Pages

Sunday, July 7, 2013

Madrasah Hadhramaut : Riya’

Segala puji bagi Allah SWT dengan pujian yang dengannya kami dapat mewujudkan ikhlas yang sesuangguhnya dalam penghambaan dan yang dengan­nya kami menjadi bagian dari orang-orang yang hatinya terpenuhi oleh ca­haya Allah SWT SWT, yang tidak ada lagi tersisa celah sedikit pun bagi syirik di saat-saat melakukan segala perbuatan.

Shalawat serta salam semoga se­nan­tiasa tercurahkan atas penghulu kami, Nabi Muhammad, pemimpin sege­nap ahli hakikat ikhlas, dan atas keluar­ganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang meniti di atas jalannya hing­ga hari Kiamat.

Mudah-mudahan, dari pelajaran ter­dahulu sampai pelajaran kali ini, engkau telah merenungkannya dengan sek­sama. Sudahkah engkau renungkan bagaimana menyelamatkan hatimu dari takabur? Sudahkah engkau renungkan hakikat asal penciptaanmu? Sudahkah engkau renungkan bahwa tempat kem­balimu hanyalah sebuah lubang yang di­timbuni tanah? Sudahkah engkau re­nung­kan bahwa di antara itu tidak ada sesuatu pun yang engkau miliki selain apa yang Allah berikan kepadamu?

Sudah pulakah kita memberikan per­hatian kepada perbuatan-perbuatan yang dapat membantu kita untuk mewu­judkan tawadhu dan kerendahan hati?

Berapa banyak orang yang engkau jumpai kemudian engkau terlebih dahulu mengucapkan salam kepadanya? Ada­kah rekan yang berseteru denganmu lalu engkau menjumpainya dan mengucap­kan salam terlebih dahulu kepadanya? Apakah engkau telah datang kepada se­seorang yang telah berbuat buruk ke­padamu lalu engkau luluh lantahkan naf­sumu untuk terlebih dahulu meminta per­sahabatan dengannya?

Ini semua adalah perbuatan-per­buat­an yang dapat membantu untuk mewu­judkan sikap rendah hati dan menghi­langkan takabur. Apakah engkau memi­liki keberanian yang lebih tinggi untuk me­lakukannya? Apakah engkau memi­liki kekuatan yang lebih besar sehingga engkau dapat memperbuatnya?

Apakah engkau memiliki semangat yang sama dengan sekalian murid yang meniti jalan menuju Allah SWT?

Pikirkan masjid yang ada di samping rumahmu. Pikirkan bahwa engkau dapat membersihkan kamar mandi masjid mes­kipun hanya sekali dalam seminggu.

Sulit? Sungguh ini adalah perjalanan menuju Allah SWT. Demi Allah, di da­lamnya terdapat pembersihan terhadap hatimu. Perkara yang dituntut sesung­guhnya bukanlah tempat yang engkau bersihkan, melainkan penyucian terha­dap dirimu.

Sulit? Cobalah yang lebih ringan di rumahmu. Ringankan pekerjaan pem­bantu yang ada di rumahmu bila engkau memiliki pembantu. Atau ringankan pe­kerjaan istrimu. Berdiri, bantu, dan to­longlahlah istrimu bersih-bersih rumah.

Masih sulit juga! Sungguh ada ma­salah besar dalam dirimu, bila sampai untuk melakukan bersih-bersih di salah satu ruangan di rumahmu saja, atau ka­mar mandi di rumahmu, atau perabot yang ada di dapur, masih terasa sukar dan berat bagimu.

Jangan sampai setan tertawa di saat menyaksikan engkau berkata, “Tidak, aku seorang suami... semua itu tidak pan­tas dilakukan seorang suami!

Hati-hati, jangan sampai engkau salah dan keliru.

“Aku adalah seorang Hamba”

Sungguh penghulu sekalian suami, Baginda Rasulullah SAW, mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau SAW menyapu halaman rumah, mengemas baju dan men­cucinya, menambal sendal, memi­kul tanah liat di atas pundaknya, dan gemar membantu pekerjaan istri-istri­nya. Ini adalah pelatihan dan pendidikan bagi jiwa.

Nabi SAW pernah bersabda tentang dirinya, “Sungguh aku adalah seorang ham­ba sahaya yang makan sebagai­mana seorang hamba sahaya makan, dan duduk sebagaimana seorang ham­ba sahaya duduk.”

Tahukah engkau apa yang menjadi latar belakang dari hadits Nabi SAW ini?

Suatu ketika, seorang wanita melihat Nabi SAW tengah duduk bersama-sama dengan beberapa hamba sahaya dan para dhu‘afa. Lalu wanita itu berkata, “Apa-apaan ini? Seorang nabi duduk se­perti duduknya seorang hamba sahaya, dan makan seperti makannya seorang budak.” Wanita ini bermaksud meng­hi­nakan kelakuan Nabi SAW seperti itu.

Maka Nabi SAW pun bersabda, “Eng­kau benar. Sungguh aku hanyalah seorang hamba sahaya. Aku makan sebagaimana seorang hamba sahaya makan, dan duduk sebagaimana se­orang budak duduk.” Makna sesung­guh­nya dari ungkapan beliau SAW, “Aku adalah hamba Allah SWT.”

Pada suatu hari seorang budak pe­rem­puan datang menemui Nabi SAW di saat beliau tengah sibuk dengan urusan umat. Urusan yang sangat pen­ting.

Budak itu memiliki hajat yang hendak ia adukan kepada Nabi SAW. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Ra­sulullah, ada hal yang ingin aku sam­pai­kan kepadamu.”

Nabi SAW berkata, “Silakan.”

“Tidak, ya Rasulullah, aku hanya ingin berbicara denganmu seorang diri.”

“Baiklah, silakan engkau tunjuk di an­tara jalan-jalan di Madinah ini, biar aku mendatangimu di sana.”

Budak perempuan itu menunjuk tem­pat yang diinginkannya, dan Nabi SAW pun segera menuju tempat yang diingin­kan oleh perempuan terse­but.

Nabi SAW menyimak dengan sek­sama apa yang diadukan oleh budak perempuan hingga terpenuhi semua yang diharapkannya, barulah setelah itu beliau kembali ke tengah-tengah para sa­habat yang tengah menunggu.

Perhatikan, demikianlah nabimu, suri teladanmu, Nabi Muhammad SAW.

Bukan terhadap Dzatnya

Suatu ketika datang seekor kucing ke kamar Nabi SAW. Kucing itu meman­dang ke arah wadah air di sisi Rasulullah.

Menyaksikan itu beliau tahu bahwa kucing tersebut haus dan beliau pun me­miringkan wadah itu agar si kucing dapat memimum airnya. Setelah kucing itu puas, Nabi SAW pun bergantian mimum dari wadah itu.

Ketika Sayyidah Aisyah RA menyak­sikan hal itu, Nabi SAW berkata kepada­nya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya ku­cing ini adalah dari hamba-hamba yang thawaf (berkeliling). Ia thawaf kepada kita, datang dan pergi, dan bukanlah ia termasuk binatang yang najis.”

Jijiklah terhadap sesuatu yang di­hu­kumi najis oleh syari’at. Tetapi hen­dak­lah kita jijik terhadap kenajisannya, bu­kan terhadap dzatnya. Bahkan sam­pai terhadap anjing sekalipun yang di­hukumi najis. Meskipun para ulama meng­hu­kumi anjing dengan najis mughallazhah (najis berat), tidak dibolehkan bagi kita untuk menghinakan anjing.

Bila engkau melihat anjing dengan pandangan kehinaan, siapakah yang sesungguhnya engkau hinakan? Rupa ciptaan anjingkah yang engkau hinakan, atau Penciptanya?

Demikianlah senantiasa keadaan seorang peniti jalan menuju Allah SWT. Masalah yang dihadapi senantiasa te­rasa sukar dan berat. Karenanya, lawan terus nafsumu. Ini adalah maqam muja­hadah (kesungguhan dan perjuangan melawan nafsu).

Ini merupakan lapangan penyucian hati. Yakni dengan melakukan semua pekerjaan itu, dari yang paling mudah meningkat kepada yang paling sukar dan berat. Setelah itu niscaya hatimu bersih tercuci. Dirimu telah keluar dari titik ke­lemahan yang ada dalam dirimu menuju kekuatan penyandaran kepada Allah SWT. Jangan me­nyerah di hadap­an kelemahan diri dalam masalah taka­bur, sombong, me­rasa lebih baik dari yang lainnya. Lawanlah, dan ­latihlah dia.

Perhatikan baik-baik! Dalam muja­hadahmu terhadap nafsumu dalam me­ngeluarkan kegelapan takabur sesung­guhnya terdapat penyucian lain bagi hati­mu dari titik kelemahan yang lainnya, selain takabur itu sendiri.

Orang yang takabur memandang bah­wa dirinya lebih baik dan lebih mulia dari orang lain. Dalam hidupnya ia selalu membanding-bandingkan dirinya de­ngan orang lain. “Aku lebih baik dari si Fulan....”



Diri yang Tergadaikan

Hidupnya menjadi sibuk. Sibuk de­ngan apa? Sibuk dengan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Dan kesibukannya dengan orang lain itu, meskipun bentuknya adalah takabur dan pandangan ketinggian terhadap diri sen­diri di atas orang lain, sesungguhnya itu hakikatnya adalah kelemahan dan ke­tundukan terhadap orang lain.

Tahukah engkau mengapa demiki­an? Karena sesunguhnya dirinya terga­daikan kepada orang lain. Bila mereka menghormati dirinya, memuliakannya, dan memberinya kedudukan yang di­inginkannya, ia merasa lapang dan se­nang karenanya. Jika ia masuk ke satu majelis, orang-orang berdiri menghor­matinya. Jika ia meminta sesuatu, se­gera orang memenuhi tuntutannya. Dan bila ia berbicara, orang lain pun dengan seksama mendengarkannya. Ia menjadi individu yang teramat butuh dan tergan­tung kepada manusia. Itulah sebabnya, bila ia masuk ke suatu tempat dan orang tidak menghormatinya dengan penghor­matan yang ia kehendaki, ia pun akan marah. Ia marah sebesar orang lain tidak menghormatinya.

“Mereka tidak menghormatiku! Aku tidak akan membiarkan hal itu.” Karena engkau merasa bahwa mereka telah menghinakanmu.

Bila keadaanmu demikian adanya, sesungguhnya engkau tengah membiar­kan orang lain merendahkan dan meng­hinakanmu.

Engkau tahu kenapa?

Karena engkau menjadikan nilai dan kemuliaanmu tergantung dan terikat pada sikap dan tingkah laku manusia. Engkau menghinakan dirimu sendiri. Bila saja engkau menjadikan kemuliaan dan kehormatanmu pada keadaan dan ke­teguhanmu kepada Allah SWT, bukan dengan perlakuan manusia terhadapmu, sungguh engkau telah memelihara diri­mu. Akan tetapi engkau justru rela de­ngan kesombonganmu, perasaan tinggi­mu, dan keinginanmu mencari kemulia­an dan kedudukan di antara manusia.



Engkau rela membiarkan dirimu ber­ada di tangan manusia. Bila mereka menghormati dan memuliakanmu, eng­kau bahagia karenanya. Tapi bila me­reka tidak menoleh kepadamu dan tidak memuliakanmu, engkau pun marah dan gusar. Sehingga keadaanmu menjadi keadaan seseorang yang teramat perlu dikasihani oleh orang lain. Siapa pun orangnya itu, konglomerat, raja, hakim, menteri, ulama, reformis, akademisi, guru, siapa pun itu, yang menjadikan ni­lai­nya, kebahagiaannya, ridhanya, ke­tenteramannya, dan kesenangannya, ter­gantung pada apa yang diberikan dan dipersembahkan oleh manusia lain ke­padanya, ia telah menghinakan dirinya dengan keadaan seperti itu, keadaan yang perlu belas kasihan orang lain.

Perhatikanlah, di atas masalah yang telah kita bahas pada pelajaran yang lalu ini, yakni penyakit takabur, terdapat pula masalah yang kedua, yakni penyakit riya’ dan sum‘ah, yang akan kita bahas pada edisi berikutnya.

Selama engkau menginginkan manusia menghormatimu, mengelu-elukanmu, mengagungkanmu, dan memuliakan kedudukanmu, engkau sibuk dengan pandangan manusia terhadapmu, sesungguhnya engkau akan membayarnya dengan harga yang mahal...

Kata ar-riya’ berasal dari kata ar-ru’yah (pandangan), sedangkan as-sum‘ah berasal dari kata as-sima‘ (pendengaran). Dari mana da­tangnya kerinduan seseorang terhadap riya’? Yakni sibuknya seseorang untuk men­dapatkan pandangan manusia ke­padanya dan pendengaran orang lain tperihal pujian-pujian orang tentang diri­nya.

Engkau mencari-cari pandangan orang terhadapmu dalam segala ihwal­mu. Dalam ihwal semacam ini, sesung­guhnya engkau kembali menuju titik ke­lemahan, yang baru saja kita bicarakan (pada edisi yang lalu).

Sudah kita katakan, seorang yang som­bong sesungguhnya telah memper­lemah dirinya untuk orang lain dan me­nyiapkan dirinya untuk titik kelemahan yang kedua, yakni penyakit hati yang ke­dua, maksiat hati yang sangat berba­haya, yakni riya’, yang disebut asy-syirkul ashghar (syirik kecil).

Syirik ini tidak mengeluarkan sese­orang dari agama Islam. Ia tetap menjadi seorang muslim. Akan tetapi mengapa penyakit ini disebut syirik kecil? Karena seorang yang riya’ telah memalingkan iba­dah dari yang semestinya karena Allah SWT, ia palingkan untuk manusia dan ia jadikan tujuan dari ibadahnya un­tuk mendapatkan pujian manusia terha­dapnya, penghormatan orang lain ke­padanya, kecenderungan mereka terha­dap dirinya, dan penilaian mereka terha­dap dirinya bahwa ia adalah “sesuatu”.

Ia menjadikan adanya sekutu bagi Allah dalam niat ibadahnya. Ia hamba Allah akan tetapi dalam ibadahnya meng­inginkan ridha Allah SWT dan ridha manusia. Ia menyekutukan antara men­cari ridha Allah SWT dan mencari ridha makhluk. Itulah sebabnya, penyekutuan semacam ini disebut asy-syirkul khafi (syirik tersembunyi).

Disebut syirik ashghar karena syirik ini tidak mengeluarkan seseorang dari agama. Adapun disebut syirik khafi ka­rena syirik ini memiliki beberapa tingkat­an yang akan dijelaskan pada akhir pel­ajaran kita kali ini.

Riya’ berkaitan dengan masalah arah pandanganmu kepada manusia. Selama engkau menginginkan manusia menghormatimu, mengelu-elukanmu, mengagungkanmu, dan memuliakan ke­dudukanmu, engkau sibuk dengan pan­dangan manusia terhadapmu, sesung­guhnya engkau akan membayarnya de­ngan harga yang mahal... harga-harga yang teramat mahal. Salah satunya ada­lah bahwa sesuatu yang paling mahal yang engkau miliki di dunia ini dan yang paling berharga yang akan engkau ba­yarkan untuk itu semua adalah ibadah­mu kepada Allah SWT. Ibadahmu, eng­kau palingkan untuk manusia.

Mengapa demikian? Seseorang yang riya’, bila ingin bersedekah, ia ingin orang-orang berkata tentangnya bahwa ia dermawan dan pemurah. Bila duduk di satu majelis dan menguraikan suatu pembahasan, ia menghendaki orang-orang memuji penyampaiannya dan kemampuannya dalam memberikan na­sihat dan pelajaran. Bila shalat atau me­lakukan suatu ibadah, ia menghendaki pujian orang terhadap kekhusyu’annya dan kadar kekhuyu’annya dalam dzikir kepada Allah SWT. Bila membaca Al-Qur’an, ia menunggu pujian orang-orang terhadap kemampuan dan keindahan bacaannya. Demikianlah halnya dalam ibadah, saat ia bertaqarrub kepada Allah SWT.

Sepakatkah kalian denganku bahwa harga yang harus dibayar untuk riya’ sa­ngatlah mahal, sehingga tidak semesti­nya dilakukan? Oleh sebab itu marilah kita berlepas diri dari penyakit cinta terhadap kedudukan di hati manusia.

Cintailah manusia, cintailah kebaikan bagi manusia, dan cintailah cinta manu­sia kepadamu karena Allah SWT. Akan tetapi janganlah engkau mencari ke­dudukan di sisi makhluk. Sesungguhnya kedua hal itu memiliki perbedaan yang sangat besar, sekalipun teramat tipis dan halus perbedaan antara keduanya.

“Benar, aku mencintai manusia ka­rena Allah dan aku pun cinta saudara-saudaraku yang mencintaiku karena Allah. Akan tetapi tidaklah sepatutnya aku mencari dan hidup dengan meno­lehkan pandanganku kepada keduduk­anku di dalam hati mereka. Mengamat-amati dan memperhatikan dengan sek­sama, apakah kedudukanku jatuh di mata mereka atau semakin tinggi dan se­makin tinggi lagi? Apakah keduduk­anku diperhitungkan di sisi mereka, atau­kah sama sekali tidak diperhitungkan?”

Cinta kedudukan di hati manusia, hal itulah yang menyebabkan lahirnya riya’, menyebabkan berpaling kepada selain Allah SWT – na’udzu billah min dzalik. Dan menolehnya hati kepada cinta ke­dudukan di tengah-tengah makhluk akan menyebabkan runtuhnya kedudukan di sisi Allah SWT.

Arah pandangan hatimu kepada makhluk untuk mencari kedudukan di sisi mereka di saat beribadah kepada Allah SWT akan merendahkan kedudukanmu di sisi-Nya.

Manakah sesungguhnya yang eng­kau inginkan: kedudukan di sisi makhluk atau kedudukan di sisi Allah SWT?

Engkau adalah murid menuju Allah, peniti jalan menuju akhirat. Ambillah kabar gembira yang akan membuatmu mudah untuk mendapatkan dua pilihan itu. Luruskanlah niatmu untuk mencari kedudukan di sisi Allah SWT, niscaya Dia akan memberikan kedudukan bagi­mu di sisi makhluk. Akan tetapi hal ini berbeda dengan permasalahan “Aku akan ikhlas karena Allah dan Allah akan menjadikan manusia mencintaiku”, se­perti yang telah dijelaskan pada pelajar­an yang lalu.

Sunnatullah telah berlaku bahwa, di saat engkau benar dan tulus dalam mu‘amalahmu kepada Allah SWT dan tidak mencari dan menginginkan selain Allah SWT, semua urusanmu akan kem­bali kepada-Nya. Bila Allah menghen­daki, Dia akan menghimpunkan hati ma­nusia kepadamu; dan bila Dia tidak menghendaki, Dia pun akan mencerai­kan hati manusia darimu.

Sebagian shalihin dicintai oleh ma­nusia, mereka bersatu padu berhimpun men­dekatinya, memuliakannya, dan mengenali keutamaannya; tapi sebagian lagi dikucilkan oleh manusia, diperlaku­kan buruk oleh mereka, dan bahkan me­reka ramai-ramai menghardik dan me­lemparinya.

Baginda Nabi Muhammad SAW dilempari dengan batu dan bahkan se­bagian nabi dibunuh. Di masjid ini, Mas­jid Jami‘ Bani Umayyah, terdapat kepala mulia Nabi Yahya bin Zakariya’ AS. Beliau dipenggal karena kejahatan ke­lompok keji dari Bani Israil.

Akan tetapi, tentu bukan itu yang men­jadi maksud dan harapan. Namun tuluslah kepada Allah SWT, maka Dia akan memberikan kepadamu kebaikan dunia dan akhirat.

Apakah nilainya semua makhluk me­mujimu dan memandangmu dengan pan­dangan pengagungan, mengagung­kan­mu dan memuliakanmu, dan mereka memuji-mujimu dengan kebaikan... si Fulan datang dan si Fulan baru pergi... se­dangkan engkau tidak memiliki ke­dudukan apa pun di sisi Allah SWT.

Sungguh merupakan keadaan yang paling buruk, seseorang hidup di dalam­nya dan dia menduga bahwa dirinya da­lam mu‘amalah yang sebaik-baiknya ke­pada Allah SWT sedangkan dia tidur da­lam keadaan senang dan gembira de­ngan sebab pujian manusia kepada diri­nya dan perhatian mereka kepadanya, sementara dia tidak mengetahui apakah kelak akan menutup matanya dalam ke­adaan Allah ridha kepadanya atau tidak meridhainya.

Kesimpulannya, sumber dan asal mula riya’ adalah menolehkan pan­dang­an kepada kedudukan di hati makh­luk.

Sumber :www.majalah-alkisah.com

No comments:

Post a Comment