Saturday, December 15, 2012

Hb. Lutfi:Ahli Kubur Bisa Mendengar Doa

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pada tanggal 12 Juni 2005 saya diajak ke makam Syeikh Subakir di Gunung Tidar, Magelang, oleh guru saya, K.H. Syekh Abdul Jalail bin Thoyyib Assa'id (Gus Jalil), Kudus. Beliau membaca berbagai bacaan yang selalu diikuti jemaah. Antara lain, Salamullah ya sadah dan seterusnya, Al-Fatihah, Yasin, Al-Wáqi'ah, Asma al-Husna, tahlil, kemudian ditutup dengan bacaan Maulid, dengan Asyraqal kaunubtihajah dan seterusnya. Adakah dasar-dasarnya amalan tersebut? Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

K.A. Rifai


Jawaban:

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Doa para alim ulama dalam ziarah kubur pasti ada dasar-dasarnya. Ketakutan seorang ulama itu kepada Allah (Swt) sangat tinggi. Jadi mereka tidak mau berbuat sesuatu yang mengada-ada, yang tidak ada dasarnya, yang mengundang pertanggungjawaban di hari Kemudian.

Contoh, mengambil sepotong ayat, "Dan Tuhanmu berfirman,
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS Al-Mukmin: 60).

Lalu bab perintah ziarah kubur dalam Hadist, "Dahulu aku melarang kamu ziarah kubur, sekarang berziarahlah." Namun banyak orang yang memotong Hadist ini, dan tidak dilanjutkan, jadi bunyinya hanya, "Aku telah melarang kamu berziarah kubur." Kalau tidak dilanjutkan, akan mengundang pertanyaan. Karena, dalam uslub (tata bahasa) dalam kalimat yang didahului dengan kata kerja madhi' (past tense, kata kerja lampau), kalau kata kerja lampau itu diucapkan, selalu mengundang pertanyaan: Lalu sekarang bagaimana?

"Dulu aku melarang kamu berziarah kubur", mestinya orang bertanya, sekarang bagaimana. Di sini, Hadist itu dilanjutkan oleh Rasulullah, "sekarang berziarahlah."

Tujuan orang berziarah, pertama, mengingatkan kembali kepada kita bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah. Kedua, mengingatkan kita, apa yang harus kita bawa (bekal) ketika keluar dari dunia yang fana ini. Ketiga, dzikr al-maut bertujuan untuk membangkitkan amal saleh, bukan untuk memupuk rasa takut mati, tapi takut kalau mati dalam keadaan yang buruk.

Berziarah kubur akan mendorong kita mengubah sikap serta amal yang tidak baik. Adapun doa-doa ziarah kubur, karena ada perintah dari Allah "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan", sangat luas. Kita bisa minta kepada Allah dengan perantaraan bacaan surah Al-Fatihah. Atau dengan lantaran bacaan Al-Qur'an yang lain. Dan pahala bacaan Al-Qur'an itu kita hadiahkan kepada para ulama yang kita cintai. Siapakah yang mengatakan doa seperti ini tidak sampai kepada Allah (Swt)? Kita tidak bisa mengklaim suatu doa itu sampai atau tidak kepada Allah, yang bisa mengetahui hanya Allah. Apalagi tentang mendoakan orang lain, shalat lima waktu kita saja kita tidak tahu, apakah diterima Allah atau tidak. Itu hak Allah. Jadi, perlu diingat, tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan para wali maupun ulama yang saleh akan menyimpang dari keteladan Nabi dan para sahabat.

Bacaan, "Salamullah ya sadah" merupakan bagian dari ajaran Rasulullah (saw). Rasulullah kalau berziarah kubur mengucapkan salam,"Assalamu'alaikum, ya ahlul kubur, wal mukminin wal mukminat." Ada lagi Hadist, "Ya daril kaumul mukminin". Artinya, kalau Rasulullah memberikan salam kepada ahli kubur, berarti ahli kubur itu mendengar apa yang diucapkan Rasulullah. Bahkan telapak sandalnya saja mereka mendengar. Para ahli kubur mendengar setiap telapak kaki yang masuk ke kuburan. Apalagi orang membaca doa. Apalagi orang membaca Al-Qur'an. Apalagi orang membaca tahlil. Dari situlah, ungkapan "Assalamu'alaikum, ya darul mukminin" di dalamnya diteruskan oleh para alim ulama, "Salamullah, ya sadah minar-rahman yaghsyakum, ibadallah ji'nakum, qashadnakum thalabnakum". Itulah di antaranya luasnya doa ziarah kubur yang artinya, Semoga Allah memberikan keselamatan, wahai orang yang mulia, (keselamatan) dari Yang Maha Pengasih. Itu semua merupakan doa, permintaan kepada Allah, untuk siapa yang diziarahi, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah. Seperti kita mengucapkan kalimat "Assalamu'alaika ayyuhannabiyyu warrahmatullahi wabaraktuh, assalamu'alaina wa'ala 'ibadillahish-salihin."

"Assalamu'alaina" di sini memiliki arti yang luas. Sebab di sini lafalnya jamak. Namun secara terperinci sudah merangkum semuanya, dan diucapkan lagi oleh Baginda Nabi, karena cintanya Rasulullah kepada para salihin. Sedang di dalam kalimat tersebut, para salihin sudah termasuk di dalamnya. Seperti ketika shalat, kita senantiasa mengucapkan "Ihdinash-shirathal mustaqim, atau "tunjukkanlah kami jalan yang lurus." Di sini lafal tersebut menggunakan kata "kami", bukan "saya", untuk menunjukkan bahwa subjeknya umat Islam secara umum.

Sumber: Majalah Al Kisah

Friday, December 14, 2012

Tawasin (2): Thasin Al Fahm (Pemahaman) Al Halaj

1.Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya- Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2.Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman- temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3.Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4.Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya,supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman- temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.

5.Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6.Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu.Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini

merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.

7.Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.

8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q.53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidakberpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana

Sunday, November 25, 2012

Kumpulan Hizib Syazili (2) Hizib Fath


Berikut sy lampirkan Hizib Al Fath dah Syeik abu Hasan As Syazili. silahkan mencari ijazah untuk mengamalkan hizib ini. Semoga Allah memberikan kita keberkahan atas kemulian hizib ini.









Risalah Al Qusyairi 7: Zuhud

Abd al-Karim ibn Hawazinal-Qusyairi

Diriwayatkan dari Abu Khallad, bahwa Nabi saw mengatakan, “Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dunia dan ucapan, maka dekatilah dia, kerana dia dialiri kebijaksanaan.”

Sementara orang mengatakan, “Zuhud bersangkutan dengan hal-hal yang haram saja, sebab hal-hal yang halal diperbolehkan Tuhan. Apabila Tuhan memberikan berkah kepada hamba-hamba-Nya berupa harta yang halal, dan hamba itu sendiri bersyukur kepada Tuhan atas berkah itu, maka sikap zuhud berkenaan dengan harta seperti itu, menurut syariah-Nya, adalah makruh.”

Sebagian orang yang lain mengatakan, “ Zuhud terhadap hal-hal yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap hal-hal yang halal adalah suatu kebaikan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur atas apa pun yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya, dan berpuas hati dengan apa yang telah Tuhan beri kepadanya, maka hal itu lebih baik berbanding berusaha mengumpul banyak kekayaan di dunia.

Allah menyeru manusia bersikap zuhud berkenaan dengan memiliki kekayaan, melalui firman-Nya, di dalam Surah An-Nisa, ayat 77

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمۡ كُفُّوٓاْ أَيۡدِيَكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيۡہِمُ ٱلۡقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ۬ مِّنۡہُمۡ يَخۡشَوۡنَ ٱلنَّاسَ كَخَشۡيَةِ ٱللَّهِ أَوۡ أَشَدَّ خَشۡيَةً۬‌ۚ وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ۬ قَرِيبٍ۬‌ۗ قُلۡ مَتَـٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٌ۬ وَٱلۡأَخِرَةُ خَيۡرٌ۬ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلاً 

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.. (An-Nisa: 77)

Sebagian orang lain mengatakan, “Apabila seorang hamba membelanjakan harta dalam kepatuhan, bersabar, dan tidak mengajukan keberatan kepada apa yang dilarang oleh syariah untuk dia lakukan dalam kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap hal-hal yang dihalalkan.”

Sebagian yang lain berpendapat, “Adalah tepat bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak bersikap zuhud dengan sengaja terhadap hal-hal yang halal, tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluan secara berlebihan, karana menyadari rezeki yang diberikan oleh Allah. Apabila Allah SWT menentukan dia berada pada batas hidup sederhana, maka dia hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, kerana kesabaran merupakan sesuatu paling utama bagi pemilik harta yang halal. Berkenaan dengan makna zuhud, para sufi mengatakan, “Masing-masing orang berbicara sesuai dengan zamannya masing-masing dan menunjukkan batas (yang ditetapkannya) sendiri.”

Sufyan Al-Tsawri menyatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah mengurangi keinginan untuk memperoleh dunia, bukan memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.”

Sari As-Saqati menegaskan, “Allah SWT menjauhkan dunia dari dari ahli sufi-Nya, menjauhkannya dari makhluk-makhluk-Nya yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang Dia cintai, lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi mereka.” – sesuai dengan firman-Nya dalam surah Al-Hadid, ayat 23.

لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَٮٰڪُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ۬ فَخُورٍ 

(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

Yahya Ibn Muadz menyatakan, “Zuhud menyebabkan kedermawanan berkenaan dengan harta, dan cinta menghantarkan kepada semangat kederwanan.” Ibn Al-Jalla berpendapat, “Zuhud adalah sikap anda memandang dunia ini hina, karana dunia ini fana setelah itu, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi anda.”

Ibnu Khafif mengatakan, “Petanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.”

Al-Nasrabadzi menyatakan, “Seorang zahid adalah orang asing di dunia ini, dan seorang arif adalah orang asing di akhirat.”

Dikatakan, “Bagi orang yang benar-benar bersikap zuhud, dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.”

Junaid mengajarkan, “Zuhud adalah: Hati kosong dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”

Abu Sulaiman Ad-Darani menegaskan, “Pakaian bulu domba adalah salah satu tanda zuhud; oleh sebab itu, tidak layak bagi seorang zahid mengenakan pakaian beharga 3 dirham jika dia menginginkan wang sebanyak 5 dirham.”

Al-Mubarak berpendapat, “Zuhud adalah tawakkal kepada Allah SWT dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.” Si hamba tidak mampu merelakan dunia kecuali dengan tawakkal kepada Allah SWT.

Abd Al-Wahid Ibn Zahid mengatakan, “Zuhud adalah menjauhkan diri dari dinar dan dirham.” Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Zuhud adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan anda dari Allah SWT.”

As-Sari mengatakan, “Kehidupan orang zahid tidak akan baik apabila dia tidak peduli terhadap jiwanya, dan kehidupan seorang arif tidak akan baik apabila dia terlalu mementingkan jiwanya.

Al-Junaid mengatakan, “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari keterpautan.”

Yahya Ibn Mu’adz menyatakan, “Orang baru akan mencapai zuhud yang sebenar-benarnya apabila dia memiliki sifat-sifat ini: berbuat tanpa disertai keterikatan, berbicara tanpa disertai nafsu, dan kemuliaan tanpa adanya kekuasaan ke atas orang lain.”

Abu Hafs mengatakan, “Tidak ada zuhud kecuali dalam hal-hal yang halal.”

Abu Utsman mengatakan, “Allah SWT memberi seorang zahid sesuatu lebih daripada yang dia inginkan, dan Dia memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang dia inginkan, dan Dia memberi hamba yang takut sebanyak yang benar-benar diinginkan.” Muhammad Ibn Al-Fadhl mengatakan, “Kedermawanan kaum pecinta adalah pada waktu mereka berkecukupan, dan kedermawanan kaum pembela adalah pada waktu yang sangat diperlukan.” Seseorang bertanya kepada Yahya Ibn Mu’adz, “Bilakah saya akan memasuki kedai tawakkal, mengenakan jubah zuhud, dan duduk di dalam majlis bersama kaum pecinta?” Dia menjawab, “Ketika anda tiba pada suatu keadaan – dalam latihan untuk cinta secara diam-diam – yang di dalamnya apabila Tuhan menghentikan nafkah anda selama 3 hari, jiwa anda tidak melemah. Tetapi, apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum pecinta hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahawa anda tidak akan terhinakan di tengah-tengah mereka.” Dikatakan, “Manakala seorang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka Allah SWT mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksaan di dalam hatinya.” Ahmad Ibn Hanbal memberikan penjelasan, “Ada 3 macam zuhud: bersumpah menjauhi hal yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi berlebihan dalam hal-hal yang halal adalah zuhud kaum terpilih, dan bersumpah menjauhi apa pun yang mengalihkan sang hamba dari Allah SWT adalah zuhud kaum arif.” Al-Nasrabadzi berpendapat, “Zuhud memelihara darah kaum pecinta dan menumpahkan darah kaum arif.” Hatim Al-Asamm berkata, “Kaum pecinta menghabiskan isi dompetnya sebelum dirinya, dan orang bertarekat menghabiskan dirinya sebelum isi dompetnya.”

Thursday, November 22, 2012

Kumpulan Hizib Syazili (1) Hizib Kabir

Assalamualaikum

 Terdapat beberapa hisib yang diamalkan oleh tarekat syaziliah yaitu: Hizb al Bahr, Hizb an Nasr, Hizb al Barr, Hizb al Kabeer, Hizbul Anwar, Hizb an Nur, Hizb al Lutf, Hizb al Ikhfa, Hizb at Tams, Hizbul Hafiza, Hizb al Kifaya, Hizb ash Shikwa, Hizb al Falah, Hizb al Makhfi, Hizb al Khaira, Hizb at Tawassul, Hizb al Ayat Hizb ash Shadhili ,

Berikut sy lampirkan salah satu hizib tersebut yaitu hizib Al Kabir. silahkan mencari ijazah untuk mengamalkan hizib ini. Semoga Allah memberikan kita keberkahan atas kemulian hizib ini.

salam

















Saturday, November 10, 2012

Sholawat Miftahu Abwabil-Jinan

Sholawat Miftahu Abwabil-Jinan (Pembuka Pintu-Pintu Surga)



As-Syaikh Muhammad Murtadha dalam kitabnya syarah Ihya Ulumuddin disitu beliau menceritakan mengenai perihal salah seorang dari guru-gurunya, yaitu As-Syaikh Ahmad bin Musthafa Al-Iskandari R.A. yang lebih dikenal dengan panggilan As-Shabbagh. As-Shabbagh mengatakan : Bahwa pada akhir Ijazah yang dilimpahkan oleh gurunya kepadanya, Gurunya mengatakan jalan yang tersingkat bagi seorang murid yang kurang memperhatikan keadaan dirinya ialah agar murid itu memperbanyak beristighfar dan memperbanyak memberikan As-Sholawat 'alan-Nabi shalla Allahu 'alaihi wa alihi wa sallam

Saya mendapatkan iiham dengan kalimat As-Shalawat ini dan saya merutinkannya dengan keberkahan amal itulah saya memperoleh banyak sekali feedah-feedah dan limpahan kaninia Allah yang timbulnya dengan sebab fedhilah As-Shalawat tersebut dan kesemua itu tak lain adalah suatu keberkatan dari An-Nabi shalla Aliahu alaihi wa alihi wa sallam. Seterusnya beliau mengatakan : Pada suatu ketika saya berjumpa dengan An-Nabi shalla Aliahu 'alaihi wa alihi wa sallam, maka saya bacakan di hadapan beliau Beliau As-Shalawat tersebut untuk meminta restu langsung dari Beliau shalla Aliahu 'alaihi wa alihi wa sallam, untuk saya mempergunakan As-Shalawat itu, maka Beliau shalla Aliahu 'alaihi wa alihi wa sallam, tersenyum kepada saya, menandakan bahwa Beliau bergembira dengannya dan merestuinya. Sesudah menceritakan kejadian tersebut, kemudian beliau membacakan As-Shalawat yang dimaksudnya itu dan mengijazahkannya pula kepada saya.

Shalawat tersebut kami dapatkan dari dalam kitab Saadatud Dara`in karya Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dengan terjemahan dari Syaikhina Habib Muhammad bin Ali bin Ahmad Syihab.

Friday, November 2, 2012

Nasehat Solihin mengenai Hati

"Hati dan jasad adalah seperti seorang tuna netra ( orang buta ) dan seorang lumpuh memasuki sebuah kebun. Si lumpuh berkata kepada sang tuna netra, "Aku bisa melihat buah-buahan yang ada di kebun ini tetapi tidak dapat memetiknya, karena aku lumpuh. Kau tidak dapat melihatnya, tetapi kau tidak lumpuh. Gendonglah aku." Sang tuna netra menggendong si lumpuh, dan memetik buah-buahan tersebut, kemudian mereka memakannya.
Ruh dan jasad bekerja sama untuk berbuat maksiat kepada Allah swt, maka keduanya layak mendapat siksa."
( Sayyidina Salman Al-Farisi )

 “Orang yang berhati hasud (dengki) tidak akan meraih kemuliaan dan orang yang suka dendam, akan mati merana. Sejelek-jeleknya saudara adalah yang selalu memperhatikan dirimu ketika kamu kaya dan ia menjauhi kamu, ketika kamu dalam keadaan melarat. Bersikap rela terhadap taqdir Allah swt yang tidak menyenangkan adalah merupakan martabat yang tinggi.” ( Sayyidina Ali Zainal Abidin Ra )

“Jika telah ada akar yang tertanam dalam kalbu, maka lidah akan berperan sebagai pemberi kabar cabangnya.”
( Imam Syafi’i )

"Doa' kalian tidak terkabul karena hati kalian telah mati, dan penyebab matinya hati kalian adalah sepuluh Hal : 1. Kalian mengenal Allah swt, tetapi tidak memenuhi hak-haknya.
2. Kalian mengaku cinta kepada Rasulullah saw, tetapi tidak mengikuti sunah-sunahnya.
3. Kalian membaca Al-Qur'an , tetapi tidak mengamalkan isinya.
4. Kalian menikmati berbagai karunia Allah swt, tetapi tidak bersyukur kepadanya.
5. Kalian nyatakan setan sebagai musuh, tetapi tidak menentangnya.
6. Kalian nyatakan surga itu benar-benar ada, tetapi tidak beramal untuk memperolehnya.
7. Kalian nyatakan neraka itu ada, tetapi tidak berusaha untuk menghindarinya.
8. Kalian nyatakan kematian itu pasti datang, tetapi tidak bersiap-siap untuk menyambutnya.
9. Sejak bangun tidur kalian sibuk meneliti dan memperbincangkan aib ( keburukan ) orang lain dan melupakan aib ( keburukan ) kalian sendiri.
10. Kalian kuburkan mereka yang meninggal di antara kalian, tetapi tidak pernah memetik pelajaran darinya.
( Syekh Ibrahim bin Adham )

“Sedikit amal dari hati menyamai amal seluruh manusia dan jin.”
( Sayyidina Syekh Abu Bakar bin Salim Ra )

“Hendaknya kalian senantiasa menghadirkan hati kalian kepada Allah SWT dan hendaknya kalian bertawakal kepadanya sepenuh hati, sebab Allah SWT mengetahui di manapun kalian berada.”
( Imam Qutbil Anfas Habib Umar bin Abdurrahman Al-Aththas )

"Orang yang menggunakan masa sehatnya untuk bermaksiat kepada Allah swt adalah seperti seorang anak yang mendapat warisan dari ayahnya sebesar seribu dinar, kemudian ia gunakan semua uang itu untuk membeli ular dan kalajengking yang sangat berbisa yang kemudian mengelilingi dan menggigitnya. Bukankah ular dan kalajengking tersebut akan membunuhnya?
Kamu gunakan masa sehatmu untuk bermaksiat kepada Allah swt, maka nilaimu adalah seperti burung pemakan bangkai yang terbang berkeliling mencari bangkai, dimana pun ia dapatkan, maka ia segera mendarat.
Jadilah seperti tawon, kecil tetapi memiliki cita-cita yang mulia. Ia hisap wewangian dan ia produksi madu yang enak.
Engkau sudah terlalu lama bergelimang kemaksiatan, kini terjunlah ke dalam hal-hal yang dicintai Allah 'Azza wa Jalla.
Telah kujelaskan hakikat permasahan ini kepadamu, tetapi orang yang lalai tidak akan sadar meskipun memperoleh berbagai rencana. Sebab wanita yang kurang waras akalnya ketika putranya mati, ia justru tertawa. Begitu pula dirimu, engkau tinggalkan shalat malam, puasa sunah dan berbagai amal shaleh lain yang dapat kau kerjakan dengan seluruh anggota tubuhmu, tetapi tidak sedikitpun engkau merasa sakit. Kelalaian telah membunuh hatimu. Orang hidup akan merasa sakit ketika tertusuk jarum, akan tetapi, sesosok mayat tidak akan merasa sakit meskipun tubuhnya di potong-potong dengan sebilah pedang. Saat ini hatimu sedang mati, karena itu duduklah di majelis yang penuh hikmah,sebab, di dalamnya terdapat hembusan karunia dari surga. Hembusan karunia itu dapat kamu temukan di rumahmu, di perjalananmu. Jangan tinggalkan majelis hikmah ( majelis ilmu ), andaikata dirimu masih melakukan banyak maksiat, jangan berkata : Apa manfaatnya aku datang ke majelis ilmu, sedangkan aku senantiasa bermaksiat dan tidak mampu meninggalkannya.
Akan tetapi, lepaskan busur panahmu selalu, jika hari ini tidak tepat sasaran, bisa jadi besok tepat sasaran."
( Ibnu 'Atha illah Askandari )

"Jika ingin membersihkan air maka akan kau singkirkan segala hal yang dapat mengotorinya. Anggota tubuhmu ini seperti selokan-selokan yang bermuara ke hati. Karena itu jangan kau alirkan kotoran ke dalam hatimu, seperti pergunjingan, pengadu dombaan, ucapan yang buruk, pandangan yang haram dan lain sebagainya. Hati akan bercahaya dengan memakan makanan halal, berdzikir, membaca Al-Qur'an dan menjaga mata dari pandangan yang tidak mendatangkan pahala, pandangan yang kurang disukai agama dan pandangan yang haram. Jangan biarkan matamu memandang sesuatu, kecuali jika pandangan itu menambah ilmu dan hikmahmu."
( Ibnu 'Atha illah Askandari )

“Jika seorang hamba memedulikan penyakit hati seperti penyakit badan, niscaya mereka akan mendapatkan tabib di hadapan mereka. Tetapi, sedikit sekali yang membahas masalah ini, karena mereka telah dikuasai nafsu dan akal.”
( Imam Qutb Al-Arif billah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi )

“Hati yang bersih siap menerima karunia-karunia Allah swt. Sedang hati yang kotor tidak dapat menampung karunia Allah swt.”
( Imam Qutb Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas )

“Hati manusia seperti Baitul Ma’mur. Setiap hari ada 70.000 malaikat yang thawaf mengelilinginya hingga hari kiamat. Dalam 24 jam hati 70.000 bisikan dan setiap bisikan dipegang oleh seorang malaikat.”
( Imam Qutb Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas )

"Ketahuilah bahwa Allah swt akan memberikan kepada hambanya segala apa yang dipanjatkan sesuai dengan niatnya. Menurut saya Allah swt niscaya akan mendatangkan segala nikmat-Nya di muka dunia, dengan cara terlebih dahulu Dia titipkan di dalam hati hamba-Nya yang berhati bersih. Untuk itu kemudian dibagi-bagikan kepada hamba-Nya yang lain. Amal seorang hamba tidak akan naik dan diterima Allah swt kecuali dari hati yang bersih. Ketahuilah wahai saudaraku, seorang hamba belum dikatakan sebagai hamba Allah swt yang sejati jika belum membersihkan hatinya!“
( Imam Qutb Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf )

"Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, hati yang ada di dalam ini ( sambil menunjuk ke dada beliau ) seperti rumah, jika dihuni oleh orang yang pandai merawatnya dengan baik, maka akan nampak nyaman dan hidup; namun jika tidak dihuni atau dihuni oleh orang yang tidak dapat merawatnya, maka rumah itu akan rusak dan tak terawat. Dzikir dan ketaatan kepada Allah swt merupakan penghuni hati, sedangkan kelalaian dan maksiat adalah perusak hati.“
( Imam Qutb Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf )

Sumber: http://wasiatnasehat.blogspot.com

Thursday, November 1, 2012

Keiemahan Nafs

Berikut penjelasan dari kitab "Idharu Asrari Ulumil Muqarrabin" oleh Habib Muhammad bin Abdullah Al Aidarus"

Wahai hamba yang lemah, ketahuilah, sesungguhnya nafs yang terdapat dalam tubuhmu adalah sebuah ujian bagimu. Jika engkau seorang pencari kebenaran yang menyadari keburukan nafs, tentu engkau mengetahui keiemahan nafs dan selalu berusaha memperbaikinya. Jika engkau membiarkannya sakit, maka in akan menghancurkanmu. Salah satu keiemahan nafs adalah sering membenci sesuatu yang sebenarnya tidak membahayakannya Orang yang berakal saja nafs-nya segera bergelora ketika dihina oleh seorang anak yang belum mencapai usia tamyiz atau orang bodoh yang ucapannya tidak diperhitungkan. Sebenarnya ia sadar bahwa perbuatannya ini tidak bermanfaat dan ucapan itu tidak membahayakannya. Semua ini terjadi karena keiemahan dan kekurangan nafs sejak asal penciptaannya.

Begitulah manusia, mereka menviksa dirinya sendiri dan menghancurkan agamanya hanya untuk mencari sesuatu yang tidak dibutuhkannya. Lihatlah para penguasa, mereka melakukan berbagai hal yang berbahaya dan menanggung banyak dosa demi merebut sebuah daerah yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Mereka melakukannya demi nafs al-ammarnh bissu", yaitu nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan. Andaikata mau berpikir serta mengetahui cara mengobati dan mencegah nafs agar tidak mematuhi hawa yang merusak, tentu ia akara menjinakkan keganasan nafs-nya. Ia akan menyibukkan nafsnya sehingga dapat melupakan berbagai keinginan buruknya dan meninggalkan dosa-dosa besar yang menghancurkan agamanya. Ia tidak akan melakukan perbuatan yang membahayakan makhluk lain dan berbuat kerusakan di muka bumi.

Kelalaian dan bius hawa menghalangi akal untuk menolak keinginan nafs.Pada saat itulah nafs berbuat sesukanya, setan menguasai manusia dan taufik pun sirna. Manusia akan menaati perintah hawa dan tidak dapat melepaskan diri dari belenggunya Seorang penyair berkata:
Apa yang dapat diperbuat oleh dia yang diusir Tuannya
Obat para dokter tidaklah bermanfaat baginya




Karena inilah para solihin selalu berusaha mengobati dan memerangi nafs. Begitu merasakan sedikit saja perubahan ahlaknya, mereka pun segera mengobatinya. Lihatlah sikap amirul mukminin Umar Bin Khatab ra. Seorang manusia yang memiliki kedudukan tinggi dan tabiat mulia, saat memikul tempat air dipanggungnya dan bertemu dengan Urwah bin Zubair “Wahai amirul mukminin, tidak sepatutnya hal ini engkau lakukan", ucap Urwah
Aku harus melakukannya, sebab diriku merasa mulia ketika sejumlah urusan arab menemuiku dengan patuh dan mendengarkan ucapanku. Aku ingin menghancurkan perasaan ini,” jawab beliau
Kemudian beliau membawa dan menuangkan air itu kerumah janda.

Lihatlah kekuatan manusia yang mulia ini, manusia tidak mungkin salah satu akhlaknya dapat kita samai, meskipun kuat dan mulia, beliau masih khawatir hatinya akan disusupi sesuatu yang tidak baik, lalu menurut pendaptmu bagaimana seharusnya sikap kita yang lemah dan hidup di zaman yang penuh kekurangan ini:

Wahai saudaraku, perhatikanlah baik-baik uraianku ini. Jika engkau memang seorang pencari kebenaran, maka berjuanglah untuk melawan nafs-mu. Dalam bagian ini telah kutunjukkan kepadamu akhlak rijalul haq Jalla Jalaluh. Jangan engkau kalah dengan kebiasaan buruk dan nafs yang keras kepala. Tempuhlah petungjuk menuju jalan yang lurus.

Sunday, October 28, 2012

Rumi : Pantulan Cahaya yang Mempesonamu

Rumi: Kulliyat-e Syams

Sang hamba kecintaan makhluk,
yang dulu disanjung-puji dunia,
kini malah ditalaknya,
gerangan apa salahnya?


Itu karena dia memakai baju pinjaman,
dan lalu bersikap seolah memilikinya.

Kami mengambilnya kembali,
agar dia menjadi yakin,
bahwa semua khazanah itu milik Kami,
dan mereka yang cantik-molek itu
hanyalah para peminjam;

sehingga dia paham bahwa jubah-wujud itu
hanyalah sebuah pinjaman,
seberkas cahaya dari Matahari Wujud.

Semua keindahan, kuasa, kebajikan dan
kesempurnaan yang hadir ditempat ini
bersumber dari Matahari Kesempurnaan.


Berkas-berkas cahaya Sang Matahari itu,
kini kembali pulang,
bagaikan berputarnya bintang-bintang,
meninggalkan dinding-dinding ragawi ini.

Ketika cahaya matahari telah surut,
semua dinding menjadi gelap menghitam.

Semua yang mempesonamu,
pada wajah-wajah cantik,
adalah Cahaya Sang Matahari
terpantul pada kaca prisma.

Beragam corak kaca
membuat Cahaya tampil beraneka-warna.

Ketika prisma kaca beraneka-warna tak lagi ada,
barulah Cahaya tanpa-warna mempesonamu.

Bangunlah kebiasaan
menatap Cahaya tanpa prisma kaca,
sehingga ketika prisma kaca itu remuk,
tak lagi engkau buta.

Sumber:
Rumi, Matsnavi V: 981-991
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Juga terdapat pada Rumi: Jewels of Remembrance

Oleh Camille dan Kabir Helminski, Threshold Books, 1996 Bersumber dari terjemahan Persia - Inggris oleh Yahya Monastra
http://ngrumi.blogspot.com

Saturday, October 27, 2012

Bisyir bin Harits, Seorang Wali dari Dunia Pemabuk


Hidayah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Tak terkecuali Bisyir bin Harits, seorang pemuda yang gemar minum-minuman keras.
 Bisyir bin Harits benar-benar datang. Ia menempati janji seperti yang disampaikan kepada saudara perempuannya. Namun kemunculannya terlihat lain, ia limbung seperti halnya orang yang tengah kebingungan.

Belum lagi duduk atau berkata sepatah katapun untuk basa-basi, Bisyir malah melenggang meninggalkan ruang tamu, “Saya akan naik ke atas,” begitu kata Bisyir tanpa basa-basi, membuat saudara perempuannya heran.

Keheranan saudara perempuan Bisyir kian bertambah. Pasalnya setelah melewati beberapa anak tangga menuju ke loteng, Bisyir berhenti. Ia terdiam di sana sampai saat subuh tiba.

Mengapa sepanjang malam tadi engkau hanya berdiri di tangga itu?” tanya saudara perempuan Bisyir sesaat setelah Bisyir selesai melaksanakan shalat subuh.

“Ketika saya baru naik, tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku. Di Baghdad ini banyak orang yang memiliki nama Bisyir, ada yang Yahudi, Kristen, Majusi. Aku sendiri seorang muslim yang bernama Bisyir. Saat ini aku mendapat kebahagiaan yang besar. Aku bertanya dalam diriku: Apakah yang telah aku lakukan ini sehingga mendapat kebahagiaan sedemikian besar, dan apa pula yang selama ini mereka kerjakan sehingga tidak mendapat kebahagiaan seperti yang kudapat? Itulah yang membuatku berdiri di tangga itu sepanjang malam tadi,” kata Bisyir kepada suadara perempuannya. Tingkah aneh yang dilakukan Bisyir tidak itu saja. Orang-orang yang mengenalnya mengetahui, hampir separuh hidup Bisyir dijalani dengan penuh keanehan.

Suatu ketika cuaca sangat dingin, orang-orang yang tidak kuat dengan cuaca itu merangkap bajunya beberapa lembar, tapi Bisyir malah melepas bajunya yang dipakai hingga menggigil kedinginan.

“Mengapa engkau melepas bajumu wahai Abu Nashr, bukankah engkau menggigil kedinginan. Lihatlah orang-orang itu, mereka mengenakan baju berlapis-lapis,” kata salah seorang sahabat yang merasa aneh dengan tingkah Bisyir.

“Aku teringat pada orang-orang miskin, betapa menderitanya mereka saat ini, sementara aku tidak punya uang untuk membantu mereka, karena itu aku turut merasakan penderitaan seperti yang mereka rasakan saat ini,” kata Bisyir. Sahabatnya tidak bisa berkata-kata.

Di waktu yang lain, Bisyir berjanji hendak mengunjungi Ma’ruf, salah satu sahabatnya. Mendapati janji tersebut Ma’ruf dibuat girang. Dengan sabar Ma’ruf menunggu kedatangan Bisyir hingga waktu dluhur tiba, Bisyir belum juga tiba hingga usai shalat Asar.

Bahkan setelah menunaikan salat Isya pun, Bisyir belum juga tiba. Ma’ruf tetap bersabar menunggu kedatangan Bisyir, Ia yakin Bisyir tidak mungkin mengkhianati janjinya. Harapan dan kesabaran Ma’ruf tidak sia-sia. Ketika malam semakin larut, ia melihat Bisyir dari kejauhan, tanangannya mengapit sebuah sajadah.

Saat sampai di Sungai Tigris, Bisyir menyebrang sungai itu dengan cara berjalan di atas air. Hal sama dilakukannya ketika hendak pulang saat waktu subuh tiba setelah mereka berbincang sepanjang malam. Seorang sahabat Ma’ruf yang menyaksikan kejadian itu mencoba mengejar Bisyir, kepadanya ia minta didoakan, setelah mendoakan sahabat Ma’ruf sesuai yang dimintanya, Bisyir berpesan agar apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan kepada siapapun. Dan orang itu tetap menjaga rahasia tersebut sepanjang masa hidup Bisyir.

Di lain kesempatan Bisyir kedatangan sekelompok orang dari Syiria. Mereka bermaksud mengajaknya menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Namun ajakan itu tidak serta merta dipenuhinya. Kepada tamunya itu Bisyir mengajukan syarat: Pertama, mereka tidak dibolehkan membawa bekal apapun. Kedua, mereka tidak boleh meminta belas kasihan orang lain dalam perjalanan. Ketiga, jika ada orang yang melihat karena iba dan kasihan kepada mereka, mereka tidak diizinkan menerima pemberian itu.

Tawakal kepada Allah

“Pergi tanpa perbekalan dan tidak boleh meminta-minta dapat kami terima, tapi apabila orang lain memberikan sesuatu mengapa tidak boleh menerimanya,” tanya salah seorang dalam rombongan itu.

Mendengar kekhawatiran tersebut, Bisyir pun menjawab, “Sebenarnya diri kalian tidak memasrahkan diri kepada Allah, tapi kepada perbekalan yang kalian bawa.”

Pada saat yang lain datang seorang lelaki datang minta nasihat pada Bisyir, lelaki itu memiliki uang sebanyak 2000 dirham, yang halal dan akan digunakannya untuk melaksanakan haji.

Kepada orang itu Bisyir malah berkata, “Apakah engkau hendak bersenang-senang? Jika engkau benar-benar bermaksud membuat Allah suka, lunasilah hutang seseorang, atau berikan uang itu kepada anak yatim, atau kepada orang yang butuh pertolongan. Kelapangan yang diberikan kepada jiwa seorang muslim lebih disukai Allah daripada seribu kali menunaikan ibadah haji.”

Mendengar nasihat itu, laki-laki itu menjawab, “Walau demikian aku lebih suka jika uang ini kupergunakan untuk menunaikan ibadah haji.”

“Itulah bukti, engkau telah memperolehnya dengan cara tidak halal, maka engkau tidak akan merasa senang sebelum menghabiskannya dengan cara-cara yang tidak benar,” kata Bisyir kemudian.

BismillahKeanehan dan kealiman Bisyir tidak terlepas dari pengalaman relijius yang pernah dialaminya. Sewaktu muda, Bisyir dikenal sebagai seorang pemabuk. Suatu malam ia berjalan seorang diri dengan sempoyongan karena mabuk minuman keras. Di tengah perjalanan ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat “Bismillahirramanirrahim”. Antara sadar dan tidak, ia lantas membeli minyak mawar yang dipakainya memerciki kertas itu untuk disimpannya.

Setelah kejadian itu, di suatu malam ada seorang ulama yang bermimpi bahwa ia diperintah Allah agar menemui Bisyir, dengan menyatakan, “Engkau telah mengharumkan namaku, maka Aku pun telah mengharumkan namamu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka aku pun telah menyucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat.” Namun, karena ia mengenal Bisyir sebagai sosok pemuda berandal, lelaki itupun langsung melanjutkan tidurnya setelah ia bersuci. Tapi ia menemukan mimpi yang sama hingga tiga kali. Keesokan harinya ia pergi menemui Bisyir, yang tengah menghadiri pesta minuman keras. Ia ceritakan sebuah pengalaman dan perintah Allah yang mesti dikerjakannya. Sejak itu, atas izin dan perkenan Allah, Bisyir langsung berubah. Namanya tidak lagi disebut dalam pesta anggur, apalagi sampai ia datang ke pesta maksiat itu.

***

Kisah yang lain menyebutkan, Bisyir sempat bertemu Rasulullah SAW dalam tidurnya. Rasulullah mengatakan kepadanya alasan mengapa Allah memilih sebagai hamba yang dimuliakan. Karena dia selalu mengikuti sunah Nabi SAW, memuliakan orang yang saleh, memberi nasihat yang baik kepada saudara-saudaranya, dan mencintai Rasulullah dan keluarganya.

Pada kesempatan lain Bisyir sempat meminta nasihat pada sahabat Ali bin Abi Thalib melalui mimpinya. Sahabat Ali pun memberinya nasehat. “Belas kasihan orang kaya kepada orang miskin, karena berharap pahala dari Allah adalah perbuatan baik. Tapi lebih baik lagi bila orang-orang miskin itu enggan menerima pemberian orang kaya karena percaya kepada kemurahan Allah.”

Begitulah kisah hidup Abu Nashr Bisyir bin Al-Harits Al-Hafi. Meski sempat menjadi brandal dan pemabuk semasa mudanya, hamba Allah yang saleh yang lahir di Kota Merv (Persia) pada 150 H / 767 M ini segera berubah setelah hidayah itu diperolehnya. Ia tinggalkan segala kesenangan di dunia, lalu belajar hadits di Baghdad. Ia meninggal pada 227 H. Karena kesalehannya, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hambali, pun ikut menghormati dan mengaguminya.

Referensi Kisah Alkisah Nomor 08 / 11-24 April 2005, http://www.sufiz.com

Monday, October 22, 2012

Tawasin (1): Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad S.A.W)

1.Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban,ia terpancar dan (tampak) kembali, dan melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang, yang menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia bintang yang graha perbintangannya di Langit „Azaly. Allah menyebutnya „ummi (awam) atas dasar keterpusatan aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan syafa‟atnya,dan makki (pusat) karena kedekatannya di Hadirat-Nya.

  2.Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya, dan mengangkatnya dari beban “yang memberati punggungnya” (Q. 94: 2 -3) serta Dia tetapkan kewenangannya. Sebagaimana Allah membuat „Badr‟nya terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya bersinar gemerlap dari sumur Karamah (Zamzam)

3. Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut pandangan (bashirah) batinnya,dan tidak mewajibkan diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnah-nya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya.Ia telah „melihat‟ (Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan batas (halal-haram) perilaku.

4.Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya,maka tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.

5.Tiada seorang arif ( „irfan) pun yang merasa „kenal‟ padanya, yang tidak keliru mengenali kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing untuk menyingkap (kasyf) tabirnya , “ Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab,mereka mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]

6.Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Gaib.Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini.

7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului „Tiada‟ („Adam),namanya mendahului „Pena‟ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum apa pun.

8.Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk,namanya adalah Ahmad, dan harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.

9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih masyhur,lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia senantiasa diingat sebelum adanya „sebelum‟ dan setelah adanya „setelah‟,juga sebelum ada substansi dan kualitas.Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab,kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah damai, dan sebutannya adalah „ummi (awam).

10.Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada. Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang „menyatu‟ dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.

11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah „pembeda‟, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia untukmembasmi pemujaan.

12.Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap kearifan hanyalah secauk dari bengawannya,dan segenap waktu hanyalah sesaat dari masanya.

13. Allah („ada‟) bersamanya,dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan ma‟rifatnya bersifat lahir.

14.Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.

15.Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya,sebab ia adalah „ia‟, dan ia adanya bersama Dia,sedangkan Dia adalah „Dia‟.

16.Tidak ada apa pun yang keluar dari „Mim‟ -nya Muhammad, dan tidak ada yang masuk ke „Ha‟-nya. Adapun „Ha‟)-nya sebagaimana „Mim‟ -nya yang kedua, sedangkan ‟Dal‟ ( د)-nya seperti „Mim‟ -nya yang pertama.„Mim‟ -nya yang pertama adalah peringkat (maqam)-nya, serta „Ha‟ -nya adalah keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana „Mim‟ -nya yang kedua.

17.Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)- nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya tidakmampu [memalsu Al- Qur‟an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.

18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari‟at nya, adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir, dibandingkan hikmahnya

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana

Hb. Lutfi: Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi.

Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk.

Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Saleh

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?

Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt).

Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja.

Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).

Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.

Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.

Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.

Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram.

Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib. Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.

Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.

Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Tausiyyah  al-Habib Umar bin Hafidz

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, iaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan. Sinarnya bergemerlapan. Demi Allah …. memisahkan diri dari mereka merupakan suatu kerugian yang sangat besar.

Tidakkah kalain fikir, kerugian tersebut disebutkan oleh pemimpin dari segala pemimpin, iaitu Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah bersabda (maksudnya): Celakalah bagi orang yang tidak melihatku pada hari qiamat.

Sesungguhnya orang yang tidak melihat kaum sholihin tidak akan bisa melihat Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Orang yang tidak memandang mereka, tidak akan bisa memandang Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Dan orang yang tidak menjalin hubungan dengan mereka tidak akan bisa berhubungan dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.

Ketahuilah, bahwa kaum sholihin adalah bahagian dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pewaris Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah khalifah Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr setelah kewafatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.

Mereka adalah pewaris rahasia an-Nabawiyyah sepeninggalan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah semulia-mulia perwaris Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Di antara mereka adalah al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه yang telah disifatkan oleh al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه dalam bait qashidah beliau: “Kerananya (Imam al-Haddad) sejuklah hati Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Bagi Baginda صلى الله عليه وآله وسلمia adalah sebaik-baik keturunannya. Panutan bagi pengikut. Ka’abah (qiblat) bagi orang yang meniti jalan kebenaran dan merupakan kebanggaan bagi penduduk negerinya. Nasihat-nasihatnya menebarkan ilmu pengetahuan. Kasih-sayangnya meliputi semua umat. Darinya, mereka mengambil manfa’at dengan sebaik-baik manfa’at.”

Dalam kesempatan lain, al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه menyifatkan al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه dalam untaian syairnya yang begitu indah. Al-Habib ‘Ali mengatakan: “Dialah cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang bersambung nasabnya dengan orang-orang mulia yang kemuliaan mereka dikenal oleh para pejuangan dan pemberani. Dialah penyalur asrar dan ilmu kepada keluarga, keturunan, penduduk negerinya, bahkan kepada umat generasi sesudahnya. Maka semua yang bersuluk dengannya akan bersinar dengan cahaya bilau yang terang benderang.”

Cahaya ini tak akan padam dan tak akan sirna. Mengapa? Sebab, Allah Ta’ala lah yang menyalakannya! Itulah sebabnya cahayanya terus bersinar dan kian memancar. Siapakah yang mampu memadam cahaya yang telah dinyalakan oleh Allah Ta’ala? Demi Allah! Cahaya itu tidak akan padam dan takkan pernah sirna selamamana Allah Ta’ala yang menjaganya.

Namun sungguh menyedihkan, di antara kita (yakni para ‘Alawiyyin dan keturunan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم) terdapat orang-orang yang terhalang dari cahaya itu. Mereka adalah orang-orang yang enggan masuk ke dalam golongan itu. Bahkan sangat disayangkan, justru mereka masuk ke dalam kelompok lain. al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه berkata: “Siapa tidak menempuh jalan leluhurnya pasti akan bingung dan tersesat. Wahai anak-cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tempuhilah jalan mereka, setapak demi setapak dan jauhi segala bid’ah.”

Siapakah yang lebih mengenal Allah Ta’ala dibandingkan para kaum ‘arifin? Siapakah yang lebih mengetahui hakikat Rabbul ‘Alamin dibandingkan dengan imam-imam kita? Siapakah yang lebih mengenal Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dibanding mereka? Selain mereka, kepada siapa kita akan bercermin? Kepada siapa kita akan berteladan?

Wahai hamba-hamba Allah, pelajarilah riwayat hidup kaum sholihin. Jalinlah persaudaraan dan kasih-sayang dia antara kalain. Jangan kalian bercerai berai. Bersiap-siaplah menolong jalan mereka. Demi Allah! Jalan mereka tersebar, bendera mereka berkibar. Bukan di negara kalian sahaja, namun diseluruh penjuru dunia. Di belahan dunia, timur mahupun barat. Bagi masyarakat ‘Arab mahupun ‘Ajam (non-‘Arab). Baik di Jaziarah ‘Arab, Amerika, Eropah, Rusia, Asia, China ataupun Indonesia ini.

Di sana bendera kelaurga al-Imam al-Habib ‘Alwi bin ‘Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir رضي الله عنه telah berkibar. Di segala penjuru, bendera keluarga al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawi رضي الله عنه telah berkibar. Di setiap wilayah, kita pasti akan melihat bendera ahli thariqah ini (yakni thariqah ‘Alawiyyah). Mereka memiliki para tentera dan penolong yang berkedudukan tinggi disisiNya. Namun saat ini, di antara para tentera dan penolong itu ada yang tidur, bahkan mereka nyenyak dalam tidurnya. Ada di antara mereka yang hanya duduk berpangku tangan (berpeluk tubuh) dan terus duduk sahaja. Cukuplah wahai saudaraku! Sudah banyak kita melihat orang-orang yang terlambat dan tertinggal. Bangkitlah wahai saudataku! Sampai kapan kalian akan tidur? Sampai kapan kalian akan terus berpeluk tubuh? Amatilah! Apakah perjalanan hidup mereka telah diterapkan dirumah-rumah kalian? Apakah mereka sudah menjadi teladan dalam keluarga kalian? Apakah mereka telah menjadi panutan bagi anak dan isteri kalian? Bagaimana kalian ini? Kalian mengaku cinta dan memiliki ikatan dengan mereka, namun di rumah kalian setiap harinya yang terdengar hanyalah berita mengenai orang-orang kafir. Hanya menyimak khabar dari orang-orang fasiq dan gossip para bintang filem?????!!!! Setahun penuh tidak pernah ada berita mengenai salaf!!! Apakah ini yang disebut cinta????? Apakah ini yang dikatakan memiliki ikatan kekeluargaan????

Jubah Sayyidatuna Fathimah az-Zahra عليها السلام

Sungguh ironis sekali!!!! Saat ini sinetron, orang-orang fasiq dan orang-orang kafir lah yang mendidik anak-anak kita. Pemandangan itu yang menjadi hiasan dalam keluarga kita. Betapa banyak anak perempuan kita yang meniru wanita-wanita fasiq di TV, baik dari cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya. Sehingga mereka itdak mengenal lagi siapa Fathimah az-Zahra عليها السلام. Siapakh beliau? Bagaimana biografi beliau? Seperti apa pakaian beliau? Bagaimana kezuhudannya? Bagaimana ibadahnya? Saat ini mereka tidak lagi mengenal puteri-puteri Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak tahu siapa itu Zainab, Ummu Kultsum, Ruqayyah. Mereka juga tidak tahu isteri-isteri Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak lagi mengenal siapa itu Khadijah binti Khuwailid عليها السلام, ‘Aisyah ash-Shiddiqah عليها السلام dan lain-lain. Bagaimana ini boleh terjadi? Wahai para kepala keluarga! Bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian? Dengan figur siapa kalian memberikan contoh kepada puteri-puterimu?

Apakah kalian berniat menggantikan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dengan mereka? Teladan apakah yang telah kalian berikan kepada keluarga dan anak-anak kalian? Kalian meniru orang-orang durhaka, padahal kalian adalah mu’min. sesungguhnya kalian telah memiliki kebesaran, kebanggan dan kemuliaan. Namun mengapa kebesaran, kebanggaan serta kemuliaan itu kalian tukar dengan orang-orang yang jauh dari Allah dan RasulNya

Sungguh, kalian telah menggantikan teladan yang telah diredhai Allah Ta’ala dan RasulNya untuk kalian. Apakah kalian lupa akan firman Allah Ta’ala di dalam al-Quran: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ Ertinya: Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik (Surah al-Ahzab: 21)

Wahai saudaraku, tanamlah dalam hatimu untuk berubah dari semua ini. Kembalilah pada jalan yang telah diteladankan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Dalam buku catatan ‘amal kita tertulis kata-kata yang tidak patut, pandangan yang tidak layak, dan niat yang tidak pantas (selayaknya). Jikalau demikian, maka siapakah yang akan menghapuskannya? Bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, kerana Dialah yang menerima segala taubat dari hamba-hambaNya dan Dialah yang memaafkan segala kesalahan-kesalahan para hambaNya. Wallahu a’lam.

Sekian dari, al-Fagir ilaLlah abu zahrah al-qedahiy http://pondokhabib.wordpress.com

Friday, October 12, 2012

Bermimpi Rasulullah dengan Sholawat Al Fatih

Bermimpi melihat Rasulullah adalah Haq, didalam hadits dijelaskan:

من رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لا يتخيل بي
Siapa yang melihatku dalam mimpi, dia benar-benar melihatku. Karena setan tidak mampu meniru rupa diriku.” (HR. Bukahri dan Muslim)

Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz

مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآى الحَقَّ

Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku.

Menurut Imam Nawawi berkata:"Melihat RAsulullah adalah salah satu kegembiraan yang luhur dan berita gembira yang agung. Allah mengkhususkan hal itu bagi orang-orang yang dicintaiNya. Melihat Rasulullah adalah hak yang umum bagi setiap orang mukmin dan muslim, baik saleh ataupun tidak saleh, namun bentuknya berneda-beda sesuai dengan perbedaan sumber yang keluar dari ahri mereka, kebersihan, dan kesiapan mental mereka."

Salah satu risalah berjumpa rasulullah dalam mimpi yaitu dengan membaca sholawat Fatih yang terdapat didalam kitab Maghnatisul Qabul Fil Wushul Ila Ru'yati Sayyidina Rasul karya Syaikh Hasan Muhammad Syiad Ba'Umar.

Berikut adalah sholawat Al Fatih yang dinisbahkan oleh Sayyid Muhammad Al Bakry


Allâhumma shalli `alâ Sayyidinâ Muhammadini ‘l-fâtihi limâ ughliq, wa ‘l-khâtimi limâ sabaq, nâshiri ‘l-haqqi bi ‘l-haqq, wa ‘l-hâdî ilâ shirâthika ‘l-mustaqîm, wa `alâ âlihi haqqa qadrihî wa miqdârihi ‘l-`azhîm.

Ya Allah berikanlah shalawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.

Diriwayatkan: Barangsiapa membacanya sebanyak 1000 kali pada malam kamis atau malam jumat atau malam senin maka orang itu akan berkumpul bersama nabi.
Pembacaan sholawat tersebut dilaksanakan selepas sholat sunnah empat rekaat, pada rekaat pertama setelah surat alfatihah membaca surat al Qodr tiga kali
Pada rekaat kedua surat Al Zalzalah tiga kali
Pada rekaat ketiga surat Al Kafirun tiga kali dan
Pada rekaat keempat membaca surat Al Mu’awwizatain (Al Falaq dan An Nas) tiga kali
Pada saat membacanya bakarkanlah dupa atau kayu gaharu

hal yang penting dalam melakukan riyadah ini seperti yang dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu adalah dengan menumbuhkan kecintaan yang dalam terhadap rasulullah. dengan kecintaan ini akan membuat hubungan spiritual yang dekat dan tersambung dengan setiap lafadz sholawat atau mawlid yang kita baca dalam memuji dan mengagungkan rasulullah.

semoga risalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengamalkannya.

Salam

Tuesday, September 11, 2012

Misteri Dibalik Jendela Batin

www.sufinews.com

Didalam batin kita ternyata ada khasanah yang agung melebihi kebesaran Jagad Semesta. Kita bisa melihatnya, bukan dengan mata kepala, tetapi dengan matahati kita. Apa yang tampak dalam wujud fisik kita hanyalah lambang belaka dari hakikat yang ada didalam dada. 

Jika saja ada anatomi batin, tentu saja ada penglihatan, rasa dan pendengaran batin, bahkan ada Ibadah-ibadah yang mesti dilakukan oleh batin kita, sebagaimana keharusan yang dilakukan oleh gerak-gerik fisik kita.

Kalau kita merasa bersedih, dimanakah tempat bersedih? Kalau kita bergembira, dimanakah tempat kegembiraan itu? Kalau kita sedang mencintai, dimanakah tempatnya cinta? Kalau kita sedang rindu dimanakah rindu itu sesungguhnya? Kalau kita sedang menikmati, dimanakah wilayah nikmat dalam batin kita?

Allah memiliki Sebuah Nama yang disebut dengan Al-Baathin (Yang Maha Batin), lalu apa hubungannya dengan nuansa batiniyah dan lahiriyah kita? Bagaimana batin kita bisa merasakah gelap dan terang?

Ada apa dengan batin kita? Tiba-tiba kita menanyakan sesuatu yang selalu hadir, tetapi terasa misterius, dan sehari-hari, terkadang kita biarkan mengalir dengan sendirinya, tanpa kita berhasrat untuk mengusik lebih jauh. Tetapi siapa yang bisa membendung kerinduan batin itu sendiri untuk hadir dalam penyaksian jiwa kita, dan mengenal Sang Penggerak Batin, Yang Maha Al-Bathin, Allah Ta’ala?

Ketika waktu menembus tengah malam, kita seperti sedang mengembara di jagad semesta. Di balik jubah hitam yang menyelimuti semesta itu, tanpa terasa kita telah menggapai satu bintang ke bintang lainnya. Tetapi kita tidak pernah menjenguk diri kita, apa dan siapa yang tadi mengembara ke cakrawala malam itu? Mengapa sebegitu mudah, seakan-akan seluruh cakrawala itu ada di genggaman kita? Apakah seluruh benda-benda di langit, di bumi dan bahkan makhluk-makhluk Allah di langit itu memiliki hubungan erat dengan diri kita?

Mari kita ketuk pintu batin kita, untuk sekadar membuka hakikat-hakikat dibalik misteri perjalanan hidup kita, lalu kita teguhkan keyakinan-keyakinan kita, yang selama ini naik turun diantara lembah-lembah ngarai, puncak-puncak bukit dan jurang-jurang kehidupan. Lalu muncul adalah perasaan suka dan duka, sedih dan bahagia, bahkan keharuan-keharuan yang tak terhingga, bahkan berlanjut dengan sejuta pertanyaan yang memburu kita. Kita mulai memasuki fakta dan hakikat sesungguhnya, kebenaran-kebenaran yang tidak hanya kita pandang dari sudut dan bilik-bilik pemikiran kita, tetapi sudah mulai menampkkan bayang-bayang, sampai pada titik tertentu, adalah gambaran sesungguhnya tentang kita, diri kita, hakikat kita.

Dalam ruang dalam di dada kita (limaa fish shuduur) ternyata ada kehidupan yang sesungguhnya. Di ruang tengah ada jantung , yang terletak di sisi dada kiri kita, dan itulah yang disebut Qalbu. Dunia Qalbu adalah sentra dari seluruh aktivitas batin kita, yang secara organik termekanis oleh gerak gerik batin kita. Dan Qalbu lah yang memutuskan untuk menerima atau menolak. Al-Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazaly secara cemerlang membedah anatomi batin kita dalam kitabnya Al-Ihya’, dengan uraian yang begitu sistematis, menggambarkan organisasi batin ini. Sebab jauh-jauh Rasulullah Saw, telah mengisyaratkan adanya “segumpal darah” yang sangat menentukan kebaikan dan keburukan kita. Al-Ghazali membagi sudut utama batin menjadi Qalbu, Ruh, Nafsu dan Akal. Sementara Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Araby, membuat klasifikasi, dengan, Al-Fikr, Al-‘Aql, Al-Fu’ad dan Al-Lubb.

Qalbu itulah yang dikatakan sebagai Hakikat Manusia. Hakikat yang terus menerus bergerak mengatur organisme ruhaninya. Dan karenanya, Qalbu disebut sebagai Lathifah Rabbaniyah, yang mengenal dimensi Ketuhanan, sebab Allah berada diantara person dan qalbunya.

Qalbu yang sesungguhnya bermakna berbolak balik, karena fungsi qalbu itu sendiri yang senantiasa menjadi fokus tarik menarik antara Ruh dan Nafsu kita. Ruh yang terus menerus menghembuskan nafas kebajikan menuju kepada Allah, sementara Nafsu mencemarkan dengan udara kotor yang menyeret Qalbu agar berbuat jahat, buruk dan destruktif, melalui kebinatangan nafsu dan kebuasannya. Di sela-sela tarik-menarik itulah syetan memasuki ruang dalam bilik-bilik peredaran darah yang mengaliri seluruh diri kita.

Qalbu itulah yang kelak disebut sebagai Arasy, atau cermin dari Arasy Ilahi. Dan sebab itu, dalam Hadits Nabi Saw, dikatakan, “Qalbu seorang Mukmin adalah Arasy Allah.” Istana Ilahi yang ada dalam diri kita. Jika dada spiritual kita disebut Al-Kursi, maka Qalbu adalah Arasy nya. Seluruh wilayah di dalam dada akan diorganisir menurut perintah Qalbu. Qalbu yang dipenuh cahaya CintaNya, sehingga sang hamba memenuhi ruang qalbu dengan mencintaiNya, adalah Qalbu para Auliya’Nya.

Sejumlah metafor Qalbu dibangun oleh Al-Ghazali. Qalbu ibarat cermin. Gambar yang memantul dalam cermin itu adalah ilmu-ilmu hakikat. Dan dalam cermin itu sebuah kebenaran diterima dalam mosaik cermin Qalbu. Penerimaan kebenaran oleh hati, bisa melalui informasi yang diterima, atau melalui kenyataan yang diyakini, atau bahkan kenyataan atau fakta yang yang disaksikan dengan jelas, khususnya oleh kaum Shiddiqin dan Auliya’.

Tetapi mosaik ini akan buram dan menghalangi cahaya kebenaran yang memantul dalam hati kita, lewat sejumlah penghalang: Gambar yang memantul dalam cermin itu rusak; atau cermin itu buruk dan ternoda; atau cermin itu berlainan arah; atau cermin itu tertutupi oleh hijab tertentu, dan tentu saja rupa dalam cermin akan tidak tampak manakala yang memandang memang bodoh tentang pengetahuan rupa dan cermin itu sendiri.

Bila hakikat manusia adalah Qalbu, lalu apakah hakikat Qalbu itu? Hakikat Qalbu adalah nuansa batinnya qalbu. Qalbu ini menjadi wilayah dari batinnya sendiri, yang disebut sebagai Ruh. Dalam anatomi fisik, ruh biasa disebut dengan nyawa yang bertempat dalam titik hitam di tengah jantung. Tetapi secara hakiki, Ruh adalah Kelembutan Rabbaniyah yang menggerakkan Qalbu Ruhani. Maka di dalam Ruh itu ada Amar yang mengatur gerak-gerik Ruh dari Allah Ta’ala. Karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan, “Katakanlah bahwa Ruh itu adalah Amar Tuhanku.” (Al-Isra’: 85), dan pada ayat lain dijelaskan, “Ruh dipertemukan dari AmarNya pada orang yang dikehendaki dari para hambaNya pada hari pertemuan.” (Ghaafir: 15), atau ayat, “Mereka yang telah dicatat di hati mereka, keimanan, dan dikokohkan dengan ruh dari Allah.” (Al-Mujaadilah: 22)

Mereka yang berada dalam wilayah Ruhiyah adalah para Muqarrabun, karena penguasaan Ruh Ilahiyah yang melimpah begitu kuat dalam dirinya. Para Muqarrabun yang jumlahnya sedikit di dunia ini, adalah mereka yang disebut dalam Al-Qur’an, “Dan tidak Kami beritahu tentang (ruh) kecuali sedikit.” Para Auliya Allah, ruh mereka senantiasa terfokus pada musyahadah (penyaksian) Kemahaagungan Allah dimana-mana, dan kapan saja. Ruh mereka berada dalam alam Malakut-Nya, yang terus menerus menyucikan Allah. Itulah nuansa kaum Muqarrabun.

Jika Ruh posisinya di atas Qalbu, maka Nafsu berada di bawah Qalbu. Pada dasarnya, Nafsu merupakan refleksi dari seluruh keadaan dunia dalam kita, termasuk di sana Qalbu dan ruh, akal dan fikiran. Tetapi, yang demikian itu bermakna Nafsu sebagai Nafs yang berarti jiwa. Namun secara khusus, Nafsu memiliki bilik-bilik transformatif di dalam jiwa itu sendiri, yang kelak terbagi-bagi dalam kamar-kamar jiwa kita.

Paling rendah adalah Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang senantiasa memerintahkan kita untuk berbuat jahat, yang kelak melahirkan sifat-sifat tercela (al-Madzmumat) disebabkan oleh dorongan sifat nafsu ini yang mengarah pada syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya. Jika nafsu ini mendapatkan Rahmat Allah, ia akan selamat. Dari nafsu Ammarah naik ke Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang pasif, antara kebaikan dan keburukan, dan terombang ambing di sana. Seseorang terkadang menuruti syahwat dan keburukan lainnya, kadang ia terdorong untuk bertobat dan kebaikan.

Lalu naik ke tahap Nafsu Muthmainnah, yaitu Nafsu yang tenteram. Nafsul Muthmainnah adalah kondisi dimana seseorang berada dalam ketenangan bersama Allah, dari dan kepada Allah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang “kembali kepada Allah” (an-Nafs al-Murji’ah). Dan yang bisa kembali kepada Allah hanyalah orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah.

Jiwa atau Nafs yang bisa kembali kepada Allah-lah yang bisa tenteram, dan ketentraman jiwa inilah yang menghantar pada kerinduan hamba untuk meraih Ridha Allah. Maka di gerbang Nafsu berikutnya adalah Nafsu Raadhiyyah . Nafsu Raadhiyah adalah kondisi Nafsu yang melampaui Muthmainnah. Karena itu, pada situasi Raadhiyyah, seseorang sudah tidak memikirkan lagi syurga dan neraka. Yang ada hanyalah kerinduan pada Ridha Allah Ta’ala.

Akhir dari Radhiyah adalah Nafsu Mardhiyyah. Seorang hamba telah menjadi Ridha itu sendiri dalam kontemplasi ruhaniyahnya. Karena ia tidak lagi berupaya meraih RidhaNya, sebab Ridha telah menjadi nama, sifat dan perilakunya.

Dari Mardhiyyah naik menjadi Nafs Mulhimah, yaitu Nafsu yang dilimpahi Ilham Allah, yang kelak berada dalam Nafsu Kaasyifah. Nafsu yang berada dalam ketercerahan Rahasia-rahasia Batin (Al-Asraar), yang menjadi gerbang dari Nafs ‘Arifah (yang terus menerus ma’rifat kepada Allah. Dan puncaknya adalah Nafs Kamilah, nafsu yang peripurna dalam tranformasi ruhani seorang hamba yang mendapat predikat Insan Kaamil.

Jika Nafsu (syahwat dan ghadab), Ammarah, itu melahirkan sifat-sifat Madzmumat (tercela), seperti Kufur, Syirik, Iri, Dengki, Takabbur, Riya’, Mencintai Dunia, Ta’jub pada diri (keakuan), Merasa paling bisa dan hebat, Menuruti Syahwat, Ghibah (menggunjing), Ambisius, Serakah, Dzalim, Nifaq, Fasiq, dan seluruh sifat tercela yang bisa menghancurkan diri sendiri, justru sebaliknya jika Allah melimpahkan rahmat pada Nafs, maka akan mengalami transformasi menuju kesempurnaan nafsu itu sendiri, dengan sejumlah predikat Akhlak al-Mahmudah (terpuji), seperti kehambaan, ketaubatan, kezuhudan, kewara’an’ kesyukuran, keridhaan, ketawakkalan, qanaah, dan sampai tahap-tahab Mahabbah dan Ma’rifah.

Nafsu yang bisa terasah dalam kecermelangan, pada mulanya bisa berada dalam ketenteramannya dan seterusnya. Tetapi ketika didominasi oleh Ammarah dan Lawwamah, akan semakin terjerembab oleh lumpurnya sendiri.

Namun perlu diingat dalam Nafsu manusia ada empat dimensi buruk: 1) Sifat-sifat keganasan atau kebuasan yang melhirkan emosi marah. 2) Sifat-sifat hewaniyah yang berperilaku bak binatang. Kedua sifat diatas akan melahirkan rasa senang terhadap kejahatan, kemenangan, pemaksaan, rekayasa buruk dan pengkhianatan. Dari sinilah melahirkan sifat yang ke 3) Sifat-sifat Syaithaniyah. Dan ke 4) Sifat-sifat Rabbaniyah, yaitu sifat yang berambisi ingin menyamai Tuhan, ingin dipuja, ingin disembah, ingin dicatat nama kebesarannya.

Dimensi batin lain yang tak kalah pentingnya adalah Akal. Dalam hadits Nabi disebutkan, “Awal mula yang diciptakan oleh Allah adalah Akal. “ Hadits lain menyebutkan, “Qalam”, dan hadits lain lagi menyebutkan “An-Nuur”. Ketiganya, Akal, Qalam dan Nur, sesungguhnya satu wilayah dengan istilah berbeda. Fungsi akal adalah melihat yang benar dan yang salah, yang kelak akan diputuskan oleh Qalbu apakah yang benar itu diterima dan yang salah itu ditolak, adalah tergantung keputusan Qalbu.

Kedudukan Akal di sisi Qalbu, ibarat kedudukan raja dengan perdana menterinya. Sedangkan badan kasar kita adalah wilayah kekuasaannya.

Akal manusia hanya bisa melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, tetapi akal tidak bisa memutuskan suatu keyakinan. Karena keyakinan itu wilayahnya Qalbu. Oleh sebab itu sehebat apa pun akal manusia, maka akal manusia tidak bisa menyerap dimensi spiritual yang hakiki. Ia sebatas berada dalam paradigma filsafatan saja. Maka bila akal ditanya, “Wahai akal, apakah sesungguhnya induk dari pengetahuan anda ini?” Ia akan menjawab, “Induk Ilmu pengetahuan adalah filsafat.” Lalu ditanya apakah induk filsafat itu? Akal tak mampu menjawabnya. Qalbu lah yang mampu menjawabnya. “Induk filsafat adalah Ahli Dzikir.”

Dalam organisme Batin kita kelak akan berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan ruhaniyah dalam pantulan dengan Cahaya Allah (An-Nuur). Maka lembaga batin inilah yang bisa memandang hubungan-hubungan organisma antara kekayaan batinnya dengan Iradah dan Qudrat Allah Ta’ala, termasuk dalam merespon Akhlaq-Akhlaq Allah dalam kefanaan hambaNya, dan kebaqaan-Nya.

KHM LUKMAN HAKIM

Friday, September 7, 2012

Hakikat Iman

Di dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan bahwa iman menurut syari’at adalah meyakini dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengerjakan dengan amal perbuatan. Adapun pengertian Islam menurut syari’at adalah tunduk dan patuh. Maka setiap yang beriman berarti telah Islam, namun tidak setiap yang Islam berarti telah beriman. Adapun pengertian Islam menurut hakikat yaitu sebagaimana sabda Nabi SAW:

 اَنْ تَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ

Menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, sedangkan pengertian iman secara hakikat adalah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ أَمَنُواْ اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِاللهِ

Belumlah seseorang itu dikatakan beriman sebelum hatinya itu dapat khusyuk mengingat Allah.

Dari pengertian iman secara syari’at dan hakikat ini, imam Ghazali membagi iman manusia kepada tiga tingkatan:

Iman tingkat pertama adalah imannya orang-orang awam yaitu imannya kebanyakan orang yang tidak berilmu. Mereka beriman karena taklid semata. Sebagai perumpamaan iman tingkat pertama ini, kalau kamu diberi tahu oleh orang yang sudah kamu uji kebenarannya dan kamu mengenal dia belum pernah berdusta serta kamu tidak merasa ragu atas ucapannya, maka hatimu akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengar saja.

Ini adalah perumpamaan imannya orang-orang awam yang taklid. Mereka beriman setelah mendengar dari ibu bapak dan guru-guru mereka tentang adanya Allah dan Rasul-Nya dan kebenaran para Rasul itu beserta apa-apa yang dibawanya. Dan seperti apa yang mereka dengar itu, mereka menerimanya serta tidak terlintas di hati mereka adanya kesalahan-kesalahan dari apa yang dikatakan oleh orang tua dan guru-guru mereka, mereka merasa tenang dengannya, karena mereka berbaik sangka kepada bapak, ibu dan guru-guru mereka, sebab orang tua tidak mungkin mengajarkan yang slah kepada anak-anaknya, guru juga tidak mungkin mengajarkan yang salah kepada murid-muridnya. Karena kita percaya kepada orang tua dan kepada guru, maka kita pun beragama Islam.

Iman yang semacam ini tidak jauh berbeda dengan imannya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga merasa tenang dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu, bapak dan guru-guru mereka. Bedanya adalah mereka memperoleh ajaran yang salah dari orang tua dan guru-guru mereka, sedangkan orang-orang Islam mempercayai kebenaran itu bukan karena melihat kebenaran karena penyaksiannya terhadap Allah, tetapi karena mereka telah diberikan ajaran yang haq, yang benar.

Selanjutnya iman tingkat kedua yaitu imannya orang-orang ahli Ilmu Kalam yaitu dimana mereka beriman cukup berdasarkan dalil aqli dan naqli, dan mereka merasa puas dengan itu. Iman tingkat kedua ini tidak jauh berbeda derajatnya dengan iman tingkat pertama. Sebagai contoh, apabila ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa Zaid itu di rumah, kemudian kamu mendengar suaranya, maka bertambahlah keyakinanmu, karena suara itu menunjukkan adanya Zaid di rumah tersebut. Lalu hatinya menetapkan bahwa suara orang tersebut adalah suara si Zaid.

Iman pada tingkat ini adalah iman yang bercampur baur dengan dalil dan kesalahan pun juga mungkin terjadi karena mungkin saja ada yang berusaha menirukan suara tadi, tetapi yang mendengarkan tadi merasa yakin dengan apa yang telah di dengarnya, karena ia tidak berprasangka buruk sama sekali dan ia tidak menduga ada maksud penipuan dan peniruan. Jadi imannya orang-orang ahli ilmu kalam masih terdapat kesalahan dan kekeliruan padanya.

Adapun Iman tingkat ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang telah mempelajari tarekat. Mereka beriman kepada Allah dengan pembuktian melalui penyaksian kepada Allah. Sebagai perumpamaan: Apabila kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu akan melihat dan menyaksikan Zaid itu dengan pandangan mata kamu. Inilah makrifat yang sebenarnya dan inilah yang dikatakan iman yang sebenarnya. Karena mereka beriman dengan pembuktian melalui penyaksian mata hatinya, maka mustahil mereka terperosok ke jurang kesalahan.

Dari ketiga tingkatan iman ini dapatlah kita ketahui bahwa hanya orang-orang ahli makrifatlah atau orang-orang ahli tarekatlah yang dikatakan benar-benar telah beriman kepada Allah. Adapun imannya orang-orang awam dan imannya orang-orang ahli ilmu kalam adalah beriman secara syari’at, namun secara hakikat mereka belum beriman kepada Allah, disebabkan karena ketiadaan ilmu dan ketidaktahuan mereka. Jadi hanya dengan mempelajari tarekatlah kita baru dapat lepas dari syirik khafi (syirik yang tersembunyi) dan syirik yang jali (syirik yang nyata).

Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena kita tergolong kepada tingkatan iman yang ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang tentunya peringkat ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang telah mempelajari ilmu tarekat. Karena tanpa bertarekat mustahil Allah dapat dikenal. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mau mempelajari ilmu tarekat atau ilmu hati, sehingga mereka tidak mengenal Tuhan yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 22 :

فَوَيْلٌ لِلْقَسْيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنِ

Artinya : Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.

Tentu bagi kita yang telah memperoleh ilmu dan pengenalan kepada Allah, kita memiliki kewajiban untuk berdakwah dalam rangka melepaskan umat manusia dari kesesatan karena tidak mengenal Allah, dan di dalam melakukan dakwah tentunya harus dilaksanakan dengan arif dan bijaksana, sebagaimana firman Allah

أُدْعُ اِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَة

Artinya : Serulah kepada Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik.

Dakwah bil hikmah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang alim atau orang yang berilmu. Adapun dakwah dengan mauizatil hasanah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang awam atau orang yang bodoh dengan cara memberikan nasehat yang baik.

Ada dua jenis orang bodoh yang harus kita ketahui sebagai sasaran dakwah kita. Jenis pertama adalah orang bodoh yang mau belajar, maka tunjukilah ia, karena dia memang jauh dari panduan dan petunjuk sedang niatnya penuh untuk menambah ilmu pengetahuan dan taat melakukan ibadah.

Jenis yang kedua adalah orang bodoh yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu dan tidak mau tahu. Maka janganlah dekati dia dan jangan membuang-buang waktu untuk mendakwahinya karena orang bodoh jenis kedua ini adalah syetan yang berwujud manusia. Pintarnya tidak dapat diturutkan, bodohnya tidak dapat ditunjukkan, ia lebih bodoh dari keledai, lebih bebal dari lembu. Tinggalkanlah ia dalam kebodohannya, sampai nanti Allah merobahnya.

Kalau menghadapi orang bodoh saja sudah sulit, tentu lebih sulit lagi berdakwah kepada orang yang berilmu dikarenakan kesombongan yang ada pada dirinya karena telah merasa banyak memiliki ilmu. Orang alim seperti ini disebut alim tanggung, ilmunya ke atas tak sampai, ke bawah tak jejak, yang selalu berebut pengaruh di masyarakat dan berdakwah di sana-sini. Mereka bagaikan cendawan yang tumbuh menonjol di sana-sini sambil membusungkan dada dengan banyaknya ilmu yang tak bersari. Sungguh sedih dan kasihan kita melihat orang yang seperti ini. Disangka emas rupanya mentasi. Maka ajaklah mereka ini untuk mengenal Allah dengan cara yang bijaksana karena mereka terhijab oleh ilmu yang mereka miliki. Oleh : Saifuddin, M.A