Pages

Wednesday, October 30, 2013

Sholawat ash-Shighah at-Tajridiyyah

Assalamualaikum, 
Berikut sy tuliskan sholawat ash-Shighah at-Tajridiyyah yang didapat dari bahrushofa sebagai berikut:
Syaikhul Azhar, al-'Alim al-'Allaamah Dr.`Abdul Halim Mahmud rahimahullah dalam karya beliau yang berjudul "ar-Rasul shallaAllahu `alaihi wa sallam" pada halaman 175 menukilkan sebuah shighah sholawat yang beliau terima dari Syaikh `Abdul Fattah al-Qadhi asy-Syablanji asy-Syadzili rahimahullah.

Menurut beliau, Syaikh `Abdul Fattah al-Qadhi telah memperolehi shighah shalawat ini dalam satu mimpi yang berkah. Dr. `Abdul Halim Mahmud telah menamakan shighah shalawat ini sebagai "ash-Shighah at-Tajridiyyah" karana sholawat ini tidak dilafazkan melainkan semata-mata untuk beribadah dengan mengajukan permohonan agar Allah SWT melimpahkan sholawat, salam dan barakah ke atas hambaNya, Sayyidina wa Mawlana Muhammad SAW, sebanyak bilangan makhlukNya, sesuai dengan keridhaanNya, seberat `arasyNya dan kalimahNya.
Jumlah pada shighah ini merupakan kiasan yang bertepatan dengan tasbih yang diajarkan oleh Junjungan Nabi SAW, yaitu "SubhanAllahi wa bi hamdihi, `adada khalqihi, wa ridha-a nafsihi, wa zinata `arsyihi, wa midada kalimaatihi." Mudah-mudahan dengan mengamalkan sholawat ini, kita dapat meraih keredhaan Allah SWT dan syafaat Junjungan Nabi SAW.

Sumber: http://bahrusshofa.blogspot.com

Wednesday, October 2, 2013

Madrasah Hadhramaut : Penyakit Hasad

Segala puji bagi Allah SWT dengan pujian yang dengannya kami dapat mewujudkan ikhlas yang sesuangguhnya dalam penghambaan dan yang dengan­nya kami menjadi bagian dari orang-orang yang hatinya terpenuhi oleh ca­haya Allah SWT SWT, yang tidak ada lagi tersisa celah sedikit pun bagi syirik di saat-saat melakukan segala perbuatan.

Bila kami katakan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepandiran, sesungguhnya hasad adalah permusuhan (mu‘adah) terhadap Allah secara terang-terangan. Naudzu billah!!!

Segala puji milik Allah, Yang mensucikan hati orang-orang yang tulus dalam meraih kesucian, Yang menolong ham­ba-hamba-Nya di dalam mensucikan hati mereka di jalan ketulusan pencarian terhadap-Nya. Milik-Nya segala puji atas segala yang telah dikaruniakan-Nya, mi­lik-Nya segala puji atas segala yang te­ngah dikaruniakan-Nya, dan milik-Nya se­gala puji hingga Allah ridha, dan milik-Nya segala puji setelah ridha.

Ya Allah, limpahkanlah karunia dan ke­sejahteraan senantiasa atas penghulu kami, Nabi Muhammad, pemilik hati yang paling suci di antara makhluk, dan atas ahli baytnya, shabat-shahabarnya, para tabi‘in, tabi’ut tabi‘in, dan para pengikut mereka, hingga hari Kiamat.

Pada pelajaran yang lalu telah di­bahas ihwal menolehkan pandangan ke­pada hati dengan maksud untuk mensuci­kannya dari kotoran-kotoran, yang me­nempel padanya dari maksiat dan pe­nyakit-penyakit hati.

Telah lalu penjelasan tentang bagai­mana mengobati hati dari penyakit som­bong (al-kibr), yang menjadi tanda dari ke­bodohan pelakunya, demikian pula ten­tang bagaimana mengobati kegelapan pe­nyakit riya’, yang merupakan bentuk pe­remehan hati terhadap keagungan Allah SWT, dan penolehan hati, karena kebodohan, kepada cinta kedudukan di sisi manusia. Imam Al-Haddad berkata, “Riya’ adalah tanda kebodohan pelaku­nya. Mengapa?”

Beliau berkata, “Karena ia telah memalingkan ibadahnya kepada Allah kepada makhluk, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan madharat bagi dirinya.”

Selanjutnya kita akan membicarakan bagaimana melepaskan diri dari hasad, penyakit ketiga dari induk segala penyakit dan maksiat hati.

Bila kembali mengingat pelajaran yang lalu, kalian akan tahu bahwa som­bong akan melahirkan penolehan pan­dangan kepada manusia, karena pada kondisi ini seseorang membanding-ban­dingkan dirinya dengan orang lain. Ia me­mandang dirinya lebih mulia dan lebih uta­ma dari orang lain. Pandangan ini muncul dari sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain, yang selanjutnya berkembang menjadi riya’, ingin dipandang oleh orang lain. Ia mencari dan menuntut pandangan orang lain kepada dirinya, menuntut orang lain memuliakannya dan meng­agung­­kannya. Ia cinta terhadap keduduk­an di antara manusia.

Keadaan semacam ini, bila terus tum­buh berkembang di dalam diri pelakunya, se­lanjutnya akan berubah menjadi pe­nya­kit yang ketiga, yakni hasad.

Hasad, yang merupakan maksiat di an­tara maksiat-maksiat hati, adalah pe­rasaan berat dalam memandang nikmat atau karunia yang ada di sisi makhluk. Engkau merasa berat bila melihat orang lain memperoleh nikmat dari Allah SWT, baik nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi. Dari mana datangnya perasaan berat semacam ini? Perasaan itu datang ka­rena engkau sibuk untuk meraih dan men­dapatkan kedudukan di antara ma­nusia.

Apabila kedudukanmu di antara ma­nusia adalah karena ilmu yang engkau miliki, engkau akan merasa berat bila memandang orang lain yang lebih alim dan berilmu dari dirimu, karena engkau ta­kut orang-orang akan menolehkan pan­dangan mereka kepadanya, bukan ke­pada dirimu. Sehingga penyakit yang ada di dalam hatimu itu sampai kepada batas­an bahwa engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat yang Allah berikan kepada selain dirimu. Mengapa? Karena engkau tidak menginginkan orang-orang memandang kepada orang yang menda­pat karunia itu. Engkau hanya ingin agar orang-orang memandang kepadamu.

Atau, apabila kedudukan yang eng­kau harapkan di antara manusia adalah dengan sebab kekayaan yang engkau mi­liki, atau kemampuan untuk meng-goal-kan proyek-proyek yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan, engkau akan me­rasa berat bila di hadapanmu terdapat orang lain yang juga memiliki kemampu­an seperti itu, karena engkau takut hal itu akan membuat pandangan orang-orang tertuju kepadanya, bukan kepada dirimu.

Pada ilmu, kedudukan, pangkat, ja­batan, dan pada apa pun itu, penuhnya hati oleh kegelapan cinta terhadap kedu­dukan di sisi manusia akan melahirkan se­telahnya penyakit yang ketiga ini, yakni hasad, perasaan berat melihat nikmat yang ada di sisi makhluk.

Bila kami katakan bahwa kesombong­an (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepan­dir­an, sesungguhnya hasad adalah pe­rmusuhan (mu‘adah) terhadap Allah se­cara terang-terangan. Naudzu billah!!!

Apakah seseorang dapat menerima bahwa dirinya menjadi musuh bagi Tu­han, Yang Maha Pemilik segala kemulia­an? Hasad adalah permusuhan terhadap Allah SWT secara terang-terangan, ka­rena orang yang hasud seolah-olah ia menentang Allah SWT.

“Kenapa Engkau memberi si Fulan?”

Di saat engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat pada seseorang, seolah-olah engkau menentang terhadap Yang memberinya nikmat itu, Allah SWT. Inilah bahaya hasad. Engkau akan se­nantiasa hidup dengan kegelapan hati, yang hatimu merasa berat untuk melihat kebaikan di sisi manusia, dan menentang Allah SWT dalam memberikan karunia-Nya kepada sekalian makhluk-Nya.

Hasad memiliki beberapa macam. Pertama, hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy). Yakni berharap hilangnya nikmat dari orang lain meskipun nikmat itu tidak di­harapkan menjadi miliknya.

Seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain yang ada di hadapan­nya sekalipun nikmat itu tidak akan men­jadi miliknya. Misalkan, seseorang sukses dalam meng-goal-kan suatu transaksi bis­nis, engkau berharap agar orang itu men­dapat kerugian, sekalipun dirimu ti­dak dapat melakukan suatu transaksi pun.

“Atasku dan atas musuh-musuhku,” seperti yang dikatakan orang-orang.

Ini hasad Iblis. Dia merasa berat me­lihat kedudukan yang tinggi dari Allah SWT berada pada ayah kita, Nabi Adam AS. Hasad semacam ini kemudian mem­bawa Iblis kepada me­nen­­tang Tuhan, Yang Maha Pemilik se­gala ke­muliaan, dengan menolak untuk ber­sujud kepada Nabi Adam AS. Setelah itu, sebagai ganti dari semestinya ia kem­bali dan bertaubat kepada Allah SWT serta menyesali ke­salahannya, yang, bila saja dia bertaubat, niscaya Allah akan meng­hapuskan dosanya, karena sung­guh Allah mahaluas karunia-Nya, kepada Allah justru Iblis mengancam Adam AS dan anak-cucunya. Iblis berkata, “Dia (iblis) berkata, ‘Terang­kanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diri­ku? Sesung­guhnya jika Engkau mem­beri tangguh ke­padaku sampai hari Kia­mat, niscaya be­nar-benar akan aku se­­sat­kan keturunan­nya, kecuali se­bahagi­an kecil." (QS Al-Isra: 62).

Apakah perbuatan Iblis terhadap anak-cucu Adam akan mengembalikan kedudukannya? Apakah dengan itu Iblis akan mendapatkan kembali kedudukan yang telah hilang darinya? Tidak!! Sekali-kali tidak akan pernah kedudukannya itu kembali kepadanya. Disebabkan karena teramat gelap dan hitam pekatnya hasad yang ada di dalam hatinya, Iblis berpaling dari seharusnya memikirkan bagaimana mendapatkan ganti dari kerugian yang di­alaminya, dan bagaimana meraih kembali kedudukan yang telah hilang dari dirinya, kepada bagaimana mendatangkan ma­dharat terhadap orang lain yang menda­patkan karunia dan kedudukan dari Allah SWT dan bagaimana melenyapkan karu­nia yang diraih oleh selain dirinya.

Inilah yang terburuk dan paling hina dari macam-macam hasad.

Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena dia ber­hadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya.

Setelah menjelaskan hakikat hasad dan macam pertama dari macam-macam hasad, yakni hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy), pengasuh melanjutkan penjelas­annya tentang macam-macam hasad se­lanjutnya dan bahaya darinya.

Kedua, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Seseorang ber­harap hilangnya nikmat dari orang lain yang berada di hadapanya dan dia ber­harap agar nikmat itu beralih kepada diri­nya. Dia berharap, si Fulan merugi dalam usahanya, agar dirinyalah yang kemudian mendapat keuntungan yang besar. Dia berharap, si Fulan jatuh kedudukannya, agar dialah yang nantinya mendapatkan dan menggantikan kedudukannya.

Seseorang yang memiliki sifat hasad semacam ini berharap hilangnya nikmat dari orang lain agar dirinya yang menda­patkannya. Sifat semacam ini adalah sifat yang buruk dan sesuatu yang dapat me­ngotori hati — wal-‘iyadzu billah, semoga Allah menjauhkan kita dan kalian semua daripadanya. Akan tetapi sifat hasad yang kedua ini lebih rendah keburukannya dari yang sebelumnya.

Ketiga, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar dia mendapat­kannya, namun, jika tidak men­dapat­kan­nya, dia tetap rela bila nikmat itu dimiliki orang lain.

Seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain yang ada di hadap­annya dan mengharapkan untuk menda­patkan nikmat itu. Akan tetapi jika tidak ada jalan untuk menggapainya agar men­jadi miliknya, dia merelakan nikmat itu menjadi milik orang lain tersebut.

Jenis hasad semacam ini pun buruk, akan tetapi kadar keburukannya lebih ringan dari dua macam hasad sebelum­nya.

Keempat, ghibthah. Sesuatu yang tidak dinilai buruk, tapi merasakan berat terhadap nikmat yang ada pada orang lain.

“Mengapa Fulan mendapatkan ini dan itu? Akan tetapi aku tidak berharap agar si Fulan rugi. Aku hanya berharap agar aku pun mendapatkan seperti yang didapatkan oleh si Fulan.”

Inilah ghibthah. Hasad seorang muk­min adalah ghibthah. Seorang mukmin tidak hasad kepada sesamanya, tetapi ia ghibthah.

Apa makna ghibthah kepada orang lain? Maknanya, ia berharap agar men­dapatkan nikmat seperti yang didapatkan orang lain, tetapi tidak mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang lain.

Untuk macam yang keempat ini, ti­dak­lah mengapa dimiliki seorang muk­min. Engkau melihat seseorang memiliki suatu kebajikan, misalkan ia telah hafal Al-Qur’an. Engkau merasa berat karena engkau belum hafal, maka engkau pun ber­harap agar segera dapat hafal Al-Qur’an, tapi engkau tidak merasa berat terhadap saudaramu yang telah lebih dahulu hafal Al-Qur’an. Perasaan berat itu selanjutnya memotivasimu untuk menghafal Al-Qur’an sehingga engkau mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Engkau tidak berharap agar nikmat itu hilang dari saudaramu. Ini termasuk bab at-tanafus (saling berlomba). Allah SWT berfirman, "...dan untuk yang demi­kian itu, hendaknya orang berlomba-lom­ba." QS. Al-Muthaffifin: 26.

Ghibthah adalah sesuatu yang terpuji, karena ini kembali kepada sifat asal manusia, yakni harapan untuk menang, harapan untuk beridentitas, dan harapan untuk maju.

Bila datang ghibthah ke dalam hati­mu, tidaklah mengapa. Yang bermasalah adalah pada tiga macam yang pertama, yakni seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain.

Bahaya di Dunia

Adapun bahaya dan akibat yang di­timbulkan oleh sifat hasud sangatlah be­sar. Dan tidak hanya terbatas di dunia, te­tapi juga di akhirat.

Mengenai bahaya dan akibat sifat ha­sud di dunia, pertama, orang yang hasud akan senantiasa berada dalam duka dan kesedihan.

Orang yang hasud selalu berada da­lam duka selama hidupnya. Karena sese­orang yang di hatinya terpenuhi oleh ge­lapnya sifat hasad tidak pernah suka me­lihat orang lain mendapatkan nikmat dari Allah SWT. Dia tidak pernah suka bila se­seorang terlihat harmonis bersama ke­luarganya sehingga berusaha untuk me­nebarkan fitnah, tidak suka bila sese­orang mendapatkan nikmat dari kebaikan dunia, tidak suka bila seseorang menda­patkan nikmat berupa ilmu atau kebaikan apa pun.

Selamanya, ketika melihat orang lain mendapat kebaikan, dia akan merasa be­rat karenanya, sehingga ia pun berharap agar nikmat itu hilang. Orang semacam ini hidupnya miskin. Dia dalam kesedihan sepanjang hidupnya karena karunia Allah tidak pernah terputus selamanya kepada makhluk-Nya. Maka, sepanjang dia me­lihat karunia dan nikmat Allah di sisi makh­luk-Nya, sepanjang itu pula dia se­nantiasa berduka dan bersedih hati sam­pai akhir umurnya.

Bila saja tidak ada akibat buruk di­karenakan sifat hasad selain hal ini, nis­caya cukuplah sebagai bukti dari buruk­nya sifat hasad. Yang satu ini adalah bah­wa orang yang hasud selamanya berse­dih di dunia.

Kedua, orang yang hasud tidak me­miliki kawan. Karena hubungannya de­ngan manusia lainnya sebatas fatamor­gana. Orang yang hasud, sekalipun se­olah-olah mencurahkan cinta kepada se­sama, pasti akan datang saat-saat ketika tampak darinya sikap dan perilaku yang menunjukkan bahwa dia seorang yang hasud terhadap sesamanya sehingga orang-orang pun akan menjauh darinya. Orang yang hasud tidak memiliki kawan. Dia akan hidup terkucilkan sekalipun dia berusaha untuk menutupinya.

