Tuesday, September 11, 2012

Misteri Dibalik Jendela Batin

www.sufinews.com

Didalam batin kita ternyata ada khasanah yang agung melebihi kebesaran Jagad Semesta. Kita bisa melihatnya, bukan dengan mata kepala, tetapi dengan matahati kita. Apa yang tampak dalam wujud fisik kita hanyalah lambang belaka dari hakikat yang ada didalam dada. 

Jika saja ada anatomi batin, tentu saja ada penglihatan, rasa dan pendengaran batin, bahkan ada Ibadah-ibadah yang mesti dilakukan oleh batin kita, sebagaimana keharusan yang dilakukan oleh gerak-gerik fisik kita.

Kalau kita merasa bersedih, dimanakah tempat bersedih? Kalau kita bergembira, dimanakah tempat kegembiraan itu? Kalau kita sedang mencintai, dimanakah tempatnya cinta? Kalau kita sedang rindu dimanakah rindu itu sesungguhnya? Kalau kita sedang menikmati, dimanakah wilayah nikmat dalam batin kita?

Allah memiliki Sebuah Nama yang disebut dengan Al-Baathin (Yang Maha Batin), lalu apa hubungannya dengan nuansa batiniyah dan lahiriyah kita? Bagaimana batin kita bisa merasakah gelap dan terang?

Ada apa dengan batin kita? Tiba-tiba kita menanyakan sesuatu yang selalu hadir, tetapi terasa misterius, dan sehari-hari, terkadang kita biarkan mengalir dengan sendirinya, tanpa kita berhasrat untuk mengusik lebih jauh. Tetapi siapa yang bisa membendung kerinduan batin itu sendiri untuk hadir dalam penyaksian jiwa kita, dan mengenal Sang Penggerak Batin, Yang Maha Al-Bathin, Allah Ta’ala?

Ketika waktu menembus tengah malam, kita seperti sedang mengembara di jagad semesta. Di balik jubah hitam yang menyelimuti semesta itu, tanpa terasa kita telah menggapai satu bintang ke bintang lainnya. Tetapi kita tidak pernah menjenguk diri kita, apa dan siapa yang tadi mengembara ke cakrawala malam itu? Mengapa sebegitu mudah, seakan-akan seluruh cakrawala itu ada di genggaman kita? Apakah seluruh benda-benda di langit, di bumi dan bahkan makhluk-makhluk Allah di langit itu memiliki hubungan erat dengan diri kita?

Mari kita ketuk pintu batin kita, untuk sekadar membuka hakikat-hakikat dibalik misteri perjalanan hidup kita, lalu kita teguhkan keyakinan-keyakinan kita, yang selama ini naik turun diantara lembah-lembah ngarai, puncak-puncak bukit dan jurang-jurang kehidupan. Lalu muncul adalah perasaan suka dan duka, sedih dan bahagia, bahkan keharuan-keharuan yang tak terhingga, bahkan berlanjut dengan sejuta pertanyaan yang memburu kita. Kita mulai memasuki fakta dan hakikat sesungguhnya, kebenaran-kebenaran yang tidak hanya kita pandang dari sudut dan bilik-bilik pemikiran kita, tetapi sudah mulai menampkkan bayang-bayang, sampai pada titik tertentu, adalah gambaran sesungguhnya tentang kita, diri kita, hakikat kita.

Dalam ruang dalam di dada kita (limaa fish shuduur) ternyata ada kehidupan yang sesungguhnya. Di ruang tengah ada jantung , yang terletak di sisi dada kiri kita, dan itulah yang disebut Qalbu. Dunia Qalbu adalah sentra dari seluruh aktivitas batin kita, yang secara organik termekanis oleh gerak gerik batin kita. Dan Qalbu lah yang memutuskan untuk menerima atau menolak. Al-Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazaly secara cemerlang membedah anatomi batin kita dalam kitabnya Al-Ihya’, dengan uraian yang begitu sistematis, menggambarkan organisasi batin ini. Sebab jauh-jauh Rasulullah Saw, telah mengisyaratkan adanya “segumpal darah” yang sangat menentukan kebaikan dan keburukan kita. Al-Ghazali membagi sudut utama batin menjadi Qalbu, Ruh, Nafsu dan Akal. Sementara Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Araby, membuat klasifikasi, dengan, Al-Fikr, Al-‘Aql, Al-Fu’ad dan Al-Lubb.

Qalbu itulah yang dikatakan sebagai Hakikat Manusia. Hakikat yang terus menerus bergerak mengatur organisme ruhaninya. Dan karenanya, Qalbu disebut sebagai Lathifah Rabbaniyah, yang mengenal dimensi Ketuhanan, sebab Allah berada diantara person dan qalbunya.

Qalbu yang sesungguhnya bermakna berbolak balik, karena fungsi qalbu itu sendiri yang senantiasa menjadi fokus tarik menarik antara Ruh dan Nafsu kita. Ruh yang terus menerus menghembuskan nafas kebajikan menuju kepada Allah, sementara Nafsu mencemarkan dengan udara kotor yang menyeret Qalbu agar berbuat jahat, buruk dan destruktif, melalui kebinatangan nafsu dan kebuasannya. Di sela-sela tarik-menarik itulah syetan memasuki ruang dalam bilik-bilik peredaran darah yang mengaliri seluruh diri kita.

Qalbu itulah yang kelak disebut sebagai Arasy, atau cermin dari Arasy Ilahi. Dan sebab itu, dalam Hadits Nabi Saw, dikatakan, “Qalbu seorang Mukmin adalah Arasy Allah.” Istana Ilahi yang ada dalam diri kita. Jika dada spiritual kita disebut Al-Kursi, maka Qalbu adalah Arasy nya. Seluruh wilayah di dalam dada akan diorganisir menurut perintah Qalbu. Qalbu yang dipenuh cahaya CintaNya, sehingga sang hamba memenuhi ruang qalbu dengan mencintaiNya, adalah Qalbu para Auliya’Nya.

Sejumlah metafor Qalbu dibangun oleh Al-Ghazali. Qalbu ibarat cermin. Gambar yang memantul dalam cermin itu adalah ilmu-ilmu hakikat. Dan dalam cermin itu sebuah kebenaran diterima dalam mosaik cermin Qalbu. Penerimaan kebenaran oleh hati, bisa melalui informasi yang diterima, atau melalui kenyataan yang diyakini, atau bahkan kenyataan atau fakta yang yang disaksikan dengan jelas, khususnya oleh kaum Shiddiqin dan Auliya’.

Tetapi mosaik ini akan buram dan menghalangi cahaya kebenaran yang memantul dalam hati kita, lewat sejumlah penghalang: Gambar yang memantul dalam cermin itu rusak; atau cermin itu buruk dan ternoda; atau cermin itu berlainan arah; atau cermin itu tertutupi oleh hijab tertentu, dan tentu saja rupa dalam cermin akan tidak tampak manakala yang memandang memang bodoh tentang pengetahuan rupa dan cermin itu sendiri.

Bila hakikat manusia adalah Qalbu, lalu apakah hakikat Qalbu itu? Hakikat Qalbu adalah nuansa batinnya qalbu. Qalbu ini menjadi wilayah dari batinnya sendiri, yang disebut sebagai Ruh. Dalam anatomi fisik, ruh biasa disebut dengan nyawa yang bertempat dalam titik hitam di tengah jantung. Tetapi secara hakiki, Ruh adalah Kelembutan Rabbaniyah yang menggerakkan Qalbu Ruhani. Maka di dalam Ruh itu ada Amar yang mengatur gerak-gerik Ruh dari Allah Ta’ala. Karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan, “Katakanlah bahwa Ruh itu adalah Amar Tuhanku.” (Al-Isra’: 85), dan pada ayat lain dijelaskan, “Ruh dipertemukan dari AmarNya pada orang yang dikehendaki dari para hambaNya pada hari pertemuan.” (Ghaafir: 15), atau ayat, “Mereka yang telah dicatat di hati mereka, keimanan, dan dikokohkan dengan ruh dari Allah.” (Al-Mujaadilah: 22)

Mereka yang berada dalam wilayah Ruhiyah adalah para Muqarrabun, karena penguasaan Ruh Ilahiyah yang melimpah begitu kuat dalam dirinya. Para Muqarrabun yang jumlahnya sedikit di dunia ini, adalah mereka yang disebut dalam Al-Qur’an, “Dan tidak Kami beritahu tentang (ruh) kecuali sedikit.” Para Auliya Allah, ruh mereka senantiasa terfokus pada musyahadah (penyaksian) Kemahaagungan Allah dimana-mana, dan kapan saja. Ruh mereka berada dalam alam Malakut-Nya, yang terus menerus menyucikan Allah. Itulah nuansa kaum Muqarrabun.

Jika Ruh posisinya di atas Qalbu, maka Nafsu berada di bawah Qalbu. Pada dasarnya, Nafsu merupakan refleksi dari seluruh keadaan dunia dalam kita, termasuk di sana Qalbu dan ruh, akal dan fikiran. Tetapi, yang demikian itu bermakna Nafsu sebagai Nafs yang berarti jiwa. Namun secara khusus, Nafsu memiliki bilik-bilik transformatif di dalam jiwa itu sendiri, yang kelak terbagi-bagi dalam kamar-kamar jiwa kita.

Paling rendah adalah Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang senantiasa memerintahkan kita untuk berbuat jahat, yang kelak melahirkan sifat-sifat tercela (al-Madzmumat) disebabkan oleh dorongan sifat nafsu ini yang mengarah pada syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya. Jika nafsu ini mendapatkan Rahmat Allah, ia akan selamat. Dari nafsu Ammarah naik ke Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang pasif, antara kebaikan dan keburukan, dan terombang ambing di sana. Seseorang terkadang menuruti syahwat dan keburukan lainnya, kadang ia terdorong untuk bertobat dan kebaikan.

Lalu naik ke tahap Nafsu Muthmainnah, yaitu Nafsu yang tenteram. Nafsul Muthmainnah adalah kondisi dimana seseorang berada dalam ketenangan bersama Allah, dari dan kepada Allah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang “kembali kepada Allah” (an-Nafs al-Murji’ah). Dan yang bisa kembali kepada Allah hanyalah orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah.

Jiwa atau Nafs yang bisa kembali kepada Allah-lah yang bisa tenteram, dan ketentraman jiwa inilah yang menghantar pada kerinduan hamba untuk meraih Ridha Allah. Maka di gerbang Nafsu berikutnya adalah Nafsu Raadhiyyah . Nafsu Raadhiyah adalah kondisi Nafsu yang melampaui Muthmainnah. Karena itu, pada situasi Raadhiyyah, seseorang sudah tidak memikirkan lagi syurga dan neraka. Yang ada hanyalah kerinduan pada Ridha Allah Ta’ala.

Akhir dari Radhiyah adalah Nafsu Mardhiyyah. Seorang hamba telah menjadi Ridha itu sendiri dalam kontemplasi ruhaniyahnya. Karena ia tidak lagi berupaya meraih RidhaNya, sebab Ridha telah menjadi nama, sifat dan perilakunya.

Dari Mardhiyyah naik menjadi Nafs Mulhimah, yaitu Nafsu yang dilimpahi Ilham Allah, yang kelak berada dalam Nafsu Kaasyifah. Nafsu yang berada dalam ketercerahan Rahasia-rahasia Batin (Al-Asraar), yang menjadi gerbang dari Nafs ‘Arifah (yang terus menerus ma’rifat kepada Allah. Dan puncaknya adalah Nafs Kamilah, nafsu yang peripurna dalam tranformasi ruhani seorang hamba yang mendapat predikat Insan Kaamil.

Jika Nafsu (syahwat dan ghadab), Ammarah, itu melahirkan sifat-sifat Madzmumat (tercela), seperti Kufur, Syirik, Iri, Dengki, Takabbur, Riya’, Mencintai Dunia, Ta’jub pada diri (keakuan), Merasa paling bisa dan hebat, Menuruti Syahwat, Ghibah (menggunjing), Ambisius, Serakah, Dzalim, Nifaq, Fasiq, dan seluruh sifat tercela yang bisa menghancurkan diri sendiri, justru sebaliknya jika Allah melimpahkan rahmat pada Nafs, maka akan mengalami transformasi menuju kesempurnaan nafsu itu sendiri, dengan sejumlah predikat Akhlak al-Mahmudah (terpuji), seperti kehambaan, ketaubatan, kezuhudan, kewara’an’ kesyukuran, keridhaan, ketawakkalan, qanaah, dan sampai tahap-tahab Mahabbah dan Ma’rifah.

Nafsu yang bisa terasah dalam kecermelangan, pada mulanya bisa berada dalam ketenteramannya dan seterusnya. Tetapi ketika didominasi oleh Ammarah dan Lawwamah, akan semakin terjerembab oleh lumpurnya sendiri.

Namun perlu diingat dalam Nafsu manusia ada empat dimensi buruk: 1) Sifat-sifat keganasan atau kebuasan yang melhirkan emosi marah. 2) Sifat-sifat hewaniyah yang berperilaku bak binatang. Kedua sifat diatas akan melahirkan rasa senang terhadap kejahatan, kemenangan, pemaksaan, rekayasa buruk dan pengkhianatan. Dari sinilah melahirkan sifat yang ke 3) Sifat-sifat Syaithaniyah. Dan ke 4) Sifat-sifat Rabbaniyah, yaitu sifat yang berambisi ingin menyamai Tuhan, ingin dipuja, ingin disembah, ingin dicatat nama kebesarannya.

Dimensi batin lain yang tak kalah pentingnya adalah Akal. Dalam hadits Nabi disebutkan, “Awal mula yang diciptakan oleh Allah adalah Akal. “ Hadits lain menyebutkan, “Qalam”, dan hadits lain lagi menyebutkan “An-Nuur”. Ketiganya, Akal, Qalam dan Nur, sesungguhnya satu wilayah dengan istilah berbeda. Fungsi akal adalah melihat yang benar dan yang salah, yang kelak akan diputuskan oleh Qalbu apakah yang benar itu diterima dan yang salah itu ditolak, adalah tergantung keputusan Qalbu.

Kedudukan Akal di sisi Qalbu, ibarat kedudukan raja dengan perdana menterinya. Sedangkan badan kasar kita adalah wilayah kekuasaannya.

Akal manusia hanya bisa melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, tetapi akal tidak bisa memutuskan suatu keyakinan. Karena keyakinan itu wilayahnya Qalbu. Oleh sebab itu sehebat apa pun akal manusia, maka akal manusia tidak bisa menyerap dimensi spiritual yang hakiki. Ia sebatas berada dalam paradigma filsafatan saja. Maka bila akal ditanya, “Wahai akal, apakah sesungguhnya induk dari pengetahuan anda ini?” Ia akan menjawab, “Induk Ilmu pengetahuan adalah filsafat.” Lalu ditanya apakah induk filsafat itu? Akal tak mampu menjawabnya. Qalbu lah yang mampu menjawabnya. “Induk filsafat adalah Ahli Dzikir.”

Dalam organisme Batin kita kelak akan berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan ruhaniyah dalam pantulan dengan Cahaya Allah (An-Nuur). Maka lembaga batin inilah yang bisa memandang hubungan-hubungan organisma antara kekayaan batinnya dengan Iradah dan Qudrat Allah Ta’ala, termasuk dalam merespon Akhlaq-Akhlaq Allah dalam kefanaan hambaNya, dan kebaqaan-Nya.

KHM LUKMAN HAKIM

Friday, September 7, 2012

Hakikat Iman

Di dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan bahwa iman menurut syari’at adalah meyakini dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengerjakan dengan amal perbuatan. Adapun pengertian Islam menurut syari’at adalah tunduk dan patuh. Maka setiap yang beriman berarti telah Islam, namun tidak setiap yang Islam berarti telah beriman. Adapun pengertian Islam menurut hakikat yaitu sebagaimana sabda Nabi SAW:

 اَنْ تَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ

Menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, sedangkan pengertian iman secara hakikat adalah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ أَمَنُواْ اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِاللهِ

Belumlah seseorang itu dikatakan beriman sebelum hatinya itu dapat khusyuk mengingat Allah.

Dari pengertian iman secara syari’at dan hakikat ini, imam Ghazali membagi iman manusia kepada tiga tingkatan:

Iman tingkat pertama adalah imannya orang-orang awam yaitu imannya kebanyakan orang yang tidak berilmu. Mereka beriman karena taklid semata. Sebagai perumpamaan iman tingkat pertama ini, kalau kamu diberi tahu oleh orang yang sudah kamu uji kebenarannya dan kamu mengenal dia belum pernah berdusta serta kamu tidak merasa ragu atas ucapannya, maka hatimu akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengar saja.

Ini adalah perumpamaan imannya orang-orang awam yang taklid. Mereka beriman setelah mendengar dari ibu bapak dan guru-guru mereka tentang adanya Allah dan Rasul-Nya dan kebenaran para Rasul itu beserta apa-apa yang dibawanya. Dan seperti apa yang mereka dengar itu, mereka menerimanya serta tidak terlintas di hati mereka adanya kesalahan-kesalahan dari apa yang dikatakan oleh orang tua dan guru-guru mereka, mereka merasa tenang dengannya, karena mereka berbaik sangka kepada bapak, ibu dan guru-guru mereka, sebab orang tua tidak mungkin mengajarkan yang slah kepada anak-anaknya, guru juga tidak mungkin mengajarkan yang salah kepada murid-muridnya. Karena kita percaya kepada orang tua dan kepada guru, maka kita pun beragama Islam.

Iman yang semacam ini tidak jauh berbeda dengan imannya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga merasa tenang dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu, bapak dan guru-guru mereka. Bedanya adalah mereka memperoleh ajaran yang salah dari orang tua dan guru-guru mereka, sedangkan orang-orang Islam mempercayai kebenaran itu bukan karena melihat kebenaran karena penyaksiannya terhadap Allah, tetapi karena mereka telah diberikan ajaran yang haq, yang benar.

Selanjutnya iman tingkat kedua yaitu imannya orang-orang ahli Ilmu Kalam yaitu dimana mereka beriman cukup berdasarkan dalil aqli dan naqli, dan mereka merasa puas dengan itu. Iman tingkat kedua ini tidak jauh berbeda derajatnya dengan iman tingkat pertama. Sebagai contoh, apabila ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa Zaid itu di rumah, kemudian kamu mendengar suaranya, maka bertambahlah keyakinanmu, karena suara itu menunjukkan adanya Zaid di rumah tersebut. Lalu hatinya menetapkan bahwa suara orang tersebut adalah suara si Zaid.

Iman pada tingkat ini adalah iman yang bercampur baur dengan dalil dan kesalahan pun juga mungkin terjadi karena mungkin saja ada yang berusaha menirukan suara tadi, tetapi yang mendengarkan tadi merasa yakin dengan apa yang telah di dengarnya, karena ia tidak berprasangka buruk sama sekali dan ia tidak menduga ada maksud penipuan dan peniruan. Jadi imannya orang-orang ahli ilmu kalam masih terdapat kesalahan dan kekeliruan padanya.

Adapun Iman tingkat ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang telah mempelajari tarekat. Mereka beriman kepada Allah dengan pembuktian melalui penyaksian kepada Allah. Sebagai perumpamaan: Apabila kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu akan melihat dan menyaksikan Zaid itu dengan pandangan mata kamu. Inilah makrifat yang sebenarnya dan inilah yang dikatakan iman yang sebenarnya. Karena mereka beriman dengan pembuktian melalui penyaksian mata hatinya, maka mustahil mereka terperosok ke jurang kesalahan.

Dari ketiga tingkatan iman ini dapatlah kita ketahui bahwa hanya orang-orang ahli makrifatlah atau orang-orang ahli tarekatlah yang dikatakan benar-benar telah beriman kepada Allah. Adapun imannya orang-orang awam dan imannya orang-orang ahli ilmu kalam adalah beriman secara syari’at, namun secara hakikat mereka belum beriman kepada Allah, disebabkan karena ketiadaan ilmu dan ketidaktahuan mereka. Jadi hanya dengan mempelajari tarekatlah kita baru dapat lepas dari syirik khafi (syirik yang tersembunyi) dan syirik yang jali (syirik yang nyata).

Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena kita tergolong kepada tingkatan iman yang ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang tentunya peringkat ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang telah mempelajari ilmu tarekat. Karena tanpa bertarekat mustahil Allah dapat dikenal. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mau mempelajari ilmu tarekat atau ilmu hati, sehingga mereka tidak mengenal Tuhan yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 22 :

فَوَيْلٌ لِلْقَسْيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنِ

Artinya : Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.

Tentu bagi kita yang telah memperoleh ilmu dan pengenalan kepada Allah, kita memiliki kewajiban untuk berdakwah dalam rangka melepaskan umat manusia dari kesesatan karena tidak mengenal Allah, dan di dalam melakukan dakwah tentunya harus dilaksanakan dengan arif dan bijaksana, sebagaimana firman Allah

أُدْعُ اِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَة

Artinya : Serulah kepada Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik.

Dakwah bil hikmah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang alim atau orang yang berilmu. Adapun dakwah dengan mauizatil hasanah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang awam atau orang yang bodoh dengan cara memberikan nasehat yang baik.

Ada dua jenis orang bodoh yang harus kita ketahui sebagai sasaran dakwah kita. Jenis pertama adalah orang bodoh yang mau belajar, maka tunjukilah ia, karena dia memang jauh dari panduan dan petunjuk sedang niatnya penuh untuk menambah ilmu pengetahuan dan taat melakukan ibadah.

Jenis yang kedua adalah orang bodoh yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu dan tidak mau tahu. Maka janganlah dekati dia dan jangan membuang-buang waktu untuk mendakwahinya karena orang bodoh jenis kedua ini adalah syetan yang berwujud manusia. Pintarnya tidak dapat diturutkan, bodohnya tidak dapat ditunjukkan, ia lebih bodoh dari keledai, lebih bebal dari lembu. Tinggalkanlah ia dalam kebodohannya, sampai nanti Allah merobahnya.

Kalau menghadapi orang bodoh saja sudah sulit, tentu lebih sulit lagi berdakwah kepada orang yang berilmu dikarenakan kesombongan yang ada pada dirinya karena telah merasa banyak memiliki ilmu. Orang alim seperti ini disebut alim tanggung, ilmunya ke atas tak sampai, ke bawah tak jejak, yang selalu berebut pengaruh di masyarakat dan berdakwah di sana-sini. Mereka bagaikan cendawan yang tumbuh menonjol di sana-sini sambil membusungkan dada dengan banyaknya ilmu yang tak bersari. Sungguh sedih dan kasihan kita melihat orang yang seperti ini. Disangka emas rupanya mentasi. Maka ajaklah mereka ini untuk mengenal Allah dengan cara yang bijaksana karena mereka terhijab oleh ilmu yang mereka miliki. Oleh : Saifuddin, M.A