Friday, April 20, 2012

Tasawuf, Dunia yang Terbuka

baitulamin.org

Pada acara Silaturahmi Da’i yang diselenggarakan Surau Baitul Amin Sawangan, 14-15 Pebruari 2009 lalu, hadir seorang narasumber dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau adalah Dr. Asep Usman Ismail, M.A., dosen tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi (UIN) Syarif Hidayatullah. Seusai menyampaikan materi berjudul "Memahami Dakwah Sufistik" pria kelahiran Sukabumi, 20 Juli 1960 ini menerima permintaan Mozaik Surau untuk wawancara. Berikut petikan wawancara dengan pengamal Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawa Barat ini

Bagaimana menjelaskan posisi tasawuf dalam Islam?

Tasawuf menurut hemat kami, esensi ajaran Islam. Karena tasawuf berbicara tentang bagaimana seorang muslim bisa mensucikan jiwanya. Kesucian jiwa itu sangat mendasar, karena setelah jiwanya suci seorang muslim bisa meninggalkan perbuatan dosa, meninggalkan yang diharamkan, dan meninggalkan yang dimakruhkan. Semua itu kalau hanya didekati secara rasio tidak bakal terjadi, karena yang mampu menggerakkan jiwa hanyalah jiwa yaitu jiwa yang bersih.

Sebagai contoh perintah Al-Qur’an untuk makan dan minum yang halal dan baik, tidak mungkin bisa dilaksanakan kalau kecenderungan orang itu tidak suka kepada kesucian. "Hallalan Thoyibah" itu artinya suci dan bersih. Tidak mungkin orang bisa melepaskan kebiasan minum-minuman keras, kebiasaan untuk makan yang diharamkan, kebiasaan melakukan tindakan kedzoliman, kalau : Satu, kalbunya tidak bersih. Yang kedua, mungkinkah orang bisa shalat khusuk sementara dia hidup dengan makanan-minuman yang diperoleh dengan haram serta diharamkan oleh Allah?

Oleh sebab itu Al-Qur’an mengingatkan dalam surat Al Baqarah ayat 74. Kalbu kalian bisa jadi keras setelah kalian berbuat maksiat. Kalbu itu seperti batu bahkan lebih keras dari batu. Mengapa? Karena satu suap makanan yang diperoleh dengan haram sama dengan menggoreskan titik hitam ke dalam kaca yang bersih dan jernih.

Sekali minum-minuman keras menimbulkan satu goresan. Belum lagi dari mata, dari tangan, lewat ucapan/lidah, kalau tidak dibersihkan lewat tazhiyatun nafsih maka akan terjadi penumpukan beberapa titik, gumpalan-gumpalan dan membeku.

Pembekuan kalbu itulah yang secara rohani ibarat seperti batu. Apa akibatnya? Akibatnya adalah ; berilmu tapi tidak diamalkan, peringatan ditolak, nasehat tidak didengar, suara hati menjadi pelan. Orang menjadi tidak punya nurani, tidak mendengarkan nurani, tidak mempertimbangkan masukan dari luar, dia menjadi egoistik dengan kepentingan dirinya. Oleh sebab itu tasawuf sangat diperlukan sebagai esensi Islam.

Yang kedua, saya ingin memberikan data kualitatif kalau ayat suci Al-Qur’an itu sekitar 6.300-an. Ayat Al-Qur’an yang menyangkut fiqih sekitar 550 ayat, yang berkenaan dengan keimanan itu sekitar 950 ayat. Itu kalau dijumlahkan baru 1.500, sisanya 4.500 atau mungkin lebih itu berbicara tentang bagaimana orang bisa bertaubat, bersyukur, ikhlas, khusuk, tawakal. Itu semua ada dalam tasawuf.

Memang, nama tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi. Namun substansi tasawuf itu taubat, sabar, tawakal, bersyukur, ikhlas, khusuk, kerjasama, ukhwah. Itu semua adalah ajaran tasawuf dan ajaran akhlakul. Begitu kira-kira gambarannya.

Kalau begitu belajar tasawuf kemudian mengamalkannya itu wajib bagi muslim?

Persoalannya begini, mungkinkah orang bisa mencapai kesucian hati kalau tidak ada metodeloginya? Lalu ada orang berpandangan "OK, bisa!" Baik silakan. Tetapi kalau ada orang yang berpandangan "Wah saya tidak bisa kecuali harus pakai metodelogi". Maka metodelogi ini sesuai dengan kaidah unsur fiqih. "Al amru bil amri bi saih al amri bi wa sahili", Memerintahkan sesuatu berarti perintah untuk mewujudkan media. Orang kalau dengan tarekat ini bisa menjadi lebih baik, lebih bersih, lebih jernih, lebih bening --dan itu unsur pokok dalam agama -- maka tasawuf atau tarekat menjadi wajib.
Tentang pandangan negatif atau penilaian bid’ah segala macam terhadap tasawuf, sumbernya dari mana?

Tasawuf ini dunia yang terbuka. Karena tasawuf intinya adalah dunia spiritual dan spiritualitas itu adalah universal, maka konsep universal kerohanian itu ada di mana-mana. Hindu punya konsep tentang kerohanian. Budha punya konsep kerohanian. Kristiani, Yahudi, Genostik, bahkan pengamal kearifan dan filosof, punya konsep kerohanian. Semua ini seperti samudra yang luas. Lalu orang memandang itu pengaruh eksternal dalam tasawuf (Islam), karena itu tasawuf dikatakan unsur baru di dalam islam. Bid’ah itu unsur baru di dalam islam yang tidak ada konteksnya dengan sumber Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun cara pandang seperti ini sesungguhnya tidak lengkap. Yang lengkap adalah, unsur baru memang ada, namun unsur yang asli dari Al-Qur’an juga ada. Tapi apabila nyata-nyata tasawuf itu mengikuti unsur luar dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an, maka tasawuf itu adalah tasawuf negatif.

Mestinya yang diambil adalah yang sesuai dengan asli dari Al-Qur’an, tetapi kita bisa menerima apapun juga dari dunia luar asal sejalan dengan pakem atau konsep dasar dalam Al-Quran. Konsep dasar dari Al-Qur’an adalah Allah itu bisa didekati.

Bagaimana cara mendekatinya adalah dengan shalat, dzikir, dengan do’a. Sementara dalam Hindu dan Budha adalah dengan cara meninggalkan kehidupan duniawi, cara seperti itu bertentangan dengan prinsip dasar dalam Al-Qur’an. Di sinilah titik temu dari pertanyaan tadi, bahwa ada yang menilai bid’ah atau apriori terhadap tasawuf karena keterbatasan ilmu dan wawasan.

Kita sepakat, kalau hanya mengambil unsur luar Islam yang tidak memakai kerangka Al-Qur’an itu bid’ah dan memang harus kita tolak. Sebaliknya, bila tasawuf ini muncul sebagai mutiara-mutiara dari Al-Qur’an yang kemudian dilengkapi dengan unsur luar yang positif dan sesuai dengan jiwa Al-Qur’an, mengapa tidak dikembangkan? Saya kira begitu.

Benih-benih tasawuf telah tersebar dan bersemayam di dada para Sahabat di saat masih ada Rasulullah. Bisa dijelaskan lebih rinci?

Pada Masyarakat Madinah ada yang disebut ahlu sufa, yakni para sahabat yang tinggal di masjid, beri’tikaf, kalau shalat berjamaah di masjid selalu di awal waktu, karena sudah tua dan hambatan fisik mereka menetap di masjid. Kelompok ini dinilai pengamat sebagai cikal bakal kehidupan tasawuf.

Tetapi jangan lupa mereka ini adalah para pejuang. Mereka ini betul hidup secara kerohanian dan dijamin kehidupan sosialnya oleh Nabi yang diambilkan dari baitul maal. Tapi mereka masih peduli dan tanggung jawab terhadap urusan umat dengan cara pertama, menjadi konsultan.

Contohnya ketika Rasulullah mengangkat Usamah menjadi panglima, Beliau menganjurkan untuk bertanya ke pada ahlu sufa bagaimana penguasaan terhadap medan, tentang strategi perang, dan lain-lain sebelum berangkat.

Yang kedua, mereka menjadi pembuka langit. Ketika Rasulullah mengirim pasukan untuk berperang mereka diminta untuk membantu doa (doa dalam Al-Qur’an adalah bagian daripada peduli dan tanggung jawab). Dan yang ketiga, mereka menjadi kekuatan inti untuk sebagai simbol kekuatan Islam sehingga dalam ayat Al-Qur’an

"Orang-orang awam menyangka mereka itu orang kaya. Karena mereka itu sangat memelihara dirinya, mereka tidak mau meminta, merengek-rengek. Apalagi meminta secara paksa."

Nah kehidupan ini ada di zaman Nabi bahkan Beliau memberikan dukungan. Singkatnya secara historis substansi tasawuf ada pada perilaku Nabi dan sahabatnya. Nama atau istilah ‘tasawuf’ sendiri memang munculnya tahun 101 Hijriyah -- Nabi wafat tahun 11 Hijrah.

Jadi, poinnya, di zaman Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf namun nabi dan sahabatnya telah mempraktekkan perilaku tasawuf. Di zaman kita banyak orang yang mengaku sufi namun kadang-kadang mereka tidak mencerminkan jiwa Al-Qur’an atau akhlak Nabi. Itulah yang menyebabkan orang-orang berkesimpulan bahwa tasawuf itu negatif.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa cikal-bakal tasawuf muncul sebagai sebuah gerakan kritik dan perlawanan terhadap penguasa/ke-khalifahan waktu itu yang bergaya hidup bermewah-mewahan...

Saya kira itu benar, karena Khulafaur Rasyidin yang berkuasa selama 30 tahun sejak Abu Bakar menjadi khalifah dan Ali bin Abi Thalib mengakhiri jabatan pada tahun 662 mereka menciptakan Khilafah Rashidah, yaitu kepemimpinan yang Bani Abbas (750), saat itu terjadi pergeseran mentalitas. Salah satunya Mu’awiyah sendiri berkantor di bangunan mewah bekas peninggalan Gubernur Jenderal Romawi di Damaskus. Para khalifah menguasai lahan dan tanah yang luas. Hal ini membuat mereka bergeser dari akhlak Islam yang sederhana, karimah, dan penuh keteladanan kepada perilaku sebaliknya.

Kondisi ini mengundang keprihatinan sahabat dan tabi’in. Salah satu tabi’in yang vokal adalah Hasan Al Basri lahir di Madinah sepuluh tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Beliau mengajak umat untuk kembali kepada akhlak Nabi, menulis surat kepada penguasa untuk mewujudkan hidup yang sederhana yaitu dengan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba (wol) kasar sebagai simbol kesederhanaan. Maksudnya, menyadarkan pejabat dan rakyat bahwa kita perlu mewujudkan kembali kesederhanaan yang diperlihatkan para Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat utama. Maka tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang dihubungkan dengan wol kasar yang terbuat dari bulu domba, padahal ini sebagi simbol dan media kesederhanaan.

Begitu ini berhasil ada yang tetap mempertahankan pakaian yang sederhana ini sebagai simbol ketasawufan dan ada yang berpikir bahwa ini adalah sebagai media saja untuk menyadarkan pejabat yang jauh dari kesederhaaan. Intinya tasawuf adalah gerakan moral untuk mengembalikan tatanan negara dan umat pada akhlak yang mulia. Maka para pengamat menyimpulkan tasawuf adalah zuhud.

Kritik bukan dari kaum sufi saja, ada dua kritik lain tapi gagal. Misalnya dari Ali Hanafiah dari sisi Akidahnya. Karena Mu’awiyah punya pandangan bahwa Tuhan yang menakdirkan saya menjadi khalifah. Dengan alasan yang sama Mu’awiyah ‘membela’ anaknya Zahid yang berperilaku tidak baik, suka minum-minum, main wanita tapi ‘ditakdirkan’ Tuhan jadi khalifah. "Kalian tidak bisa mengkritik karena ini kehendak mutlak Tuhan". Hal ini melahirkan pandangan Urji’ah atau Jabariah bahwa Tuhan lah yang mutlak sepenuhnya yang berkuasa (Jabariah), Urji’ah (tidak bisa dinilai sekarang nanti saja di akhirat).

Lalu Ali Hanafiah putra Sayyidina Ali mengatakan ‘tidak’, di sini pun harus diwujudkan kebenaran itu dan manusia pun bertanggung jawab. Pemikiran ini melahirkan paham Qodariyah. Kritik ini hanya menjadi wacana ilmu tidak berhasil menyadarkan Bani Umayyah. Ini kritik intelektual.

Kritik berikutnya datang dari Abdullah bin Jubair yang berpendapat Bani Ummayyah tidak bisa ditundukkan dengan cara intelektual, beliau mengusulkan boikot dengan gerakan oposisi. Maka beliau memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan daerah kekuasaan di Mekkah.

Hampir separuh Bani Umayyah itu berada di tangan Abdullah bin Jubair. Salah satu pukulan paling besar bagi Bani Umayyah adalah mereka tidak bisa pergi haji karena Mekkah dikuasai oleh golongan oposisi. Dan hal ini berlangsung selama 18 tahun.

Lalu kemudian Bani Umayyah membangun Ka’bah alternatif di Jerusalem yang jadi kubah tersohor kubah batu emas itu di atas batu tempat Nabi mi’raj. Tetapi tidak ada orang yang menerima karena semua sepakat tempat melaksanakan ibadah haji itu adalah di Baitullah. Akhirnya Bani Umayyah menyelesaikan oposisi ini dengan tindakan militer dengan membunuh Abdullah bin Jubair. Setelah terbunuh kepala Abdullah bin Jubair digantung di Ka’bah selama 7 hari 7 malam. Jadi dengan gerakan intelektual gagal, dengan gerakan boikot gagal, yang berhasil menyadarkan dengan gerakan tasawuf.

Maka ketika kita mengalami krisis di zaman modern coba pengalaman sukses Hasan Al Basri bisa diulang kembali menyadarkan pejabat, menyadarkan koruptor, menyadarkan siapa saja kepada kesucian. Dengan konsep dakwah yang diperluas. Jangan kepada orang pintar saja, jangan kepada orang awam saja, tetapi kepada siapa saja seluruh umat manusia.

Sumber: Surau Baitul Amin

No comments: