Thursday, August 18, 2011

Berdzikirlah Kau Sebanyak Banyaknya


Jalaluddin Rumi pernah bercerita tentang seorang penduduk Konya yang punya kebiasaan aneh; ia suka menanam duri di tepi jalan. Ia menanami duri itu setiap hari sehingga tanaman berduri itu tumbuh besar. Mula-mula orang tidak merasa terganggu dengan duri itu. Mereka mulai protes ketika duri itu mulai bercabang dan menyempitkan jalan orang yang melewatinya. Hampir setiap orang pernah tertusuk durinya. Yang menarik, bukan orang lain saja yang terkena tusukan itu, si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri dari tanaman yang ia pelihara.

Petugas kota Konya lalu datang dan meminta agar orang itu menyingkirkan tanaman berduri itu dari jalan. Orang itu enggan untuk menebangnya. Tapi akhirnya setelah perdebatan yang panjang, orang itu berjanji untuk menyingkir-kannya keesokan harinya. Ternyata di hari berikutnya, ia menangguhkan pekerjaannya itu. Demikian pula hari berikutnya. Hal itu terus menerus terjadi, sehingga akhirnya, orang itu sudah amat tua dan tanaman berduri itu kini telah menjadi pohon yang amat kokoh. Orang itu tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam.

Di akhir cerita, Rumi berkata: “Kalian, hai hamba-hamba yang malang, adalah penanam-penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan-kebiasaan buruk kalian, perilaku yang tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, sudah banyak orang yang menjadi korban dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan tangguhkan untuk memotong duri-duri itu. Ambil-lah sekarang kapak dan tebang duri-duri itu supaya orang bisa melanjutkan perjalanannya tanpa terganggu oleh kamu.”

Perjalanan tasawuf dimulai oleh pem-bersihan diri dengan pemangkasan duri-duri yang kita tanam melalui perilaku kita yang tercela. Jika tidak segera dibersihkan, duri itu satu saat akan menjadi terlalu besar untuk kita pangkas dengan memakai senjata apa pun. Praktek pembersihan diri itu dalam tasawuf disebut sebagai praktek takhliyyah, yang artinya mengosongkan, mem-bersihkan, atau mensucikan diri. Seperti halnya jika kita ingin mengisi sebuah botol dengan air mineral yang bermanfaat, pertama-tama kita harus mengosongkan isi botol itu terlebih dahulu. Sia-sia saja bila kita memasukkan air bersih ke dalam botol, bila botol itu sendiri masih kotor. Proses pembersihan diri itu disebut takhliyyah. Kita melakukan hal itu melalui tiga cara; lapar (upaya untuk membersihkan diri dari ketundukan kepada hawa nafsu), diam (upaya untuk mem-bersihkan hati dari penyakit-penyakit yang tumbuh karena kejahatan lidah), dan shaum.

Setelah menempuh praktek pembersihan diri itu, para penempuh jalan tasawuf kemudian mengamalkan praktek tahliyyah. Yang termasuk pada golongan ini adalah praktek zikir dan khidmah atau pengabdian kepada sesama.

Suatu saat, Imam Ghazali ditanya oleh seseorang, “Katanya setan dapat tersingkir oleh zikir kita, tapi mengapa saya selalu berzikir namun setan tak pernah terusir?” Imam Ghazali men-jawab, “Setan itu seperti anjing. Kalau kita hardik, anjing itu akan lari menyingkir. Tapi bila di sekitar diri kita masih terdapat makanan anjing, anjing itu tetap akan datang kembali. Bahkan mungkin anjing itu bersiap-siap mengincar diri kita, dan ketika kita lengah, ia menghampiri kita. Begitu pula halnya dengan zikir, zikir tidak akan ber-manfaat bila di dalam hati kita masih kita sediakan makanan-makanan setan. Ketika sedang memburu makanan, setan tidak akan takut untuk digebrak dengan zikir mana pun. Pada kenyataan-nya, bukan setan yang menggoda kita tetapi kitalah yang menggoda setan dengan berbagai penyakit hati yang kita derita.” Zikir harus kita mulai setelah kita membersihkan diri kita dari berbagai penyakit hati dan menutup pintu-pintu masuk setan ke dalam diri kita.

Dalam Islam, seluruh amal ada batas-batasnya. Misalnya amalan puasa, kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya pada bulan Ramadhan saja. Demikian pula amalan haji, kita dibatasi waktu untuk melakukannya. Menurut Imam Ghazali, hanya ada satu amalan yang tidak dibatasi; yaitu zikir. Al-Quran mengatakan: Berzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab: 41) Dalam amalan-amalan lain selain zikir yang diutamakan adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya. Yang penting adalah baik tidaknya amal bukan banyak tidaknya amal itu. Kata sifat untuk amal adalah ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Tapi khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Karena zikir harus kita lakukan sebanyak-banyaknya, maka tidak ada batasan waktu untuk berzikir.

Allah swt memuji orang yang selalu berzikir dalam setiap keadaan. Al-Quran menyebutkan: Orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring. (QS. Ali Imran: 191) Dalam ayat lain, Allah berfirman: Setelah selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah: 10) Bahkan ketika kita mencari anugerah Allah, bekerja mencari nafkah, kita tak boleh meninggalkan zikir.

Al-Quran menyebutkan orang yang tidak berzikir sebagai orang yang munafik. Dalam surat Al-Nisa ayat 142, Tuhan berfirman: Dan tidaklah mereka (orang munafik) berzikir kepada Allah kecuali sedikit saja. Jadi, salah satu ciri orang munafik adalah zikirnya sedikit.

Tidak apa-apa bila kita berzikir dengan pengucapan yang salah. Karena yang dinilai bukan baik tidaknya zikir kita, tetapi banyak atau tidaknya zikir itu. Emha Ainun Nadjib pernah bercerita kepada saya: Satu saat, sebuah rombongan kyai beserta para santri dan pembantunya pergi naik haji dengan menggunakan kapal laut. Seluruh isi pesantren itu ikut berangkat haji, termasuk seorang perempuan tukang masak. Suatu hari, kyai berjalan di sekitar kapal itu untuk melihat-lihat. Ia menjumpai tukang masaknya sedang mengulek sambal sambil berzikir. Kyai itu berkata bahwa zikir itu diucapkan oleh perempuan tukang masak secara salah. Pengucapannya keliru. Mbok tukang masak itu menjawab, “Wah, aku lupa, catatan zikir itu tertinggal di rumah.” Tiba-tiba, perempuan itu meninggalkan kapal laut yang tengah berlayar dan meloncat ke atas air. Tukang masak itu bisa berjalan di atas air. Sang kyai pun pingsan.

Kyai dalam cerita itu hanya memperhati-kan ucapan zikir secara lahiriahnya saja sementara tukang masak itu berzikir dengan penuh keikhlas-an. Sehingga zikir itu berdampak pada dirinya, meskipun ia mengucapkannya dengan salah.

Kita tidak usah ragu untuk mengamalkan zikir, meskipun makhraj kita banyak yang keliru. Untungnya, zikir yang paling utama, yaitu kalimat agung Allah adalah zikir yang paling mudah untuk dilafalkan oleh siapa saja. Bahkan oleh orang Jepang sekali pun yang kesulitan dalam meng-ucapkan huruf lam. Sehingga kecil kemungkinan untuk mengucapkannya secara salah.

Allah swt berulang kali memerintahkan kepada Nabi, makhluk yang paling dikasihinya, untuk memelihara zikirnya. Dalam surat Al-Muzammil ayat 7-8, Tuhan berfirman: Sesungguh-nya kamu pada siang itu bertasbih yang panjang dan berzikirlah kamu kepada Tuhanmu dan berserahdirilah kepada Dia dengan penyerahan diri yang sepenuhnya. Allah juga berfirman khusus kepada Rasulullah saw: Berzikirlah kamu menyebut asma Tuhanmu pada waktu pagi dan sore. Dan di waktu malam hendaklah kamu bersujud kepada-Nya dan bertasbihlah pada malam yang panjang. (QS. Al-Insan: 25-26) Nilai panjangnya suatu malam tidak diukur oleh jam tapi oleh lamanya kita berzikir.

Dalam ayat lain, Tuhan berfirman: …Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya. Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang. (QS. Qaf: 39-40) Kemudian dalam surat Al-Thur ayat 48-49, Tuhan berfirman: “…Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar). Surat Al-Muzammil ayat 6 berbunyi: Sesungguhnya bangun di waktu malam itu mempunyai dampak yang sangat kuat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Yang dimaksud dengan bacaan di waktu malam adalah zikir.

Perintah zikir kepada Rasulullah saw adalah juga sekaligus perintah zikir kepada umat Rasulullah saw yang harus mencontoh Nabinya yang mulia. Kita temukan dalam ayat-ayat Al-Quran itu perintah untuk berzikir pada waktu pagi dan sore. Zikir diperintahkan untuk dilakukan sebanyak-banyaknya tetapi lebih diutamakan pada waktu pagi dan sore.

Perintah zikir juga terdapat dalam beberapa hadis Nabi. Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman, “Aku akan menyertai hamba-Ku ketika dia berzikir kepada-Ku dan ketika bibirnya menyebut nama-Ku.” Pada hadis lain, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin selalu berjalan-jalan di taman surga, hendaklah dia memperbanyak zikir kepada Allah azza wa jalla.” Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Amal paling utama adalah engkau mati dan bibirmu masih basah menyebut Allah Ta’ala.” Hadis yang lain menyebutkan Rasulullah saw bersabda, “Masukilah waktu pagi dan sore dengan lidahmu yang basah dengan zikir kepada Allah.”

Berikutnya Rasulullah saw bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Apabila hamba-Ku berzikir kepada-Ku sendirian, Aku pun akan menyebut namanya sendirian. Apabila hamba-Ku menyebut nama-Ku dalam suatu kumpulan, Aku pun akan menyebut namanya dalam kumpulan yang lebih utama dari kumpulan dia. Dan apabila dia mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri kepadanya satu siku. Apabila dia mendekatkan diri kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan mendekatkan diri kepadanya sambil berlari.” Hadis ini menyatakan tentang bolehnya zikir berjamaah dan tentang keutamaan majelis-majelis zikir.

Hadis ini sekaligus menyanggah pendapat Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan bahwa zikir berjamaah itu bid’ah. Ibnu Taimiyyyah, yang terkenal karena kebenciannya kepada tasawuf dan tuduhannya bahwa para sufi itu kafir, berkata: “Sesungguhnya majelis zikir itu bid’ah. Karena tidak ada di zaman Rasulullah saw dan para sahabatnya. Yang ada di zaman Rasulullah saw itu adalah majelis untuk mengajarkan Al-Quran dan fikih. Adapun majelis zikir adalah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada pengikut tasawuf abad ke-2 Hijriah. Setelah itu, pada majelis zikir itu masuk tarian, nyanyian, dan memukul-mukul genderang yang mengacaukan zikir.”

Pada beberapa kelompok tarekat, zikir dibaca sambil menabuh genderang atau alat musik lain. Sampai sekarang, tarekat Maulawi yang bersumber kepada Jalaluddin Rumi, membaca zikir sambil menari. Mengenai Jalaluddin Rumi dan zikir terdapat satu riwayat yang menarik: Pada suatu saat, Rumi mengasingkan diri atau khalwat untuk menulis bukunya yang terkenal Matsnawi-e Ma’nawi. Setelah khalwat, ia keluar dan menjumpai sekumpulan orang yang berdiskusi secara filosofis tentang sumber kehidupan manusia. Mereka berkesimpulan bahwa darahlah yang menjadi sumber kehidupan manusia. Rumi lalu meminta pisau dan mengerat pembuluh nadinya sendiri. Darah keluar dari tubuh Rumi sampai ia pucat pasi. Setelah itu, Rumi menari-nari dengan menyebut asma Allah selama berjam-jam dan ia tidak mati. Kemudian Rumi berkata, “Yang menghidupkan kita sebenarnya bukan darah atau makanan, tetapi dzikrullah.” Rumi yang mengajarkan zikir sambil menari banyak dikritik para ulama. Sebetulnya, sebelum menjadi sufi, Rumi adalah seorang ahli fikih. Ketika ulama datang menggugat tarian zikirnya, Rumi berkata pada ulama itu, “Bukankah kamu seorang ahli fikih? Kamu pasti tahu kaidah fikih yang berbunyi: Dalam keadaan darurat, yang terlarang pun diperbolehkan. (Misalnya ketika kita kelaparan, daging babi pun menjadi halal untuk kita makan, -red.) Ulama ahli fikih itu pun menjawab, “Ya, memang begitu.” Lalu Rumi berkata, “Saya ingin tarian-tarian itu bisa menyelamatkan ruh yang sudah mati. Bila untuk tubuh yang mati saja, barang yang haram diperbolehkan, apalagi untuk ruh manusia yang lebih berharga dari tubuhnya. Itu pun jika menari dianggap haram.” Sekiranya haram sekali pun, tapi bila menari dapat menye-lamatkan ruh kita, maka menari menjadi halal.

Tidak seluruh ajaran agama harus ada contohnya dari Rasulullah saw. Bisa saja Nabi hanya mengatakan itu tapi ia tidak melakukannya. Misalnya, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk berziarah ke makamnya. Nabi bersabda, “Barangsiapa yang berziarah kepadaku setelah aku meninggal dunia sama dengan berkunjung kepadaku ketika aku masih hidup.” Nabi tidak mencontohkan untuk berziarah ke makamnya sendiri. Yang dimaksud dengan sunnah Nabi bukan hanya yang beliau contohkan saja. Yang dicontohkan oleh Nabi disebut sunnah fi’liyyah. Ada juga yang disebut dengan sunnah qawliyyah, yaitu sunnah yang diucapkan oleh Nabi dan sunnah taqririyyah, sunnah dari diamnya Nabi.

Berikut ini adalah hadis tentang keutama-an majelis zikir. Rasulullah saw bersabda, “Bila suatu kaum duduk dalam satu majelis dan bersama-sama berzikir kepada Allah swt, para malaikat akan mengiringi mereka dan mencurah-kan kepada mereka rahmat Allah swt.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang sahih dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Jika satu kaum berkumpul berzikir kepada Allah dan mereka hanya mengharapkan keridaan Allah, para malaikat akan berseru dari langit: Berdirilah kalian dengan ampunan Allah kepada kalian dan seluruh keburukan kalian telah Allah ganti dengan kebaikan.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dengan sanad yang hasan, Rasulullah saw bersabda, “Jika satu kaum duduk dalam suatu majelis tetapi selama mereka kumpul itu mereka tidak menyebut asma Allah swt atau shalawat kepada Rasulullah saw, maka majelis itu akan menjadi penyesalan yang dalam di hari kiamat nanti.”

Zikir bisa diklasifikasikan berdasarkan apa yang kita baca. Menurut Abu Atha’ Al-Sukandari, zikir dapat dikelompokkan menjadi zikir yang berisi pujian kepada Allah swt, misalnya subhânallâh (Mahasuci Allah), alhamdulillâh (segala puji bagi Allah), dan lâilâha illallâh huwa allâhu akbar (tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Agung), tapi ada juga zikir yang berisi doa kepada Allah. Misalnya rabbanâ âtinâ fid dunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah. Zikir pun bisa berisi percakapan kita dengan Allah swt. Dalam zikir itu hanya terdapat ungkapan perasaan kita kepada Allah. Zikir seperti itu disebut Munajat. Orang yang sudah mencapai maqam tertentu, selalu berzikir dengan Munajat. []

[Kuliah Tasawuf: Meraih Cinta Ilahi]

No comments: