Segala puji bagi Allah SWT dengan pujian yang dengannya kami dapat mewujudkan ikhlas yang sesuangguhnya dalam penghambaan dan yang dengannya kami menjadi bagian dari orang-orang yang hatinya terpenuhi oleh cahaya Allah SWT SWT, yang tidak ada lagi tersisa celah sedikit pun bagi syirik di saat-saat melakukan segala perbuatan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan atas penghulu kami, Nabi Muhammad, pemimpin segenap ahli hakikat ikhlas, dan atas keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang meniti di atas jalannya hingga hari Kiamat.
Mudah-mudahan, dari pelajaran terdahulu sampai pelajaran kali ini, engkau telah merenungkannya dengan seksama. Sudahkah engkau renungkan bagaimana menyelamatkan hatimu dari takabur? Sudahkah engkau renungkan hakikat asal penciptaanmu? Sudahkah engkau renungkan bahwa tempat kembalimu hanyalah sebuah lubang yang ditimbuni tanah? Sudahkah engkau renungkan bahwa di antara itu tidak ada sesuatu pun yang engkau miliki selain apa yang Allah berikan kepadamu?
Sudah pulakah kita memberikan perhatian kepada perbuatan-perbuatan yang dapat membantu kita untuk mewujudkan tawadhu dan kerendahan hati?
Berapa banyak orang yang engkau jumpai kemudian engkau terlebih dahulu mengucapkan salam kepadanya? Adakah rekan yang berseteru denganmu lalu engkau menjumpainya dan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya? Apakah engkau telah datang kepada seseorang yang telah berbuat buruk kepadamu lalu engkau luluh lantahkan nafsumu untuk terlebih dahulu meminta persahabatan dengannya?
Ini semua adalah perbuatan-perbuatan yang dapat membantu untuk mewujudkan sikap rendah hati dan menghilangkan takabur. Apakah engkau memiliki keberanian yang lebih tinggi untuk melakukannya? Apakah engkau memiliki kekuatan yang lebih besar sehingga engkau dapat memperbuatnya?
Apakah engkau memiliki semangat yang sama dengan sekalian murid yang meniti jalan menuju Allah SWT?
Pikirkan masjid yang ada di samping rumahmu. Pikirkan bahwa engkau dapat membersihkan kamar mandi masjid meskipun hanya sekali dalam seminggu.
Sulit? Sungguh ini adalah perjalanan menuju Allah SWT. Demi Allah, di dalamnya terdapat pembersihan terhadap hatimu. Perkara yang dituntut sesungguhnya bukanlah tempat yang engkau bersihkan, melainkan penyucian terhadap dirimu.
Sulit? Cobalah yang lebih ringan di rumahmu. Ringankan pekerjaan pembantu yang ada di rumahmu bila engkau memiliki pembantu. Atau ringankan pekerjaan istrimu. Berdiri, bantu, dan tolonglahlah istrimu bersih-bersih rumah.
Masih sulit juga! Sungguh ada masalah besar dalam dirimu, bila sampai untuk melakukan bersih-bersih di salah satu ruangan di rumahmu saja, atau kamar mandi di rumahmu, atau perabot yang ada di dapur, masih terasa sukar dan berat bagimu.
Jangan sampai setan tertawa di saat menyaksikan engkau berkata, “Tidak, aku seorang suami... semua itu tidak pantas dilakukan seorang suami!
Hati-hati, jangan sampai engkau salah dan keliru.
“Aku adalah seorang Hamba”
Sungguh penghulu sekalian suami, Baginda Rasulullah SAW, mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau SAW menyapu halaman rumah, mengemas baju dan mencucinya, menambal sendal, memikul tanah liat di atas pundaknya, dan gemar membantu pekerjaan istri-istrinya. Ini adalah pelatihan dan pendidikan bagi jiwa.
Nabi SAW pernah bersabda tentang dirinya, “Sungguh aku adalah seorang hamba sahaya yang makan sebagaimana seorang hamba sahaya makan, dan duduk sebagaimana seorang hamba sahaya duduk.”
