Pages

Monday, April 22, 2013

Madrasah Hadhramaut: Taubat

Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kembalikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf kepada mereka untuk dirinya jika Allah melihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat.

Pelajaran ini akan membahas langkah pertama yang harus dijalani seorang hamba dalam perjalanan­nya menuju Allah SWT setelah muncul­nya al-baits dan kerinduan yang kuat di dalam hati untuk datang kepada-Nya. Langkah pertama untuk menuju Allah adalah tash-hih at-taubah, memperbaiki taubat dan sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah SWT.

Taubat sebagai kata diambil dari kata ar-ruju‘ dan al-awbah, yang berarti “kem­bali”. Taubat sendiri pada hakikatnya meliputi tiga makna, yang, apabila ke­tiganya terpenuhi dan tercakup, terwu­judlah taubat yang sesungguhnya. Tiga hal tersebut adalah ‘ilm, hal, fi‘l.

‘Ilm

‘Ilm, atau ilmu, yang dimaksud di sini adalah ilmu yang mengetahui bahwa dirinya adalah seorang hamba, yang ke­lak akan berdiri di hadapan Allah SWT pada hari Kiamat, yang hidupnya hanya sementara untuk kemudian menemui ke­matian, dan akan dimintai pertanggung­jawaban atas segala perbuatan yang te­lah dilakukannya dalam hidupnya yang teramat singkat itu.

Sang hamba mengetahui bahwa hi­dup yang teramat singkat ini akan ber­ujung pada satu masa ketika ia akan ber­diri seorang diri di hadapan Raja dari se­gala raja, Yang akan menanyainya se­orang diri dengan tanpa ada seorang pem­bela pun dan tidak pula seorang pe­rantara yang dapat membantunya untuk menjawab segala pertanyaan yang di­ajukan. Maharaja itu akan berkata ke­pa­danya, “Wahai hamba-Ku, ingatkah eng­kau di hari ini, di waktu ini... engkau me­nutup rapat semua pintu agar tidak terlihat oleh pandangan seorang pun dari makh­luk-Ku karena engkau malu bila mereka melihat perbuatanmu kala itu... sedang­kan engkau terang-terangan mem­per­tunjukkan kepada-Ku satu per­buatan yang tidak Aku ridhai. Di mana­kah eng­kau taruh pandangan-Ku saat itu? Ham­ba-Ku, mengapa engkau jadi­kan Aku pemandang yang paling remeh dalam penilaianmu? Hambaku, engkau malu terhadap hamba-hamba-Ku, tetapi sama sekali tidak merasa malu kepada-Ku?”

Di saat berada di hadapan-Nya, Dia akan berkata, “Wahai hamba-Ku, Aku telah menciptakanmu dari ketiadaan, Aku limpahi engkau dengan berbagai karunia, Aku muliakan engkau dengan ‘La ilaha illallah.’ Engkau tumbuh dengan karunia-karunia yang Aku berikan, ibu­mu menyusui dan mengasuhmu dengan karunia itu, pengetahuanmu pun ber­kembang dengan karunia itu, lalu eng­kau tumbuh besar dan menjadi perkasa dengan segala karunia yang telah Aku berikan dari berbagai kebaikan, namun kemudian engkau pergunakan untuk mendurhakai-Ku? Bagaimana engkau pergunakan nikmat-Ku? Apakah engkau menggunakannya untuk hal-hal yang Aku ridhai? Apakah engkau mencari kedekatan dengan-Ku selama hari-hari yang telah Aku berikan kepadamu?”

Saat-saat kelak kita dimintai pertang­gungjawaban itu tidak seorang mukmin pun kecuali ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa pasti akan dilaluinya.

Seorang hamba pun mengetahui bah­wa tidaklah setiap kata yang terucap dari lidahnya kecuali akan dicatat, tidak­lah setiap tatapan di saat memandang sesuatu kecuali akan dituliskan, dan ti­dak pula setiap diam, gerak, dan lengah kita kecuali akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.

Di saat memperhatikan semua pen­jelasan itu, mungkin sebagian orang akan merasa sempit dadanya untuk da­pat memahami makna-makna mulaha­qah (pencarian jati diri), mutaba‘ah (me­neladani), hisab (penghitungan amal), ataupun kitab ‘alaih (pencatatan amal perbuatan).

Maka, coba kita perhatikan dari segi yang lain, yakni memahami makna dari makna-makna kemurahan yang Allah SWT karuniakan kepada kita, kemuliaan yang diberikan-Nya kepada kita, dan penghormatan yang diberikan Allah kepada kita.

Coba perhatikan seseorang yang memiliki kedudukan atau popularitas yang tinggi di tengah-tengah masyara­kat. Orang-orang berkumpul di sekitar­nya. Wartawan yang satu menulis setiap kata yang diucapkannya, sedang yang lainnya mengambil gambar dari setiap gerak-geriknya. Namun, puncak dari se­mua perhatian yang diberikan itu tidaklah lebih dari satu atau dua jam saja, setelah itu mereka kembali ke rumahnya ma­sing-masing.

Ketahuilah, seorang hamba memiliki kedudukan yang penting di sisi Allah. Karena penting dan tingginya keduduk­an seorang hamba di sisi Allah, Dia, bah­kan, mewakilkan dua malaikat mulia, yang tercipta dari cahaya yang tidak per­nah durhaka kepada-Nya, sebagai pen­dampingnya setiap saat.

Dua malaikat yang Allah wakilkan ini mencatat setiap ucapan sang hamba dari semenjak ia baligh hingga akhir ha­yatnya. Dalam gurau, sungguh-sungguh, marah, ridha, sedih, atau gembira, “Tiada suatu ucapan pun yang diucap­kannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Raqib dan ‘Atid (yang selalu hadir meng­awasi).” — QS Qaf (50): 18.

Seorang hamba adalah pemilik ke­dudukan di sisi Allah. Seseorang yang telah mengetahui bahwa semua per­buat­annya akan dicatat, dihitung, ke­mudian akan dilaporkan dan dibuka di hadapan Allah SWT. Setelah itu ditentu­kan tempat kembalinya, apakah menuju negeri keridhaan atau negeri kemurka­an, menuju surga atau dijerumuskan ke jurang neraka.

Waktunya di dunia akan berakhir di saat ruh sampai di ujung kerongkongan. Tidak ada jaminan tentang kapan sam­painya ruh ke ujung kerongkongan. Ti­dak dapat direncanakan dan tidak pula dapat disiasati agar ia datang pada wak­tu yang tepat, dan tidak diketahui kapan malaikat maut datang menjemput. Se­mua­nya datang dengan tiba-tiba dan se­kejap mata. Tidak dibedakan antara anak muda ataupun orang tua, dan tidak pula dibedakan atara yang sakit ataupun yang sehat. Jika malaikat maut datang menjemput, pada saat itulah diberitahu­kan bahwa waktunya telah berakhir untuk selamanya.

Seseorang yang mengetahui semua kemestian itu, akankah di hatinya tidak ada sesuatu yang terlahir dan muncul dari pengetahuannya itu? Yakni keada­an menyesal, merasa malu, hina, dan rendah di hadapan Allah SWT. “Kemarin aku mendurhakai Allah padahal Allah melihatku. Aku akan berdiri di hadapan-Nya dan Allah akan menanyaiku semua itu.”

Salah seorang shalihin dari negeri Habasyah datang kepada seorang waliyullah dari kalangan salaf. Orang itu bertanya, “Wahai Syaikh, apakah Allah akan mengampuniku atas dosa yang telah aku perbuat?”

“Benar, Allah akan mengampunimu bila engkau bertaubat dengan sungguh-sungguh,” jawab sang waliyullah.

Orang itu pun bersyukur dan memuji Allah, dan tampak dari raut wajahnya kegembiraan yang luar biasa. Namun, setelah beberapa langkah meninggalkan sang waliyullah, orang itu kembali lagi de­ngan raut muka yang tidak lagi me­nunjukkan kegembiraan.

Wali tadi bertanya, “Apa yang terjadi denganmu?”

Orang itu menjawab, “Apakah Allah melihatku di saat aku mendurhakai-Nya?”

Maka dijawab, “Ya, Allah melihatmu.”

Tiba-tiba orang itu berteriak histeris dan langsung tersungkur ke tanah dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Tahukah apa yang terjadi dengan orang ini?

Awal mula, pikirannya sibuk dengan urusan, “Apakah aku akan masuk ke da­lam surga atau neraka?” Setelah kekha­watirannya terhadap urusan surga dan neraka hilang dengan jawaban sang wali tadi bahwa Allah akan mengampuninya atas segala dosanya, muncullah di da­lam hatinya makna yang lebih dalam, lebih tinggi, lebih besar, dan lebih halus lagi dari apa yang menyibukkan pikir­an­nya selama itu tentang surga dan ne­raka. Yakni makna hubungan seorang ham­ba dengan Allah, makna bahwa Allah melihat dirinya melakukan kedur­hakaan ini dan itu, makna bahwa Allah me­nutupi semua keburukannya dari pan­dangan makhluk-Nya, padahal Allah Mahakuasa untuk mempertunjukkan se­mua keburukan itu kepada mereka, makna bahwa Allah tak pernah berhenti memberikan berbagai karunia, nikmat, dan limpahan rizqi padahal ia tak henti pula mendurhakai-Nya.

Semua perasaan itu melahirkan pe­nye­salan terhadap semua keteledoran, ke­durhakaan, dan keberanian yang se­lama ini ia lakukan terhadap Allah SWT. Perasaan semacam ini yang hadir di dalam hati seorang hamba disebut pe­nyesalan, salah satu unsur yang sangat penting dalam taubat.

Hal

Hal dalam konteks ini adalah penye­salan atas segala perbuatan buruk yang telah lalu. Terkadang sebagian salaf me­megang jenggotnya sambil berkata, “Alangkah buruknya perbuatanku meski­pun seandainya akan dimaafkan!”

Penyesalan semacam ini akan me­nimbulkan keteguhan yang kuat dalam diri seseorang untuk berkata dalam hati­nya, “Aku akan berhenti dari berbuat dosa... aku tidak akan pernah melaku­kannya lagi untuk selama-lamanya... aku tidak akan pernah lagi mendurhakai Allah....”

Fi‘l

Fi’il, atau perbuatan, dalam konteks ini adalah melepaskan diri dari maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Bila telah lahir penyesalan semacam ini, yang dilandasi dengan ilmu, penye­salan dan ilmu itu akan membuahkan ke­teguhan dalam hati untuk meninggalkan maksiat, dan tidak mengulanginya lagi, sehingga darinya terwujudlah hakikat sesuatu yang disebut taubat.

Adapun apabila kesalahan atau mak­siat itu berkaitan dengan hak-hak ma­nusia, misalnya mengambil harta si Fulan atau menghina dan mencacinya, ada per­kara keempat yang harus dilaku­kan, yak­ni mengembalikan hak-hak itu kepada pe­miliknya. Jika seseorang telah memakan harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada pe­milik­nya.

Namun bukan hanya itu, karena apa yang telah dikembalikan itu belum ter­hitung sebagai taubat sebelum ia pun meminta maaf kepada mereka.

Lalu bagaimana seandainya mereka tidak memaafkannya?

Bila hal itu terjadi, hendaklah ia kem­balikan urusannya kepada Allah SWT, karena Allah akan memintakan maaf ke­pada mereka untuk dirinya jika Allah me­lihat adanya kesungguhan dalam hati kita kelak di hari Kiamat. Dengan demi­kian berarti ia telah menunaikan kewajib­annya dalam taubat. Allah akan memu­lia­kannya dengan memberinya anu­ge­rah berupa kerelaan dari orang-orang yang didzalimi haknya. Dan bila ia tidak kuasa untuk mengembalikan hak itu ke­pada mereka, Allah akan memuliakan­nya dengan memberinya sesuatu yang setimpal dengan kerelaan orang-orang yang terzhalimi itu. Karena hak-hak orang lain atas dirinya tetap tidak gugur sebagai tanggunggannya.

Lembaran-lembaran Dosa

Lembaran-lembaran dosa manusia dapat digolongkan menjadi tiga bagian.

Pertama, lembaran dosa yang pe­laku­nya dapat diampuni. Yakni semua kedurhakaan dan dosa yang ada antara sang hamba dan Tuhannya bila pada diri hamba terdapat penyesalan yang benar dan hakiki yang dihasilkan dari ilmu. Sehingga, penyesalan itu melahirkan keteguhan dan tekad yang kuat untuk meninggalkan dosa-dosa itu semua. Itulah taubat nasuha. Maka Allah pun akan mengampuninya atas dosa-dosa­nya seluruhnya.

Kedua, lembaran dosa yang pelaku­nya tidak akan diampuni. Yakni dosa syi­rik akbar, syirik besar. Syirik akbar ada­lah meyakini adanya Tuhan selain Allah SWT. Namun, dosa ini tidak terjadi pada umat Rasulullah SAW. Tidak akan ada syirik besar pada umat Nabi SAW, se­bagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesung­guhnya aku, demi Allah, tidaklah takut ka­lian akan berbuat syirik (akbar) sete­lahku, akan tetapi yang aku takutkan ada­lah akan dibukakannya dunia atas kalian.”

Ketiga, lembaran dosa yang tidak tergugurkan. Yakni dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak-hak manusia, hak-hak yang berkaitan dengan makhluk. Inilah yang semestinya membuat sese­orang yang sedang berjalan menuju Allah besungguh-sungguh dalam me­nunai­kan hak-hak itu.

Dosa Besar dan Kecil

Para ulama mengatakan, dosa besar itu ada empat macam. Sebagian saha­bat mengatakan, dosa besar ada tujuh macam, dan sebagian yang lain menga­ta­kan ada sebelas macam. Ibnu Abbas RA berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Umar, yang membagi dosa kepada tujuh macam, karena yang tujuh itu lebih dekat kepada tujuh puluh.”

Adapun yang disepakati oleh jumhur ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa semua perkara yang dikenai had (hukuman tertentu) termasuk dosa be­sar, semua yang dinashkan oleh Al-Qur’an atas keharamannya itu pun ter­masuk dosa besar, dan semua perbuat­an keji termasuk dosa besar.

Perhatikan juga terhadap makna lain, yaitu keadaan hati terhadap maksiat sesudah melakukan maksiat. Ulama berkata, “Terus-menerus dalam maksiat ter­golong dosa besar.” Dan meremeh­kan maksiat adalah termasuk dosa besar, meskipun maksiat itu kecil.

Itulah sebabnya, sebagian shalihin memohon ampun kepada Allah terhadap hal-hal mubah sekalipun. Mereka selalu memandang bahwa hal (interaksi)-nya dengan Allah adalah senantiasa menun­tut ketinggian dan kedekatan dengan-Nya dalam segala hal. Karenanya bila melakukan sesuatu yang mubah tidak berniat untuk mencari kedekatan dengan Allah, mereka pun memohon ampun ke­pada-Nya.

Bukan hanya itu, sebagian mereka pun bertaubat kepada Allah pada bebe­rapa perbuatan taat. Mereka bertaubat dari makna yang hadir di hati pada saat berbuat taat, yakni tidak merasa dan menyadari adanya kemurahan Allah pada saat berdiri mengerjakan suatu ketaatan.

Lebih tinggi lagi, Rabiatul Adawiyah pernah berkata, “Istighfar kita butuh kepada istighfar.” Mungkin kita memang sudah beristighfar, tapi istighfar kita belum sungguh-sungguh karena Allah.

Itulah taubat. Mulailah taubat sejak saat ini juga, dan tidak ada ujung dari taubat. Setiap kali seseorang meningkat derajat kede­katannya kepada Allah secara maknawi, dituntut taubat dari makna-makna se­belumnya.

Seorang shalihin berkata kepada Rabiatul Adawiyah, “Doakanlah aku su­paya aku bertaubat kepada Allah agar Allah memberiku taubat.”

Rabiah menjawab, “Melainkan aku akan mendoakanmu semoga Allah mem­berimu taubat agar engkau bertaubat.”

Shalatlah dua rakaat shalat sunnah Taubat dan jadikan sebagai wiridannya istighfar Astaghfirullaha wa atubu ilayh (100 kali) atau Rabbighfirli warhamni wa tub ‘alayya (100 kali). Apabila ini se­nantiasa dilakukan pada tiap-tiap malam, buahnya akan memperoleh satu tingkat­an yang dikatakan ulama sebagai ting­katan mahbubiyah (dicintai – oleh Allah). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat.” — QS Al-Baqarah (2): 222.

Sumber :www.majalah-alkisah.com

No comments:

Post a Comment