Thursday, February 18, 2010

Islam di Aljazair gencar mempromosikan Sufisme

Pemerintah memberikan peran yang lebih luas kepada para penganut aliran sufi ini.

Pagi sebentar lagi tiba. Satu per satu warga mulai bersiap diri untuk memulai hari. Namun, kesibukan yang berlangsung tak lantas memecah konsentrasi sebagian orang yang sedang tekun berzikir di sebuah masjid di kawasan luar Kota Aljier, ibu kota Aljazair.

Ada sekitar 60 orang yang terlibat dalam kegiatan itu. Dengan duduk bersila sambil membentuk lingkaran, mereka khusyuk melantunkan tahmid, tahlil, dan tasbih, memuja Allah dan Rasul-Nya.

Mereka adalah anggota sebuah majelis zikir. Dan seperti halnya di Indonesia, jumlah majelis zikir di negara yang berada di Afrika Utara itu terus bertambah dari waktu ke waktu.

Satu hal penting, patut menjadi catatan, majelis zikir di Aljazair kebanyakan menganut aliran sufi. Perkembangan tersebut tak lepas dari peran pemerintah. Mereka ingin memacu aktivitas keagamaan ini sebagai program prioritas, khususnya guna menyebarluaskan ajaran sufi.

Pertanyaannya, apa urgensi dari kebijakan itu? Seperti diketahui, sudah sejak lama negara ini dilanda konflik yang melibatkan tentara pemerintah dengan kelompok Islam, dan telah menimbulkan kerugian besar baik jiwa maupun harta benda.

Setelah melalui pendekatan keamanan; penggerebekan, penahanan, bahkan kontak senjata, yang terbukti tidak membuahkan hasil, pemerintah Aljazair mencoba upaya baru untuk menghentikan konflik. Mendorong semangat beragama di kalangan masyarakat luas, kini menjadi 'senjata' andalan pemerintah.

Aliran sufisme pun gencar digemakan di seantero negeri. Sufisme dianggap sebagai solusi tepat untuk mengatasi gejolak sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian dan kebersamaan.

Berbagai langkah segera bergulir. Antara lain, adanya program di televisi dan radio guna menyebarluaskan sufisme. Sejumlah tokoh agama berpengaruh dilibatkan untuk mengenalkan dan memberikan pemahaman terkait sufisme ini. Kegiatan tersebut tentu saja berada dalam pengawasan pemerintah.

Pada dasarnya, aliran sufi bisa ditemukan di hampir semua negara mayoritas Islam di dunia. Pengikut aliran sufi akan menomorsatukan ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah, baik melalui pengajian, zikir, dan ibadah lainnya. Mereka pun biasanya memilih menjauhkan diri dari kehidupan politik.

Di lain pihak, aliran salafi banyak dianut oleh anggota kelompok perlawanan yang ingin mengubah kondisi negara sesuai nilai-nilai Islam. Salafi yang berkembang pertama kali di Arab Saudi adalah sebuah gerakan paham politik Islamisme yang mengambil pemahaman leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam sebagai paham dasar.

Atas pemikiran itu, ideologi salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam seperti yang dipraktikkan pada masa Rasulullah. Mereka tidak menghendaki inovasi yang telah dan akan ditambahkan dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam.

Meski demikian, di Aljazair, sufi belum dipraktikkan secara luas. Salah satu alasannya lantaran sebagian besar masjid dan mushala lebih condong mengikuti paham salafi tadi.

Berapa jumlah pengikut aliran sufi di Aljazair, tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut George Joffe, peneliti pada departemen riset Center of International Study, Universitas Cambridge, saat ini diperkirakan terdapat sekitar satu hingga 1,5 juta pengikut sufi dari total populasi 34 juta jiwa.

Para pejabat pemerintah berkeyakinan, sufisme bisa menciptakan perdamaian permanen di Aljazair. Mohamed Idir Mechnane, seorang pejabat teras di kementerian agama, mengatakan, pihaknya berupaya keras untuk memasyarakatkan ajaran Islam tradisional yang lebih mengedepankan toleransi, perdamaian, dan terbuka.

''Dan alhamdulillah, semakin banyak anggota masyarakat yang memahami dan bersedia mengikuti ajaran sufi ini,'' katanya, dikutip dari kantor berita reuters.

Demi menyukseskan program ini, pemerintah memberikan peran yang lebih luas di masyarakat kepada pengikut sufi. Misalnya, mengorganisasi acara pernikahan, membantu anak yatim, mengajarkan baca tulis Alquran, serta memberikan santunan bagi kaum dhuafa.

''Selama lebih dari 14 abad, Islam telah hadir di negara ini,'' ungkap Hadj Lakhdar Ghania, salah satu anggota majelis zikir, Tidjania Zaouia. ''Kami terbiasa hidup dalam harmoni dan damai.''

Akan tetapi, sambung dia, begitu para pengikut salafi mengatakan agar Aljazair mempraktikkan Islam seperti yang mereka praktikkan, maka mulai timbul perbedaan pendapat.

Cara menyebarluaskan ajaran sufi sebenarnya bukanlah ide baru. Sejak 2007, sebuah penelitian dari Rand Corporation menyebutkan bahwa sufisme terbukti sangat efektif untuk mempromosikan Islam moderat.

