Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kembalikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf kepada mereka untuk dirinya jika Allah melihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat.
Pelajaran ini akan membahas langkah pertama yang harus dijalani seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah SWT setelah munculnya al-baits dan kerinduan yang kuat di dalam hati untuk datang kepada-Nya. Langkah pertama untuk menuju Allah adalah tash-hih at-taubah, memperbaiki taubat dan sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah SWT.
Taubat sebagai kata diambil dari kata ar-ruju‘ dan al-awbah, yang berarti “kembali”. Taubat sendiri pada hakikatnya meliputi tiga makna, yang, apabila ketiganya terpenuhi dan tercakup, terwujudlah taubat yang sesungguhnya. Tiga hal tersebut adalah ‘ilm, hal, fi‘l.
‘Ilm
‘Ilm, atau ilmu, yang dimaksud di sini adalah ilmu yang mengetahui bahwa dirinya adalah seorang hamba, yang kelak akan berdiri di hadapan Allah SWT pada hari Kiamat, yang hidupnya hanya sementara untuk kemudian menemui kematian, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukannya dalam hidupnya yang teramat singkat itu.
Sang hamba mengetahui bahwa hidup yang teramat singkat ini akan berujung pada satu masa ketika ia akan berdiri seorang diri di hadapan Raja dari segala raja, Yang akan menanyainya seorang diri dengan tanpa ada seorang pembela pun dan tidak pula seorang perantara yang dapat membantunya untuk menjawab segala pertanyaan yang diajukan. Maharaja itu akan berkata kepadanya, “Wahai hamba-Ku, ingatkah engkau di hari ini, di waktu ini... engkau menutup rapat semua pintu agar tidak terlihat oleh pandangan seorang pun dari makhluk-Ku karena engkau malu bila mereka melihat perbuatanmu kala itu... sedangkan engkau terang-terangan mempertunjukkan kepada-Ku satu perbuatan yang tidak Aku ridhai. Di manakah engkau taruh pandangan-Ku saat itu? Hamba-Ku, mengapa engkau jadikan Aku pemandang yang paling remeh dalam penilaianmu? Hambaku, engkau malu terhadap hamba-hamba-Ku, tetapi sama sekali tidak merasa malu kepada-Ku?”
Di saat berada di hadapan-Nya, Dia akan berkata, “Wahai hamba-Ku, Aku telah menciptakanmu dari ketiadaan, Aku limpahi engkau dengan berbagai karunia, Aku muliakan engkau dengan ‘La ilaha illallah.’ Engkau tumbuh dengan karunia-karunia yang Aku berikan, ibumu menyusui dan mengasuhmu dengan karunia itu, pengetahuanmu pun berkembang dengan karunia itu, lalu engkau tumbuh besar dan menjadi perkasa dengan segala karunia yang telah Aku berikan dari berbagai kebaikan, namun kemudian engkau pergunakan untuk mendurhakai-Ku? Bagaimana engkau pergunakan nikmat-Ku? Apakah engkau menggunakannya untuk hal-hal yang Aku ridhai? Apakah engkau mencari kedekatan dengan-Ku selama hari-hari yang telah Aku berikan kepadamu?”
Saat-saat kelak kita dimintai pertanggungjawaban itu tidak seorang mukmin pun kecuali ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa pasti akan dilaluinya.
Seorang hamba pun mengetahui bahwa tidaklah setiap kata yang terucap dari lidahnya kecuali akan dicatat, tidaklah setiap tatapan di saat memandang sesuatu kecuali akan dituliskan, dan tidak pula setiap diam, gerak, dan lengah kita kecuali akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Di saat memperhatikan semua penjelasan itu, mungkin sebagian orang akan merasa sempit dadanya untuk dapat memahami makna-makna mulahaqah (pencarian jati diri), mutaba‘ah (meneladani), hisab (penghitungan amal), ataupun kitab ‘alaih (pencatatan amal perbuatan).
Maka, coba kita perhatikan dari segi yang lain, yakni memahami makna dari makna-makna kemurahan yang Allah SWT karuniakan kepada kita, kemuliaan yang diberikan-Nya kepada kita, dan penghormatan yang diberikan Allah kepada kita.
Coba perhatikan seseorang yang memiliki kedudukan atau popularitas yang tinggi di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang berkumpul di sekitarnya. Wartawan yang satu menulis setiap kata yang diucapkannya, sedang yang lainnya mengambil gambar dari setiap gerak-geriknya. Namun, puncak dari semua perhatian yang diberikan itu tidaklah lebih dari satu atau dua jam saja, setelah itu mereka kembali ke rumahnya masing-masing.
Ketahuilah, seorang hamba memiliki kedudukan yang penting di sisi Allah. Karena penting dan tingginya kedudukan seorang hamba di sisi Allah, Dia, bahkan, mewakilkan dua malaikat mulia, yang tercipta dari cahaya yang tidak pernah durhaka kepada-Nya, sebagai pendampingnya setiap saat.
Dua malaikat yang Allah wakilkan ini mencatat setiap ucapan sang hamba dari semenjak ia baligh hingga akhir hayatnya. Dalam gurau, sungguh-sungguh, marah, ridha, sedih, atau gembira, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Raqib dan ‘Atid (yang selalu hadir mengawasi).” — QS Qaf (50): 18.
Seorang hamba adalah pemilik kedudukan di sisi Allah. Seseorang yang telah mengetahui bahwa semua perbuatannya akan dicatat, dihitung, kemudian akan dilaporkan dan dibuka di hadapan Allah SWT. Setelah itu ditentukan tempat kembalinya, apakah menuju negeri keridhaan atau negeri kemurkaan, menuju surga atau dijerumuskan ke jurang neraka.
Waktunya di dunia akan berakhir di saat ruh sampai di ujung kerongkongan. Tidak ada jaminan tentang kapan sampainya ruh ke ujung kerongkongan. Tidak dapat direncanakan dan tidak pula dapat disiasati agar ia datang pada waktu yang tepat, dan tidak diketahui kapan malaikat maut datang menjemput. Semuanya datang dengan tiba-tiba dan sekejap mata. Tidak dibedakan antara anak muda ataupun orang tua, dan tidak pula dibedakan atara yang sakit ataupun yang sehat. Jika malaikat maut datang menjemput, pada saat itulah diberitahukan bahwa waktunya telah berakhir untuk selamanya.
Seseorang yang mengetahui semua kemestian itu, akankah di hatinya tidak ada sesuatu yang terlahir dan muncul dari pengetahuannya itu? Yakni keadaan menyesal, merasa malu, hina, dan rendah di hadapan Allah SWT. “Kemarin aku mendurhakai Allah padahal Allah melihatku. Aku akan berdiri di hadapan-Nya dan Allah akan menanyaiku semua itu.”
Salah seorang shalihin dari negeri Habasyah datang kepada seorang waliyullah dari kalangan salaf. Orang itu bertanya, “Wahai Syaikh, apakah Allah akan mengampuniku atas dosa yang telah aku perbuat?”
“Benar, Allah akan mengampunimu bila engkau bertaubat dengan sungguh-sungguh,” jawab sang waliyullah.
Orang itu pun bersyukur dan memuji Allah, dan tampak dari raut wajahnya kegembiraan yang luar biasa. Namun, setelah beberapa langkah meninggalkan sang waliyullah, orang itu kembali lagi dengan raut muka yang tidak lagi menunjukkan kegembiraan.
Wali tadi bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?”
Orang itu menjawab, “Apakah Allah melihatku di saat aku mendurhakai-Nya?”
Maka dijawab, “Ya, Allah melihatmu.”
Tiba-tiba orang itu berteriak histeris dan langsung tersungkur ke tanah dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Tahukah apa yang terjadi dengan orang ini?
Awal mula, pikirannya sibuk dengan urusan, “Apakah aku akan masuk ke dalam surga atau neraka?” Setelah kekhawatirannya terhadap urusan surga dan neraka hilang dengan jawaban sang wali tadi bahwa Allah akan mengampuninya atas segala dosanya, muncullah di dalam hatinya makna yang lebih dalam, lebih tinggi, lebih besar, dan lebih halus lagi dari apa yang menyibukkan pikirannya selama itu tentang surga dan neraka. Yakni makna hubungan seorang hamba dengan Allah, makna bahwa Allah melihat dirinya melakukan kedurhakaan ini dan itu, makna bahwa Allah menutupi semua keburukannya dari pandangan makhluk-Nya, padahal Allah Mahakuasa untuk mempertunjukkan semua keburukan itu kepada mereka, makna bahwa Allah tak pernah berhenti memberikan berbagai karunia, nikmat, dan limpahan rizqi padahal ia tak henti pula mendurhakai-Nya.
Semua perasaan itu melahirkan penyesalan terhadap semua keteledoran, kedurhakaan, dan keberanian yang selama ini ia lakukan terhadap Allah SWT. Perasaan semacam ini yang hadir di dalam hati seorang hamba disebut penyesalan, salah satu unsur yang sangat penting dalam taubat.
Hal
Hal dalam konteks ini adalah penyesalan atas segala perbuatan buruk yang telah lalu. Terkadang sebagian salaf memegang jenggotnya sambil berkata, “Alangkah buruknya perbuatanku meskipun seandainya akan dimaafkan!”
Penyesalan semacam ini akan menimbulkan keteguhan yang kuat dalam diri seseorang untuk berkata dalam hatinya, “Aku akan berhenti dari berbuat dosa... aku tidak akan pernah melakukannya lagi untuk selama-lamanya... aku tidak akan pernah lagi mendurhakai Allah....”
Fi‘l
Fi’il, atau perbuatan, dalam konteks ini adalah melepaskan diri dari maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Bila telah lahir penyesalan semacam ini, yang dilandasi dengan ilmu, penyesalan dan ilmu itu akan membuahkan keteguhan dalam hati untuk meninggalkan maksiat, dan tidak mengulanginya lagi, sehingga darinya terwujudlah hakikat sesuatu yang disebut taubat.
Adapun apabila kesalahan atau maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, misalnya mengambil harta si Fulan atau menghina dan mencacinya, ada perkara keempat yang harus dilakukan, yakni mengembalikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Jika seseorang telah memakan harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.
Namun bukan hanya itu, karena apa yang telah dikembalikan itu belum terhitung sebagai taubat sebelum ia pun meminta maaf kepada mereka.
Lalu bagaimana seandainya mereka tidak memaafkannya?
Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kembalikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf kepada mereka untuk dirinya jika Allah melihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat. Dengan demikian berarti ia telah menunaikan kewajibannya dalam taubat. Allah akan memuliakannya dengan memberinya anugerah berupa kerelaan dari orang-orang yang didzalimi haknya. Dan bila ia tidak kuasa untuk mengembalikan hak itu kepada mereka, Allah akan memuliakannya dengan memberinya sesuatu yang setimpal dengan kerelaan orang-orang yang terzhalimi itu. Karena hak-hak orang lain atas dirinya tetap tidak gugur sebagai tanggunggannya.
Lembaran-lembaran Dosa
Lembaran-lembaran dosa manusia dapat digolongkan menjadi tiga bagian.
Pertama, lembaran dosa yang pelakunya dapat diampuni. Yakni semua kedurhakaan dan dosa yang ada antara sang hamba dan Tuhannya bila pada diri hamba terdapat penyesalan yang benar dan hakiki yang dihasilkan dari ilmu. Sehingga, penyesalan itu melahirkan keteguhan dan tekad yang kuat untuk meninggalkan dosa-dosa itu semua. Itulah taubat nasuha. Maka Allah pun akan mengampuninya atas dosa-dosanya seluruhnya.
Kedua, lembaran dosa yang pelakunya tidak akan diampuni. Yakni dosa syirik akbar, syirik besar. Syirik akbar adalah meyakini adanya Tuhan selain Allah SWT. Namun, dosa ini tidak terjadi pada umat Rasulullah SAW. Tidak akan ada syirik besar pada umat Nabi SAW, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku, demi Allah, tidaklah takut kalian akan berbuat syirik (akbar) setelahku, akan tetapi yang aku takutkan adalah akan dibukakannya dunia atas kalian.”
Ketiga, lembaran dosa yang tidak tergugurkan. Yakni dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak-hak manusia, hak-hak yang berkaitan dengan makhluk. Inilah yang semestinya membuat seseorang yang sedang berjalan menuju Allah besungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak itu.
Dosa Besar dan Kecil
Para ulama mengatakan, dosa besar itu ada empat macam. Sebagian sahabat mengatakan, dosa besar ada tujuh macam, dan sebagian yang lain mengatakan ada sebelas macam. Ibnu Abbas RA berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Umar, yang membagi dosa kepada tujuh macam, karena yang tujuh itu lebih dekat kepada tujuh puluh.”
Adapun yang disepakati oleh jumhur ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa semua perkara yang dikenai had (hukuman tertentu) termasuk dosa besar, semua yang dinashkan oleh Al-Qur’an atas keharamannya itu pun termasuk dosa besar, dan semua perbuatan keji termasuk dosa besar.
Perhatikan juga terhadap makna lain, yaitu keadaan hati terhadap maksiat sesudah melakukan maksiat. Ulama berkata, “Terus-menerus dalam maksiat tergolong dosa besar.” Dan meremehkan maksiat adalah termasuk dosa besar, meskipun maksiat itu kecil.
Itulah sebabnya, sebagian shalihin memohon ampun kepada Allah terhadap hal-hal mubah sekalipun. Mereka selalu memandang bahwa hal (interaksi)-nya dengan Allah adalah senantiasa menuntut ketinggian dan kedekatan dengan-Nya dalam segala hal. Karenanya bila melakukan sesuatu yang mubah tidak berniat untuk mencari kedekatan dengan Allah, mereka pun memohon ampun kepada-Nya.
Bukan hanya itu, sebagian mereka pun bertaubat kepada Allah pada beberapa perbuatan taat. Mereka bertaubat dari makna yang hadir di hati pada saat berbuat taat, yakni tidak merasa dan menyadari adanya kemurahan Allah pada saat berdiri mengerjakan suatu ketaatan.
Lebih tinggi lagi, Rabiatul Adawiyah pernah berkata, “Istighfar kita butuh kepada istighfar.” Mungkin kita memang sudah beristighfar, tapi istighfar kita belum sungguh-sungguh karena Allah.
Itulah taubat.
Mulailah taubat sejak saat ini juga, dan tidak ada ujung dari taubat. Setiap kali seseorang meningkat derajat kedekatannya kepada Allah secara maknawi, dituntut taubat dari makna-makna sebelumnya.
Seorang shalihin berkata kepada Rabiatul Adawiyah, “Doakanlah aku supaya aku bertaubat kepada Allah agar Allah memberiku taubat.”
Rabiah menjawab, “Melainkan aku akan mendoakanmu semoga Allah memberimu taubat agar engkau bertaubat.”
Shalatlah dua rakaat shalat sunnah Taubat dan jadikan sebagai wiridannya istighfar Astaghfirullaha wa atubu ilayh (100 kali) atau Rabbighfirli warhamni wa tub ‘alayya (100 kali). Apabila ini senantiasa dilakukan pada tiap-tiap malam, buahnya akan memperoleh satu tingkatan yang dikatakan ulama sebagai tingkatan mahbubiyah (dicintai – oleh Allah). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat.” — QS Al-Baqarah (2): 222.
Sumber :www.majalah-alkisah.com
No comments:
Post a Comment