Ketiga, orang yang hasud terhalang dari nikmat ketulusan dan kelapangan hati. Ini berlaku di dunia sebelum akhirat. Orang yang hasud tidak akan merasakan makna ketulusan dalam hubungannya de­ngan makhluk lainnya. Setiap kali me­lihat seseorang mendapatkan sesuatu dari nikmat yang Allah berikan, hatinya merasa berat karenanya. Dia pun gundah dan susah karenanya, di saat orang yang menyambut gembira terhadap datangnya kebaikan pada orang lain merasakan mak­na ketulusan, karena hubungan yang dibangun bersama sesamanya adalah hubungan yang didasarkan atas cinta terhadap kebaikan bagi sesamanya. Keempat, seorang yang hasud tidak akan mungkin menjadi dai yang meng­ajak kepada jalan menuju Allah SWT. Orang yang hasud tidak akan mung­kin mengabdi kepada Islam. Meskipun ber­usaha untuk melakukan perbuatan yang menggambarkan khidmah terhadap Islam, dia tidak akan dapat menjadi sebab dalam menyampaikan kebajikan kepada se­genap makhluk. Karena dasar dalam ber­dakwah kepada Allah adalah bahwa engkau menyampaikan cahaya iman ke­pada orang lain. Apa maknanya? Maknanya, engkau me­nyampaikan kebaikan kepada me­reka. Apa makna menyampaikan kebaik­an kepada mereka? Maknanya, engkau men­jadi sebab bagi kebahagiaan me­reka. Dan jika di dalam hati terdapat ha­sad, niscaya akan terasa berat terhadap adanya kebaikan di sisi makhluk. Lalu bagaimana engkau dapat menjadi sebab dalam menyampaikan kebaikan kepada mereka? Syaikh Muhammad As-Sinqithi men­ceritakan satu kisah nyata yang lucu tapi juga ironis. Beliau menceritakan bahwa seorang nonmuslim nonpribumi tinggal di kota Damaskus. Bertahun-tahun lamanya ia berjualan minyak tanah. Setelah lebih dari dua puluh tahun berada di Damas­kus, ia merasa saatnya kembali ke ne­geri­nya. Lalu ia pun mendatangi sese­orang yang terlihat ahli ibadah. Ia datang kepada orang itu dan berkata, “Wahai Tuan, sekarang ini usiaku 60 tahun. Se­lama aku tinggal di negeri kalian, negeri Islam, aku telah tertarik kepada Islam. Apakah, jika aku masuk ke dalam Islam, Allah akan mengampuniku atas segala yang telah aku perbuat selama ini?”

Orang itu berkata kepadanya, “Enam puluh tahun engkau bergelimang dalam kemaksiatan, dosa, dan berbagai kenis­ta­an... lalu begitu saja ingin lepas dari se­mua itu dan engkau ingin masuk ke dalam surga? Sulit... hal itu tidak akan mungkin... tidak ada jalan keselamatan bagimu!”

Sampai di situ selesailah perma­sa­lahannya, dan orang itu pun memper­ca­yai­nya. Ia pun kembali ke rumahnya da­lam keadaan bersedih dan diliputi duka.

Namun, setelah enam bulan berlalu, hasrat dan keinginan yang kuat di dalam hatinya untuk menetapi jalan kebaikan membawanya untuk datang kepada Syaikh Muhammad As-Sinqithi, yang menceritakan kisah itu.

Nonmuslim itu berkata kepada Syaikh Sinqithi, “Apakah mungkin aku masuk Islam?”

“Baiklah, sekarang ucapkan dua kali­mah syahadat!”

“Apakah engkau yakin bahwa itu mung­kin untukku?”

“Engkau rela Islam sebagai agama­mu dan yakin terhadapnya?”

“Ya”

“Sekarang, ucapkanlah dua kalimah syahadat dan jangan ragu.”

Nonmuslim itu pun bersyahadat dan me­nangis setelahnya.

Syaikh Sinqithi pun bertanya kepada­nya, “Apa yang membuatmu menangis?”

“Aku pergi kepada seorang syaikh se­belum ini, atau seorang yang rupanya se­perti seorang syaikh, tapi ia berkata ke­padaku, ‘Tidak mungkin ada jalan se­lamat untukmu...’.” “Siapa dia?”

“Si Fulan di daerah anu...”

Syaikh Sinqithi pun mengunjungi orang yang ditunjukkan oleh nonmuslim tadi.

Setelah bertemu, ia bertanya kepada­nya, “Apakah benar beberapa bulan yang lalu ada seorang kelana yang datang ke­padamu dan menyatakan bahwa ia hen­dak masuk Islam lalu engkau katakan kepadanya, ‘Sudahlah, tak ada guna­nya... engkau sudah 60 tahun....’

Orang itu menjawab, “Benar.”

“Bagaimana mungkin engkau me­lakukan hal seperti itu?”

“Allah adalah Tempat meminta perto­longan. Orang ini sudah 60 tahun meng­habiskan umurnya dalam keharaman, ber­senang-senang dengan perempuan dan segala yang dia inginkan dari dunia, lalu nanti dia akan masuk surga bersama kita?! Ini musykil... Dia akan masuk surga bersama kita?!”

Hikmah dari kisah ini, di dalam kisah ini terdapat tiga masalah, akan tetapi se­muanya kembali kepada satu masalah, yakni hasad.

Masalah pertama, dia (“ahli ibadah” itu) tidak menginginkan adanya nikmat bagi orang lain.

Masalah kedua, dia meyakini bahwa dirinya masuk surga. Ini adalah musibah yang kedua. Ujub telah mewariskan ke­sombongan di dalam hatinya (...dia ma­suk surga bersama kita?!).

Apakah engkau dapat menjamin bah­wa engkau pasti masuk surga?

Masalah yang ketiga adalah sesuatu yang paling dalam. Sesungguhnya dia me­rasa dirinya rugi bahwa dirinya ter­halang dari maksiat. “Bagaimana mung­kin orang ini tenggelam dalam maksiat sedangkan aku tidak?” Karenanya dia ma­rah, mengapa orang lain melakukan mak­siat sedangkan dirinya tidak.

Mengapa hal ini dapat terjadi? Tidak lain sebabnya adalah hasad.

Kelima, orang yang hasud terhalang dari nikmat ketaatan kepada Allah SWT.

Bila seseorang terhalang dari ketulus­an dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan per­nah merasakan nikmatnya ketaatan se­lama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mung­kin orang yang hasud merasakan nik­matnya dekat dengan Allah, karena ia berhadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya. “Wahai Tu­hanku, kenapa Engkau memberi ini dan itu kepada Fulan dan Fulan?!”

Orang yang hasud menghadapi Allah dengan apa-apa yang tidak disukai-Nya ada di dalam hati hamba-hamba-Nya yang datang kepada-Nya. Ini semua ada­lah akibat dan bahayanya sifat hasud.

Di akhirat, hasad akan menghanguskan segala kebajikan. Hasad adalah sebab datangnya murka Allah SWT. Hasad adalah sebab tertolaknya seseorang dari rahmat Allah SWT. Tidakkah engkau ketahui bahwa hasad adalah sebab dari terusirnya Iblis?

Setelah pengasuh menjelaskan bahayanya penyakit hasad di dunia, selanjutnya pengasuh menjelaskan ba­ha­ya hasad kelak setelah pelakunya menjumpai Allah SWT di akhirat.

Di akhirat, hasad akan menghangus­kan segala kebajikan. Hasad adalah se­bab datangnya murka Allah SWT. Hasad adalah sebab tertolaknya seseorang dari rahmat Allah SWT. Tidakkah engkau ke­tahui bahwa hasad adalah sebab dari terusirnya Iblis? Itulah sebabnya, orang yang hasud akan terusir dari rahmat Allah SWT.

Hasad juga adalah sebab masuknya pelakunya ke dalam neraka. Hasad akan men­jadi permulaan hilangnya iman se­se­orang bila pelakunya tidak menyadari­nya – wal ‘iyadzu billah. Bagaimana hasad dapat menjadi se­bab tercerabutnya iman dari pelakunya? Karena orang yang hasud senantiasa me­­nentang dan menentang Allah SWT. “Ya Rabb, mengapa Engkau karuniakan ke­pada Fulan?!” “Mengapa Engkau mu­dah­kan fulan?!” “Mengapa?!” “Mengapa?!!!”

Terhadap Tuhannya, ia menyimpan rasa dalam benaknya, “Ya Rabb, sung­guh aku tidak rela dengan apa yang Eng­kau putuskan!” Kondisi ini bila berke­lan­jutan di dalam dirinya, lalu apakah yang tersisa dari imannya? Imannya akan hi­lang dan tercerabut dari asalnya.

Wahai murid, peniti jalan menuju Allah SWT, masuklah ke dalam hatimu dan periksalah. Terkadang hasad ter­sembunyi pada nafsu di dalam hati. Be­rapa kali engkau merasa bahwa dirimu marah terhadap seseorang melampaui batas dalam ucapan yang engkau lon­tarkan kepadanya hanya karena hal se­pele yang tidak perlu berkata keras dan tidak pula berteriak karenanya.

Periksalah, mungkin di dalam hatimu engkau merasakan sesuatu yang berat dari orang yang engkau marahi itu? Eng­kau hasad terhadapnya pada satu hal sehingga muncul masalah paling kecil na­mun membuatmu berdiri dan melontar­kan kata-kata yang tidak patut kepadanya.

Para ulama hati mengatakan, “Paling buruknya macam-macam hasad adalah ha­sadnya para ulama, para penuntut ilmu, para dai, dan para salikin, peniti ja­lan menuju Allah SWT. Mengapa demi­ki­an? Karena, semestinya merekalah yang mempergunakan bekal pensucian hati.”

Apabila seorang penuntut ilmu, misal­nya, hasad terhadap penuntut ilmu lain­nya, niscaya ia akan menanti-nanti kapan penuntut ilmu yang dihasadinya itu me­lakukan suatu kesalahan. Dan bila ia telah melakukan kesalahan, dia akan menye­rang­nya dengan serangan yang dahsyat ter­hadapnya. Karena serangan yang di­lakukan itu sesungguhnya bukanlah di­tujukan terhadap kesalahan yang ringan itu sendiri, melainkan untuk membinasa­kan semua yang datang dan berasal dari sisi penuntut ilmu, orang alim, dai, atau salik, yang dihasadinya itu.

Mengapa demikian? Karena perma­salahan yang sesungguhnya adalah per­masalahan hasad, bukan permasalahan kritik terhadap kesalahan. Demikian pula halnya dalam perda­gangan, jual-beli, dan perniagaan. “Tidak, tidak, tidakk!!.... Aku tidak mungkin per­caya kepada si Fulan selama-lamanya!” Mengapa? Pada hari ketika engkau menurunkan barang dagangan ke pasar, orang-orang tidak menemukan masalah apa pun dari si Fulan dalam perniaga­an­nya? Apakah ada kemunngkinan tidak sa­darnya mereka terhadap masalah si Fulan itu karena lupa? Sesungguhnya yang menyebabkan datangnya kemung­kinan, mengapa engkau langsung meng­anggapnya tidak amanah atau keji dalam perniagaannya, adalah karena engkau dan si Fulan berada pada satu profesi sebagai pedagang. Bila persaingan telah berlangsung, hasad pun muncul dan datang.

Bila ada seorang petani dan ada pe­tani lain selain dalam satu usaha agro­bisnis, misalnya, lalu petani yang kedua melakukan kesalahan dalam salah satu prosedur bercocok tanam yang semesti­nya hingga memberi pengaruh terhadap panen yang dihasilkan, petani yang per­tama akan berkata, “Tidak, jangan kalian percaya kepada si Fulan untuk melaku­kan tugas-tugas ini dan itu, dia telah melakukan ini dan itu....”

Siapa yang melakukan kecaman dan serangan terhadap petani itu? Yang me­lakukannya tidak lain adalah petani se­pertinya, pada profesi yang sama. Me­ngapa? Karena petani tersebut merasa berat untuk melihat petani lainnya lebih unggul dan lebih sukses darinya.

Bagaimana mengobati hasad?

Pertama, benci terhadap sifat hasad itu sendiri. Engkau benci sifat ini berada pada dirimu. Akui bahwa sifat hasad ada da­lam dirimu dan engkau membenci ke­beradaanya di dalam dirimu. Biarkan Allah melihat hatimu dan mendapati ke­bencianmu terhadap hasad di dalamnya. Kebencianmu untuk hasad terhadap orang lain.

Kedua, mendoakan orang yang eng­kau merasa berat melihat adanya karunia padanya.

Engkau melihat seseorang yang Allah berikan karunia kepadanya berupa nik­mat lahir atau bathin lalu hatimu merasa berat melihat nikmat itu ada padanya, maka ucapkanlah, “Ya Allah, tambahkan­lah nikmat-Mu baginya dan berikan ke­ber­kahan untuknya di dalamnya.... Ya, Allah, berikan taufiq untuknya agar dapat mempergunakan karunia-Mu dengan se­baik-baiknya.... Ya Allah, bahagiakanlah dia dengan karunia-Mu di dunia dan akhi­rat.... Ya Allah, muliakanlah dia dan mulia­kan dzuriyahnya dengan tambahan karu­nia dari sisi-Mu....”

Sebagian ulama berkata, “Ya Rabbi, Eng­kau perintahkan aku untuk mendoa­kan sedangkan hatiku tiada rela. Mungkin lidahku dapat berkata-kata, tapi hatiku se­sungguhnya tak menghendakinya. Aku tertawa dan mengkhianati Tuhanku. Aku tiada mampu melakukannya. Aku berkata ‘Ya Rabbi, tambahkan karuniamu kepada­nya’ sedang hatiku berkata ‘Jangan per­nah Engkau tambahkan baginya’.”

Meskipun hal seperti ini terjadi pada­mu, tetap lakukanlah. Jika engkau ucap­kan ‘Ya Rabb, tambahkanlah karunia-Mu untuknya’ dan hatimu berkata ‘Jangan, ya Rabb. Jangan pernah Engkau tam­bah­kan karunia-Mu untuknya’, ucapkanlah, ‘Ya Rabb, aku berlepas diri dari apa yang ada di hati ini kepada-Mu. Dan yang lidah­ku mampu untuk mengucapkannya, to­long­lah aku atas apa yang aku tiada kua­sa terhadapnya (untuk menggerakkan hatiku sebagaimana aku mampu meng­gerakkan lisanku untuk mendoakan ke­baikan). Aku ber-tawajjuh (menghadap­kan diri dan jiwa) kepada-Mu pada apa-apa yang membuat-Mu ridha dengan apa-apa yang aku mampu melakukannya, maka tolonglah aku pada apa-apa yang aku tiada mampu memperbuatnya.’ Semoga Allah memuliakanmu.

Ini adalah termasuk obat yang muja­rab untuk mengobati hasad yang ada di dalam hati. Engkau mendoakan orang yang engkau merasa berat melihat nik­mat berada di sisinya, dan memohonkan untuknya agar Allah SWT menambahkan karunia yang sudah diberikan dengan karunia yang lebih besar lagi.

Bila justru engkau kukuhkan kedudukannya itu di sisi manusia, sesungguhnya engkau telah menghinakan nafsumu dengan segala apa yang dapat menghinakannya. Dengan demikian, engkau telah membunuh permasalahan yang sesungguhnya dari dalam dirimu dan engkau membasminya sampai ke akar-akarnya. Beberapa waktu yang lalu, pengasuh menjelaskan bahayanya penyakit hasad di akhirat dan sebagian pen­jelasan tentang bagaimana mengo­bati penyakit hasad. Selanjutnya penga­suh melanjutkan ihwal bagaimana meng­obati hati dari penyakit hasad, sebagai pelajaran terakhir dari pelajaran kese­belas, tentang penyakit hasad.

Cara yang ketiga untuk mengobati penyakit hasad adalah menceritakan orang yang engkau hasadi di saat ke­ti­dakhadirannya dengan pujian.

Engkau ceritakan orang yang eng­kau merasa berat melihat karunia Allah ber­ada di sisinya dengan pujian. Cerita­kan orang yang engkau hasadi di saat ke­tidak­hadirannya dengan pujian terha­dap ke­baikan-kebaikan yang dimilikinya ke­pada orang-orang lain. Adapun jika di ha­dapannya engkau puji sedangkan di bela­kangnya engkau cela, yang demiki­an itu adalah kemunafikan dan mencari muka.

Pujilah di saat ketidakhadirannya ke­pada orang-orang dengan pujian yang baik dan kukuhkan buah dari kebaikan-kebaikannya itu di hati manusia.

Tahukah engkau, di mana wujud pengobatan terhadap hasad dari per­buatan ini?

Ini adalah paling idealnya pengobat­an langsung terhadap masalah hasad pada nafsu. Mengapa engkau hasad? Eng­kau ingin bersenang-senang? Eng­kau menginginkan kedudukan di sisi ma­nusia? Engkau ingin bersenang-senang dengan kedudukan? Bila engkau memuji ke­mampuan dan keahlian orang yang ber­­saing denganmu dalam ilmu, perda­gang­an, industri, teknik, atau bidang apa pun itu, di saat ketiadakhadirannya dan men­ceritakannya kepada orang-orang lain, apa yang sesungguhnya engkau laku­­kan di sini? Engkau tengah menguat­kan dan meneguhkan kedudukan yang akan men­jadi milik orang yang engkau ha­sadi itu di hati manusia dengan sebab karunia yang telah Allah berikan kepadanya.

Bila demikian halnya, apa yang se­dang engkau lakukan? Sesungguhnya engkau tengah membasmi penyakit yang ada dalam hatimu dari asalnya.

Mengapa engkau merasa berat me­lihat nikmat pada seseorang, mengapa engkau hasad terhadapnya? Karena engkau melihat bahwa nikmat itu akan menjadi sebab bertambahnya keduduk­an orang itu, yang akan menyaingi ke­du­dukanmu di sisi manusia. Dan bila justru engkau kukuhkan kedudukannya itu di sisi manusia, sesungguhnya eng­kau te­lah menghinakan nafsumu dengan se­gala apa yang dapat menghinakan­nya. Dengan demikian, engkau telah mem­bu­nuh permasalahan yang sesung­guhnya dari dalam dirimu dan engkau membas­mi­nya sampai ke akar-akarnya.

“Siapa yang dapat melakukan itu?! Ini teramat berat!!”

Apakah engkau ingin dekat dengan Allah? Apakah engkau ingin menjadi se­orang peniti jalan menuju Allah SWT? Ten­tu tidak akan pernah mudah untuk ber­diri dan berada di tempat orang-orang yang meniti jalan menuju Allah.

Untuk pertama kali, engkau akan ke­luar dari majelis ini dengan semangat yang berkobar-kobar setelah mende­ngar­kan penjelasan ini.

“Ya Allah, aku merasa berat terhadap nikmat-Mu yang ada di sisi Fulan. Ya Allah, tambahkanlah karunia-Mu untuk­nya dan berkahilah dia padanya....”

Esok hari, engkau duduk bersama ka­wan-kawanmu, katakanlah, “Masya Allah, Fulan luar biasa. Aku yakin, keahli­an yang luar biasa di bidang ini akan mem­berikan manfaat dan mendatang­kan kebaikan yang besar. Dan aku akan menyambut gembira atas keberhasilan­nya.”

Sampai batas ini, mungkin masih mu­dah bagi hati untuk menerimannya. Akan tetapi, setelah dua atau tiga hari, dan orang-orang mulai menceritakan dan me­muji-muji orang yang engkau puji dan ce­ri­takan itu di hadapan mereka, mulai naf­sumu menjadi terasa sempit mende­ngarnya. Mereka memujinya lagi, lagi, dan lagi, dan engkau katakan, “Benar, be­nar demikianlah dia adanya!” Na­mun, se­kali lagi, dengan marah eng­kau berkata, “Kami tahu bahwa dia istimewa!!”

Mengapa itu bisa terjadi? Karena de­ngan sebab semakin banyaknya orang-orang memuji dan menceritakan kebaik­an orang itu, urat lehermu terasa semakin sempit dan mencekik.

Makna dari penjelasan ini adalah bah­wa ini semua adalah proses yang pan­jang, karena di sini engkau tengah me­lawan nafsumu pada apa-apa yang di­sukainya. Engkau tengah membasmi pe­nyakit ini dari dalam hatimu dari dasar hati, yakni mengobati penyakit hasad.

Keempat, memikirkan bagaimana mem­bantu orang yang engkau hasad ter­hadapnya. Engkau merasa berat melihat nikmat yang telah Allah berikan kepada sesorang. Bila engkau dapat membantu orang itu pada nikmat yang ada padanya, ini pun akan dapat meng­obati penyakit ha­sad yang ada di dalam hatimu lebih dah­syat dan lebih hebat lagi. Bila ini dapat engkau lakukan, nis­caya Allah akan me­mandang hatimu. Ini­lah yang diharapkan dan buah darinya.

Apabila Allah memandang hatimu dan melihat bahwa engkau berinteraksi de­ngan-Nya dengan interaksi seperti demiki­an itu, niscaya Allah akan bertajalli atas di­ri­mu dengan nur-Nya. Dan bila Allah te­lah bertajalli atas dirimu dengan nur-Nya, Allah akan memberimu kesuci­an yang eng­kau tidak upayakan sebe­lumnya. De­ngan se­bab itu hatimu akan membuat ma­nusia men­jadi tenteram dan hatimu akan men­jadi sebab turun­nya ke­baikan bagi manu­sia dari sisi Allah SWT, selanjutnya engkau akan merasa rindu untuk melihat adanya nikmat dan ka­runia bagi manusia lainnya. Menga­pa? Karena engkau meli­hat tajalliyat (pancaran-pancaran kemaha­kuasaan yang berupa rahmat dan kasih sa­yang) Yang Maha Pemberi nikmat, Allah SWT....

Wahai murid, pahamilah makna ini dan sadarilah. Apabila engkau obati jiwamu dengan apa yang telah kami se­butkan dalam pelajaran ini dan dengan apa-apa yang telah diuraikan oleh para ulama tentang mengobati hati, engkau akan melihat adanya pancaran sinar di dalam hatimu. Apa pancaran sinar itu? Yakni nur dan cahaya kebahagiaan de­ngan melihat nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Pemberi karunia terhadap makhluk-Nya yang lain.

Makna dari ini adalah bahwa engkau menyaksikan tajalliyat Allah SWT. Eng­kau melihat seseorang yang dikaruniai nikmat oleh Allah SWT.

Apa yang engkau saksikan? Gam­baran yang engkau saksikan adalah se­orang manusia dan nikmat yang da­tang kepadanya, adapun hakikatnya sesung­guhnya engkau menyaksikan tajalli Allah SWT dengan asma-Nya Al-Mun‘im (Yang Maha Pemberi nikmat) atas hamba-Nya. Maka engkau telah berpindah dari ke­gelapan hasad kepada nur penyaksian terhadap tajalli Allah SWT dengan asma-Nya Al-Mun‘im. Kemudian tajalli Allah de­ngan asma-Nya Al-Mun‘im ini membuat hatimu terpenuhi dengan nur asma Allah Al-Mun‘im.

Bila hatimu telah terpenuhi dengan ta­jalli Allah dengan asma-Nya Al-Mun‘im, eng­kau pun akan bertajalli atas dirimu sen­­diri denga asma-Nya al-Mun‘im. Maka pada saat itu Allah bertajalli atasmu de­ngan nikmat wushul (sampai) kepada-Nya, yang untuk sampai kepada yang de­mikian itulah aku meniti jalan ini, mengu­raikan penjelasan ini, dan menghadiri ma­jelis ilmu untuk menyampaikan pelajaran ini.

Setelah kita membicarakan, pada tiga pelajaran yang lalu, perihal induk dari se­gala penyakit hati, apakah masih tersisa se­suatu dari al-kibr (kesom­bong­an) da­lam dirimu yang belum engkau benci. Be­nar, kita butuh waktu untuk melakukan mujahadah agar kita terlepas darinya dan memohon perlindungan Allah darinya. Dari riya’ (menolehkan padangan kepada kedudukan di sisi manusia), dan dari ha­sad (merasa berat melihat nikmat pada seseorang). Kita akan berupaya untuk melepaskan diri dari penyakit-penyakit itu.

Setelah pelajaran ini, tugas telah me­nunggu di hadapanmu yang harus eng­kau kerjakan. Yakni melepaskan diri dari penyakit al-kibr dengan merenung­kan ke­adaanmu dan segala kekurangan­mu. Kita melepaskan diri dari al-kibr de­ngan men­dahului orang lain untuk meng­ucap­kan salam kepadanya, bersih-ber­sih ru­mah, membersihkan kamar mandi mas­jid, dan lain-lain.

Kita melepaskan diri dari riya’ de­ngan me­rasakan keagungan Allah SWT sam­pai kita tidak mencari dan merindu­kan kedudukan di sisi makhluk, mem­ben­ci lin­tasan riya’ yang datang, dan memperba­nyak dzikir La ilaha illallah.

Dan kita melepaskan diri dari hasad de­­ngan membencinya dan mengakui ada­­nya hasad di dalam hati kita, men­doa­­kan orang yang mendapatkan nikmat di hadapan kita, mengakui adanya pera­saan berat di dalam hati kita di saat me­lihat orang lain mendapatkan nikmat, me­muji mereka di belakang mereka, dan de­ngan membantu orang itu pada nik­mat yang ada padanya agar semakin bertam­bah kebaikan padanya.

Dari tiga penyakit atau tiga maksiat ini bercabang darinya berbagai macam penyakit di dalam hati, karena penyakit-penyakit hati teramat banyak jenis dan bentuknya – wal ‘iyadzu billah. Akan tetapi barang siapa perhatiannya tercu­rah untuk mensucikan hatinya dari tiga penyakit ini, berarti ia mengobati hatinya dari penyakit-penyakit yang lainnya, yang bercabang dari ketiganya. Karena seolah ia mengo­bati sumber penyakit­nya.

Apabila engkau peduli dengan se­mua itu dan rela terhadap berlalunya hari demi hari, waktu demi waktu, kesung­guh­an, pi­kiran, segenap upaya, agar eng­kau terle­pas dari ketiga induk pe­nyakit itu, niscaya nur-nur kesucian akan memancar dan ber­kemilau di dalam hatimu.

Kita memohon kepada Allah SWT, se­­moga Dia mengaruniai kita kesempur­naan kesucian lahir dan bathin. Ya Bathin, ya Zhahir... sucikanlah lahir dan bathin kami, dan jadikanlah kami ke dalam go­longan orang-orang yang sha­lih. Ya Allah, selamatkanlah kami dari ke­gelapan ha­sad. Ya Allah, karuniakanlah di dalam hati kami cinta terhadap kebaik­an bagi ham­ba-hamba-Mu. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang paling berman­faat bagi makhluk-Mu yang lain dan pa­ling dekat kepada-Mu....

Sumber: http://www.majalah-alkisah.com

Rumi: Merdeka Ketika Berserah Diri

Semula ingin kuceritakan padamu
kisah hidupku,tetapi
gelombang kepedihan tenggelamkan suaraku.

Kucoba utarakan sesuatu,
tetapi pikiranku rawan dan remuk,
laksana kaca.

Bahkan kapal paling megah bisa karam
dalam gelombang-badai Laut Cinta
apalagi biduk rapuhku,
remuk berkeping-keping:
tinggalkan ku sendiri, hanyut,
hanya berpegangan ke sepotong papan.

Kecil dan tak berdaya
timbul tenggelam dalam terpaan ombak,
sampai tak kuketahui apakah aku ada atau tiada.

Ketika menurutku aku ada,
kudapati diriku tak berharga.

Saat ku tiada,
kudapati nilai-nilai sejati diriku.

Seturut pasang-surut akalku,
tiap hari mati aku, dan dihidupkan lagi;
karenanya tak kuragukan sedikit pun
adanya Hari Kebangkitan.

Ketika telah lelah,
ku berburu cinta di alam dunia ini,
akhirnya di Lembah Cinta ku berserah-diri:
dan aku merdeka.

Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1419.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin dan Maryam Mafi, dalam Rumi: Hidden Music, HarperCollins Publishers Ltd, 2001 http://ngrumi.blogspot.com/