Wednesday, April 6, 2011

Sufi Road : Hikayat-hikayat Mistis

Syaikh Al-Isyraq, Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi

Bahasa Semut

Bunglon dan Kelelawar

Suatu kali pernah timbul pertentangan antara beberapa
ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka
sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu sudah
melampaui batas. Para kelelawar setuju bahwa jika saat
petang menjelang malam telah menyebar melalui ceruk
lingkaran langit, dan matahari telah turun di hadapan
bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari, mereka
akan bersama-sama menyerang si bunglon dan, setelah
menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka hati dan
melampiaskan dendam. Ketika saat yang dinantikan tiba,
mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama
menyeret bunglon yang malang dan tak berdaya itu ke dalam
sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.

Ketika fajar tiba, mereka bertanya-tanya apakah sebaiknya
bunglon itu disiksa saja. Mereka semua setuju bahwa dia
harus dibunuh, tetapi mereka masih merencanakan bagaimana
cara terbaik untuk melaksanakan pembunuhan itu. Akhirnya
mereka memutuskan bahwa siksaan yang paling menyakitkan
adalah dihadapkan pada matahari. Tentu saja, mereka sendiri
tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan, selain
berada dekat dengan matahari; dan, dengan membuat analogi
dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam supaya dia
memandang matahari. Bunglon itu, sudah pasti, tidak
mengharapkan yang lebih baik lagi. 'Penghukuman' semacam itu
persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana dikatakan
oleh Husayn Manshur,Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan
terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada
dalam kematianku, dan kematianku ada dalam
hidupku. (keterangan: baris-baris ini terdapat
dalam Al-Hallaj, 14.1)

Maka ketika matahari terbit, mereka membawanya keluar dari
rumah mereka yang menyedihkan agar dia tersiksa oleh cahaya
matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan
keselamatan baginya.

Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur
dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)

Kalau saja para kelelawar itu tahu betapa murah hati
tindakan mereka terhadap bunglon itu, dan betapa mereka
telah berbuat keliru, karena mereka justru memberinya
kesenangan, mereka pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani
berkata, "Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka
telah mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka
pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)
--------------------------------------------------------------------

Burung Merak Raja di Bawah Keranjang

Seorang raja mempunyai sebuah taman, yang sepanjang
empat musim selalu ditumbuhi tanam-tanaman yang wangi, hijau
subur dan menyenangkan. Air mengalir berlimpah-limpah
melaluinya, dan segala macam burung bernyanyi dari
dahan-dahan pohon. Setiap hal yang baik dan indah yang dapat
kita bayangkan terdapat di dalam taman itu. Dan di antara
semuanya itu ada sekelompok burung merak yang cantik.

Sekali waktu sang raja mengambil salah seekor burung merak,
dan memerintahkannya agar ia dimasukkan ke dalam kantung
kulit supaya bulu-bulunya tidak dapat dilihat, sehingga ia
tidak dapat mengagumi keindahannya sendiri dengan cara apa
pun. Dia juga memerintahkan agar burung merak itu
ditempatkan di bawah sebuah keranjang yang hanya mempunyai
satu lubang, melalui lubang itu sedikit biji-bijian dapat
dituangkan ke dalamnya untuk makanannya.

Lama waktu berlalu. Burung merak itu lupa pada dirinya
sendiri, sang raja, taman, dan burung-burung merak lainnya.
Ia melihat pada dirinya sendiri. Burung tersebut tidak
melihat apa-apa kecuali kantung kulit yang kotor itu. Ia
mulai menyukai tempat tinggalnya yang gelap dan jelek; ia
percaya di dalam hatinya bahwa tidak mungkin ada tempat yang
lebih besar dari ruangan di dalam keranjang itu, sedemikian
rupa sehingga ia menganggapnya sebagai keyakinan bahwa jika
ada orang menyatakan tentang suatu kehidupan, tempat tinggal
atau kesempurnaan di luar yang ia ketahui, maka ia
menganggapnya sebagai kekafiran mutlak, omong kosong besar
dan kebodohan yang murni.

Sekalipun demikian, setiap kali angin segar berhembus, dan
harumnya bunga-bunga dan pepohonan, violet (= sejenis
tumbuhan yang bunganya berbau harum), melati dan tumbuhan
rempah-rempah sampai ke hidung burung itu, ia merasakan
kesenangan yang mengejutkan melalui lubang itu. Timbul
kekhawatiran di dalam hatinya. Ia merasakan adanya hasrat
untuk pergi dan kerinduan batin, tetapi ia tidak tahu dari
mana kerinduan itu berasal, sebab, kecuali kantung kulit
itu, ia tidak mengetahui apa-apa; selain keranjang itu,
tidak ada dunia lain; selain biji-bijian itu, tidak ada
makanan lain. Ia telah melupakan semuanya. Ketika
sekali-sekali ia mendengar suara burung-burung merak
bernyanyi, dan burung-burung lain berlagu, kerinduan dan
hasratnya timbul; tetapi ia tidak terbangunkan oleh
suara-suara burung-burung itu atau hembusan angin. Pernah ia
bergairah memikirkan sarangnya.

Angin sepoi-sepoi bertiup menyentuhku
dan hampir mengucapkan kata-kata,
'aku adalah kurir untukmu dari kekasihmu.'

(13) Lama sekali ia memikirkan apa sesungguhnya angin yang
harum itu, dan darimanakah bunyi-bunyian yang indah itu
datang.

Wahai kilat yang menyambar,
dari perlindungan siapa engkau muncul?

Tetapi ia tidak sadar-sadar juga, meskipun sepanjang masa
itu kesenangan tetap tinggal di hatinya.

Ah, kalau saja Laila sekali saja
mengirimkan salam karunianya, meskipun
diantara kami terbentang debu dan bebatuan besar.

Salam kegembiraanku akan merupakan jawabnya,
atau akan menjeritlah kepadanya si burung hantu,
burung sakit yang memekik di tengah keremangan
kuburan.


Burung merak itu bodoh, karena ia telah lupa kepada dirinya
dan juga tanah airnya.

... janganlah hendaknya kamu bertingkah seperti
orang yang melupakan Allah, yang mengakibatkan
Allah membuat mereka lupa diri pula. (QS 59:19)


Setiap kali hembusan angin atau suara-suara datang dari
taman, timbul hasrat dalam diri si burung merak tanpa
mengetahui mengapa demikian.

Kedua baris ini adalah karya seorang penyair:


Kilat Ma'arra bergerak di tengah malam, ia
melewati malam di Rama yang melukiskan
kebosanannya.

Ia benar-benar menyedihkan para penunggang,
kuda-kudanya, unta-unta, dan terus bertambah
menyedihkan, hingga ia hampir menyedihkan
pelana-pelana

catatan: baris-baris ini berasal
dari Al-Ma'arri, Siqth al-Zand. hal. 51).


(14) Ia tetap kebingungan selama beberapa waktu, sampai
suatu hari sang raja memerintahkan agar burung itu
dilepaskan dari keranjang dan kantung kulitnya untuk dibawa
menghadapnya.


Peristiwa kebangkitan itu terjadi hanya dengan
satu kali tiupan sangkakala saja. (QS 37:19)

Apakah dia tidak mengetahui, apabila nanti sudah
dibangkitkan segala isi kubur? Dan telah
terungkap segala isi kalbu? Sesungguhnya Tuhan
mereka pada hari itu maha mengetahui
keadaannya. (QS 100:9-11)


Ketika burung keluar dari penutupnya, burung merak itu
melihat dirinya berada di tengah-tengah taman. Ketika
memandang bulu-bulunya sendiri, dan melihat taman beserta
aneka ragam bunganya, atmosfir dunia, kesempatan untuk
berjalan kesana-kemari dan terbang tinggi, serta semua
suara, irama, bentuk dan berbagai benda yang ada, ia berdiri
mendesah seakan-akan tak sadarkan diri (ejakulasi teofanik
'syath' yang terkenal dari Husayn ibn Manshur Al-Hallaj).


Wahai, sungguh aku menyesali kelalaianku dalam
memenuhi kewajiban kepada Allah. (QS 39.56)

Lalu Kami singkapkan tabir yang menutupi
matamu, maka pandanganmu menjadi lepas jelas. (QS
50:22)

Mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,
padahal ketika itu kamu melihat orang yang
sedang melepaskan nyawanya itu, sedangkan Kami
lebih dekat lagi kepadanya daripada kamu,
namun kamu tidak melihat? (QS 56:83-85)

Jangan berbuat begitu, kelak kamu akan tahu
akibatnya. Sekali lagi, jangan berbuat begitu,
kelak kamu akan tahu juga akibatnya. (QS
102:3-4)

Sumber : KHAZANAH ILMU-ILMU ISLAM,

No comments: