Saturday, June 8, 2013

Madrasah Hadhramaut : Fase-fase Takabbur

majalah-alkisah

Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi....”

Hati tidaklah diciptakan untuk bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Benar, makanan dan minuman dapat dinikmati oleh mulut, pe­mandangan yang indah dapat pula di­nikmati oleh matamu, demikian pula se­gala sesuatu yang dibolehkan untuk di­nikmati oleh nafsumu dan semua anggota tubuh yang berkaitan dengannya ber­da­sarkan bentuk-bentuk kenikmatannya ma­sing-masing. Akan tetapi, tidaklah pa­tut bagi hati untuk memiliki ketergantung­an terhadap kesenangan-kesenangan dunia itu. Sesungguhnya cinta terhadap dunia adalah pangkal setiap kesalahan.

Karenanya, tampillah terhadap hati­mu untuk mengobati masalah ini, yakni hubbud dunya (cinta dunia). Dan untuk mengobati masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah melepaskan diri dari masalah ini. Yakni bagaimana kita memahami maksiat-maksiat hati dan ba­gaimana membersihkannya dari segala bentuk maksiat. Fondasinya, kubahnya, ataupun juga atapnya.

Setiap bentuk kemaksiatan hati me­miliki kaitan erat dengan hubbud dunya, cinta kepada dunia. Dan cinta kepada du­nia memiliki beberapa unsur. Di antara un­sur-unsur cinta dunia itu adalah takab­bur, hasud, dan riya’. Itulah sebabnya, eng­kau membutuhkan cara untuk menyi­kapi semua unsur tersebut agar dapat melepaskan hatimu dari semua unsur itu sehingga hatimu dapat selamat dari cinta kepada dunia.

Selain itu, tampillah terhadap hatimu untuk membersihkannya dengan meng­hindarkan hatimu dari berburuk sangka ke­pada manusia, merendahkan mereka, atau merasa lebih mulia dari mereka.

Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, se­bagai wujud kasih sayang terhadap me­reka. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Maha­suci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”

Para ulama menyebut hadits ini al-musalsal bil awwaliyah. Apa yang dimak­sud dengan musalsal bil awwaliyah?

Musalsal bil awwaliyah maknanya adalah setiap hadits yang diterima dari gurunya dengan mengucapkan, “Guruku, Fulan, mengatakan kepadaku dan per­tama kali yang aku dengar darinya adalah hadits ini....”

Mengapa pertama kali yang disam­paikan dan diperdengarkan adalah sabda Nabi SAW, “Orang-orang yang penuh cin­ta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”?

Para ulama mengatakan, karena awal mula seorang penuntut ilmu mende­ngarkan ilmu dalam hadits Nabi SAW berupa hadits rahmat merupakan per­mulaan yang memberikan kesiapan awal yang benar bagi mereka di dalam mema­hami makna-makna bagaimana bersikap dengan ilmu. Kesiapan itu akan menjadi­kan para penuntut ilmu semakin bertam­bah sifat rahmatnya terhadap makhluk setiap kali bertambah ilmunya, sehingga bertambah pula kedekatannya kepada Allah SWT.

Jika kita datangi satu per satu pe­nyakit-penyakit hati, kita akan mendapati bahwa yang paling berbahaya, paling da­lam, paling sulit dikenali, paling berat, dan yang paling sulit untuk dihadapi dari pe­nyakit-penyakit hati, adalah tiga penyakit itu. Yakni takabbur, hasud, dan riya’. Ke­tiga penyakit ini adalah penyakit hati dan tempatnya pun di dalam hati, yang selan­jutnya diterjemahkan dalam berbagai ben­tuk tindakan, baik berupa perbuatan maupun ucapan. Maksiat pertama dari maksiat-mak­siat hati adalah takabbur, sombong. Pe­nyakit ini asal mulanya adalah penyakit yang sangat halus bernama ujub.

Apa itu ujub? Ujub adalah pengakuan dan penisbahan atas kelebihan yang dimiliki kepada diri sendiri bukan kepada taufiq Allah SWT.

Engkau sukses dalam satu pekerja­an, misalnya, lalu engkau katakan, “Ini karena kebrilianan dan strategi yang aku terapkan. Ini hasil jerih payahku.”

Wahai saudaraku, banyak orang yang juga memiliki strategi dan kemampuan yang lebih hebat dari apa yang engkau lakukan. Akan tetapi mereka tidak sukses seperti dirimu. Apakah yang membeda­kan antara mereka dan dirimu?

Ia berkata, “Bisa saja situasi dan kon­disinya.”

Lalu siapakah yang mengatur segala kondisi dan keadaan? Bukankah semua­nya di bawah pengaturan Allah SWT?

Bila seseorang melihat dirinya memi­liki kemampuan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, mi­salnya, dari manakah kemampuan itu ber­asal?

Ia berkata, “Aku berusaha dan bersu­sah payah serta dengan jerih payahku men­datangi guru-guru.”

Benar. Akan tetapi siapa yang mem­berimu taufiq untuk dapat melakukan se­mua itu? Allah SWT!

Bila engkau mampu untuk meng­him­pun satu kadar tertentu dari harta, yang di­pan­dang bernilai dalam pandangan manusia, dan engkau infakkan di jalan kebaikan, memang benar engkaulah yang mengeluarkan semua itu. Akan te­tapi siapa yang memberimu ilham untuk melakukan hal itu? Tidak lain adalah Allah SWT!

Menisbahkan kelebihan dan keuta­maan yang dimiliki kepada diri sendiri, itu­lah yang disebut ujub. Yakni kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Dan ujub itulah asal mula penyakit takabbur yang berada dalam diri manusia.

Bila dalam diri seseorang terdapat ujub, akan muncullah takabbur. Pohon ta­kabbur itu pun akan tumbuh subur di da­lam hatinya.

Ketahuilah, sesungguhnya takabbur memiliki dua sisi. Sisi bathin dan sisi lahir. Dan sisi bathin takabbur adalah pengaku­an terhadap kelebihan diri sendiri atas orang lain.

Apa maknanya?

Maknanya, “Aku melihat diriku lebih mulia dari orang lain. Aku lebih utama dari orang lain. Aku lebih baik dari orang lain.” Inilah yang dikatakan oleh Iblis. Ia ber­kata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Aku lebih baik darinya. Eng­kau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” — QS Al-A`raf (7): 12.

Apakah sesuatu yang telah membuat Iblis menjadi hina. Sesuatu itu adalah ucapan “Aku lebih baik darinya.” Yakni Iblis memandang dirinya lebih mulia dan lebih utama dari makhluk Allah lainnya.

Apa yang kemudian dilahirkan dari pengakuan terhadap keutamaan diri sendiri terhadap orang lain? Pengakuan itu akan melahirkan perasaan merasa lebih tinggi dan lebih mulia dari orang lain.

Mahkota para Malaikat...

Takabbur pada awalnya yang muncul hanyalah sebatas perasaan yang ada di dalam hati. Namun selanjutnya perasaan itu akan berubah menjadi sikap dan tin­dakan. Inilah fase-fase takabbur. Dan berikut adalah penjelasan tentang fase-fase tersebut:

Pertama, dalam hati. Takabbur ber­mula dalam diri seseorang dengan me­rasa kagum terhadap dirinya. Ia menis­bah­kan kelebihan dan keistimewaan yang dimilikinya kepada dirinya sendiri, tidak kepada Allah SWT. Selanjutnya ia mem­banding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan melihat dirinya lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan selain­nya.

Keadaan hati semacam itu akan terus berada dalam kekacauan, karena ia tidak menisbahkannya kepada karunia Allah SWT.

Ia akan terus membanding-banding­kan. “Aku adalah ini... aku adalah anu.... Dia hanya.... Mereka pun hanya... mereka lebih rendah dariku!”

Ia melihat dirinya lebih utama dari orang lain. Namun semua itu masih ber­ada dalam batasan hati. Masih berupa lintasan-lintasan yang berada dalam hati. Apa yang kemudian ditimbulkan dari kon­disi semacam itu?

Kedua, tindakan. Misalnya, berjalan di hadapan orang lain tapi tidak menyapa atau memberi salam kepada mereka. Ia menunggu sampai mereka yang terlebih dahulu menyapanya atau mengucapkan salam kepadanya.

Kondisi hati itu telah berubah menjadi tin­dakan dalam tingkah laku. Ia meman­dang orang lain dengan pandangan hina dan merendahkan, bergaul dengan orang lain dengan pergaulan yang kering tanpa kehangatan, dan menolak untuk mene­rima kebenaran dari orang lain bila me­reka menasihatinya.

Apa yang selanjutnya dilahirkan dari tindakan-tindakan ini?

Iblis pada awalnya adalah ahli ibadah. Ia termasuk hamba Allah yang sungguh-sungguh menjalankan berbagai bentuk ibadah, sampai-sampai dikatakan bahwa tidaklah terdapat satu jengkal tanah pun di muka bumi ini kecuali ditemukan bekas sujud Iblis, sujudnya kepada Allah SWT.

Hanya saja perbuatan itu baru berupa amal­an lahir, yang tidak disertai dengan penyucian hati. Sehingga, setiap kali su­jud, setiap kali itu pula ia merasakan per­buatannya sebagai jerih payah dirinya semata.

“Aku telah mengeluarkan ini untuk-Mu, wahai Tuhan! Aku sudah sujud ke­pada-Mu, wahai Rabb! Aku melakukan ini! Aku... aku... dan aku...!”

Permasalahan sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Permasalahan itu kembali kepada dirinya sendiri. Setelah itu me­ngarah kepada memandang yang lain lebih hina dan lebih rendah dari dirinya.

“Wahai Tuhanku, aku telah sujud ke­pada-Mu dan aku sudah berbuat ini dan itu untuk-Mu....”

Muncul sesuatu di dalam hatinya.

Karena ibadahnya, Iblis semakin ting­gi derajatnya dan masuk ke dalam go­longan para malaikat muqarrabin.

Setelah mendapatkan kedudukan itu, ia pun mulai membanding-bandingkan ke­adaan dirinya dengan keadaan para muqarrabin lainnya. “Aku beribadah lebih banyak diban­ding­kan mereka....”

Iblis semakin berusaha keras mencari ketinggian derajat dalam ibadahnya ke­pada Allah, terus... terus, dan terus... hing­ga sampai kepada derajat menjadi peng­hulu para muqarrabin. Ia dijuluki Thawus al-Malaikah (Mahkota para Malaikat).

Mahasuci Allah, sampai batasan ini muncul masalah di dalam hatinya. Ia me­nisbahkan ibadahnya kepada dirinya sen­diri dan tidak kepada Allah SWT. Ia ter­ja­tuh ke dalam ujub dan mulai memban­ding-bandingkan keadaan dirinya dengan yang lain.

“Aku penghulu sekalian muqarrabin... aku mahkota para malaikat.”

Bahaya Takabur

Seseorang yang menempatkan dirinya di atas kesombongan dan berdiam diri serta menganggap perkara ini sesuatu yang sepele, sesungguhnya bahaya yang pertama baginya adalah bahwa ia telah mempertunjukkan dirinya untuk melakukan perang terhadap Allah SWT.

Imam As-Suyuthi mengeluarkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih, Allah SWT berfirman, “Kesombongan adalah pakaian kebesaran-Ku. Barang siapa mengambil pakaian kebesaran itu dari-Ku, niscaya Aku binasakan.”

Apakah engkau melihat ada satu bahaya yang lebih besar dari ini?

Seseorang yang menempatkan diri­nya di atas kesombongan dan berdiam diri serta menganggap perkara ini se­suatu yang sepele, sesungguhnya ba­haya yang pertama baginya adalah bah­wa ia telah mempertunjukkan dirinya un­tuk melakukan perang terhadap Allah SWT. Apa sebab ia dikatakan telah me­nabuh genderang peperangan terhadap Allah SWT? Karena perbuatan tersebut merupakan puncak dari permusuhan yang sesungguhnya.

Mengapa dikatakan permusuhan? Karena engkau menyatakan sesuatu yang bukan milikmu. Engkau merebut hak Allah SWT di dalam sifat-sifat-Nya, karena hanya milik-Nya-lah segala ben­tuk kesombongan dan kebesaran.

Kata al-kibriya’ diambil dari kata akbar, sesuatu yang paling besar. Dia-lah Yang Mahabesar. Ini berarti engkau menantang Yang Mahabesar SWT. Di dalam shalat engkau ucapkan, “Allah Maha­besar.” Lalu bagaimana mungkin eng­kau merasa besar dan menyom­bong­kan diri? Sungguh ini sesuatu yang sangat berbahaya.

Para ulama mengatakan, sesung­guhnya Allah SWT memiliki sifat Jala­liyah (Keagungan), Kamaliyah (Kesem­purnaan), dan sifat Jamaliyah (Keindah­an). Dan ibadah kita kepada Allah SWT adalah bahwa di hadapan sifat keagung­an-Nya kita harus berbuat dengan apa-apa yang menjadi lawanannya.

Allah memiliki sifat kesombongan, apa yang semestinya kita miliki? Yang mesti kita miliki adalah kerendahan hati (at-tawadhu‘).

Allah memiliki sifat ketinggian dan ke­muliaan, apa yang seharusnya kita mi­liki? Kita semestinya memiliki sifat me­rendahkan diri dan merasa hina.

Allah memiliki sifat Mahakaya, kita semestinya memiliki sifat faqir dan ter­amat bergantung. Bagi Allah kemaha­kuasaan, bagi kita adalah kelemahan.

Bila Allah SWT memadang kepada­mu sedangkan engkau berakhlaq de­ngan akhlaq yang patut dan semestinya untukmu, yakni berakhlaq dengan akh­laq yang menjadi kebalikan dari sifat-sifat keagungan dan akhlaq-akhlaq ketuhan­an, niscaya Allah pun akan ridha ke­pada­mu.

Adapun sifat-sifat kemahaindahan ketuhanan Allah SWT, kita mengikutinya dan berakhlaq dengan sifat-sifat ke­maha­indahan-Nya tersebut. Allah bersi­fat Maha Pengasih, jadilah engkau se­orang pengasih. Allah Maha Dermawan, jadilah engkau seorang dermawan. Allah Mahabijaksana, jadilah engkau seorang yang bijaksana. Sifat-sifat ini keseluruh­annya adalah sifat-sifat yang disukai Allah untuk ditiru dan diikuti.

Di sana terdapat sifat-sifat kesem­pur­naan Allah SWT. Apabila engkau te­lah dapat mewujudkan kebalikan dari si­fat-sifat keagungan-Nya, kesombongan dengan kerendahan hati, kebesaran dan ke­muliaan dengan kerendahan diri, ke­mahakayaan dengan kefaqiran dan ter­amat butuh terhadap Allah SWT, dan engkau pun telah pula mewujudkan sifat-sifat keindahan Allah SWT dalam dirimu, Allah bersifat Maha Pengasih, engkau menjadi seorang pengasih, Allah Maha Dermawan, engkau menjadi seorang der­mawan, Allah Mahabijaksana, eng­kau menjadi seorang yang bijak... Allah SWT akan bertajalli terhadap dirimu dengan sifat-sifat kemahasempurnaan-Nya.

Engkau lemah, Allah akan memberi­kan kekuatan kepada-Mu dari kekuatan-Nya, Allah akan memberikan ketegaran dari kekuatan-Nya. Engkau bodoh, Allah akan memberikan pengetahuan dan hik­mah dari ilmu dan hikmah-Nya. “Dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” — QS Al-Kahfi (18): 65. Allah SWT memberikan ilmu kepadamu, ka­rena engkau telah melakukan muama­lah yang baik dengan asma-asma Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.

Hamba yang sombong adalah sebab dari kerusakan yang terjadi di atas muka bumi ini. Bagaimana mungkin engkau berjalan menuju Allah SWT sedangkan engkau berbuat kerusakan di atas muka bumi, yang Allah amanahkan kepadamu agar engkau menjadi khalifah Allah di atasnya?

“Sesungguhnya Aku hendak men­jadi­kan khalifah di muka bumi.” — QS Al-Baqarah (2): 30.

Peliharalah bumi ini, dan jangan me­rusaknya.

Apa maknanya?

Sesungguhnya sebagian besar dari segala kesulitan yang ada di muka bumi ini sumbernya adalah dari kesombongan (al-kibr). Segala apa yang engkau lihat dan saksikan dari berbagai pertumpahan darah, perampasan hak orang lain, dan tindakan anarkis, penipuan, suap-me­nyuap, pencurian, pemutusan silatu­ra­him, kebencian dan tidak saling menya­pa, dan sebagainya, awalnya tidak lain adalah tunduknya jiwa terhadap kesom­bongan.

Dalam hal ini berarti kita sedang ber­bicara tentang sesuatu yang berkaitan de­ngan bagaimana menyelesaikan ber­bagai masalah yang melingkupi kita di dunia ini.

Akan tetapi dari manakah dimulainya jalan keluar dari berbagai masalah yang ada di dunia ini?

Jalan keluar dari semua masalah itu sesungguhnya tidaklah dapat dimulai dengan seseorang di antara kita mem­bu­sungkan dadanya, menghentakkan na­pasnya, dan memandang bahwa hanya dirinyalah orang shalih yang akan membenahi bumi ini dari kerusakan, se­kalipun itu dengan nama Islam. Melain­kan hal itu dimulai dengan kembalinya setiap manusia kepada hatinya untuk membersihkannya dari segala penyakit yang ada di dalamnya.

Mengobati Penyakit Takabur

Ada dua cara mengobati penyakit takabur, yaitu ilmu dan amal. Pertama, ilmu. Yakni hendaklah eng­kau mengetahui siapa dirimu? Coba ingat­lah, renungkanlah, baca, pelajari, dan cari tahu siapa dirimu sesungguh­nya? Awalmu adalah setetes air mani dan akhirmu adalah bangkai yang kotor dan di antara keduanya itu engkau mem­bawa kotoran.

Apa sesungguhnya dirimu? Dari apa engkau diciptakan? Dan apa kelak akhir dari dirimu? Engkau adalah si lemah yang teramat rapuh hanya oleh lapar dan letih yang menderamu!

Imam Ali bin Abi Thalib RA pernah ber­kata, “Sungguh aku heran terhadap orang yang berlaku sombong padahal ia hanyalah si lemah yang bau tak sedap karena keringatnya, dapat terbunuh bila mencuri, dan tak dapat tidur hanya ka­rena kuman kecil yang menggerogoti tu­buhnya.”

Hakikatnya memang engkau adalah makhluk yang lemah, yang tiada ber­daya. Akan tetapi kekuatan akan datang kepadamu dengan penyandaranmu ke­pada Allah SWT.

Bila engkau telah memahami per­kara ini dan kemudian ilmu ini telah ber­ubah menjadi sesuatu yang mengkristal di dalam dirimu, ia membutuhkan se­suatu yang lain di sampingnya, yakni obat yang kedua bagi takabur, yaitu amal perbuatan.

Maka, cara mengobati penyakit ta­kabur yang kedua adalah amal perbuat­an. Dalam hal ini ada dua perkara yang hendaknya dilakukan.

Pertama, hauslah akan perbuatan-perbuatan yang dapat menumbuhkan sifat tawadhu‘, sifat rendah hati. Untuk berbuat lebih dulu dalam perbuatan-per­buatan itu. Setiap kali engkau berjumpa dengan siapa pun, lakukanlah lebih da­hulu untuk menyapa mereka. Ucapkan­lah salam kepadanya, dan jabatlah ta­ngannya, siapa pun orangnya, kecil atau­pun besar, teman, atau bahkan musuh.

Engkau yang harus terlebih dahulu memulainya. Jangan biarkan bisikan-bisikan nafsumu mendiktemu.

Wahai murid pencari ridha Allah, hati-hatilah! Jangan sampai nafsumu me­nertawakanmu dan berkata kepada­mu, “Lakukanlah sesuatu dari sifat ke­sombongan, karena kesombongan ada­lah keutamaan!” Tinggalkan bisikan itu. Mulailah terlebih dahulu untuk meng­ucapkan salam dan berjabat tangan kepada siapa pun yang engkau jumpai.

Kedua, bersegeralah untuk melaku­kan perbuatan-perbuatan yang memiliki keutamaan dan dapat mengalahkan nafsu.

Engkau masuk ke dalam masjid, mi­salnya, dan engkau dapati ada sesuatu yang kotor di dalamnya, ambil dan ber­sihkanlah. Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‘rawi adalah salah seorang pem­besar ulama ahli hati. Di waktu-wak­tu tertentu beliau tidak terlihat di kediam­annya. Murid-murid beliau pun mencari­nya ke sana-kemari dan tidak menemu­kannya. Ternyata beliau sedang berada di dalam WC masjid. Beliau menutup pintu WC dan membersihkan kotoran-kotorang yang ada di kloset dan sekitar­nya.

Ketika orang-orang dekatnya berta­nya kepada beliau tentang hal itu, beliau menjawab, “Aku takut terhadap takabur atas diriku... aku takut kalau-kalau aku merasa ujub atas diriku... di saat orang-orang memanggilku, ‘Syaikh Sya`rawi... Syaikh Sya`rawi... ’, insan televisi, men­teri, para pembantu, sanak keluargaku, dan semua kepercayaan orang terha­dapku. Aku takut semua itu menjadi ru­sak. Karenanya aku bermaksud meng­ingatkan diriku dengan sesuatu dari pe­kerjaanku ini.”

Itulah sebabnya, engkau akan men­da­pati bahwa, bagi orang yang hatinya telah takluk oleh sifat takabur, sulit bagi­nya untuk menerima hal semacam ini. Jika engkau katakan kepadanya “Bang­kitlah dan bersihkan kotoran itu”, ia akan berkata, “Apa urusanku dengan kotoran ini? Engkau ingin aku membersihkan­nya?”

Mari kita mengingat riwayat tentang Uwis Al-Qarni – semoga Allah merah­matinya. Suatu hari ia mengumpulkan sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah, mengaisnya dan member­sih­kannya. Setelah itu makanan-makanan itu ia bagi-bagikan kepada para faqir miskin yang sangat membutuhkan, yang tidak menemukan makanan di hari itu. Dan dalam munajatnya, ia selalu ber­kata, “Ya Allah, janganlah Engkau adzab diriku karena orang-orang yang tidur da­lam keadaan lapar dari umat Nabi Muhammad.”

Dengarlah, wahai saudara-saudara­ku pengusaha, yang dikaruniai harta yang berlimpah. Beliau yang tiada ber­harta dan tidak pula memiliki makanan ini telah mengais sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah, membersih­kan­nya, dan membagi-bagikannya kepada orang-orang faqir yang membutuhkan dan berkata dalam munajatnya, “Ya Allah, janganlah Engkau adzab diriku karena orang-orang yang tidur dalam ke­adaan lapar dari umat Nabi Muham­mad.”

Suatu hari seekor anjing yang tengah lapar mendekati Uwis Al-Qarni yang tengah mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah dan menggonggong di hadapannya karena merasa terganggu terhadap kehadiran Uwis di tempat itu. Uwis pun berkata kepada anjing itu, “Wahai anjing, janganlah engkau me­nya­kitiku, karena aku pun tidak akan me­nyakitimu. Aku hanya mengambil yang layak untukku dan engkau pun meng­ambil yang layak untukmu. Jika kelak aku dapat melewati shirath dan masuk ke dalam surga, sungguh keadaanku le­bih baik darimu. Namun jika aku terge­lincir dari shirath dan jatuh ke dalam ne­raka, sungguh engkau lebih baik dariku.”

Benar, di hari Kiamat nanti anjing akan kembali menjadi debu. Dan sese­orang dari kita – nauzhu billahi min dzalik – bila masuk ke dalam neraka, apa yang dapat berguna baginya? Maka sungguh anjing lebih baik baginya.

Kisah ini tidaklah dimaksudkan agar engkau memberi makan orang-orang faqir dari tempat sampah. Sama sekali tidak! Melainkan yang kami inginkan adalah agar sifat takabur yang ada di dalam hati kita keluar dan pergi. Kita hendak mengobati penyakit-penyakit yang ada di dalam hati kita.

Hendaklah kita haus untuk melaku­kan perbuatan-perbuatan itu. Dan di an­tara perbuatan-perbuatan tersebut ada­lah berkhidmah kepada para faqir mis­kin. Carilah anak yatim piatu, orang-orang faqir, atau mereka yang telah jom­po. Bantulah untuk mencucikan pakaian mereka atau membantu menuntun me­reka masuk ke kamar mandi untuk mem­bantu mereka mandi, karena dalam se­tiap pekerjaan ini terdapat makna meng­alahkan sifat takabur dalam jiwa. Berat memang terasa bagi nafsu, akan tetapi padanya terdapat pengekangan bagi nafsu dan pendidikan terhadapnya.

Bila kedua langkah ini, ilmu dan amal, sudah dilakukan, mengobatinya haruslah disertai dengan kesungguhan doa kepada Allah SWT.

Sumber :www.majalah-alkisah.com

No comments: