Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
Termasuk perilaku yang harus dilakukan murid, hendaknya berusaha menipu daya bisikan-bisikan nafsunya,
memperbaiki akhlaknya, menghilangkan kelalaian (ghaflah) dengan Allah dan hatinya dengan cara selalu membiasakan berdzikir (mengingatNya). Ini bisa dilakukan dengan cara memperbanyak bacaan al-Qur’an dan shalat. Maka seorang murid yang benar-benar jujur tidak akan berpaling darinya, sebab al-Qur’an merupakan dzikir yang sempurna, dan demikian pula shalat.
Maka tugas utama seorang murid adalah membersihkan bagian lahir dan batin dari sifat-sifat yang menghalanginya untuk masuk ke hadirat Allah Azza wa-Jalla, seperti marah, tinggi hati, takabur, bangga dengan dirinya dan lain-lain. Apabila seorang murid telah membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela seperti itu, maka ia patut untuk membaca al-Qur’an, bermunajat dan berhadapan dengan Tuhannya, berhenti di depan-Nya untuk shalat dan lain-lain. Inilah yang dilakukan para salaf saleh.
BERDZIKIR KEPADA ALLAH MENYINARKAN HATI
SAYA pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi berkata:
“Para guru tarekat sufi sudah tidak mampu lagi menemukan obat yang lebih cepat menyinarkan hati sang murid selain melanggengkan dzikir kepada Allah Azza wa-Jalla. Maka orang yang selalu berdzikir kepada Allah ibarat orang yang memengkilapkan tembaga yang berkarat dengan pasir, sementara orang yang melakukan ibadah tapi tidak selalu berdzikir kepada Allah ibarat orang yang memengkilapkan tembaga dengan sabun. Orang ini sekalipun berusaha memengkilapkan tembaga yang berkarat dengan sabun, tapi ia butuh waktu yang cukup lama dan itu pun tidak bisa mengkilap seperti tembaga yang digosok dengan pasir atau debu.”
Diantara perilaku seorang murid apabila ia tinggal di zawiyah (pemondokan) atau di tengah keramaian pasar hendaknya yang dijadikan modal utama adalah sanggup bersabar dengan penuh lapang dada dan memaafkan semua orang yang datang kepadanya dengan membawa apa yang tidak disuka. Ia juga harus sanggup menerima dengan senang hati, rela dan pasrah terhadap apa yang dibawa orang-orang yang tinggal di pemondokan atau mereka yang tinggal di tengah keramaian pasar. Kalau tidak, maka dengan cara bersabar. Kalau tidak sanggup bersabar atas tindakan kasar saudara-saudaranya dan masyarakat sekitarnya maka tidak pantas masuk ke dalam tarekat kaum sufi, dan sebaiknya keluar menuju ke kalangan orang-orang awam dan meninggalkan tarekat kaum sufi.
Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi bercerita:
AbuYazid al-Bisthami tidak mau tinggal di suatu tempat kecuali bila orang-orang yang ada di sekitarnya mengingkari, selalu menyakiti dan meremehkannya. Ini dia lakukan untuk melatih diri (nafsu)nya. Ketika orang-orang di sekitarnya sudah mulai menghormati dan banyak berterima kasih kepadanya, dia akan segera rneninggalkan mereka. Barangkali ini dilakukan pada tahap awal dia masuk ke kalangan kaum Sufi.
Apabila seorang murid di negerinya tidak menemukan seorang guru yang bisa mendidiknya maka hendaknya pindah ke orang yang sudah dianggap bisa memberikan petunjuk kepada para murid pada saat itu, sekalipun jarak antara dia dengan tempat guru tersebut memerlukan waktu setahun atau lebih (barangkali perjalanan kaki; Pent.). Terutama apabila ia diuji dengan mencintai harta, perempuan atau jabatan, maka ia harus hijrah meninggalkan tempat tersebut untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Sebab segala sesuatu yang dijadikan sarana untuk mendapatkan sesuatu yang wajib maka sarana tersebut akan menjadi wajib.
APAKAH SEORANG MURID HARUS MENJADIKAN GURU LAIN SETELAH GURU PERTAMANYA WAFAT?
DIANTARA kewajiban seorang murid apabila gurunya telah wafat maka ia harus menjadikan guru lain yang menggantikan posisi guru pertamanya dalam mendidik dan merawat apa yang telah dilakukan oleh guru pertamanya. Sebab tarekat tidak akan bisa kokoh.
Ketika Syekh Muhammad as-Surawi, guru dari guruku, Syekh Muhammad asy-Syanawi wafat, dimana gurunya telah mengizinkan untuk men-talqin dan membina para murid, maka Muhammad asy-Syanawi berkumpul dengan Tuan Guru Ali al-Murshifi dan menerima bimbingan dzikir darinya, dimana Tuan Guru Ali al-Murshifi mengatakan kepadanya: “Engkau —syukur alhamduliLlah— telah sampai pada tingkatan para tokoh sufi, maka engkau tidak perlu untuk di-talqin dzikir.” Lalu ia menjawab, “Saya tidak ingin diam sesaat tanpa bimbingan seorang guru, sekalipun saya termasuk orang yang telah mendapatkan bimbingan dzikir darinya dan mendapatkan izin untuk membimbing para murid.”
Kemudian sang guru berkata, ‘Wahai anakku, engkau akan mendapatkan bimbingan dzikir lagi dari gurunya gurumu, agar engkau dan gurumu sama-sama murid dari Tuan Guru Ali.”
Kasus seperti ini hanya boleh terjadi pada orang-orang yang benar-benar jujur dalam tarekat. Adapun orang yang bukan kelompok orang-orang yang benar-benar jujur maka dirinya tidak akan mengizinkan untuk mendapatkan bimbingan dzikir dari guru lain setelah mereka mendapatkan izin untuk membimbing dzikir dan membina para murid. Hal itu dianggap sebagai tanda-tanda tidak mendapatkan pertolongan, dan merupakan tanda pertama kali bahwa gurunya telah berkhianat dalam memberi izin. Sebab orang fakir sufi yang secara sah telah memberi izin maka ia tidak punya ambisi, dimana ia sudah membina dan mendidik para murid, sementara ia menganggap dirinya bukan dari bagian mereka.
Sumber: Sufinews.com
No comments:
Post a Comment