Monday, November 16, 2009

Hikam Al Haddad : Mencintai Ahlul-Bait dan Menasihati Sebagian Mereka yang Menyimpang

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

Ada sebagian orang yang apabila dikatakan kepada mereka bahwa si fulan-yang termasuk anggota ahlul-bait (keluarga dan keturunan Rasulullah Saw)-melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama atau mencampurbaurkan antara yang halal dan haram, mereka lantas berkata, "Biarlah, ia adalah seorang dari ahlul-bait. Rasulullah Saw. pasti akan ber-syafa'at1 untuk anak-cucunya, dan mungkin pula dosa-dosa yang bagai¬manapun tak akan menjadi mudarat atas mereka." Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang lain yang tergolong kaum jahil. Betapa seseorang akan berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Quran, Kitab Allah yang mulia, terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah Saw. dilipatgandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya, yaitu dalam firman Allah:

Hai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kamu melakukan per¬buatan keji yang nyata, dilipatgandakan baginya siksaan dua kali lipat dan itu adalah mudah bagi Allah. Barang siapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, kepadanya Kami beri pahalanya dua kali dan Kami sediakan baginya rezeki yang melimpah. (QS Al-Ahzab [33] 30-31)

Istri-istri Rasulullah Saw. adalah bagian dari keluarga rumah tangga beliau. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengatakan atau mengira bahwa meninggalkan perbuatan ketaatan atau mengerja¬kan kemaksiatan tak mendatangkan mudarat bagi seseorang disebabkan kemuliaan nasabnya atau karena kebaikan amal serta pekerti leluhumya, orang itu sesungguhnya telah membuat dusta keji tentang Allah Swt. serta menyalahi ijmaa' (kesepakatan) seluruh kaum Muslim.

Namun, ahlul-bait Rasulullah Saw. memang memiliki kemuliaan khusus, dan beliau pun telah menunjukkan perhatiannya yang amat besar kepada mereka. Pada masa hidupnya, beliau berulang-¬ulang mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula, Allah Swt. telah memerintahkan dalam firman-Nya:
Katakanlah wahai Muhammad, "Tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintaanmu kepada kerabatku." (QS Al-Syura [42]: 23)


Oleh karena itu, sudah sepatutnya seluruh kaum Muslim me¬menuhi hati mereka dengan kecintaan dan kasih sayang kepada ahlul-bait serta menghormati dan memuliakan mereka, demi kekerabatan mereka dengan Rasulullah Saw, tanpa berlebih-¬lebihan dan sikap keterlaluan.

Selain itu, siapa saja dari kalangan ahlul-bait yang perilakunya menyamai atau hampir seperti perilaku salaf (leluhur) mereka yang saleh dan menempuh jalan mereka yang diridhai, maka ia adalah imam yang cahayanya dijadikan pelita penerang dan teladannya diikuti, seperti halnya para leluhur mereka yang berjalan di atas jalan hidayah. Sebab, dan merekalah imam-imam besar pada masa-¬masa lalu, seperti Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain (kedua cucu Rasulullah Saw). Juga, seperti Ja`far bin Abi Thalib (Al-Thayyar)2, Hamzah (Sayyid Al-Syuhada)3, demikian pula Abdullah bin 'Abbas dan ayahandanya, Al- Abbas(paman Nabi Saw), Imam Ali Zain Al-Abidin bin Husain4, Imam Muhammad Al-Baqir5 dan putranya, Imam Ja'far Al-Shadiq6 'alaihimus-salam, dan imam-imam lainnya dari ahlul-bait yang disucikan, dari yang terdahulu hingga keturunan mereka yang datang kemudian.

Adapun mereka yang berasal dari keluarga rumah tangga ahlul-bait ini, tetapi tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampuradukkan antara yang baik dan buruk disebabkan kejahilannya, seyogianyalah mereka pun tetap dihormati sewajarnya, semata-mata disebabkan kekerabatan mereka dengan Nabi Saw. Namun, siapa saja yang memiliki ke¬ahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati mereka dan mendesak agar mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang baik-baik, yang berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan ber¬perilaku luhur. Juga, menegaskan bahwa mereka sebenarnya lebih utama dan lebih patut berbuat seperti itu, dan bahwa ke¬muliaan nasab saja tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat, selama mengabaikan ketakwaan, mencurahkan sepenuh perhatian pada dunia, meninggalkan amalan-amalan ketaatan, serta menistai diri dengan berbagai maksiat. Para ahli syair pun, apalagi para imam dan ulama, sering kali menandaskan makna ini seperti yang diucapkan seorang dari mereka:
Demi Allah, manusia hanyalah "putra" agamanya,
karenanya jangan meninggalkan takwa demi mengandalkan nasab.
Islam memuliakan Salman si orang Parsi,
sementara kemusyrikan menghempas Abu Lahab sang bangsawan.

Al-Mutanabbi berkata:
'Apabila jiwa sang bangsawan menyimpang dari leluhurnya, dada manfaat diperoleh walau tinggi kedudukannya."

Seorang penyair lain mengatakan:
Tiada berguna asal usul dari Hasyim, Bila jiwa dan semangatnya dari Bahilah.7

Pembicaraan tentang putra-putra para shalihin (di luar kalang¬an ahlul-bait) sama seperti pembicaraan tentang ahlui-bait juga. Maksudnya, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan leluhur¬nya, maka ia pun seorang saleh seperti mereka, patut dimuliakan dan diharapkan barakah8-nya. Dan, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan kejahilan dan kelengahan, hendaknya dinasihati dan dibimbing ke jalan kebenaran, juga dihormati sewajarnya, semata-mata demi mengingat para salafnya yang shalihin. Betapa tidak, sedangkan Allah Swt. telah berfirman tentang kedua orang anak kecil dan kebun peninggalan ayah mereka:
"Adapun tembok itu adalah kepunyaan dua anak muda yatim piatu di dalam kota; di bawah tembok itu ada harta kepunyaan keduanya dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka, Tuhanmu ingin supaya mereka mencapai usia dewasa dan mengeluarkan hartanya sebagai rahmat dari Tuhanmu." (QS Al-Kahfi [18]:82)

Menurut sebagian ahli tafsir, ayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah ayah mereka ketujuh dari silsilah ibu mereka. Kedua anak tersebut (berkat kesalehan ayah mereka) telah memperoleh penjagaan Allah dalam urusan duniawi mereka, apalagi-tentu¬nya-dalam urusan akhiramya.

Ketahuilah dan pahamilah. Letakkan segala sesuatu di tempatnya yang tepat dan berikan hak setiap orang kepadanya. Mintalah pertolongan Allah selalu, Anda akan beroleh kebaha¬giaan dan bimbingan. Sungguh, segala-galanya adalah milik Allah semata.



1 comment:

elfan said...

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.

Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu KELUARGA RUMAHTANGGA RASULULLAH Berarti kel Saidina Muhammad SAW yg seharusnya, kedua orang tua beliau, tapai keduanya belum Muslim dan sudah meninggal, diri saidina Muhammad SAW sendiri, atau saudara kandungnya (tapi beliau anak tunggal), isteri-isterinya, anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, sayangnya anak beliau yang lelaki tak ada yang sampai besar, tidak meninggalkan anak keturunan.

Keturunan Bunda Fatimah, Hasan, Husein dan lainnya yg perempuan ya tidak lagi masuk ahlul bait krn. nasabnya Saidina Ali bin Abi Thalib. Krn Al Quran hanya mengenal nasab dari laki-laki kecuali Isa bin Maryam (QS. 33:4-5)