Wednesday, November 2, 2011

Sastra dan Sufi Menikmati Seratus Cinta Tuhan


KH. Mustofa Bisri - Kyai dan Seniman

“Bagaimana aku bisa menyanyi?
Aku tak mampu meski menyanyikan lagu duka
Aku tak bisa mengadukan duka pada duka
Mengeluhkan luka pada luka

Senar gitarku putus
Dan aku tak yakin mampu menyambungnya lagi
Dan langitpun seolah muak dengan lagu-lagu bumi yang sumbang

Ah maaf sayang, aku tak bisa lagi menyanyi
Bersamamu atau sendiri
Entah jika tiba-tiba Nabi Daud datang
Membawa seruling ajaibnya..”


Bait sajak diatas, adalah sesobek luka dari KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sajak Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi. Sajak yang ditulis sebagai tangisan atas berisik burung-burung, mendendangkan apa saja, setelah merasa bebas merdeka (era Reformasi ’98) itu, sebenarnya merupakan kerinduan, dan cinta dari seorang kyai, penyair, dan kesendirian yang merasa asing sepi ditengah gejolak politik, yang membuatnya tak bisa menyanyi lagi.
Tentu bagi seorang hamba, kesendirian adalah saat teristimewa untuk “menyanyi” dengan-Nya. Ada melodi yang tiba-tiba mengalun, bersamaan dengan kesedihan manusiawi, dan tiba saja sang hamba ingat, trenyuh, dan rindu pada Khalik. Kenapa yang melintas Dia? Itulah anugerah bagi para penyair dan sufi. Erat sangat kaitan, antara cinta pada Yang Tak Terbatas, dengan lekuk goresan sajak, yang membuat para pembaca puisi tersebut, tiba saja terseret dalam kerinduan numinous itu.

Apakah memang selalu, bahasa sufistik membahasa dalam sajak? Apakah memang sastra bisa menjadi jalan bagi para penempuh, untuk lebih memperuncing rasa gundah transenden, rasa galau fitrah, sebagai makhluk yang tertitipi cinta Ilahiyah? Lalu bagaimana ketika sisi lain, Islam adalah agama hukum (religion of law), dimana penafsiran para sufi penyair sering menerobos batas fiqhiyah yang oleh para hakim diikat secara kuat dalam tekstualisme kitab suci? Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan budayawan dan Romo Yai, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang tersebut.

Seperti kita tahu, sebagian sufi adalah penyair, dan sebagian penyair adalah sufi. Menurut Pak Yai, kenapa hal ini bisa terjadi?
Yang pertama karena spiritualitas, tasawuf itu kaitannya dengan ruh, jiwa, kalbu. Seni sastra kaitannya dengan dzau’, yang berkaitan dengan kalbu, ruh, dan jiwa. Ada kesamaan sumber disana, karena kebersihan para sufi, sehingga sebetulnya dia tidak njarak bersastra-sastra, tapi otomatis apa yang diucapkan menjadi sastra.

Jadi orang menjadi sastrawan dalam pengertian membuat karya sastra, tentu tidak lepas dari kepribadian si sastrawan itu sendiri.
Sastrawan yang hanya bergelimang dengan daging akan mengeluarkan sastra daging, tapi kalau orang yang bergelimang dengan kalbu, dia akan menciptakan karya yang kalbu.
Kedua, karya sastra itu hasil perenungan. Nah seorang sufi penggaweannya memang merenung. Dia merenungkan kekuasaan Allah, merenungkan sifat-sifat sampai hakikat Allah. Ketika sufi itu dalam keadaan sangat intens dalam perenungan itu, lalu muncullah desakan dari dalam untuk menciptakan karya sastra.
Sebab saya lihat seniman, baik sastra maupun lukis itu ada yang modelnya tidak dipikirkan tapi dia desakan dari dalam, sehingga pelukis seperti Affandi, kalau melukis tidak jam-jaman, menitan saja.
Jadi kayak orang zadab, jret-jret! Kadang pakai tangan, kadang di potlot catnya.
Ada Zawawi Imron, dia hanya menuliskan gejolak hatinya saja. Dan kalau para sufi hampir semuanya begitu, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, itu gejolak hatinya saja yang dikeluarkan. Kerinduannya kepada Allah. Maka kalau kita lihat, Rabi’ah, Hassan Basri, Rumi, itu jalannya keindahan, dan yang direnungkan keindahan paling puncak yaitu Allah. Keindahan yang paling indah, pusat keindahan.

Itu kalau proses sastra sebagai akibat proses batin. Kalau sebaliknya bagaimana Pak Yai. Kalau seorang seniman, ia memang seorang penulis. Apakah memang proses penulisan itu menjadi wahana meditasi, jalan spiritual yang dengan sengaja dia jadikan jalan menuju kesufian?
Ada dua perbedaan ya. Ada orang yang didorong oleh kesufian lalu menciptakan karya sastra, seperti Rabi’ah, Rumi, dsb.
Ada yang penyair-penyair kepingin bersufi-sufi. Karena tertarik dengan dunia sufi, lalu dia sufi. Ada yang dia tidak sufi, tapi ternyata apa yang dia ungkapkan itu sufistik. Seperti kita baca sajak-sajaknya Sutardji Calzoum Bachri, waktu gendeng-gendengnya, sajaknya sangat sufistik.

Padahal saat itu dia minum arak, ya?
Lha iya. Saya tidak tahu apakah dia terpengaruh dengan bongso Abu Nuwas, penyair anggur yang kemabukan dengan Allah itu, metaforanya kemabukan biasa, ya khamr itu (menurut versi Sutardji, red). Jadi gambaran yang paling jelas, mabuk Allah ya dengan mabuk khamr, dimana orang mabuk itu lupa segala macam. Demikian pula mabuk Allah itu lupa segala macam. Dia hilang ingat, karena mabuk Allah. Abu Nuwas disebut penyair anggur karena metaforanya anggur saja, dia dikenal itu. Dimana kemudian belakangan dia menjadi sufi, karena dia mere-nungkan, memikirkan, kontemplasi tentang kemabukan itu dengan mabuk Allah. Lha sama halnya, kalau sastrawan sering bikin sajak sufi, lama-lama dia akan terpengaruh juga. Tapi kan tasawuf itu bukan ilmu, bukan ungkapan, pikiran, tapi laku.

Sehingga ada perbedaan antara orang yang bicara sufi, bicara spiritualitas, dengan orang-orang sufi. Para sufi boleh dikata, karya sastranya, kalau boleh dianggap karya sastra, itu dampak. Ada yang mungkin karena keahliannya dalam teknik perpuisian, dia bisa meniru Rumi, tapi akan tampak dari perilakunya. Kalau perilakunya tidak sufistik, berarti rekaan dalam karyanya, bukan penghayatan. Itu bisa kita rasakan. Misalnya kita baca karya Rabi’ah, ini bukan rekaan, lihat kamus, nggolek kata-kata yang indah, cari sajak yang pas, ya ndak. Tapi memang muncul tulus dari sanubari.

Kalau kaitan antara kesenian dengan tasawuf. Misalnya Sutardji, ia kan secara prinsipil tidak ahli tentang tasawuf, tetapi dari karyanya bisa kita lihat betul-betul mabuk Allah. Artinya, bagaimanapun juga jalan kesenian itu, dalam artian jalan spiritual tanpa melalui sebuah kaidah spiritualitas dalam Islam yang disipliner, juga banyak yang menjebak. Ada para sastrawan yang awalnya mencari diri, Tuhan, eksistensi, tapi mereka akhirnya terjebak pada nihilisme sekular.

Tapi orang seperti Sutardji punya dasar keislaman. Cuma dalam proses pencarian hakikat Allah, melalui liku-liku. Sekarang kalau anda lihat Sutardji, sholatnya tahajudnya, tidak pernah lagi minum-minum. Karena kalau dia ditanya, ngapain minum-minum, ya untuk mabuk. Nah dia berkata, “Saya sekarang ingat dosa saya saja sudah memabukkah, tidak perlu lagi minuman keras“, ha..ha..ha. Nah itu perjalanannya.

Tapi dia dituntut oleh pengertian yang lebih awal bahwa dia seorang muslim mempunyai Gusti Allah, dsb. Ini yang tidak cukup diterima seperti orang awam. Dah, cukup, kenal Gusti Allah itu Pengeran, habis itu sembahyang, selesai.
Dia dituntut oleh dirinya sendiri untuk mencari, sebenarnya apa Gusti Allah itu? Nah pencariannya yang intens itulah menciptakan puisi-puisi yang penuh dengan nuansa sufi. Jadi bukan ndak punya modal apa-apa.

Modalnya itu fitrah ya Pak Yai?
Dia memang dari keluarga muslim, orang Islam. Tapi dalam prosesnya kan macam-macam. Ada yang jadi bajingan dulu baru jadi ustadz, masuk penjara dulu baru jadi da’i, ada berandalan jadi wali. Kalaupun tidak muslim paling tidak dia beragama. Seperti Rendra puisinya sangat religius meskipun dia belum masuk Islam.

Kalau bicara soal puisi cinta, mahabbah. Kami baca beberapa puisi Pak Yai tentang mahabbah. Menurut pengalaman Pak Yai, bagaimana sich agar bisa menulis puisi yang cintanya itu betul-betul sudah melampaui daging, cinta terhadap Gusti Allah?
Jadi Tuhan itu kan memiliki seratus cinta. Satu diantara seratus itu dikasihkan makhluknya, dibagi cintanya itu kepada cintanya anak pada orang tua, cinta istri pada suami, cinta ayam sama kuthuknya, kuda dengan anaknya. Nah cinta kita diawali dengan mencintai ibu kita, istri, saudara, hamba-hamba Allah.
Lalu kita bisa bayangkan bagaimana cintanya Allah yang 99 itu? Satu saja dibagi sekian banyaknya sampai meluap-luap kayak gitu. Nah ini yang kadang tidak disadari kita. Kita yang hanya dibagi satu, seolah memiliki seluruhnya. Seperti orang yang nggegeri I’d jum’at, I’d sabtu, itu pikirannya mengidentifikasikan dirinya dengan Gusti Allah.

Seolah kalau dia ndak senang berarti Gusti Allah ya ndak senang, kalau gregeten berarti Gusti Allah gregeten, ha..ha..ha Nah ini yang ndak dimengerti.
Kalau untuk cinta, harus melalui pengenalan. Tidak kenal lalu cinta, itu namanya cinta Platonis atau al-hubbul ‘udzri, seperti cintanya Imam Busirri kepada Kanjeng Nabi itu hubbul ‘udzri, karena dia tak kenal Kanjeng Nabi sebelumnya. Maka kalau ingin cinta sejati harus pengenalan dulu. Baru setelah kenal, cinta kita bisa sejati. Tidak seperti umumnya orang Islam ini, mencintai Gusti Allah seperti dia mencintai isterinya yang tidak dia kenal, jadi dikawinkan orang tuanya begitu saja.

Cinta tapi ndak kenal. Suatu hari isterinya dibelikan rok span warna merah menyala, seharga satu juta. Sama isterinya dibuat ngelapi sepeda. Kenapa? Kan dia ndak kenal, bahwa isterinya itu paling ndak suka rok span merah menyala.

Maka Nabi kita mengenalkan Allah lewat perilakunya, al-Qur’an, mengenalkan supaya kenal. Terus kemudian orang-orang ini tambah lama kan tambah malas, terbiasa instan, akhirnya terus yang daging-daging saja, yang gampang.

