tag:blogger.com,1999:blog-16685278846909803842024-02-19T23:03:26.977-08:00Sufi RoadJalan orang-orang sufi..
Pecinta menuju makrifatullah
Blog ini saya persembahkan untuk saudara2ku sesama muhibbun pencari cinta dan makrifatullah,belajar dan mengikuti jalan tasawuf. Meneladani dan mengikuti jalan para Awlia Allah.
Semua Artikel dan foto didalam blog ini dibuat untuk pecinta ilmu dan penambah wawasan keislaman. sy perbolehkan untuk dicopy atau didownload dengan tetap mencantumkan sumber artikelUnknownnoreply@blogger.comBlogger1023125tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-45263153075969878122016-12-15T18:10:00.000-08:002017-03-19T18:01:09.249-07:00Keutamaan Wirid<span style="color: white;">Habib Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad berkata: Ketahuilah, bahwa wirid mempunyai pengaruh yang amal kuat untuk menerangi kalbu dan mengendalikan anggota tubuh. Akan tetapi, ia tidak akan efektif kecuali setelah diamalkan secara berulang-ulang dan terus menerus di waktu-waktu tertentu. Jika engkau tidak termasuk orang-orang yang melewatkan seluruh siang dan malam dalam tugas-tugas kebaikan dan amal-amal khair. maka paling sedikit engkau harus mengamalkan beberapa wirid secara teratur pada waktu-waktu tertentu, jika pada suatu saat, dan karena suatu alasan, engkau tidak mengerjakannya, maka hendaknya engkau segera mengganti (meng-qadha’) wirid tersebut di waktu lain, agar nafsumu terbiasa dengan berbagai wirid tersebut.<span class="fullpost">
<br /><br />
Dalam setiap keadaan, manusia pasti membutuhkan tobat. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari kebutuhan untuk bertobat, meskipun ia seorang yang Nabi yang ma’shum (terlindung dari perbuatan dosa), apalagi selainnya. Karena itulah para Malaikat, para Nabi dan Rasul, serta kaum Shiddiqin yang terjaga dari perbuatan dosa, mereka senantiasa memohon ampun (istighfar) dan bertobat kepada Allah. Jika demikian adanya, maka orang-orang yang suka mencampuradukkan kebaikan dan keburukan, yang suka bermaksiat dengan melakukan berbagai perbuatan dosa seperti kita ini, seharusnya lebih membutuhkan dan lebih wajib untuk bertobat. Oleh karena itu, jika memperoleh kemudahan, kita harus segera menyusul manusia-manusia terbaik tersebut. Dan hal ini dapat dilaksanakan jika kita senantiasa mau meneliti niat, perbuatan maupun ucapan kita. Jika kita mampu memperbaiki dan meluruskan ketiga hal tersebut, maka kita akan memperoleh waridat yang indah.
<br /><br />
Waridat yang kita peroleh adalah sesuai dengan amal yang kita kerjakan. Karena itulah, orang-orang yang memiliki waridat tersebut menyatakan bahwa waridat yang tiba ke dalam hati adalah sesuai dengan macam wirid yang kita amalkan. Jika kita melakukan hal-hal yang baik, maka kita juga akan memperoleh hal yang baik. Wirid merupakan tubuh waridat. Sebagaimana ruh tidak akan masuk ke dalam jasad janin yang berada di perut ibu, kecuali setelah sempurnanya jasad tersebut, maka waridat juga tidak akan tiba di hati seorang hamba sebelum tubuhnya dihias dengan berbagai wirid. Oleh karena itu, orang-orang yang mengabaikan dan meremehkan wirid, mereka adalah orang-orang yang sangat bodoh, lalai dan sangat lemah pemahamannya.
<br /><br />
Orang-orang yang berjalan menuju Allah memiliki perhatian, semangat dan ketekunan dalam membaca berbagai wirid. Mereka menikmati wirid-wirid tersebut. Inilah tanda kesungguhan mereka di dalam berjalan menuju Allah dan kemampuan pemahaman mereka yang besar. Barang siapa memahami kedudukan wirid, maka ia akan menaruh perhatian yang besar terhadap berbagai macam wirid dan dzikir. Sehingga perjalanannya menuju Allah berlangsung dengan baik dan ia akan senantiasa memperoleh limpahan karuria-Nya.
<br /><br />
Adapun seseorang yang berada di dalam kebodohan, sedikit pun ia tidak akan menaruh perhatian terhadap berbagai macam wirid tersebut. Dan seandainya ia membaca salah satu wirid itu, maka ringan baginya untuk meninggalkannya. Jika salah satu wirid yang ia baca terlewatkan karena suatu sebab, maka ia tidak akan pernah merasa kehilangan maupun merindukannya. Ini merupakan tanda kebodohannya. Seseorang yang demikian keadaannya, sebenarnya ia tidak berjalan menuju Allah Ta’ala.*
<br /><br />
Oleh karena itu, kalian pasti akan melihat keutamaan dan manfaat nyata yang akan diperoleh mereka yang suka membaca wirid, di dunia ini sebelum di Akhirat nanti. Kalian akan melihat perbedaan yang sangat besar antara orang-orang yang mengisi hari-hari mereka di tempat seperti ini dengan membaca, memuliakan dan mengagungkan wirid — ikut membaca wirid sebelum dan setelah subuh, sebelum dan setelah shalat dhuhur, dzikir sebelum shalat ashar, doa ketika berjabat tangan selepas shalat ashar dan wirid setelah ashar dengan hati yang khusyuk — dengan orang-orang yang mengabaikan berbagai macam wirid tersebut. Di antara mereka pasti tampak perbedaan yang sangat besar yang akan tampak dalam perjalanan kehidupan mereka di dunia maupun di Akhirat. Kedua kelompok manusia ini tidak dapat disamakan.
<br /><br />
Orang yang memiliki ikatan hati dengan kaum sholihin tidak mungkin dapat disamakan dengan orang yang tidak memiliki ikatan hati dengan mereka.
<br /><br />
yang menyandang akhlak mulia tidak mungkin dapat disamakan dengan mereka yang tidak menyandangnya. Orang yang beramal tidak mungkin dapat disamakan dengan orang yang tidak beramal. Bagaimana mungkin keduanya dapat disamakan. Allah Ta’ala mewahyukan:<br /><br />
ام حسب الذين اجترحوا السيئات ان نجعلهم كالذين ءامنوا وعملواالصلحت سواء محياهم ومماتهم ساء ما يحكمون(21
<br /><br />
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Al-Jatsiah, 45:21)
<br /><br />
Dapatkah disamakan seseorang yang ketika turun hujan rahmat hatinya khusyuk (ingat kepada Allah) dengan seseorang yang lalai? Apakah keduanya dapat disamakan? Yang satu hatinya selalu berhubungan dengan Allah sedangkan yang lain hatinya putus hubungan dengan-Nya. Yang satu menghadapkan diri kepada Allah sedangkan yang lain berpaling dari-Nya. Keduanya tidak mungkin dapat disamakan. Sudah menjadi ketentuan Allah di alam semesta, kedua jenis manusia ini tidak mungkin dapat disamakan. Tidaklah sama kegelapan dengan cayaha, orang yang normal penglihatannya dengan tuna netra, dan yang hidup dengan yang mati, meskipun semuanya adalah makhluk Allah. Karena itu, jika kalian perhatikan, orang-orang yang bertobat senantiasa menekuni berbagai wirid dan dzikir. Mereka akan banyak beristighfar memohon ampun kepada Allah. Rasulullah saw bersabda:<br /><br />
طوبى لمن وجد في صحيفته استغفارا كثيرا
<br /><br />
. (HR Ibnu Majah)
<br />
‘Sungguh beruntung seseorang yang mendapati istighfar yang banyak dalam buku catatan amalnya
<br /><br />
Setelah Rasulullah saw menyatakan mereka sebagai seorang yang sangat beruntung, maka mereka akan merasakan kenikmatan yang luar biasa.
<br /><br />
Sumber : Obat Hati 1 Saduran Ceramah Al Habib Umar bin Hafidz <br />
http://www.alhabibahmadnoveljindan.org
</span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-19106326757045410682015-11-26T17:19:00.001-08:002017-03-19T18:03:45.462-07:00Hikam Ibnu athaillah : Amal Makrifat<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo3o08Vz9oDXo3EcJixvep-ca0-4kdNwqCJBKF3VlW2P-iyBTXeiy7xMe78AXVUvPz7nTczwIhDcnm2809WPxWCvgo0icICXbbI3hKIilidTdc6ninXnHccWK89eA99on7CrW3h8YF7XmD/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo3o08Vz9oDXo3EcJixvep-ca0-4kdNwqCJBKF3VlW2P-iyBTXeiy7xMe78AXVUvPz7nTczwIhDcnm2809WPxWCvgo0icICXbbI3hKIilidTdc6ninXnHccWK89eA99on7CrW3h8YF7XmD/s1600/images.jpg" /></a></div>
<span style="color: white;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Ibnu Athaillah didalam Al Hikam berkata: ”Apabila Tuhan membukakan bagimu suatu jalan untuk ma’rifat [mengenal pada-Nya], maka jangan menghiraukan soal amalmu yang masih sedikit, sebab Tuhan tidak membukakan bagimu, melainkan Ia akan memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau tahu bahwa ma’rifat itu semata-mata pemberian karunia Alloh kepadamu, sedang amal perbuatanmu hanyalah hadiahmu kepad-Nya dengan pemberian karunia Alloh kepadamu.”
</span></span></span><br />
<span style="color: white;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Ma’rifat [mengenal] kepada Allah, itu adalah puncak keberuntungan seorang hamba, maka apabila Tuhan telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal kepada-Nya, maka tidak perlu pedulikan berapa banyak amal perbuatanmu, walaupun masih sedikit amal kebaikanmu. Sebab ma’rifat itu suatu karunia dan pemberian langsung dari Allah, maka sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.</span></span></span><br />
<span style="color: white;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Abu Huroiroh ra. berkata: Rasululloh saw. bersabda: Alloh azza wajalla berfirman: “Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman, kemudian ia tidak mengeluh kepada orang lain, maka Aku lepaskan ia dari ikatan-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari semula, dan ia boleh memperbarui amal, sebab yang lalu telah diampuni semua.”</span></span></span><br />
<span style="color: white;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Diriwayatkan: Bahwa Alloh telah menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi diantara beberapa Nabi-Nya.” Aku telah menurunkan ujian kepada salah seorang hamba-Ku, maka ia berdoa dan tetap Aku tunda permintaannya, akhirnya ia mengeluh, maka Aku berkata kepadanya: Hamba-Ku bagaimana Aku akan melepaskan dari padamu rahmat yang justru ujian itu mengandung rahmat-Ku.” Karena dengan segala kelakuan kebaikanmu engkau tidak dapat sampai ke tingkat yang akan Aku berikan kepadamu, maka dengan ujian itulah engkau dapat mencapai tingkat dan kedudukan di sisi Alloh.</span></span></span><br />
<span style="color: white;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">semoga bermanfaat!
</span></span></span><span class="fullpost">
</span>
Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-63380532981597420802015-11-19T17:32:00.000-08:002015-11-19T17:32:18.359-08:00Hikmah Ibnu Athaillah: Keadaan Lapang dan Sempit<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRWE6b1SQBdUVIq783iSLTOiMyGlZsTDFukaU4aomuYiP04c51V_PrjIIwoFRFSNVKrtV4IrMmSNQB8XJTYUW-04TgRlR3DddyRZy3HZd_sZzUNS-nmn7bJ1w6qkZ8pMhVFUXouxkJYkuO/s1600/sufi-dance1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRWE6b1SQBdUVIq783iSLTOiMyGlZsTDFukaU4aomuYiP04c51V_PrjIIwoFRFSNVKrtV4IrMmSNQB8XJTYUW-04TgRlR3DddyRZy3HZd_sZzUNS-nmn7bJ1w6qkZ8pMhVFUXouxkJYkuO/s200/sufi-dance1.jpg" width="153" /></a></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Ibnu Athaillah berkata : "Orang-orang ma'rifat jika merasa lapang lebih banyak khawatirnya daripada jika mereka dalam keadaan kesempitan. Dan tidak dapat tetap berdiri di atas batas-batas adab di dalam keadaan lapang kecuali sedikit".</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Orang-orang ma'rifat lebih khawatir dalam keadaan lapang daripada dalam keadaan kesempitan. Sebab keadaan lapang itu sesuai dengan hawa nafsunya. Sehingga mereka khawatir kalau sampai tertarik ke dalam ajakan hawa nafsu.</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Sehubungan dengan keadaan lapang dan kesempitan itu, Syaikh Ahmad bin "Athaillah berkata :</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">"Dalam keadaan lapang nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira, sedang dalam keadaan kesempitan tidak ada bagian sama sekali bagi nafsu itu."</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-43559560340541716392015-11-19T01:39:00.000-08:002015-11-19T01:39:53.324-08:00Hikmah Nashaihul Ibad: Penolong<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieltBwMRvp7BOpMqQD74IJD0UCacAJwf_oKohIBaC4RTgBE7vRbx9xbNJBhBqZIerncx6PbUtCVvNtrv9zFtKuJv6gtSltkW9YnKuXrUlqj3vIkMn7z2yGjqYqkYpyaZpnjUZjt90mF1Fv/s1600/Picture2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="166" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieltBwMRvp7BOpMqQD74IJD0UCacAJwf_oKohIBaC4RTgBE7vRbx9xbNJBhBqZIerncx6PbUtCVvNtrv9zFtKuJv6gtSltkW9YnKuXrUlqj3vIkMn7z2yGjqYqkYpyaZpnjUZjt90mF1Fv/s200/Picture2.jpg" width="200" /></a></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Dari sebagian Hukama menyatakan: "Barangsiapa mengira bahwa mempunyai penolong yang lebih mumpuni dibanding Allah, maka baru sedikit ia mengenali Allah, dan barangsiapa mengira mempunyai musuh yang lebih kejam dibanding nafsunya, maka ia baru sedikit mengetahui nafsunya sendiri".</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">maksudnya yaitu: jika seseorang tidak mengenali Allah dengan segala macam keagungan dan Kekuasaan-Nya maka ia tidak dapat yakin bahwa Allah Maha Penolong. Dan orang yang belum mengetahui keganasan hawa nafsu sendiri yang mempengaruhinya kearah kejahatan itu,maka tidak mengetahui pula bahwa nafsu itu musuh yang paling jahat.</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Ya Allah Engkau Maha Penolong, tolonglah kami dan berikanlah kami kekuatan untuk melawan nafsu kami Amiin...</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">(sumber: Nashaihul Ibad Imam Nawawi Al Banteny)</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-8011981948260024942015-11-19T01:36:00.001-08:002015-11-19T01:36:50.657-08:00Hikmah Imam Al Ghazali: Lalat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSJrSptU2Z57FQf1nm5NhVOOnzcDaQEZzWZAOzmE0toQvJfG45iLgE6wmerZ1TPBsWinYz3_N2XOQbo46O8OprQ4ArLvUKSxQzPvFn9tSVhT1G0UWydwQpzySxVO_b5gOQR94-ahUbHNAF/s1600/makamimamgozali.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSJrSptU2Z57FQf1nm5NhVOOnzcDaQEZzWZAOzmE0toQvJfG45iLgE6wmerZ1TPBsWinYz3_N2XOQbo46O8OprQ4ArLvUKSxQzPvFn9tSVhT1G0UWydwQpzySxVO_b5gOQR94-ahUbHNAF/s1600/makamimamgozali.jpeg" /></a></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Pernah Imam Al Ghazali ditemui dalam suatu mimpi, lalu kepada beliau ditanyakan "Bagaimana perlakuan Allah terhadap tuan?", lalu beliau menjawab : Terlebih dahulu Allah menempatkan aku ditengah tengah anugerah-Nya. Lalu Allah menanyai saya "Lantaran apa Aku membawamu ke sisi-Ku?". Akupun menyebutkan berbagai amal perbuatanku, sehingga Allah memotong dengan firman-Nya "Aku tidak menerima itu semua. Yang Aku terima ialah satu kebajikanmu, dimana pada suatu hari engkau tengah me</span><span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">nulis kemudian ada seekor lalat hinggap pada penamu untuk minum dawatnya; dan dengan kasih sayang engkaupun berhenti sejenak sampai lalat tersebut memperoleh kesegaran". Kemudian Allah memerintahkan "Bawalah Hambaku ini ke surga !".<br />Rasulullah bersabda : "Allah Maha Penyayang berkenan melimpahkan kasih sayang-Nya kepada mereka yang bersikap penyayang, maka dari itu sayangilah penduduk bumi agar kalian disayangi oleh penduduk langit"..</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-67409140099553110642015-11-19T01:34:00.000-08:002015-11-19T01:34:35.847-08:00Hikmah Kitab Nashaihul Ibad : Dosa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQft2DOFXaVeQpOpFHNx6XJDNaiksGQNj_oDnP67GpxOHDgQHkmbnUKCHIXDNwhA_I924AQlLoFjTqo9PNZyq7IvEZ5PugVE4SUj9WSWaVzMQA7UnF5RYzH_ybGsISaKnOv_HZdp4Mo3BR/s1600/f87ee18f53b953b9493d634553a39b1a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="197" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQft2DOFXaVeQpOpFHNx6XJDNaiksGQNj_oDnP67GpxOHDgQHkmbnUKCHIXDNwhA_I924AQlLoFjTqo9PNZyq7IvEZ5PugVE4SUj9WSWaVzMQA7UnF5RYzH_ybGsISaKnOv_HZdp4Mo3BR/s200/f87ee18f53b953b9493d634553a39b1a.jpg" width="200" /></a></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Dari sebagian kaum zahid mengatakan: "Barangsiapa dengan tertawa berbuat dosa maka Allah akan melempar dia kedalam neraka dengan tangisan, dan barangsiapa dengan menangis berbuat taat maka Allah akan memasukannya ke dalam surga dengan tertawa".</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">maksud dari nasehat ini adalah : Orang yang dengan bangga berbuat dosa maka akan masuk neraka dengan penuh penyesalan. orang seperti ini pada hakekatnya telah melakukan dua dosa besar sekaligus yaitu disa itu sendiri dan dsoa karena ba</span><span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">ngga berbuat dosa.<br />Sebaliknya orang yang taat kepada Allah dengan penuh rasa penyesalan atas dosanya dan takut mendapat siksa sehingga ia menangis karenanya, kelak akan masuk surga dengan kegembiraan. orang seperti ini pada hakekatnya telah melakukan dua kebajikan, yaitu kebajikan taat itu sendiri dan kebajikan penyesalan atas dosa yang ia lakukan.<br />(sumber: Nashaihul ibad: Imam Nawawi Al Banteni)</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-25862296058899465292015-11-19T01:32:00.001-08:002015-11-19T01:32:10.474-08:00Kisah Syeikh Abu Bakar Bin Salim <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhabAY_AOce0N_SJCK3vfcpBPsxKnsSWfOCYBSQH1T7RVadf_RqxwMmXS7aGckrbew0XblVlYSV__JPhxntRzbJOLQOGh-TbJOPYrwtB6A947_K_Q-Zhzibakk4lzoHhIfb06v_LloSlFed/s1600/makam+Syaikh+Abu+Bakar+bin+Salim.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhabAY_AOce0N_SJCK3vfcpBPsxKnsSWfOCYBSQH1T7RVadf_RqxwMmXS7aGckrbew0XblVlYSV__JPhxntRzbJOLQOGh-TbJOPYrwtB6A947_K_Q-Zhzibakk4lzoHhIfb06v_LloSlFed/s1600/makam+Syaikh+Abu+Bakar+bin+Salim.jpg" /></a></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Suatu hari seorang wanita mendatangi rumah Al Imam Fakhrul Wujud Syeikh Abi Bakar bin Salim ra. Maksud kedatangan wanita itu adalah untuk memberikan semangkuk bubur gandum kepada Al Imam Fakhril Wujud. Wanita itu telah membuat bubur tersebut semalam suntuk, khusus untuk diberikan kepada Al Imam Fakhril Wujud. Ketika wanita itu sampai di depan pintu rumah Al Imam Fakhril Wujud, maka penjaga pintu berkata, “Ibu mau kemana?”, Wanita itu berkata, “Aku ingin menghadiahkan semangkuk bubur ini untuk Al Imam Syeikh Abi Bakar bin Salim.” Maka penjaga itu berkata, “Wahai ibu, lebih baik makanan ini anda sedekahkan saja kepada para fuqara, karena setiap hari di dapur Al Imam selalu dipenuhi dengan sembelihan kambing dan berbagai macam makanan yang dimasak setiap harinya.” Wanita itu pun merasa kecewa, namun menyadari apa yang telah dikatakan oleh penjaga itu, karena pastilah semangkuk bubur itu tidaklah ada artinya bagi Al Imam Fakhrul Wujud.</div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ia pun kemudian pergi, meninggalkan rumah Al Imam Fakhril Wujud. Al Imam Fakhrul Wujud adalah seorang yang memiliki firasat yang sangat tajam. Saat itu Al Imam Fakhrul Wujud sedang duduk bersama para tamunya. Tiba-tiba saja beliau keluar dan berlari untuk mengejar wanita yang tadi mendatangi rumahnya, seraya memanggil, “Wahai ibu! Apa yang engkau bawa?” Penjaga pintu itu kaget dan terheran, karena baru pertama kali ini ia melihat Al Imam Fakhril Wujud berlari. Maka ibu itu berkata, “Wahai Imam, aku membawa semangkuk bubur ini, yang kubuat semalaman hanya untuk kuberikan kepadamu, namun penjagamu mengatakan bahwa semangkuk bubur ini, tidaklah berarti untukmu, karena di dapur rumahmu telah dipenuhi banyak sekali makanan yang lebih baik. Maka sebaiknya bubur ini kusedekahkan saja kepada fakir miskin.” Beliau berkata: “Wahai Ibu, maafkanlah penjaga pintu itu, karena ia tidak tau kesukaanku. Ketahuilah! Tidak ada hadiah yang lebih membuatku gembira, selain hadiah bubur darimu ini, semoga Allah membalas kebaikanmu.” Al Imam Syeikh Abi Bakar bin Salim pun menerima makanan itu dengan gembira lalu Beliau memberikan kepada wanita itu 1000 dinar. Wanita itupun berbunga-bunga hatinya, bukan karena uang 1000 dinar yang ia terima, tetapi karena Al Imam mau menerima hadiah darinya yang tidak seberapa tersebut. Al Imam Fakhril Wujud Syeikh Abi Bakar bin Salim kembali kepada penjaganya dan berkata: “Tahukah Engkau bahwa ibu itu telah bersusah payah membuatkan makanan ini untukku, walaupun hanya sedikit. Maka seperti itulah keadaanku di hadapan Allahu shubhânahu wa ta‘âlâ, yang mana aku telah beribadah semampuku namun tidak ada artinya di hadapan Allah, dan jika engkau mengusir ibu itu, bagaimana jika nantinya jika aku terusir dari rahmat Allah?”</div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
MasyaAllah Tabarakallah, betapa banyak hikmah yang dapat kita petik. Usaha dan kesusah-payahan kita dalam beribadah dan ta’at kepada Allah SWT, tidak akan pernah sia-sia. Meskipun Allah SWT tidak butuh sama sekali dengan ibadah kita, namun ingatlah bahwa kita adalah hamba yang sangat butuh kepada Allah SWT dan Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Bersyukur, Allah SWT adalah Dzat Yang Tidak Suka Menyianyiakan amal ibadah hamba-Nya. Allahumma Sholli wa Sallim ‘ala Muhammad! ALLAHU AKBAR!!!</div>
<div style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-top: 6px;">
Sumber: Al Habib Muhsin Basyaiban On FB</div>
<span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-2415759798627099272015-11-19T01:29:00.001-08:002015-11-19T01:29:49.062-08:00Hikmah Syeikh Abdul Qodir Jilani: Rahmat Allah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmP4Cv0xR9FpfdNfpYS-CdQPCzqzM5qaSFAl1ZTDdLB6BxmsSzZl93MaFQLV3DnCtIYtjK8Tn-7rpV59fRcxmi83aMNblLo30OwQIXixeRchdnLugHogMyCSDuq2DlhJIvk3meDzcqHm-o/s1600/Picture1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmP4Cv0xR9FpfdNfpYS-CdQPCzqzM5qaSFAl1ZTDdLB6BxmsSzZl93MaFQLV3DnCtIYtjK8Tn-7rpV59fRcxmi83aMNblLo30OwQIXixeRchdnLugHogMyCSDuq2DlhJIvk3meDzcqHm-o/s200/Picture1.jpg" width="158" /></a></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:<br />"Wahai anak muda! Janganlah berkonsentrasi pada mencuci pakaian jasadmu, sementara pakaian kalbumu kotor. Engkau berada dalam keadaan kotor. Engkau harus mencuci kalbu terlebih dahulu, kemudian baru mencuci pakaianmu yang biasa. Engkau harus melaksanakan kedua tindak pencucian itu. Cucilah pakaianmu dari kotoran, dan cucilah kalbumu dari dosa-dosa!</div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Engkau tidak boleh membiarkan dirimu silau oleh apa pun, sebab Tuhanmu “melakukan apa ya<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">ng dikehendaki-Nya” (QS 11:107). Itulah sebabnya diceritakan sebuah kisah tentang seorang saleh, bagaimana suatu ketika ia mengunjungi saudaranya seiman kepada Allah. “Wahai saudaraku,” katanya kepada saudaranya itu. “Marilah kita menangis atas pengetahuan Allah tentang kita!”</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<div style="margin-bottom: 6px;">
Alangkah bagusnya ucapan orang saleh ini! Dia adalah orang yang memiliki pengenalan (‘ârîf) tentang Allah dan telah mendengat kata-kata Nabi SAW: “Salah seorang di antara kalian mungkin beramal dengan amalan ahli surga, sampai tak ada jarak antara dia dan surga itu kecuali satu jengkal saja, kemudian kemalangan menimpanya dan dia menjadi salah seorang penghuni neraka, sampai tak ada jarak antara dia dan neraka kecuali satu jengkal saja, kemudian keberuntungan mengenainya dan dia menjadi salah seorang penghuni surga.”</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pengetahuan Allah tentang dirimu hanya akan tampak kepadamu manakala engkau berpaling lagi kepada-Nya dengan segenap hati dan aspirasimu, manakala engkau tidak pernah menjauhi pintu rahmat-Nya, manakala engkau memasang penghalang dari besi antara hatimu dan nafsu badaniahmu, dan manakala engkau menjadikan maut dan kuburan sebagai titik pusat perhatian bagi mata kepala dan mata hatimu.”<br />--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir</div>
</div>
<span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-32998303386702445222015-11-19T01:26:00.001-08:002015-11-19T01:26:55.195-08:00Hikmah Imam Al Ghazali: Mujahadah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzfBYm0z4XX-QvVGuVv5Ek0prAYLCGlpmhJVNAU6D-awSohXnuOokD1nKi0zrvydZ6KG2KfB_y1HAF2eMAGHqexgNk29fSfp3oqFp-YXU8wovvO2N5L6axRkKGVH2C1Tv3gAbAKcMnFOSb/s1600/8d9dc5d42f7dd2289f68218a5cd256f4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzfBYm0z4XX-QvVGuVv5Ek0prAYLCGlpmhJVNAU6D-awSohXnuOokD1nKi0zrvydZ6KG2KfB_y1HAF2eMAGHqexgNk29fSfp3oqFp-YXU8wovvO2N5L6axRkKGVH2C1Tv3gAbAKcMnFOSb/s200/8d9dc5d42f7dd2289f68218a5cd256f4.jpg" width="133" /></a></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Imam Al-Ghazali mengatakan: “Mujahadah merupakan energi jiwa yang akan menghantarkan engkau memperoleh kebahagiaan. Karena itu, jiwa harus dibersihkan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang telah menyucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya,” (QS Asy-Syams [91]: 9-10)</div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mengingat kunci kebahagiaan itu terletak pada jiwa, maka Allah SWT mengagungkan dan menyandarkan jiwa itu kepada Dzat-Nya. Hal ini s<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">ekaligus menunjukkan betapa Dia telah mengistimewakan dan memuliakannya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, kemudian apabila telah Kusempurnakan kejadiaannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan-Ku), maka hendaklah engkau tersungkur dengan bersujud kepada-Nya.” (QS Shad [38]: 71-72)<br />Dari ayat di atas jelas sekali Allah mengingatkan bahwa manusia itu diciptakan dari tubuh yang dapat dilihat dengan penglihatan mata dan jiwa (ruh), yang dipertemukan dengan akal dan mata hati, bukan dengan indera. Allah menyandarkan tubuh manusia itu pada tanah, dan menyandarkan ruh kepada ruh ciptaan-Nya.</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<div style="margin-bottom: 6px;">
Merujuk firman Allah di atas, maka yang kami maksud dengan jiwa adalah ruh ciptaan-Nya. Dengan pengertian ini, orang-orang yang memiliki mata hati harus sadar bahwa jiwa atau ruhnya lebih luhur daripada tubuh yang hina yang berada di bumi ini. ”</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sumber: Imam Al-Ghazali dalam Kitab Mizan Al-Amal</div>
</div>
<span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-79918021901016236942015-11-18T22:49:00.002-08:002015-11-18T22:49:52.488-08:00Hikmah Syeikh Abdul Qodir Jilani : Sabar<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYbbfzZtdXKzcE2rUDyTVCo9-lMHAdDbUZ2xcWoJENM6vEReKjmWXr_KcYXpb3aZsEBqTx1DbUmFoqi-CbWFsk8cXQa5eb8tUt8o0e3ADGC81xspHJ_n2gbu92K0mWeRxAI54eh_cJJ3gU/s1600/syekh-abdul-qodir.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYbbfzZtdXKzcE2rUDyTVCo9-lMHAdDbUZ2xcWoJENM6vEReKjmWXr_KcYXpb3aZsEBqTx1DbUmFoqi-CbWFsk8cXQa5eb8tUt8o0e3ADGC81xspHJ_n2gbu92K0mWeRxAI54eh_cJJ3gU/s200/syekh-abdul-qodir.jpg" width="146" /></a></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:<br />“Wahai kalian pengemis-pengemis yang melarat, kalian harus menanggung kemelaratan kalian dengan sabar, sebab dengan demikian kesejahteraan akan datang kepada kalian baik di dunia maupun di akhirat nanti. Nabi Saw. diriwayatkan telah mengatakan: “Kemiskinan dan kesabaran adalah teman duduk (julasâ’) Allah di hari kebangkitan, dan orang-orang miskin dan mereka yang bersabar adalah teman-teman duduk ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih), dengan<span class="text_exposed_show" style="display: inline;"> hati mereka hari ini dan dengan jasad mereka esok.”</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<div style="margin-bottom: 6px;">
Mengenai orang-orang miskin yang kebutuhannya adalah terhadap Tuhan Yang Maha Benar dan mereka yang bersabar dengan-Nya dan bersikap tak acuh terhadap semua yang lain, maka hati mereka adalah tenang dan tunduk di hadirat-Nya. Mereka tidak memberikan perhatian kepada seorang pun selain kepada-Nya. Kepada mereka, seolah-olah Allah Swt. Mengatakan sebagaimana yang dikatakan-Nya tentang Mûsâ a.s: Dan kami telah mengharamkan ibu-ibu susu baginya sebelum itu (QS 28:12).</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Apabila hati sehat dan benar-benar mengenal (‘arafa) Tuhan Yang Maha Benar, maka ia akan menolak untuk mengakui yang lain. Ia akan menemukan persahabatan yang intim dengan-Nya dan merasa terasing dengan semua yang lain. Ia akan merasakan kenyamanan di sisi-Nya dan tidak nyaman bersama siapapun selain-Nya."<br />--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir</div>
</div>
<span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-15197598682577979852015-11-18T22:44:00.000-08:002015-11-18T22:45:10.700-08:00Hikmah Imam Al Ghazali: Berwudhu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFf_udcxHBRzeivsLyd942PXHj4jzN_m3VYDCt5oyZ8fjR6yBQQ57LEiw0FFLNWaiE82vj7lSEzrdDn6QhXUDPjmfSD1EKI7OKipqjNrwg6zlaqBzbwrwIy-JbSsi__ggK3DYF3ujyZ6O0/s1600/wudhu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="100" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFf_udcxHBRzeivsLyd942PXHj4jzN_m3VYDCt5oyZ8fjR6yBQQ57LEiw0FFLNWaiE82vj7lSEzrdDn6QhXUDPjmfSD1EKI7OKipqjNrwg6zlaqBzbwrwIy-JbSsi__ggK3DYF3ujyZ6O0/s200/wudhu.jpg" width="82" /></a></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Imam Al Ghazali didalam kitabnya Bidayatul Hidayah menjelaskan tujuh hal yang dimakruhkan didalam berwudhu yaitu:"</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">1. Jangan mengibaskan tanganmu karena air akan berserakan</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">2. jangan menampar wajah dan kepalamu dengan air (jangan membasuh dengan keras, tetapi hendaknya dengan lembut)</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">3. jangan berbicara saat wudhu</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">4. jangan menambah basuhan atau usapan lebih dari tiga kali</span><span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;"><br />5. jangan memperbanyak siraman air jika tidak perlu atau hanya sebab alasan was was, karena bagi para penderita was was terdapat setan yang selalu mempermainkan mereka bernama 'wal han'<br />6. jangan berwudhu dengan air yang panas karena sengatan matahari<br />7. jangan berwudhu dengan air yang berwadah kuning (emas dan perak)."<br />semoga bermanfaat menyempurnakan syariat kita dalam berwudhu.</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-91638211471458988932015-11-18T22:41:00.000-08:002015-11-18T22:41:07.712-08:00Al Hikam : Keutamaan Wirid<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9vLQPCXR7f-X3r2UOHqicPEAx8MUtlO-s9j7GYan6rQRb0vWhRtnjhthycg778UlHfMcySZ8f2VrDefkBKYLwglY9FjnnQT6j6mRJo4n8m-4VDx0aL3hHAcSHkxBmG4jr9X2F_S55nijF/s1600/21.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9vLQPCXR7f-X3r2UOHqicPEAx8MUtlO-s9j7GYan6rQRb0vWhRtnjhthycg778UlHfMcySZ8f2VrDefkBKYLwglY9FjnnQT6j6mRJo4n8m-4VDx0aL3hHAcSHkxBmG4jr9X2F_S55nijF/s1600/21.jpg" /></a></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Ibnu Athaillah didalam Al Hikam berkata:"Jika Kamu melihat seorang hamba yang mana telah menjadikan kepadanya wirid dan dia tetap selalu menjaganya, tapi lama sekali datangnya pertolongan Allah (kepadanya). Maka dari itu janganlah menghina (meremehkan) apa yang Allah telah memberinya. Karena sesungguhnya kamu tidak mengerti tanda-tanda orang ma'rifat dan orang yang cinta kepada Allah, maka seandainya tidak ada warid (karunia Allah) tentu tidak ada wirid (kontiniu/keistiqomaha</span><span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">n dalam menjalankan ibadah tertentu)".<br />maksud dari perkataan ini adalah Apabila ada seseorang yang tekun dalam beribadah akan tetapi belum tampak tanda keistimewaan pada dirinya, maka janganlah engkau memandang rendah orang tersebut. Sebab yang demikian itu berarti engkau belum tahu akan tanda-tanda orang makrifat dan orang yang dicintai Allah.<br />semoga menjadi semangat buat kita dalam istiqomah melakukan riyadoh tanpa mengharapkan keistimewaan tertentu menuju kecintaan pada Allah dan Rasulullah. Amin</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-54952269548220891162015-11-18T22:39:00.003-08:002015-11-18T22:39:43.499-08:00Hikmah Imam Al Ghazali : Nafsu<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Imam Al Ghazali berkata:" Jika nafsumu mengajakmu meninggalkan berbagai macam wirid maupun zikir yang telah kami sebutkan karena merasa berat ataupun malas, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya setan terlaknat telah mencoba untuk menutupi hatimu dengan penyakit-penyakit hati yaitu cinta harta dan cinta kedudukan.</span><div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;"> Karena itu, engkau harus berhati-hati agar engkau tidak tertipu oleh tipuannya, jika tidak maka engkau akan menjadi menjadi bahan tertawaan da cemoohan bagi syaithan, </span><span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">dan dia akan mencelakakan serta menghina dirimu. Sebenarnya jika engkau melatih dirimu untuk sabar dalam mengkontinyukan wirid dan ibadah tersebut walaupun terasa berat, malas ataupun enggan maka itu adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi jika timbul rasa cinta kepada ilmu yang bermanfaat dan engkau dapat bersifat ikhlas utuk Allah dan untuk meraih keuntungan akhirat di dalam mencarinya, maka ketahuilah bahwa pahala mendalami ilmu yang bermanfaat lebih diutamakan daripada wirid dan dzikir yang telah disebutkan, yaitu Selama niatannya benar. </span></div>
<div>
<span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Yang paling pokok dalam hal ini adalah niat, jika niatnya benar maka ilmu akan membawa derajat yang agung namun jika tidak benar, maka ilmu hanya akan menjadi gudang kehancuran. Yaitu tempat tertipunya orang-orang yang bodoh dan tempat tergelincirnya para pembesar dan pejabat.<br />sumber : Bidayatul Hidayah : Imam Al Ghazali</span><span class="fullpost">
</span></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-51410490691793147922015-11-18T22:37:00.000-08:002015-11-18T22:37:18.099-08:00Hikmah Habib Abdullah Al Haddad<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Habib Abdullah Al Haddad berkata: "Barangsiapa yang hatinya telah dibuka oleh Allah SWT untuk mengikuti jalan petunjuk, hendaknya ia menilainya sebagai karunia terbesar dari Allah SWT yang nilainya sangat tinggi, sehingga karunia tersebut harus ia syukuri dengan benar-benar, karena banyak dari kaum muslimin yang telah mencapai usia delapan puluh tahun lebih tetapi belum pernah mendapat jalan petunjuk menuju kepada Allah SWT.</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Karena itu, bagi seseorang yang telah mendapat petu</span><span class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">njuk dari Allah SWT, maka hendaknya ia berusaha menjaganya baik-baik dengan jalan memperbanyak berdzikir, berfikir dan selalu duduk bersama dengan orang-orang baik. janganlah ia mendekati atau duduk bersama dengan orang yang hatinya ditutupi oleh Allah SWT dan senantiasa mengikuti bisikan setan. Hendaknya ia senantiasa kembali kepada Allah sealu berharap kepada rahmat Allah, menyegerakan segala perbuatan baik setiap kali ia mendapat kesempatan untuk melakukanya. Janganlah ia menunda sedikitpun perbuatan baik apapun bentuknya dengan alasan apapun karena perbuatan itu termasuk bisikan setan.<br />Ibnu Athaillah didalam Al Hikam berkata: "Jika engkau menunda suatu perbuatan baik ketika engkau mendapatkan kesempatan untuk mengerjakanya, maka engkau termasuk orang yang mengikuti hawa nafsu:<br />(Sumber: Kitab Adab Suluki Murid : Habib Abdullah Al Haddad.)</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-38582204711756518142015-11-18T22:35:00.002-08:002015-11-18T22:37:37.251-08:00Hikmah Imam Al Ghazali<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Imam Al Ghazali berkata:".... Maka keyakinanmu bahwa engkau lebih baik dari orang lain adalah kebodohan yang fatal. Oleh karena itu sebaiknya engkau tidak melihat siapapun kecuali engkau menganggap ia lebih baik darimu, dan bahwa kelebihan dan keutamaan ada padanya, bukan pada dirimu yang penuh kekurangan.</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Jika melihat anak kecil katakanlah didalam hatimu, "Dia ini tidak banyak maksiat kepada Allah karena masih kecil sedang aki banyak maksiat kepada-Nya, maka jelas ia lebih baik dariku. Jika engkau melihat orang tua berkatalah, "Orang ini menyembah Allah sebelum diriku, maka jelas ia lebih baik dariku. Jika engkau melihat orang laim katakanlah, "Orang ini dikaruniakan sesuatu yang aku tidak mendapatkanya, dia telah mencapat tingkatan yang aku belum mencapainya dan megetahui ilmu yang aku belum memahaminya, maka bagaimana aku merasa sama dengannya?". Jika engkau melihat orang bodoh katakanlah, "Orang ini bermaksiat kepada Allah karena kebodohanya, sedangkan aku bermaksiat kepada Allah padahal aku berilmu, karenanya alasan Allah untuk menyiksaku lebih kuat, apalagi aku tidak tahu akhiranku dan akhiranya!? dengan alasan apa aku merasa lebih baik dari dirinya?". Bahkan jika engkau melihat orang kafirpun katakanlah," Aku tidak tahu, mungkin saja dia akan masuk islam dan diakhiri usianya dengan kebaikan, mungkin dia akan terlepas dari dosa seperti tercerabutnya rambut dari bubur, sementara aku belum jelas, aku masih khawatir Allah akan menyesatkan aku lalu aku menjadi kafir dan diakhir hidupku dengan keburukan. Dengan demikian, mungkin saja dia menjadi orang yang dekat dengan Allah, sedang aku menjadi orang yang jauh dari-Nya. lalu dengan dalil apa aku merasa lebih baik darinya!".....</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">"Oleh karena itu, lebih baik engkau sibuk memikirkan akhir kehidupanmu daripada sombong kepada hamba2 Allah yang lainnya. Tidak ada jaminan bahwa keyakinan dan keimanan yang kau miliki sekarang tidak akan berubah dilain waktu yang akan datang, karena sesungguhnya hanya Allah lah yang Maha menggenggam hati dan membolak balikanya, Dia memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki dan menyesatkan orang yang Dia kehendaki pula..".</span><br />
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: "helvetica" , "arial" , sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">(Imam Al Ghazali : Bidayatul Hidayah)</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-90295328694963405252015-11-18T22:33:00.000-08:002015-11-18T22:33:11.140-08:00<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu5NYL8eXgc03Pd2DKhWmWhnc9n9ZnAS4T4HdKvhBXduys59IdzDrqoQAQMRILLMRcgPPXeDbLyKtQ_B5cTvkIROEYxReB2ONLU5ier6xg2xPHk7sNiO9eGSP1KYcixF0_puxXODmu_1bx/s1600/habib+umar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu5NYL8eXgc03Pd2DKhWmWhnc9n9ZnAS4T4HdKvhBXduys59IdzDrqoQAQMRILLMRcgPPXeDbLyKtQ_B5cTvkIROEYxReB2ONLU5ier6xg2xPHk7sNiO9eGSP1KYcixF0_puxXODmu_1bx/s1600/habib+umar.jpg" /></a><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">Habib Umar bin Hafidz berkata: "Pondasi agar seseorang mendapatkan kenikmatan dalam beribadah adalah menyatukan tujuannya hanya kepada Tuhan, lalu memaksa hati kita agar selalu menghadirkan Allah SWT, dan bergaul bersama orang-orang yang saleh dan membaca biografi mereka. Melalui semua itu seseorang akan mendapatkan kenikmatan dalam beribadah. Seorang arif ditanya:"Aapakah mereka yang bermaksiat kepada Allah akan mendapatkan kenikmatan dalam beribadah?" ia menajwab, "Tidak akan, bahkan mereka yang memiliki rencana bermaksiat tidak akan mendapatkannya".</span></div>
<span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan ini amin..</span><br style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;" /><span style="background-color: white; color: #141823; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">(Sumber:Tanjih al Nabih li Mardhah Barih-Al Habib Umar Bin Hafidz menjawab)</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-14834748336289455502015-07-06T18:03:00.001-07:002015-07-06T18:03:28.320-07:00Tawassul Dalam Perspektif HaditsTawassuladalah berdoa dengan perantara, sedari dulu ulama dipenjuru dunia memperbolehkan dan mengamalkan tawassul baik dengan amal sholih, ataupun dengan pribadi dan kedudukan nabi Muhammad SAW serta para auliya’. Hanya saja semenjak datangnya gelombang pembaharuan yang dihembuskan oleh Muhammad Bin Abdul wahhab, maka terjadi goncangan ditubuh umat Islam. Mereka yang mengamalkan tawassul kepada Nabi dan para wali dicap sebagai biang Bid’ah dan Syirik. Bukan cuma itu, sejumlah auliya’ Alloh dihujat habis-habisan mulai dari Syaikh Ahmad Badawi sampai para wali songodi tanah jawa.
<span class="fullpost">
<br /><br />Sebenarnya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah. ( Lihat QS. Al Maidah : 35 di atas ) .Rasulullah saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no.589 dan hadits no.4442)
<br /><br />
Hadits ini jelas bahwa Rasul menunjukkan bahwa beliau tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau sudah dijanjikan syafaat beliau dan hak untuk menjadi perantara ini tidak dibatasi oleh keadaan beliau, baik ketika masih hidup ataupun di saat wafatnya.<br /><br />
Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang telah aku lakukan saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam goa dan masing masing bertawassul pada amal shalihnya.<br /><br />
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dg derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507).
<br /><br />
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
<br /><br />
Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.<br />
Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.<br />
Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra?, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
<br /><br />
Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri disisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yg ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah.
<br /><br />
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194), ucapan beliau: “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul dengan tanah, menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah swt. Dalam riwayat lain diterangkan<br /><br />
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ
أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
<br /><br />Dari ustman bin hanif sesungguhnya seseorang yang sakit mata datang kepada nabi saw lalu berkata, berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku, Nabi menjawab, jika kamu mau, maka aku akan berdoa (untukmu) dan jika kamu ingin, maka bersabarlah dan itu lebih baik bagimu, lalu dia berkata, berdoalah. Ustman Bin Hanif berkata, lalu Nabi memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik lalu berdoa dengan doa ini, ya Allah sesungguhnya hamba mohon kepadaMu dan hamba menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan engkau ya Rasuulullah supaya hajatku ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafaat hajatku untukku.
<br /><br />
(Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist ini dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.
<br /><br />
Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya.
<br /><br />
Lalu muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur.
<br /><br />
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut :
<br /><br />
“telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah dengan doa ini : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat.<br /><br />
Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada Utsman bin Affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin Hanif ra : “aku tak bicara apa-apa pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majma’ zawaid Juz 2 hal 279), Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Al Kabir yang dalam sanadnya terdapat Rauh bin Sholah, Ibnu Hibban dan Al Hakim menstiqahkannya ( Syarah Ibnu Majjah 1/99 ).
<br /><br />
Ada juga sebuah hadist dari Malik ad Daar diriwayatkan dalam kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 Kitab Fadhail bab Fadhail Umar bin Khattab RA hadis no 32665 dan juga terdapat dalam Musnad Umar Bin Khottob Juz 25/388.<br /><br />
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ , قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW dan berkata “Ya Rasulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya”.
<br /><br />
Hadis Malik Ad Daar ini juga diriwayatkan oleh Al Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam Dalail An Nubuwah 7/47 hadis no 2974 dan Al Khalili dalam kitabnya Al Irsyad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313. Keduanya dengan sanad masing-masing yang bermuara pada ‘Amasy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.
<br /><br />
Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu hajjar Al Asqolaniy dalam fathul Bari 3/441 Bab dan juga oleh Ibnu Katsir dalam An Nihayahnya 7/106. Meskipun Syaikh al Albani mendhoifkannya dengan alasan yang dibuat-buatnya ( Suatu saat nanti dengan izin Allah penulis akan menyangkal pernyataan Al Albani dalam At Tawassul 1/120 ). Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut, tawassul dengan Nabi Muhammad baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya adalah boleh dan bukan perbuatan syirik.
<br /><br />
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya.
<br /><br />
Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya.
<br /><br />
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yg tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt. (Lihat perkataan asy Syaukaniy yang dikutip oleh Abdurrahman Al Mubarokfury dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/476 )
<br /><br />
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.
<br /><br />
Imam Asy Syaukaniy dalam Kitab Faidhul Qodir 2/170 berkata :<br /><br />
قال السبكي ويحسن التوسل والاستعانة والتشفع بالنبي إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف ولا من الخلف حتى جاء ابن تيمية فأنكر ذلك وعدل عن الصراط المستقيم وابتدع ما لم يقله عالم قبله
<br /><br />
“ Imam Subuki berkata,tawassul, minta tolong dan minta syafaat kepada Alloh melalui Nabi adalah baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan kholaf yang mengingkarinya, hingga datanglah Ibnu Taymiyyah yang mengingkarinya, menganggapnya berpaling dari jalan yang lurus serta membid’ahkannya padahal tidak ada seorang alim pun sebelumnya yang berkata seperti itu”.
<br /><br />
Sebagian sahabat berusaha untuk menyangkal dibolehkannya tawassul dengan mengkritik sanad sebuah hadist tentang tawasssulnya Nabi adam Alaihissalam dengan kemuliaan Nabiyullah Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam hakim dalam Mustadroknya, hadist tersebut berbunyi :<br /><br />
حدثنا أبو سعيد عمرو بن محمد بن منصور العدل ثنا أبو الحسن محمد بن إسحاق بن إبراهيم الحنظلي ثنا أبو الحارث عبد الله بن مسلم الفهري ثنا إسماعيل بن مسلمة أنبأ عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده عن عمر بن الخطاب قال : قال رسول الله ( [ لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد إلا ما غفرت لي فقال الله تعالى : يا آدم كيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً (( لا إله إلا الله محمد رسول الله )) فعلمت إنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إليّ وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ) رواه الحاكم وصححه.(
<br /><br />
Abu Said Amr bin Muhammad bin Manshur al-Adl menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali dari Abu al-Harits Abdullah bin Muslim al-Fihri dari Ismail bin Maslamah dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Wahai Adam, bagaimana kamu mengetahui Muhammad dan aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau ketika menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di penyangga-penyangga Arsy ‘Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah’. Maka aku tahu bahwa sesungguhnya Engkau tidak menyandingkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Kamu benar wahai Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling aku sukai. Jika kamu meminta kepadaku dengan haknya, maka aku mengampunimu. Jika bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakanmu.’”
<br /><br />
Sepanjang pengetahuan penulis Abdurrahman Bin Zaid Bin Aslam adalah rawi yang dilemahkan oleh para ulama hadits dan hampir semua kitab rijal hadits menjarhnya bahkan Adz Dzahabi menganggapnya pemalsu hadist. Oleh karena itu secara kasat mata hadits ini jelas gugur sebagai hujjah karena kedhoifan rawinya, sehingga tidak perlu untuk diperbincangkan lagi. Akan tetapi kehujjahan tawassul tidak serta merta gugur dengan runtuhnya hadits di atas, sebab hadist-hadist yang telah penulis paparkan dimuka sudah sangat cukup untuk menegaskan kepada kita bahwa tawassul kepada Nabi baik ketika beliau masih hidup atau sesudah wafatnya adalah hal yang diperbolehkan.
<br /><br />
Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyyah 1/320 mengutip hadist ini dan mengatakan bahwa Abdurrahman Bin Zaid Bin aslam ini diperbincangkan, sementara al baihaqi mendhoifkannya.<br /><br />
Al Alamah Muhammad Bin Alwi Al Maliki meriwayatkannya dalam Mafahim Yajiibu An Tushohah dan beliau mengikuti penshahihan al Hakim. Al Hafidz Al Qostholaniy juga menshahihkan hadist ini dalam kitab Mawahib 2/392. Penerimaan mutlak Al Maliki terhadap penshahihan al hakim maupun al Qostholaniy ini bukanlah suatu perbuatan tercela, sebab dalam ushulul hadist dijelaskan jika seorang hafidz mu’tamad menghukumi shahih suatu hadist, maka diperbolehkan untuk menerimanya secara mutlak. Hal ini pun diungkapkan oleh Syaikh Yusuf Qaradhawiy ketika menanggapi kritikan al Albani dalam Ghayatul marom.
<br /><br />
Oleh sebab itu, kritik terhadap cara penshahihan Al Maliki tersebut sangat tidak tepat, namun mengkritisi sanad hadits riwayat Al Hakim di atas adalah terpuji. Sebab bisa jadi ada yang tampak oleh ulama’ satu akan tetapi tersembunyi dari ulama’ lainnya.
<br /><br />
Wallohu a’lam<br /><br />
Oleh : AHMAD AR-RIFA’I
http://www.sarkub.com
</span>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-31320886851350902092015-07-02T00:44:00.002-07:002015-07-06T17:53:16.024-07:00Rumi: Berpuasa: Menanti Perjamuan-Nya Ada yang terasa manis<br />
tersembunyi di balik laparnya lambung<br />
<br />
Insan itu tak ubahnya
sebatang seruling.<br />
Ketika penuh isi lambung seruling,<br />
tak ada desah: rendah atau tinggi
yang dihembuskannya.<br />
<br />
Jika lambung dan kepalamu
terasa terbakar karena berpuasa,<br />
apinya akan menghembuskan
rintihan dari dadamu.<span class="fullpost">
<br /><br />
Melalui api itu
akan terbakar seribu hijab dalam sekejap,<br />
kau akan melesat naik seribu derajat
dalam Jalan dan cita-citamu.<br /><br />
Jaga lah agar lambungmu kosong.<br />
Merintih lah bagai sebatang seruling<br />
dan sampaikan keperluanmu kepada Rabb.<br /><br />
Jaga lah agar lambungmu kosong<br />
hingga dapat kau lantunkan bermacam rahasia
layaknya sebatang seruling.<br /><br />
Jika lambungmu selalu penuh<br />
Setan yang akan menanti di kebangkitanmu
dan bukannya Akal Sejati-mu,<br />
di rumah berhala dan bukannya di Ka'bah.<br /><br />
Ketika engkau berpuasa,<br />
akhlak yang baik berkumpul di sekitarmu,<br />
bagaikan pembantu, budak dan penjaga.
<br /><br />
Teruskan lah berpuasa,<br />
karena ia adalah segel Sulaiman.<br />
Jangan serahkan segel itu kepada Setan,<br />
yang dapat membuat kerajaanmu kacau.<br /><br />
Dan jika sempat kerajaan dan bala-tentaramu
tinggalkan dirimu,<br />
mereka akan kembali,<br />
jika kau tegakkan lagi panjimu
dengan berpuasa.<br /><br />
Hidangan dari langit, al-Maidah,<br />
telah tiba bagi mereka yang berpuasa.<br />
Isa ibn Maryam telah menurunkannya
dengan do'anya.
<br /><br />
Tunggu lah Meja Perjamuan, al-Maidah,<br />
dari Yang Maha Pemurah dengan puasamu:<br />
sungguh tak pantas membandingkan
hidangan dari langit dengan sederhananya
sup sayuranmu.<br /><br />
Catatan:<br />
"Al-Maidah" nama surat ke 5 dari al-Qur'an Suci, menyampaikan rujukan terkait bahasan di atas, pada ayat-ayat:
<br />
(112) (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan maidah dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".
<br /><br />
(113) Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
<br /><br />
(114) Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu maidah dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".
<br /><br />
(115) Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia".
<br /><br />
Sumber:<br />
Rumi: Divan-i Syams ghazal 1739.<br />
dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick<br />
dalam "The Sufi Path of Love"<br />
SUNY Press, Albany, 1983.<br />
dan dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry<br />
dalam "Mystical Poems of Rumi 2"<br />
The University of Chicago Press, 1991.<br /><br />
Sumber: Ngrumi
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-78973014453283283622015-07-02T00:00:00.000-07:002015-07-02T00:00:57.277-07:00Kitab Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (8)Tahap-tahap dan peringkat-peringkat perubahan kerohanian telah disebutkan. Perlu ditegaskan bahwa setiap peringkat harus dicapai terutama taubat. Cara bertaubat bisadipelajari pada orang yang mengetahui cara berbuat demikian dan yang telah sendirinya bertaubat. Taubat yang sebenar dan menyeluruh merupakan langkah pertama di dalam perjalanan.<br />
<br />
إِذ جَعَلَ الَّذينَ كَفَروا فى قُلوبِهِمُ الحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الجٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكينَتَهُ عَلىٰ رَسولِهِ وَعَلَى المُؤمِنينَ وَأَلزَمَهُم كَلِمَةَ التَّقوىٰ وَكانوا أَحَقَّ بِها وَأَهلَها ۚ وَكانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمًا ﴿٢٦
<br />
<br />
(Ingatlah) Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surah Fath, ayat 26).<span class="fullpost">
<br /><br />
Keadaan takut kepada Allah adalah sama dengan kalimah “La ilaha illa Llah” – tiada Tuhan, tiada apa-apa, kecuali Allah. Bagi orang yang mengetahui ini, akan ada perasaan takut kehilangan-Nya, kehilangan perhatian-Nya, cinta-Nya, keampunan-Nya; dia takut dan malu melakukan kesalahan sedangkan Dia melihat, dan takut azab-Nya. Jika keadaan seseorang itu tidak demikian, dia perlu mendapatkaan orang yang bisa mentakutkan kepada Allah dan menerima keadaan takut Allah itu dari orang tersebut.
Sumber dari mana saja perkataan itu, harus diterima dengan bersih dan suci dari segalanya kecuali Allah, dan siapa yang menerimanya harus bisa membedakan antara perkataan orang yang suci hatinya dengan perkataan orang awam. Penerimanya harus sadar cara perkataan itu diucapkan, kerana perkataan yang bunyinya sama mungkin mempunyai maksud yang jauh berbeda. Tidak mungkin perkataan yang datangnya dari sumber yang asli sama dengan perkataan yang datangnya dari sumber lain.
Hatinya menjadi hidup bila dia menerima benih tauhid dari hati yang hidup, karena benih yang demikian sangat subur, itulah benih kehidupan. Tidak ada yang tumbuh dari benih yang kering lagi tiada kehidupan. Kalimah suci “La ilaha illa Llah” disebut dua kali di dalam Quran menjadi bukti.<br /><br />
إِنَّهُم كانوا إِذا قيلَ لَهُم لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَستَكبِرونَ ﴿٣٥﴾ وَيَقولونَ أَئِنّا لَتارِكوا ءالِهَتِنا لِشاعِرٍ مَجنونٍ ﴿٣٦﴾
(35) <br /><br />"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ""Laa ilaaha illallah"" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri." (36) "dan mereka berkata: ""Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (Surah Shaaffaat. Ayat 35 & 36).
Ini adalah keadaan orang awam yang baginya rupa luar termasuk kewujudan zahirnya adalah tuhan-tuhan.<br /><br />
فَاعلَم أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاستَغفِر لِذَنبِكَ وَلِلمُؤمِنينَ وَالمُؤمِنٰتِ ۗ وَاللَّهُ يَعلَمُ مُتَقَلَّبَكُم وَمَثوىٰكُم
<br /><br />“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu". (Surah Muhammad, ayat 19).
<br /><br />
Firman Allah ini menjadi panduan kepada orang-orang beriman yang takut kepada Allah.
Sayyidina Ali r.a meminta Rasulullah s.a.w mengajarkan kepadanya cara yang mudah, paling bernilai, paling cepat kepada keselamatan. Baginda s.a.w menanti Jibrail memberikan jawabannya dari sumber Ilahi. Jibrail datang dan mengajarkan baginda s.a.w mengucapkan “La ilaha” sambil memutarkan mukanya yang diberkati ke kanan, dan mengucapkan “illa Llah” sambil memutarkan mukanya ke kiri, ke arah hati sucinya yang diberkati. Jibrail mengulanginya tiga kali; Nabi s.a.w mengulanginya tiga kali dan mengajarkan yang demikian kepada Sayidina Ali r.a dengan mengulanginya tiga kali juga. Kemudian baginda s.a.w mengajarkan yang demikian kepada sahabat-sahabat baginda. Sayidina Ali r.a merupakan orang yang pertama bertanya dan menjadi orang yang pertama diajarkan.
<br /><br />
Kemudian satu hari setelah kembali dari peperangan, Nabi s.a.w berkata kepada pengikut-pengikut baginda, “Kita baru kembali dari peperangan yang kecil untuk menghadapi peperangan yang besar”. Baginda s.a.w merujukkan kepada perjuangan dengan ego diri sendiri, keinginan yang rendah yang menjadi musuh kepada penyaksian kalimah tauhid. Baginda s.a.w bersabda, “Musuh kamu yang paling besar ada di bawah rusuk kamu”.
Cinta Ilahi tidak akan hidup sehingga musuhnya, hawa nafsu badaniah kamu, mati dan meninggalkan kamu.
<br /><br />
Awalnya harus bebas dari ego yang mengnyeret kamu kepada kejahatan. Kemudian kamu akan memiliki sedikit suara hati, walaupun kamu masih belum bebas sepenuhnya dari dosa. Kamu akan memiliki perasaan mengkritik diri sendiri – tetapi ia belum mencukupi. Kamu mesti melewati tahap tersebut pada peringkat di mana hakikat yang sebenarnya dibukakan kepada kamu, kebenaran tentang benar dan salah.
<br /><br />
Kemudian kamu akan berhenti melakukan kesalahan dan akan hanya melakukan kebaikan. Dengan demikian diri kamu akan menjadi bersih. Di dalam menentang hawa nafsu dan tarikan badan kamu, kamu mesti melawan nafsu kehewanan – kerakusan, terlalu banyak tidur, pekerjaan yang sia-sia – dan menentang sifat-sifat hewan liar di dalam diri kamu – kekejian, marah, kasar dan berkelahi. Kemudian kamu mesti usahakan membuang perangai-perangai ego yang jahat, takabur, sombong, dengki, dendam, tamak dan lain-lain penyakit tubuh dan hati kamu. Cuma orang yang berbuat demikian yang benar-benar bertaubat dan menjadi bersih, suci dan murni.<br /><br />
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوّٰبينَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرينَ ﴿٢٢٢
<br /><br />
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Surah Baqarah, ayat 222).
<br /><br />
Dalam melakukan taubat seseorang itu mesti bersungguh-sungguh, supaya penyesalannya tidak samar-samar dan tidak juga secara umum agar dia tidak jatuh ke dalam ancaman Allah:
“Banyak sekali mereka bertaubat mereka tidak sebenarnya menyesal. Taubat mereka tidak diterima”.
<br /><br />
Ini ditujukan kepada mereka yang hanya mengucapkan kata-kata taubat tetapi tidak tahu sejauh mana dosa mereka, malah tidak mengambil tindakan pembaikan dan pencegahan. Itulah taubat yang biasa, taubat zahir yang tidak menusuk kepada puncak dosa. Ia adalah umpama orang yang menghilangkan rumput dengan memotong bagian di atas tanah tetapi tidak mencabut akarnya yang di dalam bumi. Tindakan yang demikian membantu rumput untuk tumbuh dengan lebih segar. Orang yang bertaubat dengan mengetahui kesalahannya dan puncak kesalahan itu berazam tidak mengulanginya dan membebaskan dirinya dari kesalahan itu, mencabut akar pokok yang merosakkan itu. Cangkul yang digunakan untuk menggali akarnya, puncaknya dosa-dosa, yaitu pengajaran kerohanian dari guru yang benar. Tanah mestilah dibersihkan sebelum ditanami benih.
<br /><br />
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. (Surah Hasyr, ayat 21).
“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Surah Syura, ayat 25).<br /><br />
"kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." . (Surah Furqaan, ayat 70).
Ketahuilah taubat yang diterima, tandanya ialah seseorang itu tidak lagi jatuh ke dalam dosa tersebut.
<br /><br />
Ada dua jenis taubat, taubat orang awam dan taubat mukmin sejati. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan dan masuk kepada kebaikan dengan cara mengingati Allah dan mengambil langkah usaha bersungguh-sungguh, meninggalkan hawa nafsunya dan kesenangan badannya dan menekankan egonya. Dia mesti meninggalkan keegoannya yang ingkar terhadap peraturan Allah dan masuk kepada taat. Itulah taubatnya yang menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga.
Orang mukmin sejati, hamba Allah yang murni, berada di dalam suasana yang jauh berbeda. Mereka berada pada maqam makrifat yang jauh lebih tinggi daripada maqam orang awam yang paling baik. Sebenarnya bagi mereka tidak ada lagi anak tangga untuk dipanjat; mereka telah sampai kepada kebersamaan dengan Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan dan nikmat dunia ini dan menikmati kelezatan alam kerohanian – rasa kebersamaan dengan Allah, nikmat menyaksikan Zat-Nya dengan mata keyakinan.
<br /><br />
Perhatian orang awam tertuju kepada dunia ini dan kesenangan mereka adalah merasakan nikmat kebendaan dan kewujudan kebendaannya. Malah, jika kewujudan kebendaan manusia dan dunia merupakan satu kesilapan begitu jugalah nikmat dan kecacatan yang paling baik daripadanya. Kata-kata yang diucapkan oleh orang arif, “Kewujduan dirimu merupakan dosa, menyebabkan segala dosa menjadi kecil jika dibandingkan dengannya”. Orang arif selalu mengatakan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh orang baik tidak sampai kehadapan Allah tidak lebih dari kesalahan orang yang hampir dengan-Nya. Jadi, bagi mengajar kita memohon keampunan terhadap kesalahan yang tersembunyi yang kita sangkakan kebaikan, Nabi s.a.w yang tidak pernah berdosa memohon ampunan pada Allah sebanyak seratus kali sehari. Allah Yang Maha Tinggi mengajarkan kepada rasul-Nya:
“Pintalah perlindungan bagi buah amal kamu dan bagi mukmin dan mukminat”. (Surah Muhamamd, ayat 19).
<br /><br />
Dia jadikan rasul-Nya yang suci murni sebagai teladan tentang cara bertaubat – dengan merayu kepada Allah supaya menghilangkan ego seseorang, sifat-sifatnya dan dirinya, semuanya pada diri seseorang, mencabut kewujudan diri seseorang. Inilah taubat yang sebenarnya.
Taubat yang demikian meninggalkan segala-galanya kecuali Zat Allah, dan berazam untuk kembali kepada-Nya, kembali kepada kebersamaan-Nya untuk melihat Wajah Ilahi. Nabi s.a.w menjelaskan taubat yang demikian dengan sabda baginda s.a.w, “Ada sebagian hamba-hamba Allah yang benar yang tubuh mereka berada di sini tetapi hati mereka berada di sana, di bawah arasy”. Hati mereka berada pada langit kesembilan, di bawah arasy Allah kerana penyaksian suci terhadap Zat-Nya tidak mungkin berlaku pada alam bawah.
<br /><br />
Di sini hanya kenyataan atau penampakan sifat-sifat suci-Nya yang dapat disaksikan, memancar ke atas cermin yang bersih kepunyaan hati yang suci. Sayyidina Umar r.a berkata, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”. Hati yang suci adalah cermin di mana keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan Allah memancar. Nama lain yang diberi kepada suasana ini ialah pembukaan (mukasyafah), menyaksikan sifat-sifat Ilahi yang suci (musyahadah).
<br /><br />
Bagi yang memperoleh suasana tersebut, untuk membersihkan dan menyinarkan hati, perlulah kepada guru yang matang, yang di dalam keesaan dengan Allah, yang disanjung dan dimuliakan oleh semua, sejak dahulu hingga sekarang. Guru tersebut mesti telah sampai kepada maqam kebersamaan dengan Allah dan diturunkan lagi ke alam rendah oleh Allah untuk membimbing dan menyempurnakan mereka yang layak tetapi masih mempunyai kecacatan.
<br /><br />
Di dalam penurunan mereka untuk melakukan tugas tersebut wali-wali Allah mestilah berjalan Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w dengan mengikuti teladan baginda s.a.w, tetapi tugas mereka berlainan dengan tugas rasul. Rasul diutuskan untuk menyelamatkan orang ramai dan juga orang-orang yang beriman. Guru-guru tadi pula tidak diutus untuk mengajar semua orang tetapi hanyalah sebilangan yang dipilih saja. Rasul-rasul diberi kebebasan dalam menjalankan tugas mereka, sementara wali-wali yang mengambil tugas sebagai mursyid mesti mengikuti jalan rasul-rasul dan nabi-nabi.
<br /><br />
Guru kerohanian yang mengaku diri mereka merdeka, menyamakan dirinya dengan nabi, jatuh kepada kesesatan dan kekufuran. Bila Nabi s.a.w mengatakan sahabat-sahabat baginda yang arif adalah umpama nabi-nabi Bani Israil, yang baginda memaksudkan bukan seperti itu, – karena nabi-nabi yang datang setelah Musa a.s semuanya mengikuti prinsip agama yang dibawa oleh Musa a.s. Mereka tidak membawa syari'at baru. Mereka mengikuti undang-undang yang sama. Seperti mereka juga orang-orang arif dari kalangan umat Nabi Muhammad s.a.w yang bertugas membimbing sebagian dari orang-orang suci yang dipilih, mengikuti kebijaksanaan Nabi s.a.w, tetapi menyampaikan perintah dan larangan dengan cara baru yang berbeda, terbuka dan jelas, menunjukkan kepada murid-murid mereka dengan perbuatan yang mereka kerjakan pada masa dan keadaan yang berlainan. Mereka memberi dorongan kepada murid-murid mereka dengan menunjukkan kelebihan dan keindahan prinsip-prinsip agama. Tujuan mereka ialah membantu pengikut-pengikut mereka menyucikan hati yang menjadi tampak untuk membangun tugu makrifat.
<br /><br />
Semua itu mereka mengikuti teladan dari pengikut-pengikut Rasulullah s.a.w yang terkenal sebagai ‘golongan yang memakai baju bulu’ yang telah meninggalkan semua aktivitis keduniaan untuk berdiri di pintu Rasulullah s.a.w dan berada hampir dengan baginda. Mereka menyampaikan kabar sebagaimana mereka menerimanya secara langsung daripada mulut Rasulullah s.a.w. Dalam kebersamaan mereka dengan Rasulullah s.a.w mereka telah sampai kepada peringkat di mana mereka boleh berbicara tentang rahasia isra' dan mi'raj Rasulullah s.a.w sebelum baginda membuka rahasia tersebut kepada sahabat-sahabat baginda.
Wali-wali yang menjadi mursyid memiliki kebersamaan yang serupa dengan Nabi s.a.w dengan Tuhannya. Amanah dan penjagaan terhadap ilmu ketuhanan yang serupa dianugerahkan kepada mereka. Mereka merupakan Pemegang sebagian dari kenabian, dan diri batin mereka selamat di bawah penjagaan Rasulullah s.a.w.
<br /><br />
Tidak semua orang yang memiliki ilmu berada di dalam keadaan tersebut. Mereka yang sampai ke situ adalah yang lebih cinta kepada Rasulullah s.a.w daripada anak-anak dan keluarga mereka sendiri dan mereka adalah umpama anak-anak kerohanian Rasulullah s.a.w yang hubungannya lebih erat daripada hubungan darah. Mereka adalah pewaris sebenar kepada Nabi s.a.w. Anak yang sejati memiliki zat dan rahasia bapaknya pada rupa zahirnya dan juga pada batinnya. Nabi s.a.w menjelaskan rahasia ini, “Ilmu khusus adalah umpama khazanah rahasia yang hanya mereka yang mengenali Zat Allah boleh mendapatkannya. Namun bila rahasia itu dibukakan orang yang mempunyai kesadaran dan ikhlas tidak menafikannya”.
<br /><br />
Ilmu tersebut dimasukkan kepada Nabi s.a.w pada malam baginda s.a.w mi'raj kepada Tuhannya. Rahsia itu tersembunyi di dalam diri baginda di balik tiga ribu tabir hijab. Baginda s.a.w tidak membuka rahasianya melainkan kepada sebagian pengikut baginda yang sangat cinta dengan baginda. Melalui penyebaran dan keberkatan rahasia inilah Islam akan terus memerintah sehingga ke hari kiamat.
<br /><br />
Pengetahuan batin tentang yang tersembunyi membawa seseorang kepada rahasia tersebut. Sains, kesenian dan kemahiran keduniaan adalah umpama kerangka kepada pengetahuan batin. Mereka yang memiliki pengetahuan kerangka itu boleh mengharapkan satu hari nanti mereka diberi kesempatan untuk memiliki apa yang di dalam kerangka. Sebagian dari mereka yang berilmu memiliki apa yang patut dimiliki oleh seorang manusia secara umumnya sementara sebagian yang lain menjadi ahli dan memelihara ilmu tersebut daripada hilang. Ada golongan yang menyeru kepada Allah dengan nasihat yang baik. Sebagian dari mereka mengikuti sunnah Nabi s.a.w dan dipimpin oleh Sayyidina Ali r.a. yang menjadi pintu kepada gedung ilmu yang melaluinya masuklah mereka yang menerima undangan dari Allah.
<br /><br />
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Surah Nahl, ayat 125).
<br /><br />
Maksud dan perkataan mereka adalah sama. Perbedaan pada zahirnya hanyalah pada perkara-perkara terperinci dan cara pelaksanaannya.
<br /><br />
Sebenarnya ada tiga makna yang kelihatan sebagai tiga jenis ilmu yang berbeda – dilakukan secara berbeda, tetapi menjurus kepada yang satu Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w. Ilmu dibagikan kepada tiga yang tidak ada seorang manusia boleh menanggung keseluruhan beban ilmu itu juga tidak berupaya mengamalkan dengan sekaliannya.
Bagian pertama ayat di atas “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana (hikmah)”, Sesuai dengan makrifat, zat dan permulaan kepada segala sesuatu, pemiliknya mestilah sebagaimana Nabi s.a.w beramal Sesuai dengannya. Ia hanya dikaruniakan kepada lelaki sejati yang berani, tentera kerohanian yang akan mempertahankan kedudukannya dan menyelamatkan ilmu tersebut. Nabi s.a.w bersabda, “Kekuatan semangat lelaki sejati mampu menggoncang gunung”. Gunung di sini menunjukkan keberatan hati setengah manusia. Doa lelaki sejati yang menjadi tentera kerohanian dimakbulkan. Bila mereka menciptakan sesuatu ia tercipta, bila mereka mau sesuatu hilang maka ia pun hilang.
<br /><br />
“Dia karuniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki, dan Barangsiapa dikaruniakan hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kebajikan yang banyak”. (Surah Baqarah, ayat 269).
<br /><br />
Jenis kedua ialah ilmu zahir yang disebut Quran sebagai “seruan yang baik”. Ia menjadi kulit kepada hikmah kebijaksanaan rohani. Mereka yang memilikinya menyeru kepada kebaikan, mengajar manusia berbuat baik dan meninggalkan larangan-Nya. Nabi s.a.w memuji mereka. Orang yang berilmu menyeru dengan lemah lembut dan baik hati, sementara yang jahil menyeru dengan kasar dan kemarahan.
<br /><br />
Jenis ketiga ialah ilmu yang menyentuh kehidupan manusia di dalam dunia. Ia disebut sebagai ilmu agama (syariat) yang menjadi sarang kepada hikmah kebijaksanaan (makrifat). Ia adalah ilmu yang diperuntukkan kepada mereka yang menjadi pemerintah manusia; menjalankan keadilan ke atas sesama manusia; peraturan manusia sesama manusia. Bagian terakhir ayat Quran yang di atas tadi menceritakan tugas mereka “dan berbincanglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik”. Mereka ini menjadi kenyataan kepada sifat Allah “al-Qahhar” Yang Maha Keras. Mereka berkewajipan menjaga peraturan di kalangan manusia selaras dengan hukum Tuhan, seumpama sabut melindungi tempurung dan tempurung melindungi isi.
<br /><br />
Nabi s.a.w menasihatkan, “Biasakan dirimu berada di dalam majlis orang-orang arif, taatlah kepada pemimpin kamu yang adil. Allah Yang Maha Tinggi menghidupkan hati dengan hikmah seperti Dia jadikan bumi yang mati hidup dengan tumbuh-tumbuhan dengan menurunkan hujan”. Baginda s.a.w juga bersabda, “Hikmah adalah harta yang hilang bagi orang yang beriman, dikutipnya di mana saja ditemuinya”.
<br /><br />
Malah perkataan yang diucapkan oleh manusia biasa datangnya daripada Loh Terpelihara menurut hukum Allah terhadap segala perkara dari awal hingga akhir. Loh itu disimpan pada alam tinggi pada akal asbab tetapi perkataan diucapkan menurut maqam seseorang. Perkataan mereka yang telah mencapai maqam makrifat adalah secara langsung dari alam tersebut, maqam kebersamaan dengan Allah. Di sana tidak ada perantaraan.
<br /><br />
Ketahuilah bahwa semua akan kembali kepada asal mereka. Hati, zat, mesti dikejutkan; dijadikan ia hidup untuk mencari jalan kembali kepada asalnya yang suci murni. Ia harus mendengar seruan. Seseorang mesti mencari orang yang orang yang darinya seruan itu muncul, melaluinya tampak ada seruan. Itulah guru yang benar. Ini merupakan kewajipan bagi kita. Nabi s.a.w bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam lelaki dan perempuan”. Ilmu tersebut merupakan peringkat terakhir semua ilmu, itulah ilmu makrifat, ilmu yang akan membimbing seseorang kepada asalnya, yang benar (hakikat). Ilmu yang lain perlu menurut sekadar mana keperluannya. Allah menyukai mereka yang meninggalkan cita-cita dan angan-angan kepada dunia, kemuliaan dan kebesarannya, karena kepentingan duniawi ini menghalang seseorang kepada Allah.<br /><br />
قُل لا أَسـَٔلُكُم عَلَيهِ أَجرًا إِلَّا المَوَدَّةَ فِى القُربىٰ
<br /><br />“Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. (Surah Syura, ayat 23).
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-43804109182679925062015-07-01T23:41:00.001-07:002015-07-06T17:58:29.015-07:00Risalah Al Muawanah (3) : Tentang Niat<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBhAe_BXTeXddTk8Ei_0GRsQxxdeEOzHoSHvage-wTLpeNAPvheeEKBh3qQiA8YzmyrmMgTxLP3RKF7-9D304XW01YVG2cDAA7jMVVlZO5ddPNBhVeVtB5xpFDNy5Bq5cJJh5ocgb1n-CP/s1600/Risalah_Muawanah__00231_zoom.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBhAe_BXTeXddTk8Ei_0GRsQxxdeEOzHoSHvage-wTLpeNAPvheeEKBh3qQiA8YzmyrmMgTxLP3RKF7-9D304XW01YVG2cDAA7jMVVlZO5ddPNBhVeVtB5xpFDNy5Bq5cJJh5ocgb1n-CP/s200/Risalah_Muawanah__00231_zoom.jpg" width="132" /></a>
(SAYIID ABDULLAH AL HADDAD )<br />
<br />
Dan wajib bagi kamu wahai saudaraku, untuk memperbaiki niat dan mengikhlaskan niat tersebut dan bertafakur akan niatmu sebelum engkau memasuki amal/sebelum mengerjakan sesuatu amal ibadah. Karena sesunggunya niat itu adalah pondasi atau dasar daripada mal. Dan amal mengikuti niat Mengenai baik dan buruknya, rusak dan selamatnya dll. . dan sungguh telah bersabda RasuluLlah SAW,Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya . dan bagi setiap manusia tergantung dari apa yang ia niatkan.
<br /><br />Dan wajib juga bagi kamu semua, untuk tidak mengucapkan suatu perkataan atau tidak mengamalkan suatu amal perbuatan atau berkehendak mengerjakan sesuatu apapun kecuali niatmu dalam hal itu semua adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari pahala yang baik di sisiNya. Dan ketahuikah sesungguhnya tidak akan dapat terjadi pendekatan diri kepada Allah Ta’ala kecuali dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah melalui Lisan RasulNya dari beberapa perbuatan fardhu, dan sunnah, .
Maka menjadilah perbuatan yang mubah akan tetapi karena niatnya baik, maka perbuatan itu menjadi sebab mendekatnya diri kepada Allah. Seperti orang yang ketika makan ia berniat untuk mendapatkan kekuatan dalam menjalankan ta’at kepada Allah Ta’ala atau ketika menikah diniatkan untuk mendapatkan keturunannya yang nantinya mereka akan menjadi orang yang ahli beribadah kepada Allah. <span class="fullpost">
<br />
<br />Dan disyaratkan di dalam niat yang baik dimana harus dilanjutkan dengan amal perbuatannya. Misal orang yang mencari ilmu dan ia bercita-cita akan mengamalkan ilmunya, maka apabila ia tidak mengamalkan ilmu yag telah pernah diperolehnya ketika dia mampu untuk mengamalkannya, maka niatnya yang demikian itu bukanlah niat yang benar / niyatushoodiqoh.
Demikian juga orang yang mencari harta dunia dengan niat agar ia tidak merepotkan orang lain, dan menyedekahkannya kepada orang yang membutuhkan dari orang-orang yang miskin, atau untuk mempererat silaturrahmi dengan hartanya itu, apabila ia tidak melaksanakkannya apa yang ia niatkan ketika dia mampu maka niat yang demikian ini bukanlah termasuk niat yang benar atau niat yang Shoodiqoh. <br />
<br />
Dan ketahuilah bahwa niat yang baik itu tidak dihitung dalam amal perbuatan yang buruk misalnya orang yang ikiut mendengarkan pembicaraan ghaibah kepada sesama muslim yang mana dalam mendengarkannya tersebut dia berniat untuk menyenangkan hati orang yang sedang ghaibah / membicarakan aib saudara se muslim, maka niatnya yang demikian ini bukanlah niat yang baik bahkan ia termasuk salah seorang diantara yang ikut ghaibah tersebut.
<br />
<br />
Dan barang siapa yang diam diri dari amar ma’ruf dan nahiii munkar dan dia mendakwakan bahwa niatnya itu agar tidak menyakiti hati orang yang melaksanakan perbuatan munkar, maka niat yang demikian ini bukanlah termasuk niat yang baik bahkan ia termasuk juga ke dalam golongan yang melaksanakan kemungkaran. <br />
<br />
Demikian juga perbuatan yang baik, tetapi niatnya tidak baik juga tidak akan menghasilkan pahala yang baik di sisi Allah seperti orang yang melakukan amal salih akan tetapi niatnya untuk mendapatkan kedudukan atau biar dipuji oleh orang lain atau untuk mendapatkan keuntungan materi.
<br />
<br />
Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku, agar niatmu dalam melakukan amal salih sebatas untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhoan Allah dan niatkanlah semua amal yang dibolehkan / Mubaahat hanya untuk menambah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan ketahuilah sesungguhnya bisa terjadi juga satu amal shaleh di niatkan dengan beberapa niat yang baik dan mendapatkan pahala secara sempurna dari tiap-tiap niat tersebut semisal orang yang membaca Al-Qur’an dia niatkan untuk bermunajat kepada Rabb nya, atau ia niatkan agar orang yang mendengarkannya mendapat faidah atau manfaat dari apa yang ia baca. Dan semisal perbuatan mubah dalam hal makan, dimana ia niatkan dalam makan tersebut untuk menjalankan perintah Allah karena Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’anul Kariim Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kamu sekalian dari rizki yang baik yang Aku berikan kepada kamu semua. Dan berniat pula dalam memakan makanan adalah untuk mendapatkan kekuatan dalam menjalankan ta’at kepada Allah dan juga dapat diniatkan pula untuk melahirkan rasa syukur kepada Allah sesuai dengan firman Allah di dalam kitabNya makanlah kamu sekalian dari rizki yang diberikan kepadamu dan bersyukurlah kepadaNya.
<br />
<br />
Bersabda RosuuluLloohi SAW-Sesungguhnya Allah mencatat perbuatan baik dan buruk……dan selanjutnya RasuluLlah SAW menerangkan bahwa-barang siapa mempunyai tujuan baik sedangkan ia tidak melaksanakannya maka Allah mencatat di sisiNya sebagai satu amal kebaikan yang sempurna. Dan barang siapa yang mempunyai niat baik juga ia melaksanakannya maka Allah mencatatnya sebagai 10 kebaikan sampai 700 kebaikan bahkan sampai berlipat dengan kelipatan yang banyak. Dan jika ia berniat keburukan akakan tetapi tidak mengamalkannya, maka dicatatlah ia sebagai satu kebaikan, dan apa bila ia mengamalkannya maka hanya di catat sebagai satu keburukan saja.
<br />
<br />
Sumber: manakib.wordpress.com
</span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-42357160225812473932015-01-20T17:15:00.001-08:002015-07-06T17:54:12.863-07:00Habib Ali Al-jufri berkisah tentang Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAWWafatnya Adalah Kehidupan Sejatinya<br />
<br />
Wahai,bagaimana hati kita tidak tergetar dan semakin merasakan kerinduan kepada Rasulullah SAW? Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan beliau ? Bagaimana kita tidak dapat melupakan perintah untuk mencintai beliau? Bagaimana hati kita tidak terikat untuk senantiasa merindukan beliau? Bagaimana hati kita tidak tesentuh kala pribadi beliau diperdengarkan?
Dalam haji wada’nya (haji perpisahan), Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan sekitar 120.000 orang, “Wahai manusia,dengar dan perhatikanlah,sesungguhnya aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”<span class="fullpost">
<br /><br />
Semuanya terdiam, sambil terus mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Rasulullah SAW.
Beliau menasehati dan berwasiat kapada mereka tentang keterikatan mereka dengan Tuhan dan agama mereka.Ketika itu Allah menurunkan ayat.”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian,Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian,dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”<br /><br />
Allah menghidupkan makna kehidupan yang dahsyat di tengah-tengah mereka,dalam suasana perpisahan dengan Rasulullah SAW.Saat itu, perpisahan dengan beliau adalah sebuah sisi kehidupan bagi umatnya setelah itu.Kemudian Rasulullah SAW pun pulang ke kota Madinah.<br /><br />
Bulan Rabi’ul Awwal tiba.<br /><br />
Di awal bulan itu,tubuh Rasulullah SAW terasa lemah.Beliau terserang sakit demam.Tubuhnya pun disirami air sejuk.Beliau bersabda, “Siramilah aku denagn air supaya aku dapat keluar untuk mengucapkan salam perpisahan dengan para sahabatku.”
Baginda pun disirami air itu, yang membuat tubuhnya terasa lebih segar.
“Sahabat Teragung”<br /><br />
Kemudian beliau keluar rumah,melangkahkan kakinya dengan diiringi kedua sepupunya,Ali bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas,radhiyallahu’anhuma.<br /><br />
Beliau menemui para sahabat.<br /><br />
Saat melihat hadirnya Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka,tampak betapa kegembiraan menyemburat dari wajah para sahabat.Kemudian Rasulullah SAW duduk di atas mimbarnya.<br /><br />
Para sahabat terdiam,bersiap untuk mendengarkan segala apa yang akan diucapkan Rasulullah SAW.<br /><br />
Rasulullah SAW pun berkhutbah,khutbah perpisahan.Beliau bersabda,”Seseorang telah diberi pilihan,antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la (“Sahabat Teragung”,Allah SWT).”<br /><br />
Rasulullah SAW pun kemudian mengulang-ulang kata itu, “Ar-Rafiqul A’la,Ar-Rafiqul A’la,Ar-Rafiqul A’la…”
Wahai orang yang berakal,adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri. Ucapan Rasulullah SAW itu menandakan bahwa ia memilih kehidupan yang sejati.<br /><br />
Hati sahabat Abubakar RA tersentuh.Ia pun berkata kepada Rasulullah SAW,”Ya Rasulullah,demi ayah dan ibuku,biarlah ruh-ruh kami, anak-anak kami,dan sanak keluarga kami,serta harta-harta kami,sebagai tebusan bagimu.”
Melihat Abubakar RA mengatakan itu,sahabat Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, “Ada apa dengan orang tua ini? Apakah ia (Abubakar) sudah pikun?”<br /><br />
Rasulullah SAW telah menceritakan ihwal lelaki ini (Abubakar RA), yaitu seorang yang telah meyakini penuh bahwa diri beliau sebagai utusan Allah SWT (saat yang lain banyak yang mengingkarinya).Kelak Abu Sa’id mengatakan, “selepas wafatnya Rasulullah SAW, Aku baru tahu,perkataan Abubakar itu perkataan yang tepat.”<br /><br />
Rasulullah SAW memandang Abubakar RA. Pandangan yang penuh makna.Kemudian beliau berkata, “Biarkanlah sahabatku berkata kepadaku, Orang yang paling percaya kepadaku adalah Abubakar. Sekiranya aku memilih kawan dekat,niscaya aku akan memilih Abubakar. Tutuplah pintu rumah kalian yang menuju masjidku,kecuali pintu rumah Abubakar.”<br /><br />
Wasiat-wasiat Rasulullah SAW<br /><br />
“Ya Rasulullah, berwasiatlah kepada kami,”ujar para sahabat.<br />
Kala itu, di antara yang diwasiatkan Rasulullah SAW, ”Berwasiatlah kalian terhadap para wanita dengan kebaikan.’<br />
Wasiat ini menyinpan makna yang luar biasa yang beliau katakan di saat beliau hendak mengucapkan salam perpisahan kepada sekalian umatnya. Maknanya agar kita mewujudkan hubungan yang baik sesama kita sepeninggal beliau, yang dengannya kehidupan akan berjalan harmonis. Beliau mewasiatkan ini agar kita dapat menggapai kehidupan yang sebenarnya, yaitu tatkala kita menjalani kehidupan ini penuh dengan kebaikan.<br /><br />
Beliau juga berwasiat, “ Dan berwasiatlah kalian dengan baik terhadap keluargaku.” Beliau ingin kita dapat terus hidup berkesinambungan dengan beliau.<br /><br />
Kenapa beliau mengatakan “ keluarga” yang dinisbahkan sebagai keluaga beliau, “keluargaku”. Hal itu disebabkan beliau ingin mengajarkan kepada kita bahwasanya perpindahan beliau dari alam dunia tidak dimaksudkan sebagai terputusnya hubungan umat dengan beliau. Seakan beliau mengatakan,”Hubungan kalian denganku tak akan terputus sekali kalian berhubungan dengan keluargaku.”
Wasiat beliau lainnya,”Janganlah kalian menjadi kafir selepas kepergianku dan janganlah kalian berperang satu sama lain.”
Beliaupun terus berwasiat kepada para sahabat dengan wasiat-wasiat lain yang beliau berikan kepada mereka.
Sebagian diantara mereka mengatakan,” Ya Rasullullah,jika engkau wafat,siapakah yang akan memandikanmu?” Beliau menjawab, “Seseorang di antara ahlul baytku.”<br /><br />
Hati merka amat tersentuh dengan perpisahan yang akan mereka lalui,perpisahan antara mereka dengan Rasulullah SAW.
Kemudian mereka berkata lagi, “Dengan apa engkau kami kafankan?”<br /><br />
Saat melihat rasa gundah melanda hati para sahabatnya,air mata Rasulullah SAW pun berlinang.Beliau menjawab,” (Bahan) dalam pakaianku ini,atau kain dari Yaman, atau jubah dari Syam,atau kapas dari Mesir.”
Abubakar Mengimami Shalat<br /><br />
Mereka terus bertanya kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan lainnya.Setelah benyaknya pertanyaan sebagai persiapan bagi para sahabat bila sewaktu-waktu Rasulullah SAW wafat dan meninggalkan mereka,Rasulullah SAW pun menangis. Lalu beliau bersabda,”Berlaku lembutlah kepada nabi kalian.”Kemudian beliau berdiri, melangkah pulang, dan memasuki rumah beliau.Beliau pun merebahkan diri di pembaringan.<br /><br />
Di saat yang sama, rasa bimbang semakin menggelayuti hati para sahabat. Kemudian mereka meninggalkan pekerjaan dan urusan mereka dan berkeliling di sekitar rumah Rasulullah SAW dan masjid beliau. Mereka ingin mengetahui perkembangan berita tentang Rasulullah SAW. Sampai tiba pada waktu shalat,sedangkan imam mereka (Rasulullah SAW) tidak kunjung keluar untuk shalat bersama mereka. Para sahabatpun semakin bertambah bimbang.<br /><br />
Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada Aisyah RA, “Perintahkan Abubakar untuk mengimami shalat.” Aisyah RA (putri Abubakar RA) berkata kepada beliau, “Ayahku seorang yang kurus dan aku khawatir ia akan menangis dan tak sanggup berdiri. Mintalah dari umar, ya Rasulullah.”<br /><br />
Rasulullah SAW menjawab, “Kalian seperti sahabat Nabi Yusuf AS. Perintahkanlah Abubakar untuk mengimami shalat.” Abubakar RA pun bangkit mengimami jama’ah shalat fardhu yang pertama dan shalat-shalat berjama’ah berikutnya.
<br /><br />
Salam Perpisahan<br />
Senin waktu shalat Subuh,12 Rabi’ul Awwal. Rasulullah SAW menyingkap tabir kain dari pintu rumah beliau. Pandangannya mengarah kepada para sahabat. Tampak mereka tengah shalat dengan khusyu’ dan tunduk di hadapan Allah SWT, di bawah pimpinan Abubakar RA.
Segala puji bagi Allah, saat Rasulullah SAW memperhatikan para sahabatnya itu, masjid pun bercahaya dengan kemunculan beliau. Sampai sebagian sahabat mengatakan, “ Hampir saja kami terlalaikan dari shalat kami ketika Rasulullah muncul.”
Abubakar RA hampir saja mundur dari pengimaman, sementara para sahabat yang lainnya hampir saja memalingkan pandangannya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menunjuk dengan tangan beliau,”Tetaplah di tempat kalian.” Kemudian beliau menutup kembali tirai di pintu masuk rumah beliau itu.<br /><br />
Para sahabat mengatakan, “Itulah saat terakhir Rasulullah SAW memandangi para sahabatnya.”
Abdullah bin Mas’ud RA, pembantu Rasulullah SAW, mengatakan,ketika Rasulullah SAW melihat mereka, beliau mengatakan, “Allah memelihara kalian,Allah memberkati kalian,Allah menguatkan kalian,Allah menolong kalian,Allah membantu kalian.” Inilah salam perpisahan dari seorang yang merindukan para sahabatnya.Para sahabatpun memberi salam kepada Rasulullah SAW dan keluar dari masjid.<br /><br />
Dikatakan,para sahabat bergembira saat mendapati Rasulullah SAW memperhatikan mereka dari pintu rumah beliau. Mereka menyangka kondisi kesehatan Rasulullah SAW telah berangsur pulih.Karenanya, sebagian dari mereka kemudian beraktivitas lagi seperti sedia kala,dan mereka menyangka bahwa itu adalah rahmat Allah SWT terhadap mereka.
Berita Kematian yang Menggembirakan<br /><br />
Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW meminta izin dari sekalian istri beliau untuk dirawat di rumahku,lalu mereka mengizinkan. Saat hari Senin itu,hari wafatnya Rasulullah SAW,tiba,ruh beliau diambil di rumahku sedangkan beliau ada dalam dekapanku.”
Ia berkisah, “Ketika kami semua sedang duduk,datanglah Fathimah sambil menangis. Caara berjalannya mirip cara berjalan ayahandanya, Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendekap dan mengacupnya. Lalu beliau SAW membisikkan sesuatu di telinganya. Sesaat kemudian Fathimah mengangkat kepalanya . Ia menangis<br /><br />
Kemudian Rasulullah SAW memberi isyarat kepadanya, beliau ingin membisikkan lagi sesuatu kepada Fathimah. Fathimah mendekati ayahnya dan kemudian Rasulullahberbisik kepadanya. Sesaat setelah itu Fathimah kembali mengangkat kepalanya dengan penuh rasa gembira yang merona di wajahnya. Aku tidak pernah melihat tangisan yang kemudian disusul dengan tertawa seperti itu.:
Aisyah RA pun bertanya kepada Fathimah RA, “Apa yang dibisikkan ayahandamu kepadamu?” Fathimah RA menjawab, “Jangan engkau hiraukan hal itu,karena aku tak mau membuka rahasia ini selagi beliau masih hidup.”<br /><br />
Kelak setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah bertanya lagi tentang hal itu. Fathimah mengatakan, “Ya, ketika aku mendekati ayahku, beliau berbisik kepadaku, ‘Wahai Fathimah,sekali dalam setahun Jibril mendatangiku untuk membacakan Al-Qur’an kepadaku dan pada tahun ini ia telah mendatangiku dua kali. Dan Allah telah memberikan pilihan kepada ayahmu, antara dunia dan Ar-Rafiqul A’la.’Ayahku memilih Ar-Rafiqul A’la. Dan aku diberi tahu bahwa nyawanya akan dicabut pada hari itu. Lalu aku pun menangis.
Kemudian beliau memanggilku lagi dan membisikan kepadaku, ‘Apakah engkau suka bahwa engkau menjadi penghulu wanita sekalian alam dan menjadi orang yang pertama kali akan menyusulku?’ Aku pun bergembira dengan berita dari ayahku itu.”<br /><br />
Kematian adalah sesuatu yang menyedihkan. Bagaimana dengan kabar kematianmu ini, wahai Zahra? Fathimah mengatakan, “Berita kematianku ini mempercepat pertemuanku dengan orang yang aku kasihi, dan inilah kehidupan yang sesungguhnya bagiku.”
<br /><br />
Dialog dengan Malaikat Maut<br />
Aisyah melanjutkan kisahnya, “Sebelum itu kami mendengar ada sesuatu yang bergerak di balik pintu. Dan itu adalah Jibril. Jibril meminta izin Rasulullah untuk masuk.
Beliau mengizinkannya.<br /><br />
Kemudian aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya, ‘Wahai Jibril, Ar-Rafiqul A’la…, Ar-Rafiqul A’la… Kami tahu bahwa sangkaan kami adalah tepat.’<br /><br />
Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah SAW, Apa yang telah terjadi, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘ Itulah Jibril yang datang dan berkata: Malaikat maut telah berada di depan pintu dan meminta izin. Dan tidaklah malaikat maut meminta izin kepada seorang pun baik sebelum dan sesudahmu.<br /><br />
Dan ia (jibril) mengatakan: Allah menyampaikan salam kepadamu dan Dia telah merindukanmu,”
Maka, wahai orang-orang yang berakal,apakah perpindahan kepada Tuhan yang merindukannya merupakan suatu kematian?
Bukan. Kehidupan yang sebenarnya adalah perpindahan kepada Allah, Yang Mahahidup.<br /><br />
Kemudian malaikat maut mengatakan kepada Rasulullah SAW, “Jikalau engkau berkenan, aku akan mencabut ruhmu untuk menemui Ar-Rafiqul A’la. Namun jika engkau tak berkenan, aku akan biarkan mengikuti berlalunya masa sampai tempo waktu yang engkau inginkan.”<br /><br />
Rasulullah memilih Allah Ta’ala. Ya, beliau memilih Sahabat Yang Teragung.
Kemudian malaikat maut pun masuk dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. Ia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah kau mengizinkanku?”
Rasulullah SAW menjawab, “Terserah apa yang akan kau lakukan, Wahai malaikat maut. Dan berlaku lembutlah sewaktu mencabut ruhku.”
“Hhhhhhhhhh……….” (Desis suara Rasulullah SAW menahan rasa sakit).<br /><br />
Rasulullah SAW kembali mengatakan kepada malaikat maut, “Berlaku lembutlah kepadaku, wahai malaikat maut.”
Perhatikanlah (meski dicabut dengan selembut-lembutnya pencabutan ruh yang pernah dilakukan malaikat maut), Rasulullah SAW pun merasakan sakitnya sakaratul maut. Maka bagaimana (yang akan dirasakan) oleh orang yang lalai dengan kematian dalam kehidupan mereka? Mereka tidak merenungi saat-saat ketika nyawa dicabut pada saat sakaratul maut.
“Beratkan bagiku,Ringankan bagi umatku”<br /><br />
Maka menanjak naiklah ruh mulia Baginda Rasulullah SAW, yang ditandai dengan sentakan kedua kaki beliau. Peluh pun bercucuran dari dahi Baginda.Peluh yang bagaikan butiran permata berbau kesturi.
Rasulullah SAW menyapu peluhnya itu dengan tangannya dan kemudian meletakkan tangannya pada sebuah wadah di tepinya untuk menyejukan tubuhnya.<br /><br />
Kembali suara berdesis dari lisan suci beliau.”Hhhhhhhh……” Lantaran rasa sakit yang ia alami pada saat sakaratul maut. Beliau pun mengatakan, “Sesungguhnya maut itu amatlah berat, YA Allah,ringankan beratnya maut terhadapku”
Maka para malaikat dari langit pun turun kepada beliau. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah menyampaikan salam atasmu dan Dia menyatakan bahwa sesungguhnya perihnya sakaratul maut 20 kali lipat (dalam riwayat lain 70 kali lipat) dari rasa sakit akibat padang yang menusuk tubuh.”<br /><br />
Rasulullah SAW pun menangis dengan tangisan yang tiada tangisan lain yang lebih menyedihkan bagi kalian semua. Beliau berdoa, “Ya Allah, beratkanlah (sakaratul maut) ini atasku, tapi ringankanlah atas umatku.”<br /><br />
Wahai,bagaimana hati kita tidak tergetar dan semakin merasakan kerinduan kepada Rasulullah SAW? Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan Rasulullah SAW? Bagaiman kita dapat melupakan perintah untuk mencintai beliau? Bagaimana hati kita tidak terikat untuk senantiasa merindukan beliau? Bagimana hati kita tidak tersentuh kala pribadi beliau diperdengarkan?
<br /><br />
Pesan Terakhir<br />
Aisyah RA berkata, “Saudaraku,Abdurrahman bin Abubakar, masuk dan ia sedang membawa sebatang kayu siwak yang ujungnya belum dilembutkan. Aku lihat Rasulullah memandang kearahnya dan adalah Rasulullah SAW menyukai siwak.”<br /><br />
Maka, apakah kalian menyukai apa yang beliau suka dari sunnah-sunnah beliau? Adalah Rasulullah SAW menyukai siwak.
Aisyah menyatakan,”Aku bertanya kepada Rasulullah,’Ya Rasulullah, apakah engkau menginginkannya (siwak)?’
Rasulullah, di saat beliau sudah tak dapat lagi berkata-kata dan kami pun tak dapat mendengar sesuatu pun darinya, memberi isyarat dengan menganggukkan kepala beliau, pertanda beliau menginginkan untuk bersiwak. Dan perkara yang terakhir beliau katakana adalah, ‘Ash-shalah….ash-shalah….ash-shalah…’-‘Shalat…. Shalat…. Shalat…..’<br /><br />
Maka,apakah yang kalian lakukan terhadap wasiat Nabi kalian di saat-saat akhir dari kehidupannya di dunia ini? Shalat adalah hubungan kalian dengan Tuhan, agar terjalin hubungan yang hakiki dengan-Nya.<br /><br />
Wahai orang yang mendahulukan perkerjaan dunianya dan hawa nafsunya sebelum shalat,yang mendahulukan keterlenaannya disbanding shalatnya,ingatlah, wasiat yang terakhir dituturkan oleh kekasih kalian di akhir usianya adalah,’Ash-shalah…. Ash-shalah… ash-shalah….’, di samping ‘Berwasiatlah dengan kebaikan terhadap para wanita’, dan juga,’Aku berwasiat kepadamu dengan kebaikan terhadap keluargaku.’<br /><br />
Sesaat kemudian,lidah Rasulullah SAW tampak kaku. Tapi, ruh beliau belum tercabut. Beliau masih berkata-kata.” Dan majelis ini, kata Habib Ali, adalah salah satu kenyataan yang menggambarkan keadaan ruh Rasulullah SAW.
Kalaulah tidak karena kehidupan Rasulullah SAW yang wujud dalam diri kita,niscaya kita tidak tersentak saat disebut perihal kisah wafatnya Rasulullah SAW. Bergetarnya hati kalian saat disebutkan perihal kejadian-kejadian pada saat wafatnya Rasulullah SAW adalah sebagiam dari petunjuk yang nyata bahwa kematian beliau adalah sebuah kehidupan.Adakah kematian yang dapat menggerakkan banyak hati?<br /><br />
Sejahteralah Jasad Beliau<br />
Kemudian, Aisyah melanjutkan, “Rasulullah SAW memberikam isyarat lewat anggukan kepalanya, sebagai pertanda keinginannya. Maka aku berikan kepada beliau kayu siwak yang belum dilembutkan itu. Tapi kemudian aku mengambilnya dari tangan beliau ketika kulihat itu tak dapat beliau gunakan karena keras,belum dilembutkan. Lalu aku melembutkannya dengan mulutku.
Aku bangga,karena,di kalangan para sahabat, benda terakhir yang masuk ke mulut beliau adalah air liurku. Lalu aku meletakkannya dalam mulut beliau. Beliau pun memegangnya dengan tangan beliau sendiri,”<br /><br />
Sakaratul maut yang dialami Rasulullah semakin mendalam. Cahaya memancar dari wajah beliau, dan cahaya itu meliputi keluarganya. Waktu terus berjalan.<br /><br />
Ruh mulia Rasulullah SAW telah sampai pada kerongkongannya. Beliau membuka kedua kelopak bola matanya. Kemudian beliau menunjukkan isyarat dengan jari telunjuknya sebagai kesaksian atas keesaan Sang Pencipta, yaitu isyarat ketauhidannya.
Tak lama kemudian, beliau pun mengembuskan napas terakhir.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau yang agung setelah melalui hari-hari yang melelahkan, lantaran segala hal ia baktikan demi keselamtan kita.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau setelah perutnya kerap kali diikat dan diganjal batu karena kelaparan, demi pengorbanannya kepada kita.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau, yang pernah dilempari batu hingga melukai beliau,demi dakwahnya kepada kita.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau,yang gerahamnya pernah dipatahkan, lantaran kesungguhan beliau dalam membela agama yang akan menyelamatkan kita.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau, yang dahinya pernah dilukai sampai mengalir darah dari dahinya yang mulia itu, lalu beliau menahannya dengan tangan beliau agar darah suci beliau tak sampai jatuh ke tanah, sebagai rahmat bagi mereka, kaum yang memerangi beliau, dan bagi kita, dari kemurkaan Allah SWT.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau, yang mata panah pernah menembus daging pipinya,demi kita.<br />
Sejahterakanlah jasad beliau,yang kakinya sampai bengkak disebabkan pengabdian beliau kepada Allah SWT dan demi dakwah kepada kita.<br />
Sejahterakanlah jasad yang telah memikul kesukaran,keletihan, kesakitan,dan,kelaparan karena kita.
<br /><br />
Terhubung tak Berujung.<br />
Ketika para penghuni rumah itu menyaksikan kepergian Rasulullah SAW, yaitu setelah ruh beliau meninggalkan jasad beliau, tangis pun meledak menyelubungi seisi rumah.<br />
“wahai Nabi Allah….! Wahai Rasulullah…! Wahai kekasih Allah….!”<br />
Sesaat kesedihan menyelubungi rumah itu, seketika, suasana penuh haru menyemburat di wajah para sahabat yang ada di dalam masjid.
Tak lama kemudian,berita wafatnya Rasulullah pun kemudian menyebar begitu cepat ke segenap penjuru kota Madinah.
Musibah Terberat<br /><br />
Kembali lagi sejenak pada apa yang dialami Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW pada detik-detik yang sangat bersejarah itu. Saat itu, ia tengah duduk di sisi tubuh mulia Rasulullh SAW.<br />
Ketika ia melihat guncangan ruh beliau, ia melihat Sayyidatuna Aisyah RA menangis. Maka kemudian ia mengangkat tubuh Rasulullah SAW dan meletakkannya di kamar beliau. Setelah meletakkan tubuh nan suci itu, di saat ruh Rasulullah SAW hampir terlepas dari jasadnya, Sayyidina Ali pun terjatuh dan kemudian tak kuasa untuk berdiri.<br />
Maka kemudian,tatkala suara tangisan memenuhi ruangan rumah itu,terdengarlah suara yang tidak terlihat siapa yang menyatakannya. Mereka mendenga suara yang mengatakan,”Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Ya Ahlal Bait, a’zhamallahu ajrakum. Ishbiru wahtasibu mushibatakum. Fa inna Rasulallah farathukum fil jannah.”-Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Wahai penghuni rumah,semoga Allah membesarkan ganjaran pahala kalian. Bersabarlah dan bermuhasabahlah dengan musibah yang kalian alami ini. Maka sesungguhnya Rasulullah mendahuluimu sekalian di surga.”<br /><br />
Ketika suara itu terdengar, merekapun terdiam dan menjadi tenang. Setelah suara itu berhenti,mereka pun menangis lagi.
Demi Allah, Dzat Yang Disembah,kalian tidak pernah diberi musibah seperti musibah yang mereka rasakan. Tiada satu rumah pun yang pernah merasakan kehilangan seperti yang mereka rasakan.<br />
Kabar itu tersiar cepat di kota Madinah. Para sahabat merasa kebingungan. Ketika dikatakan kepada mereka “Wahai para sahabat, tidakkah kalian tahu, Rasulullah SAW adalah manusia, dan sebagai manusia beliau pun pasti mengalami kematian?”, mereka mengatakan,”Ya, tapi kehidupan beliau kekal dalam diri kami dan telah menjadi cambuk dahsyat pada jiwa kami.”
Hati para sahabat terus bergetar.<br />
Kala itu, Sayyidina Umar bin Khathab menghunuskan pedangnya sambil mengibas-ngibaskannya di jalan. Karena rasa sedih yang begitu mendalam, ia berteriak,”Sekelompok dari golongan munafik berkata bahwa Rasulullah telah mati. Rasulullah SAW tidak wafat. Akan tetapi beliau menjumpai Tuhannya sebagaimana perginya Musa AS. Dan beliau kembali kepada kita. Siapa yang menyatakan Rasulullah telah mati akan kutebas dengan pedangku ini.”
Setelah sampai kabar kepada Abdullah bin Zaid RA, ia menangis,kemudian menengadahkan tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ambillah penglihatanku ini,sehingga aku tak dapat melihat seorang pun lagi selepas kepergian Rasulullah SAW.” Maka,ia pun kehilangan penglihatan pada saat itu juga.<br /><br />
Sahabat yang lain, ketika mendengar berita tentang Abdullah bin Zaid RA,berteriak, “Ya Allah,ambillah ruhku, dan tiada lagi kehidupan setelah wafatnya Rasulullh SAW.” Tiba-tiba ia terjatuh.Allah mengambil nyawanya seketika itu juga.
Sementara itu Sayyidina Ustman RA membisu. Ia tidak dapat berkata apa-apa.<br /><br />
Hidup dan Mati dalam Kebaikan<br />
Ketika pikiran mereka terganggu,mereka kebingungan, maka telah sampai berita kepada Sayyidina Abubakar Ash Shidiq RA, dan ia pun berada dalam keadaan yang menyedihkan itu. Dari arah rumahnya, ia menuju ke Masjid Nabawi dan memasukinya.
Ia mendapati Sayyidina Umar dan para sahabat yang lain tengah dalam kebingungan.<br />
Kemudian ia melintasi masjid itu dan sampai di rumah Rasulullah. Ia meminta izin dari penghuni rumah untuk dapat masuk ke rumah dna ia diizinkzn untuk masuk.
Periwayat kisah ini mengatakan,Sayyidina Abubakar RA masuk dalam keadaan dadanya berdebaran dan tampak ia penuh keluh kesah, seakan-akan nyawanya pun akan dicabut pada saat itu.
Ia menangis. Kemudian terdengar darinya suara bagaikan bergolaknya air yang tengah mendidih. Ia memalingkan wajahnya, sementara air matanya terus bercucuran. Saat itu,jasad mulia Rasulullah SAW diselimuti kain. Lalu ia membuka kain selimut yang menutupi jasad mulia Rasulullah SAW,demi menatap wajah paling mulia itu.
Ia memandang wajah Rasulullah SAW dna mendekatkan wajahnya. Dikecupnya kening dan pipi Rasulullah SAW. Lalu, sambil menangis ia mengatakan,”Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulianya kehidupan dan wafatmu. Allah SWT tidak akan menimpakan dua kali wafat untukmu. Jikalau tangisan itu bermanfaat bagimu, niscaya kami akan biarkan air mata ini terus berlinang. Tetapi, tiada tempat mengadu selain Allah SWT.<br /><br />
Susungguhnya kita ini adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita akan kembali. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau, ya Muhammad, adalah utusan Allah. (Aku bersaksi bahwa) engkau telah menunaikan risalah dan menyampaikan amanah. Dan engkau meninggalkan kami di atas yang bersih.”<br />
Sayyidina Abubakar tenggelam dalam kesedihan. Napasnya pun tersengal-sengal. Ia pandangi kembali wajah Rasulullah SAW seraya berkata,” Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”<br />
Wahai para sahabat yang mendapat didikan langsung dari RAsulullah SAW. (Dan untuk Sayyidina Abubakar) wahai sahabat Rasulullah ketika di Gua Tsur. Jadi engkau memahami bahwa perpindahan Rasulullah SAW itu adalah suatu kehidupan baru Rasulullah SAW. Sehingga, kalian mengatakan, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”
<br /><br />
Makna “siapa Menyembah Muhammad…”<br />
Sayyidina Abubakar mengusap air mata dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya. Lalu ia kembali menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW. Ia pun kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk menenangkan mereka.
Pada saat ia menangis dan mengatakan kepada Rasulullah SAW bahwa beliau hidup dan wafat dalam kebaikan, saat itu para wanita seisi rumah itu pun menangis. Abubakar RA kemudian keluar dan ia melihat kembali betapa seisi masjid berada dalam kepiluan.
Kemudian ia menaiki mimbar kekasihnya, tuannya, dan pemimpinnya, Rasulullah SAW. Langkah kakinya telah membawanya ke mimbar itu. Maka, setelah memuji Allah SWT, bersalawat atas Nabi, ia pun mengutip firman Allah SWT,”Setiap jiwa akan mendapatkan kematian.” Ia juga membacakan ayat,”Dan tidaklah Muhammad itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para rasul sebelumnya.” Dan ayat,”Sesungguhnya engkau mati dan mereka juga mati.”<br /><br />
Ia berkata lagi,”Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah,Allah itu hidup dan tidak mati.”
Kalimat ini mengandung pemahaman yang dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman mereka yang jahil pada saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat” sebagai putusnya hubungan dengan Nabi SAW.
Demi Allah, Tuhan Yang Disembah, makna kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan dirinya dengan kehidupan Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW telah berakhir. Rasulullah telah wafat. Namun siapa yang menjadikan hubungannya dengan Rasulullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah itu Mahahidup dan tidak mati.<br /><br />
Jadi, dengan pengertian bahwa hubungan kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan pernah berakhir. Karena, hubungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat dengan hubungan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang hidup dan tidak pernah mati.<br />
Kemudian Sayyidina Abubakar berpaling kepada Sayyidina Umar, menghiburnya dari kebimbangan yang ia rasakan.<br /><br />
Aroma Kesturi<br />
Di rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali pun telah bangun setelah terjatuh lantaran kesedihan. Ia bersama Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW. Kemudian, turut pula bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah dan fadhl.
Dibantu oleh mereka, Sayyidina Ali KW memandikan jasad mulia Rasulullah SAW dengan pakaian yang masih beliau kenakan tanpa membuka aurat beliau sedikit pun. Sayyidina Ali mengatakan, “Kami memandikan beliau dan beliau masih mengenakan pakaiannya. Saat kami hendak memiringkan beliau ke kanan, beliau menghadap kekanan dengan sendirinya. Ketika kami hendak memiringkan beliau ke kiri, beliau menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami tidak mendapati seorang pun yang membantu kami untuk memandikan beliau, kecuali jasad beliau sendiri yang berubah kedudukannya.”<br />
Katanya lagi, “Ketika kami memandikan beliau,angin yang sejuk dan nyaman bertiupan kearah kami seakan-akan kami merasakan para malaikat masuk dan bersama dengan kami pada saat itu, ikut memandikan jasad mulia Rasulullah SAW. Tidaklah ada air yang jatuh dari jasad mulia baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi dari aroma kesturi. Kemudian, kami kafankan jasad beliau.”<br /><br />
Salah Satu Taman Surga<br />
Di tempat lain, para sahabat saling bertanya,”Di manakah akan kita makamkan jasad Rasulullah SAW?”
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Baqi’. Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih nya menyatakan, sebagian sahabat mengatakan agar beliau dimakamkan di sisi mimbarnya, yaitu di dalam Masjid Nabawi.
Hal ini menjelaskan bahwa, ketika Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud mereka, laknat tersebut bukanlah karena sujud di suatu masjid yang ada kuburnya di dalamnya. Sebab, bila cara pandang seperti itu benar, niscaya para sahabatlah yang terlebih dahulu memahami akan hal tersebut, sebagai buah dari kehidupan mereka bersama Rasulullah SAW.<br />
Sampai kemudian Sayyidina Abubakar RA mengatakan kepada para sahabat yang lainnya, “Sesungguhnya para nabi dikuburkan di tempat mereka mengembuskan napasnya yang terakhir, sebagaimana yang aku dengar dari sabda Rasulullah SAW.”
Maka digalilah lubang di dalam kamar Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyemayamkan jasad suci beliau. Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam lubang kubur Rasulullah SAW, yang, demi Allah, tak lain merupakan salah satu taman dari taman-taman surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pembantu Rasulullah SAW yang bernama Syaqran.
Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas, tempat yang pernah diduduki Rasulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya. Aku melihat ke atas tempat duduk Rasulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata,
“Ya Rasulullah, tiada satu pun yang boleh duduk di atas tempat duduk ini selepasmu, wahai Rasulullah!.”
Sayyidina Ali pun memakamkan Rasulullah SAW dalam kubur beliau, bersama para sahabat yang terlibat saat pemakaman itu.
Sang Putri Menyusul<br />
Ketika mereka telah bubar usai pemakaman, datanglah Sayyidatina Fathimah Az-Zahra. Dialah yang tidak ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah kepergian Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Rasulullah SAW ini.
Dalam keadaan menangis, Sayyidatina Fathimah melihat Anas bin Malik RA, pembantu ayahandanya, yang besar dibawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat didikan Rasulullah SAW, di rumah beliau itu. Kemudian ia berkata kepada Anas, “Ya Anas, engkau sanggup meletakkan tanah di atas tubuh Rasulullah?”
Anas pun menangis, sambil mengatakan, “Celakalah kami, celakalah kami, celakalah kami, wahai Fathimah. Sesungguhnya kami tidak menyadari dengan apa yang kami lakukan. Kalaulah kami telah mendengarkan terlebih dulu apa yang engkau katakan sekarang ini, niscaya kami tidak akan sanggup mengebumikannya.”<br />
Sayyidatina Fathimah pun berlalu, seakan ia tak mengenali siapa pun yang ada disitu. Hatinya amat sedih karena musibah yang menimpanya. Ia kemudian berdiri di sisi kubur ayahandanya dan mengambil segumpal tanah, lalu menciumnya.
Dalam tangisannya, ia berkata, “Apa yang dapat dirasakan si pencium tanah kubur Nabi Muhammad ini…. Tidak dapat dirasakan pada selainnya sepanjang masa. Aku ditimpa musibah dengan musibah yang jika musibah selainnya menimpaku setiap hari pun niscaya tidak mengapa.”<br />
Tidak sampai lima bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah pun wafat. Fathimah adalah seorang yang di gelari Ummu Abiha, Ibu dari Ayahnya (Karena sejak meninggalnya Sayyidatina Khadijah, istri Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah-lah yang banyak mengurus keseharian hidup Rasulullah SAW).
“ Wahai Rasulullah….”<br />
Sekarang, bagaimanakah keadaan kalian semua, wahai para sahabat, selepas wafatnya Rasulullah SAW? Adakah kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan Rasulullah SAW?
Demi Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar meleset.
Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid kedua pada kitab Memohon Pertolongan, sebagaimana juga ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih, Bilal ibn Harits Al-Muzuni, salah seorang sahabat Nabi, datang berziarah ke makam Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik tengah melanda,yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun berdiri di sisi makam mulia Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….”
Perhatikanlah baik-baik, sahabat Nabi ini mengatakan “Ya Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara langsung, atau sebagai orang kedua).<br />
“Ya Rasulullah. Banyak yang telah binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk umatmu.”
Karena mereka memahami bahwa Rasulullah SAW hidup di dalam kuburnya. Beliau mendengarkan shalawat yang diucapkan atas beliau, dan menjawab salam yang diucapkan kepada beliau. Beliaulah yang telah bersabda,”Sesungguhnya para nabi itu hidup dalam kubur mereka.”
Selesai.<br /><br />
Wallahu a’lam Semoga bermanfaat.<br /><br />
Sumber : Majalah Alkisah edisi 05/2011
</span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-91380254532259916662014-01-23T17:33:00.000-08:002014-01-23T17:33:42.899-08:00Sufi Road : Futuhal Ghaib (7)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHB_n8jJ1KZmNVf5599esi8rf1ZGbEMOIdiMOWqqd9NFYtf3S2GvtQ-iST8kBXLgIDyfCgsZ42XzhnhOyDcBtIQ5CBINv8hW3NN-3l-dDPAXamNAMzEm_c5RHb-XMeYWhTZvuX6BSzY3X4/s1600/FutuhAlGhaib1.jpg"><img alt="" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHB_n8jJ1KZmNVf5599esi8rf1ZGbEMOIdiMOWqqd9NFYtf3S2GvtQ-iST8kBXLgIDyfCgsZ42XzhnhOyDcBtIQ5CBINv8hW3NN-3l-dDPAXamNAMzEm_c5RHb-XMeYWhTZvuX6BSzY3X4/s320/FutuhAlGhaib1.jpg" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5688814189445767570" style="cursor: pointer; float: left; height: 207px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 153px;" /></a> <span style="color: yellow;">Syeikh Abdul Qadir Jilani</span><br />
<br />
Bila kau melihat dunia ini, berada di tangan mereka, dengan segala hiasan, dan tipuannya, dengan segala bisa mematikannya, yang tampak lembut sentuhannya, padahal, sebenarnya mematikan bagi yang menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan kemudharatan tipu daya dan janji-janji palsunya - bila kau lihat semua ini - berlakulah bagai orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya, menonjolkan diri, dan kerananya, mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam situasi semacam itu) kau enggan memerhatikan kebusukannya, dan menutup hidung dari bau busuk itu, begitu pula kau berlaku terhadap dunia; bila kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan tutuplah hidungmu dari kebusukan hawa nafsu, agar kau aman darinya dan segala tipu-dayanya, sedang bahagianmu menghampirimu segera, dan kau menikmatinya. Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya: "Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya, dan kurnia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS.20 -Thaaha :131).
<span class="fullpost"><br />
<br />
Lenyaplah dari (pandangan) manusia, dengan perintah Allah, dan dari kedirian, dengan perintah-Nya, hingga kau menjadi bahtera ilmu-Nya. Lenyapnya diri dari manusia, ditandai oleh pemutusan diri sepenuhnya dari mereka, dan pembebasan jiwa dari segala harapan mereka. Tanda lenyapnya diri dari segala nafsu ialah, membuang segala upaya memperolehi sarana-sarana duniawi dan berhubungan dengan mereka demi sesuatu manfaat, menghindarkan kemudharatan; dan tak bergerak demi kepentingan peribadi, dan tak bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan dirimu, tak melindungi atau membantu diri, tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, kerana Ia pemilik segalanya sejak awal hingga akhirnya; sebagaimana kuasaNya, ketika kau masih disusui.
<br />
<br />
Hilangnya kemahuanmu dengan kehendakNya, ditandai dengan ketak-pernahan menentukan diri, ketakbertujuan, ketakbutuhan, kerana tak satu tujuan pun termiliki, kecuali satu, iaitu Allah. Maka, kehendak Allah mewujud dalam dirimu, sehingga kala kehendakNya beraksi, maka pasiflah organ-organ tubuh, hati pun tenang, fikiran pun cerah, berserilah wajah dan rohanimu, dan kau atasi kebutuhan-kebutuhan bendawi berkat berhubungan dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarmu, dan membusanaimu dengan nurNya dan busana rohani, dan mendapatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu.
<br />
<br />
Sesudah ini, kau selalu berhasil menaklukkan diri, hingga tiada lagi pada dirimu kedirian, bagai sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih dari air, atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak manusiawi, hingga rohanimu menolak segala sesuatu, kecuali kehendak Allah. Pada maqam ini, keajaiban dan adialami akan ternisbahkan kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu, padahal sebenarnya dari Allah.
<br />
<br />
Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan, dan kediriannya telah musnah, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. Mengenai maqam ini, Nabi Suci saw, telah bersabda: "Tiga hal yang kusenangi dari dunia - wewangian, wanita (isteri solehah) dan shalat - yang pada mereka menyejukkan mataku." Sungguh, hal-hal dinisbahkan kepadanya, setelah hal-hal itu sirna darinya, sebagaimana telah kami isyaratkan. Allah berfirman: "Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku."<br />
<br />
Allah Yang Maha Tinggi takkan besertamu, sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah sirna, dan kau abaikan segala sesuatu, kecuali Dia, maka Allah menyegarbugarkan kamu, dan memberimu kekuatan baru, yang dengan itu, kau berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda terkecil pun, maka Allah meremukkanmu lagi, hingga kau senantiasa patah-hati. Dengan cara begini Ia terus menciptakan kemahuan baru di dalam dirimu, dan bila kedirian masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir hayat dan bertemu (liqa') dengan Tuhan. Inilah makna firman Allah: " Aku bersama orang-orang yang putus asa demi Aku, " Dan makna kata: "Kedirian masih maujud" ialah kemasih-kukuhan dan kemasih puasan dengan keinginan-keinginan barumu. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Suci saw: "Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan." Tak diragukan lagi, beginilah keadaan fana.
<br />
<br />
Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluq-Nya, dan menenggelamkanmu ke dalam samudera kebaikanNya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian, dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan akhir, dan sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari kehendak peribadi kepada kehendak Allah. Kerana itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang bererti: berubah). Bagi peribadi-peribadi ini, menggabungkan kehendak peribadi dengan kehendak Allah, adalah suatu dosa.<br />
<br />
Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan perasaan dan ketakutan, maka Allah Yang Maha Besar menolong mereka dengan kasih sayangNya, dengan mengingatkan mereka sehingga mereka sedar dan berlindung kepada Tuhan, kerana tak satu pun mutlak bersih dari dosa kehendak, kecuali para malaikat. Para malaikat senantiasa suci dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian, sedang para jin dan manusia yang dibebani pertanggung jawaban moral, tak terlindungi. Tentu, para wali terlindung dari kedirian, dan para badal dari kekotoran kehendak. Kendati mereka tak bisa dianggap terbebas dari dua keburukan ini, kerana mungkin bagi mereka berkecenderung kepada dua kelemahan ini, tapi Allah melimpahi rahmatNya dan menyedarkan mereka.
</span>Unknownnoreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-15216749246874741862014-01-15T03:11:00.000-08:002014-01-15T03:11:36.895-08:00Dalil Syar’i Maulid Nabi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDcE5cdaQ5LuoaFpRuKe2VEdH4GE1VVB8HD7UC2ilzI2iZvF4bQbhpN4Uv3lD9TdpClq-JtphNzJxBzxGvaKm7K7mipvRMkV1g09pqplqxdosFRaPtMHEU2L-BPejPzRZzV_DtUKN9b0zQ/s1600/dalil-syari.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDcE5cdaQ5LuoaFpRuKe2VEdH4GE1VVB8HD7UC2ilzI2iZvF4bQbhpN4Uv3lD9TdpClq-JtphNzJxBzxGvaKm7K7mipvRMkV1g09pqplqxdosFRaPtMHEU2L-BPejPzRZzV_DtUKN9b0zQ/s320/dalil-syari.jpg" /></a></div>
<br />
<br />
Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid,<br />
haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid,<br />
bid’ahkah merayakannya?<br />
<br />
Memaparkan legalitas syari’at perayaan Maulid Nabi menjadi sedemikian penting mengingat kini semakin banyaknya tuduhan, ”... yang ditujukan pada umat Islam yang merayakan Maulid sebagai pelaku bid’ah tercela, bahkan hingga memasukkan mereka sebagai ahli neraka yang kekal di dalam neraka selama-lamanya,” demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, penulis buku Bahas Cerdas & Kupas Tuntas – Dalil Syar’i Maulid Nabi, dalam pengantar karyanya tersebut.<br />
<br />
Mereka, yang sesungguhnya merupakan golongan minoritas itu, tak pernah mau mendengar dalil orang lain, selalu menyikapi segala perbedaan dengan hitam-putih, benar-salah, surga-neraka, hingga dalam hal ini, mereka sampai mengeluarkan fatwa mengharamkan seluruh hidangan Maulid, bahkan disebutkan, keharamannya lebih haram dari memakan hewan babi.<br />
<br />
<span class="fullpost">
Na’udzubillah, kami berlindung kepada Allah, dari pejuang nafsu yang selalu merasa benar sendiri,” tulis Ustadz Muhammad.
<br /><br />
”Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah merayakannya?” Dua kalimat tanya ini tertulis besar di bawah judul karya Ustadz Muhammad. Memang, bagi kebanyakan orang, mungkin dua hal itu yang sering menggelayut dalam pikiran mereka, dan ketika mereka keliru dalam menyimpulkan, maka tuduhan demi tuduhan tak berdasarlah yang mereka lontarkan.<br /><br />
Demi memaparkan penjelasan atas masalah ini secara cerdas dan mengupasnya secara tuntas, Ustadz Muhammad membagi pembahasan di buku ini menjadi tiga pokok pembahasan.
<br /><br />
Pertama, penjelasan makna tark, yaitu tentang perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Pembahasan ini untuk menjawab kalimat tanya pertama di atas, Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya?
<br /><br />
Kedua, penjelasan makna bid’ah dan kaitannya dengan Maulid Nabi SAW. Pembahasan yang kedua ini ditujukan untuk menjelaskan pada pembaca terhadap kalimat tanya yang kedua, umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah merayakannya?<br /><br />
Bukan hanya dalam masalah Maulid, dua pembahasan di atas, seyogyanya menjadi dasar bagi setiap muslim untuk memahami setiap permasalahan syariat, agar umat tidak mudah menuding sesama saudaranya yang lain.<br /><br />
Pembahasan yang terakhir, yaitu pembahasan yang ketiga, Ustadz Muhammad mengurai dalil-dalil syar’i yang melatarbelakangi diselenggarakannya Maulid Nabi itu sendiri. Setelah memahami dasar-dasar yang tepat dalam menilai sebuah amaliyah, bagian yang terakhir ini secara khusus akan semakin membuka pandangan bagi insan muslim atas hujjah-hujjah syar’iyyah dalam peringatan Maulid Nabi SAW.<br /><br />
Sebagai pelengkap pembahasan, Ustadz Muhammad menyertakan secara utuh terjemah dari kitab Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid, karya Imam Suyuthi, yang memaparkan secara khusus perihal dasar-dasar argumentasi keagamaan di balik penyelenggaraan Maulid Nabi SAW.
<br /><br />
Kaidah Ibn Taimiyah<br /><br />
Law kana khairan lasabaquna ilayh. Maknanya, kalau perkara itu baik pasti para salaf telah melakukannya. Kaidah yang dirumuskan Ibn Taimiyah ini menjadi salah satu dasar utama bagi orang-orang yang menolak amaliyah Maulid Nabi. Bahkan, orang-orang itu hendak menilai (baca: menyelesaikan) semua urusan agama ini hanya dengan kaidah tersebut.<br /><br />
”Sayangnya, dengan kaidah ini orang-orang bodoh itu semakin membeku. Mereka semakin sulit diajak berdiskusi, semakin menikmati fatwa-fatwa yang tidak populer, sampai akhirnya tumbuh suburlah para penyesat umat, yang berpendapat dengan tanpa mendengar dalil orang. Bahkan, kaidah yang mereka buat ini mereka tempatkan pada tempat yang lebih utama dari dalil-dalil syar’i,” tulis Ustadz Muhammad lagi menjelaskan perihal kaidah tersebut.
<br /><br />
Padahal, apapun yang dikuatkan dengan dalil-dalil syar’i itu baik adanya, bukan bid’ah, karena Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77
<br /><br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar dan kalangan yang sependapat menilai, Nabi SAW mengingatkan keutamaan merayakan Maulid melalui kesimpulan umum yang diambil dari hadits tentang puasa Asyura. Hadits ini menegaskan legalitas puasa peringatan tahunan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas nikmat selamatnya Nabi Musa.
<br /><br />
Hadits tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dari puasa mengingat hari kelahiran adalah sebagai wujud rasa syukur. Setiap tindakan yang bisa mewujudkan rasa syukur secara syari’at dianjurkan, karena syukur adalah sebab hukum. Dan semua ibadah dalam hal ini, yang hukumnya sama seperti puasa mengingat hari kelahiran menurut kesepakatan ulama, sepertinya sudah menjadi kesepakatan tertulis di antara mereka, atau diqiyaskan seperti itu menurut sebagian lainnya. Terkait dengan hal-hal mubah, selain ibadah yang mengungkapkan rasa senang, asal hukumnya boleh-boleh saja, tidak ada dalil yang melarang demikian.
<br /><br />
Ibnu Taimiyah menilai, salaf tidak pernah merayakan Maulid. Andai hal itu baik tentu mereka sudah terlebih dulu melakukannya sebelum kita. Jadi, menurut mereka Maulid hukumnya adalah bid’ah.<br /><br />
Imam Suyuthi menanggapi, tidak ada pernyataan salaf yang mencegah dan menganjurkan perayaan Maulid, mereka bersikap abstain sementara hadits di atas adalah dalil kuat. Berdasarkan ijma’, hadits lebih dikedepankan dari sikap abstain dan tidak adanya riwayat yang termasuk dalam istilah istishhab pada masalah itu. Istishhab adalah pemberlakuan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya.<br /><br />
Antara Inkar dan Ijtihad<br /><br />
Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”<br /><br />
Hadits di atas secara tegas menyatakan orang yang salah dalam berijtihad bukan berarti melakukan amalan bid’ah ataupun sesat karena Allah SWT tidak memberi pahala bid’ah, bahkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.
<br /><br />
Ada beberapa kemungkinan bagi kalangan yang menyesatkan kelompok lain dalam masalah peringatan Maulid ini.<br /><br />
Pertama, mereka tak mengetahui kaidah di atas. Kedua, mereka pura-pura tidak tahu adanya argumentasi pihak yang berseberangan, yang disebabkan adanya faktor dan tujuan pribadi. Ketiga, mereka mengira masalah ini dan masalah-masalah serupa lainnya bukan masalah ijtihad, tapi sesuatu yang sudah jelas, sehingga dengan mudah ia menyesatkan orang lain yang berpaling atau menentang masalah ini.
<br /><br />
Dengan alasan apapun, siapapun yang menganjurkan perayaan Maulid, tidak bisa dan tidak laik dituduh menentang ajaran-ajaran yang telah jelas. Perhatikan siapakah mereka yang dituduh seperti itu; mereka adalah para imam terpercaya, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Hafizh As-Suyuthi; lalu perhatikan siapa Anda, para pengingkar anjuran perayaan Maulid itu, yang gemar membawa pandangan sembrono sampai menyatakan bahwa para imam besar itu tidak boleh diikuti karena pendapatnya keliru.<br /><br />
Anda, yang tidak sependapat dengan anjuran merayakan Maulid, menganggap mereka keliru? Baik. Pertanyaannya, apakah para imam terpercaya itu keliru dengan menyalahi pengamalan agama yang nashnya jelas dan tegas, ataukah mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad?
<br /><br />
Jika para imam tersebut keliru dengan menyalahi ajaran-ajaran agama yang sudah jelas hukumnya, berarti kesalahan tersebut adalah sikap pembangkangan. Allah SWT berfirman mengenai orang-orang yang berbuat demikian, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” – QS. Ali ‘Imran [3]: 105
<br /><br />
Apakah ini laik bagi imam-imam seperti Ibnu Hajar dan As-Suyuthi? Jika mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad, toh Nabi SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
<br /><br />
Dan Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah.
<br /><br />
Ijtihad Bukan Kebenaran Absolut<br /><br />
Anda tidak bisa membid’ahkan dan menyatakan Ibnu Hajar sesat dan berbuat bid’ah, meski menurut Anda hal itu salah. Boleh jadi, justru Anda yang salah. Jika Anda, atau ulama panutan Anda, berpendapat bahwa perayaan Maulid itu keliru, lalu merayakannya, itu baru berarti Anda melakukan bid’ah dan Anda sesat. Sementara bagi yang tidak sependapat dengan Anda, tidak seperti itu.
<br /><br />
Disebutkan, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berdoa, “Ya Allah aku memohon kepadamu dengan perantara Nabi-Mu, ampunilah aku.”
<br /><br />
Ia melakukan sesuatu yang menurutnya baik, dan mendapat dua pahala jika benar, atau satu pahala jika salah. Lain halnya kalau yang berdoa itu adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Albani, atau para pengikutnya, yang berpandangan doa dengan bertawassul adalah suatu hal yang bid’ah dan sesat. Kalau mereka berdoa dengan ucapan itu, mereka menanggung dosa dan hukumannya. Hal senada berlaku dalam semua masalah ijtihad yang diperdebatkan, baik yang dianjurkan atau dilarang.
<br /><br />
Dalam masalah-masalah ijtihad, mujtahid tidak harus puas dengan dalil-dalil pihak yang berseberangan, tapi masing-masing kubu harus puas dengan adanya kemungkinan, bahwa salah satu di antara kedua pihak adalah salah, seperti yang Rasulullah SAW sampaikan dalam sebuah wasiat yang beliau sampaikan pada seorang komandan pasukan, “Karena kau tidak tahu apakah putusanmu sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”
<br /><br />
Hadits ini secara tegas menyatakan, seorang mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dan kalangan yang tidak sependapat pasti salah.
<br /><br />
Maulid di Mata para Hafizh
Kita, yang tinggal di Nusantara, mungkin hanya mengenal sedikit kitab Maulid. Padahal kitab Maulid karya para ulama itu jumlahnya sangat banyak, lantaran perhatian khusus mereka terhadap momentum agung tersebut. Sebagiannya disusun oleh para hafizh, orang-orang yang dalam hidupnya ”tenggelam” dalam bahtera hadits Rasulullah SAW. Di bawah ini nama sebagian di antara mereka itu.
<br /><br />
Al-Hafizh Muhammad bin Abubakar Al-Qisi Asy-Syafi’i, lebih populer sebagai Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (777-842), seorang imam besar, ahli hadits dan sejarah dengan kekuatan hafalan yang gemilang, menulis kitab Maulid Al-Lafzhu ar-Raiq fi Maulid Khairi al-Khalaiq.<br /><br />
Al-Hafizh Abubakar bin Abdurrahim Al-Mashri, imam yang sangat tersohor di kalangan para imam ahli hadits, lebih dikenal dengan Al-’Iraqi (725-707), sandaran para ulama dalam masalah yang pelik dan rumit, menulis kitab Maulid Al-Maurid al-Hani fi al-Maulid as-Sani.
<br /><br />
Al-Hafizh As-Sakhawi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiri As-Sakhawi (831-902). Imam Syaukani memujinya, “Aku tak pernah melihat seorang hafizh generasi akhir yang melebihi As-Sakhawi dalam kekuatan hafalannya.” Ia menulis kitab Maulid Nabi SAW sebagaimana yang di kutip oleh pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun.
<br /><br />
Al-Hafizh Mula Ali Al-Qari (1014) pengarang kitab syarh Al-Misykah. Ia juga menulis kitab Maulid berjudul Al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabi.
<br /><br />
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ismail bin Umar bin Katsir, seorang mufassir tersohor, ia juga menulis kitab Maulid yang baru-baru ini dicetak dan ditahqiq oleh Dr. Shalahuddin.
<br /><br />
Al-Hafizh Ibnu Ad-Daiba’i Wajihuddin ibnu Abdurrahman Asy-Syaibani Al-Yamani (866-944), seorang yang sangat populer di zamannya. Kitab maulidnya sangat dikenal di penjuru dunia termasuk di Indonesia, yaitu yang biasa disebut Maulid Ad-Diba’.
<br /><br />
Dunia Islam menyematkan gelar “al-hafizh” kepada para ulama ahli hadits yang memiliki hafalan lebih dari seratus ribu hadits (pendapat lain menyebut angka tiga ratus ribu hadits) baik matan (redaksi) maupun sanad (mata rantai periwayatan)-nya. Mereka adalah para hafizh yang lebih memahami hadits dari para pengingkar Maulid.
<br /><br />
Tidakkah kita bisa berbaik sangka sedikit pun, apalagi kepada para ulama seperti mereka? Bahkan seringkali vonis bid’ah, kafir, dan syirik terlontarkan kepada mereka, hanya dengan bermodalkan dalil kullu bid’atin dhalalah, tanpa mau mendengar pendapat para ulama yang lebih alim dan lebih wara’. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan mengikutinya.
<br /><br />
Memahami Tark
<br /><br />
Maksud tark yang menjadi tujuan penulisan risalah singkat ini, adalah suatu amalan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan Nabi SAW, atau ditinggalkan oleh salafush shalih, tanpa adanya hadits atau atsar yang melarang amalan yang ditinggalkan tersebut, yang menunjukkan perbuatan tersebut haram atau makruh.
<br /><br />
Ulama kalangan mutaakhir sering menggunakan dalil tark untuk mengharamkan atau mencela berbagai hal, bahkan sebagian kalangan terlalu berlebihan menggunakan dalil ini. Ibnu Taimiyah memakai dan menjadikan ini sebagai sandaran dalam menghukumi berbagai hal, seperti yang akan dibahas berikutnya.
<br /><br />
Ketahuilah, ketika Nabi SAW meninggalkan (tidak mengerjakan) sesuatu amalan, ada beberapa kemungkinan amalan tersebut tidak dilarang, yaitu karena beberapa sebab berikut ini:
<br /><br />
Pertama, karena beliau tidak biasa terhadap sesuatu itu. Contohnya, suatu ketika Nabi SAW diberi biawak bakar. Beliau menjulurkan tangan. Kemudian ada yang berkata, “Itu biawak.” Maka beliau pun tak jadi memungutnya.<br /><br />
Kemudian ada yang bertanya, “Apakah itu haram?”<br /><br />
Nabi SAW menjawab, “Tidak, hanya saja hewan ini tidak terdapat di kawasan kaumku, aku pun merasa jijik.”
<br /><br />
Hadits ini tertera dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ini menunjukkan dua hal, yaitu bahwa meninggalkan sesuatu bagi Nabi SAW, meski setelah beliau hampir melakukannya, tidaklah menunjukkan sesuatu tersebut haram, dan bahwa jijik terhadap sesuatu bukan berarti mengharamkan sesuatu itu.<br /><br />
Kedua, karena beliau lupa. Contohnya, Nabi SAW pernah lupa dalam shalat, meninggalkan salah satu bagian shalat kemudian beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?”
<br /><br />
Nabi SAW menjawab, “Aku hanya manusia biasa, aku lupa seperti halnya kalian. Jika aku lupa, ingatkan.”
<br /><br />
Ketiga, karena beliau khawatir amalan tersebut diwajibkan terhadap umat. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Tarawih saat para sahabat telah berkumpul untuk shalat bersama beliau.<br /><br />
Keempat, karena tidak terpikirkan dan tidak terlintas di benak beliau. Contohnya, pada mulanya Nabi SAW khutbah shalat Jum’at di atas kayu kurma. Tak terpikirkan oleh beliau untuk membuat mimbar sebagai tempat berkhutbah. Saat ada yang mengusulkan pembuatan mimbar, beliau setuju dan mengakui hal itu, karena khutbah di atas mimbar lebih mengena untuk pendengaran hadirin. Para sahabat juga mengusulkan untuk membuatkan tempat duduk dari tanah untuk Nabi SAW, agar dikenali utusan asing yang datang menemui beliau. Beliau menyetujui usulan itu, karena sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan untuk itu.<br /><br />
Kelima, karena sesuatu itu sudah termasuk dalam penjelasan umum ayat-ayat Al-Qur‘an atau hadits. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Dhuha dan banyak sekali amalan-amalan lain yang dianjurkan, karena sudah termasuk dalam penjelasan umum firman Allah SWT: “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77<br /><br />
Keenam, karena beliau khawatir sesuatu itu mengubah hati para sahabat atau sebagian sahabat. Contohnya, sabda Nabi SAW kepada Aisyah, “Andai saja kaummu tidak baru saja masuk Islam, tentu aku robohkan Ka’bah kemudian aku bangun lagi sesuai pondasi Ibrahim, karena kaum Quraisy memperkecil bangunannya.”
<br /><br />
Hadits ini tertera dalam dua kitab hadits shahih utama, Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Secara tegas dijelaskan, Nabi SAW tidak merobohkan Ka’bah dan mengembalikannya ke posisi semula, semata dilakukan untuk menjaga hati para sahabat di Makkah yang baru masuk Islam. Tindakan ini memungkinkan adanya alasan lain yang bisa diketahui dengan cara mencermati kitab-kitab hadits.
<br /><br />
Meninggalkan, Bukan Melarang
<br /><br />
Larangan adalah sesuatu yang haram, yang memang harus ditinggalkan. Masalah larangan adalah satu hal, dan masalah tark adalah satu hal lainnya lagi. Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang secara tegas menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi SAW serta merta menjadi sesuatu yang haram.
<br /><br />
Dijelaskan dalam Ar-Radd al-Muhkam al-Matîn, tentang meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang. Berikut ini penjelasannya:
<br /><br />
“Meninggalkan suatu amalan saja tanpa disertai nash lain yang menunjukkan bahwa hal tersebut terlarang, bukanlah hujjah yang melarang sesuatu tersebut, meskipun pada akhirnya memang meninggalkan sesuatu tersebut ternyata disyari’atkan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari kasus semacam ini: Pertama, sesuatu yang ditinggalkan tersebut dilarang, namun pelarangan ini bukan karena sesuatu tersebut ditinggalkan. Kedua, ada dalil lain yang menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.
<br /><br />
Imam Abu Sa’id bin Lubb juga menyebutkan kaidah ini. Ia menyampaikan bantahan terhadap kalangan yang memakruhkan berdoa seusai shalat, yang selalu berhujjah bahwa merutinkan hal tersebut, tidak pernah dilakukan kalangan salaf. Dengan asumsi penukilan ini benar, meninggalkan sesuatu justru menunjukkan amalan tersebut boleh dan tidak berdosa dilakukan, bukan berarti amalan tersebut haram atau makruh, terlebih bagi amalan yang secara garis besar ada landasan hukumnya dalam syari’at, seperti doa.
<br /><br />
Nabi SAW tidak pernah puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhan. Ini juga tidak menunjukkan bahwa makruh hukumnya puasa sunnah sebulan penuh.”
<br /><br />
Demikian teks-teks yang secara tegas menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu amalan bukan berarti amalan tersebut makruh, apalagi haram.<br /><br />
Sebagian kalangan yang bersikap berlebihan, mereka mengingkari kaidah ini dan tidak mengakuinya sebagai salah satu bagian dari ilmu ushul. Ini menunjukkan, pengingkaran terhadap dalil ini semata disebabkan kebodohan dan akal tidak sehat.
<br /><br />
Adapun mengenai larangan dalam syari’at, berikut kami jelaskan dalil-dalil larangan:
<br /><br />
Pertama; yang menunjukkan pengharaman ada tiga. Satu, larangan. Contoh, “Jangan mendekati zina, jangan memakan harta di antara sesamamu dengan cara bathil.” Dua, pengharaman. Contoh, “Diharamkan bagimu bangkai,” dan seterusnya. Tiga, celaan atau ancaman siksa atas suatu perbuatan. Contoh, “Barangsiapa menipu, ia bukan golongan kami.”
<br /><br />
Dan meninggalkan suatu amalan tidak termasuk dalam tiga kategori ini. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.<br /><br />
Kedua; Allah SWT berfirman, “Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” – QS. Al-Hasyr [59]: 7
<br /><br />
Allah SWT tidak menyatakan, “Apa yang ia tinggalkan, tinggalkanlah.” Dengan demikian, meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.
<br /><br />
Ketiga; Nabi SAW bersabda, “Apa yang aku perintahkan, kerjakan semampumu, dan apa yang aku larang, jauhilah.”
<br /><br />
Nabi SAW (saja) tidak menyatakan, “Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.” Lalu bagaimana bisa sampai ada yang mengatakan bahwa meninggalkan sesuatu sebagai larangan atas sesuatu tersebut?<br /><br />
Keempat; para pakar ushul mendefinisikan, sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW. Mereka tidak mendefinisikan, sunnah adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW, karena meninggalkan sesuatu bukanlah dalil.
<br /><br />
Kelima; seperti disebutkan sebelumnya, hukum adalah khithab Allah SWT. Para pakar ushul menyebutkan, hukum berdasarkan Al-Qur‘an, sunnah, ijma’, atau qiyas. Dan meninggalkan sesuatu amalan bukan bagian dari dasar-dasar hukum tersebut, dengan begitu ia bukan suatu dalil.<br /><br />
Keenam; seperti disebutkan sebelumnya, meninggalkan sesuatu memiliki beberapa kemungkinan selain larangan, dan kaidah ushul menyebutkan: jika terdapat kemungkinan dalam suatu dalil, dalil tersebut tidak bisa dijadikan pijakan. Juga sudah disampaikan sebelumnya, tidak ada nash yang menunjukkan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu sebagai dalil bahwa sesuatu tersebut haram. Hujjah ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa dalil tark tidak bisa dijadikan pijakan.
<br /><br />
Ketujuh; meninggalkan sesuatu adalah hukum asal, karena meninggalkan sesuatu berarti tidak adanya perbuatan. Tidak adanya sesuatu adalah hukum asal, sementara mengerjakan suatu amalan adalah sesuatu yang terjadi tanpa diduga. Hukum asal sama sekali tidak menunjukkan apapun, tidak secara bahasa ataupun menurut syari’at. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.
<br /><br />
Pengertian Bid’ah
<br /><br />
Definisi bid’ah pertama kali dijelaskan oleh Imam Syafi’i berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469).
<br /><br />
Disebutkan, bahwa semua hal baru itu ada dua macam: Pertama; sesuatu yang dibuat-buat dan berseberangan dengan Al-Qur‘an, sunnah, atsar, atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua; kebaikan yang diciptakan dan belum ada sebelumnya serta tidak diperdebatkan. Inilah bid’ah yang tidak tercela.<br /><br />
Umar bin Khaththab RA berkata tentang qiyam Ramadhan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini; maksudnya shalat Tarawih bersifat baru, dan tidak ada sebelumnya, karena seperti itu berarti tidak menyalahi (dalil-dalil yang ada).”<br /><br />
Kemudian Asy-Syafi’i menjelaskan maksud “bid’ah” dalam perkataan Umar bin Khaththab di atas.<br /><br />
Apa pengertian bid’ah? Yaitu sesuatu yang diciptakan dan belum ada sebelumnya. Ini makna umum bid’ah mencakup apa saja yang tidak ada di masa Nabi SAW, dan baru ada setelah masa beliau, baik ada dalilnya ataupun tidak. Inilah makna etimologi bid’ah yang paling tepat. Untuk itu bid’ah harus dibagi menjadi dua bagian:<br /><br />
Pertama; sesuatu yang diciptakan dan menyalahi Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat karena berseberangan dengan dalil-dalil syar’i.<br /><br />
Kedua; kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun. Inilah bid’ah yang tidak tercela, karena menurut syari’at baik adanya. Karena menurut syari’at baik, berarti bid’ah tersebut juga baik, lantaran tidak menyalahi dalil-dalil yang ada.
<br /><br />
Selanjutnya Asy-Syafi’i menjelaskan alasan kenapa Umar bin Khaththab RA memuji dan menganjurkan amal tersebut (qiyam Ramadhan secara berjama’ah), meski ia sebut sebagai bid’ah, alasannya adalah karena tidak berseberangan dengan Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’.
<br /><br />
Imam Syafi’i RA menyatakan, “Kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun adalah bid’ah yang tidak tercela.”
Pernyataan Asy-Syafi’i ini juga bersandar pada perkataan Umar RA, serta persetujuan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Zaid bin Tsabit RA bahwa pengumpulan Al-Qur‘an dalam satu kitab dianjurkan meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, karena hal tersebut baik adanya.
<br /><br />
Umar bin Khaththab berkata, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, “Menurutku, engkau harus mengumpulkan Al-Qur`an (dalam satu kitab).’
<br /><br />
Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW?”<br /><br />
Umar berkata, “Demi Allah itu baik.”
<br /><br />
Abu Bakar berkata, “Umar terus mempertimbangkan hal itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku.” (HR Al-Bukhari nomor 4402)
<br /><br />
Pada mulanya Abu Bakar berdalih mengumpulkan Al-Qur‘an dalam satu kitab tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, sementara Umar bin Khaththab berdalih meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW tapi langkah tersebut baik, dan karena baik berarti dianjurkan. Abu Bakar selanjutnya mengulang jawaban Umar saat Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah itu baik.”
<br /><br />
Jawaban dari kedua khalifah Rasulullah SAW tersebut adalah tanggapan bagi siapapun, yang saat ini mengingkari berbagai kebaikan yang dibuat, dan tidak ada sebelumnya, dengan dalih tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebab menurut nash kitabullah, kebaikan itu diperintahkan untuk dilakukan, dan diberi janji keberuntungan. Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” – QS Al-Hajj: 77
<br /><br />
Kita diperintahkan untuk menyeru pada kebaikan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” – QS. Ali ‘Imran [3] 104
<br /><br />
Karenanya, menurut penjelasan Asy-Syafi’i, bid’ah yang tidak tercela adalah setiap kebaikan yang tidak menyalahi dalil-dalil syar’i.
<br /><br />
Gebyah Uyah Masalah Bid’ah<br /><br />
Pendapat yang menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah dan ada yang dhalalah sesungguhnya tidak berseberangan dengan pendapat yang menyatakan tidak ada bid’ah hasanah dalam syari’at. Sebab, yang dimaksud hadits tersebut dalam pandangan mereka, bahwa amal yang menyalahi dalil-dalil syar’i tidak bisa dianggap baik. Demikian yang dinyatakan secara tegas oleh Ibnu Taimiyah.
<br /><br />
Pernyataan Ibnu Taimiyah dinukil di sini bukan untuk lebih mengedepankan pendapatnya atas pendapat lainnya, tapi untuk menjelaskan bahwa kalangan yang tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah, misalnya dalam hal peringatan Maulid, bukanlah ahli bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah yang ia sebutkan sendiri dalam Al-Fatawa (10/370), bahwa menjaga keumuman sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” hukumnya wajib, sementara suatu amalan yang disebut bid’ah dan terbukti baik berdasarkan dalil-dalil syar’i, berarti ada dua kemungkinan pasti:
<br /><br />
Kemungkinan pertama, amalan tersebut bukan bid’ah dalam agama, meski dari sisi bahasa disebut bid’ah, seperti perkataan Umar bin Khaththab RA, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”<br /><br />
Kemungkinan kedua, bersifat pernyataan umum, namun dikhususkan karena adanya pengecualian yang kuat, seperti yang berlaku pada masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum, sama seperti kata-kata umum lain yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan sunnah.
Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas (pada kemungkinan kedua) secara tegas menyatakan, adanya pengecualian yang lebih kuat memunculkan adanya kekhususan dari perkataan umum dalam sabda Nabi SAW, “Setiap bid’ah itu sesat,” dan menjadikan contoh kasus yang dikecualikan menjadi tidak sesat, karena tidak termasuk dalam keumuman kata-kata tersebut.
<br /><br />
Yang dimaksud “menjaga keumuman” dalam hal ini adalah seperti yang ditegaskan Ibnu Taimiyah sendiri (pada kemungkinan kedua tersebut), “Seperti yang berlaku bagi masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum.” Maksudnya, selain masalah-masalah yang dikhususkan oleh dalil yang lebih kuat dari pernyataan umum tersebut. Dengan kata lain, hadits tersebut bersifat khusus (yaitu pada bid’ah yang termasuk dhalalah).
<br /><br />
Karena itu Ibnu Taimiyah sendiri menyatakan (27/152), kalangan yang menjadikan hadits tersebut tetap bersifat umum, dan kalangan lain yang mengkhususkannya, bermuara pada satu kesimpulan yang sama, seperti yang ia sebutkan dalam Al-Fatawa; bid’ah hasanah – bagi yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi‘ah – pasti dianjurkan oleh seorang ahlul ilmi yang menjadi panutan, di samping ada dalil yang menganjurkan.<br /><br />
Seperti itu juga kalangan yang menyatakan bid’ah semuanya tercela. Bid’ah menurut kalangan ini adalah sesuatu yang tidak ada dalil syar’inya. Karena itu kedua pendapat tersebut (yang mengklasifikasi bid’ah maupun yang menggeneralisir bid’ah), bermuara pada satu titik yang sama.
Pendapat pertama, mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang dibuat-buat sepeninggal Nabi SAW. Dengan demikian bid’ah menurut pendapat pertama ini, harus dibagi menjadi bid’ah yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan dalil. Sementara pendapat kedua, menilai bid’ah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil. Bid’ah menurut pendapat kedua, tidak terbagi menjadi dua, tapi hanya satu, yang tak lain adalah bid’ah jenis kedua (bid’ah dhalalah) menurut pendapat pertama.
Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyah sendiri, dapat disimpulkan bahwa kalangan yang menilai bid’ah sebagai “sesuatu yang dibuat sepeninggal Rasulullah SAW, dan masa salaf tanpa klasifikasi atau batasan apapun” berarti berseberangan dengan kedua pendapat di atas sekaligus.
<br /><br />
Dalil syar’i yang menguatkan baiknya suatu amalan, yang secara bahasa disebut bid’ah atau mengkhususkan kata-kata umum sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” bisa jadi berupa nash dan bisa jadi melalui istinbath, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (1/587), bahwa suatu hal yang terbukti baik, bukanlah suatu bid’ah. Di bagian lain ia menyatakan, suatu hal yang terbukti baik berarti mengkhususkan pernyataan umum (dalam hadits tersebut). Yang mengkhususkan adalah dalil-dalil syar’i yang bersumber dari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ baik dalam bentuk nash ataupun melalui istinbath.
<br /><br />
Sikap Semena-mena<br /><br />
Kekeliruan dalam ijtihad bukanlah bid’ah, karena perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi dalam ijtihad, tidak membuat salah satu dari dua kubu sebagai ahli bid’ah, bahkan bagi yang salah sekalipun, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Namun ketika ia memutuskan sesuatu lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”
<br /><br />
Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah, bahkan bid’ah membuat pelakunya sesat dan berada di neraka, “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”
<br /><br />
Disebutkan dalam Musawwadah Alu Taimiyah, diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, “Kebenaran di sisi Allah SWT hanya satu, ahli ijtihad harus berijtihad, namun tidak boleh berkata kepada pihak yang tidak sependapat, ‘Kamu salah’.”
<br /><br />
Disebutkan dalam Hilyat al-Awliya‘, diriwayatkan dari Imam Malik, “Khalifah Ar-Rasyid mengusulkan padaku untuk menggantung kitab Al-Muwaththa‘ di Ka’bah, dan menginstruksikan agar diterapkan oleh semua kaum muslimin. Lalu aku mengatakan, ‘Jangan, karena para sahabat Rasulullah SAW sendiri berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’, mereka juga sudah berpencar di berbagai daerah, masing-masing (dari mereka) benar’.”
<br /><br />
Rasulullah SAW menjelaskan, mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dalam mengetahui maksud Allah SWT. Rasulullah SAW menyampaikan wasiat kepada salah seorang komandan pasukan, “Jika kau mengepung penduduk suatu benteng, lalu mereka ingin agar kamu menghukumi mereka berdasarkan hukum Allah, jangan hukumi mereka (dengan mengatasnamakan) berdasarkan hukum Allah, tapi hukumi mereka berdasarkan hukummu (dengan menggali hukum Allah yang kamu ketahui), karena kau tidak tahu apakah putusanmu terhadap mereka sesuai hukum Allah ataukah tidak.” (HR Muslim nomor 1731). Orang yang tidak bisa memastikan dirinya benar, bagaimana bisa memastikan orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya itu salah?
<br /><br />
Disebutkan dalam risalah Imam Syafi’i (Ar-Risalah, hal: 497), saat membahas hadits ijtihad di atas, Imam Syafi’i ditanya, “Apa makna benar dan salah?”
<br /><br />
Aku (Asy-Syafi’i) menjawab, “Sama seperti makna menghadap kiblat. Arah kiblat dicari-cari oleh orang yang berada jauh dari Ka’bah. Mengarah ke kiblat itu sendiri, bagi yang berada jauh dari Ka’bah, ada yang benar dan ada juga yang salah.”
<br /><br />
Si penanya berkata, “Menurutmu bagaimana, apakah ijtihad bisa dikatakan benar dengan selain pengertian tersebut?”
<br /><br />
Asy-Syafi’i menjawab, “Ya, hanya saja ijtihad berlaku untuk masalah-masalah yang dalilnya tidak diketahui. Ketika yang bersangkutan mengamalkannya (berdasarkan ijtihad dengan segala persyaratannya), artinya ia benar dalam hal mengamalkan sesuatu yang dibebankan. Secara lahir ia benar, dan yang mengetahui sisi batin hanya Allah semata.”
<br /><br />
Karena itu Ibnu Taimiyah menyatakan, masalah-masalah yang diperdebatkan oleh salaf dan para imam tersebut, masing-masing mengakui ijtihad kalangan lain. Untuk itu bagi kalangan yang mengikuti pendapat Asy-Syafi’i, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Malik, bagi yang mengikuti pendapat Ahmad, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Syafi’i, dan seterusnya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/292)
<br /><br />
Dengan demikian, siapapun yang menyalahkan kalangan yang tidak sependapat – meski berpedoman pada dalil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian imam – berarti menyalahi metode tersebut, di samping berlaku semena-mena terhadap kalangan yang tidak sependapat.
<br /><br />
Wujud Rasa Syukur
Berkumpul bersama dalam Maulid untuk bersyukur kepada Allah SWT, atas petunjuk pada salah satu sunnah Rasulullah SAW yang diamalkan dan dipuji oleh para sahabat, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim dari Mu’awiyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW datang menghampiri para sahabat yang tengah berkumpul, beliau bertanya, “Untuk apa kalian duduk berkumpul?”
<br /><br />
Para sahabat menjawab, “Untuk mengingat dan memuji Allah, karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam, dan menganugerahkan Islam kepada kami.”<br /><br />
Rasulullah SAW bertanya, “Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”<br /><br />
Para sahabat menjawab, “Demi, Allah hanya itu alasan kami duduk berkumpul.”<br /><br />
Rasulullah SAW melanjutkan, “Aku meminta kalian bersumpah bukannya aku meragukan kalian, Jibril baru saja datang menghampiriku, dan memberitahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat’.”<br /><br />
Berkumpul untuk memuji Allah SWT atas nikmat dan karunia Islam yang diberikan adalah sunnah, termasuk berkumpul untuk bersyukur kepada Allah SWT, karena nikmat kelahiran junjungan kita Muhammad SAW, karena beliau menyeru kita menuju Islam. Inilah wujud nyata kitab Allah SWT seperti yang disampaikan Aisyah kepada orang yang menanyakan seperti apa akhlak Rasulullah SAW, “Bukankah kau membaca Al-Qur`an?”
<br /><br />
Si penanya menjawab, “Ya, betul.”
<br /><br />
Aisyah berkata, “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim, hadits nomor 746)
<br /><br />
Di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah ibadah sebagai wujud rasa syukur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya: tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan syair-syair pujian untuk Nabi SAW, dan syair-syair tentang zuhud.
<br /><br />
Adab Memperingati Maulid<br /><br />
Memperingati hari lahir manusia termulia yang dimuliakan oleh yang Mahamulia, adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi SAW. Syiar kecintaan ini menjadikan orang yang lalai dapat mengingat, mengenang, serta meneladani kembali akhlak beliau.
<br /><br />
Majelis Maulid juga ajang umat Islam dalam mengekspresikan kegembiraan dan rasa suka cita atas anugerah besar yang Allah limpahkan kepada mereka.
<br /><br />
Allah SWT berfirman, “Isa putera Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan Kami turunkanlah kiranya kepada Kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi Kami, yaitu orang-orang yang bersama Kami dan yang datang sesudah Kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah Kami, dan Engkaulah Pemberi rezki yang paling Utama’.” – QS Al-Maidah: 114
<br /><br />
Sudah barang tentu rasa gembira dan suka cita atas datangnya manusia mulia, juru selamat dunia akhirat pada seluruh umat, lebih layak untuk dirayakan dari pada sekadar turunnya hidangan dari langit. Manusia manapun tahu Rasulullah SAW lebih mulia dari semua ciptaan Allah SWT.<br /><br />
Namun perlu diingat, agar peringatan peringatan itu tetap tidak keluar dari bimbingan para ulama, sehingga kita semua beroleh hasil maksimal dan peneladanan yang benar, serta jauh dari segala kemunkaran, juga untuk menutup celah komentar orang yang anti perayaan Maulid. Janganlah niat baik kita terkontaminasi oleh ketidaktahuan cara pengungkapan rasa cinta dan suka cita itu sendiri.<br /><br />
Di antara beberapa hal yang harus kita perhatikan, kita jauhi, dan jangan sampai terulang lagi pada tahun-tahun yang akan datang, adalah:<br /><br />
Pertama, ikhthilath, yaitu perbauran laki laki dan wanita dalam satu majelis, apalagi wanita melantunkan Al-Qur’an, atau membaca saritilawah di tengah kerumunan laki-laki, itu semua dilarang oleh agama.
<br /><br />
Kedua, menjauhkan majelis yang mulia ini dari penceramah yang membawakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), karena itu akan menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menyerang kita, dan yang terpenting itu dilarang oleh sang Shahibul Maulid, dengan sabdanya, “Barang siapa berbohong atasku (memalsukan hadits-ku), persiapkanlah tempatnya di neraka.” Sesungguhnya kita pun tidak butuh dengan hadits-hadits itu, sekedar untuk memperkuat hujjah dan dalil penguat tentang Maulid, karena banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait legalitas perayaan Maulid.
<br /><br />
Ketiga, larut dalam tawa yang tidak terkontrol, dengan bahasa yang tidak layak diungkapkan pada majelis Nabi SAW tercinta dan termulia, karena beliau juga melarang hal-hal tersebut.
<br /><br />
Keempat, hendaknya pembicaraan kita tidak keluar dari mahabbah pada Nabi Muhammad SAW, rahmat, peneladanan dan segala yang terkait pada kesempurnaan akhlaq beliau, serta penjelasan pada orang awam tentang dalil peringatan Maulid, agar mereka memahami dengan jelas apa yang mereka lakukan. Inilah yang dilakukan para ulama di berbagai belahan dunia seperti di Makkah, Madinah, Maroko, Yaman, dan lainnya. Semoga Allah memberikan berkah pada kita lantaran mereka.
<br /><br />
Kelima, menjauhkan acara ini dari kepentingan-kepentingan sesaat, pribadi maupun golongan, yang bertujuan menggalang massa, membeli dan membodohi ulama yang mempunyai banyak pengikut dengan harga yang murah, dalam artian berapa pun uang itu sangatlah kecil dibandingkan kesucian acara itu sendiri, toh akhirnya mereka pun tak mau menerima syariat yang dibawa oleh Nabi SAW.
<br /><br />
Keenam, jangan pernah memberi tempat untuk para pembicara yang tidak sopan, baik dalam tutur bahasa atau penampilan, apalagi membahas hal-hal cabul dan mesum dalam majelis yang berkah itu, apapun alasan mereka sungguh ini melukai hati Rasulullah SAW.
<br /><br />
Renungan Maulid<br /><br />
Menyambut bulan Maulid tahun ini, buku karya Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq ini diterbitkan. Penulisnya menyuguhkan isinya dengan metode pembahasan yang sedemikian rupa, dengan harapan pembaca dapat memahami perihal perayaan Maulid ini secara utuh.
Di bagian belakang sampul buku tersebut, penulis juga menyertakan sinopsis yang cukup menggugah pembacanya. Sinopsis itu bak rekaman sejarah Maulid dari zaman ke zaman yang kemudian diperas hingga menjadi satu halaman. Meski terkesan padat untuk ukuran sebuah sinopsis buku, namun kalimat demi kalimat yang dituturkan terasa sangat mengena.
Mengingat sedemikian dalamnya pesan yang ingin disampaikan dalam sinopsis buku yang tertera dalam sampul belakang buku itu, berikut ini kami tuangkan secara utuh isinya.
Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam seketika. Pilar-pilar kokoh istana kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan banyak lagi. Walhasil, alam bergemuruh, menyambut kelahiran Nabi SAW sedemikian rupa.
<br /><br />
Puluhan tahun kemudian, ada sahabat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin. “Itulah hari kelahiranku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara beliau memperingati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bahkan di setiap pekan.
<br /><br />
Waktu berputar. Sumber-sumber sejarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan Maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya Ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H). Kala itu, kisah hidup Nabi diperdengarkan, keluhuran akhlaq beliau disebut-sebut, shalawat bergema silih-berganti, hadirin dijamu layaknya tamu yang mesti dihormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran sang rahmatan lil ’alamin. Di hati pecinta, sungguh ini kenikmatan tiada tara.
<br /><br />
Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpulkan orang dalam sebuah majelis Maulid nyatanya disambut baik oleh ulama, para pewaris anbiya’, seperti halnya shalat Tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khaththab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat.
<br /><br />
Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah menjelaskan pada umat hujjah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk memahami hadits-hadits shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Qur’an Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan sekitar 500 karya berbobot lainnya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid.
<br /><br />
Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tauhidnya, dan benar mutlak pendapatnya menghukumi Maulid dengan tergesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amalan bid’ah, tradisi paham yang sesat, menyerupai kebiasaan orang kafir, dalil-dalilnya dipaksakan, jamuan yang dihidangkan haram, memuji-muji Nabi di dalamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku ”bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, ”Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Taimiyah, ”Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu mengamalkannya.”
<br /><br />
Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal, dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umatnya, hingga menempatkan kaum muslimin sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadits Nabi SAW atau para pembangkang atas syariat yang beliau gariskan?
<br /><br />
Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana Persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan dalam mengikutinya.
<br /><br /> Sumber : Majalah Al Kisah
</span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-13089908807673405892013-12-08T21:40:00.004-08:002013-12-16T14:40:54.762-08:00Kunjungan Syeikh Hisyam Kabbani Des-2013<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoi_1gTRxIagN1G64ZWHJl6zPU1annLwIbl8__FHErX4qmN5d7Zb6NAZiBuGPscIUijgJa2HqpquJZrocwA69eBm9JJdBL-EkEMoSMPaJfCWrquvuaXK9lTGWIT3eGsepldNh1iG4KP9l2/s1600/msh-dec-2013.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoi_1gTRxIagN1G64ZWHJl6zPU1annLwIbl8__FHErX4qmN5d7Zb6NAZiBuGPscIUijgJa2HqpquJZrocwA69eBm9JJdBL-EkEMoSMPaJfCWrquvuaXK9lTGWIT3eGsepldNh1iG4KP9l2/s400/msh-dec-2013.jpg" /></a></div>
Assalamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakatuh,
Insya Allah Mawlana Syekh Hisyam Kabbani (q) akan kembali mengunjungi Indonesia pada tanggal 23 Desember 2013-1 Januari 2014.<br />
Berikut ini adalah Jadwal Tentatif Kunjungan beliau.<br />
<br />
SENIN, 23 DES 2013<br />
Pkl. 16-21<br />
Acara Penyambutan di Permata Hijau<br />
Jl.Limo No.7 Rt.03/05, Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jaksel<span class="fullpost">
<br /><br />
SELASA, 24 DES 2013<br />
Pkl.13-15<br />
Radio Talk Show<br />
di Radio Silaturahim AM 720 KHz,<br />
Jl. Masjid Silaturahim No.36, Kalimanggis, Cibubur<br /><br />
Pkl.20-23<br />
Dzikir dan Shuhba di Rumah Bapak Muchtony,<br />
Jl. Puri Kencana No.39 Cipete Selatan<br /><br />
RABU, 25 DES 2013<br />
Pkl.20-23 Mawlid an-Nabi (s) bersama Habib Alwi Ba-Alawy<br />
di Masjid Raya Perumnas Teluk Jambe, desa Sukaluyu, Karawang<br /><br />
KAMIS, 26 DES 2013<br />
Pkl. 20-23 Mawlid an-Nabi (s) bersama K.H. Amir Hamzah, para Kyai dan Ulama di Pesantren Daarul Ishlah,<br />
Jl.Buncit Raya No. 5 RT.05/05, Kalibata Pulo, Jakarta Selatan<br /><br />
JUMAT, 27 DES 2013<br />
(pagi) Berangkat ke Cirebon<br />
Pkl. 14-15 Kunjungan ke Pesantren Kempek, Gempol, Cirebon<br />
<br />
Pkl.21-23<br />
Kunjungan ke Majelis Asaqofa, Plered, Cirebon<br /><br />
SABTU, 28 DES 2013<br />
Pkl.11.-12.30: Kunjungan Pesantren As-Sidqu<br /><br />
Pkl.21-23<br />
Tabligh Akbar dan Cirebon Berdzikir bersama Habib Syech, para Kyai dan Ulama di Alun-Alun Masjid Agung At-Taqwa<br /><br />
MINGGU, 29 DES 2013<br />
Ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati, Kunjungan ke Pesantren Buntet dan kembali ke Jakarta
<br /><br />
SENIN, 30 DES 2013<br />
Pkl.20-23
Dzikir dan Shuhba<br />
di Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia
Jl.Budi Kemuliaan No.23, Jakarta Pusat
<br /><br />
SELASA, 31 DES 2013<br />
Pkl.21-24
Mawlid Nabi (s) bersama Habib Hasan bin Ja’far Assegaf dan Majelis Taklim Nurul Musthofa
di Jl.Bangka Raya
RABU, 1 JAN 2014<br />
Berangkat ke Singapura
<br /><br />
KETERANGAN<br />
Informasi: Humas (0819-1000-0065)<br />
Donasi: Melly (0816-115-3215), atau<br />
Utje Mustari (0812-1043-096-57)<br />
BCA No. 336 000 6335 atas nama Melza<br />
Bank Mandiri No.126.000.405.3459 atas nama Yayasan Haqqani Indonesia
http://naqsybandi.com/<br />
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1668527884690980384.post-55838952446168470282013-10-30T18:40:00.001-07:002013-10-30T18:40:12.605-07:00Sholawat ash-Shighah at-Tajridiyyah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm51lv0exYabpCsBvZ4HDwwNefjUNWQCnyGShgqQd3bPRowA12ATKim7IlZ_pm8SqLSiTGAQ62zzDOdng-aExdnW9hbjcgEVUAAwifVTlkXBImrq__F7u6dVSszglncYMHJI2kisr1BOFS/s1600/tajrid.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm51lv0exYabpCsBvZ4HDwwNefjUNWQCnyGShgqQd3bPRowA12ATKim7IlZ_pm8SqLSiTGAQ62zzDOdng-aExdnW9hbjcgEVUAAwifVTlkXBImrq__F7u6dVSszglncYMHJI2kisr1BOFS/s320/tajrid.JPG" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKzl7Jp7SfYdVGTCRJrhA7lJSK5nJpYs5YxGEEA9-b7N-a0ktCUBX3scXRFEH8Ss9ul1Rup2OUIYvkQ6jzXWd0JWRM_BzGTt9EGM-rgQj8ip_AXoxM8Wen6g7IfqeUhRSpOyVAOcVh6Si8/s1600/%D8%B9%D8%A8%D8%AF%D8%A7%D9%84%D8%AD%D9%84%D9%8A%D9%85.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKzl7Jp7SfYdVGTCRJrhA7lJSK5nJpYs5YxGEEA9-b7N-a0ktCUBX3scXRFEH8Ss9ul1Rup2OUIYvkQ6jzXWd0JWRM_BzGTt9EGM-rgQj8ip_AXoxM8Wen6g7IfqeUhRSpOyVAOcVh6Si8/s200/%D8%B9%D8%A8%D8%AF%D8%A7%D9%84%D8%AD%D9%84%D9%8A%D9%85.jpg" /></a></div>
Assalamualaikum,
<br />
Berikut sy tuliskan sholawat ash-Shighah at-Tajridiyyah yang didapat dari bahrushofa sebagai berikut:<br />
<span style="color: yellow;">Syaikhul Azhar, al-'Alim al-'Allaamah Dr.`Abdul Halim Mahmud</span> rahimahullah dalam karya beliau yang berjudul "<span style="color: lime;">ar-Rasul shallaAllahu `alaihi wa sallam"</span> pada halaman 175 menukilkan sebuah shighah sholawat yang beliau terima dari <span style="color: yellow;">Syaikh `Abdul Fattah al-Qadhi asy-Syablanji asy-Syadzili</span> rahimahullah.<br />
<br />
Menurut beliau, Syaikh `Abdul Fattah al-Qadhi telah memperolehi shighah shalawat ini dalam satu mimpi yang berkah. Dr. `Abdul Halim Mahmud telah menamakan shighah shalawat ini sebagai "<span style="color: yellow;">ash-Shighah at-Tajridiyyah</span>" karana sholawat ini tidak dilafazkan melainkan semata-mata untuk beribadah dengan mengajukan permohonan agar Allah SWT melimpahkan sholawat, salam dan barakah ke atas hambaNya, Sayyidina wa Mawlana Muhammad SAW, sebanyak bilangan makhlukNya, sesuai dengan keridhaanNya, seberat `arasyNya dan kalimahNya.
<br />
Jumlah pada shighah ini merupakan kiasan yang bertepatan dengan tasbih yang diajarkan oleh Junjungan Nabi SAW, yaitu "SubhanAllahi wa bi hamdihi, `adada khalqihi, wa ridha-a nafsihi, wa zinata `arsyihi, wa midada kalimaatihi." Mudah-mudahan dengan mengamalkan sholawat ini, kita dapat meraih keredhaan Allah SWT dan syafaat Junjungan Nabi SAW.
<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;">Sumber: http://bahrusshofa.blogspot.com
</span><span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com2