''Islam tradisionalis dan sufi merupakan bagian tak terpisahkan, mengingat banyak kesamaan di antara keduanya,'' papar studi itu.
Para pengikut salafi segera bereaksi. Mereka tidak bisa menerima beberapa praktik ritual sufi, semisal ziarah ke makam ulama.

Sebaliknya, mereka menilai ajaran salafilah yang seharusnya diterapkan.
''Salafi sangat penting untuk menangkal pemikiran dan ibadah yang menyimpang dari nilai-nilai Islam. Kami mendorong generasi muda untuk mengikuti ajaran Islam yang benar dan tidak terpengaruh gaya hidup Barat,'' ujar Sheikh Abdelfatah, salah seorang tokoh salafi terkemuka.

Tapi, mengapa kemudian salafi dikaitkan dengan kekerasan? Sheikh Abdelfatah membantahnya. Dia berpendapat, di negara manapun, ajaran salafi selalu dipraktikkan dengan damai.

Untuk membuktikan pernyataannya, Sheikh Abdelfatah meminta agar publik kembali ke tahun 2001. Saat itu, pascaperistiwa 11 September 2001, sejumlah ulama salafi segera mengutuk aksi kekerasan tersebut.

Demikian juga ulama salafi lainnya yang kini menetap di Arab Saudi, Abdelmalek Ramdani, menyerukan kepada pengikutnya untuk menjauhi kekerasan dan permusuhan.

Gagasan lain dikemukakan Mouloudi Mohamed, seorang cendekiawan Muslim setempat. Dia berpendapat, upaya terbaik untuk menghentikan kekerasan yakni dengan kembali ke praktik tradisional Islam yang telah berlangsung di negara itu sejak beradab-abad silam.

''Saya tidak yakin kita harus 'mengimpor' solusi dari luar negeri, tapi akan lebih baik jika kita mulai mempraktikkan Islam seperti yang pernah dilakukan ayah dan kakek kita dulu,'' tegas dia.

Awal dari Gejolak Itu

Konflik di Aljazair yang telah berlangsung sejak 1992, setidaknya terkait dengan tiga hal; ekonomi, sosial, dan politik. Pemerintah dinilai tidak mampu melakukan perbaikan secara menyeluruh hingga menimbulkan gelombang ketidakpuasan.

Islam sejatinya memiliki sejarah panjang di Aljazair. Agama ini telah berkembang sejak masa Khilafah Bani Umayyah (682 M). Dari Tunisia, tentara Islam melakukan dakwah dan jihad, sekaligus membebaskan rakyat Maroko, Aljazair, dan Libya dari kekuasaan Romawi.

Setelah itu, Islam tumbuh subur di kawasan Afrika Utara. Warga Muslim di kawasan itu akhirnya turut mendukung gerakan tentara Islam saat mengalahkan Spanyol.

Tapi, seiring memudarnya masa kegemilangan Islam, sebagian kawasan Islam berangsur dikuasai imperialis Barat. Aljazair sendiri akhirnya menjadi jajahan Prancis.

Perlawanan umat Muslim berkobar. Hingga pada 1962, negara ini meraih kemerdekaan, akan tetapi ketergantungan kepada Prancis nyatanya masih sangat besar.

Sistem republik diberlakukan dalam pemerintahan negara. Meski begitu, hanya ada satu partai, yakni FLN yang sekular, serta mendominasi aspek perpolitikan.

Dalam perkembangannya, pemerintah dianggap gagal menjalankan fungsinya terutama dalam bidang ekonomi. Data menyebutkan bahwa 50 persen penduduk Aljazair usia produktif adalah pengangguran.

Utang luar negeri menjadi andalan mengatasi krisis. Namun, langkah ini kurang berhasil, namun justru menguras pendapatan negara dari hasil penjualan minyak serta gas.

Akhir 1980-an, mengutip dari situs heritage.com, gejolak terjadi di mana-mana. Dalam situasi carut-marut, muncul keinginan dari sebagian kalangan untuk kembali menerapkan sistem Islam, yang lantas disambut secara luas.

Presiden Chadli Benjedid tidak menyangka reaksi dari masyarakat kian membesar. Dia pun berjanji melakukan reformasi, antara lain, menawarkan sistem multipartai, dan pemilu yang demokratis.

Kelompok gerakan Islam mengambil peluang ini dengan mendirikan sejumlah partai baru, salah satunya FIS (Front Islamique du Salut/Front Pembebasan Islam). Dan hasilnya sangat mengejutkan, FIS menang dalam pemilu multipartai pertama negara tersebut.

Umat Islam menyambut penuh sukacita. Sebaliknya, pemerintah dan kalangan Barat merasa khawatir kemenangan itu bisa meruntuhkan tatanan sistem sekuler dan demokrasi di Aljazair serta di kawasan.

Militer pun campur tangan untuk mencegah kemenangan FIS. Presiden Benjedid diturunkan, selanjutnya dibentuk Dewan Negara. Hasil pemilu dibatalkan, sehingga kembali memicu perlawanan

Sumber : Newsroom Republika

No comments: