Friday, March 9, 2012

Musawarah Burung (Mantiqu't-Thair) - 10

MUSYAWARAH BURUNG (Faraduddin Attar)

Dalih Burung Ketujuh

Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Aku cinta akan emas; bagiku ia seperti buah badam dalam kulitnya yang keras itu. Bila aku tak punya emas, terikat rasanya tangan dan kakiku. Cinta akan keduniawian dan cinta akan emas telah mengisi diriku dengan keinginan-keinginan tak berarti, yang membutakan diriku akan perkara-perkara keruhanian."

Hudhud menjawab, "O kau yang silau karena bentuk-bentuk lahiriah, yang dalam hatimu tak pernah memancar nilai kebenaran! Kau seperti makhluk yang hanya dapat melihat dalam gelap, kau seperti semut, yang tertarik oleh rupa. Berusahalah memahami makna segala sesuatu. Tanpa warna, emas hanyalah, logam biasa; namun kau terpikat oleh warna, serupa anak kecil.

Cinta akan emas tak layak bagi manusia sejati; kenapa orang menyembunyikan emas dalam faraj bagal?1 Adakah benda-benda berharga disembunyikan orang di tempat demikian? Jika kau tak membiarkan sesamamu mendapat manfaat karena emasmu, kau pun tak akan beroleh manfaat pula.
Tetapi bila kau berikan sekeping obol2 kepada si malang yang miskin, kalian berdua akan mendapat manfaat. Jika kau punya emas, banyaklah yang dapat kauberi manfaat dengan itu; tetapi jika pundakmu bercap,3 itu pun karena emas juga. Untuk sebuah toko, kau harus membayar sewa dan kadang-kadang harganya itu jiwamu sendiri. Demi usahamu, kau korbankan apa saja, juga mereka yang menjadi pautan hatimu, dan pada akhirnya kau tak memiliki apa-apa. Kita hanya berharap agar kemujuran akan menyediakan sebuah tangga di bawah tiang gantungan. Itu tak berarti bahwa kau tak usah menggunakan benda-benda duniawi sama sekali, tetapi hendaknya kaupergunakan apa yang kaumiliki itu secara luas. Nasib baik hanya akan datang padamu apabila kau memberi. Jika kau tak dapat meninggalkan hidup sama sekali, setidak-tidakaya kau dapat membebaskan dirimu dari cin ta akan kekayaan dan kehormatan."

Dalih Burung Kedelapan
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Hatiku menyala karena gembira, sebab aku tinggal di sebuah tempat yang menawan. Aku punya istana emas teramat indah hingga siapa saja mengaguminya, dan di sana aku hidup dalam kepuasan. Bagaimana mungkin aku diharapkan untuk meninggalkannya? Di istana ini aku seperti raja burung-burung, maka mengapa pula aku bersusah payah di lembah-lembah yang kausebutkan itu? Mestikah aku meninggalkan istanaku dan kedudukanku sebagai raja? Tiada makhluk yang berpikiran sehat akan meninggalkan taman Iram untuk menempuh perjalanan yang begitu berat dan sulit!"

Hudhud menjawab, "O kau yang tanpa cita-cita dan semangat! Adakah kau anjing? Atau inginkah kau menjadi pelayan dalam hammam? Dunia bawah ini hanyalah sebuah bilik panas dan istanamu sebagian daripadanya. Meski istanamu sebuah sorga sekalipun, namun pada suatu hari maut akan mengubahnya menjadi penjara penderitaan. Hanya jikalau maut berhenti menggunakan kekuasaannya atas segala makhluk akan baiklah bagimu untuk tinggal puas di istana emasmu."

Dalih Burung Kesembilan
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "O burung termulia, aku hamba si jelita yang telah menguasai diriku dan membuat aku kehilangan pikiran. Bayangan wajahnya yang manis ialah pencuri di Jalan yang agung itu; dia telah membakar panenan hidupku, dan bila aku terpisah daripadanya, tak sejenak pun aku merasa tenteram. Karena hatiku menyala dengan gairah nafsu, aku pun tak tahu bagaimana aku dapat menempuh perjalanan ini. Aku harus melintasi lembah demi lembah dan menempuh seratus percobaan. Dapatkah aku diharapkan akan meninggalkan si jelita ini untuk pergi menempuh panas yang menghanguskan dan dingin yang pedih? Aku terlalu lemah untuk pergi tanpa dia; dan aku hanya debu di jalannya. Begitulah keadaanku. Apa dayaku?"

Hudhud menjawab, "Kau terikat pada apa yang tampak di mata saja, dan akibatnya, menderita dari kepala hingga kaki. Cinta berahi ialah suatu permainan. Cinta yang ditimbulkan oleh kecantikan yang sepintas dengan sendirinya cepat berlalu pula. Kau senantiasa membandingkan tubuh dari darah dan nafsu dengan keindahan bulan.

Apakah yang lebih buruk dari tubuh yang terjadi dari daging dan tulang-tulang? Keindahan sejati tersembunyi. Maka carilah itu, di dunia yang tak tampak di mata. Jika cadar yang menyembunyikan kerahasiaan ini dari pandangan matamu luruh, maka tak ada lagi yang tinggal di dunia ini. Segala bentuk yang kelihatan akan menjadi tak berarti."

Dalih Burung Kesepuluh
Burung ini berkata pada Hudhud, "Aku takut akan maut. Kini lembah ini luas, dan aku tak punya apa-apa sama sekali untuk perjalanan ini. Aku amat diliputi ketakutan akan maut sehingga aku akan mati di tempat perhentian pertama. Andaikan aku seorang amir yang penuh kuasa sekalipun, pada saat datangnya ajal, akan tak kurang juga ketakutanku. Ia yang dengan pedangnya mencoba menangkis maut, akan mendapatkan pedangnya itu patah bagai sebatang kalam; sebab sayang, kepercayaan akan kekuatan tangan dan pedang hanya akan membawa kekecewaan dan kesedihan."

Hudhud menjawab, "O kau yang lembek dan lemah kemauan, inginkah kau tinggal hanya sebingkai tulang dan sumsum semata? Tidakkah kau tahu bahwa hidup ini, baik panjang atau singkat, tercipta dari sekelumit nafas? Tidakkah kau mengetahui bahwa barangsiapa dilahirkan harus mati pula? Bahwa ia akan masuk tanah dan bahwa angin akan mencerai-beraikan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya?

Kau diberikan pada maut sebagai santapannya; dan kau dimasukkan ke dunia untuk disingkirkan dari sana pula! Langit bagai pinggan terbalik, yang setiap senja tercelup dalam darah matahari terbenam. Dapat dikatakan bahwa matahari itu, bersenjatakan pedang bengkok, tengah memenggal kepala demi kepala di pinggan ini. Apakah kau baik atau buruk, kau hanyalah setitik air dicampur dengan tanah. Meskipun sepanjang hidupmu kau mungkin ada dalam kedudukan yang penuh kekuasaan, pada akhirnya kau akan mengalami bencana kematian juga."

Dalih Burung Kesebelas
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "O kau dengan kepercayaanmu yang tulus, tak sedikit pun ada kemauan baik padaku. Aku telah menghabiskan hidupku dalam kekesalan, menginginkan dunia ini. Ada semacam kesedihan dalam hatiku sehingga aku tak henti-hentinya meratap. Aku selalu dalam keadaan bingung dan tak berdaya; dan bila sejenak aku merasa puas, maka aku pun tak percaya. Dengan sendirinya aku pun telah menjadi darwis. Tetapi kini aku ragu-ragu untuk menempuh jalan pengetahuan ruhani. Jika hatiku tak begitu penuh duka, tentulah aku akan tertarik pula dengan perjalanan ini. Tetapi sebagaimana adanya, aku dalam kebingungan. Kini setelah kubeberkan ihwalku di mukamu, katakan padaku apa yang mesti kuperbuat."

Hudhud berkata, "Kau, yang telah menjadi korban kesombongan, yang tenggelam dalam rasa kasihan terhadap diri sendiri, kau memang patut merasa terusik. Mengingat bahwa dunia ini hanya selintas, maka kau sendiri pun hanya akan melintas lalu pula di sana. Tinggalkanlah dia, karena barangsiapa jadi terikat dengan apa yang fana tak mungkin ambil bagian dalam apa yang kekal. Penderitaan-penderitaan yang kauderita dapat menjadi mulia dan tidak menyebabkan hina. Apa yang pada lahirnya merupakan penderitaan dapat menjadi harta kekayaan bagi si arif. Seratus rahmat akan datang padamu bila kau berusaha menempuh Jalan itu. Tetapi sebagaimana keadaanmu kini, kau hanya kulit pembungkus otak yang tumpul."

Syaikh dan Muridnya
Seorang murid yang masih muda, tak diketahui syaikhnya (seperti dikiranya) mempunyai sekedar simpanan emas. Syaikh itu tak berkata apa-apa, dan suatu hari mereka pergi bersama-sama dalam suatu perlawatan. Akhirnya mereka sampai ke sebuah lembah yang gelap; di tempat masuk ke lembah itu terbentang dua jalan. Si murid mulai khawatir, sebab emas (memang) merusak pemiliknya. Gemetar ia pun bertanya pada syaikhnya, "Jalan mana yang mesti kita tempuh?" Syaikh itu menjawab, "Bebaskan dirimu dari apa yang membuatmu khawatir itu, maka jalan mana pun tak menjadi soal. Setan takut akan orang yang tak mempedulikan uang, dan cepat akan menghindar daripadanya. Demi sebutir emas kau membelah sehelai rambut. Secara agama, emas seperti keledai yang lumpuh; tak ada harganya, hanya merupakan beban. Bila kekayaan datang pada seseorang dengan tak disangka-sangka, mula-mula akan membuatnya bingung, kemudian menguasainya. Ia yang terikat dengan cinta akan uang dan harta milik, terikatlah tangan dan kakinya dan dilontarkan ke dalam lubang-penjara. Hindarilah lubang penjara yang dalam ini jika kau bisa; jika tidak, tahan nafasmu, sebab udara didalamnya amat luar biasa pengapnya."

Tuhan Menegur Seorang Darwis
Seorang suci yang telah menemukan ketenteraman dalam Tuhan menyerahkan seluruh dirinya dalam sembah dan puja selama empat puluh tahun. Ia telah melarikan diri dari dunia ini, tetapi karena Tuhan begitu mesra menyatu padanya, orang itu pun merasa puas. Darwis ini telah memagari sebidang tanah di gurun; di tengah-tengahnya ada sebatang pohon, dan di pohon itu seekor burung telah membuat sarangnya. Nyanyian burung itu merdu terdengar, karena setiap nadanya mengandung seratus rahasia. Hamba Tuhan itu terpesona. Tetapi Tuhan menyampaikan pada seorang arif tentang ihwal peristiwa itu dengan kata-kata ini, "Katakan pada sufi itu bahwa aku heran setelah berkhusyuk selama bertahun-tahun, ia telah berhenti dengan menjual aku seharga seekor burung. Memang benar burung itu mengagumkan, tetapi nyanyiannya telah menjerat sufi itu dalam sebuah perangkap. Aku telah membeli dia dan dia telah menjual aku."


... Bersambung

No comments: