan istilah Pantaisme. Tuanku Muhamad ini adalah tokoh pembela paham Wahdat al-Syuhud di Cangking. Fenomena susulan pasca paderi ini merupakan konpensasi awal kecenderungan mengalihkan perhatian kepada tashawwuf dari kejenuhan gemuruh dunia melawan kolonialisme. Beberapa Negeri para pemuka tarekat mendirikan kegiatan-kegiatan tarekat seperti di wilayah Darat, tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah mendirikan suluk. Sementara di pantai barat bagian utara seperti di Pariaman, Batuhampar (Payakumbuh), Kumango, Maninjau, Pariangan, Ulakan, Malalo dll, berkembang kegiatan tarekat Satariyah. Kecendrungan ini menurut Buya Prof. Dr. Hamka timbul karena kegagalan perjuangan menuntut kedaulatan duniawi oleh Paderi yang menyebabkan perhatian tertumpah kepada urusan kerohanian (fiqh bathin) dalam pengertian lain mengalihkan perhatian ke jalan menuju langit yang masih tetap terbuka lebar itu, di samping jalan di muka bumi telah berpagar.
Gelombang kedua adalah era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim belajar ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era gerakan murid-muridnya. Muridnya yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Bayang, pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini merupakan ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam gelombang kedua Minangkabau semakin mengambil bentuk awal abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat serta memberi PR kepada dua golongan ulama tadi dengan 40 masalah khilafiyah. Pembaharuan tampak menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu mendapat pujian besar dan kaum tua (tradisional) giat menyusun kekuatan dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan paham yang dianut. Kaum muda terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, antara lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu. Sehubungan ini, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi sangat menentang ajaran Kristian terutama tentang `triniti'. Dalam permasalahan mendirikan masjid untuk solat Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi berkontroversi dengan Sayid Utsman (Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang dan ulama-ulama Betawi lainnya. Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.
Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menyanggah pula teori ”Martabat Tujuh” yang berasal daripada Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah. Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeza pendapat. Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua', beliau ialah Syeikh Hasan Ma'sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda', beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka). Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Ma'sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M - 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah, Thariqat Ahmadiyah dan lainnya. Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis : "Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi'...''
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memiliki banyak murid di Indonesia yang kemudian dikenal sebagai ulama-ulama pembaharu Islam ”garda depan” pada zaman mereka. Di antara murid-murid beliau dari Indonesia tersebutitu dapat dicatat, yaitu Syeikh Sulaiman Ar Rasuli Candung Bukittinggi. Kemudian terdapat Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawa Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein Purba Baru Mandahiling, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli dan banyak lagi ulama di Jawa, Madura, Sulawesi, Kalimantan yang merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ini. Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M. Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi Muta'annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul a-'ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M. Syeikh Muhammad Sa'ad bin Tanta' Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah. Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti'annitin oleh Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba'dhil Muta'ashshibin. Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba'dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
Karya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang telah ditemui hanya 17 judul. Ada yang ditulis dengan bahasa Arab dan ada juga dengan bahasa Melayu. Kerana kekurangan ruangan, yang dapat disenaraikan dalam artikel ini hanya lapan judul yaitu : Al-Jauharun Naqiyah fil A'mali Jaibiyah (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Isnin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba'ah al- Maimuniyah, Mesir, Rejab 1309 H. Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Khamis, 20 Ramadan 1306 H. Kandungannya mengenai ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba'ah Darul Kutub al-'Arabiyah al-Kubra, Mesir, 1332 H. Raudhatul Hussab fi A'mali `Ilmil Hisab (bahasa Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaedah 1307 H di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1310 H. Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushl wal Furu' (bahasa Melayu). Diselesaikan pada 14 Muharam 1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il Masmu' (bahasa Melayu). `Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa Melayu), diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-'Amirah al-Miriyah, Mekah, akhir Zulkaedah 1313 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A'malil Jabiyah (bahasa Melayu), selesai mengarang pada malam Sabtu, 6 Jamadilakhir 1313 H. Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il Masmu' (bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Khamis, 26 Jamadilawal 1311 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dari buku nomor 6 diatas, dicetak karya beliau berjudul Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushul wal Furu' Dhau-us Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada malam 27 Rabiul Akhir 1312 H. di Mekah. Kandungannya membahas mengenai seluk beluk israk dan mikraj. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H. Shulhul Jama'atain bi Jawazi Ta'addudil Jum'atain (bahasa Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rejab 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Jumaat, merupakan sanggahan sebuah karya Habib `Utsman Betawi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
Satu hal yang menjadi suri teladan dan panutan sebagai tokoh tiang tua pembela paham Syafi`iy dan Ahli Sunnah wa l-Jama`ah ini ialah Ahmad Chatib tidak pernah memihak pada salah satu kelompok muridnya baik ulama modernis (kaum muda) mau pun ulama tradisional (kaum tua). Keadilannya itu sudah menjadi sikapnya sewaktu mulai mengajar di Masjid Al-Haram Makah dan setelah muridnya dilepas ke tengah umat masing-masing, meski ia sendiri harus memberontak atas sistem perkawinan dan kewarisan yang dinominasi hukum adat di negerinya. Di antara polemik muridnya ia berjalan di tengah. Sikapnya itu terlihat dalam fiqh al-bathin (kode prilaku bathin), perinsip, tindakannya, maupun dalam pandangannya secara oral dan dalam tulisan lepas dan dalam bentuk buku baik ditulis dalam bahasa Malayu menggunakan huruf Arab – Malayu maupun dalam bahasa Arab. Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy menjadi bintang di langit Minang bahkan menghiasi langit dunia menandingi ulama penulis 34 buku Islam dari Banten ialah Syeikh Nawawi Banten (wafat 1315 H), karena ia berhasil dan ia anak emas zamannya. Ia mengangkat citra Indonesia di mata dunia, ia dipercaya pemberi fatwa (mufti) dunia, ia terangkat dari mawalli dipercayai mengimami dunia di Masjid al-Haram. Ia bandyak melahirkan pandangan dan pemikiran yang jernih, baik dalam bentuk fatwa oral (langsung secara lisan) maupun tertulis lewat risalah (surat kiriman) yang diminta muridnya ketika kandas dan tertarung di batu kecil dalam polemik ke-Islaman. Ia banyak menulis memproduk buku-buku keagamaan dan pengetahuan menghimpun pemikirannya yang tidak ternilai harganya di dunia Islam. Lebih dari itu, ia melahirkan ulama kader pembaharu abad ke-20 serta pelanjut dan penyambung mata rantai perjuangan Islam.
Sebuah refleksi untuk zaman sekarang, tokoh Ahmad Chatib ini dan muridnya hidup di zaman penjajah yang serba sulit di bawah tekanan dan fasilitas terbatas serta peluang sempit, mampu melahirkan pemikiran dan karya tulis yang bernas serta melahirkan kader pelanjut, kenapa sekarang hidup di zaman merdeka, berkarya tak gairah, produktifitas pemikiran tidak terbaca di peta tanah air apalagi di dunia dan amat riskan tidak mampu melahirkan kader ulama pelanjut, nama besar Minang seperti lenyap ditelan dunia maju sekarang. Fenomena ini mendalangi munculnya tanda tanya besar yang tak pernah berjawab, kalau dulu Minang gudang ulama, sekarang langka ulama, kalau pun ada ulama satu atau dua, pemikiranntnya tidak pula dipertimbangkan untuk kepentingan Islam dan kebangsaan di kawasan ini bahkan ironisnya tidak dipandang sebelah mata. Ila aidna (quo vadis – hendak kemana) dan bagaimana masyarakat dan Islam Minang, kini?. Solusi terpenting adalah kesadaran baru semua komponen Minang harus ditumbuhkan, tak harus banyak bernostalgia dan berapologia. Belajar terus berlajar berperan lagi dan punya identitas yang kuat serta berfikir dan berkarya.
Sumber : Sohibulmanfaat
: Tim Peneliti FIBA IAIN Padang
Film Kisah Syeikh Abdul Qadir Al Jilani
Monday, March 29, 2010
Sufi Pakistan : Syed Ghulam Haider Shah - (1838-1908)
Hazrat Syed Ghulam Haider Shah (1838-1908), a renowned sufi, contributed a lot to the spread of Islam and to develop a through and deep belief on its teachings. Al-though century has passed yet his principles, teachings and attitude towards life is providing guidance to large number of masses, all over the world. His impressive religious personality has turned jalalpur Shareef into a symbol of light and inspiration
BIRTH and Early Life:
In the Year in 1838, Hazrat Syed Ghulam Haider Shah was born in a beautiful hilly town, Jalapur Shareef, situated on the western bank of River Jehlum, near Kahwera saltmines in district Jehlum.
The grand father (Syed Sakhi Shah) and father (Syed Juma Shah) of Syed Ghulam Haider Shah have been renowned for their steadfastness and trustworthiness in the region.
His mother, from a Syed family of Khewah (Gujrat), had been very pious, a resolute lady and very considerate towards poor and needy ones.
Since his childhood Syed Ghulam Haider Shah had decent habits, clear thinking and complete faith and confidence in the supremacy and authority of Allah.
Learned Holy Quran from Mian Khan and his uncle Hzrt Syed Imam Shah. Among other teachers were Mian Mohammad Kamil and Mufti Ghulam Mohaiuddin, who were distinguished scholars in the region at that time.
As he reached his youth, Allah blessed him with strong and healthy built. He had fair wheatish complexion and attractive black eyes, full of confidence and conviction. His father used to impress upon him to lead a life with chastity. He honoured father’s advice and through out his life, avoided even minor touch with anyna-mahram lady.
Marriage:
He got married at the age of sixteen. After two years he had to witness the bereavement of his father, who was at the same time a spiritual tutor and with whom he was deeply attached. Before the demise, his father instructed and advised him, “Lead simple, chaste and respectable life. Always remember the Supreme Authority, Allah and Sunnah (practice and preaching of holy prophet Muhammad, peace be upon him) should be the conduct of life. Be-caring and considerate to relatives and also towards needy and poor. Be respectful to elders and loving and caring towards younger. Most visit every day, the shrine of Hzrt Syed Meer Shakir Shah commonly known as Syed Miran Shakir for spiritual guidance and strength”.
Hazrat Syed Miran Shakir, whose shrine is about three miles up-hills from Jallalpur Shareef, is the eldest son of well known Hazrat Syed Shah Muhammad Ghaus, who is buried in Lahore between Akbari and Dilli Gate.
The obedient son acted according to the will of his father. He led simple, contented and pious life according to the guide lines set by the Holy Quran and Sunnah. He strived to gain know ledge and be beneficial for people. Because of his generosity he is remembered as Gharib-Nawaz (generous to poor). Despite his own early moderate economic conditions, he used to give alms to any beggar visiting his doorstep and helped the travelers and needy ones, irrespective of their religion or creed.
Silsilah-e-bait:
Syed Ghulam Haider Shah mostly used to spend evenings and occasionally nights at Hazrat Miran Shakir’s shine that used to be deserted at nights. One night the heard a voice, instructing him to see Syed Ghulam Shah of a nearby town Haranpur for silsilah-e-bait (spiritual link). When he met Syed Ghulam Shah Haranpuri, he said,” Your bait is not easy for me, I will lead you to Hazrat Khawajah Shamsuddin Sialvi (a well-known Sufi and religious scholar of his times)”.
As both of them reached Sial Shareef, a town in district Jhang, Syed Ghulam Shah Haranpuri introduced him to Hazrat Khawaja Shamsuddin Sialvi, “He is a Syed from Jalalpur and is desirous of bait”. Khawajah Shamsuddin Sialvi, as if waiting for such a pious, devout and capable figure, welcomed him and entered him to silsilah-e-bait. This bait resulted in his spiritual growth and uplift. Gharib Nawaz developed too much attachment and attraction for his Murshid (Spiritual guide) Khawajah shamsuddin Sialvi and used to visit to Sial Shareef, he was awarded Khilafat and permission to accept hait from any follower. He also studied books of Sufism, e.g., Muraqa Shareef Kashkaol, etc. from his Murshid.
The virtues, purity and piousness of Syed Ghulam Haider Shah earned great respect from Khwajah Silavi, who used to instruct a number of salikeen and mureedain to go and seek bait of Syed Ghulam Haider Shah, Jalalpuri instead of his own. He used in his bait and that of Syed Jalalpuri’s bait.
His Life Routines:
Gharib-Nawaz Syed Ghulam Haider Shah, used to spend most of his time remembering Allah, offering prayers, even not missing nowafils (Non-obligatory worship), acquiring knowledge, study of sufi literature and guiding and helping visitors. At the same time he was very attentive towards the welfare and betterment of his family, followers and other matters of daily life. He maintained Langar (free meals for followers, travelers and needy ones). He used to keep himself abreast of political situation of the country and about the international affairs. He was very nervous over the deteriorating political conditions of Muslims in general and riots of 1907 in Bengal and Punjab. In Islam there is no Rehbaniyat, thereafter participated both in religious as well as in worldly activities. Every worldly deed becomes a religious activity when it is performed according to guide lines and teachings of Islam and remembering and fearing Almighty Allah all the times.
Gharib-Nawaz Syed Ghulam Haider Shah led simple, clean and graceful life. He was very generous and consistent in his commitments. He used to preach and practice love for Allah, His Prophet Muhammad (Peace Be Upon Him), Murshid and mankind and regarded it as a part of faith. He desired his family and followers to be pious, cooperative, knowledge and prolific. He hardly used to become angry with any one. He was always a well wisher and never wished bad for anyone. Almighty Allah, the Merciful, mostly rewarded whenever he prayed for the betterment of any one, who visited him and requested for pray. Hazrat Syed Mehr Ali Shah Golarvi was peer-bhai (brother in spiritual order) and contemporary of Syed Ghulam Haider Shah. Both had great respect and regard for each other and worked jointly for the cause of Islam.
Wissal:
In 1905, Hazrat Syed Ghulam Haider Shah, handed over Khilafat to his Younger son Hazrat Syed Muzaffar Ali Shah and advised to help and guide people, continue Langar Shareef and contribute in construction of facilities for the visitors and followers.
On afternoon of the 5th July 1908 (5th Jamadi-us-Sani, 1326 Hijra), following minor temperature he passed away for heavens. Malik Muhammad Din had written the biography, “Ziker-e-Habib” of Syed Ghulam Haider Shah. Many scholars and learned people expressed sorrow and grief by written articles, poems and verses. Dr Allama Muhammad Iqbal, also wrote quatrain indicating his high stature and date of expiry in Persian.
It translates as, “Every one who visits the grave of peer Haider Shah, described it as the glory of Koh-e-Toor (where Allah manifested His glory to Prophet Moses).
An angel descended, from heaven and kissed his grave, when asked about his year to expiry, the angle replied, Maghfoor, (meaning pardoned and exonerated one; the digit sum of the letters of Maghfoor is 1326, the year according to the lunar calendar).
After Syed Muzaffar Shah, his son, Hazrat Abdul Barkat Syed Muhammad Fazal Shah, graced dargah Jallalpur Shareef. He was a great spiritual as well as a religious leader and activity participated in the movements for independence of Pakistan and Kashmir. The volunteers of his Jamaat Hizbullah, fought and struggled to liberate Azad jamun Kashmir from Indian atrocities.
These days Hazrat Syed Anis Haider, the grand son of Syed Muhammad Fazal Shah, is the spiritual leader and Sajjada Nasheen of Jallahpur Shareef. His brother Hazrat Syed Tanveer Haider is also foreign qualified. Both are looking after all the affairs of Jallalpur Shareef jointly
Sumber" AuliaAllah.Blogspot.com
Maqam Wali Allah di Pakistan (2)
Name: Hazrat Baba Khair Muhammad Qadri
Silsila: Qadria Chishtia
Date of Wisaal: 10 August 1955
Date of Urs: 20th July
Location: East Gangal, Islamabad Highway, Near Koral Chowk, Islamabad, PakistanSee Map Google Earth:http://www.panoramio.com/photo/19569036
Silsila: Not Known
Urs: 3rd of Shawal, The Islamic DateLocation: Agha Shahi Service Road near G8 Link, Islamabad, Pakistan
See Map Google Earth:http://www.panoramio.com/photo/19569148
Name: Hazrat Peer Syed Munawar Hussein Shah Sarkar
Silsila: Not KnownUrs: April 24, 25, 26
Location: Charra Pani, Murree Hills, Pakistan
See Map Google Earth:http://www.panoramio.com/photo/19569306
Hazrat Shaheed Baba
Silsila: Qadria ChishtiaUrs: 4th April
Location: Darbar Chowk, G11/1, near Kashmir Highway, IslamabadSee
Map Google Earth:http://www.panoramio.com/photo/18498529
Hazrat Peer Syed Naseeruddin Naseer (Golra Shareef)
Name: Hazrat Peer Syed Naseeruddin Naseer (Golra Shareef)
Silsila: Qadria Ghausia Mehria
Date of Wisaal: 13th February 2009Urs: 13th February
Location: Golra Shareef, Islamabad, Pakistan
Kopi Minuman Kaum Sufi.....
Sayyid Abdurrohman bin Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad as-Saqqaf al-Husainy al-Hadramy dari marga al-Idrus (1070 H-1113 H) mengatakan dalam kitabnya Iinaasush Shofwah bi Anfaasil Qahwah: Biji kopi baru ditemukan pada akhir abad VIII H di Yaman oleh penemu kopi Mukha, Imam Abul Hasan Aliy asy-Syadziliy bin Umar bin Ibrahim bin Abi Hudaimah Muhammad bin Abdulloh bin al-Faqih Muhammad Disa’in (nasabnya bersambung hingga kepada seorang sahabat bernama Khalid bin Asad bin Abil Ish bin Umayyah al-Akbar bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay).
Beliau adalah pengikut tarekat Syadiliyah, bukan pendirinya (karena pendiri tarekat Syadiliyah, Imam Abu Hasan asy-Syadziliy telah wafat pada tahun 828 H)
Dalam penemuan biji kopi, Imam Abul Hasan mendahului Imam Abu Bakr al-Idrus. Sehingga Imam Abul Hasan Aliy adalah penemu biji kopi sedangkan Imam Abu Bakr al-Idrus adalah penyebar kopi di berbagai tempat.
Beliau menggubah syair mengenai kopi sebagai beikut:
Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya, kopi membantuku mengusir kantuk
Dengan pertolongan Alloh, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang sedang terlelap.
[Qahwah (kopi)], qaf adalah quut (makanan), ha adalah hudaa (petunjuk), wawu adalah wud (cinta), dan ha adalah hiyam (pengusir kantuk).
Janganlah kau mencelaku karena aku minum kopi, sebab kopi adalah minuman para junjungan yang mulia.
Syeikh Abu Bakr bin Abdulloh al-Idrus berkata tentang kopi yang digemarinya:
Wahai qahwatul bunn (kopi)! Huruf qaf di awalmu adalah quds (kesucian), huruf kedua ha adalah hudaa (petunjuk), dan huruf ketigamu adalah wawu.
Huruf keempatmu adalah ha, berikutnya alif adalah ulfah (keakraban), lam sesudahnya adalah lutfh (belas kasih dari Alloh).
Ba adalah basth (kelapangan), dan nun adalah nur (cahaya). Oh, kopi, kau laksana purnama yang menerangi cakrawala.
Imam Hamzah bin Abdullah bin Muhammad an-Nasyiriy al-Yamaniy asy-Syafi’I, penduduk Zabid (832 H-936 H) adalah seorang sastrawan ulung yang ahli tumbuh-tumbuhan. Dia menggubah seribu bait nadzam mengenai kemukjizatan al-Qur”an, menulis kumpulan fatwa, dan menggubah nadzam lebih dari 80 bait mengenai manfaat kopi, yang antara lain isinya adalah kopi bisa membangkitkan semangat seseorang dan mengantarkannya mencapai kesuksesan.
Disebutkan dalam kitab al-Iinas bahwa huruf ba dan nun pada kata bunn (kopi), masing-masing berarti bidayah (permulaan) dan nihayah (akhir/puncak), yakni mengantarkan seseorang dari awal langkah hingga akhir/sampai sukses.
Nah, setelah uraian tentang kegemaran dan sanjungan ulama Sufi akan kopi, manfaat, serta falsafah tentangnya, apakah sobat Dliya’ masih akan menganggap kopi sebagai minuman yang harus dijauhi?
KOPI ADALAH MINUMAN HALAL
Mayoritas ulama tidak meragukan lagi kehalalan kopi. Dalam kitab Syarh al-’Ubab Syeikh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa menggunakan sesuatu yang jaiz sebagai sarana hukumnya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuannya untuk kebaikan maka penggunaan sarana tersebut bernilai pahala, dan jika tujuannya untuk maksiat maka bernilai dosa (untuk meniru niat para ulama Sufi, lihat tips Dliya’ tentang Fatihah yang dibaca sebelum meminum kopi).
Para ulama yang menghalalkan kopi antara lain: Syeikhul Islam Zakariya al-Anshori, Syeikh Abdurrahman bin Ziyad az-Zabidiy, Syeikh Zaruq al-Malikiy al-Maghribiy, Syeikh Abdulloh bin Sahl Baqusyair, Syeikh Muhammmad bin Abdulqadir al-Habbaniy, Syeikh Abdulmalik bin Disa’in, dll.
Para ulama yang menyanjung kopi antara lain: Abu Bakr bin Abdullah al-Idrus, Abdurrahman bin ‘Aliy, Syeikh bin Ismail, Ahmad bin ‘Alawy Bajahdab, Abu Bakr bin Salim, Abdullah bin Alawy al-Haddad, Hatim al-Ahdal, as-Sudiy, Umar bin Abdulllah Bamakhramah beserta putranya, Al-Amudiy, dll.
Banyak ulama Sufi yang berkomentar tentang kopi yang pada prinsipnya mereka menggemari kopi karena dengan meminumnya mereka lebih giat beribadah, terutama pada malam hari ketika banyak manusia yang tertidur lelap.
Syeikh Umar bin Abdullah Bamakhramah, Syeikh Abdul Mu’thiy bin Hasan bin Abdullah bin Ahmad Bakatsir al-hadramiy (Makkah 905-Ahmadabad India 989 H) juga putranya yang bernama Ahmad dan beberapa nama lain menggubah nadzam dalam untaian bait yang amat banyak yang berisi sanjungan terhadap kopi sebagai minuman yang amat bermanfaat untuk penggiat ibadah kepada Alloh.
Perhatikan dua bait syair berikut:
Kopi memang hitam tapi menyalakan semangat, bahkan memancarkan cahaya.
Hitamnya kopi membuat hati orang-orang kelas tinggi memutih, sehingga mereka terpuji melebihi kebanyakan manusia.
Sekarang tinggal pilihan sobat Dliya’, memilih kopi yang dipilih kaum Sufi sebagai penggiat ibadah (tentunya dengan mengikut niat mereka, dan toh mereka tak jatuh sakit karena meminumnya), atau malah meninggalkannya karena ketakutan yang tidak beralasan?
Sumber: Tafriihul Quluub wa tafriihul Kuruub karya Sayyid Habib Umar bin Saqqaf (terjemahan, hal. 209-215, Bintang Terang, Jakarta)
Maqam Wali Allah di Pakistan (1)
Date of Wisaal: 12 March 1997
Urs:2 Ziqa'ad (Islamic Date)Location: Golra Shareef, Islamabad, Pakistan
Name: Hazrat Peer Syed Meher Ali Shah (Golra Shareef)
Silsila: Qadrria Ghausia Mehria
Date of Wisaal: 11 May 1937Urs: 27 to 29 Safar
Location: Golra Shareef, Islamabad, Pakistan
Name: Hazrat Pir Syed Ghulam Muhyuddin Gilani alias Hazrat Babuji
Silsila: Qadrria Ghausia Mehria
Date of Wisaal: 22 June 1974
Urs: 2 Jamadi-ul-AwwalLocation: Golra Shareef, Islamabad, Pakistan
See Map Google Earth: http://www.panoramio.com/photo/19829554
Name: Saint Hazrat Syed Sakhi Mahmood Badshah (Rehmatullah) and H.Sakhi Shahjahan Badshah Family of H.Bari Imam Sarkar
Silsila: Not Known Date of Urs: 24th May
Location: Aabpara, Islamabad, Pakistan
See Map Google Earth:http://www.panoramio.com/photo/19684643
Hikam Al Hadad: Masalah Thariqat
Dorongan bathin untuk menuju ke jalan Allah, ketahuilah bahwa jalan yang pertama-tama harus ditempuh adalah mengeluarkan dorongan yang kuat dihati untuk berminat dan mengajak untuk menuju Allah Ta'ala dan menuju jalan ke Akherat, serta menomor duakan dunia, dari segala yang biasanya dikejar manusia kebanyakan.
Seperti mengumpulkan menumpuk kekayaan, bersenang-senang menurut hawa nafsunya, serta bermegah-megahan, dalam tindakan dan kemewahannya.
Dorongan ini merupakan rahasia-rahasia Tuhan yang dilimpahkan ke dalam hati hamba-Nya, itulah yang dikatakan inayah Tu han dan tanda-tanda petunjuk-Nya, sering inayah serupa di limpahkan ke dalam hati hambanya dikala dalam ketakutan atau menggembirakan atau timbulnya kerinduan terhadap Zat-Nya, ataupun ingin mengadakan pertemuan dengan para wali Allah, atau sewaktu mendapatkan nasehat atau pandangan dari mereka. Adakalanya dorongan tersebut tanpa ada sesuatu sebab tertentu
Adapun cita-cita untuk-mendapatkan dorongan serupa itu, memang diharuskan dan digalakkan. Akan tetapi bercita-cita saja tanpa berusaha untuk meningkatkan dan mendapatkannya, itu satu keputusan yang bodoh, yang menunjukkan orang yang berharap atau bercita-cita saja tanpa amal, sangat bodoh sekali, bukanlah Rasul pernah bersabda ;
Sesungguhnya Tuhan telah menyediakan berbagai kelimpahan pada setiap manusia, maka hendaklah kamu menuntutnya.
Siapa yang telah mendapatkan penghargaan dari Allah Rabbul Alamin dengan dorongan yang Mulia ini, hendaklah ia menyediakan dirinya pada tempat yang sesuai. dan hendaklah ia tahu bahwa karunia Allah Ta'ala ini, adalah nilai yang paling tinggi di antara nikmat-nikmat yang lain. Dan tak dapat dinilai derajatnya, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Kesyukuran atas nikmat-Nya, maka hendaklah melipatgandakan kesyukuran-mu terhadap Allah Ta'ala atas nikmat yang besar yang telah diberikan kepadamu. Dipilih dan diutamakan diantara orang-orang yang setaraf dengan rekan-rekan yang berjuang yang telah mendapatkan nikmat.
Sangat banyak orang-orang Islam yang sadar mencapai usia delapan puluh tahun atau lebih akan tetapi ia masih belum dikaruniakan dorongan serupa dan hatinya tidak pernah terketuk oleh rahasia bathinnya
Setiap murid harus rajin berusaha untuk meperkokoh, memelihara dan menuruti ajakan dorongan bathin tersebut. Cara untuk memperkokohnya ialah dengan memperbanyak mengingat Allah Ta'ala (dzikir), merenung dan memperhatikan segala kekuasaan Allah Ta'ala, dan senantiasa dekat dan berdampingan dengan wali Allah. Cara lain memeliharanya dengan menjauhkan diri dari berkumpul bersama-sama orang-orang yang tidak bermanfaat dalam agama, dan menjauhkan segala was-was dan tipu daya syaitan. Yang terakhir dengan cara menuruti ajakannya ialah berlomba-lomba kembali kejalan Allah, berlaku benar dalam menghadapi segala perintah-Nya, tidak bermalas-malasan dan tidak menunda-nunda serta tidak pula melambat-lambatkannya.
Bahkan apabila sampai pada masanya hendaklah ia menunaikan, dan apabila terbuka pintu kebajikan hendaklah ia masuk tanpa banyak berpikir, dan apabila diseru untuk berbakti hendaklah bergegas, dan tidak tanggung-tanggung, hendaklah ia berhati-hati atas ucapan besok atau lusa, sebab yang demikian itu adalah hasutan syaitan. Malah hendaklah ia terus-menerus mengerjakan segala amal baik itu dengan segera, tidak ditangguh-tangguhkan atau mencari-cari alasan karena tidak ada waktu, atau belum masanya untuk beramal dan sebagainya.
Berkata Abur Robi' Rahimahullah, tujukan dirimu ke jalan Allah dalam keadaan tampan atau cacat diri, jangan sekali-kali menunggu waktu sehat saja, karena menunggu waktu sehat itu adalah merugikan.
Berkata Ibnu Atha' dalam kitabnya Al-Hikam menangguh-nangguhkan sesuatu pekerjaan sehingga ada peluang, menandakan kebodohan jiwa
Hikam Al Hadad : Empat Kategori Orang Saleh dan Empat Kategori Kebalikannya
Manusia di dunia ini dapat dibagi atas empat kategori. Kebaikan dan kelurusan dunia bergantung pada kebaikan dan kelurusan sikap mereka pula.
Pertama, seorang ‘abid (ahli ibadah) yang mustaqim1, zahid2, menunjukkan perhatian sepenuhnya kepada Allah, ‘arif billah3 secara sempuma, dan memiliki kesadaran yang tajam dalam keberagamaan.
Kedua, seorang ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama, berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, menerapkan serta mengamalkan ilmunya, mengajari dan menasihati manusia, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, tidak bersifat plin-plan dalam urusan agama, dan tidak peduli pada kecaman siapa pun dalam membela ketetapan-ketetapan Allah Swt.
Ketiga, seorang penguasa yang adil, jujur, baik perilakunya, bersih jiwanya, dan lurus politiknya.
Keempat, seorang hartawan yang saleh, memiliki kekayaan yang besar dan bersih, membelanjakannya dalam amal-amal kebajikan, menggunakannya untuk menyantuni kaum lemah dan fakir miskin, dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang dalam keadaan kesulitan. Ia tidak menyimpan dan mengumpulkan hartanya itu kecuali untuk tujuan-tujuan tersebut serta berbagai kebajikan dan santunan yang sejalan dengan itu.
Selain itu, di samping kategori manusia di atas, ada pula orang-orang yang tampaknya serupa dengan mereka dalam keadaan lahiriahnya, tetapi tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya. Maka, di samping si 'abid yang mustaqim, ada orang yang berlagak seperti seorang shufi4 yang mencampuradukkan dan mencurigakan. Di samping ulama yang mengamalkan ilmunya dengan jujur, ada ulama yang durjana dan munafik. Di samping penguasa yang adil dan bijak, ada penguasa tiran yang selalu menyimpang dan kebenaran dan tak becus memimpin dan memerintah. Di samping hartawan yang saleh, ada hartawan zalim, yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak halal, mengelak dan kewajibannya, serta membelanjakannya dalam hal-hal yang tidak sepatutnya.
Orang-orang jahat seperti itu menyebabkan kerusakan dan keguncangan kehidupan dunia, kekacauan ihwal manusia, dan penyimpangan mereka dan arah yang benar. Namun, semuanya kembali kepada Allah SWT jua. Di tangan-Nyalah segala kerajaan. Mahasuci Dia, Yang Maha Esa lagi Berkuasa, Raja Yang Maha Pemberi, Yang mewujudkan segala sebab atas perkenan-Nya. Demi kehendak-Nya, tiada tuhan kecuali Dia, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
1. Mustaqim; lurus dan lapang. Orang yang ber-istiqomah, yakni senantiasa bersikap lurus sesuai dalam agama.
2. Zahid; orang yang berzuhud, yang meninggalkan kecenderungan kesenangan duniawi yang bersifat sementara (fana’-semu).
3. ‘arifbillah; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya.
4. Shufi; ahli tasawuf, yakni ilmu yang mencari kebenaran hakiki dan pendekatan diri kepada Allah Swt dengan berbagai amalan, iabdah, zikir, renungan dsb.
Friday, March 26, 2010
NAMA KHODAM & A’WAN HURUF HIJAIYAH
1. HURUF ALIF HATMAHTOLQIYAIL A’WANNYA ADALAH
1. HADHAYUN
2. SYALHAMID
3. TOMKHOLASY
4. BUKHLAYLAKH
2. HURUF BA JAROMHAYAIL A’WANNYA ADALAH
1. KASYAMSYAKH
2. HAYLAKH
3. MAHALSYATIN
3. HURUF JIM TOLAQTOYAIL A”WANNYA ADALAH :
1. HADMAKH
2. HALASYLAKHOKHIN
4. HURUF DAL SAKAMHAYAIL A”WANNYA ADALAH :
1. HALTOFIN
2. MAHLALKHIN
2. MAHLALKHIN
3. SYAWIDIN
4. SYASYALTOTIN
5 HURUF HA AFROYAIL A”WANNYA ADALAH :
1. DZABHATIN
2. HAMKIKIN
3. HASYTOYTO’IN
6 HURUF WAWU TUNAYAIL A’WANNYA ADALAH :
1. MAHDADUHIN
2. SYALTAMUKHIN
3. BAROKHIN
7. HURUF ZAY ‘ALMASYYAIL A’WANNYA ADALAH
1. MA’ADROSYIN
2. HATOTIMIN
3. MAHATIN
8. HURUF HA TOFYAIL A’WANNYA ADALAH :
1. DAHLIKH
2. KAMSYALAATOKHIN
9. HURUF TO ASTOYAIL A’WANNYA ADALAH :
1. SYAMHATIN
2. MALSYAKHIN
3. MALKHOSYIN
4. TOMAHIN
10. HURUF YA HARDAQIL A’WANNYA ADALAH
1. DAMGIGIN
2. HALHAFIN
3. SYAWIYADKHIN
11. HURUF KAF YAMHAYAIL A’WANNYA ADALAH
1. SYAFRUDIN
2. HAMIITON
3. KHOTOSYIN
12. HURUF LAM TOHTOYAIL A’WANNYA ADALAH
1. GHOGHITIN
2. TOHMASYIN
3. KHOLASYADZAMIN
13. HURUF MIM SYAROKHIL A’WANNYA ADALAH
1. HAZAMSYATIN
2. KALITYATIN
3. MADMAKJHIN
14. HURUF NUN SO’RIYAIL A’WANNYA ADALAH
1. SYAGIGIN
2. DALKHOMIN
3. BAHITIN
15. HURUF SIN HATGIL A’WANNYA ADALAH
1. MASTO’
2. ATLADIN
3. KHIMIN
4. ALTOLIN
16. HURUF AIN SYARHIL A’WANNYA ADALAH
1. LAKHTOMIN
2. GHODIFIN
3. ARZADIN
17. HURUF FA SYATOTIL A’WANNYA ADALAH
1. KAYTOMIN
2. RAZTOSYIN
3. HAKHOYTIN
18. HURUF SHOD HARDAYAL A’WANNYA ADALAH
1. SYARUKHIN
2. HAMSYIN
19. HURUF QOF AZQIIL A’WANNYA ADALAH
1. GHODGHOSIN
2. TOLHAYASYIN
20. HURUF RO DAHROBIIL A’WANNYA ADALAH
1. ALALTOFIN
2. ALMIKHIN
3. DAY’UMIN
21. HURUF SYIN KHORDAYAIL A’WANNYA ADALAH
1. SYATIFIN
2. KAHYIILIN
22. HURUF TA MAR A’WIIL A’WANNYA ADALAH
1. SYAHIR
2. HAGHIL
3. TUNISY
23. HURUF TSA JANSAYAIL A’WANNYA ADALAH
1. KADARUUS
2. TO’MATIS
24. HURUF KHO HAMLIL A’WANNYA ADALAH
1. AMUTYARIN
2. WAKISYIN
3. ROKISYIN
4. DAHUUYATIN
25. HURUF DZAL ROFA ‘AYAIL A’WANNYA ADALAH
1.ALALMAHASIN
2. SOHDA’IN
3. SYAHLATIN
26. HURUF DOD KALGHIYAIL A’WANNYA ADALAH
1. YUKHIN
2. RUKHIN
3. AMUSYIN
4. TOMLASYITIN
5. AYSU’IN
27. HURUF DZO TORKHOYAIL A’WANNYA ADALAH
1. HAMYATYUWASYIN
2. MA ‘ADIN
3. MASYATIN
28. HURUF GHIN SALKAFYAL A’WANNYA ADALAH
1. ASY ‘ATLAFIN
2. HAYUTIN
3. SYATOTOFIN
4. KALAKAFAFIN
Sumber: WWW.Ghaib99.blogspot.com
37 pangkat/ Maqom Awlia
Berikut di bawah ini Pangkat/ Maqom nya para Aulia Alloh yang diambil dari kitab Jami'u Karomatil Aulia:
1.Qutub Atau Ghauts ( 1 abad 1 Orang )
2. Aimmah ( 1 Abad 2 orang )
3. Autad ( 1 Abad 4 Orang di 4 penjuru Mata Angin )
4. Abdal ( 1 Abad 7 Orang tidak akan bertambah & berkurang Apabila ada wali Abdal yg Wafat Alloh menggantikannya dengan mengangkat Wali abdal Yg Lain ( Abdal=Pengganti ) Wali Abdal juga ada yang Waliyahnya ( Wanita )
5. Nuqoba’ ( Naqib ) ( 1 Abad 12 orang Di Wakilkan Alloh Masing2 pada tiap2 Bulan)
6. Nujaba’ ( 1 Abad 8 Orang )
7. Hawariyyun ( 1 Abad 1 Orang ) Wali Hawariyyun di beri kelebihan Oleh Alloh dalam hal keberanian, Pedang ( Zihad) di dalam menegakkan Agama Islam Di muka bumi.
8. Rojabiyyun ( 1 Abad 40 Orang Yg tidak akan bertambah & Berkurang Apabila ada salah satu Wali Rojabiyyun yg meninggal Alloh kembali mengangkat Wali rojabiyyun yg lainnya, Dan Alloh mengangkatnya menjadi wali Khusus di bulan Rajab dari Awal bulan sampai Akhir Bulan oleh karena itu Namanya Rojabiyyun.
9. Khotam ( penutup Wali )( 1 Alam dunia hanya 1 orang ) Yaitu Nabi Isa A.S ketika diturunkan kembali ke dunia Alloh Angkat menjadi Wali Khotam ( Penutup ).
10. Qolbu Adam A.S ( 1 Abad 300 orang )
11. Qolbu Nuh A.S ( 1 Abad 40 Orang )
12. Qolbu Ibrohim A.S ( 1 Abad 7 Orang )
13. Qolbu Jibril A.S ( 1 Abad 5 Orang )
14. Qolbu Mikail A.S ( 1 Abad 3 Orang tidak kurang dan tidak lebih Alloh selau mengangkat wali lainnya Apabila ada salah satu Dari Wali qolbu Mikail Yg Wafat )
15.Qolbu Isrofil A.S ( 1 Abad 1 Orang )
16. Rizalul ‘Alamul Anfas ( 1 Abad 313 Orang )
17. Rizalul Ghoib ( 1 Abad 10 orang tidak bertambah dan berkurang tiap2 Wali Rizalul Ghoib ada yg Wafat seketika juga Alloh mengangkat Wali Rizalul Ghoib Yg lain, Wali Rizalul Ghoib merupakan Wali yang di sembunyikan oleh Alloh dari penglihatannya Makhluq2 Bumi dan Langit tiap2 wali Rizalul Ghoib tidak dapat mengetahui Wali Rizalul Ghoib yang lainnya, Dan ada juga Wali dengan pangkat Rijalul Ghoib dari golongan Jin Mu’min, Semua Wali Rizalul Ghoib tidak mengambil sesuatupun dari Rizqi Alam nyata ini tetapi mereka mengambil atau menggunakan Rizqi dari Alam Ghaib.
18. Adz-Dzohirun ( 1 Abad 18 orang )
19. Rizalul Quwwatul Ilahiyyah (1 Abad 8 Orang )
20. Khomsatur Rizal ( 1 Abad 5 orang )
21. Rizalul Hanan ( 1 Abad 15 Orang )
22. Rizalul Haybati Wal Jalal ( 1 Abad 4 Orang )
23. Rizalul Fath ( 1 Abad 24 Orang ) Alloh mewakilkannya di tiap Sa'ah ( Jam ) Wali Rizalul Fath tersebar di seluruh Dunia 2 Orang di Yaman, 6 orang di Negara Barat, 4 orang di negara timur, dan sisanya di semua Jihat ( Arah Mata Angin )
23. Rizalul Ma'arijil 'Ula ( 1 Abad 7 Orang )
24. Rizalut Tahtil Asfal ( 1 Abad 21 orang )
25. Rizalul Imdad ( 1 Abad 3 Orang )
26. Ilahiyyun Ruhamaniyyun ( 1 Abad 3 Orang ) Pangkat ini menyerupai Pangkatnya Wali Abdal
27. Rozulun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
28. Rozulun Wahidun Markabun Mumtaz ( 1 Abad 1 Orang )
Wali dengan Maqom Rozulun Wahidun Markab ini di lahirkan antara Manusia dan Golongan Ruhanny( Bukan Murni Manusia ), Beliau tidak mengetahui Siapa Ayahnya dari golongan Manusia , Wali dengan Pangkat ini Tubuhnya terdiri dari 2 jenis yg berbeda, Pangkat Wali ini ada juga yang menyebut " Rozulun Barzakh " Ibunya Dari Wali Pangkat ini dari Golongan Ruhanny Air INNALLOHA 'ALA KULLI SAY IN QODIRUN " Sesungguhnya Alloh S.W.T atas segala sesuatu Kuasa.
29. Syakhsun Ghorib ( di dunia hanya ada 1 orang )
30. Saqit Arofrof Ibni Saqitil 'Arsy ( 1 Abad 1 Orang )
31. Rizalul Ghina ( 1 Abad 2 Orang ) sesuai Nama Maqomnya ( Pangkatnya ) Rizalul Ghina " Wali ini Sangat kaya baik kaya Ilmu Agama, Kaya Ma'rifatnya kepada Alloh maupun Kaya Harta yg di jalankan di jalan Alloh, Pangkat Wali ini juga ada Waliahnya ( Wanita ).
31. Syakhsun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
32. Rizalun Ainit Tahkimi waz Zawaid ( 1 Abad 10 Orang )
33. Budala' ( 1 Abad 12 orang ) Budala' Jama' nya ( Jama' Sigoh Muntahal Jumu') dari Abdal tapi bukan Pangkat Wali Abdal
34. Rizalul Istiyaq ( 1 Abad 5 Orang )
35. Sittata Anfas ( 1 Abad 6 Orang ) salah satu wali dari pangkat ini adalah Putranya Raja Harun Ar-Royid yaitu Syeikh Al-'Alim Al-'Allamah Ahmad As-Sibty
36. Rizalul Ma' ( 1 Abad 124 Orang ) Wali dengan Pangkat Ini beribadahnya di dalam Air di riwayatkan oleh Syeikh Abi Su'ud Ibni Syabil " Pada suatu ketika aku berada di pinggir sungai tikrit di Bagdad dan aku termenung dan terbersit dalam hatiku "Apakah ada hamba2 Alloh yang beribadah di sungai2 atau di Lautan" Belum sampai perkataan hatiku tiba2 dari dalam sungai muncullah seseorang yang berkata "akulah salah satu hamba Alloh yang di tugaskan untuk beribadah di dalam Air", Maka akupun mengucapkan salam padanya lalu Dia pun membalas salam aku tiba2 orang tersebut hilang dari pandanganku.
37. Dakhilul Hizab ( 1 Abad 4 Orang )
Wali dengan Pangkat Dakhilul Hizab sesuai nama Pangkatnya , Wali ini tidak dapat di ketahui Kewaliannya oleh para wali yg lain sekalipun sekelas Qutbil Aqtob Seperti Syeikh Abdul Qodir Jailani, Karena Wali ini ada di dalam Hizab nya Alloh, Namanya tidak tertera di Lauhil Mahfudz sebagai barisan para Aulia, Namun Nur Ilahiyyahnya dapat terlihat oleh para Aulia Seperti di riwayatkan dalam kitab Nitajul Arwah bahwa suatu ketika Syeikh Abdul Qodir Jailani Melaksanakan Towaf di Baitulloh Mekkah Mukarromah tiba2 Syeikh melihat seorang wanita dengan Nur Ilahiyyahnya yang begitu terang benderang sehingga Syeikh Abdul qodir Al-Jailani Mukasyafah ke Lauhil Mahfudz dilihat di lauhil mahfudz nama Wanita ini tidak ada di barisan para Wali2 Alloh, Lalu Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani bermunajat kepada Alloh untuk mengetahui siapa Wanita ini dan apa yang menjadi Amalnya sehingga Nur Ilahiyyahnya terpancar begitu dahsyat , Kemudian Alloh memerintahkan Malaikat Jibril A.S untuk memberitahukan kepada Syeikh bahwa wanita tersebut adalah seorang Waliyyah dengan Maqom/ Pangkat Dakhilul Hizab " Berada di Dalam Hizabnya Alloh ", Kisah ini mengisyaratkan kepada kita semua agar senantiasa Ber Husnudzon ( Berbaik Sangka ) kepada semua Makhluq nya Alloh, Sebetulnya Masih ada lagi Maqom2 Para Aulia yang tidak diketahui oleh kita, Karena Alloh S.W.T menurunkan para Aulia di bumi ini dalam 1 Abad 124000 Orang, yang mempunyai tugasnya Masing2 sesuai Pangkatnya atau Maqomnya
Sumber" www.ghaib99.blogspot.com
Thursday, March 11, 2010
Rumi's Wedding Nights "sheb-el-arus "
mereka akan membawa peti matiku,
Jangan berpikir bahwa hatiku tetap di dunia ini.
Jangan menangis di depanku, jangan berkata: "Tragedi, tragedi!"
Anda akan jatuh ke dalam perangkap setan,
bahwa akan menjadi tragedi.
Ketika melihat mayat saya, jangan berseru: "Pergi, pergi!"
Persatuan dan pertemuan akan menjadi milikku kemudian.
Bila Anda mempercayakan aku ke makam, jangan berkata: "Pergi, Pergi!"
Untuk menyembunyikan makam serikat di surga dari kami.
Anda melihat penurunan, aku menemukan ketinggian.
Untuk bulan, untuk matahari, adalah pengaturan mereka berbahaya?
Untuk Anda tampak seperti matahari terbenam, bahkan, itu adalah fajar.
Apakah makam terlihat seperti sebuah penjara bagi Anda?
Ini adalah
pembebasan jiwa.
Sunday, March 7, 2010
Mutiara Qasidah Al-Imam Abdullah Bin Alawi Al-Haddad
Ya Saiyidi Ya Rasulullah ( MP3 )
Ya Rabbi Ya ‘Alimal Hal ( MP3 )
Ya Rasulullah Salamun 'Alaik ( MP3 )
Ala Yallah bi Nadzrah ( MP3 )
Qad kafani ‘Ilmu Rabbi ( MP3 )
Salamun-Salamun Kamiskil Khitam ( MP3 )
‘Alaika bi Taqwallah ( MP3 )
Ya Dzaljalali wal Ikram ( MP3 )
Sumber: alkisah.web.id
Wednesday, March 3, 2010
Bermacam-macam Dzikir (2)
Dzikir itu sendiri senantiasa dipenuhi oleh tiga hal :
Dzikir Lisan dengan mengetuk Pintu Allah swt, merupakan pengapus dosa dan peningkatan derajat.
Dzikir Qalbu, melalui izin Allah swt untuk berdialog dengan Allah swt, merupakan kebajikan luhur dan taqarrub.
Dzikir Ruh, adalah dialog dengan Allah swt, Sang Maha Diraja, merupakan manifestasi kehadiran jiwa dan musyahadah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kealpaan adalah kebiasaan dzikir yang kosong dari tambahan anugerah.
Dzikir Lisan dan Qalbu yang disertai kesadaran hadir, adalah dzikir ibadah yang dikhususkan untuk mencerap sariguna.
Dzikir dengan Lisan yang kelu dan qalbu yang penuh adalah ketersingkapan Ilahi dan musyahadah, dan tak ada yang tahu kadar ukurannya kecuali Allah swt.
Diriwayatkan dalam hadits : "Siapa yang pada wal penempuhannya memperbanyak membaca "Qul Huwallaahu Ahad" Allah memancarkan NurNya pada qalbunya dan menguatkan tauhidnya.
Dalam riwayat al-Bazzar dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. Beliau bersabda :
"Siapa yang membaca surat "Qul Huwallahu Ahad" seratus kali maka ia telah membeli dirinya dengan surat tersebut dari Allah Ta'ala, dan ada suara berkumandang dari sisi Allah Ta'ala di langit-langitNya dan di bumiNya, "Wahai, ingatlah, sesungguhnya si Fulan adalah orang yang dimerdekakan Allah, maka barang siapa yang sebelumnya merasa punya pelayan hendaknya ia mengambil dari Allah swt .
Diriwayatkan pula: "Siapa yang memperbanyak Istighfar, Allah meramaikan hatinya, dan memperbanyak rizkinya, serta mengampuni dosanya, dan memberi rizki tiada terhitung. Allah memberikan jalan keluar di setiap kesulitannya, diberi fasilitas dunia sedangkan ia lagi bangkrut. Segala sesuatu mengandung siksaan, adapun siksaan bagi orang arif adalah alpa dari hadirnya hati dalam dzikir."[pagebreak]
Dalam hadits sahih disebutkan:
"Segala sesuatu ada alat pengkilap. Sedangkan yang mengkilapkan hati adalah dzikir. Dzikir paling utama adalah Laa Ilaaha Illalloh".
Unsur yang bisa mencemerlangkan qalbu, memutihkan dan menerangkan adalah dzikir itu sendiri, sekaligus gerbang bagi fikiran.
Majlis tertinggi dan paling mulia adalah duduk disertai kontemplasi (renungan, tafakkur) di medan Tauhid. Tawakkal sebagai aktifitas qalbu dan tauhid adalah wacananya.
Pintu dzikir itu tafakkur,
Pintu pemikiran adalah kesadaran.
Sedang pintu kesadaran zuhud.
Pintu zuhud adalah menerima pemberian Allah Ta'ala (qona'ah)
Pintu Qonaah adalah mencari akhirat.
Pintu akhirat itu adalah taqwa.
Pintu Taqwa ada di dunia.
Pintu dunia adalah hawa nafsu,.
Pintu hawa nafsu adalah ambisi.
Pintu ambisi adalah berangan-angan.
Angan-angan merupakan penyakit yang akut tak bias disembuhkan.
Asal angan-angan adalah cinta dunia.
Pintu cinta dunia adalah kealpaan.
Kealpaan adalah bungkus bagi batin qalbu yang beranak pinak di sana.
Tauhid merupakan pembelah, di mana tak satu pun bisa mengancam dan membahayakannya. Sebagaimana dinkatakan :
"Dengan Nama Allah, tak ada satu pun di bumi dan juga tidak di langit yang membahayakan, bersama NamaNya. Dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tauhid paling agung, esensi, qalbu dan mutiaranya adalah Tauhidnya Ismul Mufrad (Allah) ini, menunggalkan dan mengenalNya.
Sebagian kaum 'arifin ditanya mengenai Ismul A'dzom, lalu menjawab, "Hendaknya anda mengucapkan: Allah!", dan anda tidak ada di sana.
Sesungguhnya orang yang berkata "Allah", masih ada sisa makhluk di hatinya, sungguh tak akan menemukan hakikat, karena adanya hasrat kemakhlukan.
Siapa pun yang mengucapkan "Allah" secara tekstual (huruf) belaka, sesungguhnya secara hakikat dzikir dan ucapannya tidak diterima. Karena ia telah keluar (mengekspresikan) dari unsur, huruf, pemahaman, yang dirasakan, simbol, khayalan dan imajinasi. Namun Allah swt, ridlo kepada kita dengan hal demikian, bahkan memberi pahala, karena memang tidak ada jalan lain dalam berdzikir, mentauhidkan, dari segi ucapan maupun perilaku ruhani kecuali dengan menyebut Ismul Mufrad tersebut menurut kapasitas manusia dari ucapan dan pengertiannya.
Sedangkan dasar bagi kalangan khusus yang beri keistemewaan dan inayah Allah swt dari kaum 'arifin maupun Ulama ahli tamkin (Ulama Billah) Allah tidak meridloi berdzikir dengan model di atas. Sebagaimana firmanNya :
"Dan tak ada yang dari Kami melainkan baginya adalah maqom yang dimaklumi."
Sungguh indah apa yang difirmankan. Dan mengingatkan melalui taufiqNya pada si hamba, memberikan keistemewaan pada hambaNya. Maka nyatalah Asmaul Husna melalui ucapannya dan dzikir pada Allah melalui dzikir menyebut salah satu AsmaNya.
Maka, seperti firmanNya "Kun", jadilah seluruh ciptaan semesta, dan meliputi seluruh maujud.
Siapa yang mengucapkan "Allah" dengan benar bersama Allah, bukan disebabkan oleh suatu faktor tertentu, namun muncul dari pengetahuan yang tegak bersamaNya, penuh dengan ma'rifat dan pengagungan padaNya, disertai penghormatan yang sempurna dan penyucian sejati, memandang anugerah, maka ia benar-benar mengagungkan Allah Ta'ala, benar-benar berdzikir dan mengagungkanNya dan mengenal kekuasaanNya.
Sebab, mengingat Allah dan mentauhidkanNya adalah RidloNya terhadap mereka bersamaNya, sebagaimana layakNya Dia Yang Maha Suci.
Ma'rifat itu melihat, bukan mengetahui. Melihat nyata, bukan informasi. Menyaksikan, bukan mensifati. Terbuka, bukan hijab. Mereka bukan mereka dan mereka tidak bersama mereka dan tidak bagi mereka. Sebagaimana firmanNya :
"Nabi Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya." (Az-Zukhruf: 59)
"Dan jika Aku mencintainya, maka Akulah Pendengaran baginya, Mata dan tangan dan Kaki baginya."
Bagiamana jalan menuju padaNya, sedang ia disucikan
Dari aktivitas keseluruhan dan bagi-bagi tugas?
Demi fana wujud mereka, karena WujudNya
Disucikan dari inti dan pecahan-pecahannya?
Tak satu pun menyerupaiNya, bahkan mana dan bagaimana
Setiap pertanyaan tentang batas akan lewat
Dan diantara keajaiban-keajaiban bahwa
WujudNya di atas segalanya dan sirnanya pangkal penghabisan.