Tahukah engkau apa yang menjadi latar belakang dari hadits Nabi SAW ini?
Suatu ketika, seorang wanita melihat Nabi SAW tengah duduk bersama-sama dengan beberapa hamba sahaya dan para dhu‘afa. Lalu wanita itu berkata, “Apa-apaan ini? Seorang nabi duduk seperti duduknya seorang hamba sahaya, dan makan seperti makannya seorang budak.” Wanita ini bermaksud menghinakan kelakuan Nabi SAW seperti itu.
Maka Nabi SAW pun bersabda, “Engkau benar. Sungguh aku hanyalah seorang hamba sahaya. Aku makan sebagaimana seorang hamba sahaya makan, dan duduk sebagaimana seorang budak duduk.” Makna sesungguhnya dari ungkapan beliau SAW, “Aku adalah hamba Allah SWT.”
Pada suatu hari seorang budak perempuan datang menemui Nabi SAW di saat beliau tengah sibuk dengan urusan umat. Urusan yang sangat penting.
Budak itu memiliki hajat yang hendak ia adukan kepada Nabi SAW. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, ada hal yang ingin aku sampaikan kepadamu.”
Nabi SAW berkata, “Silakan.”
“Tidak, ya Rasulullah, aku hanya ingin berbicara denganmu seorang diri.”
“Baiklah, silakan engkau tunjuk di antara jalan-jalan di Madinah ini, biar aku mendatangimu di sana.”
Budak perempuan itu menunjuk tempat yang diinginkannya, dan Nabi SAW pun segera menuju tempat yang diinginkan oleh perempuan tersebut.
Nabi SAW menyimak dengan seksama apa yang diadukan oleh budak perempuan hingga terpenuhi semua yang diharapkannya, barulah setelah itu beliau kembali ke tengah-tengah para sahabat yang tengah menunggu.
Perhatikan, demikianlah nabimu, suri teladanmu, Nabi Muhammad SAW.
Bukan terhadap Dzatnya
Suatu ketika datang seekor kucing ke kamar Nabi SAW. Kucing itu memandang ke arah wadah air di sisi Rasulullah.
Menyaksikan itu beliau tahu bahwa kucing tersebut haus dan beliau pun memiringkan wadah itu agar si kucing dapat memimum airnya. Setelah kucing itu puas, Nabi SAW pun bergantian mimum dari wadah itu.
Ketika Sayyidah Aisyah RA menyaksikan hal itu, Nabi SAW berkata kepadanya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kucing ini adalah dari hamba-hamba yang thawaf (berkeliling). Ia thawaf kepada kita, datang dan pergi, dan bukanlah ia termasuk binatang yang najis.”
Jijiklah terhadap sesuatu yang dihukumi najis oleh syari’at. Tetapi hendaklah kita jijik terhadap kenajisannya, bukan terhadap dzatnya. Bahkan sampai terhadap anjing sekalipun yang dihukumi najis. Meskipun para ulama menghukumi anjing dengan najis mughallazhah (najis berat), tidak dibolehkan bagi kita untuk menghinakan anjing.
Bila engkau melihat anjing dengan pandangan kehinaan, siapakah yang sesungguhnya engkau hinakan? Rupa ciptaan anjingkah yang engkau hinakan, atau Penciptanya?
Demikianlah senantiasa keadaan seorang peniti jalan menuju Allah SWT. Masalah yang dihadapi senantiasa terasa sukar dan berat. Karenanya, lawan terus nafsumu. Ini adalah maqam mujahadah (kesungguhan dan perjuangan melawan nafsu).
Ini merupakan lapangan penyucian hati. Yakni dengan melakukan semua pekerjaan itu, dari yang paling mudah meningkat kepada yang paling sukar dan berat. Setelah itu niscaya hatimu bersih tercuci. Dirimu telah keluar dari titik kelemahan yang ada dalam dirimu menuju kekuatan penyandaran kepada Allah SWT. Jangan menyerah di hadapan kelemahan diri dalam masalah takabur, sombong, merasa lebih baik dari yang lainnya. Lawanlah, dan latihlah dia.
Perhatikan baik-baik! Dalam mujahadahmu terhadap nafsumu dalam mengeluarkan kegelapan takabur sesungguhnya terdapat penyucian lain bagi hatimu dari titik kelemahan yang lainnya, selain takabur itu sendiri.
Orang yang takabur memandang bahwa dirinya lebih baik dan lebih mulia dari orang lain. Dalam hidupnya ia selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. “Aku lebih baik dari si Fulan....”
Diri yang Tergadaikan
Hidupnya menjadi sibuk. Sibuk dengan apa? Sibuk dengan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Dan kesibukannya dengan orang lain itu, meskipun bentuknya adalah takabur dan pandangan ketinggian terhadap diri sendiri di atas orang lain, sesungguhnya itu hakikatnya adalah kelemahan dan ketundukan terhadap orang lain.
Tahukah engkau mengapa demikian? Karena sesunguhnya dirinya tergadaikan kepada orang lain. Bila mereka menghormati dirinya, memuliakannya, dan memberinya kedudukan yang diinginkannya, ia merasa lapang dan senang karenanya. Jika ia masuk ke satu majelis, orang-orang berdiri menghormatinya. Jika ia meminta sesuatu, segera orang memenuhi tuntutannya. Dan bila ia berbicara, orang lain pun dengan seksama mendengarkannya. Ia menjadi individu yang teramat butuh dan tergantung kepada manusia. Itulah sebabnya, bila ia masuk ke suatu tempat dan orang tidak menghormatinya dengan penghormatan yang ia kehendaki, ia pun akan marah. Ia marah sebesar orang lain tidak menghormatinya.
“Mereka tidak menghormatiku! Aku tidak akan membiarkan hal itu.” Karena engkau merasa bahwa mereka telah menghinakanmu.
Bila keadaanmu demikian adanya, sesungguhnya engkau tengah membiarkan orang lain merendahkan dan menghinakanmu.
Engkau tahu kenapa?
Karena engkau menjadikan nilai dan kemuliaanmu tergantung dan terikat pada sikap dan tingkah laku manusia. Engkau menghinakan dirimu sendiri. Bila saja engkau menjadikan kemuliaan dan kehormatanmu pada keadaan dan keteguhanmu kepada Allah SWT, bukan dengan perlakuan manusia terhadapmu, sungguh engkau telah memelihara dirimu. Akan tetapi engkau justru rela dengan kesombonganmu, perasaan tinggimu, dan keinginanmu mencari kemuliaan dan kedudukan di antara manusia.
Engkau rela membiarkan dirimu berada di tangan manusia. Bila mereka menghormati dan memuliakanmu, engkau bahagia karenanya. Tapi bila mereka tidak menoleh kepadamu dan tidak memuliakanmu, engkau pun marah dan gusar. Sehingga keadaanmu menjadi keadaan seseorang yang teramat perlu dikasihani oleh orang lain. Siapa pun orangnya itu, konglomerat, raja, hakim, menteri, ulama, reformis, akademisi, guru, siapa pun itu, yang menjadikan nilainya, kebahagiaannya, ridhanya, ketenteramannya, dan kesenangannya, tergantung pada apa yang diberikan dan dipersembahkan oleh manusia lain kepadanya, ia telah menghinakan dirinya dengan keadaan seperti itu, keadaan yang perlu belas kasihan orang lain.
Perhatikanlah, di atas masalah yang telah kita bahas pada pelajaran yang lalu ini, yakni penyakit takabur, terdapat pula masalah yang kedua, yakni penyakit riya’ dan sum‘ah, yang akan kita bahas pada edisi berikutnya.
Selama engkau menginginkan manusia menghormatimu, mengelu-elukanmu, mengagungkanmu, dan memuliakan kedudukanmu, engkau sibuk dengan pandangan manusia terhadapmu, sesungguhnya engkau akan membayarnya dengan harga yang mahal...
Kata ar-riya’ berasal dari kata ar-ru’yah (pandangan), sedangkan as-sum‘ah berasal dari kata as-sima‘ (pendengaran). Dari mana datangnya kerinduan seseorang terhadap riya’? Yakni sibuknya seseorang untuk mendapatkan pandangan manusia kepadanya dan pendengaran orang lain tperihal pujian-pujian orang tentang dirinya.
Engkau mencari-cari pandangan orang terhadapmu dalam segala ihwalmu. Dalam ihwal semacam ini, sesungguhnya engkau kembali menuju titik kelemahan, yang baru saja kita bicarakan (pada edisi yang lalu).
Sudah kita katakan, seorang yang sombong sesungguhnya telah memperlemah dirinya untuk orang lain dan menyiapkan dirinya untuk titik kelemahan yang kedua, yakni penyakit hati yang kedua, maksiat hati yang sangat berbahaya, yakni riya’, yang disebut asy-syirkul ashghar (syirik kecil).
Syirik ini tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Ia tetap menjadi seorang muslim. Akan tetapi mengapa penyakit ini disebut syirik kecil? Karena seorang yang riya’ telah memalingkan ibadah dari yang semestinya karena Allah SWT, ia palingkan untuk manusia dan ia jadikan tujuan dari ibadahnya untuk mendapatkan pujian manusia terhadapnya, penghormatan orang lain kepadanya, kecenderungan mereka terhadap dirinya, dan penilaian mereka terhadap dirinya bahwa ia adalah “sesuatu”.
Ia menjadikan adanya sekutu bagi Allah dalam niat ibadahnya. Ia hamba Allah akan tetapi dalam ibadahnya menginginkan ridha Allah SWT dan ridha manusia. Ia menyekutukan antara mencari ridha Allah SWT dan mencari ridha makhluk. Itulah sebabnya, penyekutuan semacam ini disebut asy-syirkul khafi (syirik tersembunyi).
Disebut syirik ashghar karena syirik ini tidak mengeluarkan seseorang dari agama. Adapun disebut syirik khafi karena syirik ini memiliki beberapa tingkatan yang akan dijelaskan pada akhir pelajaran kita kali ini.
Riya’ berkaitan dengan masalah arah pandanganmu kepada manusia. Selama engkau menginginkan manusia menghormatimu, mengelu-elukanmu, mengagungkanmu, dan memuliakan kedudukanmu, engkau sibuk dengan pandangan manusia terhadapmu, sesungguhnya engkau akan membayarnya dengan harga yang mahal... harga-harga yang teramat mahal. Salah satunya adalah bahwa sesuatu yang paling mahal yang engkau miliki di dunia ini dan yang paling berharga yang akan engkau bayarkan untuk itu semua adalah ibadahmu kepada Allah SWT. Ibadahmu, engkau palingkan untuk manusia.
Mengapa demikian? Seseorang yang riya’, bila ingin bersedekah, ia ingin orang-orang berkata tentangnya bahwa ia dermawan dan pemurah. Bila duduk di satu majelis dan menguraikan suatu pembahasan, ia menghendaki orang-orang memuji penyampaiannya dan kemampuannya dalam memberikan nasihat dan pelajaran. Bila shalat atau melakukan suatu ibadah, ia menghendaki pujian orang terhadap kekhusyu’annya dan kadar kekhuyu’annya dalam dzikir kepada Allah SWT. Bila membaca Al-Qur’an, ia menunggu pujian orang-orang terhadap kemampuan dan keindahan bacaannya. Demikianlah halnya dalam ibadah, saat ia bertaqarrub kepada Allah SWT.
Sepakatkah kalian denganku bahwa harga yang harus dibayar untuk riya’ sangatlah mahal, sehingga tidak semestinya dilakukan? Oleh sebab itu marilah kita berlepas diri dari penyakit cinta terhadap kedudukan di hati manusia.
Cintailah manusia, cintailah kebaikan bagi manusia, dan cintailah cinta manusia kepadamu karena Allah SWT. Akan tetapi janganlah engkau mencari kedudukan di sisi makhluk. Sesungguhnya kedua hal itu memiliki perbedaan yang sangat besar, sekalipun teramat tipis dan halus perbedaan antara keduanya.
“Benar, aku mencintai manusia karena Allah dan aku pun cinta saudara-saudaraku yang mencintaiku karena Allah. Akan tetapi tidaklah sepatutnya aku mencari dan hidup dengan menolehkan pandanganku kepada kedudukanku di dalam hati mereka. Mengamat-amati dan memperhatikan dengan seksama, apakah kedudukanku jatuh di mata mereka atau semakin tinggi dan semakin tinggi lagi? Apakah kedudukanku diperhitungkan di sisi mereka, ataukah sama sekali tidak diperhitungkan?”
Cinta kedudukan di hati manusia, hal itulah yang menyebabkan lahirnya riya’, menyebabkan berpaling kepada selain Allah SWT – na’udzu billah min dzalik. Dan menolehnya hati kepada cinta kedudukan di tengah-tengah makhluk akan menyebabkan runtuhnya kedudukan di sisi Allah SWT.
Arah pandangan hatimu kepada makhluk untuk mencari kedudukan di sisi mereka di saat beribadah kepada Allah SWT akan merendahkan kedudukanmu di sisi-Nya.
Manakah sesungguhnya yang engkau inginkan: kedudukan di sisi makhluk atau kedudukan di sisi Allah SWT?
Engkau adalah murid menuju Allah, peniti jalan menuju akhirat. Ambillah kabar gembira yang akan membuatmu mudah untuk mendapatkan dua pilihan itu. Luruskanlah niatmu untuk mencari kedudukan di sisi Allah SWT, niscaya Dia akan memberikan kedudukan bagimu di sisi makhluk. Akan tetapi hal ini berbeda dengan permasalahan “Aku akan ikhlas karena Allah dan Allah akan menjadikan manusia mencintaiku”, seperti yang telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu.
Sunnatullah telah berlaku bahwa, di saat engkau benar dan tulus dalam mu‘amalahmu kepada Allah SWT dan tidak mencari dan menginginkan selain Allah SWT, semua urusanmu akan kembali kepada-Nya. Bila Allah menghendaki, Dia akan menghimpunkan hati manusia kepadamu; dan bila Dia tidak menghendaki, Dia pun akan menceraikan hati manusia darimu.
Sebagian shalihin dicintai oleh manusia, mereka bersatu padu berhimpun mendekatinya, memuliakannya, dan mengenali keutamaannya; tapi sebagian lagi dikucilkan oleh manusia, diperlakukan buruk oleh mereka, dan bahkan mereka ramai-ramai menghardik dan melemparinya.
Baginda Nabi Muhammad SAW dilempari dengan batu dan bahkan sebagian nabi dibunuh. Di masjid ini, Masjid Jami‘ Bani Umayyah, terdapat kepala mulia Nabi Yahya bin Zakariya’ AS. Beliau dipenggal karena kejahatan kelompok keji dari Bani Israil.
Akan tetapi, tentu bukan itu yang menjadi maksud dan harapan. Namun tuluslah kepada Allah SWT, maka Dia akan memberikan kepadamu kebaikan dunia dan akhirat.
Apakah nilainya semua makhluk memujimu dan memandangmu dengan pandangan pengagungan, mengagungkanmu dan memuliakanmu, dan mereka memuji-mujimu dengan kebaikan... si Fulan datang dan si Fulan baru pergi... sedangkan engkau tidak memiliki kedudukan apa pun di sisi Allah SWT.
Sungguh merupakan keadaan yang paling buruk, seseorang hidup di dalamnya dan dia menduga bahwa dirinya dalam mu‘amalah yang sebaik-baiknya kepada Allah SWT sedangkan dia tidur dalam keadaan senang dan gembira dengan sebab pujian manusia kepada dirinya dan perhatian mereka kepadanya, sementara dia tidak mengetahui apakah kelak akan menutup matanya dalam keadaan Allah ridha kepadanya atau tidak meridhainya.
Kesimpulannya, sumber dan asal mula riya’ adalah menolehkan pandangan kepada kedudukan di hati makhluk.
Sumber :www.majalah-alkisah.com
No comments:
Post a Comment