Cintanya ya cinta daging, ibadahnya ibadah daging. Seperti sekarang orang yang menyatakan cinta kepada Allah, itu tidak berani mengatakan seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, “Kalau aku menyembah Mu, memuja Mu karena takut neraka, masukkanlah aku neraka.

Kalau aku memuja Mu karena kepengen surga, haramkan surga bagiku”. Apa berani orang sekarang? Itu cinta yang luar biasa. “Tapi kalau aku mencintai Mu karena aku ingin menatap wajah-Mu, jangan halangi wajah-Mu dariku”. Jadi ini memang cinta luar biasa, tidak ingin surga, takut neraka, tapi karena betul-betul cinta ingin memandang Allah. Sekarang sekadar nulis saja orang ndak berani, kuatir nek temenanan, ha..ha..ha Tapi ia memang gandrung betul. Karena Rabi’ah pengenalannya dengan Allah sudah sangat-sangat pribadi.

Jika bait-bait puisi yang Pak Yai favorit, tentang cinta?
Itu, ya punya Rabi’ah yang sangat berkesan. Uhibbuka hubbain fil hawa wa hubbun liannaka ahlun lidzaaka. Saya mencintai Mu dengan dua cinta. Cinta karena Engkau memang seharusnya dicinta. Cinta karena, saya memang bergairah dengan Mu.

Ada puisi Rabi’ah yang menurut saya sangat luar biasa, dampak dari cintanya kepada Allah sehingga dia mencintai manusia seluruhnya sebagai hamba-hamba Allah. Dia mengatakan, “Ya Allah, nanti kalau di akhirat jadikanlah tubuh saya sedemikian besar, sehingga memenuhi ruang neraka. Agar tidak ada lagi seorang hamba Mu yang bisa dimasukkan kedalam neraka”. Itu luar biasa. Jadi dia ingin menutup neraka dengan badannya, supaya hamba-hamba Allah tidak ada yang masuk neraka. Itu lebih tinggi daripada yang dikatakan Imam Busyiri di Burdah. Ia menyatakan, La’alla rohmata robbihiina yaqshimuha ‘ala hasabil isyaani bil qisam. “Saya mengharap nanti, ketika Tuhan menghendaki rahmat, itu disesuaikan dengan dosa orang. Jadi yang dosanya banyak seperti saya, dapat rahmat banyak.” Itu artinya kan sama saja. Yang dosanya dikit dapat rahmat dikit, yang dosanya gede dapat rahmat gede. Akhirnya semua dapat rahmat. Itu karena jiwa cintanya kepada Allah, sampai mencintai sesama. Orang menyatakan cinta kepada Allah tetapi tidak cinta kepada hamba-Nya, sama saja bohong.

Islam dikenal sebagai agama hukum. Ini yang membuat bahkan di thariqah-pun ada pembatasan mu’tabaroh dan ghairu mu’tabaroh. Dari sini terkesan, pendekatan kaum mutashawwifin sering dianggap menyimpang dari alur hukum tersebut, selayak hukuman atas al-Hallaj dan Siti Jenar. Menurut Pak Yai, kalau ada, sampai dimana sich kesepatakan antara kedua pihak?

Al-taarikh yu’iidu nafsahu, sejarah itu mengulangi diri. Munculnya tasawuf itu karena maraknya kehidupan daging yang luar biasa. Yang bisa kita lihat, munculnya Rabi’ah, Hasan Bashori, Sa’id Abu Sayyid dsb, pada abad pertama ketika Dinasti Umayah begitu hebat. Dari sisi materi mereka hedonis, dari ilmu pengetahuan mereka hanya bicara saja soal hukum, pertentangan, bahtsul masail, segala macam luar biasa majunya. Dari sini muncul kegelisahan, kok hanya ngomong saja, pengetahuan saja, seminar saja, ngamalnya mana? Muncul dan ini kebablasan, sampai ada sufi yang ndak pakai syari’at, menjadi Kejawen itu, lalu muncul lagi ilmu pengetahuan, ini melupakan amal, maka muncul lagi. Sampai abad ke-21 ini disebut abad spiritualitas, muncul lagi sekarang. Karena orang muak dengan kehidupan materialis, muak dengan agama yang daging saja. Maka saya nglukis Dzikir Bersama Inul. Inul kan simbol daging yang paling daging, dan dzikir tidak bisa dengan daging thok. Nah yang orang lupa, ilmu seperti fiqh dsb itu muncul setelah Islam. Jadi Islam begitu hebat pengaruhnya sampai memunculkan banyak ilmu termasuk ilmu fiqh, ‘ardl, tafsir. Ini dampak dari Islam.

Orang yang kemudian ber-fiqh-fiqh, lalu kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun, setiap kelompok membanggakan dirinya sendiri. Yang fiqh membanggakan hebatnya fiqh, yang ahli tasawuf membanggakan tasawufnya meniadakan yang lain. Padahal Islam diatas itu semua. Islam tidak hanya fiqh, tidak hanya tasawuf, ia lebih luas dari itu. Lha Islam sendiri itu tidak ghoyah, tujuan. Islam itu menurut saya masih washilah. Lha tujuannya apa? Tujuannya Allah. Semua washilah, apalagi PPP, PKB, sak piturute, itu sangat washilah, NU-Muhammadiyah washilah. Kalau PPP, PKB itu ghoyah, kita ndak kemana-mana, memandang lain partai bukan orang. Kalau NU-Muhammadiyah kita anggap ghoyah, orang NU memandang Muhammadiyah, ora pati Islam. Kalau Islam kita anggak ghoyah, maka selain Islam tidak kita anggap hamba Allah. Padahal Allah memuliakan manusia itu, walaqad karromna bani aadam, semua, tidak pakai embel-embel.
Nah karena di nash di al-Qur’an, kullu hizbin bima ladaihim farihuun. Kelompok fiqh menganggap yang paling hebat ya fiqh. Yang anehnya, fiqh itu kan hukum, ketika berbicara fiqh dalam kaitan hukum agama, itu fanatik sekali, sehingga ketika kita bicara tentang hukum bernegara dan berbangsa, kita ndak begitu mengerti. Jadi ndak ada konsistensi. Kalau kita fanatik sama hukum, ya dijelaskan segala hal mengenai hukum. Karena memang, orang itu fanatik dan bangsa terhadap miliknya.
Kalau anda fiqh, ya fiqh yang paling pokok, ndak mau ya sudah.

Nah kembali kalau kita lihat, tujuan manusia kan mengenal Allah, ma’rifatullah, apapun itu.
Orang memang kadang lupa. Mengapa kita sholat? Itu dikitabnya sudah dibilang seperti itu, faridlotun. Akan berbeda yang sholatnya begitu, dengan orang yang sholat, “Karena saya ini hamba Allah, saya menyembah Allah”. Nanti ndak usah diapa-apakan akan ada begitu terus, sepanjang abad.
Zaman Harun al-Rasyid pengetahuan begitu hebat, tapi juga muncul tokoh-tokoh sufi yang hebat, sebagai perlawanan terhadap arus.

Muncul da’i besar, Syeh Abdul Qadir al-Jilani, dia memiliki dua belas ilmu. Karena perilakunya yang sufistik, maka dia lebih dikenal seorang sufi, ilmunya kalah. Kyai Hamid Pasuruan, karena kadung terkenal sebagai wali, maka keistimewaannya sebagai sastrawan terlupakan. Sebetulnya sejak awal di pondok, dia adiib, sastrawan, memiliki diwan, puisi berbahasa Arab, tapi kalah dengan kewaliannya tadi. Kebalikannya saya. Saya sebetulnya wali, tapi ketutupan, ha..ha.. ha.

Sumber: Sufinews

No comments: